Anda di halaman 1dari 22

1.

Profil Kabupaten Kuningan

Kabupaten Kuningan terletak pada titik koordinat 108 23 108 47 BT dan 6 47


- 7 12 LS.

Dilihat dari posisi geografisnya terletak di bagian timur Jawa Barat berada pada
lintasan jalan regional yang menghubungkan kota Cirebon dengan wilayah Priangan Timur
dan sebagai jalan alternatif jalur tengah yang menghubungkan Bandung-Majalengka dengan
Jawa Tengah.

Secara administratif berbatasan dengan:

1. Sebelah Utara : Kabupaten Cirebon


2. Sebelah Timur : Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)
3. Sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah)
4. Sebelah Barat : Kabupaten Majalengka

Luas Wilayah : 119.571,12 hektar

Jumlah Penduduk : 1.133.164 jiwa (BPS Kuningan 2013)

Temperatur bulanan : 18-24C

Curah hujan : 2000 mm/tahun

Kelembaban : 80-90%

Kabupaten Kuningan terdiri atas 32 Kecamatan, 15 Kelurahan dan 361 Desa


2. Profil Kecamatan Nusaherang

Nusaherang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.


Batas-batas kecamatan:
1. Sebelah Utara : Kecamatan Kadugede
2. Sebelah Timur: Kecamtan Kadugede
3. Sebelah Selatan : Kecamtan Ciniru
4. Sebelah Barat : Kecamatan Darma

Luas Wilayah: 732,403 Km2

Peta Wilayah:
Wilayah administratif:

Luas Jumlah
No. Nama Desa
Wilayah Dsn RT RW
1. NUSAHERANG 97,698 5 22 5

2. CIKADU 176,6 7 26 6

3. JAMBAR 38,838 5 19 5

4. KERTAWIRAMA 33,23 5 13 -

5. HAURKUNING 190,737 5 28 5

6. WINDUSARI 144,50 3 8 -

7. KERTAYUGA 18,3 3 10 3

8. CIASIH. 32 2 4 2
JUMLAH 35 130 26

Data Kependudukan:
Jumlah Penduduk
No Nama Desa Total
Laki-laki Perempuan

1. NUSAHERANG 1.291 1.372 2.663


2. CIKADU 1.954 1.844 3.798

3. JAMBAR 2.058 2.017 4.075

4. KERTAWIRAMA 1.246 1.211 2.457

5. HAURKUNING 2.309 2.327 4.636

6. WINDUSARI 600 557 1.157

7. KERTAYUGA 508 516 1.024

8. CIASIH 377 343 720


JUMLAH 10.343 10.187 20.530

Sarana dan Prasarana:


1. Pendidikan

a. Jumlah SD : 15 Buah

b. Jumlah MI : - Buah

c. Jumlah SMP : 1 Buah

d. Jumlah MTs : 1 Buah

e. Jumlah SMA : - Buah

f. Jumlah SMK : - Buah

g. Jumlah MA : - Buah

h. Jumlah LPK : - Buah

i.. Jumlah PT/Akademi : - Buah

2. Agama

a. Jumlah Masjid Jami : 20 Buah

b Jumlah Pontren : 3 Buah

c. Jumlah Gereja : - Buah

3. Kesehatan

a. Jumlah Posyandu : 31 Buah

b Jumlah Poskesdes : 7 Buah

c. Jumlah Puskesmas : 1 Buah

d. Jumlah Puskes Pembantu : 1 Buah

e. Jumlah Balai Pengobatan Swasta : - Buah


4. Jalan dan Jembatan

a. Jalan Provinsi : 3 KM

b. Jalan Kabupaten : 4 KM

c Jalan Desa : 148 KM

Identifikasi Vulnerability
Vulnerability adalah kerentanan dari manusia itu sendiri. Perilaku manusia yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk menghadapi bahaya atau ancaman.
Kerentanan tersebut adalah keadaan atau suatu sifat atau perilaku manusia yang
menyebabkan ketidakmampuan untuk menghadapi bahaya atau ancaman.

Kerentanan Fisik : lokasi dari Kecamatan Bakauheni, dekat dengan daerah pesisir pantai
dan dari segi geografis berada disekitar gunung krakatau. Sehingga sangat rentan terhadap
bahaya ancaman tsunami.

Kerentanan Ekonomi : secara ekonomi, masyarakat di Bakauheni atas banyak yang


berprofesi sebagai pedagang dan nelayan yang sebagian besarnya memiliki tingkat
kesejahteraan yang kurang.

Kerentanan Sosial : kerentanan sosial masih cukup tinggi mengingat tingkat pendidikan
yang masih rendah

Kerentanan Teknologi : teknologi sudah cukup baik untuk pemantauan bahaya dini.
Mekanisme Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana BPBD Kabupaten Kuningan:

Salah satu kecepatan penyelenggaraan operasi Penanggulangan Bencana (response


time), BPBD Kabupaten Kuningan menyelenggarakan siaga penanggulangan bencana yang
meliputi kesiagaan pada 5 (lima) komponen utama penanggulangan bencana, antara lain :

1. Kesiapan manajemen operasi penanggulangan bencana,


2. Kesiapan fasilitas penanggulangan bencana,
3. Kesiapan komunikasi penanggulangan bencana,
4. Kesiapan pertolongan darurat penanggulangan bencana,
5. Dokumentasi.

Di bawah ini dapat dilihat mekanisme kesiapsiagaan penanggulangan bencana :

Dalam penyelenggaraan operasi BPBD Kabupaten Kuningan menyelenggarakan siaga


penanggulangan bencana, ada 5 komponen kesiapsiagaan penanggulangan bencana yang
yang harus dibangun kemampuannya, agar pelayanan jasa penanggulangan bencana dapat
dilakukan dengan baik. Komponen-komponen tersebut antara lain:
1. Organisasi, merupakan struktur organisasi penanggulangan bencana, meliputi aspek
pengerahan unsur, koordinasi, komando dan pengendalian, kewenangan, lingkup
penugasan dan tanggung jawab penanganan bencana.

Tahap tindak awal (initial action stage). Adalah tahap seleksi informasi yang diterima,
untuk segera dianalisa dan ditetapkan. Berdasarkan informasi tersebut, maka keadaan
darurat saat itu diklasifikasikan sebagai:

2. Komunikasi, sebagai sarana untuk melakukan fungsi deteksi adanya bencana, fungsi
komando dan pengendalian operasi dan koordinasi selama operasi penanggulangan
bencana.
3. Fasilitas, adalah komponen unsur, peralatan/perlengkapan serta fasilitas pendukung
lainnya yang dapat digunakan dalam operasi/misi penanggulangan bencana.
4. Pertolongan Darurat, adalah kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana.
5. Dokumentasi, berupa pendataan laporan, analisa serta data kemampuan operasi
penangulangan bencana guna kepentingan misi penanggulangan bencana yang akan
datang

Sistem Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana BPBD Kabupaten Kuningan

Sistem Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Badan Penanggulangan


Bencana Daerah Kabupaten Kuningan diadopsi dari ketentuan yang berlaku di wilayah
Indonesia yang menjadi tujuan penyelenggaraan penanggulangan bencana BPBD Kabupaten
Kuningan adalah untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.
Yang dimaksud dengan:

1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun factor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
3. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana
maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
4. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.
5. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
6. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana
7. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman,mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat.
8. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana.
9. Korban bencana adalah orang atau kelompok orang yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana.
10. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
11. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, social dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.
12. Wilayah bencana adalah wilayah tertentu yang terkena dampak bencana.
13. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok orang dan/atau badan hukum.
14. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari
tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk
bencana.
15. Kelompok rentan adalah bayi, anak usia di bawah lima tahun, anak-anak, ibu hamil
atau menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut usia.
16. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
17. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota atau perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
18. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disingkat dengan BNPB,
adalah lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
19. Badan Penanggulangan Bencana Daerah, yang selanjutnya disingkat BPBD, adalah
badan pemerintah daerah yang melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana
di daerah.

Bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam,
manusia dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta
benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta
menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Potensi bencana yang ada dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu
potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Dari
indikator-indikator di atas dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Kuningan memiliki potensi
bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Disamping tingginya potensi bahaya utama,
juga memiliki potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat
dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan
(collateral hazard potency) ini sangat tinggi terutama di daerah yang memiliki kepadatan,
persentase bangunan kayu, dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi.
Tingkat kerentanan (vulnerability) adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana alami, karena bencana baru akan
terjadi bila bahaya alam terjadi pada kondisi yang rentan. Tingkat kerentanan dapat
ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan
fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur)
bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Melihat dari berbagai indikator sebagai berikut :
persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat;
jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; dan jaringan PDAM.
Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan
jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan
penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk
wanita, maka memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Belum lagi jika kita melihat kondisi
sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam (man made disaster), seperti
rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya angka pengangguran,
instabilitas politik, dan tekanan ekonomi. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya
kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman
bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini
misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan
distribusi) dan persentase rumah tangga miskin.
Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan
risiko bencana yang akan terjadi tergolong tinggi. Risiko bencana pada wilayah Indonesia
yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut
yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula.
Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya risiko bencana ini adalah
menyangkut pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk yang memilih atau
dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai
alasan seperti kesuburan tanah, atau opportunity lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut.
Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial tersebut di atas menunjukkan bahwa
Kabupaten Kuningan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini
mempengaruhi/menyebabkan tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah. Dilihat dari
potensi bencana yang ada, Kabupaten Kuningan merupakan kabupaten dengan potensi
bencana (hazard potency) yang tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada antara lain adalah
bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Bencana Alam dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
1.bencana letusan gunung berapi;
2.bencana instabilitas gerakan tanah;
3.bencana banjir;
4.bencana gempa bumi;
5.bencana kekeringan;
6.kebakaran hutan; dan
7.bencana angin kencang.

1.Bencana Letusan Gunung Berapi.


Gunungapi yang terdapat di Kabupaten Kuningan adalah Gunung Ciremai. Berdasarkan
catatan sejarah erupsinya seperti yang di tulis Pratomo (2008), letusan Gunungapi Ciremai
terpendek adalah 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Erupsi terakhirnya terjadi mulai 24 Juli
1937 sampai 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran
abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Tiga letusan
1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun
1917 dan 1924. Hingga saat ini Gunungapi Ciremai telah beristirahat selama 71 tahun dan
selang waktu tersebut belum melampaui waktu istirahat terpanjang (RTRW Kabupaten
Kuningan, 2011-2030).
Keberadaan Gunungapi Ciremai yang termasuk jenis gunungapi aktif sejak tahun 1960 selain
merupakan asset alam yang sangat berharga, juga mengandung risiko bencana alam letusan
gunung (erruption). Siklus meletusnya gunung berapi Ciremai 126 tahun sekali, yang letusan
terakhirnya pada tahun 1864, sehingga risiko tersebut memerlukan antisipasi terlebih selama
lebih dari satu abad terakhir Gunung Ciremai belum mengalami letusan dan memerlukan
rencana penataan ruang untuk daerah mitigasi bencana.

2.Bencana Gerakan Tanah


Beberapa wilayah kecamatan yang berpotensi tinggi mengalaminya, seperti Kecamatan
Ciniru, Subang, Selajambe, Cilebak, Ciwaru, Karangkancana, Cimahi dan Cibingbin.
Gerakan tanah yang pernah terjadi di Kabupaten Kuingan antara lain berupa nendatan dan
longsoran.
oNendatan, terjadi di kampung Mandapajaya Kecamatan Subang pada batu pasir tufan
(Formasi Halang) dengan tanah lapukan berupa lempung setebal 2 3, 5 m, serta di
Kampung Cisampih Desa Cipakem Kecamatan Lebakwangi pada tanah lapukan perselingan
batu pasir gampingan dan serpih berupa lempungan pasiran-pasir lempungan setebal 3-6.
oLongsoran, terjadi di kampung Banjaran Desa Jabranti Kecamatan Ciwaru pada perselingan
batu pasir tufan, batu lempung dan konglomerat (Formasi Halang) yang telah lapuk berupa
lempung lanauan setebal 3-7 m (N. Sugiharto, 2000); di ampung Puguh Desa Sukadana
Kecamatan Ciawigebang pada breksi gunungapi yang menumpang di atas perselingan batu
pasir tufan dan batu lempung tufan dengan tanah lapukan berupa lempung pasiran
mengandung kerikil dan bangkah setebal lebih dari 4 meter, serta di Kampung Parenca Desa
Mandalajaya Kecamatan Lebakwangi pada batupasir yang telah lapuk berupa lembung
pasiran setebal lebih dari 2,5 meter.

3.Bencana Banjir
Kejadian banjir bandang di Kuningan diantaranya pernah terjadi di Desa Garajati Kecamatan
Ciwaru karena wilayah tersebut merupakan pertemuan atau muaranya Citaal ke Cisanggarung.
Banjir bandang lainnya pernah terjadi di Desa Datar Kecamatan Cidahu dan Desa Benda
Kecamatan Cimahi, terjadi karena tanggul sungai Cisanggarung sepanjang 30 meter roboh
diterjang derasnya arus sungai. Akibatnya puluhan hektar sawah terendam dan mengikis
tebing sungai dekat kawasan pemukiman.
Selain itu, keberadaan Waduk Darma yang besar volumenya, dan beberapa situ serta embung
di wilayah ini bisa juga berpotensi menyebabkan banjir bandang jika tanggul waduk dan situ
tersebut mengalami kerusakan dan jebol seperti kejadian Situ Gintung di Tanggerang.
Sehingga pemantauan kualitas dan daya tahan bendungan atau tanggul waduk,situ dan
embung tersebut harus secara intensif dilakukan.

4.Bencana Gempa Bumi


Gempa bumi ada yang disebut sebagai gempa bumi tektonik dan gempa bumi gunung berapi
yaitu gempa yang diakibatkan oleh adanya pergerakan magma gunung berapi. Berikut uraian
lebih rinci. Gempa bumi tektonik disebabkan oleh perlepasan tenaga yang terhasil daripada
geseran batuan di keretakan memanjang sepanjang batuan sempadan plat tektonik.
Energi getaran gempa dikirimkan melalui permukaan bumi dari kedalaman pusat gempa.
Getaran menyebabkan kerusakan dan menghancurkan bangunan-bangunan, yang pada
gilirannya bisa membunuh dan melukai orang-orang yang bertempat tinggal di situ. Getaran
juga mengakibatkan tanah longsor, pencairan, runtuhnya bebatuan dan kegagalan-kegagalan
daratan yang lain, yang merusak tempat- tempat hunian di dekatnya. Getaran juga memicu
kebakaran berganda, kecelakaan industri atau transportasi dan bisa memicu banjir lewat
jebolnya bendungan-bendungan dan tanggul-tanggul penahan banjir.

Beberapa catatan sejarah kejadian akibat bencana gempa di Kabupaten Kuningan. Tahun
1875 tepatnya tanggal 25 Oktober 1875 kabarnya pernah ada kejadian gempa besar di
Kuningan. Selain itu pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda
daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara -
baratlaut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga
sebelah barat G. Ciremai tahun 1990 dan tahun 2001, getarannya terasa hingga desa Cilimus
di timur G. Ciremai. Terakhir, tanggal 2 september 2009. Pusat gempa berada pada koordinat
7,77 LS dan 107,32 BT, kedalaman 49 km dan berjarak sekitar 142 km dari Barat daya
Tasikmalaya.
5.Bencana Kekeringan
Hampir seluruh wilayah kecamatan mengalami rawan kekeringan air baik yang dialami tiap
tahun atau sepanjang tahun serta sumber daya manusia yang masih kurang/terbatas dalam
pengelolaan air minum baik dari sisi teknis maupun manajemen.
6.Bencana Kebakaran Hutan
Wilayah Kabupaten Kuningan termasuk daerah yang mempunyai luasan hutan lebih dari 30%,
tersebar di wilayah hutan Gunung Ciremai dan daerah perbukitan yang memanjang dari
Selatan Gunung Ciremai bersambung ke Selatan Kuningan sampai wilayah Timur Kuningan.
Keberadaan wilayah hutan yang luas tersebut disertai dengan musim kemarau panjang dan
faktor ulah manusia karena terdapat wilayah hutan yang berdekatan dengan wilayah pedesaan,
biasanya menjadi faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan.
Pemerintah Kabupaten Kuningan mendeteksi terdapat tujuh titik rawan kebakaran di wilayah
hutan Kuningan. Lima titik rawan kebakaran hutan di kawasan Gunung Ciremai itu terdapat
di areal hutan Pasawahan, Padabeunghar, Setianegara, Trijaya, dan Palutungan. Sedangkan
dua lokasi lainnya yang juga ditengarai rawan kebakaran hutan aalah kawasan hutan
Cibingbin, dan Garawangi. Untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di kawasan tersebut,
pihak Pemerintahan Kab.Kuningan kini melakukan pengawasan secara ketat terutama
aktifitas manusia memasuki kawasan hutan di musim kemarau.
7.Bencana Angin Kencang;
Hal yang harus diwaspadai yaitu terjadinya angin barat terutama pada saat musim kemarau.

MITIGASI BENCANA DAN PERAN PEMERINTAH KABUPATEN KUNINGAN DI


ERA DESENTRALISASI
Mitigasi bencana merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak
utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau
meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada
tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau
dikenal dengan istilah Mitigasi. Mitigasi dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan
memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan
untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam(natural disaster)
maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia(man-made disaster).
Selama ini, di dalam praktek, penanggulangan bencana masih ditekankan pada saat serta
setelah (pasca) terjadinya bencana. Sementara itu, pada tahap sebelum (pra) bencana yang
telah diakomodasikan masih terbatas pada tahapan pencegahan (prevention), yaitu dengan
menghindari pemanfaatan kawasan yang rawan bencana untuk dikembangkan sebagai
kawasan budidaya. Kebiijaksanaan yang ada juga belum memadukan berbagai program
pembangunan yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga dari bencana yang
mungkin terjadi. Selain itu juga disadari bahwa kebijakan nasional penanggulangan bencana
yang ada masih mengandung beberapa kelemahan yang cukup esensial, selain dalam hal
substansinya (yang masih sangat umum, tidak khusus untuk yang jauh lebih rentan), juga
pada tingkat kemungkinan applicability dari kebijaksanaan tersebut di dalam tataranpraktik
sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
Oleh karenanya, sejak diterapkannya UU No. 22 tahun 1999 peran pemerintah pusat di era
desentralisasi baru yang lebih terbatas pada penyusunan pedoman, standard, atau aturan
kebijakan pokok. Hal tersebut berimplikasi pada tuntutan penyusunan kebijakan nasional
mitigasi bencana yang lebih baik, dalam artian kebijakan nasional yang lebih layak secara
teknik (efektif dan cukup), ekonomi dan finansial (efisien, keefektifan biaya), politis
(diterima masyarakat, responsif, legal), dan secara administratif dapat dilaksanakan (otoritas,
komitmen, kapasitas, dan prasarana & sarana pendukung).
Khusus dalam kebijakan penanggulangan bencana alam, kebijakan yang telah ada saat ini
umumnya juga lebih menekankan pada pencegahan/penghindaran dalam menyikapi kawasan
yang rentan terhadap bencana. Hal ini khususnya berlaku untuk kawasan yang belum
terbangun, yaitu dengan menjadikannya sebagai kawasan lindung/preservasi, yang tidak
boleh sama sekali dibangun. Dalam hal tertentu, kebijaksanaan tersebut kadang-kadang dapat
menimbulkan persoalan dalam pembangunan, khususnya terkait dengan hilangnya
kesempatan sosial ekonomi atas lokasi-lokasi yang strategis di . Kepadatan penduduk yang
terpusat di, ditambah dengan pertumbuhan penduduknya yang cukup tinggi (proses
itensifikasi), menyebabkan daerah tersebut menjadi rawan/rentan terhadap bencana baik
bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia. Permintaan lahan untuk perumahan dan
industri (proses ekstensifikasi) juga menyebabkan bertambahnya area yang potensial terhadap
bencana. Mengingat bahwa mitigasi ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
akibat bencana terhadap manusia dan harta bendanya, maka prioritas perlu diberikan untuk
kawasan-kawasan yang secara inherent mengandung potensi risiko yang tinggi jika terjadi
bencana sebagai akibat akumulasi dari tingkat kerentanan (vulnerability level), yang relatif
lebih tinggi
bila dibandingkan dengan wilayah yang secara umum kurang terbangun, dengan potensi
bahaya (hazard potency) yang dimilikinya.
Kabupaten Kuningan perlu mempunyai suatu kebijakan mitigasi bencana dengan mengikuti
pedoman atau Arahan Kebijaksanaan Mitigasi Bencana yang diharapkan dapat digunakan
sebagai titik tolak untuk mengembangkan dan memadukan berbagai program pembangunan
yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga dari bencana yang mungkin terjadi
sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan. Salah satu sebab pentingnya penyusunan
kebijaksanaan mitigasi ini, di samping mengurangi dampak dari bencana itu sendiri adalah
juga untuk menyiapkan masyarakat membiasakan diri hidup bersama dengan bencana,
khususnya untuk lingkungan yang sudah (terlanjur) terbangun, yaitu dengan mengembangkan
sistem peringatan dini dan memberikan pedoman bagaimana mempersiapkan diri dalam
menghadapi bencana yang biasa terjadi, sehingga masyarakat dapat merasakan keamanan
serta kenyamanan dalam kehidupannya.
Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural
dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha
pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi
perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan
peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula, kebijakan nasional harus
lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerah-daerah untuk
mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-
efisien untuk daerahnya.
Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan
penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal
sebagai Siklus Manajemen Bencana, yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2)
mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang
mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan
kehilangan sumber ekonomis.
Aspek penting dalam manajemen bencana adalah perlunya mitigasi dan kesiapsiagaan
menghadapi bencana. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. (UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1,
Ayat 9). Mitigasi bencana tidak hanya dibangun untuk menyelamatkan manusia saja, tetapi
juga untuk seluruh mahluk hidup. Mitigasi bencana pada prinsipnya dilakukan dalam 3
tahapan, yaitu : 1). Mitigasi Sebelum terjadinya bencana ; 2) Mitigasi selama bencana terjadi
dan 3) Mitigasi setelah bencana terjadi. Pada setiap tahapan sasaran yang diutamakan adalah
untuk mengurangi atau memperkecil bahkan kalau bisa mengtiadakan risiko-risiko dampak
bencana.
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana (UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Mitigasi bencana adalah
istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari
satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan
tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka panjang. Mitigasi bencana mencakup baik
perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi risiko-risiko yang terkait
dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan
proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar
terjadi.
Mitigasi merupakan bagian dari pengelolaan bencana. Pemahaman mengenai mitigasi harus
mencakup pula konteks pengelolaan bencana secara keseluruhan. Pengelolaan Bencana
(Disaster Management) dapat diartikan sebagai Ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
meningkatkan tindakan-tindakan berkaitan dengan pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggap
darurat dan pemulihan, melalui pengamatan dan analisis yang sistematik. Suatu terminologi
kolektif yang mencakup semua aspek perencanaan untuk menghadapi dan memberikan
tanggapan terhadap bencana, termasuk kegiatan-kegiatan pra dan pasca bencana
Berbagai komponen yang terdapat dalam pengelolaan bencana memerlukan pemahaman yang
tepat agar dapat diterapkan di lapangan dan tidak terjadi kesimpangsituran. Komponen
tersebut antara lain adalah:
Mitigasi risiko bencana adalah semua tindakan untuk mengurangi dampak/ risiko dari suatu
bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-
tindakan pengurangan risiko jangka panjang. Mitigasi risiko bencana mencakup baik
perencanaan maupun pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi risiko-risiko yang
terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui,
dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-
benar terjadi.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat
bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode
bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur
ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-
lain.
Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya
seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang
dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan
masyarakat dan pemerintah daerah.

Mitigasi Bencana yang Efektif


Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya,
peringatan dan persiapan.
1. penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan
asset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang
karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di
masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk
merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
2. peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang
bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi,
aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data
bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi
untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan
terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya; dan
3. persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi
sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang
daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk
mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah
aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat
penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan
tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya
bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur
yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).

Kebijakan Umum Pemulihan Pasca Bencana


Tiga kebijakan umum pemulihan yaitu:
1. Pemulihan Perumahan dan Permukiman. Kebijakan ini bertujuan untuk menyediakan
perumahan dan permukiman tahan gempa yang lebih sehat, lebih tertib, lebih teratur, dan
lebih estetis beserta sarana dan prasarana pendukungnya dengan mempertimbangkan aspirasi
dan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini terkait dengan hasil penilaian kerusakan dan
kerugian di sektor perumahan dan permukiman serta di sektor prasarana.
2. Pemulihan Sarana dan Prasarana Publik. Kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan
fungsi sarana dan prasarana layanan publik, yang diarahkan untuk mendukung revitalisasi
kehidupan sosial dan perekonomian daerah. Kebijakan ini terkait dengan hasil penilaian
kerusakan dan kerugian di sektor prasarana, sosial, ekonomi produksi, dan di sektor lainnya
(lintas sektor).
3. Pemulihan Perekonomian. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan dukungan dalam
rangka menstimulasi dan mendorong kembali aktivitas perekonomian lokal dan pendapatan
masyarakat. Kebijakan ini terkait dengan hasil penilaian kerusakan dan kerugian di sektor
ekonomi produksi dan di sektor lainnya (lintas sektor)

Strategi Umum Pemulihan


Strategi pemulihan pasca bencana gempa Jawa Barat terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
rehabilitasi dan tahap rekonstruksi.
Tahap Rehabilitasi bersifat jangka pendek, sebagai respon atas berbagai isu yang bersifat
mendesak dan membutuhkan penanganan yang segera dan bertujuan untuk memulihkan
standar pelayanan minimum pada sektor perumahan, sektor prasarana, sektor sosial, sektor
ekonomi produksi, serta sektor lainnya (lintas sektor) yang mengalami kerusakan dan
kerugian akibat dampak bencana.
Tahap Rekonstruksi lebih bersifat jangka panjang untuk memulihkan sistem secara
keseluruhan serta mengintegrasikan berbagai program pembangunan ke dalam pendekatan
pembangunan daerah.
Manajemen Bencana (Disaster Management) adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-
keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan
berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Manajemen bencana merupakan seluruh
kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat
dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana, yang
bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3)
memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi
kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.
Aspek penting dalam manajemen bencana adalah perlunya mitigasi dan kesiapsiagaan
menghadapi bencana. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. (UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1,
Ayat 9). Mitigasi bencana tidak hanya dibangun untuk menyelamatkan manusia saja, tetapi
juga untuk seluruh mahluk hidup. Mitigasi bencana harus dilakukan untuk semua tipe
wilayah di seluruh Indonesia, baik di pegunungan dengan bencana gunung berapi, di daerah
rawa dengan banjir, dipantai dengan interusi dan aberasi, digambut dan areal hutan dengan
kebakaran hutannya. Mitigasi bencana pada prinsipnya dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu : 1).
Mitigasi Sebelum terjadinya bencana ; 2) Mitigasi selama bencana terjadi dan 3) Mitigasi
setelah bencana terjadi. Pada setiap tahapan sasaran yang diutamakan adalah untuk
mengurangi atau memperkecil bahkan kalau bisa meniadakan risiko-risiko dampak bencana.
Kebijakan dan strategi jangka pendek penanganan bencana yaitu:
1. Pemulihan Perumahan dan Permukiman, dengan strategi menyediakan perumahan dan
permukiman tahan gempa yang lebih sehat, lebih tertib, lebih teratur, dan lebih estetis beserta
sarana dan prasarana pendukungnya dengan mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat;
2. Pemulihan Sarana dan Prasarana Publik, dengan strategi mengembalikan fungsi sarana dan
prasarana layanan publik, yang diarahkan untuk mendukung revitalisasi kehidupan sosial dan
perekonomian daerah;
3. Pemulihan Perekonomian, dengan strategi memberikan dukungan dalam rangka
menstimulasi dan mendorong kembali aktivitas perekonomian lokal dan pendapatan
masyarakat.
Kebijakan dan strategi jangka panjang dalam pengurangan risiko bencana, yaitu :
1. mengkaji risiko bencana, dengan strategi :
a. mengembangkan, memperbaharui, dan menyebarluaskan peta risiko beserta informasi
terkait kepada para pengambil kebijakan dan masyarakat umum. Informasi yang tersedia
berupa penyebab terjadinya bencana, penyebaran geografis bencana, besaran bencana, dan
frekuensi bencana; dan
b. mengembangkan sistem indikator risiko bencana dan ketahanan di daerah, yang akan
membantu para pengambil keputusan dalam mengkaji dampak bencana.
2. penyediaan dan pengembangan sistem peringatan dini (early warning system), dengan
strategi :
a. mengembangkan sistem peringatan dini, baik berbasis teknologi modern maupun keariafan
lokal/tradisional (local wisdom);
b. menetapkan standar sistem peringatan dini pada masing-masing jenis bencana;
c. menyusun pedoman kegiatan yang harus dilakukan oleh masyarakat pada sebelum,
menjelang, saat, dan sesudah bencana;
d. mengintegerasikan sistem peringatan dini dengan sistem informasi, sistem infrastruktur,
dan sistem perhubungan;
e. melakukan penguatan kapasitas yang menunjukkan bahwa sistem peringatan dini
terintegrasi dengan baik kebijakan pemerintah dan proses pengambilan keputusan; dan
f. memperkuat koordinasi dan kerjasama multi sektor dan multi stakeholder dalam rantai
sistem peringatan dini.
3. menyediakan prasarana dan sarana yang berfungsi untuk mitigasi dan pengurangan risiko
bencana, dengan strategi :
a. menetapkan standar keamanan struktur bangunan;
b. mengevaluasi kualitas dan kekuatan bangunan prasarana dan sarana yang ada, terutama
prasarana dan sarana publik;
c. mengembangkan teknologi prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mitigasi dan
penanggulangan bencana;
d. mengembangkan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk pengurangan risiko bencana,
seperti dam, bunker, bangunan pemecah ombak, bukit penyelamat, tempat dan jalur evakuasi,
dan lain-lain;
e. merelokasi bangunan yang ada di zona paling berbahaya; dan
f. mengevaluasi kinerja perhubungan yang berfungsi saat evakuasi dan penyelamatan korban.
4. mengetahui tingkat kerentanan bencana dengan memperkirakan kerusakan-kerusakan yang
mungkin terjadi akibat suatu bencana, serta mengevaluasi kemampuan daerah dalam mitigasi
dan penanggulangan bencana; dengan strategi :
a. mengidentifikasi elemen-elemen kerusakan yang diakibatkan oleh suatu bencana; dan
b. memperkirakan nilai kerugian yang diakibatkan oleh suatu bencana.
5. memperkuat instrumen kebijakan mengenai mitigasi dan penanggulangan bencana yang
terpadu antarsektor dan antar daerah; dengan strategi :
a. melaksanakan kebijakan terkait, seperti undang-undang lingkungan hidup dan penataan
ruang, secara optimal dan memberikan sangsi bagi pelanggarnya;
b. mengakomodiasi kegiatan mitigasi dan penanggulangan bencana ke dalam kebijakan
pemerintah daerah, terutama rencana tata ruang wilayah; dan
c. mengakomodasi asipirasi dan kepentingan masyarakat, serta nilai-nilai luhur/tradisional
dalam menyusun kebijakan dan kegiatan mitigasi dan penanggulangan bencana.
6. melakukan manajemen dan penyebaran informasi, dengan strategi :
a. menyediakan informasi risiko dan pilihan perlindungan bencana yang mudah dipahami,
terutama pada masyarakat pada daerah berisiko tinggi;
b. meningkatkan pemanfaatan dan penerapan informasi terkini, komunikasi dan teknologi
untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana; dan
c. menyediakan informasi mengenai pemilihan konstruksi dan informasi pemanfaatan lahan
atau jual beli tanah bagi institusi yang berhubungan dengan pengembangan .
Pemerintah Kabupaten Kuningan mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis dalam
rangka melaksanakan pembangunan di segala bidang, yang bertujuan meningkatkan peran
sebagai pusat pertumbuhan wilayah, penggerak pembangunan, pusat jasa pelayanan dalam
segala bidang, serta pusat informasi dan inovasi-termasuk dalam hal teknologi mitigasi
bencana. Akan tetapi, konsentrasi peran yang besar tersebut, tidak lepas dari kenyataan
bahwa pada lokasi-lokasi yang rawan terhadap bencana alam, dan karena sangat heterogen
dan pluralnya sistem sosial dan perekonomian yang terjadi juga sekaligus rawan terhadap
bencana sosial, bencana teknologi, atau bencana buatan manusia lainnya. Dalam konteks
tersebut perbedaan antara bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia
cenderung tidak jelas.
Banyak kejadian alam dan bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia dalam
penggunaan sumberdaya dan tindakan yang tidak memadai serta kurangnya pandangan jauh
ke depan. Oleh karena itu sudah saatnya para pemerintah daerah, yang tergabung dalam
Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), berinisiatif dan secara lebih
proaktif mengembangkan sistem perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan mitigasi bencana.

Anda mungkin juga menyukai