BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
murbei yang kurang maksimal, skala usaha I membeli daun murbei ke petani
lain (skala usaha III) untuk memenuhi kebutuhan pakan ulat sutera sehingga
diperlukan biaya pembelian murbei yang dapat menambah biaya operasional.
Skala usaha II memiliki lahan murbei seluas 1,5 hektar. Satu orang
petani skala usaha II hanya memelihara 1 boks ulat per periode pemeliharaan.
Sedangkan dua petani lainnya memelihara 2 boks ulat per periode pemeliharaan.
Pemeliharaan murbei yang kurang optimal mengharuskan petani yang
memelihara 2 boks ulat membeli daun murbei ke petani lainnya. Hal ini
membuat petani mengeluarkan biaya operasional yang lebih. Petani membeli
daun murbei ke petani sutera yang sudah tidak lagi memelihara ulat sutera
karena terlanjur mengubah sebagian lahan murbei menjadi lahan pertanian
lainnya dan rumah ulat sutera sudah dibongkar.
Skala usaha III hanya memelihara ulat 1 boks per periode pemeliharaan.
Padahal skala usaha III memiliki lahan murbei seluas 2 hektar. Dua hektar
murbei dengan pemeliharaan yang cukup dapat memenuhi pakan 2 boks hingga
3 boks ulat sutera. Jika pemeliharaan murbei dilakukan secara maksimal maka
petani sutera dapat memelihara 4 boks per periode pemeliharaan. Biaya
pemeliharaan kebun murbei berdasarkan luasannya bukan pada jumlah ulat
sutera yang dipelihara. Oleh karena itu, petani skala usaha III perlu melakukan
penambahan ulat sutera yang dipelihara menjadi 2 boks hingga 3 boks. Selain
itu, rumah ulat yang dibuat dapat memelihara ulat sutera maksimal 3 boks per
periode pemeliharaan.
6.2.3.3 Budidaya Murbei
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan, pengolahan
tanah, dan pemupukan. Pembersihan lahan dilakukan secara manual, yaitu
dengan melakukan pembabatan semak, ilalang, dan penebangan pohon yang
dapat mengganggu perkembangan murbei. Semak, ilalang, dan ranting pohon
dikumpulkan dan dibakar sedangkan kayu pohon dimanfaatkan sebagai kayu
bakar maupun keperluan lainnya. Kemudian dilakukan pengolahan tanah
dengan cara pencangkulan.
44
Gudang
Rak ulat
Rak ulat
Rak ulat U
Rak ulat digunakan untuk tempat ulat pada saat pemeliharaan. Jumlah
rak yang ada di dalam rumah ulat berkisar antara 2 hingga 3 rak. Satu rak terdiri
dari 2 hingga 3 lantai. Jumlah rak tergantung pada jumlah ulat yang dipelihara.
Rak yang tidak berisi ulat dijadikan tempat untuk meletakkan daun murbei.
Daun murbei diletakkan berdekatan dengan ulat agar mudah dalam pemberian
pakan sehingga dapat mengefisienkan waktu. Selain itu, rak juga digunakan
untuk meletakkan peralatan budidaya murbei dan ulat sutera sehingga tidak
memerlukan adanya gudang, seperti yang dilakukan oleh petani sutera skala
usaha I dan satu orang petani skala usaha II yang hanya memelihara 1 boks ulat
sutera per periode pemeliharaan.
49
bakteri, yaitu ulat menjadi lemah, metabolism turun, tubuh tidak elastic dan
lunak, diare, dan ulat yang mati membusuk berwarna hitam dan mengeluarkan
cairan berbau busuk. Sedangkan ulat yang terkena obat-obatan pertanian
menunjukkan gejala berupa mengeluarkan cairan getah lambung, kaku, dan
sering menggerakkan kepala. Salah satu petani pada skala usaha II membeli
daun murbei ke petani yang menanam murbei berdekatan dengan tanaman
bakau.
Penanggulangan terhadap penyakit yang menyerang ulat sutera menurut
Ahdiat (2007) dan Atmosoedarjo et al. (2000), yaitu desinfeksi ruangan dan
peralatan pemeliharaan ulat menggunakan larutan kaporit atau formalin sebelum
pemeliharaan, larva yang sakit harus dipisahkan dengan ulat yang sehat,
memisahkan larva yang terlambat ganti kulit, tidak menggunakan daun yang
menguning, layu, dan basah sebagai pakan ulat, tempat pembuangan kotoran
ulat harus berjauhan dengan rumah ulat, pemeliharaan ulat tidak terlalu padat,
dan tidak menanam murbei berdekatan dengan tembakau. Kebersihan rak
pemeliharaan ulat dari kotoran ulat dan sisa makanan ulat berupa ranting murbei
kurang terjaga sehingga menjadi sumber penyakit dan menghambat
pertumbuhan ulat. Ahdiat (2007) menyatakan pembersihan kotoran ulat instar
IV dilakukan pada hari ke dua pemeliharaan dan setelah tidur. Sedangkan
pembersihan kotoran ulat instar V dilakukan setiap dua hari sekali atau setiap
hari tergantung kondisi kotoran dan sisa makanannya.
Cara pembersihan kotoran ulat menurut Ahdiat (2007), yaitu:
1. Cabang daun murbei diletakkan di atas 2 tali yang dipasang secara
memanjang. Kemudian cabang murbei digulung setelah ulat naik ke cabang
dan sisihkan dari tempat tersebut.
2. Sisa makanan dan kotoran ulat dibuang. Kemudian, gulungan ulat diletakkan
kembali dengan memperluas tempat.
Penjemuran kokon di bawah terik matahari dilakukan sebelum
pemanenan. Hal ini bertujuan agar kokon menjadi kering dan mempermudah
pemanenan. Kokon dikeluarkan dari seriframe menggunakan stik bambu.
Serabut kokon atau floss dihilangkan dengan cara manual menggunakan tangan.
Salah satu petani sutera pada skala usaha II menghilangkan floss dengan
51
nutrisi tanah dan juga dapat mengurangi biaya pembelian pupuk kandang untuk
menyuburkan tanaman murbei.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan
sendimentasi di lahan murbei sehingga diketahui dampak lebih lanjut terhadap
lingkungan mengingat sebagian besar lahan murbei berada pada kemiringan
landai. Berdasarkan aspek lingkungan, budidaya ulat sutera layak diusahakan
karena tidak bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meskipun
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi.
pupuk NPK dengan harga Rp 10.000 per kilogramnya. Pupuk NPK berwarna
biru ini memiliki kualitas yang lebih baik dari pada pupuk NPK yang dibeli oleh
petani skala usaha II dengan harga Rp 3.000 per kilogram (warna merah).
Tabel 10 Biaya pembuatan rumah ulat sutera pada tiap skala usaha
Skala usaha
Uraian I II III
Rp % Rp % Rp %
Bahan rumah ulat 3.066.750 73,07 10.544.335 82,52 8.868.850 78,74
Pembuatan bak* - - 268.900 2,10 268.900 2,39
Tenaga kerja 1.130.000 26,93 1.965.000 15,38 2.125.000 18,87
Jumlah 4.196.750 100,00 12.778.235 100,00 11.262.750 100,00
Keterangan:* = untuk mencuci seriframe dan karung
Petani skala usaha I menekan pengeluaran biaya pembuatan rumah ulat
dengan tidak membuat bak pencuci. Selain itu, bahan-bahan pembuat rumah ulat
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lainnya. Petani skala usaha I tidak
menggunakan instalasi listrik dan dinding rumah ulat tidak disemen (tanpa
menggunakan batako). Dasar tiang disemen agar lebih tahan terhadap rayap.
Petani skala usaha III melakukan hal yang sama dengan petani skala
usaha I yakni tidak menyemen dinding rumah ulatnya. Namun biaya pembuatan
rumah ulat lebih besar dari skala usaha I karena membuat bak pencuci dan
rumah ulat yang dibuat memiliki 2 lantai. Lantai pertama digunakan sebagai
tempat pemeliharaan ulat sutera dan gudang penyimpanan peralatan
pemeliharaan murbei dan ulat. Sedangkan tingkat dua digunakan untuk menjaga
rumah ulat dan hewan ternak di malam hari. Kandang peternakan sapi dan
lainnya terletak 4,5 meter di depan rumah ulat. Selain itu, petani skala usaha III
menggunakan listrik sebagai penerangan di malam hari.
Besarnya biaya pembelian bahan-bahan pembuat rumah ulat yang
dikeluarkan oleh petani skala usaha II disebabkan oleh penggunaan batu pecah,
semen, pasir, dan batako yang jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan
dengan skala usaha yang lainnya. bahan-bahan tersebut digunakan untuk
menyemen lantai dan dinding rumah ulat. Penyemenan dinding rumah ulat
dilakukan agar masa pakai rumah ulat menjadi lebih lama dan menghindari
hama ulat, seperti tikus yang masuk ke dalam rumah pemeliharaan ulat melalui
celah-celah dinding. Sedangkan penyemenan lantai dilakukan agar lantai selalu
61
ulat (satu rak memiliki 2 lantai) berukuran 9,67 m/rak. Biaya pembuatan rak
ini lebih sedikit dibandingkan dengan biaya pembuatan rak skala usaha III yang
memiliki 3 rak berukuran 14 m/rak dengan 3 lantai per rak ulat. Petani skala
4. Reinvestasi
Beberapa variabel investasi mengalami reinvestasi ketika barang investasi
telah habis umur ekonomisnya sehingga perlu dilakukan pembelian kembali.
Biaya reinvestasi pada tiap skala usaha tersaji pada Tabel 12.
B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
a. Sewa lahan
Status lahan yang dimiliki oleh petani terdiri atas lahan pribadi, lahan
warisan, lahan sewa, atau perpaduan antara ketiganya. Petani skala usaha I
memiliki lahan yang merupakan warisan dari orang tua. Sedangkan lahan petani
skala usaha III diperoleh dengan membeli lahan bekas tanah perkebunan the
sebelum membudidayakan ulat sutera. Petani sutera skala usaha II menyewa lahan
64
pada masyarakat sekitar atau lahan milik perum perhutani rasamala yang berada di
Kecamatan Sukanagara. Lahan sewa digunakan untuk pembudidayaan murbei.
Pemeliharaan ulat sutera dilakukan pada lahan pribadi yang telah dimiliki
sebelumnya.
Lahan yang dimiliki petani sutera diperhitungkan sebagai biaya tidak tunai
(opportunity cost) mengingat status kepemilikan lahan yang berbeda-beda.
Perkiraan besarnya sewa lahan berdasarkan biaya sewa lahan pertanian di
Kecamatan Sukanagara per hektar setiap tahunnya. Biaya untuk menyewa lahan
Perum Perhutani di Kecamatan Sukanagara sebesar Rp 100.000 per hektar setiap
tahunnya. Sedangkan biaya sewa lahan masyarakat per hektar setiap tahunnya
sebesar Rp 500.000.
Biaya sewa lahan yang dikenakan pada skala usaha I dan III per hektar
setiap tahun sebesar Rp 100.000. Hal ini dilakukan karena masyarakat di
Sukanagara lebih sering menyewa lahan pada Perum Perhutani dengan biaya yang
lebih murah. Petani skala usaha I mengeluarkan biaya sewa per tahun sebesar Rp
100.450 dengan luas 1,005 hektar. Sedangkan petani skala usaha III mengeluarkan
biaya sewa lahan yang lebih besar, yakni Rp 200.980 per tahun dengan luas 2,01
hektar. Petani skala usaha II memiliki lahan seluas 1,510 hektar. Skala usaha II
mengeluarkan biaya sewa lahan per tahunnya sebesar Rp 352.449 dengan biaya
sewa per hektarnya sebesar Rp 233.333. Biaya sewa lahan skala usaha II per
hektarnya diperoleh dari rata-rata biaya sewa lahan responden yang termasuk
dalam skala usaha II.
b. Perlengkapan
Perlengkapan digunakan untuk membantu kegiatan budidaya murbei
terutama untuk pemeliharaan rumah ulat (Tabel 13). Sarung tangan digunakan
pada saat kegiatan pemanenan maupun pemeliharaan murbei. Saringan
digunakan untuk menaburkan kapur ke tubuh ulat agar lebih merata. Sapu lidi,
sapu ijuk, dan serokan digunakan untuk membersihkan rumah ulat sutera.
Selama berada di dalam rumah ulat, sandal harus digunakan agar kebersihan
rumah ulat sutera tetap terjaga.
65
d. Komunikasi
Komunikasi melalui telpon seluler dilakukan untuk mengetahui
perkembangan budidaya ulat sutera mulai dari informasi waktu kedatangan bibit
ulat, masalah pemeliharaan, pemanenan kokon hingga pemasaran. Biaya
komunikasi yang dikeluarkan petani skala usaha I dan III sama per tahunnya,
yaitu sebesar Rp 60.000. Petani skala usaha II mengeluarkan biaya komunikasi
sebesar Rp 80.000 per tahunnya. Koordinator kelompok tani yang merupakan
petani skala usaha II sering melakukan komunikasi dengan pihak CV. Batu
Gede sehingga mempengaruhi besarnya biaya komunkasi yang dikeluarkan.
e. Listrik
Biaya listrik yang dikeluarkan oleh petani skala usaha II dan III sama per
bulan, yaitu sebesar Rp 25.000 atau sekitar Rp 300.000 per tahunnya. Biaya
listrik perbulannya tetap tanpa memperhitungkan jumlah KWh dan diasumsikan
67
tanpa biaya beban. Hal ini dilakukan karena tenaga listrik yang digunakan tidak
terlalu besar. Pada tahun ke nol, penggunaan listrik selama 6 bulan karena ulat
sutera yang dipelihara hanya 6 periode pemeliharaan. Listrik digunakan untuk
menjaga suhu rumah ulat agar tidak terlalu dingin pada malam hari. Petani skala
usaha I tidak menggunakan listrik dengan pertimbangan untuk meminimalkan
biaya operasional.
2. Biaya Variabel
a. Bibit ulat Sutera dan Daun Murbei
Bibit ulat sutera dibeli dari CV Batu Gede dengan harga Rp 130.000 per
boks. Satu boks berisi 25.000 bibit ulat sutera. Dalam satu tahun dilakukan 12
periode pemeliharaan. Skala usaha I dan III hanya memelihara 1 boks ulat per
periode pemeliharaan atau sebanyak 12 boks per tahun sehingga biaya yang
dikeluarkan sama, yaitu sebesar Rp 1.560.000 per tahun. Biaya pembelian bibit
ulat sutera yang dikeluarkan oleh petani skala usaha II sebesar Rp 2.600.000 per
tahun dengan jumlah ulat yang dipelihara sebanyak 20 boks per tahun. Jumlah
ini merupakan hasil rata-rata produksi kokon pada petani skala usaha II. Pada
tahun ke nol, ulat sutera dipelihara dalam 6 periode pemeliharaan sehingga
biaya yang dikeluarkan hanya setengahnya.
Skala usaha I dan II mengeluarkan biaya pembelian daun murbei pada
petani yang masih memelihara ulat sutera maupun tidak lagi memelihara ulat.
Pembelian dilakukan pada saat ulat berada pada akhir instar V sebelum
pergantian kulit. Satu kilogram daun murbei dengan cabang dibeli dengan harga
Rp 300. Besarnya biaya yang dikeluarkan pada masing-masing skala usaha per
tahunnya, yaitu Rp 220.200 dan Rp 540.000. Skala usaha II lebih banyak
mengeluarkan biaya pembelian karena jumlah daun murbei yang dibeli lebih
banyak, yaitu 1.800 kilogram. Skala usaha III tidak membeli daun murbei
karena produktivitas kebun murbei lebih dari cukup untuk memberi makan ulat
sutera yang dipelihara. Produksi daun murbei yang berlebih ini dijual kepada
petani skala usaha I. Sedangkan skala usaha II membeli daun murbei ke petani
yang tidak lagi memelihara ulat sutera.
68
Tabel 15 Kebutuhan bibit ulat sutera dan daun murbei per tahun
Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Harga Jumlah Harga Jumlah Harga
(Rp) (Rp) (Rp)
Pembelian ulat 12 boks 1.560.000 20 boks 2.600.000 12 boks 1.560.000
Pembelian
daun murbei 730 kg 219.000 150 kg 45.000 - -
Jumlah 1.779.000 2.645.000 1.560.000
Tabel 16 Penggunaan BBM dan desinfektan per tahun pada tiap skala usaha
Skala Usaha
Uraian I II III
Jumlah Rp Jumlah Rp Jumlah Rp
Bensin 6 liter 27.000 15,7 liter 70.650 6 liter 27.000
Oli bekas 1 liter 500 1,2 liter 600 2 liter 1.000
Kapur 120 kg 84.000 260 kg 182.000 120 kg 84.000
Insektisida - - 1 liter 97.000 - -
Herbisida - - - - 5 liter 215.000
Deterjen 12 bks 24.000 20 bks 40.000 12 bks 24.000
Jumlah 135.500 390.250 351.000
c. Kebutuhan Pupuk
Pupuk digunakan untuk memelihara kesuburan tanah sehingga daun
murbei yang dihasilkan menjadi lebih baik kandungan nutrisinya. Ini
berpengaruh secara tidak langsung terhadap kesehatan ulat sutera. Skala usaha
III mengeluarkan biaya pembelian pupuk terbanyak per tahunnya, yaitu sebesar
Rp 1.530.000. Hal ini dipengaruhi oleh pemakaian jumlah per jenis pupuk yang
besar. Skala usaha I mengeluarkan biaya pembelian pupuk yang paling sedikit di
antara yang lain sebesar Rp 752.500 per tahun dengan jenis pupuk dan jumlah
pemakaian yang lebih sedikit. Pada tahun ke nol, biaya pembelian pupuk pada
tiap skala usaha sebesar Rp 120.000, Rp 911.073, dan Rp 1.045.000. Perbedaan
biaya pupuk pada tahun nol dengan tahun-tahun berikutnya dikarenakan pada
tahun ke nol telah dilakukan pembelian pupuk dasar pada saat pembuatan kebun
murbei. Penggunaan pupuk per tahun pada tiap skala usaha tersaji pada Tabel
17.
70
Tabel 18 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha I
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 2 12 360.000
Pemangkasan 1 10 180.000
Pemupukan 1 12 30.000
Menghilangkan floss* 2 12 420.000
Pengolahan limbah - - -
Jumlah 8 990.000
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 450 kg per periode pemeliharaan
71
Tabel 19 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha II
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 3 6 270.000
Pemangkasan 2 10 300.000
Pemupukan 2 6 180.000
Menghilangkan floss* 3 12 716.400
Pengolahan limbah 1 12 180.000
Jumlah 12 1.646.400
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 716 kg per periode pemeliharaan
Tabel 20 Kebutuhan tenaga kerja borongan per tahun pada skala usaha III
Uraian Jumlah (orang) HOK Biaya (Rp)
Penyiangan 4 15 900.000
Pemangkasan 17 2 450.000
Pemupukan 2 6 180.000
Menghilangkan floss* 3 12 420.012
Pengolahan limbah - - -
Jumlah 28 2.010.012
Keterangan: * = Jumlah kokon yang dihasilkan 450 kg per periode pemeliharaan
Tenaga kerja borongan paling banyak dibutuhkan pada skala usaha III
sebanyak 29 orang khususnya pada saat pemangkasan yang membutuhkan
tenaga kerja sebanyak 17 orang. Pemangkasan dilakukan dua kali dalam satu
tahun. Upah tenaga kerja borongan skala usaha III sebesar Rp 2.010.012 per
tahunnya. Skala usaha II mengeluarkan biaya tambahan untuk membersihkan
limbah sebesar Rp 180.000 per tahunnya. Sedangkan skala usaha I hanya
membutuhkan tenaga kerja sebanyak 9 orang per tahunnya. Penggunaan tenaga
pada skala usaha I disesuaikan dengan kebutuhan. Pada tahun ke nol, upah
tenaga kerja borongan pada tiap skala usaha, yaitu sebesar Rp 855.000, Rp
1.198.200, dan Rp 1.920.006. Besarnya biaya ini dipengaruhi oleh adanya biaya
pendangiran pada tiap skala usaha sebesar Rp 90.000, Rp 60.000, dan Rp
180.000. Besarnya biaya pendangiran dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan
jumlah hari orang kerja. Biaya menghilangkan floss pada tahun ke nol yang
hanya setengah dari tahun-tahun berikutnya karena pemeliharaan ulat hanya
dilakukan dalam 6 periode pemeliharaan.
72
e. Transportasi
Perhitungan biaya transportasi dilakukan pada pengangkutan hasil panen
daun murbei dan pendistribusian kokon (Tabel 21). Besarnya biaya transportasi
yang dikeluarkan pada tahun ke nol hanya setengahnya karena ulat hanya
dipelihara dalam 6 periode pemeliharaan. Pengangkutan hasil panen daun
murbei pada skala usaha I dilakukan dengan tenaga sendiri atau tidak
menggunakan jasa pengangkutan sehingga tidak dilakukan perhitungan. Pada
skala usaha III, pengangkutan daun murbei sudah termasuk dalam kegiatan
pemanenan murbei sehingga tidak diperhitungkan sebagai biaya pengangkutan
murbei.
Net Present Value (NPV) adalah perbedaan antara nilai sekarang dari
nilai manfaat dan biaya suatu proyek. Untuk menghitung perubahan nilai uang
terhadap waktu, digunakan tingkat suku bunga 12% yang merupakan suku
bunga pinjaman Bank Indonesia pada tahun 2010. Perhitungan Net Present
Value (NPV) pada skala usaha I menghasilkan nilai sebesar Rp 8.688.681.
Sedangkan nilai NPV pada skala usaha II sebesar Rp 7.202.019. Artinya, jumlah
manfaat bersih yang diterima petani skala usaha I dan II selama 10 tahun dengan
discount rate 12 persen sebesar Rp 8.598.681 dan Rp 7.202.019. Berdasarkan
kriteria kelayakan NPV, budidaya ulat sutera skala usaha I dan II layak
dilaksanakan karena nilai NPV > 0. Nilai NPV skala usaha III berada pada nilai
74
negatif (NPV < 0) adalah Rp 30.269.954 sehingga usaha ini tidak layak
dilakukan.
Tingkat pengembalian internal (IRR) merupakan tingkat kemampuan
proyek untuk menghasilkan keuntungan dan dapat dinyatakan sebagai tingkat
diskonto. Nilai IRR menunjukkan tingkat suku bunga pinjaman (bank) yang
menghasilkan nilai NPV sama dengan nol. Nilai IRR pada skala usaha I dan
skala usaha II ini adalah 33,99 persen dan 20,55 persen lebih tinggi dari tingkat
diskonto 12 persen. Dengan demikian, usaha ini dianggap layak berdasarkan
kriteria IRR. Nilai IRR skala usaha III tidak dapat dihitung. Hal ini dikarenakan
nilai NPV < 0 atau nilai manfaat bersih yang diperoleh skala usaha III bernilai
negatif dari tahun pertama hingga akhir proyek.
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara
benefit kotor dengan biaya yang telah didiskonto. Skala usaha I dan II memiliki
nilai gross B/C 1,17 dan 1,08. Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya ulat
sutera layak dilakukan karena nilai Gross B/C > 1. Pada skala usaha III nilai
Gross B/C sebesar 0,668. Berdasarkan kriteria kelayakan Gross B/C, usaha ini
tidak layak diusahakan.
Analisis waktu pengembalian modal (pay back period) diperlukan untuk
mengetahui lama waktu yang diperlukan suatu usaha atau proyek untuk dapat
mengembalikan nilai investasi. Nilai pay back period (PBP) skala usaha I adalah
2,75 tahun setara dengan 2 tahun 9 bulan 4 hari. Sedangkan skala usaha II
memiliki waktu pengembalian modal 4,13 tahun yang setara dengan 4 tahun 1
bulan 17 hari. Kedua skala usaha dikatakan layak karena waktu pengembalian
modal kurang dari umur proyek 10 tahun.
tidak dapat dihitung karena nilai NPV yang negatif. Skenario pengembangan
usaha perlu dilakukan pada skala usaha III agar manfaat bersih bernilai positif
dapat diperoleh sehingga usaha budidaya ulat sutera menjadi layak dilakukan.
B. Biaya Operasional
1. Biaya Tetap
Biaya tetap per tahun yang dikeluarkan terdiri dari sewa lahan sebesar
Rp. 200.980, upah tenaga kerja tetap Rp 4.680.000, komunikasi Rp 60.000,
listrik Rp 300.000, dan perlengkapan sebesar Rp 218.500 (Tabel 23). Kebutuhan
karung sebagai alas ulat sutera di dalam rak pemeliharaan dan pengangkutan
hasil panen daun murbei meningkat dari sebelumnya berjumlah 5 buah karung
berukuran besar dan 30 buah karung berukuran sedang menjadi 9 karung
berukuran besar dan 34 karung berukuran sedang. Hal ini dikarenakan
bertambahnya ruang pemeliharaan dan jumlah pakan ulat sutera.
Tabel 23 Kebutuhan perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan
Uraian Jumlah Satuan Harga Satuan Harga Total
(Rp) (Rp)
Karung besar 9 buah 2.500 22.500
Karung sedang 34 buah 2.000 68.000
Klastik mulsa 8 meter 4.000 32.000
Sarung tangan 4 buah 4.000 16.000
Saringan 1 buah 10.000 10.000
Sapu lidi 1 buah 3.000 3.000
Sapu ijuk 1 buah 10.000 10.000
Serokan 1 buah 10.000 10.000
Sandal 2 buah 10.000 20.000
Lampu: 5 watt 9 buah 3.000 27.000
Jumlah 218.500
2. Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh jumlah
produksi yang dihasilkan. Terdapat perbedaan pada komponen biaya variabel
dalam skenario pengembangan dengan usaha yang sedang dijalankan. Jumlah
77
ulat sutera yang dipelihara sebelumnya hanya 12 boks menjadi 24 boks sehingga
total biaya pembelian ulat menjadi Rp 3.120.000 dengan harga bibit ulat per
boks sebesar Rp 130.000. Pemakaian kapur untuk desinfeksi ulat sutera dan
deterjen untuk mencuci seriframe dan karung meningkat 100 persen menjadi
240 kilogram kapur dan 24 bungkus deterjen berukuran kecil. Jumlah tenaga
kerja borongan untuk menghilangkan floss ulat sutera bertambah 3 orang
menjadi 6 orang pekerja. Biaya transportasi kokon ke tempat penjualan
bertambah dua kali libat menjadi Rp 600.000.
Tabel 24 Biaya pembelian perlengkapan per tahun pada skala usaha III dalam
skenario pengembangan
Uraian Satuan Jumlah Biaya
(Rp)
Bibit ulat 24 boks 3.120.000
BBM dan desinfektan
bensin 6 liter 27.000
oli bekas 2 liter 1.000
kapur 240 kg 168.000
herbisida 5 liter 215.000
deterjen 24 bungkus 48.000
Kebutuhan pupuk
urea 150 kg 240.000
NPK 150 kg 450.000
ZA 300 kg 540.000
Pupuk Kandang 1.000 kg 300.000
Upah tenaga kerja borongan
penyiangan 4 orang 900.000
pemupukan 2 orang 120.000
pemangkasan 17 orang 510.000
pendangiran 3 orang 180.000
menghilangkan floss 6 orang 840.024
Transportasi kokon 12 rit 600.000
Jumlah 8.259.024
dianggap layak dilaksanakan karena nilai NPV-nya lebih besar dari nol
(NPV>0).
Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat kemampuan proyek
menghasilkan keuntungan yang dinyatakan dalam tingkat diskonto, suku bunga
pinjaman bank, yang menghasilkan nilai NPV sama dengan nol. Hasil
perhitungan IRR pada skala usaha III sebesar 26,06 persen, lebih tinggi dari
tingkat diskonto 12 persen. Dengan demikian, berdasarkan kriteria IRR, usaha
ini layak dilakukan.
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C) merupakan perbandingan antara
nilai sekarang manfaat (present value inflow) dengan nilai sekarang biaya
(present value outflow) yang telah didiskonto sehingga diketahui efisiensi dalam
penggunaan modal. Nilai Gross B/C pada pembudidayaan ulat sutera skala
usaha III dalam skenario pengembangan sebesar 1,12 yang menunjukkan bahwa
usaha ini dinilai layak (nilai Gross B/C > 1).
Waktu pengembalian nilai investasi suatu proyek dapat diketahui dengan
analisis Pay Back Period (PBP). Nilai PBP yang diperoleh pada skala usaha III
dalam skenario pengembangan, yaitu sebesar 3,44 tahun yang setara dengan 3
tahun 5 bulan 11 hari. Jika dibandingkan dengan umur proyek yaitu 10 tahun
maka waktu pengembalian investasi pada usaha ini relatif cepat dan dapat
dikatakan layak.
Tabel 25 Hasil analisis finansial skala usaha III dalam skenario pengembangan
Kriteria Kelayakan Investasi Nilai
NPV (Rp) 12.649.681
IRR (%) 26,06
Gross B/C 1,12
PBP (tahun) 3,44
berjalan serta pada skala usaha III dalam skenario pengembangan. Dari hasil
analisis sensitivitas akan diketahui variabel mana yang lebih peka ketika terjadi
perubahan yang akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha
(Tabel 26).
Tabel 26 Analisis sensitivitas pada skala usaha I, skala usaha II, dan skala usaha
III dalam skenario pengembangan
Kondisi
Uraian Normal P -10% B +10%
Nilai (%) Nilai (%)
Skala Usaha I
NPV (Rp) 8.688.681 2.657.565 69,41 4.619.977 46,83
IRR (%) 33,99 18,85 44,54 23,82 29,92
Gross B/C 1,17 1,05 10,26 1,08 7,69
PBP (tahun) 2,75 4,38 59,27 3,67 33,45
Skala Usaha II
NPV (Rp) 7.202.019 -2.926.168 140,63 -211.534 102,94
IRR (%) 20,55 8,34 59,42 11,75 42,82
Gross B/C 1,08 0,97 10,19 0,99 8,33
PBP (tahun) 4,13 6,64 60,77 5,67 37,29
Skala Usaha III*
NPV (Rp) 12.649.681 902.450 92,87 4.199.223 66,80
IRR (%) 26,06 13,05 49,92 16,79 35,57
Gross B/C 1,12 1,01 9,82 1,04 7,14
PBP (tahun) 3,44 5,39 56,69 4,73 37,50
Keterangan: P -10% = Penurunan harga jual kokon
B +10% = Peningkatan biaya operasional
* = Skala usaha III dalam skenario pengembangan
modal (PBP) menjadi menjadi lebih lama, yaitu sekitar 3,67 tahun atau setara
dengan 3 tahun 8 bulan 5 hari. Variabel penurunan harga jual kokon memiliki
tingkat kepekaan yang lebih tinggi dari variabel peningkatan biaya operasional.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen dan peningkatan biaya operasional
sebesar 10 persen tetap membuat budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh petani
sutera skala usaha I layak untuk diusahakan dengan nilai NPV lebih dari 1, nilai
IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, nilai gross B/C lebih dari 1, dan
PBP lebih cepat dari umur proyek 10 tahun.
Budidaya ulat sutera yang dijalankan oleh skala usaha II memiliki tingkat
kepekaan atau sensitivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan usaha yang
dijalankan oleh skala usaha I. Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen dan
peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen pada skala usaha II membuat
kegiatan budidaya ulat sutera tidak layak untuk dilakukan. Nilai NPV berada pada
kisaran negatif adalah sebesar Rp 2.926.168 dengan persentase penurunan
sebesar 140,63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini mengalami kerugian
sebesar Rp 2.926.168. Nilai IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku sebesar
8,34 persen dengan persentase penurunan sebesar 59,42 persen. Nilai gross B/C
kurang dari 1 sebesar 0,97. Peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen
membuat nilai NPV negatif sebesar Rp 211.534. Nilai IRR sebesar 11,75 persen
ini lebih kecil dari suku bunga pinjaman Bank Indonesia, 12 persen. Nilai gross
B/C berkurang 0,09 menjadi 0,99.
Usaha budidaya ulat sutera pada skala usaha III dalam skenario
pengembangan tetap layak dilakukan meskipun terjadi penurunan harga jual
kokon sebesar 10 persen dan peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10 persen mengakibatkan nilai NPV turun
menjadi sebesar Rp 902.450 dengan persentase 92,87 persen. Nilai IRR pada
kondisi normal 26,06 persen turun menjadi 13,05 persen. Nilai gross B/C sebesar
juga mengalami penurunan sebesar 9,82 persen, yaitu 1,01. Pengembalian modal
dapat dilakukan dalam waktu 5,39 tahun atau setara dengan 5 tahun 4 bulan 22
hari. Peningkatan biaya operasional sebesar 10 persen membuat nilai NPV turun
66,80 persen, yaitu sebesar Rp 4.199.223. Nilai IRR mengalami penurunan
sebesar 16,79 persen. Nilai gross B/C menurun dari 1,12 menjadi 1,04. Waktu
81
pengembalian modal menjadi lebih lama, yaitu 4,73 tahun atau setara dengan 4
tahun 8 bulan 27 hari.
Analisis sensitivitas pada skala usaha III pada usaha yang sedang berjalan
dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha bila terjadi peningkatan
harga jual kokon sebesar 10 persen dan penurunan biaya produksi sebesar 10
persen. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha budidaya pada skala
usaha III tetap tidak layak dilakukan meskipun terjadi peningkatan nilai NPV dan
nilai gross B/C. Pada kondisi peningkatan harga jual kokon sebesar 10 persen,
nilai NPV tetap berada pada kisaran negatif, yaitu Rp 24.328.839. Artinya, skala
usaha III mengalami kerugian sebesar Rp 24.328.839. Nilai gross B/C meningkat
dari 0,67 menjadi 0,73 namun tetap tidak lebih besar dari satu. Nilai IRR dan PBP
tidak dapat dihitung karena nilai NPV negatif dari tahun ke nol hingga akhir
proyek.
Tabel 27 Analisis sensitivitas pada skala usaha III pada usaha yang sedang
berjalan
Kondisi
Uraian Normal P +10% B -10%
Nilai (%) Nilai (%)
NPV (Rp) -30.269.954 -24.328.839 19,63 -23.232.948 23,25
IRR (%) - - - - -
Gross B/C 0,67 0,73 8,96 0,72 7,46
PBP (tahun) - - - - -
Keterangan: P +10% = Peningkatan harga jual kokon
B -10% = Penurunan biaya operasional