Anda di halaman 1dari 15

KEARIFAN LOKAL YANG TERANGKUM 1

DALAM PERIBAHASA JAWA MASYARAKAT


DI EKS KARESIDENAN SURAKARTA
(KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Wakit Abdullah, Supana, Sri Supiyarno2

ABSTRAK
Penelitian ini tentang kearifan lokal yang terangkum dalam
peribahasa Jawa masyarakat di Eks Karesidenan Surakarta (Kajian
Etnolinguistik). Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan (1)
latar belakang kearifan lokal yang terangkum dalam peribahasa Jawa
masyarakat di Eks karesidenan Surakarta, (2) kapan masyarakat di
Eks Karesidenan Surakarta memakai peribahasa Jawa yang
merangkum kearifan lokal tersebut, dan (3) makna kultural
peribahasa Jawa yang merangkum kearifan lokal masyarakat di Eks
Karesidenan Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode etnografi
dengan model analisis etnosains untuk etnolinguistik, terutama untuk
menemukan makna kultural peribahasa Jawa masyarakat di Eks
Karesidenan Surakarta yang mengandung kearifan lokal. Data dan
sumber data meliputi primer dan skunder; pengumpulan data dengan
teknik observasi partisipasi dan wawancara mendalam; analisis data
dengan model etnosains melalui 12 langkah alur penelitian maju
bertahap (terutama analisis taksonomi, komponensial dan domain)
untuk menemukan tema-tema budaya; validitas data dengan teknik
triangulasi (triangulasi data, metode, peneliti, teori). Hasilnya
meliputi (1) latar belakang kearifan lokal yang terangkum dalam
peribahasa Jawa masyarakat di Eks karesidenan Surakarta
dipengaruhi oleh faktor budaya, bahasa Jawa, estetika, etika, sosial,
ekonomi, politik, geografi; (2) masyarakat di Eks Karesidenan
Surakarta memakai peribahasa Jawa yang merangkum kearifan lokal,
karena tuntutan kesetiaan terhadap budayanya, media bahasa Jawa
memfasilitasi, motivasi estetika, motivasi etika, kondisi sosial,
motivasi ekonomi, media politik, menunjuk latar belakang geografi;
dan (3) makna kultural peribahasa Jawa yang merangkum kearifan
lokal masyarakat di Eks Karesidenan Surakarta, antara lain yaitu
menunjukkan rasa sopan, menghindari konfrontasi langsung,
menunjukkan tingkat keindahan berbahasa, nasionalisme,
membangun kerja sama, menembangkan akal budi.

Kata Kunci: Kearifan Lokal, Peribahasa Jawa, Eks Karesidenan Surakarta,


Etnolinguistik.

1
Hasil penelitian Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Dikti, Dana PNBP UNS, Tahun I, 2015.
2
Staf Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakata

54
1. Pendahuluan
Peribahasa Jawa yang berkategori komlpleks masih banyak ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Eks Karesidenan Surakarta.
Pencermatan terhadap peribahasa Jawa tersebut mengisyaratkan banyak
mengandung kearifan hidup leluhur Jawa. Hal itu membuktikan bahwa mereka
masih merasa memiliki dan mau memperhatikan warisan kekayaan budaya yang
merangkum keraifan lokal mereka melalui peribahasa Jawa. Peribahasa Jawa
sebagai bagian dari aspek idiomatik bahasa Jawa tidak sekedar sebagai ekspresi
verbal yang bermaksud menunjukkan keindahan berbahasa, tetapi lebih dari itu
merupakan bagian dari cara-cara yang dimiliki orang Jawa untuk
mengekspresikan kearifan hidup orang Jawa di Eks Karesidenan Surakarta yang
tersandikan dalam kata-kata indah untuk menyampaikan pesan dan pengalaman
panjang nenek moyang nya. Misalnya (1) sapa salah bakal seleh siapa yang
salah akan memyerah, (2) aja dumeh jangan mentang-mentang, (3) ana dina
ana upa secara leksikal bermakna ada hari ada nasi, sedangkan secara kultural
bisa bermakna untuk membangun motivasi kehidupan agar senantiasa
bersemangat dan optimis; (4) rukun agawe santosa, crah agawe bubrah secara
leksikal bermakna rukun menjadi kuat, bertengkar menjadi rusak, sedangkan
secara kultural bermakna rukun membuat kuat dan bercerai berai menyebabkan
lemah bahkan hancur;(5) sapa nandur bakal ngundhuh siapa berbuat akan
memetik hasilnya.
Dalam konteks kesastraan ekspresi verbal peribahasa Jawa yang
merangkum kearifan hidup sehari-hari maknanya disandikan kesasteraan lokal
Jawa. Sementara dalam konteks nilai-nilai hidup yang universal bersifat objektif
empiris, yaitu pesan yang terangkum dalam peribahasa Jawa tersebut signifikan
dengan konteks kekinian, baik di Eks Karesidenan Surakarta maupun dalam
rangka kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang majemuk.
Nilai-nilai kehidupan sehari-hari dalam peribahasa Jawa dapat
merangkum berbagai dimensi kehidupan orang Jawa yang tidak terbatasi oleh
ruang dan waktu (universal, kesemestaan), maka kita sebagai masyarakat
Jawa(Indonesia, dunia) dimungkinkan dapat menetralisir diri dari adanya
egoisme etnis, keangkuhan mayoritas, sparatisme budaya, politik, ekonomi, dan
teritorialnya. Peribahasa Jawa tersebut antara lain juga mengekspresikan
optimisme hidup; watak yang gampang digerogoti oleh pola pikir instan;
menuntun agar menghindari emosi yang gampang terbakar dan melebar oleh
sebab kasus kecil, sepele dan bisa diselesaikan; agar diplomasi menjadi pilihan
penting dan jalan lebih awal untuk menghindari amuk masa yang berakibat
buruk dan menyesal dikemudian hari; semangat juang yang kuat membaja dan
pantang menyerah demi tegak dan kuatnya perjuangan dan jati diri bangsa
Indonesia, dsb. Oleh karena itu, permasalahan peribahasa Jawa yang terkait

55
kearifan lokal ini antara lainfaktor apakah yang melatarbelakangipemakaian
peribahasa Jawa masyarakat di Eks karesidenan Surakartayang merangkum
kearifan local, mengapa masyarakat di Eks Karesidenan Surakarta memakai
peribahasa Jawa yang merangkum kearifan lokal tersebut, bagaimanakah makna
kultural peribahasa Jawa yang merangkum kearifan lokal masyarakat di Eks
Karesidenan Surakarta?

2. Konsep Teoretis dan Pustaka Terkait


Secara konseptual pengertian kearifan lokal yaitu berbagai cara yang
ditempuh oleh masyarakat untuk mengatasi persoalan dengan baik dan benar
(Ahimsa, 1997; Wakit, 2013). Selanjutnya kearifan lokal (local genius)
(Quaritch Wales dalam Poespowardojo, 1986: 30; Rahyono, 2009: 7-9) sebagai
the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have
in common as a result of their experiences in early life. Konsep tersebut
mengandung pokokpikiran tentang (1) ciri-ciri budaya, (2) sekelompokmanusia
sebagai pemilik budaya, serta (3) pengalaman hidup yang menghasilkan ciri-
ciri budaya tersebut.
Menurut Mahsun (2005: 81) yang termuat dalam Jurnal Linguistik
Indonesia, menyebutkan banyak cara untuk menguak perilaku kultural (kearifan
lokal) suatu masyarakat. Salah satunya adalah melalui bahasa yang
digunakannya. Adanya bukti-bukti (evidensi) kebahasaan untuk menguak
perilaku penuturnya sangat dimungkinkan mengingat struktur bahasa, seperti
dinyatakan SapirWhorf (1966), dan dirumuskan kembali oleh Clark dan Clark
(1977) mempunyai pengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Menurut Dove
(l985:xv) mengemukakan bahwa peranan kebudayaan tradisional terkait erat
dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat secara mendasar.
Lebih dari itu kebudayaan tradisional bersifat dinamis. Di samping itu, tidak
dapat dipisahkan dari pengaruh sifat-sifat kepemimpinan lokal (Uffortd,
ed.,l988).
Etnolinguistik (Foley, 1997) merupakan cabang linguistik yang
mengkaji hubungan bahasa dengan bahasa untuk mengemukakan makna sesuai
konteks budayanya. Oleh karena itu, penelitian terdahulu yang membahas
bahasa dan budaya Jawa di Eks KaresidenanSurakarta, yaitu Wakit Abdullah
(1999) tentang Bahasa Jawa di Karesidenan Surakarta, hasilnya menyebutkan
bahwa bahasa Jawa di Eks Karesidenan Surakarta meskipun dalam satu daerah
pengaruh dari pusat bahasa dan budaya Jawa di Surakarta masih menunjukkan
adanya variasi dialektal yang ditandai oleh adanya variasi fonetis dan variasi
leksikal; Wakit Abdullah (2001) tentang Unsur Nepotisme yang Terangkum
dalam Peribahasa Jawa di Surakarta, hasilnya menyimpulkan bahwa terdapat
peribahasa Jawa yang mencerminkan sifat nepotis orang Jawa dalam menyikapi

56
keadaan dan melaksanakan pemerintahan; Wakit Abdullah (2009) tentang
Bahasa Jawa dalam Hubungannya dengan Perilaku Masyarakat Jawa di Kota
Surakarta (Kajian Etnolinguistik), Tahun I; Wakit Abdullah (2010) tentang
Bahasa Jawa dalam Hubungannya dengan Perilaku Masyarakat Jawa di Kota
Surakarta (Kajian Etnolinguistik), Tahun II; Sri Supiyarno (2011) tentang Nilai-
nilai Humanisme yang Terdapat dalam Peribahasa Jawa hasilnya menyebutkan
bahwa peribahasa Jawa merangkum nilai kehidupan seperti kebijakan hidup
leluhur Jawa; Christiana Dwi Wardhana (2012) tentang Bahasa Jawa dalam
Hubungannya dengan Potensi Ekonomi Klitikan di Kota Surakarta (Kajian
Etnolinguistik).

3. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan
metode etnografi3 dengan model analisis etnosains (ethnoscience)4 (Spradley,
1997: 19) dan metode linguistik bila dipandang perlu. Sumber data dan data
penelitian meliputi primer dan skunder berupa ekspresi verbal (peribahasa
Jawa) dan nonverbal (konteks, peristiwa budaya) yang mengadung kearifan
lokal dalam konteks bahasa dan budaya Jawa masyarakat di Eks Karesidenan
Surakarta dengan teknik purposive sampling, di samping itu menggunakan
snow-ball sampling, proses ini berkelanjutan hingga mendapatkan data yang
lengkap (Sutopo, 2006: 45-46).Teknik pengumpulan dengan (1) observasi
partisipasi (participant observation) (Spradly, 1997: xvi).(2) Teknik wawancara
mendalam (in-depht-interviewing) dengan informan terpilih untuk menafsirkan
peribahasa Jawa masyarakat di Eks Karesidenan Surakarta.Analisis dengan
model etnosains, terutama analisis taksonomi, komponensial, dan domain yang
relevan dengan analisis berdasarkan tema-tema budaya (Spradley, 1997: 120).
Validitas data ditempuh dengan teknik triangulasi (triangulation), reviu
informan kunci (key informant review) dan member check (Sutopo, 2006: 92).
Penyajian hasil analisisdengan (1) metode formal dan (2) metode informal.

3
Ciri-cirinya (1) sifatnya yang holistik-integratif, (2) thick description, (3) analisis kualitatif dalam rangka
mendapatkan natives point of view (Spradley, 1997: xvi).
4
Secara rinci metode etnografi baru (etnosains) menurut Spradley (1997: 57) tersebut meliputi tahapan 12
langkah alur penelitian maju bertahap (Developmental Research Process), yaitu (1) menetapkan informan,
(2) mewancarai informan (dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan), (3) membuat catatan etnografis,
(4) mengajukan pertanyaan deskriptif, (5) melakukan analisis wawancara etnografis, (6) membuat analisis
domain, (7) mengajukan pertanyaan struktural, (8) membuat analisis taksonomik, (9) mengajukan
pertanyaan kontras, (10) membuat analisis komponen makna, (11) menemukan tema-tema budaya, (12)
menulis sebuah etnografi.

57
4. Hasil dan Pembahasan
Deskripsi hasil penelitian ini meliputi uraian tentang jawaban dari
permasalahan berikut.
A. Faktor yang melatarbelakangipemakaian peribahasa Jawa masyarakat
di Eks Karesidenan Surakarta yang merangkum kearifan lokal.
Adapun faktor yang dimaksud meliputi:
1. Faktor budaya. Maksudnya berdasarkan data yang ditemukan ternyata faktor
budaya menjadi salah satu pemicu semangat masyarakat Jawa di Eks
Karesidenan Surakarta masih setia menggunakan peribahasa Jawa dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam suasana formal maupun informal untuk
memenuhi kebutuhan komunikasi yang masih mereka ikuti secara turun
temurun. Misalnya terkait prosesi kelahiran,prosesi pernikahan,prosesi
kematian, ritual terkait bersih desa, musim tanam padi, musim potong padi,
pengelolaan hasil panen,ritual hari raya, terkait mantra-mantra, terkait
personifikasi sosok gaib, terkait leluhur, terkait menyikapi derita sakit,
terkait harapan kehidupan, terkait kekerabatan, terkait puncak kepuasan
batin,terkait ketuhanan, terkait harmoni kehidupan, dsb. Sebagai ekspresi
kebahasaan peribahasa Jawa berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
(kelahiran, pengantin, kematian, tanam padi, potong padi, khitanan, dsb.).
2. Faktor Bahasa. Bahasa sebagai media untuk mengkomunikasikan hal-hal
terkait pola-pikir (menyangkut ide-ide positif), pandangan hidup (terkait
filosofis kehidupan yang disinari oleh agama, dikuatkan nilai tradisi positif,
dan pedoman-pedoman hidup yang lain yang positif) dan pandangan
terhadap dunianya (lahir-batin, darat-laut, atas-bawah) menjadi salah satu
sebab mengapa masyarakat Jawa di Eks Karesidenan dalam kehidupan
sehari-hari dalam mengkomunikasikan motivasi-motivasi batin memandang
peribahasa Jawa menjadi penting artinya. Maksudnya agar terbebas dari
kemungkinan rasa tidak sopan, menyinggung perasaan orang lain, nilai
rendah, jauh dari rasa dangkal, dan sejenisnya. Secarafiguratif-pragmatis
untuk memenuhi hal-hal terkait estetika (keindahan berbahasa) dan etika
(menjaga rasa dan sopan santun), logika (pendengar/pembaca harus
memikirkan pesan positifnya), serta kemungkinan set efek pemakaian
peribahasa Jawa untuk menempatan posisinya dalam pergaulan hidup yang
penuh dengan tatakrama.
3. Faktor Estetika. Estetika dalam arti mereka memakai peribahasa dalam
kehidupan formal maupun informal itu secara pragmatik untuk mendapatkan
nilai tambah pemakaian bahasa Jawa yang lebih bersifat indah
(estetik)terkait diksi, redaksi, dan ekspresi, dan efek emosi. Dengan memilih
ekspresi, redaksi, diksi dan efek emosi yang tepat untuk mendapat keindahan
berbahasa (estetika dalam peribahasa Jawa) untuk dapat menempatkan diri

58
menjadi pemakai bahasa yang menyenangkan dalam pergaulan, dalam
membangun kerja sama, melayani orang lain, memuaskan pendengar,
melestarikan nilai-nilai luhur (kearifan lokal) yang terangum dalam
peribahasa Jawa. Di sisi lain memanfaatkan pemakaian bahasa (peribahasa
Jawa) dengan baik dan indah dapat membebaskan diri dari kesalahan
komunikasi dan menghindari sensitivitas tertentu yang dapat menimbulkan
emosi pendengardalam suasana kehidupan yang berhubungan dengan hal-hal
yang dirasakan batin, dipandang mata, harmonitas (karya seni bendawi, seni
ragawi, komunikasi, posisi diri, dsb.) oleh penuturnya.
4. Faktor Etika. Dalam rangka mengedepankan sopan santun secara cerdas
dapat menggunakan potensi komunikasi dengan peribahasa Jawa. Mereka
menggunakan peribahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari agar menjadi
lebih sopan-santun dan mengena (etik) terhadap apa yang dimaksud dalam
pembicaraan, dengan bahasa yang bersifat figuratif (peribahasa Jawa)
berusaha menghindarkan diri dari menyinggung perasaan, tidak langsung,
mengendalikan emosi, menjauhi blak-blakan yang berakibat tidak berkenan.
Oleh karena itu sebagai ekspresi kebahasaan peribahasa Jawa merangkum
kearifan lokal terkait etika yang dipedomani dalam kehidupan masyarakat
berhubungan dengan hal-hal yang dirasakan batin, di mana, kapan dan
tentang apa (sikap menghormat, menghina, tenggang rasa, porsional, dsb.)
penuturnya.
5. Faktor Sosial. Secara sosial kemasyarakatan mereka memiliki pandangan
bahwa dengan memanfaatkan peribahasa Jawa itu untuk mengedepankan
semangat kebersamaan agar tetap teduh dan rukun dalam kehidupannya.
Seperti telah dipahami bahwa manfaat bahasa yang terangkum dalam
peribahasa Jawa itu dapat menjadi sarana untuk membangun semangat kerja
sama (komunikasi tetap terjaga dengan baik, rukun karena tidak
menyinggung) dan mengembangan akal budi (yang mengatakan dan yang
mendengarkan masing-masing dapat merenungkan pesan yang terkandung
dalam peribahasa Jawa itu). Oleh karena itu sebagai ekspresi kebahasaan
peribahasa Jawa merangkum kearifan lokal terkait sosial kemasyarakatan,
peristiwa dan suasana kehidupan yang dihadapi (rukun, pecah-belah,
terbelakang, maju, jauh dari kota, dsb.).
6. Faktor Ekonomi. Tradisi berbahasa (peribahasa Jawa) yang terkait dengan
berbagai peristiwa tradisi (bersih desa, pengantin, khitanan, kematian, dsb.),
muncullah sekelompok orang yang memiliki kualifikasi cerdas terkait
kemampuan dalam memanfaatkan peribahasabagi kehidupannya. Akibatnya
mereka bisa mendulang rupiah dari kemampuannya untuk ngrengga basa
membuat indah berbahasa, bahasa indah dengan memanfaatkan peribahasa
Jawa itu berprofesi sebagai MC berbahasa Jawa (pangendhali wara,paniti

59
laksana, dsb.). Oleh karena itu sebagai ekspresi kebahasaan peribahasa Jawa
merangkum kearifan lokal terkait ekonomi yang berhubungan dengan hal-
hal yang diperoleh (cukup, kurang, gagal panen, sampingan, sumber lain,
dsb.) penuturnya.
7. Faktor Politik. Peribahasa Jawa bisa eksis ketika berhubungan dengan
suasana politis yang berkembang, menajam, maka diksinya menunjuk pada
hal yang berniali sensitif, tajam dan sangar. Sebagai ekspresi kebahasaan
peribahasa Jawa merangkum kearifan lokal terkait politik yang sedang
berlangsung, peristiwa dan suasana kehidupan yang berhubungan dengan
hal-hal yang diderita (galau, resah, bingung, takut, bosan, jenuh, dendam,
benci, dsb.) oleh penuturnya.
8. Faktor Geografis. Secara geografis ditemukan bahwa pemakaian peribahasa
Jawa menunjukkan pada posisi di mana masyarakat Jawa itu melangsungkan
kehidupannya. Apakah di dataran rendah atau di pegunungan, sedang
menjabat atau sebagai orang biasa, sebagai pendidik atau sebagai pegawai
yang lain, sebagai orang tua atau sebagai anak, sedang dalam suasana formal
atau informal, di desa atau di kota, dan berbagai identifikasi yang lain.
Ketika sedang menggunakan peribahasa Jawa biasanya erat dengan aktivitas
dan suasana yang dibangun sebelumnya serta terkait denga tema tertentu apa
yang sedang diselesaikan atau yang sedang berlangsung. Namun demikian
secara umum didominasi oleh pengaruh peribahasa yang telah mapan dari
pusat bahasa dan budaya Jawa dan menjadi central pilihan, karena secara
estetik dianggap indah dan etik telah banyak dipahami derajat kesopanan dan
pendukungnya.

B. Mengapa masyarakat di Eks Karesidenan Surakarta memakai


peribahasa Jawa yang merangkum kearifan lokal, karena hal-hal
berikut.
1. Faktor budaya. Eksistensi pemakaian peribahasa Jawa yang mengandung
kearifan lokalantara lain karena adanya tuntutan tradisi turun temurun yang
telah berjalan antar generasi. Secara kultural masyarakat di Eks Karesidenan
Surakarta merasa menjadi sentralnya kekuatan tradisi Jawa. Terekspresikan
dengan istilah memetri mencermati, menyusun, memperhatikan,
memelihara dan nguri-uri memelihara, mempertahankan bahasa dan
budaya Jawa yang mengandung kearifan lokal agar dapat didengar, ditulis,
ditiru, dipakai, dipedomani nilai positifnya untuk menghindari nilai
negatifnya. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila para pioneer
bahasa dan budaya Jawa akan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
mengekspresikan peribahasa Jawa yang mengandung kearifan lokal. Hal itu
dilakukan agar pesan yang terkandung di dalamnya menjadi bermanfaat

60
untuk menjalani hidup dan kehidupannya, sehingga mereka bisa mengikuti
naluri positif kejawaannya. Oleh karena itu perilaku seperti itu dapat
diidentifikasi sebagai ekspresi kearifan lokal dalam budayanya.
2. Faktor Bahasa. Bahasa Jawa sebagai media peribahasa Jawa
memfasilitasinya, baik dari sisi potensi keindahan bahasanya (bahasa kawi)
maupun dari sisi kedalaman dan universalitas jangkauan pesan, makna, dan
mampu merangkum berbagai motivasi pemakainya. Antara lain (a) motivasi
ekonomis dan praktis (pemakai untuk mendapatkan sejumlah rupiah dari
pekerjaannya), motivasi ingin menunjukkan potensi kemampuan berbahasa,
(b) motivasi ideologis (untuk dapat menyampaikan pesan penting yang
dikandung peribahasa Jawa yang digunakan, motivasi untuk melestarikan
peribahasa Jawa itu), dan motivasi yang lain. Berbagai motivasi pemakaian
pearibahasa Jawa di Eks Karesidenan Surakarta itu intinya adalah
menunjukkan kearifan lokal (cara-cara untuk mengatasi persoalan kehidupan
mereka dengan cara yang baik dan benar menurut tradisi setempat) mereka
melalui fasilitas bahasa Jawa yang indah (sajak, sanjak dan diksi).
3. Faktor Estetika. Eksistensi pemakaian peribahasa Jawa yang mengandung
kearifan lokal, karena adanya tuntutan estetika (tuntutan keindahan
berbahasa) karena dalam pemakaian bahasa Jawa sering dibumbui dengan
ekspresi peribahasa Jawa dengan bahasa yang indah. Cara-cara seperti itu
sering diistilahkan dengan ngrengga basa menghias bahasa dan bahasanya
diistilahkan dengan basa rinengga bahasa yang dihias, bahasa yang dibuat
indah, bahasa indah, ragam literer, ragam sastra. Oleh karena itu, apabila
pemakai belum bisa mencapai derajat itu, maka secara estetik pemakai
dipahami belum memahami dan mencapai derajat memiliki kemampuan
berbahasa indah, durung Jawa belum bisa. Bagaikan dua sisi mata uang,
apabila berbahasa Jawa dituntut untuk mengingat patrap bahasa tubuh dan
pangucap bahasa lisan yang terukur dengan unggah-ungguhing basa Jawa
tingkat tutur bahasa Jawa. Apabila telah memenuhi tingkat tutur dan diksi
yang tepat maka keindahan peribahasa Jawa itu semakin mencapai derajat
estetik yang tinggi.
4. Faktor Etika. Di samping faktor budaya, bahasa, estetika tersebut, masyarakat
Jawa di Eks Karesidenan Surakarta masih mempertahankan eksistensi
pemakaian peribahasa Jawa yang mengandung kearifan lokal, karena adanya
tuntutan faktor etika (tuntutan kesantunan berbahasa).Pemakaian peribahasa
Jawa dihadirkan dengan harapan bisa memenuhi faktor etika komunikasi.
Misalnya karena alasan untuk menghindari konfrontasi langsung, maka kata
pemutusnya menggunakan peribahasa Jawa seperti ketika Prabowo (Capres
2014) mengungkapkan becik ketitik ala ketara yang baik akan nampak,
yang jahat akan terlihat untuk menerima keadaan bahwa dirinya merasa

61
didolimi saat hasil pemilu 2014 diumumkan oleh KPU. Prabowo tidak mau
memperpanjang persoalan, maka dia mengekspresikan peribahasa Jawa
tersebut guna menetralisir keadaan dan rasa. mengapa Prabowo
mengekspresikan peribahasa Jawa itu? Oleh karena leluhurnya sebagai etnis
Jawa, khususnya berasal dari Banyumas. Di samping itu, dia juga bermaksud
untuk tidak menuruti amarah, sehingga bisa menyinggung kelompok orang
yang berseberangan arah politik pada saat itu dengan kelompoknya.
5. Faktor Sosial. Eksistensi pemakaian peribahasa Jawa yang mengandung
kearifan lokal, karena adanya tuntutan faktor sosial (tuntutan kesantunan
berbahasa untuk menjaga kerukunan, kekompakan, gotong-royong, mong-
kinemong saling menjaga rasa hormat, ngajeni menghormati). Oleh
karena itu, pemakaian peribahasa Jawa menjadi penting bagi masyarakat
Jawa di Eks Karesidenan Surakarta untuk menjaga suasana masyarakat Jawa
yang mengedepankan kerukunan, kekompakan, gotong-royong, mong-
kinemong saling menjaga rasa hormat, ngajeni menghormati. Mengapa
demikian? Oleh karena mereka masih memiliki nilai-nilai kejawaan yang
didukung oleh bahasa yang indah (enak didengar sajaknya dan dirasakan
maknanya), menghindari suasana konfrontasi langsung (sehingga bahasanya
dikiaskan/ dimetaforiskan/ dibiaskan/ makna konotatif/perlambang),
keperluan tradisi (saat tertentu bahasa Jawa diekspresikan tidak sama dengan
bahasa Jawa sehari-hari) menuntut suasana yang membuat mereka
berkelompok dalam waktu yang tertentu bahkan berlama-lama, sehingga
salah satu pengikatnya adalah pemakaian bahasa Jawa yang menarik,
menyenangkan dan bernuansa indah itu (peribahasa Jawa).
6. Faktor Ekonomi. Eksistensi pemakaian peribahasa Jawa yang mengandung
kearifan lokal, karena adanya tuntutan faktor ekonomi (adanya tuntutan
nafkah keluarga dengan memaksimalkan kemampuan berbahasa Jawa untuk
melayani khalayak yang membutuhkan). Adanya individu atau kelompok
orang dengan motivasi yang terkait faktor ekonomi ini, di Eks Karesidenan
Surakarta nampak hidup dan menjanjian, terutama yang profesional
kemampuan berbahasa Jawa indah dan relasi terkait seremonial gelaran
upacara pengantin dengan tradisi Jawa. Profesi MC Jawa (pangendhali
wara, pamedhar sabda, paniti laksana, dsb.) ada yang menjalani sebagai
profesi inti setelah pensiun, profesi sampingan, atau sekedar menyediakan
diri apabila sanak keluarga meminta jasanya untuk ikut serta mengemas
suasana pelaksanaan gelaran pengantin atau yang lain terkait tradisi Jawa.
7. Faktor Politik. Eksistensi pemakaian peribahasa Jawa yang mengandung
kearifan lokal, karena adanya tuntutan faktor politik yang didukung oleh
faktor budaya, bahasa, estetik, etik, sosial (tuntutan kesantunan berbahasa
untuk menjaga suasana dingin, agar tercipta kerukunan, kekompakan,

62
gotong-royong, mong-kinemong saling menjaga rasa hormat, ngajeni
menghormati). Betapa pentingnya pemakaian bahasa yang bersifat
metaforis seperti peribahasa Jawa itu, karena bisa menghaluskan budi pekerti
dan membangun kerja sama dan jauh dari emosi dalam berbahasa. Seperti
kasus pemilu 2014 yang lalu telah dicontohkan oleh nasionalis Prabowo,
untuk menghindari kata-kata buruk yang dapat merusak suasana yang sedang
menghangat. Prabowo Subiyanto Djojohadikusuma (salah satu capres 2014)
menggunakan peribahasa Jawa. Misalnya ketika Prabowo mengungkapkan
becik ketitik ala ketara yang baik akan nampak, yang jahat akan terlihat
untuk bisa menerima keadaan, bahwa dirinya yang merasa didolimi pada
saat hasil pemilu 2014 diumumkan oleh KPU. Prabowo tidak mau
memperpanjang persoalan, maka dia mengekspresikan peribahasa Jawa
tersebut, agar menjadi kata putus atas perasaannya dan tetap bijaksana
sebagai seorang negarawan. Tidak mau ribut terus menerus yang akhirnya
merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
8. Faktor Geografis. Eksistensi pemakaian peribahasa Jawa yang mengandung
kearifan lokal karena adanya faktor geografis (tempat, ekologi). Ketika
faktor budaya, bahasa, estetik, etik, sosial menjadi pertimbangan penting
pada saat Prabowo mengungkapkan becik ketitik ala ketara yang baik akan
nampak, yang jahat akan terlihat untuk menerima keadaan bahwa dirinya
didolimi saat hasil pemilu 2014 diumumkan oleh KPU. Prabowo tidak mau
memperpanjang persoalan, maka dia mengekspresikan peribahasa Jawa
tersebut, karena pilihan peribahasa Jawa untuk orang atau pendengar yang
mayoritas Jawa, pesaingnya (capres yang lain Joko Widodo) dengan segala
pendukungnya yang mayoritas masyarakat Jawa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketika peribahasa Jawa itu digunakan sekiranya
pendengar atau yang mendengarkan tidak konteks dengan bahasa Jawa
berdiksi tinggi, maka peribahasa yang diinginkan diselaraskan dengan
lingkungan tempat yang ada.

C. Makna kultural peribahasa Jawa yang merangkum kearifan lokal


masyarakat di Eks Karesidenan Surakarta, meliputi berikut:
1. Peribahasa Jawa yang mencerminkan perilaku (watak) yang memberikan
spiritnasionalisme, misalnya peribahasa Jawa adus kringet mandi keringat
secara kultural mengilustrasikan semangat juang, kerja, sungguh-sungguh,
pantang menyerah, tidak mau berpangku tangan, gigih dalam mencapai cita-
cita dan mempertahankannya, serta tidak takut menderita dan menghadapi
cobaan. Oleh karena itu peribahasa Jawa tersebut dalam hubungannya
dengan semangat kebangsaan menjadi modal penting. Dengan semangat itu
bangsa Indonesia akan segera mencapai cita-citanya. Peribahasa Jawawani

63
mati berani mati secara historis dan nasionalistis menggambarkan
semangat para pahlawan Indonesia. Mereka berasal dari berbagai kalangan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu sangat diharapkan para generai penerus
dapat mewarisi jiwa berani mati dalam rangka membela bangsa dan negara
Indonesia.
2. Peribahasa Jawa yang mencerminkan perilaku (watak) menjadi penghalang
nasionalisme, misalnya peribahasa Jawa mbukak wadi membuka rahasia.
Ekspresi itu dari aspek intelejen dan rahasia negara menjadi persoalan serius,
karena perilaku membuka rahasia (negara, pemimpin negara, dsb.) akan
melemahkan strategi dan berbagai kepentingan bangsa Indonesia.
3. Nilai-nilai kehidupan lainnya yang terangkum dalam peribahasa Jawa
teraktualisasi dalam bentuk ragam literer (sastra) mengandung pesan moral
seperti berikut: (a) memperhalus budi pekerti, misalnya peribahasa Jawa
manis eseme senyumnya menggiurkan secara kultural merupakan potensi
karakter yang dapat memberikan modal berkomunikasi positif; momotatine
sabar/penyabar secara kultural mencerminkan kearifan hidup orang Jawa
yang memcerminkan suasana karakter jiwa besar. (b) Integritas, kekuatan
moral dan prinsip, misalnya wedi wirang takut malu sebagai bahasa sastra
yang dalam bahasa sehari-hari diekspresikan wedi isin takut malu dapat
menjadi spirit untuk membangun perilaku nasionalisme dan semangat
kebangsaan Indonesia. Pengalaman para pendahulu bangsa telah
menunjukkan bahwa wedi wirang sebagai bahasa sastra dapat memberikan
inspirasi dan spirit kekuatan mental untuk tidak berbuat ceroboh dan
nggegabah. (c) Mencerminkankondisi empiris masyarakat pendukungnya,
anatara lain (1) mencerminkan sifat jiwa besar, misalnya lobokatinelonggar
hatinya secara kultural mencerminkan kearifan lokal Jawa yang berguna
bagi semangat kebangsaan; (2) mencerminkan semangat untuk maju,
misalnya ngangsu kawruh menimba pengetahuanyang mengilustrasikan
untuk mau menimba pengetahuan; (3) mencerminkan sifat lembut dan
berbudi luhur, misalnya menang tanpa ngasorake menang dengan cara yang
baik/menghargai, menyelesaikan persoalan dengan cara yang damai, satu
dengan yang lain tanpa ada yang merasa dipermalukan, dikalahkan,
dihinakan, dan persepsi negatif yang lain; (4) menunjukkan sikap
menghindari suap harta dan wanita, misalnya aja kengguh mring krincinging
dhinar jangan tergiur terhadap gemerlapannya uang/harta, aja kengguh
mring klubuking mina jangan tergiur terhadap berkeloknya ikan, jangan
mengikuti para penjilat, jangan menuruti bisikan orang jahat, aja kengguh
mring klimising wentis kuningjangan tergiur terhadap mulusnya betis
(wanita); (5) menunjukkan nilai spiritualitas dan kesadaran berkorban,
misalnya jer basuki mawa beya mencapai kesuksesan perlu adanya biaya,

64
yen dibeciki liyan tulisen jroning watu jika diberi kebaikan tulislah dibatu,
yen mbeciki liyan tulisen jroning lebu apabila berbuat baik kepada orang
lain, janganlah selalu diingat; (6) menunjukkan optimisme hidup dan
berwawasan luas, misalnya jagad ora mung sagodhong kelordunia tidak
selebar daun kelor, (7) mencerminkan watak yang tidak bisa dipercaya dan
merugikan orang lain, misalnya lunyu ilate pembicaraannya kurang bisa
dipercaya, lain dibibir lain dihati, gedhe endhase besar kepala, sombong,
takabur secara metaforis kultural Jawa peribahasa Jawa tersebut
memberikan pesan bahwa seseorang yang memiliki otoritas atau kelebihan
menjadi sok atau menuruti kemauan diri sendiri, tidak menghargai orang
lain, (8) mencerminkan watak yang tidak perwira, misalnya mbukak wadi
membuka rahasia, rai gedhegtidak punya malu, ora katon dhadhane
tidak kelihatan dadanya, tidak kelihatan jiwa kesatrianya, (9) mencerminkan
watak sombong atas kelebihan yang dimiliki, misalnya adigang, adigung,
adigunamembanggakan kekuasaan, keluhuran dan kepandaian, asu gedhe
menang keraheorang besar selalu menang dalam pertengkaran/pengadilan,
(10) pengkhianatan, misalnya mbukak wadi membuka rahasia, mbuang
tilas membuang bekas, bukti, dokumen, (11) amoral, misalnya rai
gedhegtidak punya malu,

5. Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Faktor yang melatarbelakangipemakaian peribahasa Jawa masyarakat di Eks
Karesidenan Surakarta yang merangkum kearifan lokal antara lain (a) Faktor
budaya; (b) Faktor bahasa; (c) Faktor estetika; (d) Faktor etika; (e) Faktor
sosial; (f) Faktor ekonomi; (g) Faktor politik; dan (h) faktor geografis.
2) Masyarakat di eks karesidenan surakarta memakai peribahasa Jawa yang
merangkum kearifan lokal karena dipengaruhi juga oleh (a) Faktor budaya;
(b) Faktor bahasa; (c) Faktor estetika; (d) Faktor etika; (e) Faktor sosial; (f)
Faktor ekonomi; (g) Faktor politik; dan (h) faktor geografis.
3) Makna kultural peribahasa Jawa yang merangkum kearifan lokal masyarakat
di Eks Karesidenan Surakarta antara lain (a) Peribahasa Jawa yang
mencerminkan perilaku (watak) yang memberikan spirit nasionalisme; (b)
Peribahasa Jawa yang mencerminkan perilaku (watak) menjadi penghalang
nasionalisme; (c) Nilai-nilai kehidupan lainnya yang terangkum dalam
peribahasa Jawa teraktualisasi dalam bentuk ragam literer (sastra), menunjuk
pada makna (1) memperhalus budi pekerti, (2) integritas/kekuatan
moral/prinsip, (3) mencerminkan kondisi empiris masyarakat pendukungnya
(antara lain mencerminkan sifat jiwa besar, mencerminkan semangat juang
dan pantang menyerah, mencerminkan semangat untuk maju, mencerminkan

65
sifat lembut dan berbudi luhur, menunjukkan sikap menghindari suap harta
dan wanita, menunjukkan nilai spiritualitas dan kesadaran berkorban,
menunjukkan optimisme hidup dan berwawasan luas, mencerminkan watak
yang tidak bisa dipercaya dan merugikan orang lain, mencerminkan watak
yang tidak perwira, mencerminkan watak sombong atas kelebihan yang
dimiliki, mencerminkan perilaku nyata masyarakat di Eks Karesidenan
Surakarta, hubugan realistik dengan pahlawan (tokoh), hubungan filosofis,
sindiran (kritikan),pengkhianatan, amoral,

6. Daftar Pustaka
Clark, Herbert H and Eve V. Clark, 1977, Psychology and Language: An
Introduction to Psycholinguistics, N.Y. Harcourt, Brace Jovarovich.

Geertz, C., l98l, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta:
Pustaka Jaya.

Grijns, 1976, Beberapa Segi Dialektologi Umum, Tugu Bogor, P3B Depdikbud.

Koentjaraningrat, l967, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian


rakyat.

_____, l97l, Manusia dan Kebudayaan di indonesia, Jakarta: Djambatan.

_____, l977, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia.

Lexy J. Moleong, l989, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya.

Mahsun, 2005, Konsep Ruang dalam Bahasa mBojo dan Kaitannya dengan
Cara Pandang Masyarakat Penuturnya, dalam Linguistik Indonesia,
Pebruari 2005, Th ke-23, No.1.

Michael R. Dove, l985, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam


Modernisasi.

Niels Mulder, l984, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta:
Gramedia.

Nyoman Kutha Ratna, 2010, Sastra dan Cultural Studies, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

66
Rahyono, F.X., 2009, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta: Wedatama
Widyasastra.

Sri Spiyarno, dkk., 2010, Kearifan lokal orang Jawa yang tercermin dalam
peribahasa Jawa (kajian Etnolinguistik), Laporan Penelitian Dana
DIPA FSSR UNS, Surakarta:Fakutas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret.

Suharsini Arikunto, l993, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sutarjo, dkk., 2011, Aspek Stilistika dalam Peribahasa Jawa, Surakarta:


Fakutas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Sutopo, HB., 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas


Maret Press.

Wakit Abdullah, dkk., 2010, Kearifan Lokal Petani di Pesisir Selatan Kebumen
(Kajian Etnolinguistik), Laporan Penelitian Hibah Fundamental,
Surakarta: Fakutas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Wakit Abdullah,dkk., 2011. Bahasa Jawa dan Hubungannya dengan Perilaku


Orang Jawa di Kota Surakarta, Laporan Penelitian Hibah
Fundamental, Tahun I, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Wakit Abdullah,dkk., 2012. Bahasa Jawa dan Hubungannya dengan Perilaku


Orang Jawa di Kota Surakarta, Laporan Penelitian Hibah
Fundamental, Tahun II, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Wakit Abdullah, dkk., 2013, Kearifan lokal petani dan persepsinya terhadap
pekerjaan non-petani di kabupaten Ngawi (Kajian Etnolinguistik),
Laporan Penelitian Hibah Madya, Dana BOPTN UNS 2013, Surakarta:
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

67
LAMPIRAN

68

Anda mungkin juga menyukai