Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fenomena pendidikan merupakan suatu kajian. Sebagai suatu kajian
pendidikan dapat menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan
macrocosmic dan microcosmic. Pendekatan macrocosmic mengkaji bahwa
pendidikan sangat erat kaitannya dengan faktor di luar pendidikan, misalnya
dengan faktor sosiolgi, antropologi, ekonomi dan psikologi.
Sedangkan pendekatan microcosmic mengkaji pendidikan dalam ruang
lingkup persekolahan (inschool system), sebagai suatu proses interaksi.
Proses interaksi tersebut banyak melibatkan berbagai faktor antara lain, guru,
peserta didik, materi serta lingkungannya. Proses interaksi tersebut akan
melahirkan kualitas pendidikan. Proses itu berlangsung amat dinamis dan
sangat rentan sehingga sulit untuk diprediksi. Oleh karena itu dalam kajian
microcosmic ini proses yang terjadi diibaratkan sebagai Pandora box, yakni
sesuatu yang ada dan penting namun tidak dapat dideskripsikan secara jelas
bagaimana proses interaksi tesebut terjadi.
Kajian pendidikan dengan menggunakan pendekatan microcosmic telah
melahirkan berbagai teori yang disebut sebagai learning teory. Yakni teori-
teori yang mencoba menerangkan bagaimana proses seseorang untuk dapat
menguasai pengalaman belajar yang diciptakan oleh guru lewat interaksi
proses belajar mengajar.
Bruner dengan teorinya Discovery-inquiry teaching and learning, telah
melahirkan teori yang dapat menjadikan peserta didik memahami dan
menguasai pengalaman belajar yang diciptakan oleh guru. Interaksi antara
guru dengan peserta didik dalam menyajikan pengalaman belajar sangat
ditentukan oleh kurikulum.
Kurikulum menggambarkan tujuan yang akan dicapai dan bagaimana
mencapai tujuan tersebut. Kurikulum akan menjelaskan kemampuan
(kompetensi) yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses
pembelajaran, pengalaman belajar yang harus dikuasai, serta bagaimana

1
pengalaman pembelajaran tersebut dikemas dan disampaikan pada peserta
didik.

B. Permasalahan
Merosotnya kualitas Negara kita disinyalir sebagai akibat dari bobot
kurikulum pendidikan secara umum yang terlalu memberatkan para peserta
didik, khususnya bagi siswa sekolah dasar (SD) dan menengah (SMP dan
SMA). Peristiwa serupa juga terjadi di lingkungan tempat penulis mengajar
yang berlatar belakang di daerah pedesaan. Berjubelnya materi pelajaran yang
harus diajarkan guru disekolah, tanpa melihat kondisi dan kemampuan siswa,
memunculkan pola pembelajaran kejar target. Guru dipaksa mencekoki
siswa siswanya dengan serangkaian materi pelajaran sesuai dengan apa yang
sudah ditentukan dalm GBPP. Padahal, tidak semua anak dikelasnya mampu
menampung dan memahami secara baik materi-materi yang ada didalamnya
sesuai dengan jangka waktu yang telah dialokasikan dalam kurikulum yang
sudah ada. Sehingga tujuan utama pendidikan untuk membuka pintu wawasan
mereka, bukan mengisi penuh otak mereka, seringkali terabaikan. Hal ini
yang kemudian menyebabkan dua per tiga dari seluruh lulusan siswa SD si
Indonesia dinyatakan tidak mampu mengikuti kurikulum yang sudah ada
(Drost : 2001).
Sebetulnya, pendidikan dasar dinegara kita merupakan warisan dari
jaman kolonial dimana seluruh lulusan SD harus melanjutkan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pendidikan di Indonesia, tampaknya,
hanya dimknai dan terdefinisikan sebagai tempat untuk bisa mengenalkan
cara berpikir dengan bekal keterampilan yang minim dan pengetahuan yang
masih terlalu umum. Hal inilah yang menyebabkan produk pendidikan
dinegara kita dinilai masih kurang mampu untuk memenuhi tuntutan zaman
yang kian kompetitif.
Drost juga menyatakan bahwa Indonesia adalah satu-satunya Negara di
dunia, dimana anak didiknya harus mempunyai kemampuan intelektual yang
sama (Kompas, 7 Agustus 2001). Maka tidaklah megherankan jika dunia
pendidikan kita tidak mampu mencetak generasi yang professional secara
keilmuan dan memilki keterampilan yang maksimal hanya dikarenakan anak

2
didiknya yang tidak mampu memenuhi tuntutan kurikulum sekolahnya.
Sebaliknya, para ahli pendidikan dan pengajaran akan mengatakan bahwa
hasil dari paksaan ini adalah generasi-generasi frustasi.
Jika kita telaah kembali prinsip dasar kependidikan, bahwa pada
dasarnya setiap manusia memiliki tingkat kecerdasan (intellegency) yang
berbeda-beda sehingga membutuhkan penanganan sistem pendidikan yang
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Seorang filosof terkenal berkata
: pikiran seorang manusia bukanlah wadah untuk diisi, melainkan sumbu api
yang harus dinyalakan.
Andai saja kurikulum pendidikan dinegara kita dapat lebih berorientasi
pada lulusan-lulusan yang memiliki keahlian secara professional dibidangnya,
bukan lulusan sekolah yang hanya sekedar tahu segala bidang ilmu tanpa bisa
menerapkannya. Tentu akan lebih baik jika sekolah-sekolah kita dapat
mencetak manusia-manusia cerdas dan berpikiran kritis, bukan manusia-
manusia pintar tapi terkekang dan tidak memiliki pola pikir maju
berkembang.
Sekolah-sekolah kita akan bisa menjadi sekolah terbaik tanpa
kegagalan jika semua muridnya teridentifikasi bakat, keterampilan dan
kecerdasannya dengan baik. Sehingga sekolah dapat memberikan
kesempatan bagi mereka untuk menjadi apa saja yang mereka inginkan untuk
menjadi yang terbaik sesuai dengan bakat dan kecerdasannya. Sekolah yang
tanpa adanya keterpaksaan untuk mengikuti kekakuan kurikulum yang malah
mengekang tumbuh kembang pola pikir siswanya. Sekolah tanpa sistem
pendidikan yang membatasi pertumbuhan, atau bahkan membunuh potensi-
potensi yang mereka miliki.

C. Strategi Pemecahan Masalah


Untuk mengatasi hal-hal tersebut sepertinya pemerintah pun bersikap
tanggap. Ini bisa dibuktikan dalam Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengamanatkan
tersusunnya kurikulum pada tingkat satuan pendidikan (biasa disebut KTSP)
jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan mengacu kepada standar isi

3
dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yang disusun
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Akhirnya dapat terealisasi dengan lahirnya Peraturan Pemerintah
nomor 22 dan 23 yang ditandatangani pada tanggal 23 Mei 2006 tentang
standar isi dan standar kompetensi lulusan. Juga terealisasi dalam Peraturan
Pemerintah nomor 24 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 22
dan 23 yang ditandatangani pada tanggal 2 Juni 2006.
Ini menjadi strategi penulis dalam meringankan beban peserta didik,
yaitu dengan mengoptimalkan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah Pengembangan


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia berada pada babak baru, pendidikan pun
mulai mendapat perhatian dan menunjukkan perkembangan tersendiri.

4
Upaya-upaya inovatif telah banyak dilakukan dan dukungan terhadap
pendidikan semakin meningkat sejalan dengan kesadaran pihak pemerintah
dan masyarakat dalam meningkatkan sumber daya manusia.
Program pendidikan atau kurikulum lebih banyak diarahkan guna
menanggulangi masalah-masalah besar seperti masalah pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan kualitas hasil pendidikan,
relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan,
perluasan kesempatan kerja, dan masalah-masalah besar lainnya. Sampai
akhirnya pada saat sekarang ini, dimana zaman telah berubah begitu pesat,
kurikulum sekolah diarahkan untuk mempersiapkan warga negara memasuki
abad baru yang penuh dengan persaingan-persaingan global.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum yang berlaku di sekolah dasar perlu disempurnakan
secara terus menerus sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat,
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya.
Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan yang perlu
didesentralisasikan dalam pengembangannya perlu mempertimbangkan
beberapa hal, antara lain : tuntutan kebutuhan siswa, keadaan dan kondisi
sekolah, serta kondisi daerah. Dengan demikian sekolah atau daerah memiliki
cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan
diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara mengajar dan menilai
keberhasilan proses belajar mengajar.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan. KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap
satuan pendidikan dan komite sekolah di bawah koordinasi dan supervisi
Dinas Pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk
satuan pendidikan dasar.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan
berdasarkan prinsip-prinsip berikut :

5
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan
peserta didik dan lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan.
6. Belajar sepanjang hayat.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Menilik prinsip-prinsip di atas penulis berpandangan bahwa Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sangat cocok diterapkan di Indonesia
umumnya dan sekolah tempat penulis mengajar khususnya. Selain tentunya
memang sudah diwajibkan oleh Pemerintah agar setiap sekolah menerapkan
kurikulum ini. Dengan KTSP peserta didik tidak lagi dibebani oleh kurikulum
yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa memperdulikan
potensi yang ada pada diri peserta didik.

B. Dampak yang Dicapai dari Strategi Pengembangan Kurikulum Tingkat


Satuan Pendidikan
Setelah pemerintah melakukan perubahan kurikulum menjadi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 silam, secara
otomatis penulis pun ikut mengembangkan kurikulum tersebut di sekolah.
Pengaruh positifnya sangat terasa, antara lain yaitu :
1. Peserta didik tidak lagi terbebani dengan kurikulum yang dibuat tanpa
kompromi oleh pemerintah sehingga peserta didik dapat
mengembangkan potensi dirinya.
2. Bakat, keterampilan dan kecerdasan peserta didik dapat teridentifikasi
dengan baik sehingga sekolah dapat memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi mereka untuk menjadi apa saja yang mereka
inginkan dan terbaik bagi diri mereka sendiri sesuai dengan bakat dan
keterampilannya melalui kegiatan pengembangan diri.
3. Guru tidak lagi dikejar oleh target kurikulum yang ditetapkan
pemerintah.
4. Kurikulum dikembangkan oleh sekolah masing-masing dengan
melibatkan stakeholders sebagai tim penyusun KTSP, yang pada
jenjang sekolah dasar disarankan melibatkan :
(1) Kepala Sekolah (ketua merangkap anggota)

6
(2) Guru Kelas (anggota)
(3) Konselor Sekolah (anggota)
(4) Komite Sekolah (anggota)
(5) Ahli pendidikan / ahli materi (narasumber)
(6) Dinas Pendidikan (Melakukan Koordinasi dan Supervisi)
Hal tersebut menjadi jaminan relevansi pendidikan dengan kebutuhan
kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia
usaha dan dunia kerja.
5. Peserta didik mendapatkan pelayan pendidikan yang bermutu serta
memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas,
dinamis dan menyenangkan.

C. Kendala yang Dihadai dalam Strategi Pengembangan Kurikulum


Tingkat Satuan Pendidikan
Dalam setiap kegiatan tidak mungkin tanpa hambatan, begitu pula
dalam pengembangan KTSP ini. Kendala yang dihadapi penulis antara lain :
1. Minimnya ahli materi / narasumber yang kompeten yang dapat
memberikan masukan atau saran pada tenaga pendidikan.
2. Kurangnya sarana dan prasarana di sekolah serta alokasi biaya yang
terbatas.
3. Tidak mudah merubah kebiasaan belajar pasif peserta didik yang selalu
menjadi pendengar setia tatkala guru menjelaskan materi pelajaran di
dalam kelas.

D. Faktor-faktor Pendukung
Dalam pengembangan KTSP ini tidak terlepas dari dukungan berbagai
faktor, yang antara lain adalah :
1. Sekolah melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Perbaikan secara
terus menerus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa
perbaikan.
2. Sekolah selalu tanggap (responsif) terhadap berbagai aspirasi yang
muncul bagi peningkatan mutu.

7
3. Kepemimpinan sekolah yang kuat. Kepemimpinan kepala sekolah
merupakan salah satu faktor yang mendorong sekolah untuk dapat
mewujudkan pengembangan KTSP ini.
4. Kerjasama yang solid dari Tim Penyusun KTSP.
5. Fasilitas dan sumber mengenai pedoman dan petunjuk pengembangan
KTSP untuk Sekolah Dasar dari Pemerintah

E. Alternatif Pengembangan
Untuk mengembangkan KTSP ini penulis mengacu pada pedoman
penyusunan KTSP untuk Sekolah Dasar yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar Tahun 2006. Langkah-langkah yang penulis lakukan sesuai dengan
pedoman tersebut antara lain :
1. Koordinasi
Koordinasi perlu dilakukan kepala sekolah yang merencanakan akan
menyusun KTSP. Kegiatan koordinasi sekurang-kurangnya menyangkut
dua kegiatan sebagai berikut :
a. Melakukan koordinasi mengenai rencana penyusunan KTSP dengan
dinas pendidikan / kota setempat.
b. Menghubungi ahli pendidikan setempat untuk diminta bantuannya
sebagai narasumber dalam kegiatan penyusunan KTSP.
2. Analisis Konteks
Analisis konteks merupakan kegiatan yang mengawali penyusunan KTSP.
Kegiatan ini dapat dilakukan dalam rapat kerja atau lokakarya yang diikuti
oleh Tim Penyusun KTSP. Kegiatan menganalisis konteks mencakup tiga
hal pokok, yaitu sebagai berikut :
a. Analisis potensi dan kekuatan/kelemahan yang ada di sekolah:
peserta didik
pendidik dan tenaga kependidikan
sarana prasarana
biaya
program-program yang ada di sekolah
b. Analisis peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan
lingkungan sekitar :
komite sekolah
dewan pendidikan
dinas pendidikan
asosiasi profesi

8
dunia industri dan dunia kerja
sumber daya alam dan sosial budaya
c. Mengidentifikasi standar isi dan standar kompetensi lulusan sebagai
acuan dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
3. Penyiapan dan Penyusunan Draf KTSP
Sebagai awal kegiatan Tim Penyusun KTSP memahami potensi dan
kekuatan/kelemahan sekolahnya, serta peluang dan tantangan yang ada di
masyarakat dan lingkungan. Kegiatan Tim selanjutnya adalah menyiapkan
dan menyusun draf KTSP. Kegiatan ini juga dilakukan dalam suatu rapat
kerja atau lokakarya yang dihadiri oleh seluruh Tim Penyusun KTSP.
4. Reviu dan Revisi Draf KTSP
Draf KTSP yang telah disusun selanjutnya dilakukan reviu dan revisi
sesuai dengan pertimbangan dan saran yang diterima dalam rangka
perbaikan dan penyempurnaan dokumen.
5. Finalisasi Draf KTSP
Finalisasi Draf KTSP dimaksudkan sebagai kegiatan penyempurnaan akhir
KTSP berdasarkan hasil reviu dan revisi yang telah disepakati oleh
berbagai pihak, baik kepala sekolah, guru, komite sekolah dan ahli
pendidikan.
6. Pemberlakuan KTSP
Setelah KTSP dinyatak final dan disahkan maka segera diberlakukan
dengan tahapan-tahapan dan prosedur yang disepakati bersama. Meskipun
KTSP telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh sekolah masih
memungkinkan direviu dan disempurnakan. Penyempurnaan KTSP dapat
dilakukan baik selama tahun berjalan maupun setiap tahun pelajran baru
sesuai dengan perkembangan. Perubahan dan penyempurnaan merupakan
hasil kesepakatan bersama.

BAB III

9
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
Dari pembahasan bab II makalah Meringankan Beban Siswa Melalui
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada Siswa Sekolah
Dasar ini dapat di tarik kesimpulan :
1. Kurikulum menjelaskan kemampuan (kompetensi) yang harus dimiliki
peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, pengalaman belajar
yang harus dikuasai, serta bagaimana pengalaman pembelajaran tersebut
dikemas dan disampaikan pada peserta didik.
2. Kurikulum sebelumnya tidak memperhatikan potensi siswa sehingga siswa
merasa terbebani dengan kurikulum yang sama rata tersebut. Padahal
kemampuan setiap siswa pada setiap daerah di Indonesia berbeda-beda,
apalagi jika membandingkan antara siswa perkotaan dengan siswa
pedesaan.
3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan sehingga dapat disesuaikan dengan potensi dan kondisi
lingkungan masing-masing.\
4. Dengan pengembangan KTSP siswa tidak lagi terbebani dengan kurikulum
yang memberatkan mereka sehingga potensi yang ada pada mereka dapat
terakomodir dengan baik.
5. Untuk mengembangkan KTSP diperlukan kerjasama yang solid dari
berbagai pihak terutama dalam hal penyusunan.

B. Rekomendasi
1. Hendaknya bagi semua guru dapat mengaplikasikan pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ini sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan Pemerintah.

10
2. Bagi Pemerintah hendaknya terus mengkaji permasalahan pendidikan dan
mengembangkannya sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia.
3. Peran aktif masyarakat dan stakeholder lainnya harus lebih ditingkatkan
agar terwujud kolaborasi yang baik dalam pengembangan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

11
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Pedoman Penyusunan Kurikulum
tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar. Jakarta : Depdiknas.

Drost, S.J. (2001). Pengajaran Kita. Kompas, 7 Agustus 2001

Hermawan, A.H, dkk. (2008). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran.


Jakarta : Universitas Terbuka.

Hermawan, Endang. (2006). Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).


Bhinneka Karya Winaya, Oktober 2006

Peraturan Pemerintah Nomor 22 tentang Standar Isi.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah


Nomor 22 dan 23.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar


Nasional Pendidikan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional.

12

Anda mungkin juga menyukai