Anda di halaman 1dari 8

Agung Laksono, Mengapa Tidak

Mencontoh Wiranto, Prabowo atau Surya


Paloh?
OPINI | 16 March 2015 | 10:04 Dibaca: 576 Komentar: 10 8

(alternatif.blogspot.com)

Referensi

Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama Golongan


Karya(Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber
Golkar), adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai GOLKAR bermula
dengan berdirinya Sekber GOLKAR pada masa-masa akhir pemerintahan
Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat untuk menandingi
pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Dalam
perkembangannya, Sekber GOLKAR berubah wujud menjadi Golongan
Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu.
Dalam Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru
Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan
mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-
Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan
Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung
kemenangan GOLKAR, seperti peraturan monoloyalitas PNS, dan
sebagainya.

Sumber referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Golongan_Karya

Opini

Pasca Reformasi Partai Golkar mengalami pasang surut di perpolitikan


nasional. Setelah berjaya tidak terkalahkan selama kurun lebih 25 tahun di
era Orde Baru, kini Beringin semakin terpecah. Lihatlah ilustrasi
dokumentasi foto diatas. Hanya tertinggal Aburizal Bakrie disana. Wiranto,
Prabowo dan Surya Paloh memilih memisahkan diri dan kemudian
mendirikan partai baru.

Ke - 3 kader Golkar tersebut bukan saja membuat Partai Hanura, Gerindra


dan Nasdem, namun mereka juga diikuti oleh gerbong kader golkar
lainnya. Kekuatan Golkar semakin berkurang seiring pula dengan
menurun perolehan suara di Pemilu. Suara Golkar asli terpecah ke anak
partai hasil didikan selama bertahun tahun berpolitik dibawah naungan
beringin.

Sejujurnya bisa diberi angkat tangan hormat sepuluh jari kepada Wiranto,
Prabowo dan Surya Paloh. Walaupun mereka patah hati atau patah
arang kepada induk organisasi Golkar, namun ketiga aset politik nasional
itu tidak membuat atau menciptakan Golkar Tandingan. Dengan jiwa
kesatria beliau mendirikan partai baru, memulai dari nol dan yang pasti
Hanura, Gerindra dan Nasdem mendapat kursi di DPR sebagai hadiah
konsisstensi membangun semangat partai baru.

Lain halnya dengan pola permainan politik Agung Laksono Cs. Mereka
tampaknya tidak punya nilai keberanian atau mungkin modal material
cukup untuk mendirikan Partai Baru. Justru secara kekanak kanakan
mereka mengembosi partai yang telah menghidupi hampir dua pertiga
kehidupannya. Apabila mereka memang tidak suka dengan hasil Munas
Bali kenapa harus menyelenggarakan Munas Tandingan . Nah kini
Bareskrim Polri sedang mengusut benang kusut periihal keabsahan
kahadiran peserta munas.
Ataukah sikap Agung Laksono ini juga karena mendapat dorongan angin
segardari pihak tertentu sehingga mereka gelap mata menerobos rambu
rambu AD dan ART Partai Golkar. Kalau memang memiliki jiwa kesatria
seharusnya patuh dan taat kepada Munas Golkar Bali yang syah dan resmi
di hadiri oleh seluruh DPD . Atau apabila Tuan Tuan, tidak berkenan
dengan kepemimpinan ARB, kenapa tuan tuan tidak hengkang saja dari
beringin dan mendirikan partai baru.

Contohlah jiwa kesatria Wiranto, Prabowo dan Surya Paloh. Berpolitik


yang santun memegang etika dan estetika serta tetap berpijak kepada
logika seperti yang sering di sampaikan oleh mantan Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY). Tidak usyahlah menggunakan kelalaian
Menkumham untuk menyatakan diri sebagai Golkar yang di akui. Toh opini
publik mempertanyakan tentang keanehan surat Menkumham yang
seolah memberi angin segar kepada Agung Laksono cs.

Point yang ingin saya sampaikan disini adalah, sikap opportinitis pragmatis
dalam bergerilya politik akan berujung kepada kekecewaan. Politik harus
dibangun dengan kekuatan dukungan sepenuhnya dari seluruh kader serta
tidak melanggar pakem partai. Kekecewaan seharusnya tidak di
aplikasikan dalam tindakan menggembosi partai sendiri. Perhatikan
karikatur di atas, ungkapan satire dari Pak Harto, Piye kabare, apapun
partainya, golongannya tetap sama toch ? .

Salam salaman

TD
Mengintip Evaluasi Mendagri Atas APBD
DKI 2015 Usulan Gubernur Ahok:
Menyeimbangkan Informasi
HL | 16 March 2015 | 11:33 Dibaca: 612 Komentar: 14 7

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. (Indra Akuntono/Kompas.com)

Polemik dalam penyusunan APBD DKI Jakarta 2015 antara Gubernur


Ahok dengan DPRD masih belum terselesaikan. Hal yang menonjol
disajikan oleh media mainstream maupun media sosial adalah adanya
kesalahan prosedur yang dilakukan oleh Gubernur dalam penyampaian
RAPBD kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) versus tudingan
adanya anggaran siluman 12 ,1 triliun dalam APBD versi DPRD. DPRD
menilai Gubernur melakukan kesalahan karena menyampaikan RAPBD
yang bukan hasil pembahasan bersama DPRD yang disampaikan ke
Kemendagri. Padahal peraturan perundangan menyatakan bahwa RAPBD
yang disampaikan haruslah yang sudah ditetapkan dan hasil pembahasan
eksekutif dengan legislatif. Bahkan Sekda mengakui kalau yang
disampaikan adalah RAPBD yang diprint dari sistem E-Budgeting.
Gubernur Ahok menilai bahwa RAPBD yang disampaikan bukan yang hasil
pembahasan karena adanya anggaran siluman pada RAPBD tersebut.

Kemendagri telah melakukan evaluasi atas RAPBD versi Gubernur dan


hasilnya sangat banyak dari draft APBD versi Gubernur tersebut yang
harus diperbaiki. Bahkan perbaikan menyangkut hal-hal yang substansial,
landasan hukum maupun keberpihakan anggaran terhadap kebutuhan
masyarakat Jakarta. Hasil evaluasi Kemendagri juga telah disampaikan
kepada DPRD untuk dipelajari. Namun media sejauh ini masih sibuk
dengan kontraversi anggaran siluman dan skandal UPS dibanding hasil
evaluasi Kemendagri yang sesungguhnya memunculkan temuan-temuan
ketidakwajaran yang nilainya sangat besar dalam APBD yang diajukan
Gubernur.

Secara garis besar hasil evaluasi Kemendagri atas APBD menunjukkan hal
yang memprihatinkan yaitu (i) lemahnya kemampuan teknis penyusunan
anggaran oleh eksekutif, (ii) APBD yang tidak optimistik, (iii) lemahnya
pemahaman landasan hukum dalam penyusunan APBD, (iv)
ketidakberpihakan APBD 2015 terhadap rakyat maupun program unggulan
untuk mengatasi masalah Jakarta, dan (v) Banyaknya anggaran yang tidak
sesuai dengan asas kewajaran. Kelima hal ini terlihat sangat jelas dalam
begitu banyak catatan yang dibuat oleh Kemendagri terhadap RAPBD
yang diajukan Gubernur sehingga banyak hal yang harus diperbaiki.

Kelemahan dalam kemampuan teknis penyusunan anggaran terlihat dari


banyaknya catatan tentang kesalahan dalam penempatan nomenklatur
anggaran baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Kelemahan teknis
juga terihat dari alokasi belanja yang diberikan kepada SKPD untuk
kegiatan yang diluar kewenangannya. Dari sisi pendapatan misalnya
terlihat kesalahan dalam menempatkan pendapatan dari retribusi ke dalam
kelompok pendapatan dari pajak atau adanya kesalahan nomenklatur
dalam penempatan penerimaan dari pajak penerangan jalan. Bentuk lain
misalnya adalah dalam menetapkan besaran penerimaan tertentu dari
pajak atau hibah atau bagi hasil yang tidak menunggu kepastian besaran
penerimaan yang akan dialokasikan oleh Pemerintah Pusat arau pihak
ketiga. Kelemahan teknis ini juga terlihat dengan banyaknya alokasi
anggaran yang bersifat duplikasi dengan anggaran yang dialokasikan di
SKPD lain seperti antara anggaran di SKPD Pendidikan dengan anggaran
di SKPD Olahraga dan Pemuda. Padahal dalam hasil audit BPK atas
APBD 2013, duplikasi anggaran di fungsi Pendidikan ini menjadi salah satu
sorotan.

Kelemahan kemampuan teknis ini patut dipertanyakan mengingat


penyusunan APBD merupakan kegiatan yang berulang setiap tahun.
Apakah ini akibat penggunaan sistem E-Budgeting sehingga
penyusunannya mengikuti sistem yang dibangun dalam E-Budgeting ?
Kalau seperti ini, maka perlu dievaluasi bagaimana sistem penetapan
nomenklatur dan mata anggaran disusun dalam E-Budgeting. Sebagai
sebuah sistem, E-Budgeting memang bagus untuk mengontrol anggaran,
namun perlu didukung dengan penyusunan sistem yang benar dan bukan
malah membuat kekacauan dalam penyusunan APBD.
APBD yang tidak optimistik ditunjukkan dengan target pendapatan daerah
dalam RAPBD 2015 yang lebih rendah dari APBD Perubahan 2014,
sehingga secara total RAPBD 2015 ini hanya sedikit meningkat dari APBD
2014. Disisi belanja alokasi belanja modal yang dibutuhkan untuk
pembangunan pada RAPBD 2015 ini juga lebih rendah dibanding APBD-P
2014. Padahal tantangan pembangunan dan permasalahan Jakarta yang
harus diselesaikan masih sangat banyak dan membutuhkan anggaran
yang besar.

Kelemahan dalam aspek regulasi dalam menyusunan anggaran sangat


terlihat dengan banyaknya mata anggaran yang tidak jelas landasan
hukumnya. Bahkan terdapat inkonsistensi besaran alokasi anggaran antara
anggaran dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), KUA-PPAS
dan RAPBD yang seharusnya konsisten satu sama lain. Substansi dan
format KUA-PPAS juga tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Dari sisi
penerimaan, Gubernur masih mengalokasikan penerimaan dari Retribusi
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol yang seharusnya dilarang
untuk dianggarkan karena dasar hukum yang menjadi landasannya sudah
dicabut. Dari sisi belanja, sangat banyak alokasi anggaran yang tidak
memiliki landasan hukum yang jelas seperti berbagai kegiatan operasional
di SKPD/UKPD, kegiatan yang tidak memiliki korelasi langsung antara
program dengan outputnya, maupun alokasi anggaran untuk kegiatan yang
berjudul lanjutan, padahal bukan program yang bersifat multiyears.
Kelemahan landasan hukum juga terlihat dengan adanya alokasi yang
nilainya mencapai lebih dari 800 milyar untuk belanja premi pada kegiatan
di SKPD/UKPD yang dilarang dialokasikan kecuali untuk kelompok
miskin. APBD versi Gubernur juga ada yang dialokasikan untuk belanja
kegiatan yang bukan menjadi wewenang dan tanggungjawab Pemerintah
Propinsi DKI Jakarta dengan total nilai Rp. 125.4 milyar

Hal paling memprihatinkan dalam RAPBD 2015 versi Gubernur yang


dievaluasi Kemendagri adalah masalah keberpihak anggaran yang sangat
kurang kepada kepentingan rakyat banyak. Alokasi anggaran gaji dan
tunjangan untuk PNS DKI Jakarta mencapai 16,5 triliun atau 24,5% dari
total APBD, dinilai oleh Kemendagri tidak wajar dan tidak rasional dari sisi
proporsionalitas antar jenis belanja. Jumlah dan alokasi ini lebih besar dari
alokasi anggaran untuk fungsi pendidikan yang hanya 14,5 triliun, apalagi
dibanding fungsi dan bidang-bidang lain seperti kesehatan yang hanya 6,6
trilun atau 13% dari total belanja. Lalu, dimana keberpihakannya kepada
kepentingan masyarakat banyak dalam bidang kebutuhan dasar ?.

Alokasi anggaran untuk Tunjangan Kinerja mencapai 10,85 triliun (T) atau
16,1% total belanja daerah, dinilai harus ditinjau ulang dan disesuaikan
dengan peraturan perundangan yang ada (Pasal 63 PP No. 58/2005 dan
Pasal 39 Permendagri No 13/2006). Alokasi tunjangan kinerja ini juga lebih
besar daripada belanja untuk penyelenggaraan urusan wajib yang
berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti Pendidikan (10,759 T atau
15,95%), Kesehatan (6,6 T atau 9,8%), Pekerjaan Umum (10,7 T atau
15,9%), perumahan rakyat (3,08 T atau 4,58%). Lebih ironis lagi, alokasi
anggaran untuk Tunjangan Kinerja ini juga jauh lebih besar daripada
alokasi belanja untuk program penanggulangan banjir yang hanya 5,35
triliun padahal Jakarta punya problem banjir yang semakin serius dan
menimbulkan kerugian yang semakin besar. Padahal juga, kemarin
Gubernur Ahok teriak tidak mau anggaran untuk banjir yang jadi prioritas
dipotong oleh DPRD. Sementara Pemda DKI malah mengalokasikan
anggaran Tunjangan Kinerja yang dua kali lipat anggaran penanggulangan
banjir. Lalu, bagaimana Gubernur bisa marah-marah soal anggaran
siluman dan ingin anggaran pro rakyat dan mengatasi permasalahan kronis
seperti kemacetan dan banjir, padahal Gubernur justru mengalokasikan
anggaran yang fantastis untuk gaji dan tunjangan.

Alokasi anggaran yang tidak rasional dan tidak sesuai azas kepatutan
terlihat pada alokasi anggaran untuk honorarium yang mencapai 2,9 triliun
dan anggaran Tenaga Ahli/Infrastruktur/ Narasumber yang totalnya
mencapai 825,6 milyar. Padahal alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan
lain yang diperlukan, atau untuk fungsi-fungsi pemerintahan lain seperti
penanggulangan bencana dan urusan sosial jauh lebih kecil nilainya.
Belum lagi anggaran Belanja Tidak Terduga yang mencapai 1,2 Triliun
yang tidak rasional dibandingkan anggaran yang sama pada APBD-P 2014
yang hanya 87,1 Milyar.

Dalam hal pembiayaan untuk penyertaan modal pemerintah (PMP),


Gubernur juga tidak melakukan evaluasi atas penyertaan modal yang telah
diberikan kepada beberapa BUMD yang tidak menunjukkan kinerja yang
baik. PMP terhadap PD. Dharma Jaya, PT. Ratax Armada, PT. Cemani
Toka, PT. Grahasari Surya Jaya dan PT. RS Haji Jakarta dengan total Rp.
319.3 Milyar dinila perlu dilakukan evaluasi lagi dan melakkan upaya
hukum atas penyehatan perusahaan atas PMP yang sudah dilakukan.
Dalam KUA-PPAS, DPRD bahkan sudah membei peringatan untuk tidak
mamasukkan PMP kepada PD. Dharma Jaya dan PT. Ratax Armada,
namun tidak ada tindakan yang dilakukan oleh eksekutif.

Dalam APBD versi Gubernur juga ada anggaran perjalanan dinas dalam
kota dan luar kota sebesar Rp. 160,7 milyar yang harus dikurangi karena
dinilai tidak efisien. Ada juga anggaran perjalanan rapat dalam kota senilai
Rp. 65,9 milyar yang diindikasikan terjadi duplikasi dengan anggaran
perjalanan dinas dalam kota. Anggaran lain yang dinilai tidak wajar dan
tidak patut seperti anggaran sewa sarana mobilitas yang mencapai Rp.
776,6 milyar, anggaran belanja modal angkutan, peralatan dan
perlengkapan kantor, pengadaan komputer termasuk UPS, mebeulair,
peralatan studio dan komunikasi dengan total mencapai Rp. 1,03 Triliun.
Alokasi anggaran-anggaran tersebut diminta harus dialihkan untuk
anggaran yang berkaitan dengan fungsi pelayanan dasar atau peningkatan
kualitas dan kualitas pelayanan publik serta penanggulangan masalah
kronis Jakarta seperti banjir dan kemacetan. Anggaran yang juga diminta
dikurangi dan dialihkan untuk kepentingan yang lebih besar adalah alokasi
anggaran belanja jasa konsultansi yang mencapai Rp. 506,8 milyar.

Mari kita sama-sama memahami duduk persoalan yang sebenarnya dari


polemik APBD ini. Jika alokasi anggaran yang diajukan Gubernur ke
Mendagri seperti ini, maka wajar jika Kemendagri membuat begitu banyak
catatan terhadap RAPBD yang diajukan. Menjadi wajar pula jika DPRD
mempertanyakan mengapa bukan anggaran hasil pembahasan bersama
DPRD yang sudah disetujui bersama yang diajukan ke Mendagri sesuai
ketentuan perundang-undangan. Kalaupun ada anggaran yang dinilai
berlebihan atau tidak wajar, Gubernur bisa tidak mengeksekusinya. Jangan
justru mengajukan anggaran yang jauh dari keberpihakan kepada
kepentingan yang lebih besar dan menolak untuk diutak-atik atas usulan
anggaran tersebut.
Tags:

Laporkan
Tanggapi

Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana


menjadi tanggung jawab Penulis.

Anda mungkin juga menyukai