Anda di halaman 1dari 5

Beberapa tahun yang lalu, gue pernah pacaran dengan perempuan cantik bernama Lala.

Cantiknya
seperti apa? Wah, pokoknya nggak terbantahkan. Kalau kita melihat stereotip model-model yang
berseliweran di runway sebuah pertunjukan fesyen, ya, seperti itulah Lala. Kijang panter. Kaki
panjang, pantat bergetar.
Lala dianugerahi kemampuan membujuk dan menggoda yang luar biasa hebat. Dia juga
seperti magnet bagi laki-laki di sekelilingnya. Bahkan, gue yakin jika ada lelaki yang sama sekali
tidak memiliki ketertarikan ketika melihat Lala, maka kejantanannya perlu dipertanyakan.
Teman-teman gue dulu suka bertanya, Kok lo bisa, sih, Jon, pacaran sama Lala?
Ada sedikit kebanggaan, memang, bisa pacaran dengan kembang dari segala kembang.
Namun tentu saja gue gak mau kalah gengsi. Gue selalu bilang pada teman-teman gue, Cemana
kalian ini? Biar bagaimanapun, awak menyandang nama Lennon. Penampilan awak pun sebelas-
dua belas sama si John. Hanya nasib saja yang sedikit berbeda. Yah, sebelas-tiga ratuslah. Tapi
kalian jangan salah kebaikan hati awak ini yang menjadi rahasia menaklukkan Lala.
Secara status, boleh jadi guelah yang menjadi pacar Lala. Tapi, dalam lingkup pergaulan,
Lala memiliki banyak laki-laki di sekelilingnya. Kawan lelakinya tidak bisa dihitung dengan jari-
jari tangan dan kaki. Cih! Dan yang lebih memperburuk situasi adalah, lelaki-lelaki itu kebanyakan
adalah orang-orang yang jauh lebih tua dan lebih mapan. Mereka bisa tuh, mentraktir Lala makan
di restoran ini-itu, atau membelikannya barang-barang mahal yang nggak penting. Lala sih terima-
terima saja. Gue ini nggak terima!
Lala selalu berdalih kalau itu merupakan salah satu cara untuk menjalin hubungan baik.
Kalau dikasih sesuatu, ya, diterima, dong. Masa menolak niat baik? begitu katanya. Dia juga
mengingatkan gue bahwa kebanyakan teman laki-lakinya itu adalah seorang yang sudah mapan di
industri seni-hiburan, sebagai produser atau sutradara. Dan oleh karena itu Lala enggan untuk
melepaskan mereka.
Gue dan Lala memang sama-sama punya mimpi untuk sukses di dunia seni. Gue ingin
bersinar di musik, sementara Lala ingin masuk TV atau jadi model papan atas. Kami berdua sangat
berambisi mengejar karier masing-masing. Dan ini membuat gue dan dia sangat nyambung kalau
sudah bicara karier.
Pun begitu, menurut gue ada perbedaan yang signifikan antara gue dan dia dalam mengejar
karier. Gue itu lebih suka berjuang sendiri, dari bawah, dari nol, dengan idealisme bermusik yang
gue miliki. Gue tidak keberatan bergerilya demo lagu gue ke perusahaan-perusahaan rekaman,
juga tidak lelah untuk menyabet semua tawaran bermain dari panggung ke panggung. Pokoknya,
gue tidak suka dan tidak mau menjadi sukses gara-gara factor punya kenalan. Gue mau
membangun kesuksesan gue sendiri.
Sementara, Lala sepertinya lebih oportunis. Gue akui, dia memang jago melihat peluang,
bahkan dia mampu membuat sebuah kondisi normal menjadi peluang. Kemampuan ini tentu tidak
lepas dari sifat Lala yang sangat supel. Namun apa yang membuat gue sangat risih adalah ketika
dia bersikap terlalu baik dan terlalu ramah pada teman-temannya itu. Buat gue, kenapa mesti begitu
banget, sih?
Orang boleh bilang gue cemburuan, posesip (sudah pakai P, bukan F lagi) atau bilang gue
tidak memiliki kepercayaan terhadapnya. Tapi gue tidak peduli, karena itulah yang gue rasakan
saat itu. Dan meskipun Joni Lennon seorang pria berjiwa bebas, dia juga sensitif. Gue bisa
merasakan mana hal yang wajar dan mana yang sudah di ambang batas (apalagi yang melampaui
batas!).
Suatu kali, gue pernah memergoki chat Lala dengan salah seorang teman lelaki yang,
katanya, produser film. Laki-laki itu mengajak Lala makan malam di sebuah restoran Italia mahal,
dengan konsep fine dining. Katanya, dia ingin membicarakan kemungkinan mengajak Lala ikut
serta dalam film. Dalam hati gue, kenapa mesti di resto macam itu, sih? Emang, nggak bisa, ya,
kalau dikedai kopi aja? Atau, di kantor kek?
Namun, Lala, yang merasa ini sebuah peluang besar, langsung saja mengiyakan. Dia
membalas chat tersebut dengan kalimat yang gue ingat betul sampai sekarang. Boleh banget, Say.
Yuk, kapan ketemu? Aku bisa kapan saja. Jemput ya.
Kemudian laki-laki itu membalas lagi, Pacarnya marah, nggak? Hehehe.
Dan Lala membalas singkat, Nggak apa-apa.
Bah! Nggak apa-apa bagaimana? Nggak apa-apa kalau gue marah?
Keika itu gue begitu murka. Gue yakin banget kalau muka gue saat itu pastilah merah
padam. Masalahnya, Lala sama sekali tidak memberitahu atau setidaknya mengajak gue berdiskusi
soal itu. Kemudian yang lebih mengesalkan adalah cara laki-laki itu mendekati Lala (ya, gue yakin
banget ada udang di balik mukanya!). Tapi dari semuanya, yang paling mengganggu gue adalah
cara Lala membalas pesan.
Kala itu gue langsung saja menyemprot Lala. Kau ada apa dengan laki-laki itu? Tanya
gue dengan nada tinggi dan tatapan setajam silet.
Nggak ada apa-apa. Kok kamu marah-marah? balasnya santai.
Ya, menurut kau! Kau mesra kali dengan laki-laki itu!
Nggak, ah. Aku kan cuma mencoba ramah, Jon. Lagi pula, dia itu mau ngasih aku
kesempatan main film. Salahnya di mana?
Biar kujabarkan terlebih dahulu, ya. Kau dengar baik-baik. Pertama, kau tidak bilang apa-
apa soal itu, jadi cemana awak mau percaya? Kedua, kau itu dirayu dan merayunya. Mana mungkin
aku bisa terima? Dan ketiga kenapa kau yakin sekali bilang aku nggak apa-apa? Sudah jadi
paranormal kau rupanya?
Ih, kamu aja yang berprasangka buruk. Aku memang belum sempat cerita. Dan aku yakin
kamu nggak akan kenapa-kenapa, karena kita kan punya janji untuk saling mendukung karier
masing-masing. Benar, nggak?
Terpancing emosi, nada bicara Lala mulai meninggi.
Kami berdua memang pernah saling berjanji untuk mendukung karier masing-masing,
dalam suka maupun duka. Tapi gue nggak membayangkan janji itu bisa diaplikasikan pada kasus
seperti ini. Dalam hati gue berpikir, apa iya, mendukung sepenuh hati juga berarti mendukung
sambil makan hati?
Iyaaaa, aku tahu itu. Tapi kau diskusikan dulu. Dan yang pasti, tak perlulah kau flirting-
flirting seperti itu. Malas kali aku dengarnya!
Siapa yang flirting, sih?! Aku itu cuma ramah!
Kau boleh menyebut bulan sebagai matahari, tapi bulan tetaplah bulan.
Nggak usah sok sok filosofis deh. Denger, ya. Aku nggak peduli bahkan jika satu dunia
menyebutnya bulan atau balon. Cara pandangnya saja sudah berbeda.
Kamu terlalu ramah!
Aku biasa saja. Kamu yang terlalu paranoid! Udah, ah. Aku malas ngomongin ini.
Pokoknya aku tetap pergi.
Kekerasan hati Lala membuat gue semakin gundah. Gue tidak tahu lagi mana yang benar
dan mana yang salah. Apakah gue yang terlalu berlebihan? Apakah gue terlalu cemburu dan
curiga? Mungkin Lala mengatakan yang sesungguhnya. Ya, mungkin saja. Karena bagaimanapun
juga gue tahu pasti dia memang orang yang supel dan ramah. Dan teman-temannya bilang ke gue
bahwa Lala itu orang yang setia. Tau ah!
Namun, pada akhirnya, karena gue merasa tidak bisa terusmenerus dihantui kegilaan,
gue melakukan sesuatu yang cukup memalukan bagi seorang pria sejati seperti Joni Lennon:
menguntit. Kala itu gue berjanji pada diri sendiri bahwa itu adalah pertama dan terakhir gue
melakukan hal macam itu. Maaf, ya, La. Tapi aku mesti melihat dengan mata kepalaku sendiri.
Pada malam janji temu mereka, gue pun mengarahkan Vespa gue ke sebuah restoran
mewah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Gue sengaja datang lebih awal agar bisa memetakan
interior restoran lantas memutuskan posisi duduk paling strategis yang bisa menjangkau seluruh
ruangan tanpa mesti ketahuan. Ya, gue datang bukan untuk mengacaukan malam mereka dengan
berbuat rusuh. Gue hanya ingin menjadi saksi.
Kemudian gue memesan makanan layaknya pengunjung biasa. Pramusaji restoran tersebut
pastilah kebingungan dan bertanya-tanya, apakah gerangan urusan seorang pria dengan setelan
kasual ini datang ke restoran begitu awal, sendirian pula? Gue mengacuhkan pikiran itu dan stay
cool. Tapi, sial, mahal juga makanan disini! Bisa bangkrut juga.
Setengah jam kemudian Lala tiba di restoran. Dia bersama seorang lelaki yang berdandan
necis. Rambutnya cepak ditata jigrak, mengenakan celana bahan, dan kemeja hitam, plus sepatu
yang disemir mengkilat. Flamboyan sekali. Belakangan, gue mengetahui bahwa laki-laki itu
bernama Mubarok.
Lala mengambil posisi duduk yang membelakangi gue. Sempurna! Tapi, entah mengapa,
Mubarokyang tadinya duduk berhadapan dengan Lala, berpindah kursi sehingga mereka kini
duduk bersamping-sampingan. Gue mengamati gerak-gerik mereka selama hampir dua jam dan
ternyata tidak ada yang mencurigakan buat gue. Meskipun jauh lebih cair daripada pertemuan
dengan klien umumnya, bahasa tubuh mereka relatif normal saja, layaknya seorang teman. Gue
juga melihat mereka tertawa lepas, tanpa kesan malu-malu atau jaga image. Hmm mungkin Lala
benar. Gue terlalu paranoid. Baiklah. Ini salah gue.
Mereka sudah keluar restoran ketika gue membayar tagihan yang ternyata mencapai
Rp.200.000 lebih sedikit. Gila nih restoran. Gue curiga yang punya mafia beneran. Tahu gitu awak
bawa mi sendiri.
Keluar dari restoran, gue mengambil Vespa yang diparkir di gedung kosong di sebelah
restoran. Ya, restoran dan mal-mal kelas atas memang kerap mendiskriminasi pengendara motor.
Sebagian dari mereka tidak menyediakan parkir motor. Pun jika ada, biasanya, di pelosok-pelosok,
entah itu di ujung nun jauh di sana, atau seperti sekarang ini, di lapak sebelah.
Jreeeeng!
Vespa menyala, lampu menyala, gue tancap gas, pulang. Sebenarnya, gue bingung antara
hendak pulang ke rumah atau ke rumah Lala. Ah, tapi mungkin saja mereka tidak langsung pulang.
Akhirnya gue memutuskan untuk pulang, namun dengan melewati rumah Lalajust in case gue
berubah pikiran. Gue baru saja hendak memacu Vespa ketika di kejauhan gue melihat Lala dan
Mubarok berjalan bersisian ke bagian ujung tempat parker yang sedikit gelap lantaran rimbunnya
pepohonan. Dan gue melihat secara samar-samar, tangan Mubarok mulai melingkar di pinggang
Lala. Semakin Vespa gue mendekat, tangan itu kian melingkar dan melingkar dan melingkar.
Selanjutnya, wajah Mubarok mendekat hingga telinga, seolah hendak membisiki sesuatu. Lala
merespons dengan mendekatkan telinganya. Dan saat itulah bibir Mubarok beraksi, maju dan
maju mengincar pipi Lala. Alamak!
Gue membejak gas, membuat Vespa gue menjerit. Traaannnnnngg!
Beberapa saat kemudian, gue telah sejajar dengan mereka dan menghentikan Vespa. Entah
apa yang gue pikirkan, tapi tiba-tiba gue langsung saja meneriaki mereka, Oi bakiyak! Panjang
kali moncong kau itu!
Gue menyadari betapa kagetnya mereka. Wajah Mubarok memerah karena malu dan salah
tingkah, dia menunduk, serta menarik lengannya yang melingkar di pinggang Lala. Lala sendiri
berlaku sebaliknya. Setelah hilang kekagetannya, dia balik meneriaki gue. Joni, ngapain kamu di
sini? Kamu ngikutin aku dari tadi?
Maaf, ya. Tapi aku cuma mau jagain kamu, untuk mencegah hal-hal seperti barusan
terjadi.
Wajah Lala memerah, dia juga menjadi salah tingkah. Mubarok hanya diam, meski terlihat
gelisah. Lala kemudian berkata, Jon, asal kamu tahu, ya, aku bisa jaga diri sendiri. Kamu nggak
usah ngikutin aku. Oh, kamu juga nggak usah hubungin aku lagi. Kita selesai di sini?
Yang seperti itu bisa jaga diri?
Sumpah, gue jadi bingung setengah mati. Kayaknya, mestinya gue yang marah, deh.
Kenapa jadi galakan dia?
Udah ah, Jon. Gue males ngomonginnya. Gue mau pergi. Lala berbalik badan, menarik
lengan Mubarok dan mengajaknya segera ke mobil. Yuk, ah, Mumu kita pergi.
Beberapa detik kemudian, mobil sudah melaju melintasi gue yang tetap terpaku di Vespa.
Mereka pergi dan meniggalkan gue dalam keadaan syok. Gue merasa remok, mendapati
kecurigaan gue berubah menjadi kenyataan. Dalam hati, gue pun bertanya-tanya mengapa Lala
begitu tega? Apa salah gue?
Tentu saja, setelah kejadian itu kami benar-benar putus. Memang, sih, tidak ada semacam
pernyataan resmi dari kedua belah pihakkarena setelah kejadian itu taka da satupun dari kami
yang berusaha menghubungi. Ya, sudahlah. Gue pun tidak mengharapkan hal itu. Bahkan, setelah
bangkit dari kejatuhan, gue merasa malas hanya mendengar namanya saja. Joni Lennon dikhianati
dan pantang baginya untuk mengemis atau terlihat perlu dikasihani. Kawan-kawan gue pun
memberi dukungan dengan mengatakan Lala tidak pantas mendapatkan cinta gue.
Pastinya! Hanya orang beruntung yang bisa merasakan kasih sayang Joni Lennon dan yang
jelas itu bukan Lala. Gue meyakinkan diri gue bahwa itu kesalahan Lala dan dia pula yang akan
menanggung karmanya. Lagipula, dia kok yang rugi membuang Joni Lennon demi Mubarok!
Demi Tuhan, MUBAROK! Alamak! Nama zaman prakemerdekaan pula yang dipakainya. Dan
apa pula yang ada dipikiran Lala ketika memanggilnya dengan MUMU!!! Jiahh
Begitulah hubungan gue dengan Lala, satu-satunya mantan yang gue sama sekali tidak
tertarik untuk mencari tahu soal kabarnya.

Anda mungkin juga menyukai