Disusun oleh:
Kelompok 4
Laporan praktikum ini kami susun untuk menyelesaikan tugas praktikum dalam Blok
4. Kami mengerjakan laporan praktikum ini dengan harapan laporan ini bila dikerjakan
secara sungguh-sungguh akan dapat berguna di kemudian hari. Oleh karena itu, kami selaku
penyusun laporan praktikum ini bertekad bulat untuk melakukannya dengan penuh
kesungguhan dan keseriusan sehingga besar harapan kami di kemudian hari laporan
praktikum ini bisa membantu orang-orang yang membutuhkannya.
Akhir kata kami sebagai penyusun mengucapkan terima kasih atas perhatian dan
dukungannya sehingga laporan praktikum ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga
laporan praktikum ini dapat membantu pengembangan topik agar menjadi lebih baik dan
bermanfaat. Terima kasih.
Tim Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
I. PERCOBAAN I
ABSORBSI DAN EKSKRESI PADA MANUSIA
ABSTRAK
Untuk mengetahui variasi, kecepatan absorpsi, dan ekskresi obat yang diminum,
khususnya Iodium dan Pyridium pada manusia maka dilakukanlah percobaan ekskresi Iodium
dan ekskresi Pyriduim.
Dari percobaan ekskresi Iodium didapatkan hasil bahwa Iodium yang diekskresi
melalui saliva menunjukan hasil positif pada menit ke-45 dan melalui urine pada menit ke-45.
Pada percobaan ekskresi Pyridium memberikan hasil positif pada menit ke-60.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari obat-obatan. Farmakodinamik adalah aspek ilmu
farmakologi yang mempelajari efek obat terhadap fisiologi, biokimia, serta mekanisme kerjanya
dalam organ tubuh. Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang meliputi nasib obat dalam tubuh
seperti absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresinya.
Absorbsi adalah proses penyerapan obat dari tempat pemberian, meliputi kelengkapan serta
kecepatan proses itu. Yang dimaksud dengan kelengkapan adalah persen dari jumlah obat yang telah
diberikan. Tapi,yang lebih penting adalah bioavailabilitas. Ada beberapa hal yang mempengaruhi
absorbsi obat dalam tubuh anatara lain sifat fisik dan kimia obat, bentuk obat, formulasi obat,
persentasi obat, luas permukaan kontak obat, cara pemberian obat dan sirkulasi tempat absorbsi.
First Pass Effect adalah metabolisme lintas pertama; keadaan dimana sebagian dari obat akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus. Pada pemberian oral, terjadi lintas pertama di hati,
sehingga mengurangi efek dari obat tersebut. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari dengan
menghindari pemberian obat per oral.
Bioavailabilitas adalah jumlah obat dalam persen dari bentuk sediaan yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh/aktif, serta kecepatannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas obat oral adalah sifat fisik dan kimia obat, formulasi obat, faktor penderita dan infeksi
dalam absorbsi di saluran cerna.
Setelah diabsorbsi, obat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh darah. Setelah didistribusikan,
obat akan mengalami proses biotransformasi.
Biotransformasi adalah proses perubahan stuktur obat yang terjadi dalam tubuh dengan
dikatalisis oleh enzim dengan tujuan untuk mengakhiri kerja obat dan mengaktifkan calon obat. Pada
tahap ini, molekul obat diubah menjadi lebih polar, sehingga lebih mudah disekresikan oleh ginjal.
Selain itu, umumnya obat menjadi inaktif sehingga berperan mengakhiri kerja obat.
BAB III
BAHAN DAN CARA KERJA
Obat-obatan
1. Kapsul Kalium Iodida 300 Mg
- Larutan Kalium Iodida 1%
- Larutan Natrium Nitrat 10%
- Larutan Asam Sulfat Dilutus
- Larutan Amilum 1%
2. Kapsul Natrium Salisilat 300 Mg + Natrium Bikarbonat 200 Mg
- Larutan Ferri Chlorida 1%
- Larutan Natrium Salisilat 0,1%
- Larutan Natrium Hidroksida Dilutus
- Larutan Asam Chlorida 10%
- Larutan Natrium Salisilat 5%
3. Tablet Pyridium (Phenazopyridine HCl) 100 mg
Peralatan
1. Tabung reaksi
2. Gelas ukur
3. Beaker glass
4. Pipet tetes
5. Kertas lakmus
6. Permen karet
Subjek Percobaan
Mahasiswa
Petunjuk Umum
Subjek percobaan makan dahulu sebelum percobaan dimulai dan minum segelas air.
Tampung urine sebelum minum obat untuk test kontrol negatif
Minum lagi minimal segelas air mium tambahan sesuadah minum obat
Gunakan tdana: -, +, ++, +++ untuk menunjukkan tingkat respon percobaan
Cara Kerja
1. Ekskresi Iodium
Jawaban Pertanyaan
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
1. Ekskresi Iodium
a. Kontrol positif b. Kontrol negative
Saliva Urine
Urine
Grafik hubungan antara waktu dan perubahan warna pada ekskresi Iodium
+++
++
3 +++
+
Perubahan Warna
- ++
2 sali
va
+
1
-
0 Waktu
5' 10' 15' 45' 75' 105' 135'
2. Ekskresi Pyridium
30 60 90 120
Hasil
Grafik hubungan antara waktu dan perubahan warna pada ekskresi Pyridium
3
2
Perubahan Warna
perubahan
1 warna
0
30' Waktu
60' 90' 120'
Pembahasan
1. Ekskresi Iodium
Prinsip: reaksi reduksi dan oksidasi.
Hasil positif: reaksi iodium dengan amylum membentuk Iod-amilo kompleks berwarna biru ungu.
(1) Obat-obat yang diminum memiliki variasi kecepatan absorpsi dan ekskresi yang berbeda-beda
dan dipengaruhi pula oleh variasi individu.
(2) Pada percobaan ekskresi Iodium, kecepatan ekskresi Iodium melalui saliva sama dengan
ekskresiiodium melalui urine.
(3) Pada percobaan ekskresi Pyridium, urine menjadi berwarna merah karena merah azo dan
kepekatannya terus meningkat.
Arini Setiawari, F.D., Suyatna, Zunilda SB. 1995. Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 4. FK UI. Bab I
Azalia Afridan, Udin Sjamsudin. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FK UI. Bab I.
ABSTRAK
Obat yang telah diproduksi, tidak dapat dipasarkan langsung sebelum dilakukan
percobaan-percobaan tentang keamanan obat tersebut. Parameter keamanan obat terdiri dari
Margin of Safety, Index Therapy, dan kurva sigmoid. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengetahui ED 50 dan LD 50 dari obat tersebut. ED 50 adalah dosis yang dapat
menimbulkan efek yang dikehendaki pada 50% hewan coba, sedangkan LD 50 adalah dosis
yang menyebabkan kematian pada 50% hewan coba.
Percobaan ini dilakukan dengan menyediakan 2 deret beaker glass 600 ml yang
masing-masing terdiri dari 11 buah. Setelah itu, tiap beaker glass diberikan nomor urut untuk
penentuan dosis efektif dan dosis letal. Deret I kemudian diisi oleh 200ml air + 10 ekor ikan
seribu (ukurannya diusahakan sama), untuk masing-masing beaker glass. Sedangkan pada
deret II, beaker glass diisi oleh alkohol dengan berbagai konsentrasi. Perhatikan gerak ikan
pada keadaan normal. Lalu tuangkan isi beaker glass pada deret II ke dalam deret I dalam
waktu yang bersamaan. Setelah 5 menit, amati keadaan ikan dan hitung jumlah ikan yang
tereksitasi maupun yang mati.
Percobaan ini sendiri bertujuan untuk mengetahu serta menentukan keamanan alkohol
70% pada ikan seribu (Labitus reticulates) melalui percobaan penentuan persen dosis efektif
dan dosis letalnya.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah alkohol yang
terkandung dalam larutan tersebut, semakin banyak jumlah ikan yang mati.
PENDAHULUAN
a. Potensi menunjukkan rentang dosis obat yang masih menimbulkan efek. Ini ditentukan
oleh kadar obat yang sampai ke receptor dan afinitas obat terhadap receptor. Potensi
mengacu pada konsentrasi atau (EC 50) atau dosis (ED 50) obat yang diperlukan untuk
menghasilkan 50% efek maksimal obat. Potensi obat tergantung sebagian pada afinitas
(KD) reseptor untuk mengikat obat dan sebagian lagi pada efisiensi interaksi, yang mana
interaksi reseptor obat di hubungkan terhadap respon.
c. Efek maksimal adalah respon maksimal yang ditimbulkan oleh obat bila diberikan dalam
dosis tinggi. Hal ini ditentukan oleh aktivitas intrinsik. Selain itu, parameter ini
merefleksikan batas hubungan respon-dosis pada aksis respon. Namun, perlu diingat pula
bahwa efikasi obat yang maksimal sangatlah penting untuk mengambil keputusan klinik
ketika diperlukan respon yang besar.
d. Variabilitas atau variasi biologik adalah variasi antar individu terhadap obat dalam dosis
yang sama pada populasi yang sama dan cara pemberian yang sama.
Variasi ini ditunjukkan melalui garis vertikal dan horizontal pada kurva sigmoid. Garis
vertikal menunjukkan dosis obat sama tetapi efeknya berbeda, sedangkan garis horizontal
menunjukkan dosisnya beda tetapi efeknya sama.
TINJAUAN PUSTAKA
Dosis suatu obat dihasilkan berdasarkan keputusan yang diambil dari 4 variabel, yaitu :
1. Umur
2. Berat badan
3. Seks
4. Waktu pemberian obat
5. Cara pemberian obat
6. Kecepatan pengeluaran obat
7. Kombinasi obat
8. Ras
9. Spesies
Ada dua macam dosis. Dosis toksik adalah dosis yang menyebabkan gejala keracunan.
Dan dosis letal adalah dosis yang menyebabkan kematian sejumlah tertentu hewan percobaan
Dengan menentukan % kematian dan efek yang diinginkan dari suatu obat pada konsentrasi
yang berbeda pada keadaan sama, maka kita dapat menentukan Sigmoid Curve dari obat
tersebut. Jarak antara ED 50 dan LD 50 disebut Margin of Safety, makin kecil jarak ini,
makin berbahaya obat tersebut. Hubungan dosis dan intensitas efek dalam keadaan
sesungguhnya tidaklah sederhana karena banyak obat bekerja secara kompleks dalam
menghasilkan efek.
OBAT-OBAT
Alkohol 70%
ALAT-ALAT
HEWAN COBA
KETERANGAN
Dosis letal adalah dosis yang menyebabkan kematian 50% dari hewan coba, yang dinyatakan
dalam %.
Contoh :
Contoh :
ED 50 adalah dosis yang dapat menimbulkan efek yang dikendaki pada 50% hewan
coba
Dengan menentukan % kematian dan efek yang diinginkan dari suatu obat pada konsentrasi
yang berbeda pada keadaan yang sama, maka dapat dtentukan Sigmoid Curve dari obat
tersebut.
Jarak antara ED 50-LD 50 disebut Margin of Safety. Makin kecil jarak, obat tersebut makin
bahaya.
RENCANA KERJA :
PERTANYAAN
1. Apa kegunaan Sigmoid curve dari suatu obat?
2. Sebutkan beberapa variasi Sigmoid curve dan terangkan !
3. Mengapa kadang-kadang Sigmoid curve berbentuk hiperbola?
JAWABAN :
A. DOSIS EFEKTIF
Tabung No. Alkohol (ml) Air (ml) Alkohol (%) Jumlah ikan ED %
tereksitasi
1 10 190 1,75 0 0
2 12 188 2,1 0 0
3 14 186 2,45 0 0
4 16 184 2,8 1 10
5 18 182 3,5 1 10
6 20 180 3,5 4 40
7 22 178 3,85 4 40
8 24 176 4,2 5 50
9 26 174 4,55 5 50
10 28 172 4,9 10 100
11 30 170 5,25 10 100
B. DOSIS LETAL
Tabung No. Alkohol (ml) Air (ml) Alkohol (%) Jumlah ikan ED %
tereksitasi
1 26 174 4,55 0 0
2 28 172 4,9 0 0
3 30 170 5,25 0 0
4 32 168 5,6 1 10
5 34 166 5,95 1 10
6 36 164 6,3 4 40
7 38 162 6,65 4 40
8 40 160 7 5 50
9 42 158 7,35 5 50
10 44 156 7,7 10 100
11 46 154 8,05 10 100
Keterangan :
Kenaikan konsentrasi alkohol diikuti dengan kenaikan jumlah ikan yang mengalami
eksitasi
ED50 = [(5 x 4,2) + (5 x 4,55)] : 10 = 4,375
LD50 = ( 5 x 7 ) + ( 5 x 7,35 ) = 7,175
10
120
100
80
Grafik ED
60 Grafik LD
40
20
0
75 45 15 85 55 25 95 65 35 05
1. 2. 3. 3. 4. 5. 5. 6. 7. 8.
Perhitungan % Alkohol
Pada percobaaan ini dipakai alkohol 70% dengan berbagai konsentrasi.
Adapun perhitungan % alkohol pada masing-masing dosis (letal dan efektif) di tiap-tiap
tabung secara umum adalah:
Contohnya pada dosis letal tabung 1 memakai 26 ml alkohol, sedangkan junlah cairan
seluruhnya adalah 400 ml. Maka % alkohol tabung tersebut adalah :
26
% alkohol = 400 x 70%
%ED = ( Jumlah Ikan yang Eksitasi Setelah 5 Menit : Jumlah Ikan Total ) x 100%
LD 50
Index Therapy = ED 50 = 7,175 : 4,375 = 1,64
KESIMPULAN
Arini Setiawari, F.D., Suyatna, Zunilda SB. 1995. Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 4. FK UI. Bab I
Azalia Afridan, Udin Sjamsudin. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FK UI. Bab I.
ABSTRAK
Cara pemberian dan pemakaian obat sangat mempengaruhi efektivitas kerja obat dalam
tubuh. Oleh sebab itu, pemilihan cara pemberian dan pemakaian obat sangat penting
diperhatikan untuk mendapat efek optimal dari suatu obat.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui kecepatan timbulnya efek dari obat dari
berbagai macam cara pemberian obat, yaitu:
1. per oral : masukkan obat ke dalam esophagus dengan
jarum tumpul.
2. Rektal : masukkan obat ke dalam anus dengan selang
enema.
3. Intramuskuler (IM) : suntikkan obat pada otot gluteal.
4. Intravaskuler (IV) : suntikkan obat pada vena ekor selambat
mungkin (0.02 ml/2 detik), dengan menggunakan jarum ukuran
kecil.
5. Subkutan : suntikkan obat dibawah kulit tengkuk.
6. Intraperitoneal : suntikkan obat kedalam cavum
peritonel di kuadran kiri bawah.
Kemudian selama satu jam, mengamati dan mencatat saat timbul dan lamanya gejala-gejala
berikut:
a. aktivitas spontan berkurang, respon terhadap stimuli masih normal.
b. Aktivitas spontan hilang, timbul gerakan-gerakan tak terkoordinasi terhadap stimuli.
c. Tidak ada respon terhadap stimuli, tapi masih dapat berdiri.
d. Usaha untuk berdiri tidak berhasil.
e. Tidak ada gerakan sama sekali dan tidak ada usaha untuk berdiri.
Lalu, membuat grafik yang menggambarkan hubungan antara derajat aktivitas sebagai absis
dan waktu sebagai ordinat.
Hasil percobaan yang diperoleh berdasarkan gejala-gejala yang timbul diamati dalam 30
menit pertama dan 30 menit kedua. Pada percobaan didapatkan bahwa gejala-gejala yang
Obat yang bereaksi dalam tubuh, masuk dengan beberapa cara pemberian yang
berbeda mengalami beberapa tahap yaitu : absorbsi, distribusi, biotransformasi, kemudian
obat diekskresikan dari dalam tubuh
Berbagai cara pemberian obat menunjukkan reaksi yang berbeda. Tujuan
dilakukannya pemberian dendan cara yang berbeda ini untuk mengetahui cara pemberian
mana yang memberikan reaksi tercepat. Menurut hasil pengamatan, cara pemberian yang
memberikan reaksi tercepat adalah melalui intravena Hal ini disebabkan karena obat tidak
mengalami proses absorbsi. Sedangkan proses absorbsi terjadi pada cara pemberian lainnya
(intraperitoneal, subkutan, intramuskular, rektal). Sedangkan cara pemberian obat yang
memberikan reaksi paling lambat adalah per oral, karena mengalami proses absorbsi yang
lebih lama dan kadar obat yang masuk di dalam tubuh tidak seluruhnya sampai ke tempat
tujuan.
Jadi, dengan dosis yang sama cara pemberian yang tercepat adalah dengan cara
intravena (menyuntikan obat langsung ke dalam pembuluh darah).
Bioavailabilitas menyatakan jangka waktu dan kecepatan absorbsi dari bentuk sediaan
yang ditunjukkan oleh kurva kurun waktu terhadap konsentrasi pemberian obat secara
sirkulasi sistemik. Ini terjadi karena pada obat-obat tertentu tidak semua yang absorbsi dari
tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh
enzim di dinding usus (pada pemberian oral) dan atau pada lintasan pertamanya melalui
organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama
(first pass metabolism or elimination).
Cara pemberian obat yang berbeda memberikan efektivitas dan tingkat absorbsi yang
berbeda,mempengaruhi bioavailibilitas dan ada atau tidak eliminasi tingkat pertama.
Pemberian obat per oral paling banyak dilakukan karena mudah, aman dan murah.
Namun banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitasnya, dapat mengiritasi saluran
cerna, dan perlu kerjasama dengan penderita, tidak bisa dilakukan bila pasien koma.
Pemberian secara intravena mempunyai keuntungan yaitu tidak mengalami tahap
absorbsi, kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan dengan
respon penderita. Pemberian ini dapat diberikan pada penderita yang tidak sadar atau dalam
keadaan darurat. Kerugiannya adalah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, efek
toxic mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi dapat segera mencapai darah dan jaringan,
obat yang disuntikkan tidak dapat ditarik kembali. Penyuntikkan harus dilakukan perlahan
sambil terus mengawasi respon penderita.
Pemberian secara subkutan hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak
menyebabkan iritasi jaringan, absorbsinya lambat sehingga efeknya dapat bertahan lama.
Pemberian obat secara per rektal dapat diberikan pada penderita yang muntah-
muntah, tidak sadar diri dan pasca bedah. Kerugiannya adalah dapat mengiritasi mukosa
rektum, permukaan absorbsi tidak luas, absorbsi di rektum sering tidak lengkap dan teratur,
dan obat sering lembek terutama pada daerah tropis.
Pemberian secara Intramuskular (IM) diukur kecepatan absorbsinya berdasarkan
kelarutan obat di dalam air. Obat yang sukar larut dalam air akan mengendap dan terhambat
absorbsinya. Obat-obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorbsi dengan
sanagt lambat dan konstant. Pemberian obat secara intraperitoneal tidak dilakukan pada
manusia karena bahaya infeksi dan adhesi terlalu besar.
Tujuan
Mengetahui kecepatan timbulnya suatu efek obat yang dikehendaki dari berbagai macam cara
pemberian obat.
Obat : diazepam
Alat
o Beaker glass 600 ml.
o Jarum suntik tumpul.
o Spit tuberkulin.
o Selang enema.
Rencana Kerja
Obat ini memberi efek hipnotik dan anestetik dengan berbagai cara pemberian. Dosis
diazepam yang digunakan adalah 0,5 ml.
1. Siapkan 6 ekor mencit.
2. Berikan obatnya dengan cara :
a. Per oral : Masukkan obat kedalam oesofagus dengan jarum tumpul.
b. Rektal : Masukkan obat ke dalam anus dengan selang enema.
c. IM : Suntikkan pada otot gluteal.
d. IV : Suntikkan pada vena ekor selambat mungkin (0,02ml / 2 detik).
e. Subkutan : Suntikkan di bawah kulit tengkuk.
f. Intra peritoneal: Menyuntikkan obat ke dalam cavum peritoneal di kuadran kiri
bawah.
3. Amati selama1 jam, catat saat timbul dan lamanya gejala-gejala berikut.
a. Aktivitas spontan berkurang, respon terhadap stimuli masih normal
b. Aktivitas spontan hilang, timbul gerakan-gerakan tak terkoordinasi terhadap
stimuli
c. Tidak ada respon terhadap stimuli, tapi masih dapat berdiri
d. Usaha untuk berdiri tidak berhasil
e. Tidak ada gerakan sama sekali dan tidak ada usaha untuk berdiri
Laporan Farmakologi Blok IV 32
4. Buatlah grafik yang menggambarkan hubungan antara derajat aktivitas sebagai absis
dan waktu sebagai ordinat.
Pertanyaan
1. Sebutkan keuntungan dan kerugian obat secara oral !
2. Sebutkan bentuk-bentuk sediaan obat yang digunakan per oral !
3. Apa keuntungan dan kerugian pemberian obat secara parenteral ?
4. Sebutkan bentuk sediaan obat yang digunakan per rektal!
Jawaban
Hasil percobaan
Tabel hubungan antara derajat aktivitas dan waktu
intra
Gejala per oral per rektal IM IV subkutan
peritoneal
I 13 30 3 3 6 3
II 19 40 4 5 10 5
III 23 10 8 25 20
IV 29 13 10 29 48
V 39 15 12 36 53
Grafik
60
50
peritoneal
40 subkutan
IV
oral
Waktu
30
rektal
IM
20
10
0
1 2 3 4 5
Keterangan:
a = spontan berkurang, respon terhadap stimuli masih normal
b = aktivitas spontan hilang, timbul gerakan-gerakan tak terkoordinasi terhadap stimuli
c = tidak ada respon terhadap stimuli tetapi masih dapat berdiri
d = usaha untuk berdiri tidak berhasil
e = tidak ada gerakan sama sekali dan tidak ada usaha untuk berdiri
a. Per Oral
- 30 pertama: usaha untuk berdiri gagal.
- 30 kedua: tidak ada gerakan sama sekali dan tidak ada usaha untuk berdiri.
Reaksi obat yang disuntikkan per oral lebih lambat menunjukkan efek karena harus
melewati first pass metabolism sebelum mencapi saluran sistemik.
Pemberian obat per oral merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan
karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor dapat mempengaruhi
biovaibilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerjasama dengan
penderita, tidak bisa dilakukan bila pasien koma.
b. Per Rektal:
- 30 pertama: aktivitas spontan berkurang, respon terhadap stimulin masih normal.
- 30 kedua: aktivitas spontan hilang, timbul gerakan-gerakan tak terkoordinasi
terhadap stimuli
Reaksi obat yang disuntikan per rektal berlangsung lebih lambat. Keuntungan pemberian
secara per rectal, yaitu dapat diberikan pada penderita yang muntah-muntah, tidak sadar
diri dan pasca bedah. Sedangkan kerugiannya adalah dapat engiritasi mucosa rectum,
permukaan absorbsi tidak luas, absorbsi di rectum sering tidak lengkap dan teratur, obat
sering lembek terutama daerah tropis.
c. Intra Muskular:
- 5 pertama: aktivitas spontan hilang, timbul gerakan-gerakan tak terkoordinasi terhadap
stimuli
- 5 kedua: tidak ada respon terhadap stimuli tapi masih dapat berdiri.
- 5 ketiga: tidak ada gerakan sama sekali, tidak ada usaha untuk berdiri.
Reaksi obat berlangsung cepat karena obat hanya perlu menembus lapisan muskular
sebelum mencapai pembuluh darah tidak seperti per oral.
Pada suntikkan intramuskular (IM), kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan
kelengkapan absorbsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik akan
mengendap ditempat suntikan sehngga absorbsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan
tidak teratur. Absorbsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada gluteus
d. Intra Vena:
- 5 pertama: aktivitas spontan hilang, timbul gerakan- gerakan tak terkoordinasi
terhadap stimuli.
- 5 kedua: usaha untuk berdiri tidak berhasil
- 5 ketiga: tidak ada gerakan sama sekali, dan tidak ada usaha untuk berdiri.
Reaksi obat berlangsung sangat cepat karena obat langsung masuk ke saluran peredaran
darah sistemik
Pemberian secara intravena, keuntungannya adalah tidak mengalami tahap absorbsi, maka
kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung
dengan respons penderita, dapat diberikan kepada penderita yang tidak sadar/muntah-
muntah, sangat berguna dalam keadaan darurat, dinding pembuluh darah relatif tidak
sensitif dan bila disuntikkan perlahan-lahan obat segera diencerkan oleh darah.
Kerugiannya adalah menimbulkan rasa nyeri,efek toksik mudah terjadi karena kadar obat
yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan, obat yang disuntikkan tidak dapat ditarik
kembali. Penyuntikkan IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi
respons penderita.
e. Subkutan:
- 30 pertama: usaha untuk berdiri tidak berhasil.
- 30 kedua: tidak ada gerakan sama sekali, dan tidak ada usaha untuk berdiri.
Reaksi obat berlangsung lebih lambat dibanding muskular dikarenakan jarak antara
tempat penyuntikan dengan tempat peredaran darah lebih dekat
Suntikkan subkutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi
jaringan, absorbsi lambat sehingga efek bertahan lama.
f. Intra Peritoneal
-5 pertama-5 ketiga : aktivitas spontan menghilang, timbul gerakan- gerakan tak
terkoordinasi terhadap stimuli
- 5keempat-5 kesepuluh : tidak ada respon terhadap stimuli, tetapi masih adapat berdiri.
- 5 kesebelas: tidak ada gerakan sama sekali dan tidak ada usaha untuk berdiri.
Reaksi obat berlangsung lebih lambat dibandingkan subkutan
Suntikkan intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena berbahaya infeksi dan
adesi terlalu besar.
Dari berbagai macam pemberian obat Diazepam yang paling cepat menimbulkan efek pada
binatang percobaan (mencit) adalah secara intravena,lalu berturut-turut diikuti oleh
intramuskular, subkutan, peroral, dan intraperitoneal.
Arini Setiawari, F.D., Suyatna, Zunilda SB. 1995. Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 4. FK UI. Bab I
Azalia Afridan, Udin Sjamsudin. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FK UI. Bab I.
ABSTRAK
Suatu tindakan medis yang invasif, cenderung menimbulkan rasa sakit dan atau rasa
tidak nyaman. Untuk mengatasi masalah ketidaknyamanan tersebut, diperlukan suatu obat
anastesi. Obat anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal (tanpa disertai
hilangnya kesadaran) dan anestesi umum (disertai hilangnya kesadaran). Tujuan percobaan
ini adalah untuk mempelajari anestesi umum khususnya tentang onset of action dan duration
of action.
Onset of action adalah waktu mulai dari diberikannya obat sampai obat berikatan
dengan reseptor dan menimbulkan efek pertama kali. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi,
cara pemberian, formulasi obat dan distribusinya dalam tubuh.
Duration of action adalah lamanya waktu dari saat timbulnya efek yang pertama kali
sampai hilangnya efek obat (lamanya efek). Tergantung dari sifat ikatan obat-reseptor, waktu
paruh obat dalam plasma, adanya zat-zat yang bersifat agonis atau antagonis dan kecepatan
tubuh mengeliminasi obat.
Percobaan ini menggunakan kelinci seberat 2,4 kg yang diberi obat anestesi dari
golongan benzodiazepin yaitu Natrium Tiopental (dosis 0,5ml / kg BB), dengan pemberian
secara parenteral. Pada percobaan, kelinci disuntik (pada vena marginalis di bagian dorsal
telinga) Natrium Tiopental sebanyak 1 ml sudah memasuki stadium anestesi dengan ciri-ciri :
frekuensi pernapasan dan denyut jantung berkurang, tonus otot dan reflex kornea
menghilang, serta pupil melebar.
Kelinci memasuki stadium anestesi 6 menit setelah penyuntikan dimulai dan berada
dalam stadium anestesi hanya selama 12 menit. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
Natrium Tiopental memiliki onset of action yang cepat dan duration of action yang relative
singkat.
PENDAHULUAN
Obat hipnotik sedatif adalah golongan obat depresan SSP (sistem saraf pusat) yang
relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan, yaitu menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga
yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma, dan meninggal.
Obat anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal (tanpa disertai
hilangnya kesadaran) dan anestesi umum (disertai hilangnya kesadaran). Tujuan percobaan
ini adalah untuk mempelajari anestesi umum khususnya tentang mulai kerjanya (onset of
action) dan lama kerjanya (duration of action). Obat yang telah diabsorbsi baru dapat
menimbulkan efek bila berikatan dengan reseptor yang sesuai pada sel organisme (teori
pendudukan reseptor).
Percobaan ini menggunakan kelinci seberat 2400 gr yang diberi obat anestesi dari
mg
golongan benzodiazepin yaitu diazepam (dosis 0,7 /ml / 1.5 kg BB), dengan pemberian
secara intra vena. Pada percobaan, kelinci disuntik pada vena marginalis di bagian dorsal
telinga sebanyak 1,6 ml dan memasuki stadium anestesi dengan ciri-ciri : tidur, pernafasan
teratur, refleks korne (-), ukuran pupil sedang, otot relaks.
Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari anestesi umum khususnya tentang
mulai kerjanya (onset of action) dan lama kerjanya (duration of action).
TINJAUAN PUSTAKA
Onset of action adalah waktu mulai dari diberikannya obat sampai obat berikatan
dengan reseptor dan menimbulkan efek pertama kali. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi,
cara pemberian, formulasi obat dan distribusinya dalam tubuh.
Komponen reseptor yang paling penting adalah protein. Ikatan obat dengan reseptor
dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Walls, atau kovalen. Tetapi umumnya
berupa campuran berbagai ikatan tersebut. Ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat,
sehingga pada umumnya obat yang terikat secara kovalen dengan reseptornya memiliki
waktu kerja yang panjang.
Duration of action adalah waktu dari saat timbulnya efek yang pertama kali sampai
hilangnya efek obat. Dipengaruhi dari waktu paruh obat dalam plasma, adanya zat-zat yang
bersifat agonis atau antagonis dan kecepatan tubuh mengeliminasi obat. Eliminasi essensial
adalah jumlah total dari semua proses yang mengakhiri kerja obat.
Waktu paruh adalah lamanya waktu yang diperlukan dari kadar maksimum obat
dalam plasma (kadar terapiutik maksimum) sampai kadar tersebut menjadi setengahnya
(kadar terapiutik minimum).
Zat yang bersifat agonis artinya bekerja secara sinergis dengan obat yang dipakai,
dengan demikian memperkuat efek obat, sedangkan yang bersifat antagonis berarti kerjanya
berlawanan atau menghambat kerja obat yang dipakai.
Untuk mengetahui kapan obat anestesi mulai bekerja serta kapan pengaruhnya
berkurang hingga akhirnya hilang, kita harus mengetahui efek yang ditimbulkan obat itu.
a. Efek Utama
Keadaan di bawah sadar, analgesia, sedasi, hipnosis, amnesia.
b. Efek Samping
1. Anestetik Gas
Anestetik ini berpotensi rendah sehingga biasanya ditunjukan untuk induksi dan operasi
ringan. Selain itu tidak mudah larut dalam darah sehingga tekanan parsial dalam darah
cepat meningkat. Batas keamanan antara efek anestesia dan efek letal cukup besar.
Contoh anestetik gas adalah nitrogen monoksida dan siklopropan.
Induksi anestesi.
Induksi dan pemeliharaan anestesi bedah singkat.
Suplementasi hipnosis pada anestesi atau analgesia lokal.
Sedasi pada beberapa tindakan medik.
Contohnya adalah barbiturat, ketamin, diazepam, droperidol, dan fentanil.
Menurut bentuknya itu, obat anestesi dapat diberikan dengan cara:
1. Anestetik Inhalasi
a. Open Drop Method
Digunakan untuk anestetik yang menguap. Peralatan yang diperlukan
sederhana dan tidak mahal. Kekurangan cara ini adalah kadar zat anestetik yang sudah
diberikan tidak diketahui dan pemakaian zat anestetik boros.
c. Semiclosed Method
Udara yang terhisap mengandung O2 murni dan zat anestetik yang dapat
diukur kadarnya melalui vaporizer. Keadaan hipoksia dapat dihindarkan.
d. Closed Method
Cara kerjanya mirip Semiclosed Method. Keuntungannya ialah adanya NaOH
yang dapat mengikat CO2 sehingga udara yang mengandung anestetik dapat
digunakan lagi, tetapi cara ini relatif mahal.
2. Anestetik Parenteral
Intra vena atau intra musculer. Obat yang biasa digunakan secara IV ialah tiopenthal,
sedangkan ketamin dapat digunakan secara IV maupun IM.
Pemilihan bentuk sediaan dan cara pemberian anestetik tidak boleh sembarangan,
tetapi harus berdasarkan pada keadaan penderita, sifat anestetik umum, jenis operasi yang
dilakukan, obat yang tersedia serta ada tidaknya tenaga anestetik.
menghilangkan kesadaran.
menghambat pusat pernapasan
menghambat kontraksi otot jantung.
cenderung menurunkan tonus otot usus dan amplitudo gerakan kontraksinya.
berefek terhadap sistem metabolisme obat
tidak berefek buruk terhadap ginjal sehat.
Benzodiazepin berefek hipnosis, sedasi, relaksasi otot, antisiolitik dan antikonvulsi
dengan potensi yang berbeda-beda dan pengurangan pada rangsangan emosi ansietas.
Benzodiazepin bukan suatu depresan umum seperti barbiturate.
Peningkatan dosis benzodiazepin menyebebkan depresi SSP yang meningkat dari sedasi
ke hypnosis dan dari hypnosis ke stupor.
Insomia
Ansietas
Spasme otot
Sebagai medikasi preanestesi dan anestesi.
Mekanisme Kerja Benzodiazepin
1. Merupakan potensiasi inhibisi neuron dengan asam -aminobutyric acid (GABA; suatu
neurotransmitter penghambat) sebagai mediator.
2. Reseptor GABA teraktivasi maka saluran klorida terbuka, klorida masuk ke dalam sel,
meningkatkan potensial elektrik sepanjang membrane sel dan menyebabkan sel sukar
tereksitasi.
3. Kemungkinan terbukanya kanalklorida sangat ditingkatkan oleh terikatnya GABA pada
reseptor kompleks tersebut.
4. Benzodiazepin tidak dapat membuka kanal klorida dan menghambat neuron sehingga
merupakan depresan yang relatif aman, sebab depresi neuron yang memerlukan
transmitor bersifat self limiting.
Farmakokinetik
Obat : Diazepam
Diposible syringe 3 ml
Kapas
Alkohol 70%
Papan kelinci
Hewan : Kelinci
Rencana Kerja
1. Timbanglah berat badan kelinci. Perhatikan keadaan umum, aktivitas, dan pernapasannya.
Jangan bertindak kasar.
2. Hitunglah obat yang diperlukan dengan dosis 0,7 mg/ml / 1.5 kg BB.
3. Baringkan dan ikat pangkal paha kelinci di papan.
4. Suntikan obat ke dalam vena marginalis sebelah dorsal dari salah satu daun telinga kelinci
dengan mengarahkan jarum suntik ke pangkal telinga dengan kecepatan 0,02 ml/2 detik
sampai tercapai anestesi (tidur, pernapasan teratur, reflek kornea (-), ukuran pupil sedang,
otot relaks). Bila sudah tercapai anestesi, hentikan penyuntikan.
5. Catatlah
- Saat penyuntikan
- Saat mulai anestesi
- Jumlah obat yang terpakai
- Lama kelinci teranestesi
0,7 mg x
=
1,5 kg 2,4 kg
Butuh : 1,5 x=1,68 x=1,12 mg
1,12 mg
=1 .6 ml
Jumlah obat yang diberikan : 0,7 mg/ml
Reflek Kornea + -
Diazepam memiliki onset of action yang cepat. Terbukti dari hasil percobaan yang
telah dilakukan. Segera setelah kelinci diberi diazepam secara intra vena, maka kelinci
tersebut mengalami anestesi. Hal ini disebabkan oleh sifat diazepam yang mudah larut dalam
lemak dan memiliki sifat hipnotik sedatif, antikonvulsi, anestesi, SSP depresan.
Pada percobaan, kelinci hanya disuntik diazepam sebanyak 1,5 ml, bukan 1,6 ml yang
sesuai dengan perhitungan dosis yang seharusnya, karena dengan dosis 1,5 ml kelinci sudah
memasuki masa anestesi dengan ciri-ciri: frekuensi pernapasan dan denyut jantung
berkurang, tonus otot dan reflek kornea menghilang, serta pupil melebar.
Kelinci berada dalam masa anestesi hanya selama 12 menit. Hal ini menunjukan
bahwa diazepam memiliki duration of action yang singkat. Efek yang singkat ini dikarenakan
diazepam:
BAB V
Onset of action adalah mula kerja dalam percobaan kelinci mulai teranestesi setelah 6
menit penyuntikan. DOA adalah lamanya obat memiliki efek farmakologis.
- Tidur, nafas teratur, refleks kornea (-), tonus relaks, ukuran pupil sedang
- Denyut jantung : 72x/menit
- Pernafasan : 72x/menit
Warna pembuluh darah jadi lebih pucat.
DAFTAR PUSTAKA
SK, Toni Handoko. 1995. Anestesi Umum. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta:
FK-UI. Hal: 109-123
Wiria, Metta Sinta sari dan Toni Handoko SK. 1995. Hipnotik Sedatif dan Alkohol.
Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FK-UI. Hal: 134-139
V. PERCOBAAN V
VARIASI INDIVIDU TERHADAP OBAT
Pemberian suatu obat dengan dosis yang sama kepada suatu individu pada populasi
yang sama belum tentu memberikan efek yang sama, inilah yang disebut variasi biologis
individu terhadap obat. Variasi yang terjadi dapat berupa hipereaksi, hiporeaksi, alergi, atau
bahkan toksik. Variasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor dari pemakai obat tersebut.
Untuk mengetahui variasi individu terhadap obat dan pentingnya dalam klinik. Maka
dilakukan percobaan mengenai variasi individu terhadap obat. Percobaan dilakukan dengan
memberikan Diazepam dengan dosis yang sama yaitu 0,5 ml/ mencit pada 12 ekor mencit.
Obat kita suntikan secara intra peritoneal. Lalu diamkan selama 1 jam dan perhatikan tingkah
laku mencit-mencit tersebut. Amati timbulnya ataksia, relaksasi otot, reaksi terhadap
rangsang nyeri dan pernafasannya. Kemudian kita catat intensitas pengaruh obat, dan
dinyatakan dalam tanda +. Intensitas obat dapat berupa + yaitu untuk pengaruh obat terhadap
mencit yang sangat sedikit sampai ++++ yaitu untuk mencit yang mati.
Setelah satu jam didapatkan hasil: + untuk 6 ekor mencit, ++ untuk 4 ekor mencit dan
untuk +++ 2 ekor mencit dan ++++ tidak ada
Kesimpulan dari percobaan ini adalah bahwa pemberian suatu obat dengan cara yang
sama pada dosis yang sama dapat memberikan respon yang bervariasi untuk tiap individu
pada populasi yang sama. Hal ini disebut variasi individu terhadap obat.
PENDAHULUAN
Pemberian obat pada populasi yang sama dan cara pemberian yang sama dapat
menimbulkan respon pada tingkat yang berbeda-beda pada masing-masing individu.
Perbedaan berat badan , tinggi badan, atau sifat-sifat lain dari individu akan memberikan
reaksi yang berbeda terhadap pemakaian obat. Bahkan ada individu yang memberikan reaksi
yang dinamakan Drug Allergy.
Pada percoaban ini digunakan obat Diazepam. Obat ini memberi efek sedatif,
hipnotik, dan antikonvulsi.
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk melihat adanya variasi individual pada
pemberian Diazepam dengan dosis dan cara pemberian yang sama pada mencit , yaitu pada
dosis 0,5ml untuk setiap mencit dan diinjeksikan secara intra peritoneal.
TINJAUAN PUSTAKA
Variasi individu adalah variasi dalam respon terhadap dosis obat yang sama populasi
yang sama. Hubungan antara dosis dan efek digambarkan dalam kurva sigmoid yang
memiliki 4 variabel, yaitu potensi, efek maksimal, slope, dan variasi individu. Variasi
individu digambarkan dengan garis horizontal dan vertikal. Garis horizintal menunjukkan
bahwa untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada suatu populasi diperluka
rentang dosis sedangkan garis vertikal bahwa pemberian obat dengan dosis tertent pada
populasi akan menimbulkan suatu rentang intesitas efek.
* interaksi obat-reseptor
* keadaan fungsional
* mekanisme homeostatik
Intensitas efek farmakologi (Respons Penderita)
Kondisi Fisiologis
Usia
pada neonatus dan prematur terdapat perbedaan respon yang terutama disebabkan
oleh belum sempurnanya berbagai fungsi farmakokinetik tubuh, yaitu fungsi
biotransformasi hati (terutama glomerulus hidroksilasi) yang kurang, fungs
ekskresi ginjal (filtrasi glomerulus dan sekresi tubuh) yang hanya 60-70% dari
fungsi ginjal dewasa. Kapasitas ikatan protein plasma (terutama albumn) yang
rendah, dan sawar darah otak serta sawar kulit yang belum sempurna. Sedangkan
pada usia lanjut, perbedaan respon disebabkan oleh beberapa faktor seperti
penurunan fungsi ginjal, perubahan faktor-faktor farmakodinamik, adanya
berbagai macam penyakit, dan penggunaan banyak obat sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya interaksi obat.
Kondisi Patologis
Penyakit saluran cerna : mengurangi kcepatan dan atau jumlah obat yang diabsorbsi
pada pemberian oral melalui perlambatan pengosongan lambung, percepatan waktu
transit dalam saluran cerna.
Penyakit kardiovaskular : mengurangi distribusiobat dan alian darah ke hepar dan
ginjal untuk eliminasi obat sehingga kadar obat tinggi dalam darah dan menimbulkan
efek yang berlebihan atau efek toksik.
Penyakit hati : mengurangi metabolisme obat di hati dan sintesis protein plasma
sehingga meningkatkan kadar obat, terutama kadar bebasnya dalam darah dan
jaringan.
Penyakit ginjal : mengurangi ekskresi obat aktif maupun metabolitnya yang aktif
melalui ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam darah dan jaringan, dan
menimbulkan respon yang berlebihan atau efek toksik.
A. Bahan percobaan
Obat-obatan : diazepam 0.5 ml
Spuit tuberkulin
B. Cara kerja
1. Siapkan 12 ekor mencit.
2. Tempatkan masig-masing dalam beaker gelas.
3. Suntikkan intra peritoneal diazepam dengan dosis 0,5ml
4. Perhatikan tingkah laku mencit-mencit tersebut, amati timbulnya
ataksia,relaksasi otot, reaksi terhadap ragsang nyeri , dan pernafasannya
selama 1 jam.
5. buat grafik yang menggambarkan hubungan antara tingkat pengaruh obat
dengan jumlah mencit yang berada pada pengaruh obat.
Absis : tingkat pengaruh obat Ordinat: jumlah mencit
+++ : untuk mencit yang lemah relax dan tidak dapat dibangunkan
Hasil :
4
Jumlah Mencit
0
+ ++ +++ ++++
Tingkat Pengaruh Obat
+ 6 50%
++ 4 33,3%
+++ 2 16,6
++++ - -
PEMBAHASAN
Dilihat dari hasil percobaan maka dari 8 ekor mencit, 3 ekor mencit menunjukkan
tanda + (pengaruh sedikit sekali),5 ekor mencit menunjukkan tanda ++ (pengaruh sedang,
tidur tapi masih bereaksi terhadap rangsang), dan tidak ada mencit yang menunjukkan tanda
+++ (lemah relax dan tidak dapat dibangunkan) dan ++++ (mati). Jadi dapat dilihat bahwa
terjadi variasi dalam respon tiap individu, meskipun obat yang diberikan dosis dan cara
pemberiannya sama.
Hal ini terjadi dikarenakan adanya variasi individu, dimana pada pemberian obat pada
populasi yang sama dan cara pemberian serta dosis yang sama dapat menimbulkan respon
pada tingkat yang berbeda-beda pada masing-masing individu.
KESIMPULAN
Pemberian obat yang sama dengan cara yang sama dan dosis yang sama dapat
memberikan respon yang bervariasi untuk tiap individu pada populasi yang sama. Peristiwa
ini disebut variasi individu terhadap obat.
Efek yang paling banyak terlihat adalah pengaruh ++ (tikus dalam pengaruh sedang,
tidur tapi masih dapat dibangunkan).
Zunilda SB, Arini Setiawati, F.D. Suyatna 1995. Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan
Terapi. FK UI. Edisi 4. Halaman 7