Anda di halaman 1dari 10

Tokoh-tokoh dari Andalusia

Sejarah mencatat bahwa penyebaran Islam sejak zaman Rasulullah


hingga pasca Khulafaur Rasyidin berkembang pesat. Pada masa
Dinasti Umayah, Islam sudah menguasai sebagian besar wilayah
Andalusia (sekarang Spanyol). Thoriq bin Ziyad adalah seorang
mujahid yang dikenal pada peristiwa penaklukan itu. Hingga kini
namanya diabadikan sebagai nama sebuah bukit karang di wilayah
tersebut "Jabbal Thoriq" atau dikenal sebagai Jibraltar. Kalau
sempat kita lihat peta dunia maka nama itupun juga digunakan
sebagai nama selat diantara benua Afrika dan Eropa. Nama
lengkapnya Thoriq bin Ziyad bin Abdullah bin Walgho bin Walfajun
bin Niber Ghosin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau As-Shodafi. Ia
berasal dari garis keturunan Ash-Shodaf yang secara turun-temurun
bermukim di Al-Atlas, sebuah desa yang subur dan terletak di antara
perbukitan. Suku Ash Shodaf terkenal ulet, pemberani, kuat dan
tangguh.

Sebelum penaklukan oleh pasukan Islam, keadaan Spanyol sungguh


memprihatinkan. Sejak tahun 597 M, saat negeri itu dikuasai bangsa
Gotic dari Jerman dengan penguasanya yang terakhir Raja
Roderick, negeri ini bertambah kacau. Di bawah kekuasaan raja
yang dzalim itu masyarakat terbagi dalam beberapa kelas. Kelas
pertama terdiri dari para keluarga raja, bangsawan, orang kaya,
tuan tanah dan penguasa wilayah. Mereka hidup bergelimang
kemewahan, berfoya-foya dan mengumbar nafsu kebinatangan.
Kelas ke dua terdiri dari para pendeta. Merekalah sebenarnya yang
bertanggung jawab atas kehancuran negeri. Mereka menjilat para
penguasa dan menginjak-injak rakyat. Kelas ke tiga terdiri dari para
pegawai negeri, yaitu pengawal, penjaga istana dan pegawai kantor
pemerintahan. Mereka hidup pas-pasan dan seringkali dijadikan alat
para penguasa untuk memeras rakyat. Kelas ke empat terdiri dari
buruh tani, serdadu berpangkat rendah, pelayan dan budak. Kelas
paling rendah inilah yang paling menderita hidupnya.

Rakyat sangat menderita terutama kelas bawah. Mereka selalu


menjadi korban dari kebijakan Raja Roderick. Akibatnya sebagian
besar dari mereka mengungsi ke negara terdekat yaitu Afrika Utara,
negeri yang penduduknya bisa menikmati keadilan, kesamaan hak,
keamanan dan kemakmuran di bawah penguasa yang adil, arif dan
bijaksana yaitu Musa bin Nusair. Sebagian besar orang yang
mengungsi ke Afrika Utara tersebut adalah para pemeluk agama
Yahudi dan Nasrani. Di antara mereka terdapat Julian, Gubernur
Ceuta yang putri kesayangannya, Florinda telah dinodai oleh Raja
Roderick. Selamanya Gubernur Julian tidak dapat memaafkan
kebiadaban Raja Gotic tersebut. Di Afrika Utara (Sekarang
sedikitnya ada lima negeri di pantai utara benua Afrika: Maroko,
Aljazair, Tunisia, Libya dan Mesir, di sini tidak ada keterangan,
mungkin yang tahu bisa membantu), mereka mendapatkan
perlindungan dan jaminan keadilan dan kesejahteraan dari orang-
orang Islam. Mereka diperlakukan dengan sangat baik yang mereka
tidak mendapatkannya di negeri mereka sendiri.

Sebelum kedatangan Gubernur Julian dan rombongannya,


sebenarnya Musa bin Nusair sudah mendengar kabar bahwa
Spanyol dalam keadaan yang sangat rapuh. Setelah mendapat
persetujuan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, Musa bin Nusair
segera mengirimkan satu pasukan perintis ke Spanyol dengan
komandan Abu Zar'ah Thorif yang terkenal cerdik, pemberani dan
tangguh serta berpengalaman dengan wilayah Spanyol. Pada hari
Kamis, 4 Ramadhan 91 H atau 2 April 710 M, Abu Zar'ah Thorif
berangkat meninggalkan Afrika dengan membawa 400 pasukan
pejalan kaki ditambah 100 orang pasukan berkuda. Mereka
menyeberangi selat antara Afrika dan Eropa dengan menggunakan
delapan kapal yang telah dipersiapkan, empat diantaranya adalah
bantuan dari Gubernur Julian yang ingin menghancurkan Raja
Roderick. Tiga pekan berikutnya, tepatnya hari Sabtu tanggal 25
Ramadhan 91 H atau 23 April 710 M, rombongan pasukan Islam
melakukan pendaratan di sebuah pulau kecil tak jauh dari kota Tarife
yang akan menjadi sasaran serangan pertama. Pendaratan sengaja
dilakukan pada malam hari agar tidak diketahui musuh.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, petang harinya Abu


Zar'ah Thorif memerintahkan pasukannya melakukan serangan
gencar ke berbagai wilayah, terutama di pusat kota. Pasukan Islam
tidak banyak mendapatkan perlawanan karena keadaan Spanyol
lemah. Dengan mudah mereka dapat menguasai beberapa kota di
sepanjang pantai, meski jumlah pasukan Islam tidak sebanding
pasukan musuh. Jauh lebih sedikit. Pasukan Islam dengan
komandan Abu Zar'ah Thorif pulang ke Afrika dengan membawa
kemenangan telak. Hanya beberapa orang yang syahid di medan
perang. Selain ratusan orang tawanan, mereka juga berhasil
membawa unta rampasan plus ghanimah yang cukup banyak.
Kemenangan gemilang ini membangkitkan semangat Gubernur Musa
bin Nusair untuk menakhlukkan seluruh Spanyol. Hal ini sangat
penting mengingat wilayah itu merupakan pintu gerbang daratan
Eropa. Oleh karena itu, ia memerintahkan Thoriq bin Ziyad untuk
melakukan penyerangan ke dua.

Thoriq dikenal jujur, cerdik dan berkemauan kuat, gagah berani


menghadapi setiap tantangan, berpengaruh besar bagi para
pengikutnya, ikhlas dalam berjuang dan semangatnya selalu
membara. Pada hari Senin, 3 Mei 711 M, Thoriq bersama 7.000
anggota pasukannya menyeberangi selat antara Afrika dan Eropa
dengan armada kapal. Setelah mendarat di wilayah Spanyol, Thoriq
mengumpulkan seluruh anggota pasukannya di atas sebuah bukit
karang yang hingga kini bukit itu dikenal dengan nama "Jibraltar". Di
bukit karang inilah Thoriq bin Ziyad memerintahkan pasukannya
untuk membakar seluruh armada kapal yang baru saja mereka
gunakan menyeberangi selat Afrika-Eropa tadi. Seorang anggota
pasukan yang tidak mengerti maksud panglimanya kemudian
bertanya: "Apa maksud Anda?", anggota pasukan yang lain pun
bertanya, "Kalau kapal-kapal itu dibakar, bagaimana nanti kita bisa
pulang?" Dengan tegas sambil menghunus pedang ia menjawab,
"Kita datang ke sini bukan untuk kembali. Kita hanya memiliki dua
pilihan, yaitu menaklukkan negeri ini lalu tinggal di sini atau kita
semua binasa."

Kemudian Sang Panglima yang gagah berani inipun memberi


pengarahan kepada seluruh anggota pasukan yang dipimpinnya.
"Wahai seluruh pasukan, ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang
kalian adalah laut, dan di depan kalian adalah musuh. Demi Allah,
satu satunya milik kalian saat ini hanyalah kejujuran dan kesabaran.
Musuh dengan jumlah besar dan persenjataan lengkap telah siap
menyongsong kalian. Sementara senjata kalian adalah pedang.
Kalian akan terbantu jika kalian berhasil merebut senjata dan
perlengkapan musuh kalian. Karena itu, secepatnya kalian harus
melumpuhkan mereka. Sebab kalau tidak, kalian akan menemukan
kesulitan besar. Itulah sebabnya kalian harus lebih dahulu
menyerang mereka agar kekuatan mereka lumpuh. Musuh kalian
sudah bertekad bulat akan mempertahankan negeri mereka sampai
titik darah penghabisan. Kita harus bertekad bulat untuk menyerang
mereka hingga syahid. Sungguh sama sekali saya tidak bermaksud
menakuti kalian. Mari kita galang saling percaya di antara kita,
keberanian kita, bahu membahu dan saling membantu, membulatkan
tekad untuk menjadi pembela agama Allah, menegakkan kalimat-
Nya. Percayalah, sesungguhnya Allah SWT adalah penolong utama
kalian. Dan sayalah orang pertama yang akan memenuhi seruan ini
di hadapan kalian. Saya akan menghadapi sendiri Raja Roderick
yang sombong itu. Saya akan membunuhnya. Atau siapapun boleh
melakukannya jika lebih dulu bertemu dengannya di medan
pertempuran. Dengan membunuhnya maka negeri ini akan dengan
mudah kita kuasai"

Pidato pengarahan Thoriq ini membakar semangat pasukan Islam


untuk segera bertempur. Mendengar pasukan Islam mendarat di
wilayahnya Raja Roderick segera mempersiapkan angkatan perang
besar yang terdiri lebih dari 100.000 tentara dengan membawa
persenjataan lengkap. Jumlah pasukan yang lebih besar ini tidak
menggoyahkan semangat pasukan Islam. Apalagi Gubernur Musa
mengirimkan pasukan tambahan sebanyak 5.000 orang dipimpin
oleh Thorif bin Muluk. Jadi jumlah pasukan Islam seluruhnya adalah
12.000 orang. Thoriq dan pasukannya terus bergerak ke arah kota
Cordova. Mereka menyusuri pantai hingga tiba di kota Torife yang
telah ditakhlukkan sebelumnya oleh pasukan perintis yang dipimpin
oleh Abu Zar'ah. Kedua pasukan bergerak ke arah berlawanan untuk
saling berhadapan. Pasukan Islam dipimpin oleh Thoriq bin Ziyad
yang bergerak laksana ombak samudera. Baju-baju besi yang
mereka kenakan, sorban-sorban putih yang menutup kepala mereka,
kilatan pedang yang mereka genggam, tampak mendominasi
suasana penuh semangat yang senantiasa dikobarkan oleh Thoriq
bin Ziyad, Sang Panglima.

Sementara di pihak musuh, Raja Roderick memimpin pasukan


dengan diapit para pengawal yang bersenjata lengkap dan terkesan
mewah. Pada hari Ahad, 28 Ramadhan atau 19 Juli 711 M, kedua
pasukan bertemu dan bertempur di dekat muara Sungai Barbate.
Jumlah yang tidak seimbang membuat pasukan Islam terdesak di
awal pertempuran. Hal ini menggugah Gubernur Julian dan anak
buahnya menyusup ke pasukan Roderick dan menyebarkan opini ke
tengah-tengah mereka bahwa pasukan Islam hanya mengincar
Roderick dan tidak untuk menjajah negeri mereka. Upaya Julian dan
anak buahnya berhasil. Banyak pasukan Roderick yang melarikan
diri dari medan perang. Akibatnya mereka kacau balau dan
kesempatan ini dimanfaatkan Thoriq bin Ziyad untuk mencari dan
membunuh Roderick. Selanjutnya seluruh markas pertahanan dapat
dikuasai dengan mudah. Kemenangan pasukan Islam ini
melumpuhkan semangat pasukan Spanyol. Berita keberhasilan itu
sangat menggembirakan Gubernur Musa bin Nusair. Ia kemudian
membantu Thoriq untuk segera menaklukkan seluruh Spanyol dan
negara-negara Eropa lainnya.

Setahun kemudian, tepatnya hari Rabu, 16 Ramadhan 93 H, ia


bertolak ke Spanyol dengan membawa 10.000 pasukan. Mereka
berhasil menduduki Merida, Sionia dan Sevilla yang belum
ditakhlukkan oleh pasukan Thoriq. Sementara itu Thoriq dengan
jumlah pasukan yang tersisa terus melakukan penaklukan ke
beberapa wilayah yang tersisa. Ia membagi pasukannya ke dalam
empat kelompok dan menugaskan para pembantunya ke Cordova,
Granada dan Malaga. Sedangkan ia sendiri bersama pasukan
utamanya segera menuju toledo, ibukota Spanyol waktu itu. Semua
kota itu dapat dikuasai tanpa perlawanan. Spanyol dapat
dilumpuhkan karena kecepatan gerak pasukan Islam. Musa bin
Nusair dan Thoriq bin Ziyad akhirnya bertemu di Toledo. Keduanya
kemudian bergabung dan menghadapi musuh di Ecija. Kemenangan
pun diraih pasukan Islam meski tak sedikit yang gugur sebagai
syuhada. Selanjutnya pasukan gabungan ini bergerak ke wilayah
Pyrenie, Perancis.

Beberapa tahun kemudian, Portugis pun ditakhlukkan dan namanya


diganti menjadi "Al Gharb" berarti Barat. Sebelum seluruh Eropa
dapat ditaklukkan, yang sebenarnya mudah karena tidak ada
kekuatan berarti yang melawan mereka, Khalifah Al Walid bin Abdul
Malik memanggil Thoriq dan Musa ke Damaskus (Ibukota
Syiria/Suriah, negeri di sebelah utara Irak). Thoriq pergi sendiri ke
Damaskus, sementara Musa bin Nusair sibuk menyusun
pemerintahan baru di Spanyol. Beberapa waktu setelah itu Thoriq
sakit-sakitan dan kemudian Allah SWT memanggilnya. Tidak banyak
yang mengetahui akhir kehidupan beliau. [Sumber : Majalah HIKAYAH Edisi 06,
Shafar 1424/ April 2003]

Tokoh tokoh dari cordova

Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, tanah Spanyol lebih
banyak dikenal dengan nama Andalusia, yang diambil dari sebutan tanah
Semenanjung Liberia. Julukan Andalusia ini berasal dari kata Vandalusia,
yang artinya negeri bangsa Vandal, karena bagian selatan Semenanjung ini
pernah dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum mereka dikalahkan oleh bangsa
Gothia Barat pada abad V. Daerah ini dikuasai oleh Islam setelah penguasa
Bani Umayah merebut tanah Semenanjung ini dari bangsa Gothi Barat pada
masa Khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik.[5]
Islam masuk ke Spanyol (Cordoba) pada tahun 93 H (711 M) melalui jalur
Afrika Utara di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad yang memimpin angkatan
perang Islam untuk membuka Andalusia.[6]
Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan
menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari Dinasti Bani Umayah.
Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman Khalifah
Abdul Malik (685-705 M). Khalifah Abdul Malik mengangkat Hasan ibn
Numan al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah
Al-Walid, Hasan ibn Numan sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di
zaman Al-Walid itu, Musa ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya
dengan menduduki Aljazair dan Maroko. Penaklukan atas wilayah Afrika
Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu provinsi
dari Khalifah Bani Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai
tahun 30 H (masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan) sampai tahun 83
H (masa al-Walid).[7] Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di
kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan
Kerajaan Romawi, yaitu Kerajaan Gotik.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat
dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka
adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif
dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang
berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu pasukan perang
lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki empat
buah kapal yang disediakan oleh Julian. Ia menang dan kembali ke Afrika
Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong
oleh keberhasilan Tharif ibn Malik dan kemelut yang terjadi dalam tubuh
kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan
yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair
pada tahun 711 M mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di
bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.[8]
Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penaklukan Spanyol karena
pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari
sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair dan
sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid. Pasukan itu
kemudian menyeberangi selat di bawah pimpinan Thariq ibn
Ziyad.[9] Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya
mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Thariq). Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara
luas untuk memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di Bakkah, Raja
Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq dan pasukannya menaklukkan
kota-kota penting seperti Cordova, Granada dan Toledo (Ibu kota kerajaan
Goth saat itu).[10] Sebelum menaklukkan kota Toledo, Thariq meminta
tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair di Afrika Utara. Lalu
dikirimlah 5000 personil, sehingga jumlah pasukan Thariq 12000 orang.
Jumlah ini tidak sebanding dengan pasukan ghothic yang berjumlah 25.000
orang.[11]
Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuka jalan
untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Musa bin Nushair pun
melibatkan diri untuk membantu perjuangan Thariq. Selanjutnya, keduanya
berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian
utaranya mulai dari Saragosa sampai Navarre.[12]
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H/717 M, dengan sasarannya
menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Prancis Selatan.
Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan kaum muslimin yang geraknya
dimulai pada permulaan abad ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Spanyol
dan melebar jauh ke Prancis Tengah dan bagian-bagian penting dari
Italia.[13]
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah.
Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal.

Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat
di dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-
orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam
keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan
terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu,
penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut
oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain,
Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari
penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak
bersedia disiksa dan dibunuh secara brutal.[14] Rakyat dibagi-bagi ke dalam
sistem kelas, sehingga, keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan,
dan ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas
menanti kedatangan juru pembebas dan juru pembebasnya mereka temukan
dari orang Islam.[15] Berkenaan dengan itu, Ameer Ali, seperti dikutip oleh
Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat) menikmati
kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan
tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di
bawah kekuasaan tangan resi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan
berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan
masyarakat.[16] akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang
penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakan. Perpecahan
dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan
Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya dan sudah ada
jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri.
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika
Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh.
Padahal, sewaktu Spanyol berada di bawah pemerintahan Romawi, berkat
kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan,
industri, dan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang
baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan
Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun.
Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup,
dan antara satu daerah dengan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan
tidak mendapat perawatan.[17]
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama
disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada
masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan
Islam.

Awal kehancuran kerajaan Ghot adalah ketika Raja Roderick memindahkan


ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu
menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan
ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak, dan anak Witiza.
Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan
Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum
muslimin. Sementara itu, terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu
Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan
kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk
menguasai Spanyol. Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal
yang dipakai oleh Tharif, Tariq, dan Musa.[18]
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah tentara Roderick yang
terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat
perang. Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan
persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.[19]
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang
terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang, dan para prajurit Islam
yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para
pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan
penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi
setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang
ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong
menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam
pribadi kaum Muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut
kehadiran Islam di sana.

Anda mungkin juga menyukai