Anda di halaman 1dari 22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. HIV/AIDS

1. Definisi HIVAIDS

HIV adalah singkatan Human Immunodefisiency Virus yaitu virus

yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat

tubuh rentan terhadap berbagai penyakit.

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu

penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan

imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma

sekunder dan manifestasi neurologis. (Vinay Kumar, 2007). HIV telah

ditetapkan sebagai agens penyebab acquired Immune Deficiency

Syndrom (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu

yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (Sylvia Anderson Price,

2006). Definisi AIDS yang ditetapkan oleh pusat pengendalian penyakit,

telah berubah beberapa waktu sejak gejala pertama ditemukan pada

tahun 1981. Secara umum definisi ini menyusun suatu titik dalam

kontinum penyimpangan HIV dimana penjamu telah menunjukan secara

klinis disfungsi imun. Jumlah besar infeksi oportunistik dan neoplasma

merupakan tanda supresi imun berat sejak tahun 1993. Definisi AIDS

telah meliputi jumlah CD4 kurang dari 200 sebagai criteria ambang batas.

Sel CD4 adalah bagian dari limposit dan satu target sel dari infeksi HIV.

2. Etiologi HIV AIDS

14
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang

disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali

diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983

dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo

di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian

atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah

menjadi HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA.

Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat

berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus

ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus

HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang

dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan

keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV

selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat

ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti

(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris

tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce

transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas

lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan

reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak)

tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif

terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan

mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton,

alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten

terhadap radiasi dan sinar utraviolet.


Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati

diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan

sel glia jaringan otak (Siregar,2008).

3. Cara Penularan HIV AIDS

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan

suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent,

host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd

entre).

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T

dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan

mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus

HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai

cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen,

cairan vagina atau servik dan darah penderita.

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun

hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :

a. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering

terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina .

Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada

pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan

pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada

penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat

anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang


dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan

seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang

berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

1) Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat

promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-

40 tahun dari semua golongan usia.

Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual

dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra

seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang

pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang

sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan pada saat

berhubungan secara anogenital.

2) Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui

hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita

terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun

wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

b. Transmisi Non Seksual

1) Transmisi Parenteral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya

(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah

gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang


tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi

melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa

disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi

parental ini kurang dari 1%.

2) Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di

negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985

transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena

darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko

tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

c. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak

mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu

hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu

ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Siregar, 2008).

4. Patogenesis HIV AIDS


Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T

helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4

merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun

tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau

hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif

menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem

kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri

pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas

bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptase ia merubah


bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya

sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi

HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.

Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel

yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi

(penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh

penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak

sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa bulan

sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat

gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara

terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa

inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan

pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa. Masa inkubasi adalah

waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan

menunjukan gejala gejala AIDS. Pada fase ini terdapat masa dimana

virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium

kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa

window period .

Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak

yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya

mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang

disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena

penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara

langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan neurologis

(Faizah A. Siregar, 2008).

5. Patofisiologi HIV AIDS


HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai

retrovirus yang menunjukan bahwa virus tersebut membawa materi

genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam

deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV (partikel virus yang lengkap

dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti

berbentuk peluru yang terpancung di mana p24 merupakan komponen

structural yang utama. Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus

terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang

secara selektif berikatan dengan sel sel CD4 positif adalah gp120 dari HIV.

Sel CD4 positif mencakup monosit, makrofag dan limposit T4 helper

(dinamakan sel sel CD4 + kalau dikaitkan dengan infeksi HIV ). Limposit

T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di

atas. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper HIV akan

menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4

helper, dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse

transcriptase HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetic

dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double stranded DNA (DNA

atau ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai

sebuah provirus dan kemudian infeksi yang permanen.


Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang

terinfeksi diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan

oleh antigen, mitogen, sitogen ( TNF alfa atau interleukin I ) atau produk

gen virus seperti : CMV(cytomegalovirus), virus Epstein Barr, herpes

simplek dan hepatitis. Sebagai akibatnya pada sel T4 yang terifeksi

diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel

T4 dihancurkan. HIV yang baru ini kemudian dilepas ke dalam plasma

darah dan menginfeksi CD4+ lainnya. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu

mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki


kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi

dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun

dinamakan infeksi oportunistik. ( Brunner & Suddart2002).Infeksi monosit

dan makrofag berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan

kematian sel yang bermakna, tetapi sel sel ini menjadi reservoir bagi

HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan

terangkut ke seluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai

jaringan tubuh.

6. Klasifikasi Klinis Infeksi HIV


a. Stadium I
- Gambaran Klinis
1. Asimptomatik
2. Limfadenopati generalisata
- Skala Aktifitas
b. Stadium II
c. Stadium III
d. Stadium IV

7. Manifestasi klinis HIV AIDS

Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang

penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang

ditunjukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang

lazim didapati pada berbagai Penderita penyakit lain, namun secara umum

dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :


a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2

hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik :


a. Manifestadi tumor diantaranya;
1) Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan

organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi

pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada

heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.


2) Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan

menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.


b. Manifestasi Oportunistik diantaranya
1) Manifestasi pada Paru
a) Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS

merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas,

batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.


b) Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial

pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis.

CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita

AIDS.
c) Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium

akhir dan sulit disembuhkan.

d) Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi

miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.


2) Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan

turun lebih 10% per bulan.

c. Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi

Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit.


Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,

demensia, mielopati dan neuropari perifer (Siregar, 2008).

8. Pemeriksaan Laboratorium HIV AIDS


Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-

cairan yang berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen

dan cairan serviks atau vagina.


Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di

laboratoruim dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap

virus tersebut.
a. Untuk pemeriksaan pertama biasanya digunakan Rapid tes untuk

melakukan uji tapis. Saat ini tes yang cukup sensitif dan juga

memiliki spesifitas yang tinggi. Hasil yang positif akan diperiksa

ulang dengan menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar tes

yang berbeda untuk meminimalkan adanya hasil positif palsu yaitu

ELISA. Rapid Tes hasilnya bisa dilihat dalam waktu kurang lebih

20 menit.
b. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), bereaksi

terhadap adanya antibodi dalam serum dengan memperlihatkan

warna yang lebih jelas apabila terdeteksi jumlah virus yang lebih

besar. Biasanya hasil uji ELISA mungkin masih akan negatif 6

sampai 12 minggu setela pasien terinfeksi. Karena hasil positif

palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka

hasil uji ELISA yang positif diulang dan apabila keduanya positif

maka dilakukan uji yang lebih spesifik yaitu Western Blot.


c. Western Blot merupakan elektroporesis gel poliakrilamid yang

digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik

terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan

berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai

protein ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus


diulangi lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika

western blot tetap tidak bisa disimpulkan maka tes western blot

harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka

pasien dianggap HIV negatif.


d. PCR (Polymerase Chain Reaction) Untuk DNA dan RNA virus HIV

sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering

digunakan bila tes yang lain tidak jelas. (Nursalam, 2007).


9. Kebijakan dan upaya penanggulangan
Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan

perjalanan yang panjang. Sistem imunitas menurun secara progresif

sehingga muncul infeksi infeksi opportunistik yang dapat muncul

secara bersamaan pula dan berakhir pada kematian. Sementara itu

hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif.

Pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :


a. Pengobatan suportif
Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.

Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat

sintomatik, vitamin dan dukungan psikososial agar penderita dapat

melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin.


b. Pengobatan infeksi oportunistik
Yaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan

dilakukan secara empiris.


c. Pengobatan antiretroviral
Saat ini telah ditemukan beberapa obat antiretroviral (ARV) yang

dapat menghambat perkembangan HIV. ARV bekerja langsung

menghambat enzim reverse transcriptase atau penghambat kerja

enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat

memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportinistik

menjadi lebih jarang ditemukan dan lebih mudah diatasi sehingga

menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat

menyembuhkan atau membunuh virus. Kendala dalam pemberian


ARV antara lain kesukaran Odha untuk minum obat secara

teratur, adanya efek samping obat, harga yang relative mahal dan

timbulnya resistensi HIV terhadap obat ARV.


Karena belum ditemukan obat yang efektif maka pencegahan

penularan menjadi sangat penting. Dalam hal ini pendidikan kesehatan

dan peningkatan pengetahuan yang benar mengenal patofisiologi HIV

dan cara penularannya menjadi sangat penting untuk diketahui oleh

setiap orang terutama mengenal fakta penyebaran penyakit pada

kelompok risiko rendah ( bukan hanya pada kelompok yang berisiko

tinggi ) dan prilaku yang dapat membantu mencegah penyebaran HIV.

B. THERAPI ANTIRETROVIRAL ( ARV )


1. Definisi

Terapi antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan

obat-obatan. Obat tersebut disebut obat Anti Retro Viral (ARV)

tetapi tidak dapat membunuh virus itu. Meskipun demikian, obat

tersebut dapat memperlambat pertumbuhan virus. Waktu

pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga HIV. Karena HIV adalah

retrovirus, obat-obatan ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral

(ART). Setiap jenis atau golongan ARV menyerang HIV dengan cara

yang berbeda.

PENYAKIT yang disebabkan Human Immunodeficiency

Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) sampai

sekarang masih ditakuti karena sangat mematikan. Yang sekarang

banyak diupayakan adalah pengobatan suportif, pengobatan infeksi

oportunistik, dan antiretroviral.

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi

umum orang dengan HIV/AIDS (Odha). Cara yang ditempuh adalah


pemberian gizi, obat, vitamin, dan kondisi psikososial yang baik.

Dengan cara ini, Odha dapat melakukan aktivitas layaknya manusia

sehat. Pengobatan suportif sangat perlu dan dapat dilaksanakan di

rumah atau tempat pelayanan kesehatan yang sederhana.

Pengobatan terhadap infeksi oportunistik dilakukan karena

kekebalan tubuh Odha sangat menurun. Pola infeksi oportunistik

berbeda-beda bergantung pada pola mikroba dalam tubuh Odha dan

kondisi lingkungannya.

Pengobatan antiretroviral dimaksudkan untuk mengurangi

jumlah virus di dalam tubuh. Biasanya obat antiretroviral dipakai

dalam dua atau tiga kombinasi untuk mencegah resistensi.

Antiretroviral terdiri dari kombinasi golongan Nukleoside

Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI), Non-Nukleoside Reverse

Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dan Protease Inhibitor (PI).

NRTI dan NNRTI dipakai secara bersama-sama agar tubuh

semakin kuat menghambat perkembangan (replikasi) virus. Kedua

golongan obat ini bekerja pada tahap awal perkembangan virus, saat

proses perubahan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) menjadi Ribo

Nucleic Acid (RNA). NRTI dan NNRTI menghambat terbentuknya

RNA. Sedangkan antiretroviral golongan PI berfungsi menghambat

terbentuknya protein baru yang bakal menjadi virus baru.

Sesuai anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bagi negara

dengan kemampuan dana terbatas, kombinasi ARV yang dianjurkan

yaitu 2 NRTI dan 1 NNRTI atau PI. Menurut dr Samsuridjal SpPD,

terapi ARV yang diterapkan sekarang yaitu kombinasi tiga obat, yakni

Zidovudine, Lamivudine dan Nevirapine. Ketiga obat itu digabung

dalam satu tablet Zidovex-LN. Dr Samsuridjal adalah Koordinator


Program Akses Diagnosis dan Terapi Kelompok Studi Khusus AIDS

(Pokdisus) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RSCM.

Obat itu diimpor dari perusahaan farmasi India, Aurobindo

Pharma Ltd. Selain itu, ada kombinasi ZidovexL, berisi Lamivudine dan

Zidovudine, serta obat tunggal Zidovudine dan Fluconazole (obat

jamur) yang diimpor dari Thailand.

Sejak November lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) memberi izin perusahaan farmasi PT Indofarma Tbk

mengimpor obat antiretroviral dari India. Jumlah yang diimpor

perusahaan itu lebih banyak ketimbang yang diimpor Pokdisus

FKUI/RSCM. Impor dalam jumlah besar itu membuat harga obat

tersebut cenderung semakin murah. Paket antiretroviral kombinasi

tiga jenis obat yang semula harganya Rp 700.000 untuk keperluan

sebulan, turun menjadi Rp 650.000. Kombinasi dua turun Rp 500.000

menjadi Rp 465.000. Sedangkan obat tunggal (Zidovudine) turun dari

Rp 300.000 menjadi Rp 280.000.

Impor dalam besar itu juga memudahkan distribusi obat itu ke

berbagai rumah sakit, sehingga tidak terpusat di Pokdisus

FKUI/RSCM. Meskipun demikian, penyaluran ke rumah sakit lain tetap

harus melalui Pokdisus FKUI/RSCM. Dengan demikian, harga obat

antiretroviral di berbagai rumah sakit sama dengan di Pokdisus

FKUI/RSCM. Obat-obatan itu akan disebar ke rumah sakit di 21 kota

di Indonesia. Di Jakarta dan Bandung terdapat masing-masing 20 dan

26 rumah sakit yang menerima pembagian.

"Untuk menggunakan obat antiretroviral perlu dipertimbangkan

gejala klinis, jumlah limfosit, jumlah virus, dan kemampuan pasien

menggunakan obat dalam jangka panjang," kata Samsuridjal.


Menambahi keterangan tersebut, dr Zubairi Djoerban SpPD

KHOM, menyatakan, seorang Odha memerlukan terapi antiretroviral

bila mengalami sindrom HIV akut dan berada dalam tahap AIDS. Dr

Zubairi adalah Ketua Pelaksana Harian Pokdisus AIDS FKUI/RSCM.

Terhadap pasien tanpa gejala, biasanya diperiksa daya tahan tubuhnya

(limfosit/CD4). Jika jumlah limfosit/CD4-nya kurang dari 350

sel/mm3, sementara jumlah virus (viral load) lebih dari 55.000

kopi/ml, maka yang bersangkutan sudah harus mendapat obat

antiretroviral.

Obat antiretroviral bukanlah sembarang obat yang bisa dipakai

kapan saja. Dampaknya harus selalu dipantau oleh dokter yang

meresepkannya. Evaluasi dapat dilakukan dengan menghitung kadar

RNA dalam plasma darah, CD4, kadar enzim hati SGPT/SGOT.

Menurut Zubairi, setelah pasien memakai antiretroviral,

selama empat sampai enam bulan tidak terdeteksi lagi virus HIV

ditubuhnya. Saat ini ada 111 Odha yang tidak terdeteksi lagi virus di

dalam darahnya setelah mendapat terapi anti retroviral. Meskipun

demikian, pemantauan terus dilakukan karena sampai sekarang HIV

belum bisa dihilangkan seratus persen.

Obat antiretroviral memiliki efek samping yang bisa

ditoleransi. Menurut dr Samsuridjal, jika muncul efek samping yang

berat, maka perlu penggantian obat.

Efek samping yang sering dijumpai adalah anemia karena

pemakaian AZT, gangguan saraf pusat karena penggunaan Efapirenz

(EFZ), merusak hati, diare, dan kemerahan pada kulit karena

pemakaian Nevirapine (NVP). Efek lain yaitu gangguan pertukaran zat

yang meliputi pembentukan dan penguraian zat organik dalam tubuh


(metabolisme) yang disebabkan oleh PI. Kemungkinan lainnya, yaitu

rusaknya janin karena pemakaian EFZ.

Samsuridjal menegaskan bahwa antiretroviral bukan barang

dagangan. Peresepan harus dilakukan dokter yang terlatih. Sebelum

terapi ARV dilakukan, perlu ada penyuluhan, pembimbingan dan tes,

diagnosis yang tepat. Terapi antiretroviral harus merupakan pilihan

Odha. Yang juga harus diperhatikan adalah pembimbingan dalam hal

finansial, karena antiretroviral dipakai dalam jangka waktu yang lama.

Untuk itu seorang ODHA harus memiliki pengetahuan tentang

pengobatan AIDS, bagaimana terapi itu bekerja, apa manfaat ART,

siapa saja yang membutuhkan ART, apa indikasi untuk memulai ART

dan efek samping obat antiretrovirus. ( Chris, 2009 ).

2. Tujuan Terapi ARV


a. Menurunkan angka kematian dan angka perawatan di rumah sakit
b. Menurunkan viral load
c. Meningkatkan CD4 (pemulihan respons imun)
d. Mengurangi resiko penularan
e. Meningkatkan kualitas hidup
3. Kriteria untuk memberikan terapi antiretrovirus sebagai

berikut :

a. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau

untuk mendiagnosis HIV secara dini.

b. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi

(ART) selama sedikitnya 1 tahun

c. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan

pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek

samping yang mungkin terjadi, dll.

d. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan

mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi

yang dapat timbul akibat ART


e. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb,

tes fungsi hati, dll.

f. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan

infeksi oportunistik akibat HIV

g. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup,

termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang

berhubungan dengan HIV.

h. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor,

pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu

pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) dan pendampinya.

i. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan

umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif

termasuk sistem untuk menyebar luaskan informasi dan pedoman

baru.

Dapat disimpulkan bahwa ODHA menghadapi berbagai masalah,

baik masalah kesehatan, masalah psikologis maupun masalah sosial.

Khususnya ODHA pengguna narkotika sering mengalami masalah

beberapa masalah kesehatan sekaligus, TBC, Toksoplasma, Sifilis,

Pneumonia, Jamur dan Koinfeksi Hepatitis C. Koinfeksi dengan

hepatitis C memerlukan penatalaksanaan yang lebih khusus dan

komprehensif. Jenis kombinasi ARV juga perlu dipantau lebih ketat

terhadap gangguan faal hati, anemia, leukopenia dan penurunan CD4.

Waktu HIV menggandakan diri, sebagian bibit HIV baru

menjadi sedikit berbeda dengan aslinya. Jenis berbeda ini disebut

mutasi. Sebagian besar mutasi langsung mati, tetapi sebagian lainnya

terus menggandakan diri. Walaupun memakai ARV, ternyata mutasi

tersebut kebal terhadap obat. Jika terjadi hal tersebut, ini berarti
bahwa obat yang dikonsumsi sudah tidak bekerja lagi dan

mengembangkan resistensi. Jika hanya satu jenis obat yang dipakai

virus mudah mengembangkan resistensi terhadapnya. Tetapi, jika dua

jenis obat dipakai sekaligus, virus bermutasi harus unggul terhadap dua

jenis obat. Jika tiga jenis obat yang dipakai, kemungkinan mutasi dapat

sekaligus unggul terhadap semuanya sangat kecil.

Pemakaian kombinasi tiga jenis obat berarti pengembangan

resistensi memakan jauh lebih banyak waktu. Oleh karena itu,

penggunaan satu jenis obat (yang disebut monoterapi) sangat tidak

dianjurkan. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa obat ini tidak

dapat menyembuhkan HIV/AIDS, tetapi obat ini dapat meningkatkan

kemungkinan Odha untuk hidup lebih lama dengan cara menekan jumlah

virus yang ada di dalam darah. (Lembaran Informasi tentang HIV/AIDS

Orang dengan HIV/AIDS, 2008).

4. Efek Samping Obat Anti Retroviral


TABEL 2.2 Efek Samping Obat Anti Retroviral

No Nama Obat Efek samping


1. Stavudin Mual
Nyeri perut hebat
(D4T )
Kelelahan
Sesak napas
2. Lamivudin ( 3TC) Mual
3. Nevirapin (NVP) Mual
Mata Kuning
Ruam Kulit
Kelelahan
Sesak Napas
Demam

4. Zidovudin (ZDV/AZT) Mual


Sakit Kepala
Kelelahan
Nyeri otot
Pucat (anemia)
5. Efavirenz (EFV) Mual
Mimpi aneh
Sulit tidur
Masalah pengingatan
Sakit Kepala
Pusing
Mata kuning
Psikosis
Ruam Kulit

5. Sumber- sumber dukungan

Dengan semakin banyaknya ODHA di kalangan masyarakat

maka tempat layanan dan dukungan untuk mereka perlu dikembangkan.

Banyak Rumah Sakit / fasilitas kesehatan belum siap secara mental

melayani ODHA. Layanan dan dukungan yang perlu dikembangkan

antara lain adalah klinik yang bersahabat dan dapat merupakan one

stop clinik dan memiliki fasilitas Voluntary counseling and testing

(VCT). Salah satu tujuan konseling adalah meningkatkan kepatuhan

pada terapi Antiretroviral agar virus tidak menjadi resisten dan

efektifitas obat dapat dipertahankan. ( Juknis teknis penanggulangan

HIV/AIDS di lingkungan TNI ).

a. Dukungan pemerintah

Di Indonesia pengadaan obat ARV termasuk cepat.

Indonesia merupakan negara kedua di ASEAN yang memproduksi

obat ARV. Kemampuan memproduksi sendiri ini dapat dicapai

berkat kerjasama yang baik antara aktivis AIDS, pemerintah ,

DPR dan industri farmasi (PT Kimia Farma). Kemampuan

memproduski sendiri obat ARV penting sehingga kita tak

bergantung pada obat impor . Dengan demikian kesinambungan

obat ARV dan juga harganya dapat dikendalikan. Sejarah


pengadaan obat ARV dinegara yang sedang berkembang merupakan

cerita yang penuh perjuangan . Di Indonesia gagasan pengadaan

obat ARV produksi di dalam negeri timbul seteleh salah seorang

pengurus kelompok Studi Khusus AIDS FKUI/RSCM berkunjung

ke India dan berhasil mendapat komitmen produsen obat ARV

generik India untuk menyediakan obat bagi Odha di Indonesia.

Pokdisus mendapat izin dari Badan POM dan Depkes untuk

melaksanakan layanan akses khusus obat ARV. Ternyata

kebutuhan obat ARV generik cukup tingi sehingga Pokdisus tak

mampu lagi menalangi pembelian obat ARV generik ini dan

mendorong perusahaan obat milik pemerintah untuk memproduksi

obat ini di Indonesia. PT Kimia Farma beresedia memproduksi

obat ARV ini . Sudah tentu perusahaan obat multi nasional yang

mempunyai paten obat ini tidak tinggal diam. Untunglah masalah ini

dapat diatasi melalui keputusan presiden yang menyatakan bahwa

obat ARV merupakan kebutuhan masyarakat dan merupakan salah

satu upaya dalam penanggulangan AIDS di Indonesia .Produsen

obat paten diberi kompensasi sebesar 0,5 % dari penjualan ARV

generik.

Sampai saat ini biaya yang terbesar untuk pengadaan obat

ARV ini berasal dari anggaran pemerintah. Pemerintah Indonesia

telah menunjukkan komitmen yang tinggi pada program WHO

untuk menyediakan obat ARV.

Sejak tahun 2004, pemerintah Indonesia melalui

Departemen Kesehatan telah memberikan jatah ARV generik

gratis bagi 25 rumah sakit di seluruh Indonesia.

b. Dukungan keluarga
ODHA yang selesai dirawat dan diijinkan pulang maka

keluarga harus siap menerima dan merawatnya di rumah.

Perawatan di rumah merupakan kesinambungan dari perawatan di

rumah sakit. Bantuan keluarga hanya diberikan bila ODHA tidak

sanggup melakukannya dan jika hal itu diperlukan maka tenaga

kesehatan dapat membantu dan membimbingnya.

Orang Dengan HIV/AIDS (Odha) tidak selalu harus

dirawat di rumah sakit karena salah satu tempat terbaik untuk

merawat Odha adalah di rumah/tempat tinggal Odha itu sendiri

dengan dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Banyak

Odha dapat hidup aktif dalam jangka waktu yang lama, tidak perlu

dirawat di rumah sakit. Perawatan di rumah biasanya lebih murah,

lebih menyenangkan, lebih akrab dan membuatnya bisa mengatur

dirinya sendiri. Penyakit yang berhubungan dengan Odha biasanya

akan cepat membaik dengan kenyamanan yang dirasakan di rumah,

dukungan dari teman, keluarga dan orang-orang yang dicintainya.

Informasi yang diperlukan keluarga dalam merawat ODHA

di rumah dapat diperoleh melalui Lembaga Sosial Masyarakat

peduli AIDS sehingga keluarga dapat memberikan dukungan

secara moral dan materi agar mereka tidak lagi jatuh ke dalam

stress yang lebih berat. Informasi itu meliputi pencegahan,

pengobatan, perawatan ODHA dan perawatan jenazah. (Depkes,

2003)

6. Konseling

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang

menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan

HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan

prilaku yang bertanggung jawab pada pengobatan ARV dan memastikan


pemecahan berbagai masalah terkait HIV.(Pedoman pelayanan konseling

dan testing HIV/AIDS).

VCT harus dikerjakan secara professional dan konsisten untuk

memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien dengan

bantuan konselor terlatih menggali dan memahami diri akan resiko

infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status

dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan prilaku

beresiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna

mempertahankan dan meningkatkan prilaku sehat.

Anda mungkin juga menyukai