Anda di halaman 1dari 45

37

BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Petani Sutera


Petani sutera dikelompokan ke dalam tiga skala usaha berdasarkan luasan
lahan murbei yang dimiliki, yaitu skala usaha I dengan luas lahan 1 ha di Desa
Sukamekar, skala usaha II dengan luas lahan 1,5 ha di Desa Sukamekar,
Sukanagara, dan Desa Sukalaksana, dan skala usaha III dengan luas lahan 2 ha
murbei di Desa Sukamekar. Pengelompokan petani sutera berdasarkan luas lahan
murbei dilakukan karena budidaya ulat sutera sangat tergantung pada ketersediaan
pakan daun murbei. Ulat sutera yang dipelihara per tahunnya berjumlah 12 boks
pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II, 12 boks pada skala usaha III yang
sedang berjalan, dan 24 boks pada skala usaha III dalam skenario pengembangan.
Petani sutera pada tiap skala usaha berada pada usia yang produktif
sehingga kemampuan dalam mengelola usaha menjadi lebih baik yang didukung
pula dengan pengalaman usaha yang cukup lama. Petani skala usaha I berusia 29
tahun dengan pengalaman usaha selama 13 tahun. Tiga orang petani termasuk
dalam skala usaha II yang memiliki usia 48 tahun, 49 tahun, dan 50 tahun.
Kegiatan budidaya ulat sutera telah dilakukan petani ulat sutera selama 13 tahun.
Sedangkan petani sutera skala usaha III berusia 50 tahun dan telah melakukan
budidaya ulat sutera selama 12 tahun.
Tingkat pendidikan pada tiap skala usaha tidak jauh berbeda sehingga
percepatan dalam menerima informasi hampir sama. Semua petani memiliki
totalitas yang hampir sama dalam usaha budidaya ulat sutera meskipun sifat
pekerjaan berbeda. Tingkat pendidikan petani skala usaha I berada pada jenjang
Sekolah Menengah Pertama yang menjadikan usaha budidaya ulat sutera sebagai
pekerjaan utama. Dua orang petani skala usaha II merupakan lulusan Sekolah
Menengah Pertama. Sedangkan satu orang petani merupakan lulusan Sekolah
Dasar. Dua orang petani menjadikan usaha budidaya ulat sutera sebagai pekerjaan
utama. Sedangkan satu orang petani menjadikan kegiatan budidaya ulat sutera ini
sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utamanya sebagai tengkulak kayu dari
tanaman masyarakat.
38

Tabel 6 Karakteristik petani sutera


Karakteristik Skala Usaha
I II III III*
Lokasi (Desa) Sukamekar Sukamekar Sukamekar Sukamekar
Sukanagara
Sukalaksana
Luas Lahan
Murbei (ha) 1 1,5 2 2
Jumlah Ulat
(boks/th) 12 20 12 24
Usia (tahun)
a. 21-30 1 - - -
b. 31-40 - - - -
c. 41-50 - 3 1 1
Tingkat
Pendidikan
a. SD - 1 1 1
b. SMP 1 2 - -
Sifat Pekerjaan
a. Utama 1 2 - -
b. Sampingan - - 1 1
Pelatihan
a. Mengikuti 1 3 1 1
b. Tidak
Mengikuti - - - -
Keterangan: * = skala usaha III dalam skenario pengembangan

6.2 Analisis Aspek Non Finansial


6.2.1 Aspek Pasar
Permintaan kokon berasal dari dari CV Batu Gede. Berdasarkan
kesepakatan tidak tertulis, CV Batu Gede bersedia menampung seluruh hasil
kokon petani sekaligus sebagai pemasok bibit ulat sutera instar III ke pada petani
sutera. Produsen dapat memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki
(Herlianto & Pujiastuti 2009). Adanya kemitraan dengan CV Batu Gede bukan
berarti menutup kemungkinan untuk membuka jalur pemasaran kepada yang lain
bila sudah mampu memenuhi seluruh permintaan dari CV Batu Gede. Permintaan
kokon dari pihak lain dengan harga yang lebih bersaing tidak ditanggapi oleh
petani sutera karena takut mengecewakan pihak CV Batu Gede selaku pemasok
bibit ulat sutera. Sedangkan permintaan stek murbei dari konsumen lain dipenuhi
agar mendapat nilai tambah. Dengan permintaan yang tinggi dan dengan adanya
jaminan pasar kokon, usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan di Kecamatan
Sukanagara Kabupaten Cianjur layak dilaksanakan.
39

Produk yang ditawarkan oleh petani sutera di Kecamatan Sukanagara


berupa kokon. Jumlah produksi kokon baru mencapai 174,5 kilogram per bulan.
Kualitas kokon yang dihasilkan secara umum berada pada kualitas sedang
sehingga harga jual kokon dari CV Batu Gede sebesar Rp 23.000 per kilogram.
Harga bibit ulat sutera per kilogramnya mencapai Rp 130.000. Secara visual,
kokon berkualitas sedang atau kelas B merupakan kokon dengan berat berkisar
1,5 gram hingga 1,9 gram, persentase cacat kokon mencapai 1,1 persen hingga 4
persen, dan persentase kulit kokon mencapai 20 persen hingga 24,9 persen.

Tabel 7 Kelas kualitas kokon secara visual


Kriteria Kelas Kualitas
A B C D
berat (gram) 2 1,5 1,9 1 1,4 0,9
cacat (%) 1 1,1 4 4,1 8 9
kulit kokon 25 20 24,9 15 19,9 14,9
Sumber: Santoso (1997) dalam Atmosoedarjo (2000)

Terdapat tiga kelompok dalam memenangkan persaingan pasar, yaitu


keunggulan operasional (operational excellence), kepemimpinan produk (product
leadership), dan keakraban dengan pelanggan (customer intimacy) (Treacy &
Wiersema 1995) dalam Tjiptono (2008). Petani budidaya ulat sutera memiliki
konsumen/pelanggan tetap dan produk yang dihasilkan bukan bersifat operasional
sehingga petani sutera dapat memilih perluasan pangsa pasar dengan cara
mengembangkan dan menginovasi produk yang dihasilkan. Strategi ini tepat
ditujukan pada pelanggan yang mengutamakan keunikan produk. Untuk
meningkatkan profitabilitas, produk yang dijual bukan hanya berupa kokon
namun dapat berupa benang dan kerajinan tangan yang dibuat dari kokon yang
tidak layak jual. Dana operasional akan meningkat dengan adanya pengadaan
benang. Untuk meminimalkan dana tersebut, pengadaan benang dapat dilakukan
secara berkelompok.
40

6.2.2 Aspek Pemasaran


Produk merupakan suatu nilai yang didapat oleh konsumen sebagai pelaku
pengambil keputusan pembelian. Dalam hal ini, kokon merupakan produk yang
diperjualbeliakan antara petani sutera dan CV Batu Gede. Harga jual kokon
ditetapkan sebesar Rp 23.000 merupakan harga standar yang sesuai untuk kokon
berkualitas B (sedang) meskipun kualitas kokon yang dihasilkan oleh petani
sutera bervariasi. Penetapan harga jual kokon ini dilakukan agar mempermudah
proses transaksi penjualan.
Harga jual kokon sebesar Rp 23.000 memiliki keuntungan dan kerugian
baik pada pihak CV Batu Gede maupun pada petani sutera. Keuntungan
penetapan harga jual kokon sebesar Rp 23.000 bagi CV Batu Gede selain
mempermudah transaksi penjualan, yaitu mempersingkat waktu penjualan
sehingga kokon kering yang telah dibeli dapat langsung dibawa ke tempat
pemintalan CV Batu Gede di Kecamatan Ciapus, Bogor. Kerugian yang dialami
CV Batu Gede, yaitu kemungkinan kokon berkualitas C dan D banyak diperoleh
dan petani tidak termotivasi menghasilkan kokon berkualitas baik. Keuntungan
penetapan harga ini bagi petani sutera, yaitu kepastian harga yang menguntungkan
pada saat kualitas kokon yang dihasilkan berada pada kualitas C dan D.
Sedangkan kerugiaan yang diterima oleh petani sutera, yaitu tidak mendapat harga
kokon yang sesuai pada saat kualitas harga kokon yang dihasilkan mencapai kelas
(grade) A.
Untuk meningkatkan nilai tambah, stek murbei dijual ke konsumen yang
membutuhkan. Selain kokon, kepompong ulat sutera dan buah murbei (mulberry)
dicari oleh konsumen lain namun tidak ditanggapi oleh petani sutera meskipun
dapat menambah peningkatkan pendapatan dari budidaya ulat sutera. Untuk
meningkatkan nilai tambah budidaya murbei, petani sutera dapat mengusahakan
pembuatan teh murbei yang dijadikan minuman antioksidan atau mengolah
limbah ulat sutera menjadi pupuk organik.
Kegiatan promosi untuk meningkatkan penjualan tidak dilakukan oleh
petani karena telah mendapat jaminan pasar internal. Oleh karena itu, biaya
promosi tidak dikeluarkan oleh petani sutera. Konsumen lain mengetahui adanya
kegiatan budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dari mulut ke mulut
41

(word of mouth) melalui jejaring petani. Pemasaran kokon dilakukan secara


langsung oleh petani sutera ke pihak CV Batu Gede sehingga hanya memerlukan
biaya distribusi kokon.

6.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi


6.2.3.1 Lokasi Usaha
Penempatan lokasi usaha berpengaruh terhadap biaya operasional dan
biaya investasi sehingga perlu dilakukan sebaik mungkin dengan
mempertimbangkan berbagai faktor (Suliyanto 2010). Lokasi pemeliharaan ulat
secara umum berdekatan dengan tempat tinggal sehingga memudahkan
pemeliharaan dan pengawasan. Rumah ulat petani skala usaha I berjarak 30
meter dari tempat tinggal. Jarak rumah ulat skala usaha II dari tempat tinggal
bervariasi antara 30 meter hingga 150 meter. Sedangkan jarak rumah ulat skala
usaha III dari tempat tinggal, yaitu 50 meter. Selain memudahkan pemeliharaan
ulat dan pengawasan, pemilihan lokasi pemeliharaan ulat sutera berdasarkan
pada letak kebun murbei, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan sumber air
dan energi, serta fasilitas transportasi.
Letak kebun murbei dengan rumah ulat secara umum berdekatan, yaitu
di sekitar rumah ulat hingga berjarak sekitar 300 meter. Kebun murbei dibuat
dalam bentuk petak-petak atau gawang. Satu gawang memiliki luas sekitar 0.2
hektar hingga 0,3 hektar tergantung luasan lahan yang tersedia. Gawang yang
satu dan lainnya sekitar 30 meter hingga 250 meter. Jarak ini tergantung dengan
luasan lahan yang tersedia sehingga tidak dapat dikumpulkan menjadi satu.
Namun demikian, pada skala usaha II ada petani yang lokasi lahan murbeinya
berjarak sekitar 250 meter hingga 1,3 kilometer dari rumah ulat. Hal ini
mengakibatkan biaya operasional yang lebih besar dari pada petani sutera
lainnya. Ahdiat (2007) menyatakan jarak kebun murbei yang berjauhan dengan
rumah ulat mengakibatkan daun murbei sedikit layu sehingga kurang baik untuk
perkembangan ulat sutera.
Tenaga kerja di sekitar tempat pemeliharaan ulat sutera tersedia cukup
banyak. Pekerjaan pemeliharaan kebun murbei dan ulat sutera dilakukan sendiri
beserta keluarga maupun mengupah orang lain. Tenaga kerja dibutuhkan pada
42

saat pembuatan kebun murbei, pemangkasan, pengendalian gulma, pemanenan


murbei, pengangkutan, pemberian pakan, pengendalian hama ulat, pemeliharaan
kandang penjemuran, dan pemanenan kokon. Tenaga kerja diperoleh dari
masyarakat yang memiliki latar belakang sebagai petani teh maupun petani
hortikultura. Tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja
tidak tetap. Tenaga kerja tetap diperluan dari pemeliharan kebun murbei hingga
pemeliharaan ulat. Sedangkan tenaga kerja tidak tetap diperlukan pada saat
pembuatan kebun murbei dan pemanenan kokon. Jumlah tenaga kerja borongan
disesuaikan dengan luasan kebun murbei yang dibuat dan produksi kokon yang
dihasilkan.
Lokasi pemeliharaan ulat sutera dan lahan murbei berada pada tempat
yang datar hingga landai. Ketersediaan air diperoleh dari aliran anak sungai
yang berada di sekitarnnya sehingga mempermudah pemeliharaan ulat sutera
maupun murbei. Energi listrik yang digunakan sebagai penerangan rumah di
malam hari diperoleh dari PLN. Penggunaan energi dilakukan oleh seorang
petani pada skala usaha II dan petani skala usaha III.
Kecamatan Sukanagara dilalui oleh jalur kabupaten beraspal sehingga
mobilitas kendaraan hampir terjadi di setiap waktu. Banyaknya kendaraan
mempermudah penjualan kokon ke Kecamatan Cibeber. Penjualan kokon di
Kecamatan Cibeber dilakukan untuk meminimalkan pengeluaran biaya
operasional antara petani sutera dan CV Batu Gede. Waktu tempuh dari
Kecamatan Sukanagara ke Kecamatan Cibeber, yaitu sekitar 1 jam 45 menit
perjalanan atau 3 jam 30 menit per rit/perjalanan pergi pulang. Sedangkan waktu
tempuh dari Bogor ke Kecamatan Cibeber ditempuh selama 2 jam 45 menit.
6.2.3.2 Skala Produksi
Jumlah produk yang diproduksi oleh perusahaan dalam periode tertentu
harus direncanakan dengan matang agar keuntungan dapat dioptimalkan
(Suliyanto 2010). Jumlah ulat sutera yang dipelihara per tahun pada ketiga skala
usaha, yaitu 12 boks pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II dan 12 boks
pada skala usaha III. Skala usaha I memelihara 1 boks ulat dalam satu periode
pemeliharaan. Skala usaha I memiliki satu hektar lahan murbei yang seharusnya
dapat memenuhi kebutuhan pakan 1 boks ulat sutera. Karena pemeliharaan
43

murbei yang kurang maksimal, skala usaha I membeli daun murbei ke petani
lain (skala usaha III) untuk memenuhi kebutuhan pakan ulat sutera sehingga
diperlukan biaya pembelian murbei yang dapat menambah biaya operasional.
Skala usaha II memiliki lahan murbei seluas 1,5 hektar. Satu orang
petani skala usaha II hanya memelihara 1 boks ulat per periode pemeliharaan.
Sedangkan dua petani lainnya memelihara 2 boks ulat per periode pemeliharaan.
Pemeliharaan murbei yang kurang optimal mengharuskan petani yang
memelihara 2 boks ulat membeli daun murbei ke petani lainnya. Hal ini
membuat petani mengeluarkan biaya operasional yang lebih. Petani membeli
daun murbei ke petani sutera yang sudah tidak lagi memelihara ulat sutera
karena terlanjur mengubah sebagian lahan murbei menjadi lahan pertanian
lainnya dan rumah ulat sutera sudah dibongkar.
Skala usaha III hanya memelihara ulat 1 boks per periode pemeliharaan.
Padahal skala usaha III memiliki lahan murbei seluas 2 hektar. Dua hektar
murbei dengan pemeliharaan yang cukup dapat memenuhi pakan 2 boks hingga
3 boks ulat sutera. Jika pemeliharaan murbei dilakukan secara maksimal maka
petani sutera dapat memelihara 4 boks per periode pemeliharaan. Biaya
pemeliharaan kebun murbei berdasarkan luasannya bukan pada jumlah ulat
sutera yang dipelihara. Oleh karena itu, petani skala usaha III perlu melakukan
penambahan ulat sutera yang dipelihara menjadi 2 boks hingga 3 boks. Selain
itu, rumah ulat yang dibuat dapat memelihara ulat sutera maksimal 3 boks per
periode pemeliharaan.
6.2.3.3 Budidaya Murbei
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan, pengolahan
tanah, dan pemupukan. Pembersihan lahan dilakukan secara manual, yaitu
dengan melakukan pembabatan semak, ilalang, dan penebangan pohon yang
dapat mengganggu perkembangan murbei. Semak, ilalang, dan ranting pohon
dikumpulkan dan dibakar sedangkan kayu pohon dimanfaatkan sebagai kayu
bakar maupun keperluan lainnya. Kemudian dilakukan pengolahan tanah
dengan cara pencangkulan.
44

Ahdiat (2007) menyatakan jarak tanam murbei pada penanaman


monokultur yaitu 100 cm x 50 cm dan jarak tanam murbei untuk penanaman
secara tumpang sari yaitu 150 cm x 50 cm. Petani sutera menanam murbei
dalam larikan yang membujur dari utara ke selatan. Ini dimaksudkan agar
penyinaran matahari lebih merata ke seluruh tanaman murbei. Larikan dibuat
lebih tinggi dari sekitarnya agar tanaman mendapat asupan oksigen yang cukup.
Jarak antara barisan satu dengan barisan lainnya, yaitu 120 sentimeter. Di dalam
satu barisan, terdapat rorak atau lubang tanam yang dalamnya 50 sentimeter.
Jarak antara rorak yang satu dengan rorak lainnya sekitar 40 sentimeter. Dalam
satu petak atau gawang, tanaman murbei dibagi per blok tanaman untuk
mempermudah pemanenan. Pada saat pemanenan, daun murbei ditumpuk di
antara blok satu dengan lainnya. Jarak antara satu tumpukan dengan tumpukan
lainnya, yaitu sekitar 4 hingga 5 meter. Hasil panenan daun murbei dimasukkan
ke dalam karung untuk dibawa ke rumah ulat sutera. Tanaman hortikultura yang
ditumpangsarikan dengan tanaman murbei ditanam di antara larikan sehingga
tidak terlalu mengganggu tanaman murbei.

Keterangan: tanaman murbei


tanaman hortikultura
Gambar 3 Layout lahan murbei.
45

Dua minggu kemudian dilakukan pemupukan berupa pupuk kandang dan


pupuk kimia yang disertai dengan pengadukan dengan lapisan top soil, ditimbun
dengan lapisan sub soil dan diberi tanda ajir. Pemberian tanda ajir hanya
dilakukan pada rorak di tepi lahan penanaman. Sedangkan penanaman pada
rorak di tengah lahan mengikuti jalur ajir yang berada di tepi lahan. Pupuk dasar
yang digunakan pada skala usaha I, yaitu 1.000 kilogram pupuk kandang, 50
kilogram KCl, 50 kilogram SP, dan 75 kilogram pupuk urea. Skala usaha II
menggunakan pupuk dasar berupa 527,8 kilogram pupuk kandang; 52,9
kilogram KCl; 36,3 kilogram SP; 43,1 kilogram urea, dan 50 gram pupuk NPK.
Sedangkan skala usaha III menggunakan pupuk dasar berupa 250 kilogram
pupuk kandang, 50 kilogram urea, 50 kilogram NPK, dan 100 kilogram pupuk
ZA.
Dua minggu kemudian dilakukan penanaman stek murbei dengan
panjang 25 sentimeter dengan diameter 1 sentimeter hingga 1,5 sentimeter.
Jenis tanaman murbei yang ditanam oleh skala usaha I, yaitu Morus alba, Morus
multicaulis, dan Morus cathayana. Skala usaha II menanam jenis murbei Morus
alba, Morus multicaulis, Morus cathayana, dan Morus nigra. Sedangkan skala
usaha III menanam jenis murbei Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus
cathayana.
Pemeliharaan yang dilakukan setiap tahunnya berupa penyiangan,
penyulaman, pemangkasan, dan pemupukan. Pada tahun pertama dilakukan
pendangiran untuk menjaga asupan oksigen di dalam tanah. Penyiangan
dilakukan untuk membuang gulma tanaman sehingga tidak terjadi persaingan
unsur hara di dalam tanah. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman
yang mati atau yang terserang hama dan penyakit agar tidak menular ke
tanaman yang sehat. Pemangkasan berguna untuk membentuk tajuk maupun
menghilangkan bagian tanaman yang terkena hama maupun penyakit.
Pemupukan tiap tahunnya dilakukan untuk memberikan asupan hara pada
tanaman murbei maupun tanaman hortikultura.
46

Penyakit yang menyerang murbei, yaitu penyakit tepung, karat, bintik


daun, dan bercak daun. Murbei yang terkena penyakit tepung ditandai dengan
adanya bintik-bintik berwarna putih yang kemudian menjadi bercak-bercak
kuning, dan menghitam. Kandungan gizi dan air pada daun murbei berkurang.
Tanaman murbei dipupuk dengan pupuk organik atau dilakukan fungisida.
Penyakit karat yang menyerang murbei ditandai dengan adanya bercak kuning
pada kuncup atau tunas muda. Kuncup murbei yang terserang dibuang sebelum
musim hujan. Selain itu, jarak tanaman tidak boleh terlalu rapat. Permukaan
murbei yang terkena bintik daun menjadi hitam dan kotor seperti terkena jelaga.
Daun yang terserang penyakit ini dibuang. Pemupukan dengan pupuk organik
perlu dilakukan agar pertumbuhan murbei tetap baik. Bintik-bintik penyakit
ditemukan di kedua sisi daun yang berwarna coklat gelap. Selain menjaga aerasi
dan drainase, penyemprotan fungisida dapat dilakukan untuk menanggulangi
penyakit ini.
Hama yang menyerang tanaman murbei petani yakni kutu daun dan
penggerek batang. Gejala tanaman murbei terserang kutu daun yaitu timbulnya
bercak-bercak hitam di daun muda, daun mengkerut, dan ruas pada daun
menjadi pendek. Pangkas ulang tanaman murbei, penyiangan rumput, dan
insektisida harus dilakukan untuk menanggulangi serangan hama ini. Gejala
murbei yang terserang hama penggerek batang yakni murbei melemah
kemudian mati. Tanaman murbei harus dipotong dan dibakar. Skala usaha II
menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma tanaman. Sedangkan Skala
usaha III menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama dan penyakit
tanaman.

Gambar 4 Tanaman murbei yang terkena hama dan penyakit.


47

6.2.3.4 Budidaya Ulat Sutera


Desain layout sebaiknya mempertimbangkan efisiensi biaya, efektivitas
ruangan, keselamatan kerja, dan keindahan (Suliyanto 2010). Pemeliharaan ulat
sutera kecil instar III dan ulat sutera besar instar IV dan V dilakukan di rumah
ulat sutera yang terbuat dari dinding bambu, tiang kayu atau bambu, dan
beratapkan genteng atau asbes. Luas rumah ulat sutera tiap skala usaha, yaitu 45
m2 pada skala usaha I; 104,7 m2 pada skala usaha II, dan 98 m2 pada skala usaha
III. Rumah ulat sutera merupakan tempat pemeliharaan ulat yang di dalamnya
terdapat rak pemeliharaan ulat, tempat penyimpanan daun murbei, dan gudang.
Tata letak dilakukan sedemikian rupa agar mempermudah pergerakan di dalam
rumah ulat. Rumah ulat secara umum dibuat memanjang ke arah utara-selatan.
Hal ini dimaksudkan agar penyinaran matahari lebih merata. Menurut Ahdiat
(2007), tempat penyimpanan daun murbei harus dipisah dari ruang
pemeliharaan/penyimpanan peralatan pengokonan. Selain itu, daun murbei
disusun berdiri dan tidak terlalu rapat serta ditutup dengan kain basah (blacu).
Hal ini tidak dilakukan oleh petani sutera. Daun murbei menjadi sedikit layu dan
kurang baik jika dikonsumsi oleh ulat sutera.
Ventilasi atau lubang udara dibuat di dinding rumah ulat maupun di
bagian atas dinding depan atau belakang rumah ulat. Jumlah dan besar kecilnya
ventilasi berbeda pada tiap skala usaha tergantung pada keinginan petani saat
pembuatan rumah ulat. Peredaran udara di ruangan menjadi lebih lancar dengan
adanya ventilasi ini. Ventilasi dibuat dengan memasang potongan bambu yang
disusun vertikal. Antara potongan bambu yang satu dan lainnya berjarak 1
hingga 2 sentimeter. Ventilasi udara ditutupi oleh karung atau plastik mulsa
yang dipasang di bagian atas ventilasi seperti yang dilakukan oleh petani skala
usaha II dan skala usaha III. Salah satu petani skala usaha II menutupi ventilasi
di bagian atas dinding belakang dengan bekas spanduk yang diperoleh dari
masyarakat sekitar. Penutupan ventilasi berguna agar ulat tidak terkena udara
langsung pada saat malam hari yang dingin. Petani skala usaha I tidak
melakukan penutupan pada ventilasi untuk menekan biaya operasional.
48

Gudang memiliki fungsi untuk meletakkan peralatan pemeliharaan


budidaya murbei dan peralatan pemeliharaan ulat sutera, di antaranya seriframe,
hand sprayer, cangkul, sabit, golok, gaet, pisau rajang, tempat rajang, alat pikul,
nanpan, gintiran, stik bambu, sapu lantai, dan lain sebagainya. Gunang berada di
dalam rumah ulat bertujuan untuk mempermudah pengambilan peralatan jika
dibutuhkan. Sebagian petani meletakkan beberapa peralatan di rumah agar lebih
aman.

Gudang
Rak ulat

Rak ulat

Rak ulat U

Keterangan: tanpa sekat


ventilasi udara
Gambar 5 Layout rumah ulat sutera.

Rak ulat digunakan untuk tempat ulat pada saat pemeliharaan. Jumlah
rak yang ada di dalam rumah ulat berkisar antara 2 hingga 3 rak. Satu rak terdiri
dari 2 hingga 3 lantai. Jumlah rak tergantung pada jumlah ulat yang dipelihara.
Rak yang tidak berisi ulat dijadikan tempat untuk meletakkan daun murbei.
Daun murbei diletakkan berdekatan dengan ulat agar mudah dalam pemberian
pakan sehingga dapat mengefisienkan waktu. Selain itu, rak juga digunakan
untuk meletakkan peralatan budidaya murbei dan ulat sutera sehingga tidak
memerlukan adanya gudang, seperti yang dilakukan oleh petani sutera skala
usaha I dan satu orang petani skala usaha II yang hanya memelihara 1 boks ulat
sutera per periode pemeliharaan.
49

Ahdiat (2007) menyatakan bahwa pemberian pakan ulat dilakukan empat


kali dalam sehari agar pertumbuhan ulat menjadi lebih optimal yakni pada pagi
hari, siang, sore dan malam hari. Petani sutera member makan ulat sebanyak 3
kali dalam sehari, yaitu pada pukul 06.00 WIB, 12.00 WIB, dan pada pukul
17.30 WIB. Pemberian kapur dilakukan setiap hari agar ulat terhindar dari
berbagai penyakit yang berasal dari kotoran dan tangkai murbei. Desinfeksi ulat
sutera menurut Ahdiat (2007) sebaiknya menggunakan campuran kapur dan
kaporit dengan perbandingan 9 : 1. Jumlah desinfektan untuk ulat besar yaitu
sekitar 50 gr hingga 60 gr per meter persegi. Pemindahan sebagian ulat
dilakukan secara langsung maupun menggunakan nanpan untuk menjaga ruang
gerak ulat sutera yang semakin hari bertambah besar.

Gambar 6 Ulat sutera yang terkena penyakit.

Penyakit yang sering menyerang ulat sutera petani, yaitu grasserie


(NPV), Infectious Flacherie (FV), Aspergillus, Muscardine, pebrin, bakteri, dan
keracunan obat-obat pertanian. Gejala NPV pada ulat, yaitu kulit ulat
membengkak, ulat membentuk kokon yang lembek dan kemudian mati, dan ulat
mati menjadi lembek dan hitam. Gejala ulat yang terkena FV, yaitu nafsu makan
berkurang, waktu ganti kulit tidak seragam, dan ulat muntah dan diare. Gejala
penyakit Aspergillus, yaitu nafsu makan berkurang, mengeluarkan pencernaan
sebelum mati, bangkai larva berwarna kuning atau coklat, dan muncul mycelia
pada permukaan ulat yang mati. Gejala penyakit Muscardine, yaitu larva
mengeras dan tidak membusuk, kotoran lunak, dan terdapat bintik-bintik besar
di permukaan kulit ulat yang masih hidup. Gejala pebrin, yaitu nafsu makan
berkurang, warna larva gelap, bintik-bintik coklat kehitaman, larva dewasa
berputar-putar tanpa membuat kokon, dan tubuh larva mengkerut,
pertumbuhannya terhambat dan kemudian mati. Gejala ulat yang terkena
50

bakteri, yaitu ulat menjadi lemah, metabolism turun, tubuh tidak elastic dan
lunak, diare, dan ulat yang mati membusuk berwarna hitam dan mengeluarkan
cairan berbau busuk. Sedangkan ulat yang terkena obat-obatan pertanian
menunjukkan gejala berupa mengeluarkan cairan getah lambung, kaku, dan
sering menggerakkan kepala. Salah satu petani pada skala usaha II membeli
daun murbei ke petani yang menanam murbei berdekatan dengan tanaman
bakau.
Penanggulangan terhadap penyakit yang menyerang ulat sutera menurut
Ahdiat (2007) dan Atmosoedarjo et al. (2000), yaitu desinfeksi ruangan dan
peralatan pemeliharaan ulat menggunakan larutan kaporit atau formalin sebelum
pemeliharaan, larva yang sakit harus dipisahkan dengan ulat yang sehat,
memisahkan larva yang terlambat ganti kulit, tidak menggunakan daun yang
menguning, layu, dan basah sebagai pakan ulat, tempat pembuangan kotoran
ulat harus berjauhan dengan rumah ulat, pemeliharaan ulat tidak terlalu padat,
dan tidak menanam murbei berdekatan dengan tembakau. Kebersihan rak
pemeliharaan ulat dari kotoran ulat dan sisa makanan ulat berupa ranting murbei
kurang terjaga sehingga menjadi sumber penyakit dan menghambat
pertumbuhan ulat. Ahdiat (2007) menyatakan pembersihan kotoran ulat instar
IV dilakukan pada hari ke dua pemeliharaan dan setelah tidur. Sedangkan
pembersihan kotoran ulat instar V dilakukan setiap dua hari sekali atau setiap
hari tergantung kondisi kotoran dan sisa makanannya.
Cara pembersihan kotoran ulat menurut Ahdiat (2007), yaitu:
1. Cabang daun murbei diletakkan di atas 2 tali yang dipasang secara
memanjang. Kemudian cabang murbei digulung setelah ulat naik ke cabang
dan sisihkan dari tempat tersebut.
2. Sisa makanan dan kotoran ulat dibuang. Kemudian, gulungan ulat diletakkan
kembali dengan memperluas tempat.
Penjemuran kokon di bawah terik matahari dilakukan sebelum
pemanenan. Hal ini bertujuan agar kokon menjadi kering dan mempermudah
pemanenan. Kokon dikeluarkan dari seriframe menggunakan stik bambu.
Serabut kokon atau floss dihilangkan dengan cara manual menggunakan tangan.
Salah satu petani sutera pada skala usaha II menghilangkan floss dengan
51

menggunakan gintiran yang dibuat sendiri sehingga pekerjaan menjadi lebih


mudah dan lebih cepat. Setelah itu, kokon diletakkan di atas rak pemeliharaan
ulat yang telah dibersihkan dengan diberi alas karung. Kokon siap untuk dijual.
Pengemasan kokon dilakukan untuk mempermudah pengangkutan ke tempat
penjualan, Kecamatan Cibeber. Kokon dimasukkan ke dalam karung berukuran
besar yang diikat ujungnya agar kokon tidak berhamburan. Pengangkutan kokon
dilakukan dengan menyewa angkutan umum.
6.2.3.5 Peralatan dan Teknologi
Secara umum, peralatan dan teknologi yang digunakan masih sederhana.
Untuk membawa hasil panen murbei ke rumah ulat dilakukan dengan pemikulan
dengan atau tanpa alat pikul. Salah satu petani skala usaha II menggunakan alat
pikul untuk mempermudah pekerjaan. Petani lainnya baik pada skala usaha II
maupun skala usaha I dan III mengangkut murbei menggunakan kendaraan
bermotor atau dipikul tanpa menggunakan alat pikul tergantung jauh dekatnya
letak lahan murbei. Tempat perajang daun murbei yang didesain sendiri
digunakan oleh salah satu petani skala usaha II sehingga pekerjaan dapat
dilakukan lebih cepat dan lebih baik hasilnya jika dibandingkan dengan cara
manual. Petani skala usaha II lainnya maupun petani skala usaha I dan III
melakukan perajangan daun murbei tanpa menggunakan alat.
Pemanenan kokon pada setiap skala usaha dilakukan secara manual
dengan menggunakan stik bambu untuk mengeluarkan kokon dari seriframe
tanpa menggunakan peralatan khusus. Petani menghilangkan serabut luar dari
kokon (floss atau kebatori) hanya dengan tangan tanpa menggunakan mesin
pembersih serabut kokon (floss removal). Salah satu petani skala usaha II
menggunakan gintiran untuk menghilangkan floss sehingga mempermudah
pekerjaan, lebih cepat diselesaikan, dan lebih banyak menghasilkan kokon tanpa
floss.
Petani ulat sutera di Kecamatan Sukanagara mendapatkan hibah satu
mesin reeling semi otomatis dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. Namun
mesin ini tidak digunakan petani karena kapasitas listrik tidak cukup untuk
mengoperasikannya. Untuk menggerakkannya membutuhkan listik minimal 900
Watt. Sedangkan petani hanya menggunakan listrik berkapasitas 450 Watt.
52

6.2.4 Aspek Manajemen


6.2.4.1 Fungsi Perencanaan
Perencanaan mengenai penanaman murbei, pemeliharaan murbei,
pemanenan dan pengangkutan murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemanenan
ulat sutera dilakukan oleh petani dengan bekal penyuluhan dan pelatihan yang
diperoleh sebelum maupun selama menjalankan usaha budidaya ulat sutera.
Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dan Kementrian Kehutanan RI bagian
Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam melakukan perencanaan
mengenai pengembangan persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara dengan
cara memberikan bantuan dana maupun peralatan kepada petani sutera dan
bekerjasama dengan dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon.
Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan
Alam dan CV Batu Gede bekerjasama dalam meningkatkan produktivitas dan
mutu kokon dengan melakukan penelitian-penelitian.
Perencanaan mengenai cara pembelian bibit ulat sutera, harga bibit ulat
sutera, waktu pemeliharaan, dan waktu distribusi atau penjualan kokon
dilakukan oleh pihak CV Batu Gede. Perencanaan ini dilakukan berdasarkan
waktu pengiriman telur ulat sutera dari PSA Soppeng di Sulawesi Selatan
maupun dari PPUS Candiroto di Jawa Tengah, biaya pembelian telur ulat, biaya
pengiriman telur, dan ketersediaan pakan ulat kecil milik CV Batu Gede.
Sedangkan penentuan harga jual kokon merupakan kesepakatan antara CV Batu
Gede dengan petani sutera.
6.2.4.2 Fungsi Pengorganisasian
Pengorganisasian bersifat informal dilakukan oleh ketua umum
kelompok tani. Ketua umum kelompok tani bertindak sebagai pemimpin yang
menampung aspirasi anggota, menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan
pembudidayaan ulat sutera, mengarahkan, mengkoordinir bila ada bantuan dana
maupun peralatan budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera dari pihak-
pihak tertentu. Ketua umum kelompok berhubungan langsung dengan pihak CV
Batu Gede terkait dengan pemeliharaan ulat sutera dan lainnya. Garis koordinasi
dari ketua umum kelompok tani langsung ke ketua kelompok di tiga desa yang
53

berbeda, yaitu kelompok I di Desa Sukamekar, kelompok II di Desa


Sukanagara, dan kelompok III di Desa Sukalaksana.
6.2.4.3 Fungsi Pelaksaan
Ketua umum kelompok tani memiliki fungsi menggerakkan
bawahannya, bersikap dan berperilaku sesuai dengan yang diperlukan. Ketua
kelompok tani di tiap desa mengkoordinasikan setiap informasi yang diterima
dari ketua umum kelompok tani dan menyampaikan inspirasi anggota ke ketua
umum kelompok tani. Keputusan mengenai perencanaan kegiatan pemeliharaan
murbei dan ulat sutera sepenuhnya berada di tangan anggota. Ketua umum
kelompok tani dan ketua kelompok tani hanya memberikan saran dan arahan
agar kegiatan persuteraan alam berjalan dengan lancar.
6.2.4.4 Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian dipegang oleh ketua umum kelompok tani dan
ketua kelompok tani di setiap desa. Kepala desa dan pemerintah Kecamatan
Sukanagara tidak terlibat dalam fungsi pengendalian. Ketua umum kelompok
tani melakukan peninjauan langsung ke lokasi pembudidayaan ulat sutera untuk
mengetahui pelaksanaan pembudidayaan yang sedang dilakukan yang
berkoordinasi dengan ketua kelompok tani. Berdasarkan pengamatan terhadap
pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial tersebut, dapat dikatakan bahwa dilihat
aspek manajerial, usaha pembudidayaan ulat sutera ini layak dijalankan.

Ketua Umum Kelompok Tani

Ketua Ketua Ketua


Kelompok Tani I Kelompok Tani II Kelompok Tani III

Anggota Anggota Anggota

Keterangan: komunikasi informal


Gambar 7 Struktur kelompok tani sutera di Kecamatan Sukanagara.
54

6.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia


Sebagian besar petani mengetahui secara teknik budidaya tanaman dan
peternakan secara umum. Adapun untuk detil yang disesuaikan dengan tanaman
murbei dan pemeliharaan ulat, para petani diberikan tambahan pengetahuan
melalui penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan maupun pelatihan yang didapat
oleh petani sutera berasal dari CV Batu Gede, Politeknik Vedca, Dinas Kehutanan
Kabupaten Cianjur, Dinas Koperasi Kabupaten Cianjur, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Cianjur, Dinas Kehutanan Jawa Barat, Dinas Koperasi
Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Kementrian
Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam, dan
Kementrian Perindustrian dan Perdagangan RI. Biaya pelatihan dan penyuluhan
tidak ditanggung oleh petani sutera sehingga dalam analisis kelayakan finansial
tidak diperhitungkan.
Tingkat pendidikan petani sutera berada pada jenjang Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama. Petani sutera cukup terbuka mengenai informasi-
informasi mengenai pembudidayaan ulat sutera. Berdasarkan pengamatan,
beberapa petani sutera maupun petani lainnya memiliki mental yang kurang ulet
dan cepat putus asa atau cenderung pasrah dengan kondisi yang ada. Hal ini
menjadi penghalang majunya persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara.
Petani sutera kehilangan pasar kokon pada tahun 2003 dengan tidak
beroperasinya lagi PT Indo Jado Sutera Pratama. Hal ini membuat sebagian besar
petani mengganti tanaman murbei dengan tanaman hortikultura yang lebih jelas
keuntungannya. Namun sebagian petani sutera tetap mempertahankan dan
menjalankan usaha ini. Pasar internal baru diperoleh dengan adanya CV Batu
Gede yang menggantikan peranan PT Indo Jado Sutera Pratama sebagai pemasok
bibit ulat sutera dan pembeli kokon. Berdasarkan aspek sumber daya manusia,
usaha budidaya ulat sutera layak dilaksanakan meskipun terdapat beberapa
kekurangan.
55

6.2.6 Aspek Sosial


Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Sukanagara berprofesi sebagai
petani teh maupun petani hortikultura. Kegiatan budidaya ulat sutera sepenuhnya
didukung oleh masyarakat namun dengan memperhatikan limbah ulat sehingga
tidak mengganggu kenyamanan masyarakat. Selain itu, pembudidayaan ulat sutera
ini tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat dan tidak bertentangan dengan
kebudayaan setempat. Usaha ini membuka kesempatan kerja bagi masyarakat
sekitar sehingga dapat menambah pendapatan. Berdasarkan aspek sosial, kegiatan
usaha ini layak untuk dilakukan.

6.2.7 Aspek Yuridis


Usaha budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dilakukan
perseorangan. Usaha ini belum memiliki izin resmi dari pemerintah setempat. Hal
ini dikarenakan usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil. Meskipun belum
memiliki izin resmi, pemerintah setempat memperbolehkan usaha ini karena tidak
mengganggu kehidupan masyarakat dan tidak berdampak buruk pada lingkungan
sehingga usaha ini layak diusahakan. Kegiatan budidaya ulat sutera ini boleh
diusahakan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 664/Kpts-II/2002
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Persuteraan Alam, Peraturan bersama
Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Koperasi dan
UKM Nomor P.47/Menhut-II/2006, Nomor 29/M-Ind/Per/6/2006, dan Nomor
7/Per/M.KUKM/VI/2006 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persuteraan
Alam Nasional dengan Pendekatan Klaster, serta Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

6.2.8 Aspek Lingkungan Hidup


Berdasarkan observasi, kegiatan budidaya ulat sutera yang dijalankan tidak
menghasilkan limbah yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan
lingkungan. Lahan murbei dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian
sehingga potensi lahan dapat dimaksimalkan, keanekaragaman tanaman cukup
terjaga, dan menambah pendapatan petani. Selain itu, limbah dari kotoran ulat
sutera bisa diolah menjadi pupuk organik yang dapat meningkatkan kandungan
56

nutrisi tanah dan juga dapat mengurangi biaya pembelian pupuk kandang untuk
menyuburkan tanaman murbei.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan
sendimentasi di lahan murbei sehingga diketahui dampak lebih lanjut terhadap
lingkungan mengingat sebagian besar lahan murbei berada pada kemiringan
landai. Berdasarkan aspek lingkungan, budidaya ulat sutera layak diusahakan
karena tidak bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meskipun
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi.

6.3 Analisis Aspek Finansial


Teknik penilaian investasi usaha menggunakan pendiskontoan aliran kas
bersih (discounted net cash flow) dinilai sebagai teknik penilaian terbaik karena
memperhitungkan time value of money dan menetapkan jumlah perolehan kembali
seluruh investasi (Halim 2009). Perhitungan manfaat dan biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam budidaya ulat sutera perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum
melakukan analisis kelayakan usaha. Analisis kelayakan usaha dilakukan pada
tiga skala usaha yang pembagiannya didasarkan pada luasan kebun murbei petani,
yaitu skala usaha I (1 ha), skala usaha II (1,5 ha), dan skala usaha III (2 ha).
Analisis finansial ini juga terdiri dari analisis finansial pada usaha yang sedang
berjalan dan analisis finansial pada skenario pengembangan usaha.

6.3.1 Analisis Aspek Finansial pada Usaha yang Sedang Berjalan


6.3.1.1 Arus Penerimaan
Arus penerimaan pada usaha budidaya ulat sutera meliputi, penjualan
kokon, penjualan stek murbei, dan penjualan daun murbei. Volume penjualan
kokon diasumsikan tetap per tahun pada tiap skala usaha, yaitu: 420 kg (skala
usaha I), 716 kg (skala usaha II), dan 420 kg (skala usaha III). Harga jual kokon
per kilogramnya ditetapkan sebesar Rp 23.000 dengan kualitas kokon
disamakan pada tingkat sedang. Dengan demikian, total nilai penjualan kokon
per tahunnya sebesar Rp 9.660.000 (skala usaha I), Rp 16.468.000 (skala usaha
II), dan Rp Rp 9.660.000 (skala usaha III). Pemeliharaan ulat sutera pada tahun
57

nol telah dilakukan dengan 6 periode pemeliharaan sehingga produksi kokonnya


diasumsikan setengah dari produksi kokon per tahunnya.
Stek murbei dijual dengan harga Rp 10.000 per ikat. Satu ikat stek
murbei dapat menghasilkan 400 bibit murbei dengan panjang stek 25 sentimeter.
Penerimaan dari penjualan stek murbei per tahun pada tiap skala usaha, yaitu
sebesar Rp 10.000, Rp 220.000, dan Rp 40.000. Pada tahun nol tidak dilakukan
penjualan stek murbei karena belum adanya konsumen yang berminat.
Skala usaha III melakukan penjualan daun murbei pada petani skala
usaha I. Daun murbei dengan cabang atau ranting dijual dengan harga Rp 300
per kilogramnya. Penerimaan yang berasal penjualan daun murbei, yaitu sebesar
Rp 220.200 dengan volume penjualan sebanyak 734 kilogram per tahunnya.
Pada tahun nol petani skala usaha III tidak menjual murbei karena produktivitas
daun murbei yang dihasilkan dari kebun skala usaha I memenuhi kebutuhan
pakan ulat sutera. Skala usaha II tidak melakukan penjualan daun murbei karena
produksi daun murbei yang dihasilkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
pakan ulat sutera yang dipelihara.

6.3.1.2 Arus Pengeluaran


Perhitungan biaya dilakukan pada biaya investasi dan biaya operasional.
Biaya investasi terdiri dari biaya pembuatan kebun murbei, pembuatan rumah
ulat sutera, biaya peralatan budidaya ulat sutera, dan reinvestasi. Biaya
operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
A. Biaya Investasi
1. Biaya Pembuatan Kebun Murbei
Biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan kebun murbei meliputi, biaya
pengadaan bibit murbei, persiapan lahan, penanaman, dan pembelian pupuk
dasar (Tabel 8). Persiapan lahan yang dilakukan berupa pembersihan lahan,
pengelolaan tanah, dan pemberian pupuk dasar.
Petani skala usaha III memerlukan biaya pembuatan kebun murbei
paling banyak dibandingkan dengan petani skala usaha I dan II yakni sebesar Rp
4.827.500. Hal ini dikarenakan kebun murbei yang dibuat lebih luas sehingga
memerlukan lebih banyak bibit murbei, pupuk dasar, dan tenaga kerja.
58

Pembiayaan terbesar dikeluarkan untuk persiapan lahan, yaitu sebesar Rp


2.790.000 dengan persentase sebesar 57.79%. Pembelian bibit murbei
memerlukan biaya sebesar Rp 1.037.500 dengan nilai persentase 21.49%.

Tabel 8 Biaya pembuatan kebun murbei pada tiap skala usaha


Skala Usaha
Uraian I II III
Rp % Rp % Rp %
Bibit murbei 518.750 18.72 778.125 22.12 1.037.500 21.49
Persiapan lahan 1.530.000 55.21 2.050.000 58.29 2.790.000 57.79
Penanaman 90.000 3.25 120.000 3.41 165.000 3.42
Pembelian pupuk
dasar 632.500 22.82 568.870 16.17 835.000 17.30
Total 2.771.250 100 3.516.995 100 4.827.500 100

Persiapan lahan dilakukan oleh tenaga kerja dari masyarakat sekitar.


Tenaga kerja laki-laki lebih banyak direkrut dari pada tenaga kerja perempuan.
Hal ini dilakukan karena pekerjaan persiapan lahan merupakan pekerjaan yang
berat. Tenaga kerja perempuan diperuntukkan pada pemberian pupuk dasar.
Secara umum persiapan lahan memerlukan biaya yang paling banyak
dibandingkan dengan biaya pembuatan kebun murbei yang lainnya. Semakin
besar luasan lahan murbei yang dibuat maka kebutuhan tenaga kerja semakin
banyak dan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar.
Biaya persiapan lahan paling sedikit dikeluarkan oleh skala usaha I yakni
sebesar Rp 1.530.000 dengan luasan kebun murbei 1 hektar. Biaya pembelian
pupuk dasar skala usaha I lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan oleh skala usaha II sebesar Rp 632.500 walaupun kebun murbei
skala usaha II lebih luas dibandingkan dengan skala usaha I. Pemberian pupuk
yang banyak dilakukan oleh skala usaha I agar tanaman murbei tumbuh dengan
subur.
Jumlah dan jenis pupuk dasar yang digunakan petani skala usaha III
lebih sedikit jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk dasar petani skala
usaha II. Namun petani skala usaha III mengeluarkan biaya pembelian pupuk
dasar yang lebih banyak sebesar Rp 835.000. Perbedaan harga pupuk NPK per
kilogramnya sangat mempengaruhi kondisi ini. Petani skala usaha III membeli
59

pupuk NPK dengan harga Rp 10.000 per kilogramnya. Pupuk NPK berwarna
biru ini memiliki kualitas yang lebih baik dari pada pupuk NPK yang dibeli oleh
petani skala usaha II dengan harga Rp 3.000 per kilogram (warna merah).

Tabel 9 Penggunaan pupuk dasar pada tiap skala usaha


Skala usaha
Uraian I II III
Jumlah Biaya Jumlah Biaya Jumlah Biaya
(kg) (Rp) (kg) (Rp) (kg) (Rp)
Pupuk kandang 1.000 300.000 527,8 158.330 250 75.000
KCl 50 112.500 52.9 119.100 - -
SP 50 100.000 36.3 72.533 - -
Urea 50 120.000 43,1 68.907 50 80.000
NPK - - 50 150.000 50 500.000
ZA - - - - 100 180.000
Jumlah 632.500 568.870 485.000

2. Biaya Pembuatan Rumah Ulat Sutera


Biaya pembuatan rumah ulat, meliputi biaya pembelian bahan-bahan
rumah ulat, biaya pembuatan bak pencuci seriframe, dan biaya tenaga kerja
pembuatan rumah ulat (Tabel 10). Bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan rumah ulat sutera secara umum, yaitu: genteng/asbes, kayu albasia,
bambu tali, batu pecah, semen, pasir, batako, kapur, kuas, kampak, gergaji,
kikir, palu, paku, engsel, pintu, oterpal, gembok, dan instalasi listrik. Kayu
albasia digunakan sebagai kaso, tiang, dan balok. Pemilihan jenis kayu ini
dilakukan karena mudah didapat dan harganya murah. Bambu tali digunakan
sebagai bilik dan kaso. Penggunaan kaso berbahan bambu tali dilakukan untuk
meminimalisir biaya pembelian kayu albasia.
Petani skala usaha II mengeluarkan biaya pembuatan rumah ulat sutera
paling banyak sekitar Rp 12.778.235. Sedangkan petani skala usaha I
mengeluarkan biaya yang paling sedikit sekitar Rp 4.196.750. Biaya pembelian
bahan-bahan pembuat rumah ulat merupakan biaya yang paling banyak
dikeluarkan dalam pembuatan rumah ulat dengan persentase rata-rata dari ketiga
skala usaha sebesar 78,11%. Biaya pembelian bahan-bahan pembuat rumah ulat
skala usaha I dan skala usaha II sebesar Rp 3.066.750 dan Rp 8.868.850. Skala
60

usaha II mengeluarkan biaya sebesar Rp 10.544.335 untuk membeli bahan-


bahan pembuat rumah ulat.

Tabel 10 Biaya pembuatan rumah ulat sutera pada tiap skala usaha
Skala usaha
Uraian I II III
Rp % Rp % Rp %
Bahan rumah ulat 3.066.750 73,07 10.544.335 82,52 8.868.850 78,74
Pembuatan bak* - - 268.900 2,10 268.900 2,39
Tenaga kerja 1.130.000 26,93 1.965.000 15,38 2.125.000 18,87
Jumlah 4.196.750 100,00 12.778.235 100,00 11.262.750 100,00
Keterangan:* = untuk mencuci seriframe dan karung
Petani skala usaha I menekan pengeluaran biaya pembuatan rumah ulat
dengan tidak membuat bak pencuci. Selain itu, bahan-bahan pembuat rumah ulat
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lainnya. Petani skala usaha I tidak
menggunakan instalasi listrik dan dinding rumah ulat tidak disemen (tanpa
menggunakan batako). Dasar tiang disemen agar lebih tahan terhadap rayap.
Petani skala usaha III melakukan hal yang sama dengan petani skala
usaha I yakni tidak menyemen dinding rumah ulatnya. Namun biaya pembuatan
rumah ulat lebih besar dari skala usaha I karena membuat bak pencuci dan
rumah ulat yang dibuat memiliki 2 lantai. Lantai pertama digunakan sebagai
tempat pemeliharaan ulat sutera dan gudang penyimpanan peralatan
pemeliharaan murbei dan ulat. Sedangkan tingkat dua digunakan untuk menjaga
rumah ulat dan hewan ternak di malam hari. Kandang peternakan sapi dan
lainnya terletak 4,5 meter di depan rumah ulat. Selain itu, petani skala usaha III
menggunakan listrik sebagai penerangan di malam hari.
Besarnya biaya pembelian bahan-bahan pembuat rumah ulat yang
dikeluarkan oleh petani skala usaha II disebabkan oleh penggunaan batu pecah,
semen, pasir, dan batako yang jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan
dengan skala usaha yang lainnya. bahan-bahan tersebut digunakan untuk
menyemen lantai dan dinding rumah ulat. Penyemenan dinding rumah ulat
dilakukan agar masa pakai rumah ulat menjadi lebih lama dan menghindari
hama ulat, seperti tikus yang masuk ke dalam rumah pemeliharaan ulat melalui
celah-celah dinding. Sedangkan penyemenan lantai dilakukan agar lantai selalu
61

terjaga kebersihan dan kelembabannya sehingga dapat menghindari adanya


bibit-bibit penyakit. Petani skala usaha II mengeluarkan biaya pembelian kabel
standar PLN sebesar Rp 570.000 dengan panjang 38 meter sehingga menambah
besarnya biaya pembuatan rumah ulat.

3. Biaya Peralatan Budidaya Ulat Sutera


Peralatan budidaya ulat sutera terdiri atas peralatan yang digunakan
dalam budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera (Tabel 11). Terdapat lima
alat yang tidak hanya digunakan untuk kegiatan usaha budidaya ulat sutera
tetapi juga digunakan untuk usaha lain dan untuk kegiatan sehari-hari. Oleh
karena itu, proporsi pemakaian dengan persentase dilakukan dalam perhitungan
biaya peralatan yang dikeluarkan. Besarnya proporsi pemakaian diperoleh
dengan membandingkan waktu pemakaian alat untuk usaha budidaya ulat dan
kegiatan lainnya.
Skala usaha I mengeluarkan biaya pembelian peralatan dengan biaya
yang paling sedikit jika dibandingkan dengan skala usaha yang lainnya sebesar
Rp 2.829.560. Hal ini dikarenakan penggunaan seriframe yang sedikit. Skala
usaha ini tidak menggunakan tempat rajang khusus maupun gintiran. Selain itu,
skala usaha ini hanya memiliki 2 rak pemeliharaan ulat yang berukuran kecil 5
m/rak ulat. Satu rak memiliki 2 lantai. Biaya pembuatan rak seluruhnya sebesar
Rp 983.500.
Skala usaha II paling banyak mengeluarkan biaya pembelian peralatan
sebesar Rp 4.426.360. Biaya ini dipengaruhi oleh pembelian seriframe yang
jumlah 146 buah dengan biaya total Rp 2.570.000. Pembuatan rak
menghabiskan biaya sebesar Rp 1.313.400 dengan jumlah 3 rak pemeliharaan

ulat (satu rak memiliki 2 lantai) berukuran 9,67 m/rak. Biaya pembuatan rak

ini lebih sedikit dibandingkan dengan biaya pembuatan rak skala usaha III yang

memiliki 3 rak berukuran 14 m/rak dengan 3 lantai per rak ulat. Petani skala

usaha II mengunakan tempat rajang khusus yang dibuat sendiri untuk


mempermudah kegiatan perajangan daun murbei sebagai pakan ulat sutera instar
III. Selain itu, petani juga menggunakan gintiran yang dibuat sendiri untuk
62

membantu menghilangkan floss kokon. Kedua alat tersebut hanya berpengaruh


kecil pada besarnya biaya pembelian peralatan.

Tabel 11 Peralatan budidaya ulat sutera pada tiap skala usaha


Umur Skala Usaha
Nama Alat Ekonomis I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(tahun) (buah) (Rp) (buah) (Rp) (buah) (Rp)
Budidaya murbei
- hand sprayer
(10% x nilai) 5 1 35.000 1 35.000 1 35.000
- cangkul
(20% x nilai) 5 1 10.000 1 10.000 1 10.000
- garpu
(20% x nilai) 5 1 10.000 1 10.000 1 10.000
- sabit
(40% x nilai) 5 2 20.000 2 20.000 2 20.000
- golok
(20% x nilai) 5 1 6.000 1 6.000 1 6.000
- gaet 3 2 50.000 2 50.000 2 50.000
- pisau rajang 3 1 30.000 1 30.000 1 30.000
- tempat rajang 3 - - 1 50.000 - -
- alat pikul 3 - - 1 10.000 - -
- sepatu boat 3 1 70.000 2 140.000 2 140.000
- asahan 2 1 9.000 1 9.000 1 9.000
- tambang
(meter) 2 5 4.000 10,5 8.400 10 8.000
Pemeliharaan
ulat
- rak 10 2 983.500 3 1.313.400 3 1.878.400
- seriframe
hitam 10 34 510.000 70 1.050.000 62 930.000
kuning 10 50 1.000.000 76 1.520.000 50 1.000.000
- selang
(meter) 10 - - 3.5 17.500 - -
- kran 10 - - 1 6.000 - -
- mangkuk 5 24 48.000 34 68.000 50 100.000
- spanduk
bekas 5 - - 2 4.000 - -
- gintiran 4 - - 1 25.000 - -
- baskom 3 2 8.000 2 8.000 2 8.000
- nanpan 2 2 20.000 2 20.000 2 20.000
- ember 2 1 10.000 1 10.000 2 20.000
- kursi kecil 2 2 6.000 2 6.000 2 6.000
- stik bambu 2 2 60 2 60 2 60
Jumlah 2.829.560 4.426.360 4.280.460
63

4. Reinvestasi
Beberapa variabel investasi mengalami reinvestasi ketika barang investasi
telah habis umur ekonomisnya sehingga perlu dilakukan pembelian kembali.
Biaya reinvestasi pada tiap skala usaha tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12 Biaya reinvestasi pada tiap skala usaha


Umur Harga Skala Usaha
Nama alat Ekonomis Satuan I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(tahun) (Rp) ( buah) (Rp) ( buah) (Rp) ( buah) (Rp)
Cangkul
(20% x nilai) 5 50.000 1 10.000 1 10.000 1 10.000
Garpu
(20% x nilai) 5 50.000 1 10.000 1 10.000 1 10.000
Sabit
(40% x nilai) 5 25.000 2 20.000 2 20.000 2 20.000
Golok
(20% x nilai) 5 30.000 1 6.000 1 6.000 1 6.000
Mangkuk 5 2.000 24 48.000 34 68.000 50 100.000
Spanduk bekas 5 2.000 - - 2 4.000 - -
Gintiran 4 25.000 - - 1 25.000 - -
Gaet 3 25.000 2 50.000 2 50.000 2 50.000
Pisau rajang 3 30.000 1 30.000 1 30.000 1 30.000
Tempat rajang 3 50.000 - - 1 50.000 - -
Alat pikul 3 10.000 - - 1 10.000 - -
Sepatu boat 3 70.000 1 70.000 2 140.000 2 140.000
Baskom 3 4.000 2 8.000 2 8.000 2 8.000
Asahan 2 9.000 1 9.000 1 9.000 1 9.000
Tambang
(meter) 2 800 5 4.000 10,5 8.400 10 8.000
Nanpan 2 10.000 2 20.000 2 20.000 2 20.000
Ember 2 10.000 1 10.000 1 10.000 2 10.000
Kursi kecil 2 3.000 2 6.000 2 6.000 2 6.000
Stik bamboo 2 30 2 60 2 60 2 60

B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
a. Sewa lahan
Status lahan yang dimiliki oleh petani terdiri atas lahan pribadi, lahan
warisan, lahan sewa, atau perpaduan antara ketiganya. Petani skala usaha I
memiliki lahan yang merupakan warisan dari orang tua. Sedangkan lahan petani
skala usaha III diperoleh dengan membeli lahan bekas tanah perkebunan the
sebelum membudidayakan ulat sutera. Petani sutera skala usaha II menyewa lahan
64

pada masyarakat sekitar atau lahan milik perum perhutani rasamala yang berada di
Kecamatan Sukanagara. Lahan sewa digunakan untuk pembudidayaan murbei.
Pemeliharaan ulat sutera dilakukan pada lahan pribadi yang telah dimiliki
sebelumnya.
Lahan yang dimiliki petani sutera diperhitungkan sebagai biaya tidak tunai
(opportunity cost) mengingat status kepemilikan lahan yang berbeda-beda.
Perkiraan besarnya sewa lahan berdasarkan biaya sewa lahan pertanian di
Kecamatan Sukanagara per hektar setiap tahunnya. Biaya untuk menyewa lahan
Perum Perhutani di Kecamatan Sukanagara sebesar Rp 100.000 per hektar setiap
tahunnya. Sedangkan biaya sewa lahan masyarakat per hektar setiap tahunnya
sebesar Rp 500.000.
Biaya sewa lahan yang dikenakan pada skala usaha I dan III per hektar
setiap tahun sebesar Rp 100.000. Hal ini dilakukan karena masyarakat di
Sukanagara lebih sering menyewa lahan pada Perum Perhutani dengan biaya yang
lebih murah. Petani skala usaha I mengeluarkan biaya sewa per tahun sebesar Rp
100.450 dengan luas 1,005 hektar. Sedangkan petani skala usaha III mengeluarkan
biaya sewa lahan yang lebih besar, yakni Rp 200.980 per tahun dengan luas 2,01
hektar. Petani skala usaha II memiliki lahan seluas 1,510 hektar. Skala usaha II
mengeluarkan biaya sewa lahan per tahunnya sebesar Rp 352.449 dengan biaya
sewa per hektarnya sebesar Rp 233.333. Biaya sewa lahan skala usaha II per
hektarnya diperoleh dari rata-rata biaya sewa lahan responden yang termasuk
dalam skala usaha II.

b. Perlengkapan
Perlengkapan digunakan untuk membantu kegiatan budidaya murbei
terutama untuk pemeliharaan rumah ulat (Tabel 13). Sarung tangan digunakan
pada saat kegiatan pemanenan maupun pemeliharaan murbei. Saringan
digunakan untuk menaburkan kapur ke tubuh ulat agar lebih merata. Sapu lidi,
sapu ijuk, dan serokan digunakan untuk membersihkan rumah ulat sutera.
Selama berada di dalam rumah ulat, sandal harus digunakan agar kebersihan
rumah ulat sutera tetap terjaga.
65

Tabel 13 Kebutuhan perlengkapan dan biaya pembeliannya per tahun


Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(Rp) (Rp) (Rp)
Karung besar 7 buah 17.500 7 buah 17.500 5 buah 12.500
Karung sedang 25 buah 50.000 31 buah 62.000 30 buah 60.000
Karung berjaring - - 5 buah 15.000 - -
Plastik mulsa - - 9 meter 36.000 8 meter 32.000
Sarung tangan 2 buah 8.000 4 buah 16.000 4 buah 16.000
Saringan 1 buah 10.000 1 buah 10.000 1 buah 10.000
Sapu lidi 1 buah 3.000 1 buah 3.000 1 buah 3.000
Sapu ijuk 1 buah 10.000 1 buah 10.000 1 buah 10.000
Serokan 1 buah 10.000 1 buah 10.000 1 buah 10.000
Sandal 1 buah 10.000 1 buah 10.000 2 buah 10.000
Lampu: 5 watt - - 9 buah 27.000 9 buah 27.000
Jumlah 118.500 216.500 200.500

Biaya pembelian peralatan yang paling banyak dikeluarkan adalah


karung berukuran sedang sebesar Rp 50.000 (skala usaha I), Rp 62.000 (skala
usaha II), dan Rp 60.000 (skala usaha III). Karung ini banyak digunakan sebagai
alas ulat sutera yang diletakkan di dalam rak ulat. Karung berukuran besar
maupun sedang digunakan sebagai tirai lubang udara (ventilasi) rumah ulat dan
tempat untuk membawa hasil panen daun murbei dari kebun murbei ke rumah
ulat. Tirai berfungsi untuk melindungi ulat dari sinar matahari secara langsung.
Selain karung, plastik mulsa juga digunakan sebagai tirai oleh skala usaha II dan
III.
Biaya perlengkapan per tahun yang dikeluarkan oleh petani skala usaha
II dan III tidak jauh berbeda sebesar Rp 216.500 dan Rp 200.500 dengan jumlah
peralatan yang tidak berbeda pula. Skala usaha I mengeluarkan biaya
perlengkapan yang paling sedikit sebesar Rp 118.500. Hal ini dikarenakan
jumlah pemakaian peralatan yang sedikit. Selain itu, skala usaha I tidak
menggunakan karung berjaring, plastik mulsa maupun lampu sebagai
penerangan.

c. Tenaga Kerja Tetap


Tenaga kerja tetap yang digunakan meliputi aktivitas pemanenan
murbei, pemberian pakan, pemindahan ulat ke tempat pengokonan, pemanenan
kokon, dan pemeliharaan kandang. Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki pada
66

umumnya. Skala usaha 1 melakukan melakukan kegiatan ini sendiri dengan


dibantu oleh tenaga kerja borongan untuk memanen kokon. Skala usaha III
mempekerjakan dua orang pekerja tetap laki-laki untuk melakukan semua
kegiatan budidaya murbei. Petani skala usaha III hanya mengawasi pekerjaan
pekerjanya. Skala usaha II melakukan aktivitas pembudidayaan ulat sutera
dengan dibantu oleh anggota keluarga yang lain. Upah tenaga kerja ini
diperhitungkan sebagai biaya tidak tunai. Biaya yang dikeluarkan oleh skala
usaha II dan III sama sebesar Rp 5.400.000 per tahunnya karena jumlah
pekerjanya sama. Sedangkan skala usaha I hanya mengeluarkan biaya sebesar
Rp 2.700.000. Tenaga kerja tetap pada tahun nol hanya dipekerjakan selama 6
bulan karena ulat sutera baru dipelihara setelah murbei berumur 6 bulan.

Tabel 14 Penyerapan tenaga kerja tetap pada tiap skala usaha


Skala Usaha Jumlah HOK* Biaya/HOK Biaya total
Laki-laki Perempuan (hari) (Rp) (Rp)
I 1 0 180 15.000 2.700.000
II 1 1 180 15.000 5.400.000
III 2 0 180 15.000 5.400.000
Keterangan *: Hari Orang Kerja

d. Komunikasi
Komunikasi melalui telpon seluler dilakukan untuk mengetahui
perkembangan budidaya ulat sutera mulai dari informasi waktu kedatangan bibit
ulat, masalah pemeliharaan, pemanenan kokon hingga pemasaran. Biaya
komunikasi yang dikeluarkan petani skala usaha I dan III sama per tahunnya,
yaitu sebesar Rp 60.000. Petani skala usaha II mengeluarkan biaya komunikasi
sebesar Rp 80.000 per tahunnya. Koordinator kelompok tani yang merupakan
petani skala usaha II sering melakukan komunikasi dengan pihak CV. Batu
Gede sehingga mempengaruhi besarnya biaya komunkasi yang dikeluarkan.

e. Listrik
Biaya listrik yang dikeluarkan oleh petani skala usaha II dan III sama per
bulan, yaitu sebesar Rp 25.000 atau sekitar Rp 300.000 per tahunnya. Biaya
listrik perbulannya tetap tanpa memperhitungkan jumlah KWh dan diasumsikan
67

tanpa biaya beban. Hal ini dilakukan karena tenaga listrik yang digunakan tidak
terlalu besar. Pada tahun ke nol, penggunaan listrik selama 6 bulan karena ulat
sutera yang dipelihara hanya 6 periode pemeliharaan. Listrik digunakan untuk
menjaga suhu rumah ulat agar tidak terlalu dingin pada malam hari. Petani skala
usaha I tidak menggunakan listrik dengan pertimbangan untuk meminimalkan
biaya operasional.

2. Biaya Variabel
a. Bibit ulat Sutera dan Daun Murbei
Bibit ulat sutera dibeli dari CV Batu Gede dengan harga Rp 130.000 per
boks. Satu boks berisi 25.000 bibit ulat sutera. Dalam satu tahun dilakukan 12
periode pemeliharaan. Skala usaha I dan III hanya memelihara 1 boks ulat per
periode pemeliharaan atau sebanyak 12 boks per tahun sehingga biaya yang
dikeluarkan sama, yaitu sebesar Rp 1.560.000 per tahun. Biaya pembelian bibit
ulat sutera yang dikeluarkan oleh petani skala usaha II sebesar Rp 2.600.000 per
tahun dengan jumlah ulat yang dipelihara sebanyak 20 boks per tahun. Jumlah
ini merupakan hasil rata-rata produksi kokon pada petani skala usaha II. Pada
tahun ke nol, ulat sutera dipelihara dalam 6 periode pemeliharaan sehingga
biaya yang dikeluarkan hanya setengahnya.
Skala usaha I dan II mengeluarkan biaya pembelian daun murbei pada
petani yang masih memelihara ulat sutera maupun tidak lagi memelihara ulat.
Pembelian dilakukan pada saat ulat berada pada akhir instar V sebelum
pergantian kulit. Satu kilogram daun murbei dengan cabang dibeli dengan harga
Rp 300. Besarnya biaya yang dikeluarkan pada masing-masing skala usaha per
tahunnya, yaitu Rp 220.200 dan Rp 540.000. Skala usaha II lebih banyak
mengeluarkan biaya pembelian karena jumlah daun murbei yang dibeli lebih
banyak, yaitu 1.800 kilogram. Skala usaha III tidak membeli daun murbei
karena produktivitas kebun murbei lebih dari cukup untuk memberi makan ulat
sutera yang dipelihara. Produksi daun murbei yang berlebih ini dijual kepada
petani skala usaha I. Sedangkan skala usaha II membeli daun murbei ke petani
yang tidak lagi memelihara ulat sutera.
68

Tabel 15 Kebutuhan bibit ulat sutera dan daun murbei per tahun
Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(Rp) (Rp) (Rp)
Pembelian ulat 12 boks 1.560.000 20 boks 2.600.000 12 boks 1.560.000
Pembelian
daun murbei 730 kg 219.000 150 kg 45.000 - -
Jumlah 1.779.000 2.645.000 1.560.000

b. BBM dan Desinfektan


Bahan bakar minyak dan desinfektan sangat diperlukan dalam
pembudidayaan ulat sutera. Bahan bakar yang digunakan berupa bensin untuk
keperluan pembelian bibit ulat maupun pengangkutan hasil panen daun murbei
ke rumah ulat. Oli bekas digunakan untuk menghalangi semut ke rak ulat
dengan cara dituangkan ke mangkuk kecil dan diletakkan di bawah kaki rak.
Deterjen digunakan untuk mencuci karung alas ulat dan seriframe. Pencucian ini
dilakukan setelah pemasaran kokon ulat sutera.

Tabel 16 Penggunaan BBM dan desinfektan per tahun pada tiap skala usaha

Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Rp Jumlah Rp Jumlah Rp
Bensin 6 liter 27.000 15,7 liter 70.650 6 liter 27.000
Oli bekas 1 liter 500 1,2 liter 600 2 liter 1.000
Kapur 120 kg 84.000 260 kg 182.000 120 kg 84.000
Insektisida - - 1 liter 97.000 - -
Herbisida - - - - 5 liter 215.000
Deterjen 12 bks 24.000 20 bks 40.000 12 bks 24.000
Jumlah 135.500 390.250 351.000

Petani skala usaha II mengeluarkan biaya penggunaan BBM dan


desinfektan terbesar Rp 390.250 per tahun. Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh
penggunaan bensin, kapur, dan deterjen yang lebih banyak dari skala usaha
lainnya. Selain itu, skala usaha II menggunakan insektisida (curracron) untuk
mengurangi jumlah hama yang menyerang tanaman murbei. Penyemprotan
dilakukan dua kali dalam setahun setelah pemangkasan murbei. Pemakaian
kapur sebanyak 260 kilogram per tahun dilakukan oleh petani skala usaha II
69

sebagai desinfektan untuk mengurangi jumlah ulat sutera yang terserang


penyakit. Pada tahun ke nol, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 235.925. Hal ini
dikarenakan pemakaian bensin hanya sebanyak 7,85 liter, kapur 1,2 kilogram,
dan deterjen sebanyak 6 bungkus ukuran kecil.
Petani skala usaha III yang menggunakan herbisida untuk memberantas
gulma tanaman murbei. Penyemprot gulma dilakukan tiga kali dalam setahun
setelah pemangkasan murbei. Penggunaan 5 liter herbisida per tahun
memerlukan biaya sebesar Rp 215.000. Biaya pembelian BBM dan desinfektan
per tahunnya mencapai Rp 351.000. Pada tahun ke nol biaya yang dikeluarkan
sebesar Rp 283.500 dengan pemakaian 3 liter bensin, 60 kilogram kapur dan 6
bungkus deterjen. Berbeda halnya dengan petani skala usaha I yang tidak
melakukan penyemprotan herbisida maupun insektisida. Biaya pembelian BBM
dan desinfektan per tahunnya sebesar Rp 135.500 dan pada tahun ke nol hanya
mengeluarkan biaya sebesar Rp 68.000 dengan pemakaian 3 liter bensin, 60
kilogram kapur, dan 6 bungkus deterjen. Hal ini yang membuat petani skala
usaha I mengeluarkan lebih sedikit biaya pembelian BBM dan desinfektan
dibandingkan dengan skala usaha III dan skala usaha II.

c. Kebutuhan Pupuk
Pupuk digunakan untuk memelihara kesuburan tanah sehingga daun
murbei yang dihasilkan menjadi lebih baik kandungan nutrisinya. Ini
berpengaruh secara tidak langsung terhadap kesehatan ulat sutera. Skala usaha
III mengeluarkan biaya pembelian pupuk terbanyak per tahunnya, yaitu sebesar
Rp 1.530.000. Hal ini dipengaruhi oleh pemakaian jumlah per jenis pupuk yang
besar. Skala usaha I mengeluarkan biaya pembelian pupuk yang paling sedikit di
antara yang lain sebesar Rp 752.500 per tahun dengan jenis pupuk dan jumlah
pemakaian yang lebih sedikit. Pada tahun ke nol, biaya pembelian pupuk pada
tiap skala usaha sebesar Rp 120.000, Rp 911.073, dan Rp 1.045.000. Perbedaan
biaya pupuk pada tahun nol dengan tahun-tahun berikutnya dikarenakan pada
tahun ke nol telah dilakukan pembelian pupuk dasar pada saat pembuatan kebun
murbei. Penggunaan pupuk per tahun pada tiap skala usaha tersaji pada Tabel
17.
70

Tabel 17 Kebutuhan pupuk per tahun pada tiap skala usaha


Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Rp Jumlah Rp Jumlah Rp
SP 50 100.000 105 210.000 - -
Urea 150 240.000 137,5 220.000 150 240.000
NPK 50 112.500 48 144.000 150 450.000
KCl - - 180 405.000 - -
ZA - - - - 300 540.000
Pupuk kandang 1.000 300.000 1.000 300.000 1.000 300.000
Jumlah 752.500 1.279.000 1.530.000

d. Tenaga Kerja Borongan


Tenaga kerja borongan yang digunakan berasal dari keluarga maupun
luar keluarga. Upah kerja borongan rata-rata sebesar Rp 15.000 per harinya.
Sedangkan upah kerja untuk menghilangkan floss atau serabut kokon sebesar Rp
1.000 per kilogram kokon yang dihasilkan. Upah tenaga kerja keluarga dihitung
sebagai biaya tidak tunai. Kebutuhan tenaga kerja borongan pada tiap skala
usaha berbeda-beda yang disesuaikan dengan luasan kebun murbei yang
dipelihara, jumlah boks ulat sutera, dan jumlah hari pengerjaannya (Tabel 18,
Tabel 19, dan Tabel 20).

Tabel 18 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha I
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 2 12 360.000
Pemangkasan 1 10 180.000
Pemupukan 1 12 30.000
Menghilangkan floss* 2 12 420.000
Pengolahan limbah - - -
Jumlah 8 990.000
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 450 kg per periode pemeliharaan
71

Tabel 19 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha II
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 3 6 270.000
Pemangkasan 2 10 300.000
Pemupukan 2 6 180.000
Menghilangkan floss* 3 12 716.400
Pengolahan limbah 1 12 180.000
Jumlah 12 1.646.400
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 716 kg per periode pemeliharaan

Tabel 20 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha III
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 4 15 900.000
Pemangkasan 17 2 450.000
Pemupukan 2 6 180.000
Menghilangkan floss* 3 12 420.012
Pengolahan limbah - - -
Jumlah 28 2.010.012
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 450 kg per periode pemeliharaan

Tenaga kerja borongan paling banyak dibutuhkan pada skala usaha III
sebanyak 29 orang khususnya pada saat pemangkasan yang membutuhkan
tenaga kerja sebanyak 17 orang. Pemangkasan dilakukan dua kali dalam satu
tahun. Upah tenaga kerja borongan skala usaha III sebesar Rp 2.010.012 per
tahunnya. Skala usaha II mengeluarkan biaya tambahan untuk membersihkan
limbah sebesar Rp 180.000 per tahunnya. Sedangkan skala usaha I hanya
membutuhkan tenaga kerja sebanyak 9 orang per tahunnya. Penggunaan tenaga
pada skala usaha I disesuaikan dengan kebutuhan. Pada tahun ke nol, upah
tenaga kerja borongan pada tiap skala usaha, yaitu sebesar Rp 855.000, Rp
1.198.200, dan Rp 1.920.006. Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh adanya biaya
pendangiran pada tiap skala usaha sebesar Rp 90.000, Rp 60.000, dan Rp
180.000. Besarnya biaya pendangiran dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan
jumlah hari orang kerja. Biaya menghilangkan floss pada tahun ke nol yang
hanya setengah dari tahun-tahun berikutnya karena pemeliharaan ulat hanya
dilakukan dalam 6 periode pemeliharaan.
72

e. Transportasi
Perhitungan biaya transportasi dilakukan pada pengangkutan hasil panen
daun murbei dan pendistribusian kokon (Tabel 21). Besarnya biaya transportasi
yang dikeluarkan pada tahun ke nol hanya setengahnya karena ulat hanya
dipelihara dalam 6 periode pemeliharaan. Pengangkutan hasil panen daun
murbei pada skala usaha I dilakukan dengan tenaga sendiri atau tidak
menggunakan jasa pengangkutan sehingga tidak dilakukan perhitungan. Pada
skala usaha III, pengangkutan daun murbei sudah termasuk dalam kegiatan
pemanenan murbei sehingga tidak diperhitungkan sebagai biaya pengangkutan
murbei.

Tabel 21 Biaya transportasi per tahun pada tiap skala usaha


Uraian Skala Usaha
I II III
Pengangkutan murbei - 2.436.000 -
Transportasi kokon 300.000 300.000 300.000
Jumlah 300.000 2.736.000 300.000

Perhitungan biaya pengangkutan hasil panen daun murbei dari kebun


murbei ke tempat pemeliharaan ulat sutera hanya dilakukan pada skala usaha II
karena menggunakan jasa pengangkutan. Biaya pengangkutan murbei
berdasarkan berat daun murbei yang diangkut. Pengangkutan hasil panen daun
murbei dengan atau tanpa cabang dikenai biaya sebesar Rp 100 per
kilogramnya. Biaya pengangkutan murbei yang dikeluarkan oleh petani skala
usaha II sebesar Rp 2.436.000 per tahun dengan rata-rata 200 kilogram daun
murbei yang diangkut per harinya.
Kokon dijual ke pihak CV Batu Gede dengan harga Rp 23.000 per
kilogramnya. Penjualan ini dilakukan di Kecamatan Cibeber yang berjarak 1,5
jam dari Kecamatan Sukanagara atau 2,5 jam dari CV Batu Gede. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan biaya transportasi pada kedua belah pihak.
Biaya sewa angkutan umum sebesar Rp 125.000 untuk 1 rit/perjalanan pergi
pulang dalam satu periode pemeliharaan. Biaya ini dibebankan pada tiap petani
sama banyaknya sehingga biaya tranportasi kokon per tahunnya sama, yaitu
sebesar Rp 300.000.
73

6.3.1.3 Kriteria Kelayakan Investasi


Kriteria yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial ini terdiri
dari Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Gross Benefit
Cost Ratio (Gross B/C), dan Pay Back Period (PBP). Untuk menentukan layak
atau tidaknya proyek tersebut didanai, perlu diperhitungkan pula perubahan nilai
uang terhadap waktu atau faktor diskonto. Hal ini dikarenakan proyek arus uang
yang dilakukan untuk menghitung kriteria kelayakan investasi tersebut
diproyeksikan hingga jangka waktu yang cukup panjang, dalam proyek ini
adalah 10 tahun. Selama umur proyek tersebut, nilai uang akan terus berubah
sehingga perlu digunakan metode yang dapat memperhitungkan perubahan nilai
uang terhadap waktu tersebut. Dengan teknik tersebut, nilai manfaat dan biaya
pada masa mendatang dapat diturunkan menjadi nilai manfaat dan biaya pada
masa sekarang. Hasil analisis finansial usaha budidaya ulat sutera pada tiap
skala usaha tersaji pada Tabel 22.

Tabel 22 Hasil analisis finansial pada tiap skala usaha


Kriteria Kelayakan Investasi Skala Usaha
I II III
NPV (Rp) 8.688.681 7.202.019 -30.269.954
IRR (%) 33,99 20,55 -
Gross B/C 1,17 1,08 0,67
PBP (tahun) 2,75 4,13 -

Net Present Value (NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari
nilai manfaat dan biaya suatu proyek. Untuk menghitung perubahan nilai uang
terhadap waktu, digunakan tingkat suku bunga 12% yang merupakan suku
bunga pinjaman Bank Indonesia pada tahun 2010. Perhitungan Net Present
Value (NPV) pada skala usaha I menghasilkan nilai sebesar Rp 8.688.681.
Sedangkan nilai NPV pada skala usaha II sebesar Rp 7.202.019. Artinya, jumlah
manfaat bersih yang diterima petani skala usaha I dan II selama 10 tahun dengan
discount rate 12 persen sebesar Rp 8.598.681 dan Rp 7.202.019. Berdasarkan
kriteria kelayakan NPV, budidaya ulat sutera skala usaha I dan II layak
dilaksanakan karena nilai NPV > 0. Nilai NPV skala usaha III berada pada nilai
74

negatif (NPV < 0) adalah Rp 30.269.954 sehingga usaha ini tidak layak
dilakukan.
Tingkat pengembalian internal (IRR) merupakan tingkat kemampuan
proyek untuk menghasilkan keuntungan dan dapat dinyatakan sebagai tingkat
diskonto. Nilai IRR menunjukkan tingkat suku bunga pinjaman (bank) yang
menghasilkan nilai NPV sama dengan nol. Nilai IRR pada skala usaha I dan
skala usaha II ini adalah 33,99 persen dan 20,55 persen lebih tinggi dari tingkat
diskonto 12 persen. Dengan demikian, usaha ini dianggap layak berdasarkan
kriteria IRR. Nilai IRR skala usaha III tidak dapat dihitung. Hal ini dikarenakan
nilai NPV < 0 atau nilai manfaat bersih yang diperoleh skala usaha III bernilai
negatif dari tahun pertama hingga akhir proyek.
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara
benefit kotor dengan biaya yang telah didiskonto. Skala usaha I dan II memiliki
nilai gross B/C 1,17 dan 1,08. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya ulat
sutera layak dilakukan karena nilai Gross B/C > 1. Pada skala usaha III nilai
Gross B/C sebesar 0,668. Berdasarkan kriteria kelayakan Gross B/C, usaha ini
tidak layak diusahakan.
Analisis waktu pengembalian modal (pay back period) diperlukan untuk
mengetahui lama waktu yang diperlukan suatu usaha atau proyek untuk dapat
mengembalikan nilai investasi. Nilai pay back period (PBP) skala usaha I adalah
2,75 tahun setara dengan 2 tahun 9 bulan 4 hari. Sedangkan skala usaha II
memiliki waktu pengembalian modal 4,13 tahun yang setara dengan 4 tahun 1
bulan 17 hari. Kedua skala usaha dikatakan layak karena waktu pengembalian
modal kurang dari umur proyek 10 tahun.

6.3.2 Analisis Aspek Finansial pada Skenario Pengembangan


Hasil perhitungan selisih arus uang masuk dengan arus uang keluar pada
skala usaha III menunjukkan nilai yang negatif dari tahun pertama hingga akhir
proyek. Hal ini mengakibatkan nilai NPV menjadi negatif (NPV < 0) dan usaha
budidaya ulat sutera yang dilakukan tidak layak dijalankan. Ketidaklayakan usaha
yang sedang dijalankan juga diketahui dengan nilai gross B/C yang kurang dari
satu (gross B/C < 1). Tingkat pengembalian internal (IRR) dan pay back period
75

tidak dapat dihitung karena nilai NPV yang negatif. Skenario pengembangan
usaha perlu dilakukan pada skala usaha III agar manfaat bersih bernilai positif
dapat diperoleh sehingga usaha budidaya ulat sutera menjadi layak dilakukan.

6.3.2.1 Arus Penerimaan


Skala usaha III memilihi luas lahan murbei sebanyak 2 hektar dan ulat
yang dipelihara hanya berjumlah 1 boks per periode pemeliharaan (satu bulan).
Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, jumlah
ulat maksimal yang dapat dipelihara pada luasan lahan murbei 2 hektar
sebanyak 4 boks dalam kondisi optimal. Dalam skenario pengembangan, jumlah
ulat yang dipelihara sebanyak 2 boks per periode pemeliharaan dengan asumsi
cara pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera sama seperti sebelumnya.
Arus penerimaan usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan diperoleh dari penjualan kokon, stek murbei, dan
penjualan daun murbei. Volume penjualan kokon meningkat 100 persen dari
420 kilogram menjadi 820 kilogram per tahun dengan 12 periode pemeliharaan
dalam satu tahun. Nilai penjualan kokon mencapai Rp 19.320.000 per tahunnya
dengan harga jual kokon per kilogramnya sebesar Rp 23.000. Pada tahun ke nol
dilakukan 6 kali musim pemeliharaan sehingga produksi kokon hanya mencapai
setengahnya, yaitu 420 kilogram. Penerimaan dari penjualan stek dan daun
murbei per tahunnya tetap, yaitu Rp 40.000 dan Rp 220.200. Pada tahun ke nol
usaha, skala usaha III tidak melakukan penjualan stek dan daun murbei karena
belum adanya konsumen yang berminat.

6.3.2.2 Arus Pengeluaran


A. Biaya Investasi
Biaya investasi skala usaha III pada saat memulai usaha budidaya ulat
sutera bernilai total Rp 21.242.710. Investasi terbesar digunakan untuk
membangun rumah ulat seluas 50 m3 dengan biaya Rp 11.262.750. Pembuatan
kebun murbei membutuhkan biaya sebesar Rp 4.827.500. Biaya tersebut
mencakup pembelian bibit murbei Rp 1.037.500, persiapan lahan Rp 2.790.000,
penanaman Rp 165.000, dan pembelian pupuk dasar sebesar Rp 835.000.
76

Sedangkan peralatan yang digunakan dalam budidaya murbei dan pemeliharaan


ulat sutera menghabiskan biaya sebesar Rp 5.152.460. Jenis peralatan, biaya
pembelian peralatan, dan peralatan-peralatan yang mengalami reinvestasi sama
seperti usaha yang sedang dijalankan (sebelum dilakukan skenario
pengembangan).

B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
Biaya tetap per tahun yang dikeluarkan terdiri dari sewa lahan sebesar
Rp. 200.980, upah tenaga kerja tetap Rp 4.680.000, komunikasi Rp 60.000,
listrik Rp 300.000, dan perlengkapan sebesar Rp 218.500 (Tabel 23). Kebutuhan
karung sebagai alas ulat sutera di dalam rak pemeliharaan dan pengangkutan
hasil panen daun murbei meningkat dari sebelumnya berjumlah 5 buah karung
berukuran besar dan 30 buah karung berukuran sedang menjadi 9 karung
berukuran besar dan 34 karung berukuran sedang. Hal ini dikarenakan
bertambahnya ruang pemeliharaan dan jumlah pakan ulat sutera.

Tabel 23 Kebutuhan perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan
Uraian Jumlah Satuan Harga Satuan Harga Total
(Rp) (Rp)
Karung besar 9 buah 2.500 22.500
Karung sedang 34 buah 2.000 68.000
Klastik mulsa 8 meter 4.000 32.000
Sarung tangan 4 buah 4.000 16.000
Saringan 1 buah 10.000 10.000
Sapu lidi 1 buah 3.000 3.000
Sapu ijuk 1 buah 10.000 10.000
Serokan 1 buah 10.000 10.000
Sandal 2 buah 10.000 20.000
Lampu: 5 watt 9 buah 3.000 27.000
Jumlah 218.500

2. Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh jumlah
produksi yang dihasilkan. Terdapat perbedaan pada komponen biaya variabel
dalam skenario pengembangan dengan usaha yang sedang dijalankan. Jumlah
77

ulat sutera yang dipelihara sebelumnya hanya 12 boks menjadi 24 boks sehingga
total biaya pembelian ulat menjadi Rp 3.120.000 dengan harga bibit ulat per
boks sebesar Rp 130.000. Pemakaian kapur untuk desinfeksi ulat sutera dan
deterjen untuk mencuci seriframe dan karung meningkat 100 persen menjadi
240 kilogram kapur dan 24 bungkus deterjen berukuran kecil. Jumlah tenaga
kerja borongan untuk menghilangkan floss ulat sutera bertambah 3 orang
menjadi 6 orang pekerja. Biaya transportasi kokon ke tempat penjualan
bertambah dua kali libat menjadi Rp 600.000.

Tabel 24 Biaya pembelian perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan
Uraian Satuan Jumlah Biaya
(Rp)
Bibit ulat 24 boks 3.120.000
BBM dan desinfektan
bensin 6 liter 27.000
oli bekas 2 liter 1.000
kapur 240 kg 168.000
herbisida 5 liter 215.000
deterjen 24 bungkus 48.000
Kebutuhan pupuk
urea 150 kg 240.000
NPK 150 kg 450.000
ZA 300 kg 540.000
Pupuk Kandang 1.000 kg 300.000
Upah tenaga kerja borongan
penyiangan 4 orang 900.000
pemupukan 2 orang 120.000
pemangkasan 17 orang 510.000
pendangiran 3 orang 180.000
menghilangkan floss 6 orang 840.024
Transportasi kokon 12 rit 600.000
Jumlah 8.259.024

6.3.2.3 Kriteria Kelayakan Investasi


Nilai Net Present Value (NPV) yang diperoleh pada skenario
pengembangan usaha budidaya ulat sutera yang dijalankan skala usaha III
adalah sebesar Rp 12.649.681. berdasarkan kriteria kelayakan NPV, usaha ini
78

dianggap layak dilaksanakan karena nilai NPV-nya lebih besar dari nol
(NPV>0).
Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat kemampuan proyek
menghasilkan keuntungan yang dinyatakan dalam tingkat diskonto, suku bunga
pinjaman bank, yang menghasilkan nilai NPV sama dengan nol. Hasil
perhitungan IRR pada skala usaha III sebesar 26,06 persen, lebih tinggi dari
tingkat diskonto 12 persen. Dengan demikian, berdasarkan kriteria IRR, usaha
ini layak dilakukan.
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara
nilai sekarang manfaat (present value inflow) dengan nilai sekarang biaya
(present value outflow) yang telah didiskonto sehingga diketahui efisiensi dalam
penggunaan modal. Nilai Gross B/C pada pembudidayaan ulat sutera skala
usaha III dalam skenario pengembangan sebesar 1,12 yang menunjukkan bahwa
usaha ini dinilai layak (nilai Gross B/C > 1).
Waktu pengembalian nilai investasi suatu proyek dapat diketahui dengan
analisis Pay Back Period (PBP). Nilai PBP yang diperoleh pada skala usaha III
dalam skenario pengembangan, yaitu sebesar 3,44 tahun yang setara dengan 3
tahun 5 bulan 11 hari. Jika dibandingkan dengan umur proyek yaitu 10 tahun
maka waktu pengembalian investasi pada usaha ini relatif cepat dan dapat
dikatakan layak.

Tabel 25 Hasil analisis finansial skala usaha III dalam skenario pengembangan
Kriteria Kelayakan Investasi Nilai
NPV (Rp) 12.649.681
IRR (%) 26,06
Gross B/C 1,12
PBP (tahun) 3,44

6.3.3 Analisis Sensitivitas


Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
perubahan pada tingkat manfaat dan biaya dapat terjadi sehingga masih memenuhi
kriteria kelayakan investasi. Variabel sensitivitas yang digunakan dalam analisis
ini, yaitu harga jual kokon, dan biaya operasional. Analisis sensitivitas dilakukan
pada skala usaha I, skala usaha II, dan skala usaha III pada usaha yang sedang
79

berjalan serta pada skala usaha III dalam skenario pengembangan. Dari hasil
analisis sensitivitas akan diketahui variabel mana yang lebih peka ketika terjadi
perubahan yang akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha
(Tabel 26).

Tabel 26 Analisis sensitivitas pada skala usaha I, skala usaha II, dan skala usaha
III dalam skenario pengembangan
Kondisi
Uraian Normal P -10% B +10%
Nilai (%) Nilai (%)
Skala Usaha I
NPV (Rp) 8.688.681 2.657.565 69,41 4.619.977 46,83
IRR (%) 33,99 18,85 44,54 23,82 29,92
Gross B/C 1,17 1,05 10,26 1,08 7,69
PBP (tahun) 2,75 4,38 59,27 3,67 33,45
Skala Usaha II
NPV (Rp) 7.202.019 -2.926.168 140,63 -211.534 102,94
IRR (%) 20,55 8,34 59,42 11,75 42,82
Gross B/C 1,08 0,97 10,19 0,99 8,33
PBP (tahun) 4,13 6,64 60,77 5,67 37,29
Skala Usaha III*
NPV (Rp) 12.649.681 902.450 92,87 4.199.223 66,80
IRR (%) 26,06 13,05 49,92 16,79 35,57
Gross B/C 1,12 1,01 9,82 1,04 7,14
PBP (tahun) 3,44 5,39 56,69 4,73 37,50
Keterangan: P -10% = Penurunan harga jual kokon
B +10% = Peningkatan biaya operasional
* = Skala usaha III dalam skenario pengembangan

Berdasarkan simulasi penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen pada


proyeksi arus kas skala usaha I, nilai NPV mengalami penurunan 69,41 persen
sebesar Rp 2.657.565. Nilai IRR sebesar 18,85 persen dengan penurunan sekitar
44,54 persen. Nilai gross B/C juga mengalami penurunan sebesar 1,05 dengan
persentase penurunan sebesar 10,26 persen. Waktu yang diperlukan untuk
mengembalikan modal menjadi lebih lama, yaitu 4,38 tahun atau setara dengan 4
tahun 4 bulan 18 hari. Hasil simulasi peningkatan biaya operasional sebesar 10
persen membuat nilai NPV berkurang dari Rp 8.688.681 menjadi Rp 4.619.977
dengan persentase penurunan sebesar 46,83 persen. Nilai IRR dan gross B/C juga
mengalami penurunan sebesar 23,82 persen dan 1,08. Tingkat pengembalian
80

modal (PBP) menjadi menjadi lebih lama, yaitu sekitar 3,67 tahun atau setara
dengan 3 tahun 8 bulan 5 hari. Variabel penurunan harga jual kokon memiliki
tingkat kepekaan yang lebih tinggi dari variabel peningkatan biaya operasional.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen dan peningkatan biaya operasional
sebesar 10 persen tetap membuat budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh petani
sutera skala usaha I layak untuk diusahakan dengan nilai NPV lebih dari 1, nilai
IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, nilai gross B/C lebih dari 1, dan
PBP lebih cepat dari umur proyek 10 tahun.
Budidaya ulat sutera yang dijalankan oleh skala usaha II memiliki tingkat
kepekaan atau sensitivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan usaha yang
dijalankan oleh skala usaha I. Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen dan
peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen pada skala usaha II membuat
kegiatan budidaya ulat sutera tidak layak untuk dilakukan. Nilai NPV berada pada
kisaran negatif adalah sebesar Rp 2.926.168 dengan persentase penurunan
sebesar 140,63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini mengalami kerugian
sebesar Rp 2.926.168. Nilai IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku sebesar
8,34 persen dengan persentase penurunan sebesar 59,42 persen. Nilai gross B/C
kurang dari 1 sebesar 0,97. Peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen
membuat nilai NPV negatif sebesar Rp 211.534. Nilai IRR sebesar 11,75 persen
ini lebih kecil dari suku bunga pinjaman Bank Indonesia, 12 persen. Nilai gross
B/C berkurang 0,09 menjadi 0,99.
Usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam skenario
pengembangan tetap layak dilakukan meskipun terjadi penurunan harga jual
kokon sebesar 10 persen dan peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen mengakibatkan nilai NPV turun
menjadi sebesar Rp 902.450 dengan persentase 92,87 persen. Nilai IRR pada
kondisi normal 26,06 persen turun menjadi 13,05 persen. Nilai gross B/C sebesar
juga mengalami penurunan sebesar 9,82 persen, yaitu 1,01. Pengembalian modal
dapat dilakukan dalam waktu 5,39 tahun atau setara dengan 5 tahun 4 bulan 22
hari. Peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen membuat nilai NPV turun
66,80 persen, yaitu sebesar Rp 4.199.223. Nilai IRR mengalami penurunan
sebesar 16,79 persen. Nilai gross B/C menurun dari 1,12 menjadi 1,04. Waktu
81

pengembalian modal menjadi lebih lama, yaitu 4,73 tahun atau setara dengan 4
tahun 8 bulan 27 hari.
Analisis sensitivitas pada skala usaha III pada usaha yang sedang berjalan
dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha bila terjadi peningkatan
harga jual kokon sebesar 10 persen dan penurunan biaya produksi sebesar 10
persen. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha budidaya pada skala
usaha III tetap tidak layak dilakukan meskipun terjadi peningkatan nilai NPV dan
nilai gross B/C. Pada kondisi peningkatan harga jual kokon sebesar 10 persen,
nilai NPV tetap berada pada kisaran negatif, yaitu Rp 24.328.839. Artinya, skala
usaha III mengalami kerugian sebesar Rp 24.328.839. Nilai gross B/C meningkat
dari 0,67 menjadi 0,73 namun tetap tidak lebih besar dari satu. Nilai IRR dan PBP
tidak dapat dihitung karena nilai NPV negatif dari tahun ke nol hingga akhir
proyek.

Tabel 27 Analisis sensitivitas pada skala usaha III pada usaha yang sedang
berjalan
Kondisi
Uraian Normal P +10% B -10%
Nilai (%) Nilai (%)
NPV (Rp) -30.269.954 -24.328.839 19,63 -23.232.948 23,25
IRR (%) - - - - -
Gross B/C 0,67 0,73 8,96 0,72 7,46
PBP (tahun) - - - - -
Keterangan: P +10% = Peningkatan harga jual kokon
B -10% = Penurunan biaya operasional

Anda mungkin juga menyukai