Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Disfagia atau kesulitan menelan merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
ronga mulut ke lambung.1 Disfagia merupakan kesulitan dalam memulai fase
inisiasi menelan atau merupakan sensasi dimana perjalanan makanan dan cairan
terhambat dari rongga mulut ke lambung. Manifestasi klinik yang sering
ditemukan adalah sensasi makanan yang tersangsunt di daerah leher atau dada
ketika menelan.2
Disfagia merupakan masalah yang sering ditemui, akan tetapi data
epidemiologi disfagia belum banyak dilaporkan. Disfagia dapat terjadi pada
semua kelompok usia akibat dari kelainan kongenital, kerusakan struktur,
dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah dalam menelan merupakan keluhan yang
umum didapat di antara orang berusia lanjut, dan insiden disfagia lebih tinggi
pada orang berusia lanjut dan pasien stroke. Sekitar 51-73% pasien dengan stroke
mengalami disfagia, yang merupakan faktor resiko bermakna berkembangnya
pneumonia. Oleh karenanya, deteksi dini dan pengobatan disfagia pada pasien
yang telah mengalami stroke adalah sangat penting.2, 3
Sebuah penelitian pada tahun 2011 di United Kingdom melaporkan
prevalensi disfagia sebesar 11% pada populasi umum. Kondisi ini terjadi pada 40-
70% pada pasien stroke, 60-80% pada pasien penyakit neurodegeneratif, dimana
13% terjadi pada usia diatas 65 tahun dan lebih dari 51% terjadi pada usia yang
lebih tua.3
Manifestasi klinik yang sering ditemukan ialah sensasi makanan yang
tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan. Lokasi rasa sumbatan di
daerah dada dapat menunjukkan kelainan di esofagus bagian torakal. Tetapi bila
sumbatan berada di leher, kelainannya terletak di faring atau esofagus bagian
servikal. Pembagian gejala dapat menjadi dua macam yaitu disfagia orofaring dan
disfagia esophagus. Gejala disfagia orofaringeal adalah kesulitan mencoba
menelan, tersedak atau menghirup air liur ke dalam paru-paru saat menelan, batuk
saat menelan, muntah cairan melalui hidung, bernapas saat menelan makanan,
suara lemah, dan berat badan menurun. Sedangkan gejala disfagia esofagus adalah
sensasi tekanan dalam dada tengah, sensasi makanan yang menempel di
tenggorokan atau dada, nyeri dada, nyeri menelan, rasa terbakar di dada yang
berlangsung kronis, belching, dan sakit tenggorokan. Disfagia dapat menjadi
ancaman serius bagi kesehatan dan dapat meningkatkan risiko terjadi aspirasi
pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan dan sumbatan jalan
napas.4 Maka dari itu, kemampuan mendiagnosis secara tepat dan cepat sangat
dibutuhkan. Selain melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang juga dibutuhkan untuk menentukan diagnosis dan penatalaksanaan
yang sesuai.
Referat ini dibuat dengan tujuan mengenal lebih dalam mengenai penegakan
diagnosis dan tatalaksana disfagia mengingat kasus yang terjadi cukup sering
dijumpai. Penegakan diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat diharapkan
dapat menghindari komplikasi yang mungkin terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Faring
Faring terletak di belakang cavum nasi, mulut, dan larynx. Faring
berbentuk mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah
cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai esofagus setinggi
C6. Faring mempunyai dinding muskulomembranosa yang tidak sempurna di
bagian depan. Jaringan muskulomembranosa diganti oleh apertura nasalis
posterior, isthmus faucium (muara ke dalam rongga mulut), dan aditus laring.
Dinding faring terdiri atas tiga lapis, yaitu mukosa, fibrosa, dan muskular.(1,2)

2.1.1.1 Otot-Otot Faring


Otot-otot faring terdiri atas m. kontriktor faring superior, medius, dan
inferior yang serabut-serabutnya berjalan hampir melingkar, dan m. stilofaring
serta m. salfingofaring yang serabut-serabutnya berjalan dengan arah hampir
longitudinal.(1,2) Kontraksi otot-otot konstriktor secara berturut-turut mendorong
bolus ke bawah masuk ke dalam esofagus.Serabut-serabut paling bawah m.
konstriktor faringitis inferior terkadang juga disebut m. krikofaring. Otot ini
diyakini melakukan efek sfingter pada ujung bawah faring, yang mencegah
masuknya udara ke dalam esofagus selama gerakan menelan.(3,4)

Gambar 1. Otot-otot Faring(3)


2.1.1.2 Bagian Faring
Untuk tujuan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring.

Gambar 2. Anatomi Faring(4)


Nasofaring
Terletak di rongga di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Bila
palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan seperti
waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai
atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.(3,4)
Atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis, terdapat
di dalam submukosa daerah ini. (3,4)
Dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus
pharyngeus adalah lubang di dasar nasopharynx di antara pinggir bebas palatum
molle dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan
orofaring tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior
faring ke depan. (1,2)
Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh apertura nasalis posterior dan
dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi.Dinding posterior nasofaring
membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini
ditunjang oleh arkus anterior atlantis. Dinding lateral nasofaring, pada tiap-tiap
sisinya memiliki muara tuba auditiva ke faring. Pinggir posterior tuba membentuk
elevasi tuba.M. salfingofaring yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk
lipatan vertical pada membrane mukosa yang disebut plica salfingofaring.
Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang
elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara
tuba auditiva disebut tonsila tubaria. (3,4)

Orofaring
Terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle sampai
ke pinggir atas epiglottis.Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior,
dinding posterior, dan dinding lateral. (3,4)
Atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus
pharyngeus.Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa
permukaan bawah palatum molle. (3,4)
Dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertical) dan
celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Membrana mukosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh
adanya jaringan limfoid dibawahnya, disebut tonsila linguae.Pada garis tengah
membrana mukosa terdapat elevasi yang disebut plica glossoepiglotica mediana
dan dua plica glosssoepiglottica lateralis.Lekukan kanan dan kiri plica
glossoepiglottica mediana disebut vallecula. (3,4)
Dinding anterior orofaring terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus
orofaring (isthmus faucium).dibawah isthmus ini terdapat pars faringeus linguae.
Dinding posterior orofaring disokong oleh corpus vertebrae C3. Pada kedua sisi
dinding lateral orofaring terdapat arkus palatoglossus dan arkus palatofaring
dengan tonsila palatina diantaranya. (3,,4)
Arkus palatoglossus adalah lipatan membrane mukosa yang menutupi m.
palatoglossus yang terdapat di bawahnya.Celah diantara kedua arkus
palatoglossus merupakan batas antara rongga mulut dan orofaring, disebut
isthmus faucium.Arkus palatofaring adalah lipatan membrane mukosa pada
dinding lateral orofaring, di belakang arkus palatoglossus. Lipatan ini menutupi
m. palatofaring yang ada di bawahnya. (3,4)
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding
lateral orofaring di antara arkus palatoglossus di depan dan arkus palatofaring di
belakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatine. (3,4

Laringofaring
Terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior larynx, dan
terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilago
cricoidea.Laringofaring memiliki dinding anterior, posterior, dan lateral. (3,4)
Dinding anterior dibentuk oleh aditus laring dan membrana mukosa yang
meliputi permukaan posterior laring.Dinding posterior disokong oleh corpus
vertebra C3 C6. Dinding lateral disokong oleh kartilago tiroid dan membrane
tyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa
piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. (1,2)
2.1.1.3 Persarafan Faring
Berasal dari plexus pharyngeus yang dibentuk oleh cabang-cabang n.
glossofaring, n. vagus, dan n. simpatik.3,4
Persarafan motorik berasal dari pars cranial nervus aksesorius, yang
berjalan melalui cabang n. vagus menuju ke plexus pharyngeus, dan mempersarafi
semua otot faring kecuali m. stilofaring yang dipersarafi oleh n.
glossopharyngeus.3,4
Persarafan sensorik membrana mukosa nasofaring terutama berasal dari n.
maksilaris.Membran mukosa orofaring terutama dipersarafi oleh n.
glossopharyngeus.Membrana mukosa disekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh
n. ramus laryngeus internus n. vagus.3,4

2.1.1.4 Perdarahan Faring


Suplai arteri faring berasal dari cabang-cabang a. faring ascendens, a.
palatina ascendens, a. facialis, a. maksilaris, dan a. lingualis.Vena bermuara ke
plexus venosus pharyngeus, yang kemudian bermuara ke V. jugularis interna. 3,4

2.1.1.5 Aliran Limfe Faring


Pembuluh-pembuluh limfe faring langsung menuju ke nodi lymphoidei
cervicales profundi atau tidak langsung melalui nodi retropharyngeales atau
paratracheales.3,4

2.1.2 Anatomi Esofagus


Esofagus adalah suatu organ berbentuk silindris berongga dengan panjang
sekitar 25 cm, terbentang dari hipofaring pada daerah pertemuan faring dan
esofagus(vertebra servikal 5-6) di bawah kartilago krikoid, kemudian melewati
diafragma melalui hiatus diafragma (vertebra torakal 10) hingga ke daerah
pertemuan esofagus dan lambung, lalu berakhir di orifisum kardia lambung
(vertebra torakal 11).5-7Esofagus memiliki diameter yang bervariasi tergantung
ada tidaknya bolus makanan atau cairan yang melewatinya. Diantara proses
menelan, esofagus ada pada keadaan kolaps, tetapi lumen esofagus dapat melebar
kurang lebih 2 cm di bagian anterior dan posterior serta ke 3 cm ke lateral untuk
memudahkan dalam proses menelan makanan.(gambar 3)

Gambar 3.Anatomi Esofagus 6

Esofagus dibagi menjadi 3 bagian yaitu, servikal, torakal dan


abdominal.7Esofagus servikal merupakan segmen yang pendek, dimulai dari
pertemuan faring dan esofagus menuju ke suprasternal notch sekitar 4-5 cm, di
bagian depannya dibatasi oleh trakea, belakang oleh vertebra dan di lateral
dibatasi oleh carotid sheaths dan kelenjar tiroid. Kemudian dilanjutkan esofagus
torakal yang memanjang dari suprasternal notch ke dalam hiatus diafragma. Pada
bagian torakal dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: esofagus torakal bagian
atas yang memanjang pada level margin superior dari manubrium sterni ke level
margin inferior dari percabangan trakea, esofagus torakal bagian tengah yang
memanjang dari level margin inferior percabangan trakea sampai dengan daerah
pertengahan antara percabangan trakea dan daerah pertemuan esofagus-lambung,
terakhir esofagus torakal bagian bawah yang memanjang dari daerah pertengahan
tersebut sampai level diafragma.7,8Esofagus abdominal memanjang dari hiatus
diafragma hingga ke orifisiumdari kardia lambung.(gambar 4)

Gambar 4. Pembagian esofagus.9

Pada esofagus terdapat 2 daerah bertekanan tinggi yang berfungsi untuk


mencegah terjadinya aliran balik dari makanan yaitu: sfingter esofagus atas dan
bawah.5,6Sfingter esofagus atas terletak diantara faring dan esofagus servikal dan
sfingter esofagus bawah terletak pada perbatasan antara esofagus dan
lambung.6Kedua sfingter tersebut selalu dalam keadaan tertutup kecuali saat ada
makanan yang melewatinya.Terdapat empat daerah penyempitan fisiologis
esofagus yaitu, sfingter esofagus atas, penyilangan dengan arkus aorta,
penyilangan dengan bronkus kiri dan sfingter esofagus bawah.6,8
Esofagus servikal dan sfingter esofagus atas mendapatkan suplai darah
dari cabang arteri tiroid inferior, sedangkan esofagus torakal mendapatkan suplai
darah dari sepasang arteri esofageal aorta atau cabang terminal dari arteri
bronkial. Esofagus abdominal dan daerah esofagus bagian bawah mendapatkan
suplai darah arteri gastrik kiri dan arteri phrenik kiri.6,7
Lapisan otot yang membentuk esofagus adalah serabut longitudinal di
bagian luar dan serabut sirkuler di bagian dalam. Serabut longitudinal melapisi
hampir keseluruhan bagian luar dari esofagus kecuali pada daerah 3-4 cm di
bawah kartilago krikoid, dimana serabut longitudinal bercabang menjadi 2 ke arah
depan dari esofagus dan melekat pada permukaan posterior kartilago krikoid
melalui tendon. Serabut longitudinal pada esofagus lebih tebal daripada serabut
sirkuler. Pada sepertiga atas esofagus, kedua lapisan otot tersebut adalah otot
bergaris, di bagian tengah adalah transisi dari otot bergaris ke otot polos, dan pada
sepertiga bawah keseluruhannya terdiri dari otot polos.Otot bergaris dan polos
pada esofagus terutama diinervasi oleh cabang dari nervus vagus.6-8

Mikroskopis
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan yaitu : mukosa, submukosa, lapisan
otot dan jaringan fibrous.5 Berbeda dengan daerah lain pada saluran pencernaan,
esofagus tidak memiliki lapisan serosa.5,9 Hal ini menyebabkan esofagus lebih
sensitif terhadap trauma mekanik.(gambar 5)

Mukosa
Mukosa esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu membran mukosa, lamina
propria dan mukosa muskularis. Membran mukosa dibentuk oleh epitel skuamous
bertingkat tidak berkeratinisasi yang merupakan kelanjutan dari epitel di faring
dan melapisi seluruh permukaan esofagus bagian dalam kecuali pada daerah
pertemuan esofagus dan lambung yang dibentuk oleh epitel skuamous dan
kolumnar.6,9Epitel pada esofagus memiliki fungsi utama untuk melindungi
jaringan di bawahnya.10 Lamina propria merupakan jaringan ikat yang terdiri dari
serat kolagen dan elastin serta pembuluh darah dan saraf. Mukosa muskularis
adalah lapisan tipis otot polos yang terdapat pada seluruh bagian esofagus,
semakin ke proksimal semakin tipis dan semakin ke distal semakin
tebal.6,9(gambar 5)
Submukosa
Submukosa esofagus menghubungkan membran mukosa dan lapisan muskularis
yang terdiri dari limfosit, sel plasma, sel-sel saraf (pleksus Meissners), jaringan
vaskular (pleksus Heller) dan kelenjar mukosa.Kelenjar mukosa ini menghasilkan
mukus untuk lubrikasi jalannya makanandidalam esofagus. Selain itu sekresi dari
kelenjar esofagus ini sangat penting untuk pembersihan dan pertahanan jaringan
terhadap asam. .6,9,11(gambar 5).

Muskularis propria
Lapisan ini memiliki fungsi motorik, terdiri dari otot longitudinal di bagian
luar dan sirkuler di bagian dalam. Pada esofagus bagian atas komposisinya
sebagian besar terdiri otot bergaris dan bagian bawah sebagian besar terdiri dari
otot polos.6,11 Di antaranya terdapat campuran dari kedua macam otot tersebut
yang disebut dengan zona transisi.(gambar 5)

Jaringan fibrous
Jaringan fibrous adalah jaringan yang melapisi esofagus dari luar dan
menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur di sekitarnya. Komposisinya
terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah kecil, saluran limfatik dan serabut-
serabutsaraf.6(gambar 5)

Gambar 5. Gambaran histologi mukosa esofagus.9


2. 2. Fisiologi Menelan
Menelan merupakan suatu aksi fisiologis kompleks ketika makanan atau
cairan berjalan dari mulut ke lambung. Menelan merupakan rangkaian gerakan
otot yang sangat terkoordinasi, dimulai dari pergerakan voluntar lidah dan
diselesaikan dengan serangkaian refleks dalam faring dan esofagus. Bagian aferen
refleks ini merupakan serabut-serabut yang terdapat dalam saraf V, IX, dan X.
Pusat menelan atau deglutisi terdapat pada medula oblongata. Di bawah
koordinasi pusat ini, impuls-impuls berjalan ke luar dalam rangkaian waktu yang
sempurna melalui saraf kranial V, X, danXII menuju ke otot-otot lidah, faring,
laring dan esofagus. Menelan merupakan suatu proses yang kontinyu, tetapi
terjadi dalam tiga fase yaitu oral, faringeal dan esofageal.
Pada fase oral, makanan yang telah dikunyah oleh mulut disebut bolus
didorong ke belakang mengenai dinding posterior faring oleh gerakan voluntar
lidah. Akibat yang timbul dari peristiwa ini adalah rangsangan gerakan refleks
menelan.6,12 Fase oral terjadi secara sadar. Kontraksi m.levator veli palatini
mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole
terangkat dan terangkat pula bagian atas dinding posterior faring (Passavants
ridge). Lidah terangkat ke atas sehingga bolus terdorong ke posterior. Bersamaan
dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli
palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus
fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan
tidak akan berbalik ke rongga mulut.4
Pada fase pharingeal, palatum mole dan uvula bergerak secara refleks
menutup rongga hidung. Pada saat yang sama, laring terangkat dan menutup
glottis mencegah makanan memasuki trakhea. Kontraksi otot konstriktor
faringeus mendorong bolus melewati epiglotis menuju ke faring bagian bawah
dan memasuki esofagus. Gerakan retroversi epiglotis di atas orifisium laring akan
melindungi saluran pernapasan sehingga mencegah makanan memasuki trakea.
Pernapasan secara serentak dihambat untuk mengurangi kemungkinan aspirasi.
Sebenarnya, hampir tidak mungkin secara voluntar menarik napas dan menelan
dalam waktu yang bersamaan.6,12
Fase esofageal merupakan fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung.4 Fase ini dimulai saat otot krikofaringues relaksasi sejenak dan
memungkinkan bolus memasuki esofagus. Setelah relaksasi yang singkat,
gelombang peristaltik primer yang dimulai dari faring dihantarkan ke otot
krikofaringeus, menyebabkan otot ini berkontraksi. Gelombang peristaltik terus
berjalan sepanjang esofagus, mendorong bolus menuju sfingter esofagus bagian
distal. Adanya bolus merelaksasikan otot sfingter distal ini sejenak sehingga
memungkinkan bolus masuk ke dalam lambung. Gelombang peristaltik primer
bergerak dengan kecepatan 2 sampai 4 cm/ detik, sehingga makanan yang tertelan
mencapai lambung dalam waktu 5 sampai 15 detik. Mulai setinggi arkus aorta,
timbul gelombang peristaltik sekunder apabilagelombang primer gagal
mengosongkan esofagus. Timbulnya gelombang ini dipacu oleh peregangan
esofagus oleh sisa partikel partikel makanan.6,12
Gelombang peristaltik primer penting untuk jalannya makanan dan cairan
melalui bagian atas esofagus, tetapi kurang penting pada esofagus bagian bawah.
Posisi berdiri tegak dan gaya gravitasi adalah faktor-faktor penting yang
mempermudah transport pada esofagus bagian bawah, tetapi adanya gerakan
peristaltik memungkinkan seseorang untuk minum air sambil berdiri terbalik
dengan kepala di bawah atau ketika berada di luar angkasa dengan gravitasi
nol.6,12
Sewaktu menelan terjadi perubahan tekanan dalam esofagus yang
mencerminkan fungsi motoriknya. Dalam keadaan istirahat, tekanan dalam
esofagus sedikit berada di bawah tekanan atmosfer, tekanan ini mencerminkan
tekanan intratorak. Daerah sfingter esofagus bagian atas dan bawah merupakan
daerah bertekanan tinggi. Daerah tekanan tinggi ini berfungsi untuk mencegah
aspirasi dan refluks isi lambung. Tekanan menurun bila masing-masing sfingter
relaksasi sewaktu menelan dan kemudian meningkat bila gelombang peristaltik
melewatinya.6,12
Terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa rangkaian gerakan kompleks
yang menyebabkan terjadinya proses menelan mungkin terganggu bila ada
sejumlah proses patologis. Proses ini dapat mengganggu transport makanan
maupun mencegah refluks lambung.12

Gambar 6. Fisiologi Menelan13

Gambar 7. Fisiologi menelan.4


2.3. Disfagia
2.3.1. Definisi
Disfagia atau kesulitan menelan merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
ronga mulut ke lambung.1
Disfagia merupakan kesulitan dalam memulai fase inisiasi menelan atau
merupakan sensasi dimana perjalanan makanan dan cairan terhambat dari rongga
mulut ke lambung. Manifestasi klinik yang sering ditemukan adalah sensasi
makanan yang tersangsunt di daerah leher atau dada ketika menelan.2

2.3.2. Epidemiologi
Disfagia merupakan masalah yang sering ditemui, akan tetapi data
epidemiologi disfagia belum banyak dilaporkan. Disfagia dapat terjadi pada
semua kelompok usia akibat dari kelainan kongenital, kerusakan struktur,
dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah dalam menelan merupakan keluhan yang
umum didapat di antara orang berusia lanjut, dan insiden disfagia lebih tinggi
pada orang berusia lanjut dan pasien stroke. Sekitar 51-73% pasien dengan stroke
mengalami disfagia, yang merupakan faktor resiko bermakna berkembangnya
pneumonia. Oleh karenanya, deteksi dini dan pengobatan disfagia pada pasien
yang telah mengalami stroke adalah sangat penting.2, 3
Sebuah penelitian pada tahun 2011 di United Kingdom melaporkan
prevalensi disfagia sebesar 11% pada populasi umum. Kondisi ini terjadi pada 40-
70% pada pasien stroke, 60-80% pada pasien penyakit neurodegeneratif, dimana
13% terjadi pada usia diatas 65 tahun dan lebih dari 51% terjadi pada usia yang
lebih tua.3
2.3.3. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi1 :
1. Disfagia mekanik, timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus.
Penyebab : sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing,
peradangan mukosa esofagus, striktur lumen esofagus, penekanana
esofagus dari luar, a.subklavia yang abnormal ( disfagia lusoria ).
2. Disfagia motorik, timbul bila terjadi kelainan neuromuskular yang
berperan dalam proses menelan ( N.V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII ).
Penyebab : akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan
skleroderma esofagus.
3. Disfagia oleh gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat dikenal
sebagai globus histerikus.

Berdasarkan fase letaknya1 :


1. Fase orofaringeal: penyakit serebrovaskular, miastenia gravis, kelainan
muskular, tumor, divertikulum Zenker, gangguan motilitas/sfingter
esofagus atas.
2. Fase esofageal: inflamasi, striktur esofagus, tumor, ring/web, penekanan
dari luar esofagus, akalasia, spasme esofagus difus, skleroderma.

2.3.4. Patofisiologi
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu:1
a. Ukuran bolus makanan
b. Diameter lumen esofagus yang dilalui bolus
c. Kontraksi peristaltik esofagus
d. Fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah
e. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuskular
mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring
dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus, serta persarafan intrinsik otot-otot
esofagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan lancar.
Kerusakan pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen
orofaring, otot lurik esofagus, dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karna otot
lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti
motor n. vagus, maka aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada kelainan di
otak. Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat perenggangan
langsung dinding esofagus.1

2.3.5. Klasifikasi
Disfagia diklasifikasikan menjadi 2 klsaifikasi yaitu berdasarkan penyebabbnya
dan berdasarkan lokasinya. Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas:
a. Disfagia mekanik
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus.
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh massa
tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan mukosa esofagus,
striktur lumen esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar,
misalnya pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening di
mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta.
Letak arteri subklavia dekstra yang abnormal dapat menyebabkan disfagia
yang disebut disfagia Lusoria. Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan
lumen esofagus. Pada keadaan normal lumen esofagus orang dewasa dapat
meregang sampai 4 cm. Keluhan disfagia mulai timbul bila dilatasi ini tidak
mencapai diameter 2,5 cm.13,14

b. Disfagia motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan
saraf otak n. V, n. VII, n. IX, n. X dan n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah,
serta gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia.13,14
Kelainan otot polos esofagus yang dipersarafi oleh komponen
parasimpatik nervus vagus dan neuron nonkolinergik pasca ganglion (post
ganglionic noncholinergic) di dalam ganglion mienterik akan menyebabkan
gangguan kontraksi dinding esofagus dan relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah, sehingga dapat timbul keluhan disfagia. Penyebab utama dari disfagia
motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan
skleroderma esofagus.13,14

c. Disfagia oleh gangguan emosi


Selain disfagia mekanik dan motorik, keluhan disfagia juga dapat timbul
bila terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal
sebagai globus histerikus.13,14

Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas:


a. Disfagia orofaringeal
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring
ke dalam esofagus, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal dari bagian proksimal
saluran cernake esofagus. Disfagia ini dapat disebabkan oleh stroke, penyakit
Parkinson, kelainan neurologis, oculopharyngeal muscular dystrophy,
menurunnya aliran air liur, xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral,
obstruksi mekanik (keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esofagus
bagian atas, radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang,
antihistamin).15
Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, ketidakmampuan untuk
mengenali makanan, kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut,
ketidakmampuan untuk mengontrol makanan dan air liur di dalam mulut,
kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan tersedak saat menelan, penurunan
berat badan akibat perubahan kebiasaan makan, pneumonia berulang, perubahan
suara (suara basah), regurgitasi nasal, dan aspirasitrakeadiikuti olehbatuk.15
b. Disfagia esofageal
Disfagiaesofagealadalah kesulitantransportasimakanan menujukeesofagus.
Hal ini diakibatkan baik olehgangguanmotilitasataupunobstruksi mekanis.
Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter esofagus
bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh striktur esofagus,
keganasan esofagus, esophageal rings and webs, akalasia, skleroderma, kelainan
motilitas spastik termasuk spasme esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus
non spesifik.15
Makanan biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan dan akan berada
setinggi suprasternal notch atau di belakang sternum sebagai lokasi obstruksi.
Bila terdapat disfagia makanan padat dan cair, kemungkinan besar merupakan
suatu masalah motilitas. Bila pada awalnya pasien mengalami disfagia makanan
padat, tetapi selanjutnya disertai disfagia makanan cair, maka kemungkinan besar
merupakan suatu obstruksi mekanik.15
Setelah dapat dibedakan antara masalah motilitas dan obstruksi mekanik,
penting untuk memperhatikan apakah disfagia tersebut sementara atau progresif.
Disfagia motilitas sementara dapat disebabkan spasme esofagus difus atau
kelainan motilitas esofagus nonspesifik. Disfagia motilitas progresif dapat
disebabkan skleroderma atau akalasia dengan rasa panas di daerah ulu hati yang
kronis, regurgitasi, masalah respirasi, atau penurunan berat badan. Disfagia
mekanik sementara dapat disebabkan esophageal ring dan disfagia mekanik
progresif dapat disebabkan oleh striktur esofagus atau keganasan esofagus.15

2.3.6. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik yang sering ditemukan ialah sensasi makanan yang
tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan. Lokasi rasa sumbatan di
daerah dada dapat menunjukkan kelainan di esofagus bagian torakal. Tetapi bila
sumbatan berada di leher, kelainannya terletak di faring atau esofagus bagian
servikal. Pembagian gejala dapat menjadi dua macam yaitu disfagia orofaring dan
disfagia esophagus. Gejala disfagia orofaringeal adalah kesulitan mencoba
menelan, tersedak atau menghirup air liur ke dalam paru-paru saat menelan, batuk
saat menelan, muntah cairan melalui hidung, bernapas saat menelan makanan,
suara lemah, dan berat badan menurun. Sedangkan gejala disfagia esofagus adalah
sensasi tekanan dalam dada tengah, sensasi makanan yang menempel di
tenggorokan atau dada, nyeri dada, nyeri menelan, rasa terbakar di dada yang
berlangsung kronis, belching, dan sakit tenggorokan.
Keluhan sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan
atau penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan Ini akan timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
rongga mulut ke lambung. Disfagia dapat disertai dengan keluhan lainnya, seperti
odinofagia (rasa nyeri waktu menelan), rasa panas di dada, rasa mual, muntah,
regurgitasi. hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi, batuk dan berat badan
yang cepat berkurang. Manifestasi klinik yang paling sering ditemukan ialah
sensasi makanan yang tersangkut di daerah leher atau dada ketikamenelan.1
Dari riwayat penyakit dapat didapatkan beberapa informasi yang dapat
membantu penegakan diagnosis, jenis makanan dapat menjelaskan jenis disfagia
yang terjadi.Pada disfagia mekanik, sulit menelan terjadi pada makanan-makanan
yang padat, makanan tersebut kadang perlu dibantu dengan air untuk menelan,
bila keadaan ini terjadi semakin parah, perlu dicurigai adanya keganasan atau
kanker.Sebaliknya pada disfagia motorik keluhan sulit menelan terjadi pada
makanan padat dan makanan cair.Disfagia yang hilang dalam beberapa hari atau
seminggu dapat disebabkan oleh peradangan pada rongga esofagus. Dari
pemeriksaan fisik dapat dilihat adanya massa pada leher atau pembesaran kelenjar
limfa yang dapat menekan esofagus. Pada pemeriksaan rongga mulut, dapat
dilihat adanya peradangan atau pembesaran tonsil.
Dampak yang timbul akibat ketidak normalan fase oral antara lain:1
1. Keluar air liur (drooling = sialorrhea) yang disebabkan gangguan sensori dan
motorik pada lidah. bibir danwajah,
2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat disebabkan
oleh defisiensi sensori pada rongga mulut dan atau gangguan motoriklidah,
3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan meningkatkan
sensitivitas gigi temadap panas, dingin dan rasamanis,
4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung dari
saraf cranial,
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidaksunggupan memanipulasibolus.
6. Gangguan mendorong bolus kefaring,
Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena gangguan
motorik dari fungsi lidah sehinggacairan akan masuk ke faring sebelum
refleks menelan muncul,
7. Rasa tereedak (choking) oleh batuk (coughing) pada saat fasefaring.

Dampak ketidaknormalan pada fase faringeal adalah choking, coughing, dan


aspirasi. Hal ini dapat terjadi bila:1
1. Refleks menelan gagal teraktivitas sehingga fase faring tidak berlangsung.
Terjadi akibat gangguan neurologi pada pusat proses menelan di medula atau
saraf kranial sehingga terjadi ketidakstabilan saat menelan ludah dan timbul
pengeluaran air liur serta penumpukan sekret.
2. Refleks menelan terlambat, sehingga dapat terjadi aspirasi sebelum proses
menelandimulai
3. Proteksi laring tidak adekuat akibat recurrent laryngeal palsy, efek operasi
pada struktur orofaring, adanya pipa trakeostomi yang membatasi
elevasi
laring, refleks batuk dan batuk volunter lemah atau tidak ada.
4. Silent aspiration yaitu aspirasi yang tidak di sadari tanpa gejala batuk yang
terjadi karena hilangnya/penurunan sensasi secara umum pada daerah
tersebut timbul karena hilangnya/ penurunan sensasi dilaring. Penyebab dari
hilangnya sensasi secara umum pada daerah tersbut timbul karena kelainan
neurologi seperti penyakit vaskuler dan CVA (cerebrovascular accident),
multipel sklerosis, penyakit parkinson atau terjadinya jaringan parut pasca
operasi. Refleks batuk tidak muncul untuk membersihkan pita suara dari
masuknya bahan/materi ke salurannafas.
5. Peristaltik faring yang lemah atau tidak timbul mengakibatkan aspirasi
setelah proses menelan berlangsung karena residu atau sisa makanan yang
menetap dapat masuk kedalam saluran nafas yang terbuka. Hal ini
berhubungan dengan penyakit neurologi baik sentral maupun perifer dan
jaringan parut pasca operasi. Peristaltik ang lemah dapat pula terjadi pada
usiatua.
6. Sfingter krikofaring gagal berelaksasi. Aspirasi dapat terjadi karena
penumpukan bahan/makanan pada sfingter yang tertutup sehingga dapat
masuk kejalan nafas sedang mulaiterbuka.

2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis. dipadukan anamnesis cermat untuk
menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan timbulnya
disfagia. Riwayat neurologik yang mungkin berhubungan dengan beberapa
penyakit yang dapat menyebabkan disfagia seperti multipel sklerosis, stroke, serta
penyakit Parkinson dan Alzheimer harus ditanyakan. Selain itu jenis makanan
yang menyebabkan timbulnya disfagia dapat memberikan informasi kelainan yang
terjadi. Pada disfagia mekanik, mula-mula kesulitan menelan hanya terjadi pada
waktu menelan makanan padat. Bolus makanan tersebut kadang-kadang perlu
didorong dengan air dan pada sumbatan yang lebih lanjut cairan pun akan sulit
ditelan. Bila sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan, maka
harus dicurigai kemungkinan adanya proses keganasan di esofagus. Sebaliknya
pada disfagia motorik, yaitu pada pasien akalasia dan spasme difus esofagus,
keluhan sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi dalam waktu yang
bersamaan.
Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari dapat
disebabkan karena adanya peradangan di esofagus. Disfagia yang terjadi dalam
beberapa bulan dengan penurunan berat badan yang cepat dicurigai adanya
keganasan di esofagus. Bila disfagia ini berlangsung bertahun-tahun untuk
makanan padat perlu dipikirkan adanya kelainan yang bersifat jinak atau di
esofagus bagian distal (lower esophageal muscular ring). Lokasi rasa sumbatan di
daerah dada dapat menunjukkan kelainan esofagus bagian torakal, tetapi bila
sumbatan terasa di leher. maka kelainannya dapat terjadi di faring atau esofagus
bagian servikal. Gejala lain yang menyertai disfagia yaitu seperti masuknya cairan
ke .dalam hidung ketika sedang minum menandakan adanya kelumpuhan otot-
otot faring.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada daerah leher
untuk melihat dan meraba adanya massa tumor atau pembesaran kelanjar limfa
yang dapat menekan esofagus. Hal tersebut penting untuk menentukan penyebab
akibat mekanik ataupun lainnya. Daerah rongga mulut perlu diteliti apakah ada
tanda-tanda peradangan pada orofaring dan tonsil selain adanya massa tumor yang
dapat mengganggu proses menelan. Selain itu perlu juga diteliti adanya
kelumpuhan otot-otot lidah dan arkus faring yang disebabkan oleh gangguan
dipusat menelan maupun pada saraf otak n.V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII.
Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan inspeksi intraoral untuk melihat
lesi, sisa makanan, atau kelainan struktural. Palpasi dengan sarung tangan pada
dasar mulut, gusi, fosa tonsiler, bahkan lidah, untuk menyingkirkan adanya tumor.
Adanya atrofi, kelemahan, dan fasikulasi lidah dicatat. Kekuatan lidah bisa diukur
dengan menempatkan jari pada pipi bagian luar dan menahan lidah penderita yang
diminta untuk menekan pipi dari dalam. Selain itu palatum diinspeksi untuk
melihat posisi simetris pada saat istirahat dan saat fonasi. Setiap sisi palatum
distimulasi untuk menimbulkan refleks muntah, sambil memperhatikan apakah
palatum mole dan dinding faring berkontraksi secara simetris. Adanya refleks
primitif (sucking, biting, dan snout) perlu dicatat. Terdapatnya refleks-refleks ini
pada orang dewasa mengindikasikan adanya kerusakan pada kedua hemisfer atau
lobus frontalis yang menyebabkan kelemahan oral motor control. Pembesaran
jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri dan pembesaran kelenjar
limfa mediastinum juga dapat menyebabkan keluhan disfagia.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah:

1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan penunjang foto polos esofagus dan yang memakai zat
kontras, dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan pada esofagus.
Pemeriksaan ini tidak invasif. Dengan pemeriksaan fluoroskopi dapat dilihat
kelenturan dinding esofagus, adanya gangguan peristaltik, penekanan lumen
esofagus dari luar, isi lumen esofagus dan kadang-kadang kelainan mukosa
esofagus. Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan karsinoma
stadium dini. Untuk memperlihatkan adanya gangguan motilitas esofagus
dibuat cine-film atau video tapenya. Pemeriksaan Tomogram dan CT scan
dapat mengevaluasi bentuk esofagus dan jaringan di sekitarnya.
MRI(Magnetic Resonance Imaging) dapat membantu melihat kelainan di otak
yang menyebabkan disfagia motorik.
2. Esofagoskopi
Tujuan dilakukan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat secara
langsung isi lumen esofagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat
esofagoskop yang kaku (rigid sophagoscope) atau yang lentur (flexible
fiberoptic esophagoscope). Oleh karena pemeriksaan ini bersifat invasif, maka
diperlukan persiapan yang baik. Dapat didilakukan dengan analgesia (lokal
atau anastesia umum). Untuk menghindari komplikasi yang mungkin timbul
perlu diperhatikan indikasi dan kontraindikasi tindakan. Persiapan pasien,
operator, peralatan dan ruang pemeriksaan perlu dilakukan. Risiko dari
tindakan, seperti perdarahan dan perforasi pasca biopsi harus
dipertimbangkan.1

3. Pemeriksaan manometrik
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik
esofagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan
sfingter esofagus dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif maupun
kuantitatif.

2.3.8 Diagnosis Banding


Disfagia memiliki beberapa diagnosis banding, beberapa diantaranya yang
sering ditemukan yaitu esofagitis dan striktur peptikum, karsinoma esofagus,
dismotilitas esofagus dan kanker pada kardia gaster. Sedangkan diagnosis
banding yang jarang ditemukan yaitu spasme esofagus difus. Akalasia merupakan
diagnosis banding yang sangat jarang ditemukan.

Tabel 1. Diagnosis Banding Disfagia17


.
Sering
Esofagitis dan striktur peptikum
Karsinoma esofagus
Dismotilitas esofagus
Kanker pada kardia gaster

Jarang
Spasme esoagus difus

Sangat Jarang
Akalasia

Berikut penjelasan mengenai beberapa diagnosis banding disfagia:


1. Karsinoma
Riwayat perjalanan penyakit progresif
Massa solid
Penurunan berat badan
Striktur panjang dengan lesi buah apel apple-core lesion
Biasanya mengenai 1/3 bawah
Berasal dari esofagus atau gaster
2. Striktur peptikum
Berhubungan dengan gejala refluks
Penyebab utama: striktur jinak
Penyebab lain: setelah menelan bahan yang bersifat korosif, setelah
radioterapi
3. Disfagia Neuromuskular
Disfagia mekanik akibat gangguan neuromuskular dapat
dikarenakan karena adanya lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan
saraf otak n.V, n.VII, nIX, n.X, dan n.XII. Kelainan otot polos esofagus
yang dipersarafi oleh komponen parasimpatik n. Vagus dan neuron
nonkolinergik pasca ganglion (post ganglionic noncholinergic) di dalam
ganglion mienterik akan menyebabkan gangguan kontraksi dinding
esofagus dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah, sehingga dapat
timbul keluhan disfagia.
4. Kompresi Ekstrinsik
Beberapa penyebab kompresi ekstrinsik yaitu pembesaran kelenjar
timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening di mediastinum, pembesaran
jantung, dan elongasi aorta.
5. Penyakit Sistemik
Skleroderma: sering berhubungan dengan refluks yang berat
Dermatomiosis
Kelainan jaringan ikat, terutama bila disertai fenomena Raynaud.
6. Akalasia
Jarang, 1 dalam 100.000
Idiopatik
Riwayat disfagia intermiten jangka panjang
Kadang-kadang spasme esofagus menyebabkan nyeri dada yang hebat

2.3.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan disfagia orofaring bertujuan untuk menghilangkan
aspirasi atau memperbaiki proses menelan yang tidak efisien. Modalitas terapi
yang dipilih antara lain modifikasi diet, pengalihan rute pemberian makanan
dengan Nasogastric Tube (NGT), infus, penggunaan prostetik dalam rongga
mulut, atau intervensi operatif.3
Berikut beberapa penatalaksanaan disfagia berdasarkan penyebabnya:5
1. Striktur Peptikum: striktur yang berhubungan dengan refluks esofagus
kadang-kadang membutuhkan dilatasi endoskopik. Rekurensi mungkin bisa
dikurangi dengan inhibitor pompa proton.
2. Akalasia: penatalaksanaan alkalasia bisa dengan beberapa cara. Injeksi
botulinum endoskopik ke sfingter esofagus bawah relative aman, namun
hanya sedikit mengurangi gejala.
3. Disfagia neuromuskular: seperti yang ditemukan pada penyakit
serebrovaskular, miastenia gravis dan lain-lain. Penatalaksanaannya sesuai
penyebab. Apabila penyebab tidak dapat diterapi, bisa dipasang PEG
(Percutanous enterogastrostomy).
4. Penyakit sistemik seperti pada skleroderma, harus diberikan inhibitor poma
proton dosis tinggi.

Dapat juga diberikan penanganan disfagia melalui pembedahan, pada teknik ini
dapat menggunakan metode sebagai berikut:
- Pembedahan gastrostomy
Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan
laparotomy dengan anestesi umum ataupun lokal.
- Cricofaringeal myotomy
Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan unutk
mengurangi tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES) dengan
mengincisi komponen otot utama dari PES.
Injeksi botulinum toxin kedalam PES telah diperkenalkan sebagai ganti
dari CPM.

Selain itu juga dapat diberikan penanganan rehabilitasi pada penderita


disfagia. Terdapat beberapa cara penanganan rehabilitasi penderita disfagia, yaitu:
teknik postural, modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan, modifikasi
diet, com-pensatory swallowing maneuver, teknik untuk memperbaiki oral
sensory aware-ness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan penyesuaian peralatan
yang digunakan.18
1. Teknik postural
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan
tubuh dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia.
Sebaiknya terapis harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan
fisiologik yang dialami penderita sebelum menentukan postur yang tepat.
Beberapa teknik postural yang di-gunakan yaitu: chin down atau chin tuck,
chin up, head rotation, head tilt, dan lying down.

2. Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan


Pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal,
bolus yang besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang
mengalami gangguan fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan
untuk setiap bolus. Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan
terlalu cepat akan menyebabkan terkum-pulnya bolus di dalam laring dan
menye-babkan aspirasi sedangkan pemberian makanan dalam jumlah sedikit
dan secara lambat akan mengurangi terjadinya aspirasi.
3. Modifikasi diet
Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih
mudah menyebabkan aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring
sebelum terjadinya refleks menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan
padat lunak lebih aman karena kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring
lebih kecil. Selain itu, bolus yang lebih kental meningkatkan pergerakan lidah
dan membantu mempercepat terjadinya inisiasi fase faringeal. Rekomendasi
lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi pemberian lebih
sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan diberikan
dalam jumlah sedikit, sampai 1 sendok teh setiap kali menelan. Penderita
juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila menggunakan makanan
kental, makanan dengan kekentalan seperti madu yang dapat dijadikan pilihan.
4. Compensatory swallowing maneuver
Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari proses
menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi:
a. Effortful swallow: bertujuan mem-perbaiki gerakan dasar lidah ke arah
posterior selama fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan
menggerakan lidah ke arah posterior secara kuat untuk membantu
perjalanan bolus melewati rongga faring.
b. Supraglotic swallow: bertujuan menutup pita suara sebelum dan selama
proses menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi. Makanan atau
minuman di tempatkan dalam mulut, penderita diminta untuk menarik
napas dalam kemudian ditahan, lalu penderita menelan 1-2 kali sambil
tetap menahan napas, dan batuk dengan segera setelah menelan.
c. Super-supraglotic swallow: dirancang untuk menutup pintu masuk jalan
napas secara volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid ke anterior,
ke bagian dasar dari epiglotis sebelum dan selama proses menelan serta
menutup erat pita suara palsu.
d. Mandehlson maneuever: penderita diminta untuk merasakan adanya
sesuatu bergerak pada bagian dalam lehernya saat menelan, kemudian
melakukan proses menelan kembali (menggunakan dry swallow atau
dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk menahan gerakan tadi selama 3-5
detik, kemudian menelan dan rileks.
5. Teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness
Terdapat beberapa jenis teknik yang meliputi:
a. Menekan sendok ke arah bawah melawan lidah saat pemberian makanan
ke dalam mulut.
b. Memberikan bolus dengan karakteristik sensorik tertentu, seperti bolus
dingin, bolus dengan tekstur tertentu, atau bolus dengan rasa yang kuat
seperti jus lemon
c. Memberikan bolus yang harus dikunyah sehingga proses mengunyah
tersebut akan memberikan stimulasi oral.
d. Memberikan volume bolus yang besar.
e. Thermal tactile stimulation (TTS) dengan melakukan gerakan stroking
pada arkus faringeus anterior. Stroking dilakukan menggunakan kaca
laring berukuran 00 (telah dimasukan dalan es selama 10 detik) pada
arkus faringeus anterior dari bagian dasar ke arah atas sejauh yang bisa
dijangkau. Terapi ini diangap bisa memberikan stimulus sensorik ke
batang otak dan korteks sehingga saat penderita sudah mulai fase oral,
maka fase faringeal akan terpicu lebih cepat.
6. Stimulasi elektrikal
Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan
memberikan stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang
ditempatkan di atas otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan
stimulasi listrik ini menunjukkan bahwa NMES merupakan alternatif terapi yang
efektif dan aman untuk penderita disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak.
Penggunaan NMES ini efektif pada disfagia akibat penyakit tertentu seperti
stroke, kanker pada kepala dan leher, serta multipel sklerosis.

2.3.10 Komplikasi
Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan dapat
meningkatkan risiko terjadi aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, penurunan
berat badan dan sumbatan jalan napas. Selain itu, penderita disfagia akan
mengalami kesulitan menelan makanan sehingga suplai nutrisi yang dibutuhkan
tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan cairan berkurang.
Dampak lanjut akan mengalami defisiensi zat gizi dan tubuh mengalami gangguan
metabolisme.
Salah satu resiko yang paling serius adalah aspirasi pneumonia terutama
dapat terjadi pada setiap kelainan yang mengenai organ yang berperan pada fase
oral dan fase faringal dan gangguan pertahanan paru. Hiegene mulut yang buruk
juga berperan dalam terjadinya aspirasi pneumonia karena sekresi mulut
mengandung bakteri anaerob yang ikut teraspirasi bersama dengan makanan. Hal
ini sering terjadi pada pasien dengan usia lanjut karena fungsi menelan yang
menurun.1,4
2.3.11 Prognosis
Gangguan menelan yang diakibatkan oleh stroke atau traumatic brain
injury memiliki potensi untuk pulih. Mann et al. mendapatkan bahwa sekitar 87%
penderita stroke kembali ke diet semula setelah 6 bulan, tetapi hasil
videofluroskopi menun-jukkan terdapat 51% penderita yang tetap menunjukkan
adanya gangguan pada proses menelan. Penderita dengan kondisi yang statis atau
progresif seperti amyo-thropic lateral sclerosis, multipel sklerosis, muskular
distrofik, dan Parkinsonisme harus dievaluasi secara periodik, dengan
mempertimbangkann pemberian nonoral feeding18
BAB III
KESIMPULAN

Disfagia atau kesulitan menelan merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
ronga mulut ke lambung. Manifestasi klinik yang sering ditemukan adalah sensasi
1
makanan yang tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan. Disfagia
dapat terjadi pada semua rentang usia, namun resiko meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Disfagia diklasifikasikan menjadi dua yaitu berdasarkan
penyebabnya dan berdasarkan lokasinya. Berdasarkan penyebabnya difagia di
bagi menjadi disfagia mekanik, disfagia motorik dan disfagia oleh gangguan
emosi.
Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis cermat untuk
menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan timbulnya
disfagia.Manifestasi klinis disfagia yang sering ditemukan ialah sensasi makanan
yang tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan. Disfagia dapat juga
disertai dengan keluhan seperti odinofagia, rasa panas di dada, mual, muntah,
regurgitasi, hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi, batuk, dan berat badan
yang cepat berkurang.Pada disfagia mekanik, mula-mula kesulitan menelan hanya
terjadi pada waktu menelan makanan padat.Sebaliknya pada disfagia motorik,
keluhan sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi dalam waktu yang
bersamaan.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan pembesaran kelenjar limfe
dan pemeriksaan intraoral. Selain itu, diperlukan juga pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan radiologi, esofagoskopi, dan pemeriksaan manometrik.
Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan dapat
meningkatkan risiko terjadi aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi, penurunan
berat badan dan sumbatan jalan napas. Diagnosis dan penatalaksanaan disfagia
harus dilakukan dengan tepat untuk mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA. Disfagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,


Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI; 2007. H. 276-302.
2. Jalil AA, Katzka DA, Castell DO. 2015. Approach to the Patient with
Dysphagia. The American Journal of Medicine.Vol 128: 1138-1145.
3. Malagelada J, Bazolli F, Boeckxstaens G, Looze DD, Fried M, Kahrilas P, et
al. 2014. Dysphagia Global Guidelines & Cascades. World Gastroenterology
Organisation Global Guidelines. H. 1-22.
4. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta: EGC.
5. Soepardi Arsyad E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti Dwi R. 2012. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala& Leher. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai