Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni:


pemerintah, pemerintah daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu
sendiri. Pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan
berkesinambungan memegang peran yang vital untuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Pembiayaan
pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public good) yang
menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan
perorangan pembiayaannya bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat
miskin dan tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembiayaan
pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan
kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya diharapkan
akan mencapai universal health coverage sesuai dengan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(Presiden RI, 2012).
Dalam memobilisasi dana kesehatan pemerintah, terdapat hal pokok yang
harus diketahui pemerintah daerah, yaitu informasi seberapa besar biaya
kesehatan yang dibutuhkan. Paling tidak besar biaya yang dibutuhkan tergantung
kepada sejauh mana pelayanan kesehatan yang tergolong public goods serta
bagaimana melindungi kelompok tidak mampu. Dalam hal ini pemerintah daerah
dituntut untuk mampu merencanakan dan menganggarkan kesehatan secara
terpadu (Integrated Health Planning and Budgetting), selain itu pemerintah
daerah harus mampu menghitung potensi dana kesehatan daerah, besar biaya yang
dibutuhkan, serta alokasinya. Hal kedua dalam memobilisasi dana kesehatan
adalah dengan meningkatkan user fees, dibutuhkan adanya penyesuaian tarif dan
otonomi pengelolaan pusat-pusat dan institusi pelayanan kesehatan (Mukti, 2007).

1
2

Dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan milik


pemerintah seperti Puskesmas dan rumah sakit, tarif biasanya ditetapkan oleh
pemerintah secara sepihak tanpa suatu kajian yang rasional (melakukan
perhitungan unit cost). Tarif ini biasanya ditetapkan melalui suatu peraturan
pemerintah yakni dalam bentuk surat keputusan Menteri Kesehatan untuk rumah
sakit umum pusat, dan peraturan daerah (Perda) untuk rumah sakit umum
provinsi, rumah sakit umum kabupaten/kota maupun Puskesmas. Menurut
Trisnantoro (2004), hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat dari pemerintah
sebagai pemilik sarana pelayanan tersebut. Akan tetapi disadari bahwa tarif
pemerintah biasanya mempunyai cost recovery (pemulihan biaya) yang rendah.
Tarif pelayanan kesehatan yang berlaku sekarang di Kabupaten Lima
Puluh Kota didasarkan pada ketetapan Perda No. 1 tahun 2012 tentang Retribusi
Jasa Umum. Pemerintah daerah menetapkan tarif retribusi pelayanan kesehatan
diberlakukan sama antara Puskesmas dengan rumah sakit yaitu berdasarkan jenis
pelayanan. Idealnya tarif pelayanan kesehatan di Puskesmas lebih rendah
dibandingkan tarif di rumah sakit karena sumber daya yang dimiliki puskesmas
lebih sederhana dan lebih sedikit dibandingkan rumah sakit. Menurut Trisnantoro
(2004), ada hal yang menarik tentang penetapan tarif yang bertujuan minimalisasi
penggunaan pelayanan dan mengurangi pemakaian yaitu dengan menetapkan tarif
secara tinggi. Sebagai contoh, tarif pemeriksaan umum pada rumah sakit
pemerintah ditetapkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pelayanan serupa di
Puskesmas. Dengan cara ini maka fungsi rujukan dapat ditingkatkan sehingga
masyarakat hanya menggunakan rumah sakit apabila perlu saja.
Selama ini biaya satuan (unit cost) rawat jalan Puskesmas di Kabupaten
Lima Puluh Kota belum pernah dihitung sehingga tidak diketahui apakah tarif
tersebut lebih rendah atau lebih tinggi dari unit cost. Pemerintah daerah masih
menjadikan sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan RSUD sebagai
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang potensial. Idealnya penetapan tarif
pelayanan kesehatan harus dikaji secara rasional terlebih dahulu berdasarkan unit
cost dan dievaluasi secara berkala untuk dilakukan penyesuaian.
3

Hal ini sesuai dengan penelitian Junnu (2009) yang menyatakan bahwa
penetapan tarif tergantung pada tujuan pemerintah daerah setempat, apakah untuk
meningkatkan akses pelayanan sehingga ditetapkan tarif yang rendah atau untuk
pemulihan biaya karena subsidi pemerintah berkurang, serta untuk meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dan kepuasan petugas. Penetapan tarif kadang sulit
dilakukan karena berbagai kepentingan, belum lagi karena tidak tersedianya
informasi besaran biaya satuan suatu jenis pelayanan.

Tabel 1. Realisasi Pendapatan Puskesmas Dangung-Dangung Tahun 2013

Realisasi
Sumber %
(Rp)
Retribusi Pelayanan Kesehatan 59.279.400 23,2
Klaim/Kapitasi Jamkesmas 57.444.688 22,5
Kapitasi Jamkesda 29.394.145 11,5
Kapitasi Askes PNS 101.209.930 39,7
Klaim Jampersal 7.920.000 3,1
Jumlah 255.248.163 100
Sumber : Data Sub Bagian Keuangan Dinkes Kab Lima Puluh Kota

Tabel 1 menunjukkan sumber-sumber pendapatan Puskesmas Dangung-


Dangung tahun 2013, dimana sumber terbesar berasal dari klaim Kapitasi Askes
PNS sebesar 39,7%, kemudian diikuti retribusi pelayanan kesehatan sebesar
23,2%, klaim/Kapitasi Jamkesmas sebesar 22,5%, kapitasi Jamkesda sebesar
11,5%, dan terakhir klaim Jampersal sebesar 3,1%.
Sesuai kebijakan daerah, penerimaan Puskesmas tidak dapat digunakan
secara langsung untuk mendukung operasional kegiatan pelayanan di puskesmas
karena seluruh pendapatan yang diterima harus disetorkan ke Kas Daerah. Hal ini
mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara pasal 13 ayat 2 yang berbunyi semua penerimaan dan pengeluaran daerah
dilakukan melalui rekening kas umum daerah. Hal ini tentu akan mengganggu
proses pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Paradigma baru tentang pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket
peraturan perundang-undangan di bidang keuangan yaitu UU No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, dan UU No.15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara,
4

mengandung tiga kaidah manajemen keuangan negara, yaitu orientasi pada hasil
(mutu layanan), profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi. Salah satu
bentuk reformasi pengelolaan keuangan negara melalui paket peraturan
perundang-undangan tersebut adalah pembentukan Badan Layanan Umum (BLU).
BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Pengelolaan keuangan BLU menjadi satu penekanan tersendiri di dalam
undang-undang ini yang menandakan betapa pentingnya hal tersebut dalam
penyelenggaraan kegiatan layanan umum suatu BLU. Pemerintah kemudian
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) adalah pola pengelolaan keuangan
yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-
praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Sebagai penjabaran dari PP Nomor 23 Tahun 2005 pemerintah
mengeluarkan Permendagri No 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang secara
eksplisit menyebutkan bahwa ada persyaratan substantif, teknis dan administratif
bagi BLUD, dalam hal ini termasuk RS, Bapelkes, Puskesmas dan organisasi
pelayanan kesehatan lainnya. Selain tersebut di atas, ada beberapa prasyarat lain
yang harus dipersiapkan segera untuk mendukung pola pengelolaan keuangan
BLU antara lain (1) Pola tarif berbasis unit cost dan mutu layanan; (2) Rencana
Bisnis Anggaran (RBA) berbasis akuntansi biaya; (3) Remunerasi; (4) Sistem
Akuntansi dan Keuangan.
5

Lembaga-lembaga pelayanan publik seperti Puskesmas dan sebagainya


membutuhkan status BLU untuk meningkatkan kinerjanya terutama setelah
diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014 yang
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Peraturan
Presiden RI Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Jaminan Kesehatan pasal 9 ayat 1
menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada fasilitas
kesehatan tingkat pertama secara praupaya berdasarkan kapitasi atas jumlah
peserta yang terdaftar di Fasilias Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Aturan ini
membuat Puskesmas sebagai FKTP harus mengikuti sistem penggantian biaya
berdasarkan kapitasi maupun non kapitasi sebagaimana di atur dalam Permenkes
R.I No. 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Konsekuensinya Puskesmas
sebagai pemberi pelayanan dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien tanpa mengurangi mutu. Hal ini dapat diwujudkan dengan
mengidentifikasi seluruh aktivitas pelayanan yang diberikan sehingga biaya yang
dikeluarkan dapat dievaluasi sesuai tarif kapitasi maupun non kapitasi yang telah
ditetapkan oleh BPJS. Untuk itulah perhitungan unit cost oleh Puskesmas sebagai
sarana kesehatan primer atau FKTP sangat diperlukan sehingga dapat menentukan
biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Puskesmas sebagai FKTP dalam memberikan pelayanan kepada peserta
BPJS maupun masyarakat umum dituntut untuk bisa memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan adil bagi masyarakat. Pengembangan puskesmas
sebagai BLUD merupakan jawaban atas tuntutan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan puskesmas kepada masyarakat. Salah satu prasyarat yang harus
dipersiapkan untuk mendukung pola pengelolaan keuangan BLU adalah pola tarif
berbasis unit cost. Hal ini merupakan tantangan bagi seluruh elemen terkait, baik
pihak Puskesmas maupun stakeholder untuk menghitung secara riil berapa biaya
pelayanan yang dibutuhkan sehingga bisa menjadi alat advokasi dalam
pembiayaan pelayanan kesehatan. Analisis biaya melalui perhitungan biaya per
unit (unit cost) dapat dipergunakan Puskesmas sebagai dasar penyusunan
6

anggaran dan subsidi, alat negosiasi pembiayaan kepada stakeholder terkait dan
dapat pula dijadikan acuan dalam mengusulkan tarif pelayanan Puskesmas yang
baru dan terjangkau masyarakat.
Puskesmas Dangung-Dangung merupakan Puskesmas dengan jumlah
kunjungan terbesar di Kabupaten Lima Puluh Kota. Puskesmas Dangung-
Dangung juga salah satu dari enam Puskesmas di Kabupaten Lima Puluh Kota
yang dipersiapkan untuk menjadi BLUD pada tahun 2016. Salah satu syarat yang
harus dipersiapkan segera untuk mendukung pola pengelolaan keuangan BLUD di
suatu satuan kerja adalah pola tarif berbasis unit cost dan mutu layanan. Selain
sebagai persyaratan administratif, unit cost juga bermanfaat dalam penyusunan
Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA).
Jumlah Puskesmas yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 22
buah terdiri dari 4 Puskesmas dengan rawat inap dan 18 Puskesmas rawat jalan.
Puskesmas Dangung-Dangung merupakan salah satu Puskesmas dengan rawat
inap yang terletak di Kecamatan Guguk dengan luas wilayah kerjanya mencakup
85,2 km2 .
Puskesmas Dangung-Dangung mempunyai wilayah kerja yang
meliputi 4 nagari dengan total jumlah penduduk sebanyak 25.705 jiwa yang
tersebar di 22 jorong.

Tabel 2. Alokasi dan Realisasi Belanja Dokumen Pelaksanaan Anggaran


Puskesmas Dangung-Dangung Tahun 2013

Jumlah Realisasi
No Kegiatan
Anggaran Rp %

1 Penyediaan Biaya Operasional dan 86.040.000 81.743.718 95,0%


Pemeliharaan
2 Penyediaan Jasa Komunikasi 12.000.000 8.376.792 69,8%
Sumber Daya Air dan Listrik
3 Kemitraan Asuransi Kesehatan 117.921.400 56.481.286 47,9%
Masyarakat
4 Pengadaan, Peningkatan dan 15.000.000 12.842.900 85,6%
Perbaikan Sarana dan Prasarana
Puskesmas dan Jaringannya
5 Pemeliharaan Rutin/Berkala Sarana 7.500.000 3.601.090 48,0%
dan Prasarana Puskesmas Keliling
Jumlah 238.461.400 163.045.786 68,4%
Sumber : Data Seksi Penyusunan Program Dinkes Kab. Lima Puluh Kota
7

Anggaran dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Puskesmas


digunakan untuk membiayai belanja operasional Puskesmas baik operasional luar
gedung seperti UKM dan operasional dalam gedung seperti pelayanan rawat jalan
dan rawat inap. Tabel 2 menggambarkan alokasi dan realisasi anggaran belanja
Puskesmas yang bersumber dari APBD Kabupaten. Sumber pembiayaan
Puskesmas lainnya berasal dari Pemerintah Provinsi melalui dana dekonsentrasi
dan Pemerintah Pusat melalui dana tugas pembantuan. Pada tahun 2012
Puskesmas Dangung-Dangung mendapat Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
dari Pemerintah Pusat sebesar Rp. 82.500.000,- dan pada tahun 2013 sebesar Rp.
84.737.000,-. Dana BOK tersebut digunakan untuk menyelenggarakan Upaya
Kesehatan Masyarakat berupa promotif dan preventif di wilayah kerja Puskesmas
Dangung-Dangung.

Tabel 3. Kunjungan Rawat Jalan dan Rawat Inap


Puskesmas Dangung-Dangung Tahun 2011-2013

Jumlah
Jumlah Jumlah Pasien
Tahun Kunjungan Jumlah
Penduduk Rawat Inap
Rawat Jalan
2011 25.138 13.414 726 14.130
2012 25.420 12.351 684 13.035
2013 25.705 10.463 237 10.700
Sumber: Data Seksi Informasi Kesehatan Dinkes Kab. Lima Puluh Kota.

Tabel 3 menggambarkan adanya penurunan jumlah kunjungan rawat jalan


dan jumlah pasien rawat inap pada tahun 2011 - 2013. Hal ini diduga disebabkan
karena lokasi Puskesmas Dangung-Dangung terletak tidak terlalu jauh dari RS.
Adnan WD di Kota Payakumbuh dan RS. Achmad Darwis di Suliki yang masing-
masing berjarak lebih kurang 10 km dari puskesmas. Pasien yang berobat ke
puskesmas berasal dari dalam maupun luar wilayah kerja Puskesmas Dangung-
Dangung. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain lokasi
puskesmas yang strategis berada di pinggir jalan raya sehingga mudah diakses
oleh masyarakat.
Sistem keuangan di Puskesmas Dangung-Dangung belum sepenuhnya
menerapkan sistem akuntansi biaya sehingga belum dapat memberikan
8

informasi akan biaya yang benar-benar terjadi, terutama untuk alokasi biaya
langsung dan biaya tidak langsung. Menurut Gani (2006), alternatif untuk
melakukan pembenahan pembiayaan adalah agar daerah melakukan analisis
biaya setiap jenis pelayanan kesehatan (perorangan), baik di Puskesmas maupun
di RS.
Melihat gambaran kondisi di atas menjadi pendorong bagi penulis untuk
melakukan penelitian perhitungan unit cost pada Puskesmas khususnya pada
pelayanan rawat jalan dan laboratorium (studi kasus pada Puskesmas Dangung-
Dangung Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2013). Hasil perhitungan unit cost ini
diharapkan dapat menjadi informasi penting bagi pemerintah daerah sebagai dasar
dalam menetapkan tarif Puskesmas maupun dalam mempersiapkan Puskesmas
sebagai BLUD di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian ini sebagai berikut : berapakah besaran biaya satuan (unit cost) di
Puskesmas Dangung-Dangung pada tahun 2013 serta bagaimanakah perbandingan
hasil perhitungan unit cost tersebut dengan tarif Perda yang berlaku saat ini?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan umum:
Mengetahui gambaran total biaya di masing-masing unit pelayanan dan unit cost
pelayanan rawat jalan di Puskesmas Dangung-Dangung pada tahun 2013 sebagai
bahan informasi dalam merumuskan kebijakan tarif pelayanan kesehatan di
Puskesmas maupun dalam mempersiapkan Puskesmas sebagai BLUD dengan
menggunakan metode distribusi biaya step down.

Tujuan khusus:
1. Mengidentifikasi total biaya yang terjadi di masing-masing unit pelayanan
selama tahun 2013 dengan menggunakan metode distribusi biaya step- down.
9

2. Mengidentifikasi besaran unit cost per pelayanan di unit rawat jalan dan
laboratorium Puskesmas Dangung-Dangung pada tahun 2013.
3. Mengidentifikasi perbandingan besaran unit cost dengan tarif Perda yang
berlaku.

C. Manfaat Penelitian
Manfaat praktis:
1. Bagi Puskesmas, sebagai bahan perencanaan pengembangan sistem akuntansi
biaya di Puskesmas.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagai bahan masukan
dalam menyusun alokasi anggaran pelayanan kesehatan Puskesmas. .
3. Bagi Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
informasi dalam merumuskan kebijakan tarif pelayanan kesehatan di
Puskesmas maupun dalam mempersiapkan Puskesmas sebagai BLUD di
Kabupaten Lima Puluh Kota.
Manfaat teoritis:
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang berharga
bagi peneliti dalam bidang pembiayaan kesehatan khususnya perhitungan unit
cost Puskesmas.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan topik yang hampir
sama antara lain:
1. Fidiyawati (2013), Usulan Anggaran Berbasis Unit Cost di Puskesmas Jetis
Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan penelitiannya
mengidentifikasi besaran usulan anggaran berbasis unit cost dan persepsi
stakeholder terhadap hasil perhitungan usulan di Puskesmas Jetis. Variabel yang
diteliti meliputi usulan anggaran, biaya satuan (unit cost) dan persepsi
stakeholder. Jenis penelitiannya deskriptif dengan rancangan studi kasus,
menggunakan metode double distribution. rata-rata Unit cost rawat jalan
10

Rp13.961, dan rawat inap Rp93.052. Kebutuhan anggaran operasional tahun 2012
sebesar Rp931.284.510, tahun 2013 sebesar Rp.994.336.191, tahun 2014 sebesar
Rp1.058.041.337, dan tahun 2015 sebesar Rp1.135.083.584. Stakeholder
mendukung usulan anggaran berbasis unit cost. Persamaannya pada dan jenis
penelitian dan variabel unit cost yang diteliti sedangkan perbedaannya pada lokasi
penelitian, waktu dan metoda perhitungan unit cost menggunakan metode step-
down.
2. Junnu (2009), Analisis biaya satuan rawat jalan Puskesmas Salam Kebupaten
Magelang. Tujuan penelitiannya menghitung unit cost, mengukur ATP/WTP
masyarakat dan membandingkan tarif pesaing. Jenis penelitiannya deskriptif
dengan rancangan studi kasus, menggunakan metode double distribution.
Variabel yang diteliti meliputi unit cost, ATP/WTP, jasa pelayanan, tarif pesaing
dan usulan tarif rawat jalan Puskesmas. Hasil penelitian tersebut adalah biaya
satuan pemeriksaan umum Rp6.032. ATP/WTP masyarakat 21,3% bersedia
membayar di atas Rp7.392, dan 78,8% mempunyai kemauan membayar dibawah
Rp7.392/kunjungan. Persamaannya pada jenis penelitian dan variabel unit cost
yang diteliti sedangkan perbedaannya pada lokasi penelitian, waktu dan
metoda perhitungan unit cost menggunakan metode step-down.
3. Tanggung (2008), Analisis Biaya Persatuan Pelayanan di Puskesmas
Aertembaga Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Tujuan penelitiannya
mengetahui besaran unit cost dan subsidi di poli umum, poli gigi dan poli KIA-
KB serta persepsi stakeholder terhadap pembiayaan operasional di Puskesmas.
Jenis penelitiannya deskriptif dengan rancangan studi kasus. Pengolahan data
menggunakan metode Activity Based Costing (ABC) dengan unit analisis
Puskesmas Aertembaga pada poli umum, poli gigi, dan poli KIA-KB. Hasil
penelitiannya adalah biaya per satuan pelayanan poli umum Rp10.257, poli
gigi Rp9.510 dan pelayanan ibu hamil di poli KIA-KB Rp14.103, besaran
subsidi sebesar Rp183.778.651, Rp38.805.680 dan Rp23.418.018.
Persamaannya pada jenis penelitian dan variabel unit cost yang diteliti
sedangkan perbedaannya pada lokasi penelitian, waktu dan metoda
perhitungan unit cost menggunakan metode step-down.
11

4. Akbar (2008), Usulan Penetapan Tarif Rawat Jalan Puskesmas Unit Swadana
Berbasis Biaya Satuan dan Kemampuan Membayar Masyarakat di Puskesmas
Tanjung Ampalu Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Tujuan penelitiannya untuk
mengetahui besaran satuan biaya pelayanan kesehatan rawat jalan di
Puskesmas Tanjung Ampalu, kemampuan bayar masyarakat (Ability To Pay),
usulan tarif dan besaran subsidi pemerintah. Jenis penelitiannya studi kasus
dengan rancangan deskriptif menggunakan metode double distribution, variabel
penelitian meliputi usulan tarif, unit cost, Ability to Pay (ATP), dan tarif pesaing.
Hasil penelitiannya adalah biaya satuan dengan insentif tanpa investasi dan gaji
di poli umum Rp20.027 polilinik KIA-KB rata-rata Rp10.316 dan labor Rp6.327.
Tarif rawat jalan yang diusulkan Rp5.743 dan tarif rata-rata Rp10.535 serta
subsidi pemerintah Rp401.290.017. Persamaannya pada jenis penelitian dan
variabel unit cost yang diteliti sedangkan perbedaannya pada lokasi penelitian,
waktu dan metoda perhitungan unit cost menggunakan metode step-down.
5. Hartono (2006), Analisis Usulan Tarif Puskesmas Rawat Inap Berbasis Unit
Cost di Puskesmas Lintau Buo II Kabupaten Tanah Datar. Tujuan penelitiannya
mengetahui besarnya unit cost rawat jalan dan rawat inap, usulan tarif dan
persepsi stakeholder. Jenis penelitiannya deskriptif dengan rancangan studi kasus
menggunakan metode double distribution, variabel penelitian meliputi usulan
tarif, unit cost, Ability to Pay (ATP), tarif pesaing dan persepsi stakeholder. Hasil
penelitiannya adalah unit cost untuk rawat jalan BP dengan pendekatan direct
cost sebesar Rp3.804 dan dengan pendekatan full cost sebesar Rp14.609. ATP/
Willingnes to Pay (WTP) masyarakat Rp6.155, tarif yang diusulkan sebesar
Rp3.500. Persamaannya pada jenis penelitian dan variabel unit cost yang
diteliti sedangkan perbedaannya pada lokasi penelitian dan metoda
perhitungan unit cost menggunakan metode step-down.

Anda mungkin juga menyukai