Anda di halaman 1dari 117

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan neurologi merupakan suatu kondisi di bidang neurologi
yang memerlukan tindakan pengobatan segera dan bila tidak dilakukan dapat
menyebabkan kerusakan lebih berat bahkan kematian. Otak yang hanya dengan
berat 2% dari berat badan merupakan organ tubuh yang terpenting dengan tingkat
metabolisme yang sangat tinggi. Metabolisme otak sangat tergantung pada
ketersediaan oksigen serta glukosa, dan otak tidak mempunyai kemampuan untuk
menyimpan cadangan berupa oksigen dan glukosa tersebut. Sehingga sewaktu
terjadi gangguan terhadap suplai, maka dalam waktu yang sangat singkat akan
terjadi kerusakan dalam arti kata periode emas kerusakan saraf sangat singkat.
Sampai saat ini masih dipercaya bahwa kemampuan regenerasi jaringan saraf
sangat minimal dan apabila terjadi gangguan.
Gangguan pada otak bila tidak segera diatasi dengan baik akan berakibat
terjadinya kerusakan permanen yang berakhir dengan kematian atau kecacatan.
Hal ini dapat diatasi dengan upaya penanganan yang cepat dan segera. Sebagai
contoh, pada pasien trauma otak berat tingkat kematian akan meningkat melebihi
tiga kali lipat dan tingkat kecacatan yang berat akan meningkat melebihi dari
sepuluh kali lipat pada keadaan saturasi oksigen <60% dibanding >90%. Oleh
karena itu, tentunya diperlukan ketepatan penanganan khususnya penanganan
emergensi dan penegakkan diagnosis yang tepat, atau paling tidak melakukan
upaya-upaya yang dapat menghambat kematian sel-sel saraf.
Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila
kedatangan pasien dengan kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di
pikiran dokter adalah rasa pesimistis terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran
telah membekali seorang dokter dengan ilmu yang cukup, namun kadangkala pada
sebagian dokter masih ada kecanggungan dalam aplikasi terhadap pasien secara
langsung. Padahal pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus segera
bertindak dan semakin cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka

1
semakin besar kemungkinan pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat
kematian dan kecacatan.

I.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan TBR ini adalah untuk memperoleh informasi
ilmiah mengenai kegawatdaruratan neurologi. Informasi tersebut dapat menjadi
landasan penting dalam praktek sehari-hari sehingga mampu melakukan
penanganan yang cepat dan tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Stroke
A. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah suatu
gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala
klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat
menimbulkan kematian, yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
Sebagian besar ditemukan pada orang dengan usia >40 tahun (Aliah et al., 2007).
Terdapat dua jenis stroke yaitu stroke non hemoragik (stroke iskemik) dan
stroke hemoragik (stroke perdarahan). Stroke iskemik merupakan 80% dari
penyebab stroke yang disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke
sel-sel otak akibat adanya trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh
terjadinya penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan stroke
hemoragik baik intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah kranial (Smith et al., 2005).
B. Etiologi
Stroke iskemik merupakan kumpulan gejala defisit neurologis akibat
gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak,
disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak,
retina atau medulla spinalis, yang dapat disebabkan oleh penyumbatan atau
pecahnya pembuluh darah ateri maupun vena, yang dibuktikan dan/atau
patologi (PERDOSSI, 2011).
Sedangkan stroke hemoragik yang dapat disebabkan karena adanya
perdarahan yang dapat berasal dari perdarahan intraserebral, subarachnoid,
hematoma subdural atau ekstradural. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya
pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol
yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak
karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Sedangkan
perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital pembuluh

3
arteri otak di ruang subarakhnoidal (Goldszmidt et al., 2003; Misbach et al.,
2007).
C. Epidemiologi
Prevalensi penyakit stroke di Indonesia meningkat seiring bertambahnya
umur. Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan terjadi pada
usia >75 tahun (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun (0,2%).
Prevalensi berdasarkan jenis kelamin yaitu lebih banyak pada laki-laki (7,1%)
dibandingkan dengan perempuan (6,8%). Berdasarkan data 10 besar penyakit
terbanyak di Indonesia tahun 2013, prevalensi kasus stroke di Indonesia
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mill dan 12,1 per mill
untuk yang terdiagnosis memiliki gejala stroke (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013).
D. Patomekanisme
Stroke non hemoragik terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak
tiba-tiba terganggu (iskemik) yang disebabkan oleh oklusi atau stenosis arteri.
Oklusi ini disebabkan oleh trombosis dan emboli, yang semuanya dapat
menyebabkan hipoperfusi yaitu pengurangan atau gangguan dalam aliran darah
otak (Cerebral Blood Flow/CBF) yang menyebabkan aliran ataupun asupan
glukosa dan oksigen berkurang sehingga mempengaruhi fungsi neurologis
(Kanyal, 2015).
1. Stroke Trombotik
Trombosis pembuluh darah besar dengan aliran lambat adalah salah satu
subtipe stroke iskemik. Sebagian besar dari stroke jenis ini terjadi saat tidur, saat
pasien relatif mengalami dehidrasi, dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini
sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan stenosis di arteri
karotis interna, atau yang lebih jarang yaitu di pangkal arteri serebri media atau di
taut arteri vertebralis dan basilaris. Tidak seperti trombosis arteri koronaria yang
oklusi pembuluh darahnya cenderung terjadi mendadak dan total, trombosis
pembuluh darah otak cenderung memiliki awitan bertahap, bahkan berkembang
dalam beberapa hari. Pola ini menyebabkan timbulnya istilah stroke-in-
evolution (Smith, 2013).

4
Akibat dari penyumbatan pembuluh darah karotis bervariasi dan sebagian
besar tergantung pada fungsi sirkulus Willisi. Bila sistem anastomosis arterial
pada dasar otak ini dapat berfungsi normal, maka sumbatan arteri karotis tidak
akan memberikan gejala, seperti yang terjadi pada kebanyakan penderita.
Sirkulasi pada bagian posterior tidak memiliki derajat perlindungan anastomosis
yang sama, dan penyumbatan aterosklerotik dari arteri basilaris selalu
mengakibatkan kejadian yang lebih berat, dan biasanya fatal. Penyumbatan arteri
vertebralis, boleh jadi tidak memberikan gejala (Hartwig, 2005; Smith, 2013).
2. Stroke Embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat, atau asal
embolus. Asal stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang
terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak
dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi saat
pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di bagian pembuluh
darah yang mengalami stenosis (Hartwig, 2005).
Stroke kardioembolik, yaitu jenis stroke embolik tersering, didiagnosis
apabila diketahui adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila pasien
baru mengalami infark miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan
mendadak pembuluh besar otak. Embolus berasal dari bahan trombotik yang
terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah
bekuan yang sangat kecil, fragmen-fragmen embolus dari jantung mencapai otak
melalui arteri karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala klinis yang
ditimbulkannya bergantung pada bagian mana dari sirkulasi yang tersumbat dan
seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut
(Hartwig, 2005).
Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang
pembuluh darah sehingga gejala-gejala mereda. Namun, fragmen kemudian
tersangkut di sebelah hilir dan menimbukan gejala-gejala fokal. Pasien dengan
stroke kardioembolik memiliki resiko yang lebih besar menderita stroke
hemoragik di kemudian hari, saat terjadi perdarahan petekie atau bahkan
perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau mungkin
hari setelah proses emboli pertama. Penyebab perdarahan tersebut adalah bahwa

5
struktur dinding arteri sebelah distal dari oklusi embolus melemah atau rapuh
karena kekurangan perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat
menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut (Hartwig,
2005).
Sebagian besar stroke berakhir dengan kematian sel-sel di daerah pusat
lesi (infark) tempat aliran darah mengalami penurunan drastis sehingga sel-sel
tersebut biasanya tidak dapat pulih. Ambang perfusi ini biasanya terjadi apabila
CBF hanya 20% dari normal atau kurang. CBF normal adalah sekitar 50ml/100g
jaringan otak / menit (Smith, 2013).
E. Penegakan Diagnosis
Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami
kelemahan pada salah satu sisi tubuh, kesulitan dalam berbicara, adanya
penurunan kemampuan kognitif atau bahasa (Fagan and Hess, 2008).
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan terutama menanyakan mengenai gejala awal,
waktu awitan, aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual,
muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan
kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain)
(PERDOSSI, 2011).
Gangguan yang dapat terjadi meliputi gangguan fokal maupun global yang
mendadak meliputi (PERDOSSI, 2011):
a. Gangguan global berupa gangguan kesadaran
b. Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa:
1) Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas, kelumpuhan
otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses
menelan, wicara dan sebagainya
2) Gangguan fungsi keseimbangan
3) Gangguan fungsi penghidu
4) Gangguan fungsi penglihatan
5) Gangguan fungsi pendengaran
6) Gangguan fungsi somatik sensorik

6
7) Gangguan neurobehavioral yang meliputi: gangguan atensi, gangguan
memori, gangguan bicara verbal, gangguan mengerti pembicaraan,
gangguan pengenalan ruang, maupun gangguan fungsi kognitif lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan
suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh
saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput
otak, sistem motorik, sikap dan jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi
kognitif Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain : penurunan GCS,
kelumpuhan saraf kranial, kelemahan motorik, defisit sensorik, gangguan otonom,
dan gangguan neurobehavior (PERDOSSI, 2011).
3. Pemeriksaan penunjang
Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
menegakkan diagnosis stroke (PERDOSSI, 2011):
a. EKG
b. Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar
gula darah, analisis urin, analisis gas darah, dan elektrolit)
c. Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid,lakukan pungsi lumbal
untuk pemeriksaan cairan serebrospinal
d. Pemeriksaan radiologi : foto rontgen dada dan CT Scan atau MRI.
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI atau
CT scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik
serta mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa (kecurigaan stroke luas).
Stroke iskemik adalah diagnosis yang paling mungkin bila CT scan tidak
menunjukkan perdarahan, tumor, atau infeksi fokal, dan bila temuan klinis tidak
menunjukkan migren, hipoglikemia, ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid
(Goldszmidt et al., 2009).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang
sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana stroke
yang diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui terlebih dahulu

7
sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau antiagregasi platelet. CT
scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan non kontras yang digunakan untuk
membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang memberikan
gambaran klinis menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak, misalnya
adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT scan kontras yang digunakan
untuk mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme (Lumbantobing, 2007).
F. Penatalaksanaan
Stroke merupakan salah satu kondisi kegawatdaruratan, oleh karena itu
perlu dilakukan prinsip-prinsip kegawatan dalam tatalaksana stroke selain
dilakukan pertolongan keadaan neurologis pasien. (PERDOSSI, 2011;
Setyopranoto, 2011).
1. Tatalaksana Umum:
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
1) Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72
jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
2) Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen <
95%.
3) Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien
yang tidak sadar. Berikan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan
napas.
4) Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.
5) Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak memerlukan terapi
oksigen.
6) Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask
Airway) diperlukan pada pasien hipoksia (p)2 <60 mmHg atau
PCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko terjadinya
aspirasi.
7) Pipa ETT diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu.

8
b. Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
c. Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
1) Pemantauan ketat terhadap pasien dengan risiko edema serebri seperti
adanya perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari awal
setelah serangan stroke.
2) Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK.
3) Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25
g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
4) Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai
alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
d. Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari, kemudian dilanjutkan pemberian antikonvulsan
per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu,
diberikan antikonvulsan per oral jangka panjang.
e. Analgetik dan antipiretik, jika diperlukan
Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan
kateter intermiten).
f. Gastroprotektor, jika diperlukan
g. Manajemen nutrisi
1) Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-
2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung
glukosa atau salin isotonik.
2) Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui slang nasogastrik.
h. Pencegahan DVT dan emboli paru: heparin atau LMWH

9
2. Tatalaksana Spesifik
a. Trombolisis intravena: alteplase dosis 0,6-0,9 mg/kgBB, pada stroke
iskemik onset <6 jam
b. Terapi endovascular: trombektomi mekanik, pada stroke iskemik dengan
oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset <8 jam
c. Manajemen hipertensi (Nicardipim, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium
Antagonist, Beta Blocker, Diuretik)
1) Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik 220 mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang
waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung
kongestif serta gagal ginjal.
2) Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan : natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
d. Manajemen hipotensi
1) Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mmHg, diastolik 70
mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL
selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat
diatasi.
2) Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih <90 mmHg,
dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik
110 mmHg.
e. Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
1) Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3
hari pertama.
2) Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau <80 mg% dengan
gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal
dan harus dicari penyebabnya.

10
f. Pencegahan stroke sekunder
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet (aspirin,
clopidogrel, cilostazol) dan antikoagulan (warfarin, dabigatran,
rivaroxaban) atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant
tissue Plasminogen Activator).
g. Neuroprotektor seperti : citicolin, piracetam (jika afasia), pentoxyfiline,
DLBS 1033.
h. Perawatan di Unit Stroke
i. Neurorestorasi/ Neurorehabilitasi
3. Tindakan Intervensi/Operatif
a. Carotid Endartersctomy (CEA), sesuai indikasi
b. Carotid Artery Stenting (CAS), sesuai indikasi
c. Stenting pembuluh darah intracranial, sesuai indikasi
4. Edukasi
a. Penjelasan sebelum masuk rumah sakit (rencana rawat, biaya, pengobatan,
prosedur, masa dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri,
risiko dan komplikasi)
b. Penjelasan mengenai stroke iskemik, risiko dan komplikasi selama
perawatan
c. Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
d. Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
e. Penjelasan mengenai gejala stroke dan apa yang harus dilakukan sebelum
dibawa ke RS.
G. Prognosis
Pengenalan tanda dan gejala dini stroke dan upaya rujukan ke rumah sakit
harus segera dilakukan karena keberhasilan terapi stroke sangat ditentukan oleh
kecepatan tindakan pada stadium akut; makin lama upaya rujukan ke rumah sakit
atau makin panjang saat antara serangan dengan pemberian terapi, makin buruk
prognosisnya (Setyopranoto, 2011).

11
II.2 Meningitis
A. Definisi
Meningitis merupakan inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan
medula spinalis. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, atau
jamur) tetapi dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan subarachnoid,
kanker atau kondisi lainnya (WHO, 2013).
Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga
lapisan yaitu (Hasbu, 20013) :
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip sarang
laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang
mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.
Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges.
Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah yang
berperan penting dalam penyebaran infeksi pada meninges.
B. Etiologi
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai
cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri
adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta
bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus
merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi (Markam, 2002).
Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman
mencakup sekaligus kausa meningitis, yaitu (Mahar&Priguna, 2008) :
1) Meningtis virus
2) Meningitis bakteri
3) Meningitis spiroketa
4) Meningitis fungus
5) Meningitis protozoa

12
C. Epidemiologi
Insidensi dari variasi meningitis berdasarkan agen etiologi spesifik.
Insidensi di duga menjadi lebih tinggi di negara-negara berkembang karena akses
yang minimal untuk mendapatkan pelayanan preventif, seperti vaksinasi.
Meningitis menyerang manusia dari semua ras. Di Amerika Serikat, orang dengan
kulit hitam lebih tinggi terjadinya meningitis daripada kulit putih. Dengan
insidensi 1,33 kasus per 100.000 populasi. Sekitar 4100 kasus dan 500 mengalami
kematian yaitu disebabkan karena meningitis bakterial (Thigpen et al., 2011).
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat yaitu seperti di asrama, barak-barak
tentara, dan jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi
pada negara yang sedang berkembang dibandingkan pada negara maju (Markam,
2002).
D. Patomekanise
1. Meningeal Invasion
Mekanime masuknya kuman ke dalam lapisan meninges masih belum
diketahui sepenuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan host, agen infeksi dan
faktor lingkungan. Pada bayi yang belum menghasilkan antibodi spesifik dapat
mudah terkena meningitis oleh bakteri gram negatif, sedangkan pada bayi yang
agak besar telah kehilangan IgG yang diperolehnya melalui plasenta dan mudah
terkena infeksi meningokokus dan H. Influenzae (Mahar&Priguna, 2008).
Pada orang dewasa dengan gangguan sistem imun seperti pada keganasan
sistem retikuloendotelial dapat mempermudah infeksi susunan saraf pusat.
Konsentrasi kuman yang tinggi di dalam darah akibat suatu infeksi dibagian lain
tubuh atau karena proses transmisi kuman karena kontak antar individu dapat
menyebabkan invasi kuman pada meninges (Mahar & Priguna, 2008). Virus
setelah melakukan perlekatan dan invasi terhadap sel pejamu dapat bereplikasi
dan menyebar yang kemudian menyebabkan destruksi sel host (Jawetz, dkk.,
2008).
Meningitis pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penyebaran penyakit
di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus atau bakteri menyebar secara
hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringitis, tonsilitis,

13
pneumonia, bronchopneumonia, dan endokarditis. Penyebaran bakteri atau virus
dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada
di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis, trombosis
sinus kavernosus, dan sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma
kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman
ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid,
CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus (Soegijanto, 2002).
2. Induksi Inflamasi
Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses
inflamasi melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor necrosis
factor- (TNF-), interferon, prostaglandin, nitrit oksida, platelet activation factor
(PAF), dan mediator lainnya. Awalnya pembuluh darah meningeal yang kecil dan
sedang mengalami hiperemis dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran
sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian
terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan
histiosit, kemudian dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat yang terbentuk
terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan
fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag (Harsono, 2007; Hasbu,
2013).
3. Perubahan Sawar Darah Otak
Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang
datang dari lintasan hematogen. Proses radang juga menyebabkan terjadinya
perubahan permeabilitas dari kapiler otak yang sebelumnya kedap dan selektif
terhadap berbagai macam zat, menjadi permeabel sehingga terjadi kebocoran
plasma dan dapat menyebabkan kuman masuk kedalam cairan serebrospinal dan
ruang subarachnoid. Dengan demikian peradangan akan terus terjadi tidak hanya
pada pembuluh darah. Selain itu Proses radang yang mengenai vena-vena di
korteks dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuron- neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-
purulen menyebabkan kelainan kranialis. Pada meningitis yang disebabkan oleh
virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri (Harsono, 2007; Hasbu, 2013).

14
4. Perubahan Aliran Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial
Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi trombosis
atau perlekatan vili vena pada sinus akibat peradangan yang berperan dalam
absorbsi cairan serebrospinal sehingga menimbulkan hidrosefalus. Selain itu,
plexus koroideus yang berfungsi untuk memproduksi cairan serebrospinal jika
terkena radang akan meningkatkan produksinya sehingga timbul hidrosefalus
komunikans. Jika terus berlanjut akan menyebabkan edema otak dan peningkatan
tekanan intrakranial sehingga terjadi kompresi pada otak dan pembuluh darah,
menurunkan aliran suplai nutrisi dan oksigen. Jika proses ini tidak dicegah dapat
menimbulkan atrofi jaringan otak, defisit neurologis, berupa parese nervus
kranialis dan hemiparese, penurunan kesadaran dan bahkan kematian
(Guyton&Hall, 2008; Mahar&Priguna, 2008).
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Sekitar 44% meningitis bakterial pada dewasa menimbulkan gejala klasik
yang disebut dengan trias meningitis yaitu demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk.
Gejala-gejala tersebut dapat berkembang beberapa jam atau 1-2 hari. Gejala lain
yang dapat terjadi pada pasien dengan meningitis yaitu seperti : mual, muntah,
fotofobia, sulit tidur, bingung, gelisah, iritabel, penurunan nafsu makan, delirium,
maupun koma (Van de Beek et al., 2004).
Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumps virus ditandai
dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran
kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis
yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah,
sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam
makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan
ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak
lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul
keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung
(Soedarto, 2004).

15
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi
secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan,
kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai
dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami sekitar 44% anak dengan
penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumoniae, 21%
oleh Streptococcus, dan 10% oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan
dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas,
penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,
malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur,
keruh atau purulen (Harsono, 2007).
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti
gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering
tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan
turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan
kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul,
nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah (Harsono, 2007).
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat,
gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-
anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi parese nervus
kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat
tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin
parah dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini
penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya (Harsono, 2007).

16
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal yaitu sebagai berikut (Lumbantobing,
2007) :
a. Pemeriksaan kaku kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri.
Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135
(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi
ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian
kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan
panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+)

17
bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral.

e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III positif (+)
jika terdapat flexi involunter extremitas superior.
f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi
involunter extremitas inferior.
g. Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu
tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda
lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70 pada
dewasa dan kurang dari 60 pada lansia.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial (Harsono, 2003).
1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan
jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur
negatif.

18
2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh,
jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari 1000 mm3),
protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
b. Laboratorium Darah (Hasbu, 2013)
1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB.
2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada
cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ
dan penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
c. Kultur
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal
pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti
adanya hernia otak (Hasbu, 2013).
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi
sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis,
foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus
paranasal. Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan
pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan
adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti
meningitis dapat disingkirkan (Hasbu, 2013).
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,
enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula
ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

19
Sumber: Lutfi et al., 2013
Gambar 1. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal
enhancement dan ventrikulitis

Sumber: Hasbu, 2013


Gambar 2. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced,
didapatkan leptomeningeal enhancement
F. Penatalaksanaan
1. Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan
umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik,
antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat sembuh
sendiri dan tidak ada obat yang spesifik, kecuali jika terdapat
hipogamaglobulinemia dapat diberikan imunoglonbulin. Pemberian asiklovir
masih kontroversial, namun dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan

20
besar meningitis disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan
pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis. Dosis asiklovir
intravena adalah (10mg/kgBB/8jam) (Hasbu, 2013).
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun karena
toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV positif atau
pada pasien dengan imunokompromise. Dosis induksi selama 3 minggu 5
mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam
(Hasbu, 2013).
2. Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu
pemberian antibiotik empirik yang segera dapat memberikan hasil yang baik.
a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/8 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/6 jam atau dengan tambahan
gentamicin 2,5 mg/kgBB IV/12 jam.
b. Bayi usia 1-3 bulan
1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/12 jam).
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/6 jam).
Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12
jam) ditambah gentamicin (2,5 mg/kgBB IV atau IM /8 jam).
c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun
1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam, maksimal 4
g/hari)
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)

21
Vancomycin 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12
jam
e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun
1) Cefotaxime 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone 2 g IV/ 12 jam
Dapat ditambahkan dengan Vancomycin 750-1000 mg IV/ 12 jam atau
10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam). Jika
dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8 jam).
Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan kortikosteroid
(biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/6 jam selama 2-4 hari).
meskipun pemberian kortikosteroid masih kontroversial, namun telah terbukti
dapat meningkatkan hasil keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H.
Influenzae, tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat mengurangi
gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa tetapi secara umum tidak
dapat mengurangi mortalitas.
G. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik
yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis
meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia
neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek,
yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.

II.3 Koma
A. Definisi
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan
unarousable unresponsiveness, yaitu keadaan dimana dengan semuarangsangan,
penderita tidak dapat dibangunkan. WHO mendefinisikan koma sebagai suatu

22
keadaan dimana seseorang tidak dapat membuka mata dengan rangsangan apapun,
tidak dapat membuat suatu kata apapun dan tidak dapat melaksanakan perintah
sederhana (Sidharta, 2004).
B. Etiologi
Beberapa penyebab koma seperti sirkulasi (meluputi stroke dan penyakit
jantung), ensefalitis (dengan tetap mempertimbangkan adanya kemungkinan
infeksi di tempat lain maupun sepsis), metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia,
hipoksia, uremia, dan penyakit hati), elektrolit (misalnya diare dan muntah),
neoplasma (seperti tumor otak baik primer maupun metastasis), intoksikasi (obat
maupun bahan kimia), trauma (seperti comotio, kontusio, perdarahan epidural,
perdarahan subdural), serta epilepsi (pasca serangan grandmal atau pada status
epileptikus) (Sidharta, 2004).
C. Epidemiologi
Prevalensi dan insidensi dari koma dan gangguan kesadaran sulit untuk
ditentukan secara pasti, mengingat luas dan beragamnya faktor penyebab dari
koma. Laporan rawat inap nasional dari Inggris tahun 2002-2003 melaporkan
bahwa 0,02% (2.499) dari seluruh konsultasi rumah sakit disebabkan oleh
gangguan terkait dengan koma dan penurunan kesadaran, 82% dari kasus tersebut
memerlukan rawat inap di rumah sakit. Koma juga nampaknya lebih banyak
dialami oleh pasien usia paruh baya dan lanjut usia, dengan rata-rata usia rawat
inap untuk koma adalah 57 tahun pada laporan yang sama (Ropper, 2008).

23
D. Patomekanisme
Kesadaran dibagi dua yaitu derajat kesadaran dan gangguan isi. Gangguan
derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) menentukan derajat kesadaran.
Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) ditentukan oleh cara pengolahan
input yang menghasilkanoutput SSP kesadaran (Kelley, 2008).
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri
termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular
activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian
atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris
dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks
serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks
serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi ini,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran (Kelley, 2008).
E. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinik penurunan kesadaran dapat bersifat akut atau bertahap.
Dipandang dari penampilan klinik, penderita koma dapat bersikap tenang seakan-
akan tidur pulas, atau gelisah dan banyak gerak yang mungkin disertai dengan
teriakan. Penurunan kesadaran dapat disertai oleh tanda dan gejala klinik lainnya,
bergantung pada penyakit yang mendasarinya atau pada komplikasi yang muncul
setelah terjadinya penunan kesadaran. Dengan demikian, manifestasi klinik
penurunan kesadaran sangat bervariasi (Papadopoulos, 2008).
Tanda dan gejala klinik yang dapat menyertai koma antara lain demam,
gelisah, kejang, muntah, retensi lendir/sputum di tenggorokan, retensi atau
inkontinentia urin, hipertensi, hipotensi, takikardia, bradikardi, takipnea, dispnea,
edema fokal atau anasarka, ikterus, sianosis, pucat, perdarahan subkutis, dan
sebagainya. Pada lesi intrakranial dapat terjadi hemiplegia, defisit nervi kraniales,
kaku kuduk, deviasi mata, perubahan diameter pupil, edema papil. Pada trauma
kapitis dapat terjadi hematom disekitar orbita, hematom di belakang telinga,
perdarahan telinga dan hidung, dan mungkin likorea (Papadopoulos, 2008).

24
F. Pemeriksaan Penunjang
Penting dalam penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan
koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus
segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain
(Ropper, 2008):
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai
terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada
kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui
pemeriksaan CT dan LP.
Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan
diagnostik telah kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis
penyebab dari koma tersebut. Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome: kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik: kerusakan pada frontal dan thalamus
G. Penatalaksanaan
Beberapa prinsip penanganan pada pasien koma (Kasper, 2005):
1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying
lesions / SOL) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya:
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor
atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.

25
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan
acyclovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan
ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur 6
Terapi Umum :
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri
atau peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal
tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi
dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam,
dan gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung
tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata
dengan plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium
100 mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari
stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya.
H. Prognosis
Prognosis koma bergantung pada banyak faktor, seperti penyebab, situasi
klinik pada saat pertama kali ditangani, kecepatan tindakan, kelengkapan fasilitas,
penyulit yang muncul dan kemampuan dokter serta perawat yang menanganinya.
Dengan demikian prognosis koma cukup bervariasi, mulai dari infaust, kemudian
berturut-turut menjadi persistent vegetative state, sadar kembali dengan gejala sisa
(motorik, autonom, fungsi luhur, epilepsi, dan sebagainya) sampai dengan sadar
kembali tanpa gejala apapun, atau mungkin meninggal (Lumbantobing, 2005).

26
II.4 Epilepsi
A. Definisi
Epilepsi berasal dari kata kerja yunani kuno epilambanien yang berarti
menguasai memiliki, atau menimpa epilepsi didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari
adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebkan oleh berbagai etiologi (Mardjono, 2009).
B. Etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatk,
kriptogenik dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah
idiopatik yang tidak diketahi penyebabnya, umumnya mempunyai presdiposisi
genetik. Sedangkan penyebab epilepsi kriptogenik dianggap suatu simptomatik
yang penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom west, sindrom
lennox-gastraut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simptomatik disebabkan
oleh kelainan/lesi susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol, obat), metabolik, dan kelainan neurodegenerative (Ginsberg,
2005).
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak anak maka saat dewasa mencari
etiologi tidak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tidak aktif lagi.
Bila epilepsi baru terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 taun maka mencari
etiologi menjadi penting, karena mungkin pertanda suatu proses patologis yang
masih progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah saraf. Anamnesis yang
baik, pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi dari
epilepsy (Ginsberg, 2005).
C. Epidemiologi
Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita
epilepsi. Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita dari pada
pria. Angka prevalensi untuk pria 0.32 : 1000 dan wanita 0.46 : 1000. Data di
indonesia pada tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus

27
epilepsi, dimana dari 34,514 pasien dengan penyakit susunan saraf (11.44%) ,
sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari 351.290 (18.70%) dari jumlah
kunjungan dengan penyakit susunan saraf. Berdasarkan grafik, usia pasien epilepsi
menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup
tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat
lagi pada usia lanjut.Sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-
laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari perempuan (Harsono, 2008).
D. Patomekanisme
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik (Guyton, 2006).
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti

28
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak (Guyton, 2006).
E. Tanda dan Gejala
1. Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa (Misbach, 2002):
a. deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan
tidak dapat dijelaskan
b. Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
c. Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
d. Halusinasi
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan
besar tidak akan mengingat waktu serangan, gejalanya meliputi (Misbach,
2002):
a. Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
b. Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
c. Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
d. Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
e. Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada epilepsy meliputi (Harsono, 2008):
1. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard
untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.

29
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
2. Rekaman EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan.
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umut
penderita (Alberto, 2012)
1. Pada neonatus dan bayi
a. Jittering
b. Apneic spell

30
2. Pada anak
a. Breath holding spells
b. Sinkope
c. Migren
d. Bangkitan psikogenik/konversi
e. Prolonged QT syndrome
f. Night terror
g. Tic
h. Hypersianotic attack
3. Pada dewasa
a. Sinkope
b. Serangan iskemik sepintas
c. Vertigo
d. Transient global amnesia
e. Narkolepsi
f. Bangkitan panic, psikogenik
g. Sindrom menier
h. Tics
H. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk
bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan
pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan
utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang
timbul (Bazil, 2005). Antikonvulsan utama :
1. Fenobarbital
2. Phenitoin
3. Karbamasepin
4. Valproate

31
1. Golongan Hidantoin
Fenitoin
Merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat ini antara lain
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Indikasi: epilepsi umum khususnya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal dan
dapat juga untuk epilepsi lobus temporalis.
Dosis: dewasa 300-600 mg/hari, anak 4-8 mg/hari, maks. 300 mg/hari
2. Golongan Barbiturat
Fenobarbital
Merupakan golongan baribiturat yang bekerja lama (long acting). Kerjanya
membatasi penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang
rangsang.
Indikasi: epilepsi umum khusus epilepsi Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal.
Dosis: dewasa 200 mg / hari, anak 3-5 mg/kgBB/hari
3. Golongan Benzodiazepam
Diazepam
Dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama untuk
status epileptik.
Dosis: dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Anak > 5 tahun 5-
10 mg im/iv, anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv.
4. Golongan Suksinimid
a. Etosuksimid
Indikasi: epilepsi petit mal murni
Dosis: 20-30 mg/kgBB/hari
Golongan anti epilepsi lainnya
b. Sodium valproat
Indikasi: epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus
temporalis yang refar akter, sebagai kombinasi dengan obat lain.
Dosis: anak 20-30 mg/kgBB/hari, dewasa 0,8-1,4 gr/hari dimulai dengan
600 mg/hari.

32
c. Asetazolamid
Dikenal sebagai diuretik, tetapi pada pengobatan epilepsi mempunyai
cara kerja menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak.
Indikasi: Dapat dipakai pada epilepsi Petit Mal, dan pada epilepsi Grand
Mal dimana serangannya sering datang bethubungan dengan siklus
menstruasi.
Dosis: sehari total 8-30 mg/kgBB
d. Karbamazepin
Indikasi: Epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi Grand Mal
Dosis: Dewasa 800-1200mg/hari
I. Prognosis
Prognosis umumnya baik, 70 80% pasien yang mengalami epilepsi akan
sembuh, dan kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas obat. Dua puluh sampai
tiga puluh persen mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan
pengobatan semakin sulit. Lima persen di antaranya akan tergantung pada orang
lain dalam kehidupan sehari-hari. Prognosis buruk pada pasien dengan lebih dari
satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan
neurologic. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada
populasi umum. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis
relatif jelek (Harsono, 2008).

II.5 Ensefalitis
A. Definisi
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Ensefalitis terjadi
dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder. Ensefalitis Primer
melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang belakang.
Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di
tubuh dan kemudian ke otak. Dalam beberapa kasus ensefalitis menyebabkan
kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini mungkin untuk

33
menghindari dampak serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada
penyebab peradangan, mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-
obatan anti-inflamasi. Jika hasil kerusakan otak dari ensefalitis, terapi (seperti
terapi fisik atau terapi restorasi kognitif) dapat membantu pasien setelah
kehilangan fungsi (Baehr & Frotscher, 2010).
B. Etiologi
Penyebab ensefalitis yang paling sering adalah infeksi karena virus.
Beberapa contoh termasuk (Mardjono & Sidharta, 2010) :
Herpes virus
Arbovirus ditularkan oleh nyamuk kutu dan serangga lainnya
Rabies ditularkan melalui gigitan hewan
Ensefalitis mempunyai dua bentuk, yang dikategorikan oleh dua cara virus
dapat menginfeksi otak :
Ensefalitis primer. Hal ini terjadi ketika virus langsung menyerang otak dan
saraf tulang belakang. Hal ini dapat terjadi setiap saat (ensefalitis sporadis),
sehingga menjadi wabah (epidemik ensefalitis).
Ensefalitis sekunder. Hal ini terjadi ketika virus pertama menginfeksi bagian
lain dari tubuh kemudian memasuki otak.
Infeksi bakteri dan parasit seperti toksoplasmosis dapat menyebabkan
ensefalitis pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Berikut
adalah beberapa penyebab yang lebih umum ensefalitis adalah virus herpes yang
menyebabkan infeksi umum juga dapat menyebabkan ensefalitis. Ini termasuk:
Herpes simpleks virus. Ada dua jenis virus herpes simpleks (HSV) infeksi.
HSV tipe 1 (HSV-1) lebih sering menyebabkan cold sores lepuh demam atau
sekitar mulut. HSV tipe 2 (HSV-2) lebih sering menyebabkan herpes genital.
HSV-1 merupakan penyebab paling penting dari ensefalitis sporadis yang fatal
di Amerika Serikat, tetapi juga langka
Varicella-zoster virus. Virus ini bertanggung jawab untuk cacar air dan herpes
zoster. Hal ini dapat menyebabkan ensefalitis pada orang dewasa dan anak-
anak, tetapi cenderung ringan.

34
Virus Epstein-Barr. Virus herpes yang menyebabkan infeksi mononucleosis.
Jika ensefalitis berkembang, biasanya ringan, tetapi dapat berakibat fatal pada
sejumlah kecil kasus.
C. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang menyebabkan risiko lebih besar adalah:
1. Umur. Beberapa jenis ensefalitis lebih lazim atau lebih parah pada anak-anak
atau orang tua.
2. Sistem kekebalan tubuh semakin lemah. Jika memiliki defisiensi imun,
misalnya karena AIDS atau HIV, melalui terapi kanker atau transplantasi
organ, maka lebih rentan terhadap ensefalitis.
3. Geografis daerah. Mengunjungi atau tinggal di daerah di mana virus nyamuk
umum meningkatkan risiko epidemi ensefalitis.
4. Musim. Penyakit yang disebabkan nyamuk cenderung lebih menonjol di akhir
musim panas dan awal musim gugur di banyak wilayah Amerika Serikat
(Mardjono & Sidharta, 2010).
D. Epidemiologi
Insidensi di USA dilaporkan 2.000 atau lebih kasus viral ensefalitis per
tahun, atau kira-kira 0,5 kasus per 100.000 penduduk. Virus Japanese
Encephalitis adalah arbovirus yang paling umum di dunia bertanggung jawab
untuk 50.000 kasus dan 15.000 kematian per tahun di sebagian besar
dari Cina, Asia Tenggara, dan anak benua India. Di Indonesia, menurut data
statistik dari 214 pasien ensefalitis 54% (115 orang) dari penderitanya adalah
anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan adalah virus herpes simpleks
(31%) (Ronald, 2012).
E. Patomekanisme
Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral
meningitis, yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah
(hematogen) dan melalui saraf (neuronal spread). Penyebaran hematogen terjadi
karena penyebaran ke otak secara langsung melalui arteri intraserebral.
Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai, misalnya arteri
meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri tersebut itu kuman dapat tiba di
likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui penerobosan dari pia mater.

35
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui
neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua
penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port
dentry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus
dari ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai
jembatan bagi kuman untuk tiba di susunan saraf pusat. Sesudah virus berada di
dalam sitoplasma sel host, kapsel virus dihancurkan. Dalam hal tersebut virus
merangsang sitoplasma sel host untuk membuat protein yang menghancurkan
kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus berkontak langsung dengan sitoplasma
sel host. Karena kontak ini sitoplasma dan nukleus sel host membuat nucleic acid
yang sejenis dengan nucleic acid virus (Mardjono & Sidharta, 2010).
Proses ini dinamakan replikasi. Karena proses replikasi berjalan terus,
maka sel host dapat dihancurkan. Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar
ekstraselular. Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran virus berhasil,
timbullah manifestasi-manifestasi toksemia yang kemudian disususl oleh
manifestasli lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam,
dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan
susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan motorik (gangguan
penglihatan, gangguan berbicara, gannguan pendengaran dan kelemahan anggota
gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang mengakibatkan
nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan (Price &
Wilson, 2011).
F. Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis (Mardjono & Sidharta, 2010):
a) Demam
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
Manifestasi Klinis tergantung dari (Mardjono & Sidharta, 2010) :
a) Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :
Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri,
terutama lobus temporalis

36
Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
b) Patogenesis agen yang menyerang.
c) Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.
Gejala-gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-
masing kasus, epidemi, jenis virus dan lain-lain. Pada umumnya terdapat 4 jenis
bentuk manifestasi kliniknya yaitu :
a. Bentuk asimtomatik : gejala ringan sekali, kadang ada nyeri kepala ringan atau
demam tanpa diketahui sebabnya. Diplopia, vertigo dan parestesi juga
berlangsung sepintas saja. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.
b. Bentuk abortif : Gejala-gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi
dan kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi
saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.
c. Bentuk fulminan : bentuk ini beberapa jam sampai beberapa hari yang
berakhir dengan kematian. Pada stadium akut: demam tinggi, nyeri kepala
difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, disorientasi, sangat gelisah dan dalam
waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam. Kematian biasanya terjadi
dalam 2-4 hari akibat kelainan bulbar atau jantung
d. Bentuk khas ensefalitis : bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal nyeri
kepala ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama beberapa hari.
muncul tanda radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah
dan sukar tidur). Defisit neurologik yang timbul bergantung pada tempat
kerusakan. Penurunan kesadaran menyebabkan koma, dapat terjadi kejang
fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian,
disorientasi, gangguan bicara, dan gangguan mental
Gejala klinis: bersifat akut/sub akut, yaitu demam, nyeri kepala, gejala
psikiatrik, kejang, muntah, kelemahan otot fokal, hilangnya memori,gangguan
status mental, fotofobia, kelainan gerakan. Pada neonatus: gejala tampak usia 4-11
hari, yaitu letargik, malas minum, iritabel, dan kejang. Tanda klinik: gangguan
kesadaran, demam, disfasia, ataxia, kejang fokal-general, hemiparesis, gangguan
saraf otak, hilangnya lapangan pandang dan papil edema.
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi
umum dengan tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala

37
yang kronik dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran
menurun. Pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit
neurologis tergantung pada lokasi dan luasnya abses (Mardjono & Sidharta,
2010).
G. Diagnosis Banding
Meningitis bakterial
Stroke
Tumor otak
Abses ekstradural
Abses subdural
Infiltrasi neoplasma
Trauma kepala pada daerah epidemi
Ensefalopati
Sindrom Reye
H. Penatalaksanaan
Farmakologis
1. Mengatasi kejang Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang
sering terjadi, perlu diberikanDiazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam
bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis : infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S
(tergantung umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri dan akibat yang ditimbulkan oleh anoksia
serebrim : Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intracranial : Manitol diberikan intravena dengan
dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliser
ol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua
bagian sari jeruk, dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama
5. Pengobatan kausatif. Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri
diberikan antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi
virus herpes simplek Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb
per hari selama 10 hari (Underwood, 2009).

38
Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative
2. Makanan tinggi kalori protein
3. Lain-lain: perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk
pernapasan buatan
I. Komplikasi
Susunan saraf pusat : kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan
dan pendengaran
Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat
secara menetap
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.
Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi
mental karena kerusakan SSP berat (Snell, 2012).
J. Prognosis
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang
pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada ensefalitis Herpes
Simpleks) angka kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini
dengan asiklovir akan menurukan mortalitas menjadi 28%. Sekitar 25% pasien
ensefalitis meninggal pada stadium akut. Penderita yang hidup 20-40%nya akan
mempunyai komplikasi atau gejala sisa (Mardjono & Sidharta, 2010).
Gejala sisa lebih sering ditemukan dan lebih berat pada ensefalitis yang
tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan
prognosis buruk, demikian juga koma. Pasien yang mengalami koma seringkali
meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Banyak kasus ensefalitis
adalah infeksi dan recovery biasanya cepat ensefalitis ringan biasanya pergi tanpa
residu masalah neurologi. Dan semuanya 10% dari kematian ensefalitis dari
infeksinya atau komplikasi dari infeksi sekunder . Beberapa bentuk ensefalitis
mempunyai bagian berat termasuk herpes ensefalitis dimana mortality 15-20%
dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment (Mardjono & Sidharta, 2010).

39
II.6 Gullain Barre Syndrome (GBS)
A. Definisi
GuillainBarr Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain
Barr Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi. Dapat diambil kesimpulan bahwa Guillain
Barr Syndrome merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Seneviratne,2003).
B. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara
lain infeksi, vaksinasi, pembedahan, penyakit sistematik seperti keganasan;
systemic lupus erythematosus; tiroiditis; penyakit Addison, serta kehamilan atau
dalam masa nifas. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara
56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal (Yuki & Hartung,
2012; Pritchard, 2010).

Tabel 1. Infeksi Akut yang Berhubungan dengan GBS


Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella- Zoster Measles
Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Bakteri Campylobacter Typhoid Paratyphoid
jejuni Brucellosis

40
Mycoplasma Chlamydia
Pneumonia Legionella
Listeria

C. Epidemiologi
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan
menemukan kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100000. Kebanyakan
penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan
angka kejadian serupa tahunan, yaitu antara 0,84 dan 1.91/100000. Rata-rata
pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih sering terkena daripada laki-
laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia.
Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an ditemukan.
Sampai dengan 70% dari kasus Guillain-Barr Syndrome disebabkan oleh infeksi
anteseden (Ropper & Brown, 2005).
Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk
paling umum di negara-negara barat dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus.
Kondisi ini terjadi pada semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia
termuda dan tertua dilaporkan adalah masing-masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia
rerata onset adalah sekitar 40 tahun, dengan kemungkinan dominasi laki-laki
(Ropper & Brown, 2005). Guillain-Barr Syndrome adalah penyebab paling
umum dari acute flaccid paralysis pada anak-anak. Acute Motor Axonal
Neuropathy (AMAN) sering didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada
orang muda. Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN
seluruh dunia mempengaruhi 10% sampai 20% pasien dengan Guillain-Barr
Syndrome. Miller-Fisher syndrome mempengaruhi antara 5% dan 10% pasien
GBS di negara-negara barat, tetapi lebih umum di Asia Timur, dengan 25% terjadi
di Jepang dan 19% di Taiwan (Ropper & Brown, 2005).
D. Patomekanisme
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindrom ini adalah melalui mekanisme imun. Bukti-bukti bahwa

41
imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindrom ini adalah (Ropper & Brown, 2005):
a. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi,
b. Adanya auto-antibody terhadap sistem saraf tepi,
c. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.

Gambar 3. Patogenesis dan fase klinikal dari GBS

42
Gambar 4. Lokasi GBS yang menyerang sistem nervus perifer.

E. Klasifikasi
GBS diklasifikasikan sebagai berikut (Seneviratne,2003) :
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
AIDP adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok dengan
gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah
kelemahan anggota gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling
umum terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada
AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental
makrofag.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi
motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan
sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya
memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat
hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan
melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motorik.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
AMSAN adalah penyakit akut yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga
mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan
karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN.
4. Miller Fisher Syndrome

43
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy
mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto
antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah
paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada GBS.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat
kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia.
Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit
dengan obat pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok
pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan
inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik ringan.
Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi ortostatik,
serta disfungsi pencernaan.
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaffs (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari GBS. Hal ini ditandai dengan onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign.
Perjalanan penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan
medula. BEE meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik.
MRI memainkan peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE
telah dikaitkan dengan GBS aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang
erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan (Ropper & Brown, 2005).
F. Tanda dan Gejala
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris
secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum
tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan
otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut
dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar

44
dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi (Yuki &
Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf kranial
III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan
wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang
terkena. Varian Miller-Fisher dari GBS adalah unik karena subtipe ini dimulai
dengan defisit saraf kranial (Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel.7 Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati
rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir (Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan GBS pada beberapa waktu selama
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung,
pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada
dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias
sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan
sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas
atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom
nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan GBS adalah sebagai
berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi
imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) (Yuki & Hartung,
2012; Pritchard, 2010).

45
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis. Retensi urin
karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat
ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan
kegagalan pernafasan yang parah (Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, bicara cadel. Kegagalan
ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. Ciri-
ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: Protein CSS.
Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial;
jumlah sel CSS < 10 MN/mm3;Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS
setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3). Gambaran
elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi saraf
bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
(Yuki & Hartung, 2012 ; Pritchard, 2010).
e. Diagnosis Banding
Gejala klinis GBS biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan criteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain, seperti Mielitis akuta, Poliomyelitis anterior
akuta, Porphyria intermitten akuta, dan Polineuropati post difteri (Ropper &
Brown, 2005).
f. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan

46
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Yuki & Hartung, 2012;
Pritchard, 2010) :
1) Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
2) Plasmafaresis
Plasmafaresis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada GBS memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).
3) Pengobatan imunosupresan:
Imunoglobulin IV (IVIg)
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah(Ropper & Brown, 2005):
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) azathioprine
c) cyclophosphamide
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
g. Prognosis
Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan
penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala
sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan
keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi

47
plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan
pendek, dan terjadi pada penderita berusia 30-60 tahun (Seneviratne, 2003).

II.7 Trauma Capitis


A. Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan
otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Perdossi, 2016).
B. Etiologi
Trauma pada kepala dapat terjadi akibat beberapa faktor, antara lain
(Langlois, 2006):
1. Trauma Kepala Primer
Trauma kepala primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak,
dimana kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda/serpihan
tulang yang menembus/merobek jaringan otak karena efek percepatan-
perlambatan.
2. Trauma Kepala Sekunder
a. Penyebab sistemik (hipotensi, hipoksia, hipertermi, hiponatremia).
b. Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom, edema, kejang,
vasospasme dan infeksi).
C. Epidemiologi
Tahun 1995-2001 Amerika Serikat mencatat 235.000 penderita cedera
otak ringan dirawat setiap tahunnya, 1,1 juta mendapat perawatan di unit gawat
darurat, 50.000 (3,6%) pasien meninggal. Faktor resiko utama cedera otak adalah
umur, ras, dan tingkat sosioekonomi yang rendah. Angka kejadian laki-laki lebih
tinggi dibandingkan perempuan. Di Asia pada tahun 2002 pensentase cedera otak
karena kecelakaan lalu lintas sebesar 60% kasus, 20-30% karena terjatuh dari
ketinggian, dan penyebab lainnya 10%. Pada penelitian yang dilakukan pada
tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada di urutan 6 dari total kasus yang
masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan jumlah mencapai 340.000 kasus,
namun belum ada data pasti mengenai porsi cedera otak. Dari penelitian yang

48
dilakukan pada beberapa rumah sakit diperoleh data pada tahun 2005 RS. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, kasus cedera otak mencapai 434 pasien cedera
otak ringan, 315 pasien cedera otak sedang, kasus dengan mortalitas sebanyak 23
kasus (Zamzami, 2013).
Rumah Sakit Pirngadi Medan pada tahun 1995-1998 berdasarkan tingkat
keparahannya dijumpai cedera otak ringan 60,3% (2463 kasus), cedera otak
sedang 27,3% (1114 kasus) dan cedera otak berat 12,4% (505 kasus) sedangkan
angka kematian akibat cedera otak sebesar 11% (448 kasus), pada tahun 2002-
2003 dijumpai cedera otak 1095 kasus dengan kematian 92 kasus (Case Fatality
Rate/CFR 8,4%), RS. Adam Malik jumlah 680 kasus dengan jumlah kematian 66
orang (CFR 9,7%), RS. Haji Medan pada tahun 200-2007 sebanyak 11,7%.6
Salah satu penilaian derajat keparahan cedera otakdengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS), GCS sering digunakan karena mudah untuk dinilai. Outcome
dapat dinilai dengan menggunakan GCS (Zamzami, 2013).
D. Patomekanisme
Mekanisme cedera memegang peranan penting dalam menentukan berat-
ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat benda tumpul atau karena terkena lemparan benda tumpul.
Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara
relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak (Werner, 2007).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar
pada permukaan otak, leserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi
serebral (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler
serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK).

49
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi (Werner, 2007).
E. Tanda dan Gejala
Menurut (Blyth, 2010) gambaran klinis trauma kepala yaitu :
a. Komosio Cerebri
1) Penderita pingsan sebentar (kurang dari 10 menit)
2) Nyeri kepala
3) Pusing
4) Mual, muntah
5) Setelah sadar, penderita menunjukkan gejala-gejala retrograde amnesia
(lupa akan kejadian-kejadian pada waktu beberapa saat sebelum terjadinya
kecelakaan)
b. Kontusio Cerebri
1) Penderita pingsan selama berjam-jam, bahkan berhari-hari sampai
berminggu-minggu
2) Retrograt amnesia lebih berat dan jelas
3) Ditemukan gejala neurologik yaitu reflek babinski positif serta
kelumpuhan nyata
4) Pada keadaan berat didapatkan denyut nadi yang cepat sekali, suhu badan
meningkat, pernapasan cheyne stokes dan kesadaran menurun sampai
koma.
c. Perdarahan Epidural
1) Penderita hanya pingsan sesaat, kemudian sadar kembali akan tetapi
beberapa waktu (biasanya 3x24 jam) timbul gejala-gejala progresif seperti
nyeri kepala hebat, kesadaran menurun dapat sampai koma
2) Pupil anisokor
3) Refleks patologik babinski ditemukan unilateral
4) Ditemukan tanda-tanda gangguan traktus piramidalis seperti hemipareses,
refleks tendon yang meninggi dibandingkan dengan sisi kontralateral.
d. Perdarahan Subdural
1) Nyeri kepala yang makin lama makin berat biasanya di daerah dehidrasi,
edema papila nervus optikus (papil edema)

50
2) Derajat gangguan kesadaran berbeda-beda tergantung kepada kerusakan
yang terdapat di otak.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi
terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit
terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada
daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri
dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii,
maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen
terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk
melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi
mungkin menimbulkan impressions digitae (Iskandar, 2007).
2. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972.
Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-
potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.
Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis (Iskandar, 2007):
a. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
b. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
d. Adanya kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal
f. Sakit kepala yang menetap
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan
lebih jelas. Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu lebih
baik dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub
dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan

51
hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa
posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian
MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu: membutuhkan waktu pemeriksaan
lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis
berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian
fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan
(Iskandar, 2007).
G. Diagnosis Banding
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus
membedakan cedera kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma
diabetik, koma alkoholik, CVD atau epilepsi (jika pasien kejang) (Blyth, 2010).
H. Penatalaksanaan
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi
didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap 6 B, yakni
(Unair, 2014):
1. Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya
obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan:
suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi
bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan
edema cerebri.
2. Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah
(Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun
mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan
darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya
syok hipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari
kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
3. Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan
verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi
perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai

52
keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-
gerakan bola mata.
4. Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat
bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk
mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5. Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan
TIK.
6. Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.
I. Prognosis
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala (Nasution, 2014).
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5%
yang memerlukan tindakan operasi dan sisanya dirawat secara konservatif.
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan
secara tepat dan cepat (Nasution, 2014).

II.8 Tumor
A. Definisi
Tumor otak atau tumor intrakranial merupakan neoplasma atau proses
desak ruang (space occupying lession atau space taking lession) yang timbul di
dalam rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supratentorial maupun
infratentorial (Desen, 2008).

53
B. Etiologi
Penyebab tumor otak hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti,
walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang
perlu ditinjau sebagai penyebab tumor otak, sebagai berikut (Desen, 2008):
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali
pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada
anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber
yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan
faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada
bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor herediter yang
kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan
yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi
ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh,
menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal
itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu
terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah
timbulnya suatu radiasi.Selain itu pada pasien-pasien penderita tinea kapitis
yang medapat radiasi kepala jangka panjang
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses
terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara
infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan.
Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti

54
methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang
dilakukan pada hewan.
C. Epidemiologi
Tumor primer biasanya timbul dari jaringan otak, meningen, hipofisis dan
selaput myelin. Tumor sekunder berasal adalah tumor metastasis yang biasa
berasal dari hampir semua tumor pada tubuh. Tumor metastasis SSP yang melalui
perderan darah yaitu yang paling sering adalah tumor paru-paru dan prostat,
ginjal, tiroid, atau traktus digestivus, sedangkan secara perkontinuitatum masuk ke
ruang tengkorak melalui foramina basis kranii yaitu infiltrasi karsinoma anaplastik
nasofaring (Fisher et al, 2007).
Pada umumnya tumor otak primer tidak memiliki kecenderungan
bermetastasis, hanya satu yaitu meduloblastoma yang dapat bermetastasis ke
medulla spinalis dan kepermukaan otak melalui peredaran likuor serebrospinalis.
Perbandingan tumor otak primer dan metastasis adalah 4:1 (Fisher et al, 2007).
Tumor otak primer (80 %), sekunder (20 %). Tumor primer kira-kira
50% adalah glioma, 20 % meningioma, 15 % adenoma dan 7 % neurinoma. Pada
orang dewasa 60 % terletak di supratentorial, sedangkan pada anak-anak 70 %
terletak di infratentorial. Tumor yang paling banyak ditemukan pada anak adalah
tumor serebellum yaitu meduloblastoma dan astrositoma. Statistik primer adalah
10 % dari semua proses neoplasma dan terdapat 3 7 penderita dari 100.000
orang penduduk (Fisher et al, 2007).
D. Patomekanisme
Patogenesis tumor sistem saraf pusat, misalnya Glioma, pada dasarnya
melibatkan gen-gen yang menyebabkan inisiasi, diferensiasi, dan proliferasi sel-
sel tumor. Gen ini mengkode factor pertumbuhan dan reseptornya, protein second
messenger, yang mempengaruhi control siklus sel, apoptosis dan nekrosis, factor
transkripsi dan protein memediasi angiogenesis dan interaksi antara tumor dan
matriks ekstraseluler. Keterlibatan onkogen (overekspresi) dan inaktivasi tumor
suppressor genes berperan dalam pathogenesis pasien ini (Adams, 2012).

55
Gambar 5. Patogenesis Tumor Otak

E. Tanda dan Gejala


Perubahan pada parenkim intrakranial baik difus maupun regional akan
menampilkan gejala dan tanda gangguan neurologis sehubungan dengan
gangguan pada nukleus spesifik tertentu atau serabut traktus pada tingkat
neurofisiologi dan neuroanatomi tertentu seperti gejala-gejala: kelumpuhan,
gangguan mental, gangguan endokrin, dan sebagainya. Persentasi klinis sering
kali dapat mengarahkan perkiraan kemungkinan lokasi tumor otak. Secara umum
persentasi klinis pada kebanyakan kasus tumor otak merupakan manifestasi dari
peninggian tekanan intrakranial; namun sebaliknya gejala neurologis yang bersifat
progresif, walaupun tidak jelas ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial,
perlu dicurigai adanya tumor otak (Black, 1991).
Tekanan Tinggi Intrakranial
Trias gejala klasik dari sindroma tekanan tinggi intrakranial adalah: nyeri
kepala, muntah proyekil, dan papiledema. Keluhan nyeri kepala disini cenderung
bersifat intermittent, tumpul, berdenyut dan tidak begitu hebat terutama di pagi
hari karena selama tidur malam PCO2 serebral meningkat sehingga
mengakibatkan peningkatan CBF (Cerebral Blood Flow) dan dengan demikian
mempertinggi tekanan intrakranial. Juga lonjakan sejenak seperti karena batuk,
mengejan atau berbangkis memperberat nyeri kepala. Nyeri dirasa berlokasi di

56
sekitar daerah frontal atau oksipital. Penderita sering kali disertai muntah yang
menyemprot (proyektil) dan tidak didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh karena
tekanan intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur malam, akibat PCO2
serebral meningkat. Tumor otak pada bayi yang menyumbat aliran likuor
serebrospinal sering kali ditampilkan dengan pembesaran lingkar kepala yang
progresif dan ubun-ubun besar yang menonjol; sedangkan pada anak-anak yang
lebih besar di mana suturanya relative sudah merapat, biasanya gejala papiledema
terjadi lebih menonjol. Papiledema dapat timbul pada tekanan intrakranial yang
meninggi atau akibat penekanan pada nervus optikus oleh tumor secara langsung.
Papiledema memperlihatkan kongesti venosa yang jelas, dengan papil yang
berwarna merah tua dan perdarahan-perdarahan di sekitarnya (Black, 1991).
Kejang
Gejala kejang pada tumor otak khususnya di daerah supratentorial dapat
berupa kejang umum, psikomotor ataupun kejang fokal. Kejang dapat merupakan
gejala awal yang tunggal dari neoplasma hemisfer otak dan menetap untuk
beberapa lama sampai gejala lainnya timbul. Perlu dicurigai penyebab bangkitan
kejang adalah tumor otak bila (Black, 1991):
Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
Mengalami post iktal paralisis
Mengalami status epilepsi
Resisten terhadap obat-obat epilepsi
Bangkitan disertai dengan gejala TTIK lain
Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak di korteks, 50% pasien
dengan astrositoma, 40% pada pasen meningioma, dan 25% pada
glioblastoma.
Perdarahan Intrakranial
Bukanlah suatu hal yang jarang bahwa tumor otak diawali dengan
perdarahan intrakranial-subarakhnoid, intraventrikuler atau intraserebral (Black,
1991).
Gejala Disfungsi Umum
Abnormalitas umum dari fungsi serebrum bervariasi mulai dari gangguan
fungsi intelektual yang tak begitu hebat sampai dengan koma. Penyebab umum

57
dari disfungsi serebral ini adalah tekanan intrakranial yang meninggi dan
pergeseran otak akibat gumpalan tumor dan edema perifokal di sekitarnya atau
hidrosefalus sekunder yang terjadi (Black, 1991).
Gejala Neurologis Fokal
Perubahan personalitas atau gangguan mental biasanya menyertai tumor-
tumor yang terletak di daerah frontal, temporal, dan hipotalamus, sehingga sering
kali penderiita-penderita tersebut diduga sebagai penyakit nonorganik atau
fungsionil. Gejala afasia agak jarang dijumpai, terutama pada tumor yang berada
di hemisfer kiri (dominan). Tumor-tumor daerah supraselar, nervus optikus dan
hpotalamus dapat mengganggu akuitas visus. Kelumpuhan saraf okulomotorius
merupakan tampilan khas dari tumor-tumor paraselar, dan dengan adanya tekanan
intracranial yang meninggi kerap disertai dengan kelumpuhan saraf abdusens.
Nistagmus biasanya timbul pada tumor-tumor fosa posterior; sedangkan tumor-
tumor supraselar atau paraselar kadang (jarang sekali) menyebabkan
gejalapatognomonik berupa nistagmus gergaji (seesaw nystagmus); gerakan
mata diskonjugat, ventrikal dan rotasional di mana masing-masing mata geraknya
saling berlawanan. Kelemahan wajah dan hemiparesis yang berkaitan dengan
gangguan sensorik serta kadang ada efek visual merupakan refleksi kerusakan
yang melibatkan kapsula interna atau korteks yang terkait. Ataksia trukal adalah
pertanda suatu tumor fosa posterior yang terletak di garis tengah. Gangguan
endokrin menunjukkan adanya kelainan pada hipotalamus-hipofise (Black, 1991).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sken magnet (MRI) dan sken tomografi computer merupakan
pemeriksaan terpilih untuk mendeteksi adanya tumor-tumor intrakranial. Teknik
pencitraan CT scan dan MRI konvensional memberikan informasi tentang lokasi
anatomis dan struktur tumor makroskopis. Dalam hal ini dapat diketahui secara
terperinci letak lokasi tumor dan pengaruhnya terhadap jaringan sekitarnya,
bahkan pada kasus-kasus tertentu dapat pula diduga jenisnya dengan akurasi yang
hampir tepat (Desen, 2008).
Pemeriksaan konvensional seperti: foto polos kepala, EEG,
ekhoensefalografi, dan pemeriksaan penunjang diagnostic yang invasive seperti:
angiografi serebral, pneumoensefalografi sudah jarang diterapkan, kecuali pada

58
keadaan-keadaan darurat dengan Kendala fasilitas pemeriksaan mutakhir di atas
tidak ada atau sebagai pembantu perencanaan teknik pembedahan otak (Dessen,
2008).
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari tumor otak sendiri antara lain, sebagai berikut
(Kemenkes, 2016):
a) Tumor otak primer
b) Tumor otak metastasis
c) Tuberkuloma
d) Toksoplasma
e) Limfoma
H. Penatalaksanaan
Pemilihan tindakan penanganan yang dapat dilakukan pada penderita
tumor otak tergantung dari beberapa faktor, antara lain (Hakim, 2005):
a) Kondisi umum penderita
b) Tersedianya alat yang lengkap
c) Pengertian penderita dan keluarga
d) Luasnya metastasis
Adapun terapi dan modalitas penanganan terhadap tumor otak mencakup
tindakan-tindakan (Hakim, 2005):
1. Terapi Kortikosteroid
Biasanya deksametason diberikan 4 20 mg intravena setiap 6 jam untuk
mengatasi edema vasogenik (akibat tumor) yang menyebabkan TTIK. Peranan
nya masih kontroversial dalam terapi TTIK. Beberapa efek samping yang dapat
timbul adalah berkaitan dengan penggunaan steroid lama seperti: penurunan
kekebalan, supresi adrenal, hiperglikemia, hipokalemia, alkalosis metabolic,
retensi cairan, penyembuhan luka yang terlambat, psikosis, miopatia, ulserasi
lambung, dan hipertensi.
2. Terapi operatif
Tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan diagnosa pasti dan
dekompresi internal, mengingat bahwa obat-obatan antiedema otak tidak dapat
diberikan secara terus-menerus. Persiapan prabedah, penanganan pembiusan,

59
teknik operasi dan penanganan pascabedah sangat berperan penting dalam
menentukan keberhasilan penanganan operatif terhadap tumor otak.
3. Terapi konservatif
a. Radioterapi
Tindakan ini untuk tumor-tumor susunan saraf pusat kebanyakan
menggunakan sinar X dan sinar Gamma, disamping juga radiasi lainnya seperti:
proton, partikel alfa, neutron, dan pimeson. Keberhasilan terapi radiasi pada tumor
ganas otak diperankan oleh beberapa faktor:
a) Terapi yang baik dan tidak melukai struktur kritis lainnya
b) Sensitivitas sel tumor dengan sel normal
c) Tipe sel yang disinar
d) Metastasis yang ada
e) Kemampuan sel normal untuk repopulasi, dan
f) Restrukturisasi dan reparasi sel kanker sewaktu interval antarfraksi radiasi.
b. Kemoterapi
Peranan kemoterapi tunggal untuk tumor ganas otak masih belum
mempunyai nilai keberhasilan yang bermakna sekali. Saat ini yang menjadi titik
pusat perhatian modalitas terapi ini adalah tumor-tumor otak jenis astrositoma
(Grade III dan IV) glioblastoma dan astrositoma anaplastik beserta variannya. Ada
beberapa obat kemoterapi untuk tumor ganas otak yang saat ini beredar di
kalangan medis yaitu: HU (hidroksiurea), 5-FU (5-Fluorourasil), PCV
(prokarbazin, CCNU, Vincristine), Nitrous Urea (PCNU, BCNU/Karmustin,
CCNU/lomustin, MTX (metotrksat), DAG (dianhidrogalaktitol) dan sebagainya.
Potensi kemoterapi pada susunan saraf di samping didasarkan oleh farmakologi
sendiri juga perlu dipertimbangkan aspek farmakokinetiknya (transportasi obat
mencapai target) mengingat adanya sawar darah otak. Pemberian kemoterapi
dapat dilakukan melalui intra-arterial (infuse, perfusi), melalui
intratekal/intraventrikuler (punksi lumbal, punksi sisterna, via pudentz/omyama
reservoir) atau intra tumoral.
c. Immunoterapi
Yang mendasari modalitas terapi ini adalah anggapan bahwa tumbuhnya
suatu tumor disebabkan oleh adanya gangguan fungsi immunologi tubuh sehingga

60
diharapkan dengan melakukan restorasi sistem imun dapat menekan dapat
menekan pertumbuhan tumor.
I. Prognosis
Prognosis tergantung jenis tumor spesifik, dengan diagnosis dini dan juga
penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka
ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan
hidup 10 tahun (10 years survival) berkisar 30-40% (Black, 1991).

II.9 Syok Neurogenik


A. Definisi
Syok merupakan sebagai suatu keadaan yang mengancam jiwa yang
diakibatkan karena tubuh tidak mendapatkan suplai darah yang adekuat yang
mengakibatkan kerusakan multiorgan, Pertama pada jaringan non vital lalu
kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru-paru, dan ginjal). Jika tidak ditangani
segera, dapat memburuk dengan cepat. Syok merupakan suatu sindroma klinis
yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik
(Elizabeth, 2013).
Syok neurogenik merupakan syok yang terjadi akibat kegagalan pusat
vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh
tubuh, sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada capacitance vessels.
Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh
cedera pada sistem saraf, seperti trauma kepala, cedera spinal, atau general
anestesi yang terlalu dalam (Elizabeth, 2013).
B. Etiologi
Adapun etiologi dari syok neurogenic sebagai berikut (Godoy, 2012) :
Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal)
Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada
fraktur tulang
Rangsangan pada medulla spinalis seperti penggunaan obat anestesi
spinal/lumba
Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom)
Suhu lingkungan yang panas

61
C. Patomekanisme
Syok neurogenik termasuk syok distributif yang terjadi karena adanya
penurunan perfusi jaringan dan menyebabkan hipotensi arterial karena terjadi
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik. Sebab lainnya berupa penurunan
efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone,
pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler
dan intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler (Elizabeth, 2013).
Akhirnya, disfungsi miokard primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi
ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan penurunan kurva fungsi ventrikel. Pada
keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder
terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada
hilangnya tonus simpatik. Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah
hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit (Elizabeth, 2013).
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di regio splangnikus, sehingga perfusi ke
otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan
yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke
jantung yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan
rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat
gangguan emosional (Elizabeth, 2013).
Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali
neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Penderita dengan
nyeri, stress, emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme
reflek yang tidak jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan
terjadi sinkop, syok neurogenik disebabkan oleh gangguan persarafan simpatis
descendens ke pembuluh darah yang mendilatasi pembuluh darah dan
menyebabkan terjadinya hipotensi dan bradikardia (Elizabeth, 2013).
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya kontrol saraf simpatis
terhadap resistensi vaskular, sehingga terjadilah vasodilatasi arteriol dan venula
secara besar-besaran di seluruh tubuh. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
beberapa etiologi yang mendasari terjadinya syok neurogenik antara lain

62
adalah penggunaan zat anesthesia maupun cidera pada medula spinalis Richard,
2013).
Bagian terpenting sistem saraf otonom bagi pengaturan sirkulasi
adalah sistem saraf simpatis. Secara anatomis, serabut-serabut saraf vasomotor
simpatis meninggalkan medula spinalis melalui semua saraf spinal toraks dan
melalui satu atau dua saraf spinal lumbal pertama. Serabut-serabut ini segera
masuk ke dalam rantai simpatis yang berada di tiap sisi korpus vertebra, kemudian
menuju sistem sirkulasi melalui dua jalan utama :
Melalui saraf simpatis spesifik yang terutama mempersarafi pembuluh
darah organ viseral interna dan jantung.
Hampir segera memasuki nervus spinalis perifer yang mempersarafi
pembuluh darah perifer
Di sebagian besar jaringan, semua pembuluh darah kecuali kapiler,
sfingter prekapiler, dan sebagian besar meta arteriol diinervasi oleh saraf
simpatis. Tentunya inervasi ini memiliki tujuan tersendiri. Sebagai contoh,
inervasi arteri kecil dan arteriol menyebabkan rangsangan simpatis untuk
meningkatkan resistensi aliran darah dan dengan demikian menurunkan laju
aliran darah yang melalui jaringan. Inervasi pembuluh darah besar, terutama
vena, memungkinkan rangsangan simpatis untuk menurunkan volume pembuluh
darah ini. Keadaan tersebut dapat mendorong darah masuk ke jantung dan dengan
demikian berperan penting dalam pengaturan pompa jantung (Richard, 2013).
Selain serabut saraf simpatis yang menyuplai pembuluh darah, serabut
simpatis juga pergi secara langsung menuju jantung. Perlu diingat kembali bahwa
rangsangan simpatis jelas meningkatkan aktivitas jantung, meningkatkan
frekuensi jantung, dan menambah kekuatan serta volume pompa jantung.
Hubungan antara saraf simpatis dan sistem sirkulasi yang baru saja dijabarkan
secara singkat, sebenarnya membawa serabut saraf vasokonstriktor dalam jumlah
yang banyak sekali dan hanya sedikit serabut vasodilator. Serabut tersebut pada
dasarnya di distribusikan ke seluruh segmen sirkulasi dan
efek vasokonstriktornya terutama sangat kuat di ginjal, usus, limpa dan kulit
tetapi kurang kuat di otot rangka dan otak (Richard, 2013).

63
Dalam keadaan normal, daerah vasokonstriktor di pusat vasomotor
terus menerus mengantarkan sinyal ke serabut saraf vasokonstriktor seluruh
tubuh, menyebabkan serabut ini mengalami cetusan yang lambat dan kontinyu
dengan frekuensi sekitar satu setengah sampai dua impuls per detik. Impuls
ini, mempertahankan keadaan kontraksi parsial dalam pembuluh darah yang
disebut tonus vasomotor. Tonus inilah yang mempertahankan tekanan darah
dalam batas normal, sehingga fungsi sirkulasi tetap terjaga untuk kebutuhan
jaringan (Richard 2013).
Melemahnya tonus vasomotor, secara langsung menimbulkan
manifestasi klinis dari syok neurogenik. Sebagai contoh, trauma pada medula
spinalis segmen toraks bagian atas akan memutuskan perjalanan impuls
vasokonstriktor dari pusat vasomotor ke sistem sirkulasi. Akibatnya, tonus
vasomotor di seluruh tubuh pun menghilang (Richard 2013).
Efeknya (vasodilatasi), paling jelas terlihat pada vena-vena juga arteri
kecil. Dalam vena kecil yang berdilatasi, darah akan tertahan dan tidak kembali
bermuara ke dalam vena besar. Karena faktor ini, aliran balik vena maupun curah
jantung akan menurun, dan dengan demikian tekanan darah secara otomatis jatuh
hingga nilai yang sangat rendah. Di momen yang bersamaan, dilatasi arteriol
menyebabkan lemahnya tahanan vaskular sistemik yang seharusnya membantu
memudahkan kerja jantung sebagai pompa yang mengalirkan darah ke seluruh
tubuh. Pada saat ini, didapatkan tanda-tanda syok neurogenik yang jalur akhirnya
tidak jauh berbeda dengan syok tipe lain (Richard 2013; Kenneth 2007).
Konsekuensi akhir dari gangguan perfusi dalam berbagai bentuk
syok distributif dapat berbeda pada tiap penderita, tergantung dari derajat dan
durasi hipoperfusi, jumlah sistem organ yang terkena, serta ada tidaknya
disfungsi organ utama. Harap ditekankan bahwa apapun tipenya, sekali syok
terjadi, cenderung memburuk secara progresif. Sekali syok sirkulasi mencapai
suatu keadaan berat yang kritis, tidak peduli apa penyebabnya, syok itu sendiri
akan menyebabkan syok menjadi lebih berat. Artinya, aliran darah yang tidak
adekuat menyebabkan jaringan tubuh mulai mengalami kerusakan, termasuk
jantung dan sistem sirkulasi itu sendiri, seperti dinding pembuluh darah, sistem
vasomotor, dan bagian-bagian sirkulasi lainnya (Guyton & Hall, 2008).

64
D. Tanda dan Gejala
Hampir sama dengan syok pada umumnya, tetapi pada syok neurogenik
terdapat tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih
lambat (bradikardi) dan kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa
quadriplegia atau paraplegia (Duane, 2008).
Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien tidak sadar nadi
bertambah cepat karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler,
dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan (Duane,
2008).
E. Pemeriksaan Penunjang
Darah (Hb, Ht, leukosit, Trombosit), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin,
glukosa darah.
Analisa gas darah
EKG
F. Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok neurogenik adalah dengan pemberian
vasopressor seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler
dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong
keluar darah yang berkumpul di tempat tersebut (Duane, 2008).
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi
yang berat, penggunaan ETT dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.
Langkah ini untuk menghindari pemasangan ETT yang darurat jika terjadi
distress respirasi yang berulang.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi
cairan. Cairan kristaloid NaCl 0,9% atau RL sebaiknya diberikan per infus
secara cepat 250-500 cc bolus
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat
vasoaktif

65
Dopamin
Obat pilihan pertama. Pada dosis >10 mcg/kg/menit, berefek serupa
dengan norepinephrine.
Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah.
Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika
norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada
pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per
infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh
vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung
(palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal
kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat
menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau IM, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat
dengan pengaruhnya terhadap jantung. Sebelum pemberian obat ini harus
diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu
diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien syok neurogenik.
Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya
cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui
vasodilatasi perifer.

Tabel 2. Obat Vasoaktif


Obat Dosis Cardiac Tekanan Pembuluh darah
Output darah sistemik
Dopamine 2,5-20 + + +
mcg/kg/menit
Norepinefrin 0,05-2 + ++ ++
mcg/kg/menit

66
Epinefrin 0,05-2 ++ ++ +
mcg/kg/menit
Fenilefrin 2-10 - ++ ++
mcg/kg/menit
Dobutamin 2,5-10 + +/- -
mcg/kg/menit

II.10 Status Konvulsivus


A. Definisi
Status konvulsivus adalah kejang konvulsif yang berlangsung lebih dari 30
menit atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit. Pada status konvulsivus,
selama kejang pasien tidak sadar (Rilianto, 2015).
B. Etiologi
Penentuan etiologi konvulsi berperan penting dalam tatalaksana konvulsi
selanjutnya. Penyebab konvulsi pada seorang pasien lebih dari satu. Berikut
etiologi konvulsi (Rilianto, 2015):
Infeksi
Keracunan
Gangguan metabolik
Penghentian obat antiepilepsi
Trauma kepala
Lain-lain: enselofati hipertensi, tumor otak, perdarahan intracranial, idiopatik
C. Epidemiologi
Penelitian epidemiologi terbaru di Amerika Serikat melaporkan angka
kejadian status konvulsivus pada anak berkisar 17/100.000 hingga 23-58/100.000
anak per tahun. Kejadian tertinggi dijumpai pada anak usia <1 tahun yakni 135,3-
156 per 100.000 anak/tahun (Rilianto, 2015).
D. Patomekanisme
Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadinya
paroxysmal depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial pascasinaps
yang berlangsung lama (50 ms). PDS merangsang lepas muatan listrik yang
berlebihan pada neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk melepaskan

67
muatan listrik secara bersama-sama sehingga timbul hiperkesitabilitas neuron otak
(Rilianto, 2015).
PDS diduga disebabkan oleh kemampuan membrane sel melepaskan
muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam
gama amino butirat (GABA) atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh
neurotransmitter glutamate dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang. Pada
pasien dengan epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron yang bertindak
sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik disebut sebagai focus epileptikus.
Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel di sekitarnya untuk melepaskan
muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang
paku iktal pada elektroensefalografi (Rilianto, 2015).
Manifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi.
Pasien epilepsi umumnya pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada
struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi
(gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular dan
talamokortikal. Status konvulsivus terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna
(Rilianto, 2015).
E. Diagnosis
Diagnosis status konvulsivus dapat langsung ditegakkan bila ada yang
menyaksikan bangkitan umum tonik-klonik. Status konvulsivus seringkali tidak
dipikirkan pada pasien koma yang telah memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua
pasien koma perlu diketahui adanya minor twitching yang bisa terlihat di wajah,
tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus (Varley, 2013).
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk memilih
pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Aloanamnesis
dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, dilanjutkan
dengan pertanyaan terarah untuk mencari kemungkinan faktor pencetus atau
penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat kejang sebelumnya, kondisi
medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, gangguan

68
neurologis baik umum maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat kejang
(Varley, 2013).
Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai tanda vital, mencari tanda
trauma akut kepala, dan ada tidaknya kelainan sistemik. Pemeriksaan ditujukan
untuk mencari cedera yang terjadi mendahului atau selama kejang, adanya
penyakit sistemik, paparan zat toksik, infeksi, dan kelainan neurologis fokal. Bila
dijumpai kelainan fokal, misalnya paralisis Todds harus dicurigai adanya lesi
intrakranial (Varley, 2013).
2. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium,
pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis. Pemilihan jenis
pemeriksaan penunjang ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan (Varley, 2013).
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada anak dengan kejang berguna untuk mencari etiologi dan komplikasi
akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan bergantung pada kondisi
klinis pasien. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang lama
adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa
protrombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin pada
kejang demam (Varley, 2013).
4. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai
penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk,
kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus
yang tidak didapatkan faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat
dilakukan dalam 48-72 jam setelah pungsi lumbal yang pertama untuk
memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat (Varley, 2013).
5. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang
epileptiform. Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya interiktal
EEG. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis ternyata memperlihatkan

69
gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak lain dengan epilepsi berat
mempunyai gambaran interiktal EEG yang normal (Varley, 2013).
6. Pencitraan neurologis
Foto polos kepala memiliki nilai diagnostic kecil meskipun dapat
menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak pada
trauma kepala dideteksi dengan CT Scan kepala. Kelainan gambaran CT Scan
kepala dapat ditemukan pada pasien kejang dengan riwayat trauma kepala,
pemeriksaan neurologis yang abnormal, perubahan pola kejang, kejang berulang,
riwayat menderita penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal, dan riwayat
keganasan (Varley, 2013).
Magnetic resonance imaging (MRI) lebih superior dibandingkan CT scan
dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau
daerah yang tertutup struktur tulang misalnya daerah serebelum atau batang otak.
MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsy lobus
temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan
adanya lesi ekuivokal pada CT scan (Varley, 2013).
h. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan status konvulsivus harus segera dihentikan sebab
(Varley, 2013) :
Semakin lama kejang berlangsung, semakin sulit dikontrol dan semakin
banyak kerusakan sel otak itu terjadi
Kerusakan sel otak terjadi terutama oleh bangkitan eksitasi yang terus-
menerus dan bukan oleh komplikasi aktivitas kejangnya.
Faktor sistemik (hiperpireksia) dapat menimbulkan kerusakan sel otak
Manajemen status konvulsivus (Varley, 2013) :
a) Stadium I (0-10 menit)
Perbaiki fungsi kardiorespirasi
Perbaiki jalan napas, pemberian oksigen, dan resusitasi
b) Stadium II (1-60 menit)
Pemeriksaan status neurologik
Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
EKG

70
Memasang infus
Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan lab
Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-20 mg iv
Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg iv
Menangani asidosis
c) Stadium II (0-60/90 menit)
Menentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus selama 30 menit setelah pemberian
diazepam pertama, beri fenitooin iv 15-18 mg/kgBB dengan kecepatan 50
mg/menit
Memulai terapi dengan vasopressor bila diperlukan
Mengoreksi komplikasi
d) Stadium IV (30-90 menit)
Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien ke ICU,
beri propofol (2 mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau thiopentone
(100-250 mg bolus iv pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan
bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu tapering off
Memantau bangkitan dan EEG, TIK, memulai pemberian OAE dosis
rumatan
i. Prognosis
Prognosis status konvulsivus tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, kecepatan, penanganan kejang, dan komplikasinya (Varley, 2013).

II.11 Myelitis
A. Definisi
Myelitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang
menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba
(Adams&Victor, 2000). Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat
merusak atau menghancurkan mielin yang merupakan selubung serabut sel
saraf. Kerusakan ini menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang
menganggu hubungan antara saraf pada medulla spinalis dan tubuh. Beberapa

71
literatur pada kondisi akut sering menyebutnya sebagai myelitis transverse
atau myelitis transverse akut (MTA) (NINDS, 2012; Timothy, 2013).
Berdasarkan perjalanan klinis antara onset hingga munculnya gejala
klinis myelitis dibedakan atas (Sema et al, 2007):

1. Akut, yaitu gejala berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya


dalam waktu beberapa hari saja.
2. Sub Akut, yaitu perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2
minggu.
3. Kronik, yaitu perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih
dari 2 minggu.
B. Etiologi
Menurut NINDS adapun beberapa jenis dari myelitis berdasarkan
penyebabnya yaitu :
1. Myelitis yang disebabkan oleh virus
a. Poliomielitis, group A dan B, Coxsackie virus, echovirus
b. Herpes zoster
c. Rabies
d. Virus B2
2. Myelitis yang merupakan akibat sekunder dari penyakit pada meningens
dan medula spinal
a. Myelitis sifilitika
b. Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
c. Meningomielitis kronik
d. Myelitis piogenik atau supurativa
e. Meningomielitis subakut
f. Myelitis tuberkulosa
g. Meningomielitis tuberkulosa
h. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural,
meningitis lokalisata atau meningomielitis dan abses.
3. Myelitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.
a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi.
b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik

72
c. Degeneratif atau nekrotik
Menurut lokasi dan distribusinya, myelitis dibedakan menjadi sebagai
berikut :
1. Myelitis transversa apabila mengenai seluruh potongan melintang medula
spinalis
2. Poliomyelitis apabila mengenai substansia grisea
3. Leukomyelitis apabila mengenai substansia alba
Istilah mielopati digunakan bagi proses non inflamasi medulla spinalis
misalnya yang disebabkan proses toksis, nutrisi, metabolik dan nekrosis.
C. Epidemiologi
Insiden myelitis transverse akut dari seluruh usia anak hingga dewasa
dilaporkan sebanyak 1-8 juta orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus
baru per tahun yang didiagnosis di Amerika Serikat. Sebanyak 34 ribu orang
dewasa dan anak-anak menderita gejala sisa MTA berupa cacat sekunder.
Sekitar 20 % dari MTA terjadi pada anak-anak (Varina et al, 2012).
MTA dapat diderita oleh orang dewasa dan anak-anak baik pada
semua jenis kelamin maupun ras. MTA memiliki puncak insidensi yang
berbeda yaitu umur : 10-19 dan 30-39 tahun. Ini menunjukkan tidak ada
faktor predileksi seperti : ras, familial atau jenis kelamin pada kasus MTA.
Sehingga antara laki-laki dan perempuan mempunyai kemungkinan yang
sama untuk menderita MTA. Insiden meningkat menjadi 24,6 juta kasus per
tahun jika didapatkan penyebab demielinasi yang berhubungan dengan
myelitis, terutama multiple sclerosis (Amer&Olaf, 2001; Elliot&Dean, 2010).
D. Patognesis

Patogenesis dari myelitis tranverse akut adalah sebagai berikut


(Kerr&Ayetey, 2002) :

1. MTA post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson
yang berat dengan demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear,
terutama limfosit T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla
spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan parenkim di

73
grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi menyimpulkan
vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi
MT.
2. MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik myelitis transversalis, terdapat
adanya keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik
sebelumnya. Kata parainfeksi telah digunakan untuk injuri neurologis
yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan injuri yang
diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan
yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti
respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf.
Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan myelitis, dan mungkin
menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis.
Agen lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke
saraf di medulla spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu
agen dapat mencapai akses ke lokasi yang kaya system imun,
menghindari system imun yang berada pada organ lainnya. Mekanisme
tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu focus area
di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT.
3. Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi
sistem saraf sengat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi
Campilobakter jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang
mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung
beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di
dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik,
juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar
lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni
ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan
dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf.
Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan
autoantibody sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya.

74
4. Microbial superantigen-mediated inflammation
Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya
MTA yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba.
Superantigen merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas
unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi terhadap
penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti yaitu
enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan
eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T
dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen konvensional.
Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen dapat
mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan.
Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi
antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen
konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi
yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan
terbentuknya lubang pada limfosit T selama beberapa saat setelah
aktivasi.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit
autoimun dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia,
banyak laporan ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan
penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan superantigen
sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen
memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan
berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang
diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen.
Pada manusia, pasien dengan ensefalomyelitis diseminata akut dan
mielopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen
Streptokokus yang menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein
dasar myelin.
5. Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi
sistem humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan

75
self dan non-sel. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat
mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-
elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi
dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla
spinalis.
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Medula spinalis adalah struktur yang relatif sempit di mana traktus
motorik, sensorik , dan otonom berada saling berdekatan. Oleh karena
itu, lesi di medulla spinalis dapat memiliki efek dalam semua modalitas
ini. Namun, efek tersebut tidak selalu seragam dimana tingkat keparahan
atau simetris di seluruh modalitas berbeda. Pemeriksaan klinis dengan
fokus pada penyelidikan untuk sensorik tulang belakang dan tingkat
motorik, akan membantu dalam lokalisasi lesi (Varina et al, 2012).
ATM terjadi secara akut (terjadi dalam beberapa jam sampai
beberapa hari) atau subakut (terjadi dalam satu atau dua minggu). Gejala
umum yang muncul melibatkan gejala motorik, sensorik dan otonom.
Beberapa penderita juga melaporkan mengalami spasme otot, gelisah,
sakit kepala, demam, dan hilangnya selera. Dari beberapa gejala, muncul
empat gejala klasik ATM yaitu kelemahan otot atau paralisis kedua
lengan atau kaki, nyeri, kehilangan rasa pada kaki dan jari jari kaki,
disfungsi kandung kemih dan buang air besar (NINDS, 2012).
Gejala sensorik pada ATM yaitu antara lain (Elliot&Dean, 2010;
Varina, 2012) :
a. Nyeri adalah gejala utama pada kira- kira sepertiga hingga setengah
dari semua penderita ATM. Nyeri terlokalisir di pinggang atau
perasaan yang menetap seperti tertusuk atau tertembak yang
menyebar ke kaki, lengan atau badan .
b. Gejala lainnya berupa parastesia yang mendadak (perasaan yang
abnormal seperti terbakar, gatal, tertusuk, atau perasaan geli) di kaki,
hilangnya sensorik. Penderita juga mengalami gangguan sensorik
seperti kebas, perasaan geli, kedinginan atau perasaan terbakar.

76
Hampir 80 % penderita ATM mengalami kepekaan yang tinggi
terhadap sentuhan misalnya pada saat perpakaian atau sentuhan
ringan dengan jari menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri (
disebut allodinia ). Beberapa penderita juga mengalami pekaan yang
tinggi terhadap perubahan temperatur atau suhu panas atau dingin.
Gejala motorik pada ATM yaitu beberapa penderita mengalami
tingkatan kelemahan yang bervariasi pada kaki dan lengan. Pada awalnya
penderita dengan ATM terlihat bahwa mereka terasa berat atau menyerat
salah satu kakinya atau lengan mereka karena terasa lebih berat dari
normal. Kekuatan otot dapat mengalami penurunan. Beberapa minggu
penyakit tersebut secara progresif berkembang menjadi kelemahan kaki
secara menyeluruh, akhirnya menuntut penderita untuk menggunakan
suatu kursi roda. Terjadi paraparesis (kelemahan pada sebagian kaki).
Paraparesis sering menjadi paraplegia ( kelemahan pada kedua kaki dan
pungung bagian bawah) (Elliot&Dean, 2010; NINDS, 2012).
Gejala otonom pada ATM berupa gangguan fungsi kandung kemih
seperti retensi urin dan buang air besar hingga gangguan pasase usus dan
disfungsi seksual sering terjadi. Tergantung pada segmen medulla
spinalis yang terlibat, beberapa penderita mengalami masalah dengan
sistem respiratori (Elliot&Dean, 2010; NINDS, 2012).
2. Pemeriksaan Penunjang

Berikut beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakan


diagnosis dari MTA (Transverse Myelitis Consortium Working Group,
2002) :

a. MRI
Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan
apakah ada penyebab structural (HNP, fraktur vertebra patologis,
metastasis tumor, atau spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI
dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa jam
setelah presentasi.
b. CT-myelografi

77
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk
menilai kelainan struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternative
selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla
spinalis.
c. Pungsi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab struktural, pungsi lumbal
merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan
myelopati inflamasi ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF
(hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus
diperiksa.
d. Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi
sistemik konkuren (pneumonia atau diare), status
immunokompromise (AIDS atau penggunaan obat-obat
immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar
radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster,
atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus
seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan
titer antibody harus dilakukan.
e. Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk
penyakit inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom
antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat
campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus
dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La),
antibody antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan
level komplemen.
F. Penatalaksanaan
1. Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat
progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi
sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid

78
merupakan terapi lini pertama. Dapat menggunakan intravena dosis
tinggi yaitu metilprednisolon 1000 mg setiap hari, biasanya selama 3-5
hari. Obat oral dapat digunakan pada kasus pasien myelitis episode
ringan yang tidak perlu dirawat inap (Frohman&Wingerchuk, 2010).
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak
respon dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit,
koagulopati, trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan
pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini
(Frohman&Wingerchuk, 2010).
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa
fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang
kehilangan fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika
diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien
demielinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan
menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang
(Frohman&Wingerchuk, 2010).
2. Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila
medulla spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena
itu, pemeriksaan regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan
selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot bantu
pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan
dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan
ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia,
atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan
pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian
feeding tube diperlukan atau tidak (Frohman&Wingerchuk, 2010).
3. Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian heparin low-moleculer weigth (HLMW) sebagai
profilaksis untuk thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan
imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur
dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa

79
nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus
dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai
secepatnya (Frohman&Wingerchuk, 2010).
Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-aminopyridine
oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan
pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan
memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi
tentang efek agen ini pada pasien myelitis transversalis belum diteliti
secara khusus (Frohman&Wingerchuk, 2010).
4. Abnormalitas Tonus
Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal
shock), tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap
pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter
(spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika
berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi
atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen,
tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan
spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis
(Frohman&Wingerchuk, 2010).
5. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah
serangan myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf
(nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau
bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri
neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-
depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin
dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik (Frohman&Wingerchuk,
2010).
6. Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya
berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan myelitis.
Data dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi amantadin

80
untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu studi
modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin
atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan
refrakter yang terjadi setelah episode myelitis, tetapi manfaat agen ini
untuk tatalaksana pasien dengan myelitis belum pernah diteliti dengan
randomized, controlled trials (Frohman&Wingerchuk, 2010).
7. Disfungsi Usus dan Genitourinari
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama myelitis
transversalis pada fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut,
hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri frekuensi
berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung
kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik
(oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa
volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan
retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai
disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor 1-adrenergik dapat
membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien
dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien memerlukan
kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung kemih
(Frohman&Wingerchuk, 2010).
G. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam 6 bulan, dan sebagian besar pasien
menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan
mungkin terjadi cepat selama 36 minggu setelah onset dan dapat berlanjut
walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada
penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi (Tapiharu et
al., 2007).

II.12 Nyeri Kepala


A. Definisi
Nyeri kepala dapat dikatakan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak
mengenakkan pada daerah atas kepala memanjang dari orbital sampai ke daerah

81
belakang kepala (area oksipital dan sebagian daerah tengkuk) (Roppper, 2005).
Nyeri kepala adalah nyeri yang berlokasi di atas garis orbitomeatal.
Pendapat lain mengatakan nyeri atau perasaan tidak enak diantara daerah
orbital dan oksipital yang muncul dari struktur nyeri yang sensitif (Baehr,
2010).
B. Etiologi
Cephalgia atau nyeri kepala suatu gejala yang menjadi awal dari
berbagai macam penyakit. Cephalgia dapat disebabkan adanya kelainan organ-
organ dikepala, jaringan sistem persarafan dan pembuluh darah. Nyeri kepala
kronik biasanya disebabkan oleh migren, ketegangan, atau depresi, namun
dapat juga terkait dengan lesi intracranial, cedera kepala, dan spondilosis
servikal, penyakit gigi atau mata, disfungsi senditemporomandibular,
hipertensi, sinusitis, trauma, perubahan lokasi (cuaca, tekanan) dan berbagai
macam gangguan medis umum lainnya (Ginsberg, 2008).
C. Epidemiologi
Faktor risiko terjadinya nyeri kepala adalah gaya hidup, kondisi
penyakit, jenis kelamin, umur, pemberian histamin atau nitrogliserin sublingual
dan faktor genetik.Prevalensi nyeri kepala di USA menunjukkan 1 dari 6 orang
(16,54%) atau45 juta orang menderita nyeri kepala kronik dan 20 juta dari 45
juta tersebutmerupakan wanita. 75 % dari jumlah di atas adalah tipe tension
headacheyang berdampak pada menurunnya konsentrasi belajar dan bekerja
sebanyak 62,7 %.Menurut IHS, migren sering terjadi pada pria dengan usia 12
tahunsedangkan pada wanita, migren sering terjadi pada usia lebih dari 12
tahun. HIS jugamengemukakancluster headache 80 90 % terjadi pada pria
dan prevalensi nyeri kepala akan meningkat setelah umur 15 tahun (Harsono,
2005).
D. Patofisiologi
Beberapa mekanisme umum yang tampaknya bertanggung jawab
memicu nyeri kepala yaitu (Lance, 2000) peregangan atau pergeseran
pembuluh darah; intrakranium atau ekstrakranium, traksi pembuluh darah,
kontraksi otot kepala dan leher (kerja berlebihan otot), peregangan
periosteum(nyeri lokal), degenerasi spina servikalis atas disertai kompresi pada

82
akar nervus servikalis (misalnya, arteritis vertebra servikalis), defisiensi
enkefalin (peptida otak mirip- opiat, bahan aktif pada endorfin) (Ropper, 2005)
E. Klasifikasi
Nyeri kepala dapat diklasifikasikan menjadi nyeri kepala primer dan
nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer dapat dibagi menjadi migren,
tension type headache, cluster headache dengan sefalgia trigeminal/autonomik,
dan nyeri kepala primer lainnya. Nyeri kepala sekunder dapat dibagi menjadi
nyeri kepala yang disebabkan oleh karena trauma pada kepala dan leher, nyeri
kepala akibat kelainan vaskular kranial dan servikal, nyeri kepala yang bukan
disebabkan kelainan vaskular intrakranial, nyeri kepala akibat adanya zat atau
withdrawal, nyeri kepala akibat infeksi, nyeri kepala akibat gangguan
homeostasis, nyeri kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan kranium,
leher,telinga, hidung, sinus, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan wajah,
nyeri kepala akibat kelainan psikiatri (Reskin, 2005).
F. Cephalgia Primer
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala itu sendiri yang merupakan
penyakit utama atau nyeri kepala tanpa disertai adanya penyebab struktural-
organik. Menurut ICHD-2 nyeri kepala primer dibagi ke dalam 4 kelompok
besar yaitu (Rogger, 2009) :
1. Migren
2. Tension Type Headache
3. Cluster Headache dan Chronic Paroxysmal Hemicrania
4. Other primary headaches
1. Migren
Menurut International Headache Society (IHS), migren adalah
nyerikepala dengan serangan nyeri yang berlansung 4 72 jam. Nyeri
biasanya unilateral,sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai
berat dan diperhebat olehaktivitas, dan dapat disertai mual muntah,
fotofobia dan fonofobia (Silberstein, 2001).
a. Klasifikasi
Secara umum migren dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Migren dengan aura

83
Migren dengan aura disebut juga sebagai migren klasik. Diawali
dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti
oleh nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini
terjadi berurutan dan manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih
dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit.
2) Migren tanpa aura
Migren tanpa aura disebut juga sebagai migren umum. Nyeri
kepalanya hampir sama dengan migren dengan aura. Nyerinya pada
salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai
mual, fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala berlangsung selama 4-
72 jam.
b. Tatalaksana
1) Medikamentosa (Brunton, 2005)
a) Sumatriptan
Sumatriptan cukup efektif sebagai terapi abortif jika
diberikan secara subkutan dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang
sekali setelah 2 jam kemudian jika dibutuhkan. Dosis
maksimum 12 mg per 24 jam. Triptan merupakan serotonin 5-
HT1B/1Dreceptor agonists. Golongan obat ini ditemukan dalam
suatu penelitian mengenai serotonin dan migren yang
mendapatkan adanya suatu atypical 5-HT receptor. Aktivasi
reseptor ini menyebabkan vasokontriksi dari arteri yang
berdilatasi. Sumatriptan juga terlihat menurunkan aktivitas saraf
trigeminal. Terdapat tujuh subkelas utama dari 5-HT receptors.
Semua triptan dapat mengaktivasi reseptor 5-HT1B/1D, serta
dalam potensi yang lebih ringan dapat mengaktivasi reseptor 5-
HT1A atau 5-HT1F. Namun, aktivitas 5-HT1B/1Dagonist
merupakan mekanisme utama dari efek terapeutik golongan
triptan.
Indikasi: serangan migren akut dengan atau tanpa aura

84
Dosis & Cara Pemberian: dapat diberikan secara subkutan
dengan dosis 4-6 mg. Dapat diulang sekali setelah 2 jam
kemudian jika dibutuhkan. Dosis maksimum 12 mg per 24 jam.
b) Zolmitriptan
Zolmitriptan efektif untuk pengobatan akut. Dosis awal
oral 5 mg. Gejala-gejala akan berkurang dalam 1 jam. Obat ini
dapat diulang sekali lagi setelah 2 jam jika diperlukan. Dosis
maksimal adalah 10 mg untuk 24 jam. Zolmitriptan juga dapat
digunakan melalui nasal spray.
Indikasi: Untuk mengatasi serangan migren akut dengan atau
tanpa aura pada dewasa. Tidak ditujukan untuk terapi profilaksis
migren atau untuk tatalaksana migren hemiplegi atau basilar.
Dosis & Cara Pemberian : Pada uji klinis, dosis tunggal 1; 2,5
dan 5 mg efektif mengatasi serangan akut. Pada perbandingan
dosis 2,5 dan 5 mg, hanya terjadi sedikit penambahan manfaat
dari dosis lebih besar, namun efek samping meningkat. Oleh
karena itu, pasien sebaiknya mulai dengan doss 2,5 atau lebih
rendah. Jika sakit terasa lagi, dosis bisa diulang setelah 2 jam,
dan tidak lebih dari 10 mg dalam periode 24 jam.
c) Eletriptan
Eletriptan terikat dengan afinitas tinggi terhadap reseptor
5-HT1B, 5-HT1D dan 5-HT1F. Aktivasi reseptor 5-HT1 pada
pembuluh darah intrakranial menimbulkan vasokontriksi yang
berkorelasi dengan meredanya nyeri kepalamigren. Selain itu,
aktivasi reseptor 5-HT1 pada ujung saraf sensoris pada sistem
trigeminal menghambat pelepasan pro-inflammatory
neuropeptida.
Indikasi: Penanganan migren akut dengan atau tanpa aura.
Dosis & Cara Pemberian: 2040 mg po saat onset berlangsung,
dapat diulang 2 jam kemudian sebanyak 1 kali. Dosis
maksimum tidak melebihi 80 mg/24 jam.

85
2) Non-medikamentosa
Para penderita migren pada umumnya mencari tempat yang
tenang dan gelap pada saat serangan migren terjadi karena fotofobia
dan fonofobia yang dialaminya. Serangan juga akan sangat
berkurang jika pada saat serangan penderita istirahat atau tidur
(Brunton, 2006).
2. Tension Type Headach
Nyeri kepala berulang yang berlangsung dalam hitungan menit
sampai hari, dengan sifat nyeri yang biasanya berupa rasa tertekan atau
diikat, dari ringan sampai berat, dirasakan di seluruh kepala, tidak dipicu
oleh aktifitas fisik dan gejala penyerta nya tidak menonjol (Mansjoer,
2000).
Merupakan sensasi nyeri pada daerah kepala akibat kontraksi terus
menerus otot- otot kepala dan tengkuk ( M.splenius kapitis, M.temporalis,
M.maseter, M.sternokleidomastoid, M.trapezius, M.servikalis posterior,
dan M.levator skapula) (Silberstein, 2001).
a. Klasifikasi Tension Type Headache (TTH)
Klasifikasi TTH adalah :
1) Tension Type Headache episodik.
Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak
mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik
(ETTH) dapat berlangsung selama 30 menit 7 hari.
2) Tension Type Headache kronik
Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila frekuensi serangan
lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan
(Reskin, 2005).
b. Terapi Tension Type Headache (TTH)
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pasien harus
dibimbing untuk mengetahui arti dari relaksasi yang mana dapat
termasuk bed rest, massage, dan atau latihan biofeedback. Pengobatan
farmakologi adalah simpel analgesia dan atau mucles relaxants.
Ibuprofen dan naproxen sodium merupakan obat yang efektif untuk

86
kebanyakan orang. Jika pengobatan simpel analgesia (asetaminofen,
aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah butalbital dan kafein
(dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan menambah
efektifitas pengobatan (Brunton, 2006).
1) Terapi Akut
Pengobatan akut nyeri kepala tension-type harian sulit.
NSAID mungkin berguna sebagai analgesik untuk nyeri kepala
harian.Relaksan otot seperti chlorzoxazone, orphenadrine sitrat,
carisoprodol, dan metaxalone umumnya digunakan oleh pasien
dengan nyeri kepala tension-type kronis, tetapi belum terbukti
efektif untuk melegakan nyeri akut.
Sumatriptan telah dievaluasi pada beberapa studi nyeri
kepala tension-type. Obat ini tidak lebih efektif daripada plasebo
untuk serangan akut pada pasien dengan nyeri kepala tension-
type kronis; namun, nyeri kepala tension-type episodik berat pada
pasien bersama dengan migren tampaknya merespon terhadap agen
2) Terapi Non Farmakologi
Manajemen stress dengan menggunakan terapi perilaku-
kognitif sama efektif dengan menggunakan relaksasi
atau biofeedback dalam mengurangi nyeri kepala tension-type.
Terapi non-farmakologi terutama berguna untuk pasien
yang enggan untuk minum obat karena efek samping sebelumnya
dari obat-obatan, seiring masalah medis, atau ada keinginan untuk
hamil. Sementara biofeedback dan terapi manajemen stres biasanya
memerlukan rujukan ke psikolog.
3. Cluster Headache
Nyeri kepala tipe klaster adalah jenis nyeri kepala yang berat,
unilateral yang timbul dalam serangan-serangan mendadak, sering disertai
dengan rasa hidung tersumbat, rinore, lakrimasi dan injeksi konjungtiva di
sisi nyeri (Rogger, 2009).
Nyeri kepala klaster (cluster headache) merupakan nyeri kepala
vaskular yang juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, sfenopalatina

87
neuralgia, nyeri kepala histamine, sindrom Bing, erythrosophalgia,
neuralgia migrenosa, atau migren merah (red migren) karena pada waktu
serangan akan tampak merah pada sisi wajah yang mengalami nyeri
(Rogger, 2009)

Gambar 1 Ciri khas Cluster Headache

Gambar 2 Gejala Klinis Cluster headache

88
Gambar 3 Lokasi nyeri pada Cluster headache
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis terhadap cluster headache dapat dibagi ke
dalam pengobatan terhadap serangan akut, dan pengobatan preventif, yang
bertujuan untuk menekan serangan. Pengobatan akut dan preventif dimulai
secara bersamaan saat periode awal cluster. Pilihan pengobatan
pembedahan yang terbaru dan neurostimulasi telah menggantikan
pendekatan pengobatan yang bersifat merugikan (Brunton, 2006).
Serangan cluster headache biasanya singkat, dari 30 sampai 180
menit, sering memberat secara cepat, sehingga membutuhkan pengobatan
awal yang cepat. Penggunaan obat nyeri kepala yang berlebihan sering
didapatkan pada pasien-pasien cluster headache, biasanya bila mereka
pernah memiliki riwayat menderita migren atau mempunyai riwayat
keluarga yang menderita migren, dan saat pengobatan yang diberikan
sangat tidak efektif pada serangan akut, seperti triptan oral, acetaminofen
dan analgetik agonis reseptor opiate (Brunton, 2006).
a. Oksigen: inhalasi oksigen, kadar 100% sebanyak 10-12 liter/menit
selama 15 menit sangat efektif, dan merupakan pengobatan yang aman
untuk cluster headache akut.
b. Triptan: Sumatriptan 6 mg subkutan, sumatriptan 20 mg intranasal, dan
zolmitriptan 5 mg intranasal efektif pada pengobatan akut cluster

89
headache. Tiga dosis zolmitriptan dalam dua puluh empat jam bisa
diterima. Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan triptan oral
pada cluster headache.
c. Dihidroergotamin 1 mg intramuskular efektif dalam menghilangkan
serangan akut cluster headache. Cara intranasal terlihat kurang efektif,
walaupun beberapa pasien bermanfaat menggunakan cara tersebut.
d. Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan untuk
mengobati serangan akut cluster headache. Pasien tidur telentang
dengan kepala dimiringkan ke belakang ke arah lantai 30 dan beralih
ke sisi nyeri kepala. Tetes nasal dapat digunakan dan dosisnya 1 ml
lidokain 4% yang dapat diulang setekah 15 menit.
G. Nyeri Kepala Sekunder
Nyeri kepala sekunder dapat dibagi menjadi nyeri kepala yang
disebabkan oleh karena trauma pada kepala dan leher, nyeri kepala akibat
kelainan vaskular kranial dan servikal, nyeri kepala yang bukan disebabkan
kelainan vaskular intrakranial, nyeri kepala akibat adanya zat atau
withdrawal, nyeri kepala akibat infeksi, nyeri kepala akibat gangguan
homeostasis, nyeri kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan kranium,
leher, telinga, hidung, gigi, mulut atau struktur lain di kepala dan wajah,
nyeri kepala akibat kelainan psikiatri (Lumbantobing, 2008)
Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disebabkan
adanya suatu penyakit tertentu (underlying disease). Pada nyeri kepala
kelompok ini, rasa nyeri di kepala merupakan tanda dari berbagai penyakit.
Adapun penyakit yang dapat menimbulkan nyeri kepala adalah (Roger,
2009).
1. Infeksi sistemik seperti flu, demam dengue/demam berdarah denggue,
sinusitis, radang tenggorokan dan lain-lain
2. Aneurisma otak
3. Tumor otak
4. Keracunan karbon dioksida
5. Glaukoma
6. Kelainan refraksi mata (mata minus/plus)

90
7. Cedera kepala
8. Ensefalitis (radang otak)
9. Meningitis (radang selaput otak)
10. Perdarahan otak
11. Stroke
12. Efek samping obat
13. Dan lain-lain
H. Karakteristik Nyeri kepala Yang Menjadi Tanda Penyakit Serius
Sebagian besar nyeri kepala bersifat ringan atau disebabkan
penyakit yang ringan. Namun kita tetap harus waspada karena nyeri kepala
juga dapat merupakan gejala dari penyakit yang serius seperti radang
otak/selaput otak, perdarahan otak, stroke, tumor otak, glaukoma, dan lain-
lain (Lumbantobing, 2008).
Adapun karakteristik nyeri kepala yang menjadi tanda penyakit
serius adalah sebagai berikut (Basuki, 2009):
1. Sangat sakit paling sakit ( worst headache ever) : rasa sakit yang
dirasakan sangat sakit, jauh lebih sakit dibandingkan nyeri kepala
sebelumnya
2. Nyeri kepala berat yang dirasakan pertama kalinya
3. Nyeri kepala yang bertambah berat dalam beberapa hari atau beberapa
minggu
4. Ada gangguan saraf seperti kelumpuhan, kebutaan, dan lain-lain
5. Nyeri kepala disertai demam (yang penyebab demam tidak diketahui
dengan jelas)
6. Muntah yang terjadi mendahului nyeri kepala
7. Nyeri kepala yang dicetuskan oleh bending, mengangkat beban, dan
batuk
8. Nyeri kepala timbul segera setelah bangun tidur
9. Usia lebih dari 55 tahun
10. Nyeri kepala pada anak

91
II.13 Vertigo
A. Definisi
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan
sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah
istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung
gejala yang digambarkan oleh pasien (Newell, 2010).

B. Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain akibat
kecelakaan,stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu
sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan
posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang
terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan
dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam
telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di
dalam otaknya sendiri (Newell, 2010).
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi
tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata.
Penyebab umum dari vertigo, antara lain (Neuhauser, 2009) :
1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.
2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis
di dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal
positional
4. vertigo, infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit
maniere,
5. peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf
vestibularis, sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai
cedera pada labirin, persyarafannya atau keduanya.

92
7. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak ( transient ischemic
attack ) pada arteri vertebral dan arteri basiler.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler
sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII
sampai ke korteks. Berbagai penyakit atau kelainan dapat menyebabkan
vertigo. Penyebab vertigo serta lokasi lesi yaitu (Neuhauser, 2009):
1. Labirin, telinga dalam
a. vertigo posisional paroksisimal benigna
b. pasca trauma
c. penyakit menierre
d. labirinitis (viral, bakteri)
e. toksik (misalnya oleh aminoglikosid, streptomisin, gentamisin)
f. oklusi peredaran darah di labirin
g. fistula labirin
2. Saraf otak ke VIII
a. neuritis iskemik (misalnya pada DM)
b. infeksi, inflamasi (misalnya pada sifilis, herpes zoster)
c. neuritis vestibular
d. neuroma akustikus
e. tumor lain di sudut serebelo-pontin
3. Telinga luar dan tengah
a. Otitis media
b. Tumor
4. Supratentorial
a. Trauma
b. Epilepsi
5. Infratentorial
a. Insufisiensi vertebrobasiler
6. Obat
Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai
tinitus dan hilangnya pendengaran.Obat-obat itu antara lain

93
aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau
antineoplasitik yang mengandung platina. Streptomisin lebih bersifat
vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan kanamisin,
amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang
dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam
nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat
bersangkutan dan terapi fisik, penggunaan obat supresan vestibuler tidak
dianjurkan karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi vestibluer. Obat
penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat
menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan
vertigo.

C. Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu
dengan prevalensi sebesar 7%. Beberapa studi telah mencoba untuk
menyelidiki epidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular
dizziness . Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering
diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari
keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar
54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan pada
wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode rekuren
(Newell, 2010).
D. Patogenesis
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis
semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama
lain. Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar
yakni ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi
gerakan cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai
contoh, bila seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan
dalam kanalis semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan
mengalami defleksi ke arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal
yang diteruskan ke otak sehingga timbul sensasi kepala menoleh ke kanan.
Adanya partikel atau debris dalam kanalis semisirkularis akan mengurangi

94
atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke arah sebaliknya dari arah
gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan sinyal yang tidak
sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi berupa vertigo
(Hornibrook, 2011).
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang
sebenarnya dengan apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada
beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut (Li, 2015):
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus,
vestibulum dan proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan
sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut
menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons
yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit
berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar
(berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan,
teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai
penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik,
menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan
tertentu, sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak
sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari
susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan
berulang -ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-
angsur tidak lagi timbul gejala.

95
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom
sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul
jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim
parasimpatis mulai berperan.
5. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai
peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang
terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan
menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin
releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan
susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme
adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori
ini dapat meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat,
berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang
berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah
beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.
E. Tanda dan Gejala
Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala
primer, sekunder ataupun gejala non spesifik. Gejala primer diakibatkan oleh
gangguan pada sensorium. Gejala primer berupa vertigo, impulsion,
oscilopsia, ataxia, gejala pendengaran. Vertigo, diartikan sebagai sensasi
berputa. Vertigo dapat horizontal, vertical atau rotasi. Vertigo horizontal
merupa tipe yang paling sering, disebabkan oleh disfungsi dari telinga dalam.
Jika bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya merasakan sensasi
pergerakan dari sisi yang berlawanan dengan komponen lambat. Vertigo
vertical jarang terjadi, jika sementara biasanya disebabkan oleh BPPV.
Namun jika menetap, biasanya berasal dari sentral dan disertai dengan
nistagmus dengan gerakan ke bawah atau ke atas. Vertigo rotasi merupakan
jenis yang paling jarang ditemukan. Jika sementara biasnaya disebabakan
BPPV namun jika menetap disebabakan oleh sentral dan biasanya disertai
dengan rotator nistagmus (Wahyudi, 2012).

96
Faktor pencetus Kemungkinan diagnosis
Perubahan Acute labyrinthitis; benign positional paroxysmal
posisi kepala vertigo; cerebellopontine
angle tumor; multiple sclerosis; perilymphatic fistula

Spontaneous Acute vestibular neuronitis; cerebrovascular


episodes disease (stroke or transient ischemic
(i.e., no attack); Mnires disease; migraine;
consistent multiple sclerosis
provoking
factors)
Acute vestibular neuronitis

Recent upper
respiratory
viral illness Psychiatric or psychological causes; migraine

Stress Herpes zoster oticus

Immunosuppres
sion
(e.g.,
immunosuppres
sive
medications,
advanced
age, stress) Perilymphatic fistula

Changes in ear
pressure, head
trauma, loud
noises
Tabel 1. Tanda dan gejala Vertigo.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric,
vestibular testing, evalusi laboratories dan evalusi radiologis. Tes audiologik
tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan jika pasien mengeluhkan
gangguan pendengaran. Namun jika diagnosis tidak jelas maka dapat
dilakukan audiometric pada semua pasien meskipun tidak mengeluhkan
gangguan pendengaran (Wahyudi, 2012).
Vestibular testing tidak dilakukan pada semua pasien dengan keluhan
dizziness . Vestibular testing membantu jika tidak ditemukan sebab yang
jelas. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah,

97
fungsi thyroid dapat menentukan etiologi vertigo pada kurang dari 1 persen
pasien (Wahyudi, 2012).
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
vertigo yang memiliki tanda dan gejala neurologis, ada factor resiko untuk
terjadinya CVA, tuli unilateral yang progresif. MRI kepala mengevaluasi
struktur dan integritas batang otak, cerebellum, dan periventrikular white
matter, dan kompleks nervus VIII (Wreksoatmodjo, 2004).
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari vertigo dapat dilihat pada tabel berikut ini
(Wreksoatmodjo, 2004):
Vertigo dengan Vertigo tanpa tuli Vertigo dengan
tuli tanda intracranial
Mnires Vestibular Tumor
disease neuritis Cerebellopontine
angle
Labyrinthitis Benign positional Vertebrobasilar
vertigo insufficiency dan
thromboembolism

Labyrinthine Acute vestiblar Tumor otak


trauma dysfunction - Misalnya,
epyndimoma atau
metastasis pada
ventrikel keempat
Acoustic Medication Migraine
neuroma induced vertigo
e.g
aminoglycosides
Acute cochleo- Cervical Multiple sklerosis
vestibular spondylosis
dysfunction

98
Syphilis (rare) Following Aura epileptic
flexion-extension attack-terutama
injury temporal lobe
epilepsy
Obat-obatan- misalnya,
phenytoin, barbiturate
Syringobulosa

H. Penatalaksanaan
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan (Wahyudi, 2012) :
1. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,
difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti
vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat.
Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya
sebagai obat antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi
(mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini
memberikan dampak yang positif.
a. Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di
lambung, rasa enek, dan sesekali rash di kulit.
1) Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) 12 mg, 3 kali sehari per oral.
2) Betahistin di Hcl (Betaserc)

99
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet
dibagi dalam beberapa dosis.
b. Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 6 jam. Dapat diberi per oral
atau parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat
diberikan dengan dosis 25 mg 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek
samping ialah mengantuk.
c. Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam, diberikan dengan
dosis 25 mg (1 kapsul) 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat
juga diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.
2. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis
kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut
vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis
kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan
antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam
mengatasi vertigo belum diketahui.
a. Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis
biasanya ialah 15 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek
samping ialah rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau
konstipasi, mulut rasa kering dan rash di kulit.
3. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti
muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo.
Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat
efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun
kurang berkhasiat terhadap vertigo.
a. Promethazine (Phenergan)

100
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif
mengobati vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam.
Diberikan dengan dosis 12,5 mg 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per
oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Efek
samping yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan
efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat
Fenotiazine lainnya.
b. Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang
berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25
mg (1 tablet) 50 mg, 3 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi
(mengantuk).
4. Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya
obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah
efedrin.
a. Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25
mg, 4 kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi
dengan obat anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia,
jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah gugup.
5. Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi
kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek
samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi kabur.
a. Lorazepam, Dosis dapat diberikan 0,5 mg 1 mg
b. Diazepam, Dosis dapat diberikan 2 mg 5 mg.
6. Obat Anti Kolinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

101
a. Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau
efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah
0,3 mg 0,6 mg, 3 4 kali sehari.
I. Prognosis
Prognosis pada pasien vertigo bagus dengan penatalaksanaan yang
tepat seperti metode reposisi kanalit. Namun pada beberapa kasus
kekambuhan sering terjadi atau memerlukan beberapa kali sesi terapi sebelum
sembuh total (Korres, 2006).

II. 14 Krisis Miastenia


A. Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi
oleh fungsi saraf cranial. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang
dimanifestasikan adanya kelemahan dan kelelahan otot akibat dari
menurunnya jumlah dan efektifitas reseptor asetilkoline pada persambungan
antar neuron neuromuscular junction (Guyton, 2007).
B. Klasifikasi
Menurut Osserman miastenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi 4
kelas, yaitu (Waseem et al., 2010):
1. Kelas I (miastenia okular)
Hanya menyerang otot-otot okular sepeti ptosis, diplopia. Sifatnya
ringan dan tidak menimbulkan kematian.
2. Kelas II
a. Kelas II A (miastenia umum ringan)
Awitan lambat, biasanya pada mata kemudian menyebar ke
otot rangka, tidak gawat, respon terhadap obat baik, kematian
rendah.
b. Kelas II B ( miastenia umum sedang)

102
Menyerang beberapa otot skeletal dan bulbar, kesulitan
mengunyah, menelan. Respon terhadap obat kurang, angka kematian
rendah.
3. Kelas III (miastenia fulminan akut)
Perkembangan penyakit cepat, disertai krisis pernapasan, respon
terhadap obat buruk, terjadinya thyoma tinggi dan angka kkematian
tinggi.
4. Kelas IV (mistenia berat lanjut)
Berkembang selama 2 tahun dari kelas I ke kelas II. Dapat
berkembang secara perlahan atau tiba-tiba, respon terhadap pengobatan
kurang dan kematian tinggi.
C. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan
gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara
unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel -
partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin. Jika rangsangan
motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan aetelkolin
dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi
dengan asetilkolin reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini
membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya
kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot
(Guyton, 2007).
Meskipun faktor presipitasi masih belum jelas, tetapi hasil penelitian
menunjukkan bahwa kelemahan pada miastenia gravis diakibatkan dari
sirkulasi antibodi dalam reseptor asetilkolin. Menurut hipotesa bahwa sel-sel
myoid (sel-sel thymus yang menyerupai sel otot skeletal) sebagai tempat
yang paling awal terjangkit penyakit. Virus bertanggung jawab terhadap sel-
sel ini dimana menyebabkan pembentukan antibodi.
Penyebab lain diperkirakan karena faktor keturunan, dimana 15 %
dari bayi yang baru lahir dari ibu yang menderita miastenia gravis
memperlihatkan gejala-gejal miastenia gravis seperti kelemahan pada
muscular, ptosis, kesulitan menghisap dan sesak napas. Setelah 7 sampai 14

103
hari bayi lahir, gejala-gejala ini akan hilang seiring hilangnya antibodi. Hal
ini memperkuat teori bahwa antibodi berperan dalam penyakit ini (Price,
2006).
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia
gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat
kekurangan asetilkolin atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori
terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
D. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan
pada tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan
atau hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan
neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai
90 % reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu.
Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap
lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi
neuromuscular (Corwin, 2009).
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang
menyerang salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul
neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap neurotransmiter acetycholine.
Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot terganggu. Apa penyebab
tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine sendiri-reaksi autoimun-tidak
diketahui (Corwin, 2009).
Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus kemungkinan
terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar
bagaimana membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga
berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang
tidak diketahui, kelenjar thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan
untuk menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine. Orang bisa
mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar 65% orang
yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus,
dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar
setengah thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan

104
gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi
memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan
pengobatan berbeda.
E. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis
diantaranya (Paul, 2005):
1. Pengobatan
a. Obatan-obatan antikolinesterase
b. Laksative atau enema
c. Tranquilizer atau sedatif
d. Potasium depleting diuretic
e. Antibiotik seperti aminoglikosid, tetrasiklin, polimiksin, antiaritmia,
prokainamide, quinine
f. Narkotik analgetik
g. Diphenilhydramine
2. Alkohol
3. Perubahan hormonal
4. Stress
5. Infeksi
6. Perubahan suhu/temperatur
7. Panas
8. Pembedahan
F. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang timbul pada kasus miastenia gravis bervariasi
dari masing-masing kelas, namun demikian pada pasien miastenia gravis
tanda dan gejala yang mungkin terjadi, yaitu (Setiawati et al.,2007):
1. Gangguan pada mata seperti adanya diplopia (pandangan ganda), ptosis
(kelemahan kelopak mata).
2. Gangguan pada otot wajah seperti kesulitan mengunyah, menelan dan
bicara.

105
3. Gangguan pada kelemahan otot palatal dan faring sehingga pasien tidak
mampu menelan dan hal ini berisiko menimbulkan aspirasi.
4. Kelemahan otot leher sehingga kepala pasien sulit tegak.
5. Kelemahan pada otot-otot pernapasan seperti diafragma dan otot
intercosta mengakibatkan terganggunya pernapasan.
6. Terjadinya krisis miastenia, disebabkan karena kekurangan asetilkolin,
keadaan ini disebabkan karena perubahan atau ketergantungan obat,
emosi dan stress fisik, infeksi atau pembedahan.
7. Terjadinya krisis kolinergik, disebabkan karena kelebihan dari asetilkolin
sebagai akibat overdosis pengoabatan/efek toksik dari pemberian
asetilkolin.
8. Perbedaan gejala Krisis kolinergik dan krisis miastenia dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 2.3 Perbedaan krisis kolinergik dan krisis miastenia (Waseem et al., 2010).

Krisis miastenia Krisis kolinergik


1. Meningkatnya tekanan darah 1. Menurunnya tekanan darah
2. Takikardia 2. Bradikardia
3. Gelisah 3. Gelisah
4. Ketakutan 4. Ketakutan
5.Meningkatnya sekresi bronkhial, air 5.Meningkatnya sekresi bronkhial ,air
mata dan keringat mata dan keringat
6. Kelemahan otot umum 6. Kelemahan otot umum
7. Kehilangan refleks batuk 7. Kesultan bernapas, menelan dan bicara
8. Kesulitan bernafas, menelan dan bicara 8. Mual, muntah
9. Penurunan output urine 9. Diare
10.Kram abdomen.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan kasus
miastenia gravis, rontgen dada dan CT scan dada : mengetahui kemungkinan
adanya thymoma serta dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap
menyebabkan respon autoimun (Zunilda, 2007).

106
Tensilon test (edrofonium klorida) : dengan menyuntikkan 1-2 mg
tensilon intravena, jika tidak ada perkembangan suntikkan kembali 5-8
tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang
jelas (misalnya dalam 1 menit) ptosis hilang. Reaksi ini tidak berlangsung
lama dan akan kembali seperti semula. Injeksi IV memeperbaiki respon
motorik sementara dan menurunkan gejala pada krisis miastenik untuk
sementara waktu memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik (Paul,
2005).
Test Wertenberg : penderita diminta menatap benda di atas bidang ke
dua mata tanpa berkedip. Pada miastenia gravis maka kelopak mata yang
terkena akan ptosis (Jukarnain, 2011).
a. Test Prostigmin : prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atrpon
sulfas disuntikkan IM atau subkutan. Positif apabila ada perbaikan kekuatan
otot, atau gejala menghilang. Electromyogram (EMG) : mengetahui kontraksi
otot. Test serum antibodi ami reseptor asetilkolin: terjadi peningkatan
(Zunilda, 2007).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien dengan kasus
miastenia gravis, yaitu (Hunter & Jennifer,2004) :
1. Penatalaksanaan umum
a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi
c. Pengunaan ventilator jika ada indikasi.
2. Pengobatan
a. Plasmaferesis: terapi penggantian plasma sebanyak 3-8 kali.
b. Antikolisterase seperti peridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam.
c. Steroid seperti prednison diberikan selang-seling sehari sekali untuk
menghindari efek samping.
d. Immunosupresan seperti azatioprin.
e. Pembedahan timektomi atau pengangkatan kelenjara thymus.

107
II.15 Trauma Medulla Spinalis
A. Definisi
Trauma medulla spinalis adalah cedera pada medulla spinalis karena
trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi
utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet
ataupun inkomplet (Singh et al., 2014).
B. Epidemiologi
Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan
pada era modern. Diperikirakan terjadi sekitar 54 kasus per juta populasi dalam
setahun di Amerika atau sekitar 17.000 pasien per tahun, terutama pada pria muda
yang belum menikah (NSCISC, 2016). Di Indonesia, insidens trauma medula
spinalis diperkirakan 3040 per satu juta penduduk per tahun, dengan sekitar
8.00010.000 kasus per tahun.
C. Etiologi
Cedera medula spinalis dibagi menjadi dua jenis (Chen et al., 2013) :
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Cedera medula spinalis traumatik
mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolumna vertebra (Chen et al.,
2013).
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,
atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh
gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan (Chen et al., 2013).
D. Patomekanisme
Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Trauma medulla spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi,
atau kompresi medulla spinalis. Patomekanika lesi medulla spinalis berupa
rusaknya traktus pada medulla spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie

108
tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam
setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada
substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma.
Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan
struktural luas (Tjokorda & Maliawan, 2009).
Medulla spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut
(Tjokorda & Maliawan, 2009) :
1) Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan
trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi
medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran
darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat
kompresi tulang.
Mekanisme kerusakan primer
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer (Ylmaz et al,
2014) :
1) Gaya impact dan kompresi persisten
2) Gaya impact tanpa kompresi
3) Tarikan medula spinalis
4) Laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut
berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf
terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat
pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel
pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami
kerusakan pada 72 jam setelah trauma primer (Ylmaz et al, 2014).

109
Mekanisme kerusakan sekunder
Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya
kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain oleh syok
neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi
sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses
imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain (Ylmaz et al,
2014).
Proses imunologi pada kerusakan sekunder
Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam
amino eksitatorik dan pH. Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor
untuk menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau
penyebaran ujung saraf; sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel
melalui enzim lisosom. Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya
didapatkan predominasi infiltrasi neutrofil yang melepaskan enzim lisis yang akan
mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular, tahap berikutnya
adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan memfagositosis sel
rusak (Holtz & Levi, 2009; James et al., 2013).
Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai
golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini
akan memodulasi infi ltrasi neutrofi l pada lokasi trauma; penggunaan antibodi
monoclonal ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi mieloperoksidase,
mengurangi edema medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah medula
spinalis. Molekul protein sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-
selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF),
sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga
monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami
lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan
kelompok gen yang meregulasi proses inflamasi, proliferasi, dan kematian sel.
Proses modulasi respons imun pada trauma medula spinalis merupakan sasaran
target terapi kerusakan sekunder (Holtz & Levi, 2009; James et al., 2013).

110
Apoptosis
Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, inflamasi, radikal
bebas, dan proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons
sekunder trauma, apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi
pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya, apoptosis neuron akan
mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis melalui dua jalur, jalur
pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor Fas dan inducible
nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan jalur intrinsik
lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-C, dan
kaspase-9; studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel.
Reseptor apoptosis dipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis
factor meningkat pascatrauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf,
mikroglia, dan oligodendrosit yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase,
seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan 6 sebagai kaspase efektor.
Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa dengan TNF
(Holtz & Levi, 2009; James et al., 2013).
Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder
Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder,
antara lain aktivasi reseptor dan opioid dapat memperlama proses eksitotoksik.
Aktivasi reseptor Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah dan
menginduksi eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu, seperti asetilkolin
dan serotonin, juga akan meningkat dan memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi
trombosit, serta peningkatan permeabilitas endotel (Holtz & Levi, 2009; James et
al., 2013; Ylmaz et al, 2014).
E. Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu
berdasarkan impairment scale dan berdasarkan tipe/lokasi trauma.

111
a. Klasifikasi Impairment Scale
Tabel 1 Klasifikasi Impairment Scale
Grade Tipe Gangguan Medula Spinalis
A Komplit Fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali
di bawah level lesi.
B Inkomplit Fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris
masih tersisa di bawah level lesi
C Inkomplit Fungsi motris dan sensoris masih terpelihara
tetapi tidak fungsional
D Inkomplit Fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara
dan fungsional
E Normal fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa
defisit neurologisnya.

b. Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma


Complete Spinal Cord Injury (Grade A)
Unilevel
Multilevel
Incomplete Spinal Cord Injury (Grade B,C,D)
F. Diagnosis
Trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan
napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga abc tersebut stabil, barulah
dilakukan anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien
sebelum dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar,
kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan
peristaltic usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat
bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami
kelemahan terlebih dahulu baru kemudian terjatuh (PERDOSSI, 2006).
Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui
penyebab trauma dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien
yang diduga mengalami cedera tulang servikal harus diperlakukan sangat hati-

112
hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian
berikut seperti (PERDOSSI, 2006).:
Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level
dan completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan
neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapaa dinilai. Segmen terakhir
dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan
klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai
dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat
(PERDOSSI, 2006).
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang
merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan
medulla spinalis, kolumna vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma
servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal,
digunakan foto AP dan Lateral (PERDOSSI, 2006).
Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah,
ureum dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna
mengetahui kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat
dilakukan dalam kondisi tertentu (PERDOSSI, 2006).
Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan
dan MRI vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak,
struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat
memperlihatkan keseluruhan struktur internal medulla spinalis dalam sekali
pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan neurofisiologi klinik seperti SSEP juga
dapat dianjurkan (PERDOSSI, 2006).

113
G. Tatalaksana
Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai
studi memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam
menentukan prognosis pemulihan neurologis pasien TMS (Wahjoepramono,
2007). Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana seperti halnya melakukan stabilisasi secara manual,
membatasi gerakan fleksi dan lainnya, menenangkan pasien dan memberikan
penanganan mobilitasi vertebra dengan hard cervical collar atau brace vertebral
(PERDOSSI, 2006).
Penatalaksanaan di IGD
a) Fase evaluasi meliputi observasi. Observasi terdiri atas: (PERDOSSI, 2011)
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
b) Stabilisasi vertebra
Vertebra servikal dapat diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical
collar dan meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat
abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan
fiksasi segmen bersangkutan (PERDOSSI, 2006; PERDOSSI, 2011).
c) Stabilisasi medis: pada penderita tetraparesis dan tertraplegi (PERDOSSI,
2011).
Periksa vital sign
Pasang NGT
Pasang kateter urin
Segera normalkan vital signs. Berikan oksigen, monitoring produksi urin,
bila perlu monitor AGD, dan periksa apakah ada neurogenic shock.

114
d) Rehabilitasi
Bladder training, bowel training, latihan otot pernapasan, pencapaian optimal
fungsi-fungsi neurologic dan program kursi roda bagi penderita paraparesis
dan paraplegi (PERDOSSI, 2011).
e) Medikamentosa
Bila diagnosis ditegakkan <3 jam pasca trauma, dapat diberikan kortikosteroid
metilprednisolon 30 mg/kgBB iv bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45
menit, kemudian diberikan infuse terus-menerus metilprednisolon selama 24
jam dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam. Bila diagnosis baru ditegakkan 38 jam,
maka cukup diberikan metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila
diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon
tidak dianjurkan (PERDOSSI, 2006).
f) Tindakan operasi
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai 3 minggu pasca
trauma. Tindakan opertaif awal (<24 jam) lebih bermakna menurunkan
perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun
pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang,
benda asing, reparasi hernia diskus, dan menstabilisasi vertebrata guna
mencegah nyeri kronis.
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan
medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau
dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan
medulla spinalis (PERDOSSI, 2006).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain
yaitu instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia
pasca trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual (Wahjoepramono, 2007).
I. Prognosis
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik
masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali

115
sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh
dan mandiri (PERDOSSI, 2006).

116
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kegawatdaruratan neurologi merupakan suatu kondisi di bidang neurologi
yang memerlukan tindakan pengobatan segera dan bila tidak dilakukan dapat
menyebabkan kerusakan lebih berat bahkan kematian. Tujuan penatalaksaannya
adalah untuk mengoptimalkan peluang pasien untuk hidup, meminimalkan
sequelle, dan menurunkan beban keluarga.

117

Anda mungkin juga menyukai