SKRIPSI
Kata-kata kunci: ulat sutera emas, Cricula trifenestrata, sistem produksi, nilai
ekonomi, jambu mete
ii
ABSTRACT
iii
SISTEM PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI PENGUSAHAAN
ULAT SUTERA EMAS (Cricula trifenestrata) DI PERKEBUNAN
JAMBU METE DESA IMOGIRI YOGYAKARTA
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Sistem Produksi dan Nilai Ekonomi Pengusahaan Ulat Sutera
Emas (Cricula trifenestrata) di Perkebunan Jambu Mete Desa
Imogiri Yogyakarta.
Nama : Citra Ayu Furry
NIM : D14062868
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Ir. Dwi Joko Setyono, M.S.) (Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.)
NIP. 19601123198903 1 001 NIP. 19620617 1990003 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan tanggal 23 Januari 1989 di Bekri, Lampung Tengah.
Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Ribut Kusnaedi
dan Ibu Yulidesni. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan pada tahun 2000 di
SD Negeri 628 Sule Inti, Palembang, pendidikan lanjutan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 2003 di SMP Negeri 2 Tanjung Bintang, Lampung Selatan,
dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA
AssalamTanjung Bintang, Lampung Selatan. Penulis diterima sebagai mahasiswa
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Nasional) dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
pada tahun 2007.
Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif di berbagai organisasi
diantaranya Staf Kebijakan Kampus BEM KM IPB (2006-2007), Pengurus PPSDM
Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM IPB) 2006-2008, Pengurus Ikatan
Keluarga Musholah TPB (IKMT) 2006-2007, Pengurus Paguyuban Forum Indonesia
Muda Bogor (2007-sekarang), Pengurus Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan
Indonesia (HMPPI) 2007, Ketua Divisi Syiar Forsita Pengurus Koalisi Gaul Sehat
(KOGASE IPB ) 2008-2009. Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan seminar
diantaranya Pelatihan Kepemimpinan Forum Indonesia Muda (FIM Anggakatan V)
tahun pada 2006, Pelatihan Multimedia BKIM IPB (2007), Training Kubik
Leadership (2007), Training Umat Terbaik Hidup Berkah (UTHB) pada tahun 2008,
Pelatihan Kewirausahaan Go Entrepreneur Perum Pegadaian (2010), Pelatihan
Kewirausahaan Building Entrepreneur Student Program (BEST) Fapet IPB pada
tahun 2010, Pelatihan BISMA Leadership Karya Salemba Empat (KSE), Seminar
Nasional Peduli Pendidikan (2008).
Penulis pernah mendapatkan penghargaan setara emas untuk Lomba Karya
Tulis Wirausaha Mahasiswa (LKTWM PIMNAS Ke XXIV), Juara 1 Lomba Produk
Kreatif Pameran Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasinal (PIMNAS ke XXIII), Harapan I
Lomba karya Tulis Inovasi Produk Lokal Indonesia. Penulis berkesempatan
mendapatkan beasiswa dari Karya Salemba Empat (KSE) serta Beasiswa BISMA
Indofood Sukses Makmur pada tahun 2011.
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .... i
ABSTRACT ... iii
LEMBAR PERNYATAAN........................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN........ v
RIWAYAT HIDUP ....................................................... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI .. viii
DAFTAR TABEL ...... x
DAFTAR GAMBAR ..... xi
DAFTAR LAMPIRAN .. xii
PENDAHULUAN ............................................................. 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Ulat Sutera .. 4
Cricula trifenestrata ... 4
Daerah Penyebaran 5
Daur Hidup C. trifenestrata Helf. .. 5
Pakan C. trifenestrata ..... 6
Tanaman Jambu Mete A. occidentale 6
Potensi Pertumbuhan Perkebunan Jambu Mete . 6
Sistem Produksi .. 7
Analisis Pendapatan Usaha Tani .... 8
Nilai Ekonomis Sutera ............................................................ 9
MATERI DAN METODE . 10
Lokasi dan Waktu .................. 10
Materi ..................................................................................... 10
Populasi dan Sampel .. 10
Data dan Instrumentasi ...................... 10
Prosedur .................... 11
Rancangan dan Analisis Data ... 11
Analisis Deskriptif . 11
Analisis Pendapatan (Nilai Ekonomi) .... 11
HASIL DAN PEMBAHASAN .. 14
Kondisi Umum ....... 14
Sejarah Kelompok Tani Catur Makaryo.... 14
viii
Lokasi Kelompok Tani .. 15
Struktur Organisasi ... 16
Habitat Ulat Sutera Emas C. trifenestrata ................ 16
Klasifikasi C. trifenestrata . 18
Pengusahaan Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) .............. 19
Sistem Produksi .... 22
Input ... 23
Proses . 24
Daur Hidup C. trifenestrata 25
Output . 33
Nilai Ekonomi ... 34
Biaya Investasi ... 34
Biaya Operasional 35
Biaya Total atau Total Cost(TC) .......... 35
Penerimaan atau Total Revenue (TR) .. 35
Keuntungan . 36
R/C Ratio 36
Payback Periode (PP) 37
Potensi Pengembangan Kokon Ulat Sutera C.
trifenestrata .... 37
KESIMPULAN .. 40
Kesimpulan ... 40
Saran ... 40
UCAPAN TERIMA KASIH . 42
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN ...... 45
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Daerah Penghasil Utama Jambu Mete di Indonesia pada Tahun
2002 .................................................................................................. 7
2. Distribusi Jenis Profesi Utama Petani........................................... 19
3. Distribusi Tanggungan Keluarga Tiap Petani .......................... 20
4. Distribusi Jumlah Pohon Tiap Petani ... 20
5. Distribusi Jumlah Panen Kokon Tiap Petani 21
6. Penduduk Desa Karangtengah Menurut Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin Akhir Tahun 2009 . 21
7. Nilai Investasi dari Alat-alat yang Dipakai Petani 34
8. Biaya Penyusutan untuk Pengumpulan Kokon Ulat Sutera ............. 35
9. Total Cost yang Dikeluarkan oleh Petani Pengumpul Kokon Per
Tahun. 35
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Telur, Kepompong, dan Ulat Sutera C. trifenestrata ....................... 4
2. Ngengat dari C. trifenestrata ........................................................... 5
3. Skema Sistem Produksi ................................................................... 7
4. (a). Papan Nama Sekretariat Kelompok Tani Catur Makaryo, (b).
Penunjuk Arah Desa Wisata yang Menjadi Salah Satu Program
Kelompok Tani Catur Makaryo ....................................................... 14
5. Susuan Kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo .................. 16
6. Kegiatan Satu Tahap Proses Produksi ............................................. 23
7. Siklus Hidup Ulat Sutera Emas C. trifenestrata .............................. 25
8. Telur Ulat Sutera Emass C. trifenestrata ......................................... 26
9. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar I ....................................... 27
10. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar II ...................................... 28
11. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar III .................................... 29
12. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar IV .................................... 29
13. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata pada Stadium V ........................ 30
14. Stadium Pupa Ulat Sutera Emas C. trifenestrata ............................. 31
15. Stadium Imago Ulat Sutera C. trifenstrata ...................................... 32
16. Bros Bunga dari Kepompong Ulat Sutera C.trifenestrata ............... 38
17. Kotak dan Kalung dari Kepompong Ulat Sutera Emas C. trifenes-
trata .................................................................................................. 39
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Wawancara dengan Penanggungjawab Kebun Kelompok Tani
Catur Makaryo . 46
2. Kuisioner Penelitian ......................................................................... 47
3. Nilai Investasi dan Alat-Alat yang Dipakai Petani Pengumpul ... 50
4. Biaya Tetap untuk Pengumpulan Kokon Ulat Sutera ...... 51
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah baik berupa kekayaan
alam tambang, maupun kekayaan alam flora dan fauna. Masih cukup banyak
kekayaan alam Indonesia yang belum diketahui dan dimanfaatkan. Salah satu
diantaranya adalah ulat sutera liar Cricula trifenestrata. Ulat yang terkenal
menghasilkan sutera meliputi dua kelompok, yaitu ulat sutera murbei dan ulat
sutera non murbei. Kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah
didomestikasi dengan daun murbei (Morus sp) sebagai pakannya, contohnya
adalah Bombyx mori, sedangkan kelompok non murbei atau sutera liar adalah ulat
sutera yang belum didomestikasi dengan pakan bukan daun murbei. Ulat sutera
liar (wild silkworm) atau kelompok sutera non murbei merupakan ulat sutera yang
menghasilkan berbagai jenis sutera yang sangat bervariasi jenisnya. Di Indonesia
terdapat lima spesies ulat sutera liar, yaitu Attacus atlas L, Samia cynthia ricini
Bsd, Cricula trifenestrata Helf, C. aelaezea Jord, Anthraea pernyi yang semuanya
termasuk familia Saturniidae (Situmorang, 1996).
Cricula trifenestrata yang menghasilkan kokon (kepompong) berwarna
kuning keemasan hidup liar di sebagian daerah Indonesia. Penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan adanya beberapa keunggulan dari ulat sutera liar
dibanding dengan ulat sutera B. mori. Sifat suteranya lembut, dapat menyimpan
panas lebih lama, dan anti bakteri. Keunggulan lain adalah variasi warna
suteranya yang bermacam-macam, filamen kokon mengandung lebih banyak pori
dan tidak menyebabkan alergi (Akai, 1997).
Pakan C. trifenestrata mencakup daun dari berbagai jenis tumbuhan
seperti pohon alpukat, kenari, kedondong, kopi, jambu mete, mangga, dan kayu
manis. Banyak perkebunan di Indonesia, khususnya perkebunan jambu mete
berpotensi dijadikan sumber pakan C. trifenestrata. Ulat sutera liar hanya hidup di
iklim tropis seperti di Indonesia, sehingga Indonesia memiliki potensi
pengembangan budidaya C. trifenestrata yang lebih strategis.
Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan komoditas hasil
perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia karena memiliki
arti ekonomis yang cukup besar sebagai bahan baku agroindustri. Sejak tahun
1
1994-2002, areal tanaman jambu mete terus meningkat, dengan rata-rata
pertumbuhan 3,5% per tahun. Tahun 2003, produksi gelondong mete Indonesia
telah mencapai 110.232 ton (Direktorat Jendral Perkebunan, 2003).
Sebagian besar petani jambu mete masih menganggap C. trifenestrata ini
sebagai hama sehingga ulat sutera ini seringkali diberantas. Padahal keberadaan
C. trifenestrata pada pohon jambu mete justru memicu peningkatan kualitas buah
jambu mete. Selain keunggulan di atas, kokon C. trifenestrata dapat dijadikan
bahan baku pembuatan asesoris. Sebagian kecil petani jambu mete di daerah
Imogiri yang telah mengetahui nilai ekonomi C. trifenestrata telah mulai
memanfaatkan kokonnya sejak tahun 1995 dengan cara mengkoleksinya dari alam
(Situmorang, 1996). Sebagian kokon-kokon yang dikumpulkan, dipintal menjadi
benang sutera emas dan sebagian lainnya dibuat menjadi lembaran kokon yang
digunakan dalam pembuatan berbagai macam barang kerajinan tangan yang
eksklusif.
Sampai saat ini, terdapat beberapa produsen aksesoris yang memanfaatkan
kepompong C. trifenestrata sebagai bahan baku produknya. Produsen tersebut
tersebar di Pulau Jawa dan Bali. Kendala utama yang dialami para produsen
adalah bahan baku kulit kokon yang masih terbatas karena ulat sutera
C. trifenestrata belum dibudidayakan. Lebih jauh, jika ulat ini tidak dipopulerkan
di masyarakat untuk dibudidayakan, ditambah lagi oleh dampak perubahan iklim,
besar kemungkinan di masa mendatang spesies ini akan mengalami kepunahan
atau potensi ini justru dikembangkan oleh negara lain. Oleh karena itu, perlu
diketahui sistem produksi C. trifenestrata secara terintegrasi sehingga dapat
diadopsi dalam usaha budidaya atau dijadikan referensi bagi pemilik kebun jambu
mete ataupun kebun lainnya di daerah lain untuk memanfaatkan ulat sutera
C. trifenestrata dan tidak menganggapnya sebagai hama.
2
Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis sistem produksi dan
potensi ekonomi pemanfaatan hama ulat sutera liar (C. trifenestrata) di desa
Imogiri. Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengetahui:
1. Kebutuhan input produksi dan teknologi yang digunakan dalam
pemanfaatan C. trifenestrata.
2. Pola produksi dan siklus C. trifenestrata.
3. Keterlibatan tenaga kerja dalam rumah tangga petani jambu mete di
Imogiri.
4. Pendapatan petani jambu mete yang membudidayakan C. trifenestrata di
Imogiri.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Ulat Sutera
Ulat yang terkenal menghasilkan sutera meliputi dua kelompok, yaitu ulat
sutera murbei dan ulat sutera non murbei (San-Ming, 1989). Ulat sutera yang
dimasukkan dalam kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah
didomestikasi dengan daun murbei (Morus sp) sebagai pakannya, contohnya Bombyx
mori, sedangkan yang masuk dalam kelompok non murbei atau sutera liar adalah ulat
sutera yang belum didomestikasi dengan pakan bukan daun murbei, contohnya
Cricula trifenestrata.
Ulat sutera liar (wild silkworm) merupakan ulat sutera non-murbei yang
menghasilkan berbagai jenis sutera yang sangat bervariasi jenisnya. Terdapat
setidaknya lima spesies ulat sutera liar di Indonesia yaitu Attacus atlas L, Samia
cynthia ricini Bsd, Cricula trifenestrata Helf, Cricula aelaezea Jord, Anthraea pernyi
yang semuanya termasuk familia Saturniidae (Situmorang, 1996). Ulat sutera liar
tersebut menghasilkan jenis sutera yang berbeda dangan Bombyx mori. Sifat
suteranya lembut, dapat menyimpan panas lebih lama, dan anti bakteri. Keunggulan
lain adalah variasi warna suteranya yang bermacam-macam, filamen kokon
mengandung lebih banyak pori dan tidak menyebabkan alergi (Akai, 1997).
Cricula trifenestrata
Cricula trifenestrata termasuk dalam klasifikasi ordo Lepidoptera, famili
Saturniidae, genus Cricula (Triplehorn & Johnson, 2005). Ciri morfologi
C. trifenestrata ini adalah tubuh ulat berwarna hitam dengan bercak-bercak putih dan
rambut-rambut putih, kepala dan ujung abdomen berwarna merah cerah.
4
Tubuh ulat mampu mencapai panjang 60 mm. Pupa berada di dalam kokon
berbentuk jala yang berwarna kuning emas dan seringkali ditemukan bergerombol di
daun. Ngengat betina berukuran besar (memiliki bentangan sayap sekitar 75mm) dan
berwarna coklat. Ngengat betina mudah dibedakan dengan ngengat jantan karena
memiliki tiga jendela kecil pada sayap depan (Kalshoven, 1981).
Daerah Penyebaran
Cricula trifenestrata Helf. dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia dan
Asia Tenggara (Kalshoven, 1981). Cricula trifenestrata javana ditemukan di Nusa
Tenggara Timur, yaitu Flores (Watson, 1913). Cricula trifenestrata tenggarensis
ditemukan di Sumba (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Cricula trifenestrata juga
dijumpai di daerah Sumatera (Herausgeber, 1996). Cricula trifenestrata kransi
ditemukan di daerah Sulawesi (Akai, 2000). Cricula trifenestrata banggaiensis
ditemukan di Kepulauan Banggai (Naumann dan Pakustadt, 1997). Cricula
trifenestrata bornea ditemukan di Kalimantan (Watson, 1913).
5
1974). Setelah itu, ngengat keluar dari kokon yang membungkusnya. Ngengat
berwarna cokelat muda dengan tiga bercak transparan pada sayap bagian depan, dan
pada hari berikutnya ngengat akan kawin. Selanjutnya, betina akan mengeluarkan
telur dan lengkaplah daur C. trifenestrata Helf (Budidaya Ilmu Pertanian, 1986).
6
pertumbuhan areal tanaman jambu mete terus meningkat, rata-rata 3,5% per tahun.
Tahun 2003, produksi gelondong mete Indonesia telah mencapai 110.232 ton
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2003). Produksi gelondong mete Indonesia juga
menduduki urutan ke-6 sebagai produsen mete di dunia setelah Vietnam, India,
Nigeria, Brazil, dan Tanzania (Food and Agriculture Organization, 2004).
Pertanaman jambu mete tersebar di Kawasan Timur Indonesia. Sebagian
besar pertanamannya (sekitar 98%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat.
Daerah penghasil utama jambu mete yaitu Nusa Tenggara Timur (14,15%), Sulawesi
Tenggara (24,05%), Sulawesi Selatan (24,92%), Jawa Timur (10,14%), Nusa
Tenggara Barat (10,17%) dan Jawa Tengah (5,01%) (Direktorat Jendral Perkebunan,
2003).
Tabel 1. Daerah Penghasil Utama Jambu Mete di Indonesia pada Tahun 2002
No Provinsi Luas Pertanaman (ha) Produksi
PR PB Total (ton)
1 Nusa Tenggara Timur 146.153 209 146.362 15.600
2 Sulawesi Tenggara 117.031 3.519 120.550 26.507
3 Sulawesi Selatan 78.558 1.195 79.753 27.459
4 Jawa Timur 57.445 0 57.445 11.181
5 Nusa Tenggara Barat 51.640 3.800 55.445 11.210
6 Jawa Tengah 30.271 0 30.271 5.524
7 Provinsi lainnya 87.698 1.405 89.103 12.738
Total 568.796 10.128 578.924 110.232
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan (2003), PR: Perkebunan Rakyat, PB: perkebunan Besar
Sistem Produksi
Sistem produksi merupakan kumpulan dari sub sistem yang saling
berinteraksi dengan tujuan menstranformasi input produksi menjadi output produksi
yang memiliki nilai lebih/jual. Input produksi ini dapat berupa bahan baku, mesin,
tenaga kerja, modal, dan informasi. Sedangkan output produksi merupakan produk
yang dihasilkan berikut hasil sampingannya, seperti limbah, informasi, dan
sebagainya (Fadly, 2011). Secara skematis sistem produksi digambarkan sebagai
berikut:
7
Analisis Pendapatan Usaha Tani
Usaha tani adalah kegiatan yang ditujukan untuk menghasilkan output
(penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal sebagai pengeluaran.
Analisis pendapatan memerlukan data penerimaan (revenue) dan pengeluaran
(expenses) baik yang menyangkut tetap (fixed) maupun biaya operasi (operating
expenses). Semuanya dalam perhitungan tunai (cash). Jumlah yang dijual (termasuk
yang digunakan sendiri) dikalikan dengan harga merupakan jumlah yang diterima,
itulah yang disebut penerimaan. Bila penerimaan dikurangi dengan biaya produksi
hasilnya dinamakan pendapatan. Analisis pendapatan berguna untuk mengetahui dan
mengukur apakah kegiatan yang dilakukan berhasil atau tidak. Terdapat dua tujuan
utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dari suatu
kegiatan dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau
tindakan. Tingkat pendapatan selain dipengaruhi oleh keadaan harga faktor produksi
dan harga hasil produksi, juga dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan yang
dilakukan oleh peternak. Analisis usahatani meliputi penerimaan dan pendapatan
usahatani (Soekartawi, 2002).
Penerimaan total adalah nilai produk total usaha tani dalam jangka waktu
tertentu. Boediono (2002), menyatakan bahwa penerimaan adalah hasil penjualan
output yang diterima produsen dan jumlah penerimaan dari suatu proses produksi
dapat ditentukan dengan mengalikan jumlah produksi yang dihasilkan dengan harga
jual produk tersebut. Biaya mencakup suatu pengukuran nilai sumber daya yang
harus dikorbankan sebagai akibat dari aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk
mencari keuntungan. Berdasarkan volume kegiatan, biaya dibedakan atas biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang dikeluarkan dalam
kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu,
contuhnya adalah biaya penyusutan, sedangkan biaya variabel (variable cost) adalah
biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah sebanding dengan perubahan volume
kegiatan, contohnya adalah biaya bahan baku setengah jadi dan biaya survey.
(Boediono, 2002). Pengeluaran total usaha tani adalah nilai semua input yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah selisih antara total
penerimaan dan total pengeluaran (Soekartawi, et al., 1986)
8
Soeharjo dan Patong (1973) mengatakan bahwa pendapatan usaha tani yang
diterima seorang petani dalam satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima
petani lainnya. Perbedaan pendapatan petani ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya masih dapat berubah dalam batas-batas kemampuan petani, misalnya
luas lahan usaha tani, efisiensi kerja dan efisiensi produksi. Faktor-faktor yang tidak
dapat berubah seperti iklim dan jenis lahan.
Salah satu ukuran yang bisa dijadikan indikator untuk mengetahui
keuntungan usaha tani yang dilihat dari segi pendapatan adalah perbandingan antara
penerimaan dengan biaya atau R/C. Nilai R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh
akan lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
penerimaan tersebut sehingga kegiatan usaha tani efisien untuk dilakukan. Nilai R/C
< 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan
yang diperoleh sehingga usaha yang dilakukan tidak efisien. Alat yang digunakan
untuk menganalisis keuntungan usaha tani adalah R/C atas biaya tunai dan R/C atas
biaya total (Soekartawi et al., 1986).
9
MATERI DAN METODE
Materi
10
dari BMKG, data karakteristik penduduk dari Badan Pusat Statistik, Badan
Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta, dan Dinas Pertanian Kota Yogyakarta.
Prosedur
Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei untuk menganalisis
sistem produksi dan pendapatan ekonomi dari pemanfaatan C. trifenestrata di
desa Imogiri. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari
suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang
pokok. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis
pendapatan. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi dan
potensi usaha pemanfaatan C. trifenestrata di desa Imogiri. Analisis pendapatan
digunakan untuk mengetahui nilai ekonomi pemanfaatan C. trifenestrata di desa
Imogiri.
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini merupakan deskripsi yang
mendalam tentang proses produksi dari pemanfaatan kokon ulat sutera emas C.
trifenestrata. Proses produksi yang dimaksud meliputi pengamatan terhadap
input, proses dan output yang terkait dengan pemanfaatan kokon ulat sutera emas
C. trifenestrata. Input merupakan bahan dan alat-alat yang dibutuhkan dalam
pemanfaatan kokon, termasuk siklus produksi dari kokon ulat sutera emas C.
trifenestrata. Proses merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menghasilkan output. Output merupakan hasil keluaran dari proses produksi yang
memiliki nilai.
11
Biaya Investasi. Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membangun
usaha. Biaya investasi biasanya berumur lebih dari satu tahun. Misalnya biaya alat
timbangan besar yang umur pemakaiannya lebih dari 1 tahun.
Biaya Total atau Total Cost (TC). Biaya total adalah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan ulat sutera dan pengumpulan kokon. Biaya total
atau Total Cost ini merupakan total biaya produksi yang dikeluarkan untuk biaya
operasinoal.
Penerimaan atau Total Revenue (TR). Penerimaan adalah jumlah uang yang
diperoleh dari hasil penjualan hasil produksi. Penerimaan yang diperoleh oleh
petani dapat berupa penerimaan pokok dan penerimaan sampingan.
R/C Ratio. Analisis R/C ratio merupakan alat analisis yang digunakan untuk
melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai
dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dinyatakan layak untuk dijadikan usaha jika
nilai R/C ratio lebih besar dari satu (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka
tingkat keuntungan suatu usaha akan lebih besar.
12
Payback Periode (PP). Analisis payback periode (PP) untuk mengetahui lama
waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi yang ditanamkan atau
berapa lama investasi yang ditanamkan akan kembali. PP dapat dihitung dengan
cara sebagai berikut:
Payback Periode = (Biaya (investasi) /keuntungan) x tahun
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Gambar 4. (a). Papan Nama Sekretariat Kelompok Tani Catur Makaryo, (b).
Penunjuk Arah Desa Wisata yang Menjadi Salah Satu Program
Kelompok Tani Catur Makaryo
Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani ini diantaranya adalah pelatihan,
penyuluhan dari pemerintah dan perusahaan swasta, rapat bersama serta kegiatan
simpan pinjam. Selain itu beberapa keluarga petani menyediakan home stay bagi
wisatawan yang ingin menginap dan menikmati suasana desa.
Sebanyak kurang lebih 300 petani mendapat bantuan dari Sultan berupa
penyediaan lahan seluas 1.000-2.000 m2 tiap petani. Lahan tersebut hanya boleh
digunakan untuk pertanian dengan status hukum kepemilikan lahan tetap milik
14
sultan. Petani dibebaskan dalam menanam komoditi pertanian, namun sejak tahun
2006 petani secara serentak menanam pohon jambu mete sebagai komoditas utama.
Pohon jambu mete ini dimanfaatkan terutama untuk penghasil kacang mete. Selain
itu juga dihasilkan sirup dari buah jambu mete dan bahan pewarna alami. Saragih
dan Haryadi (2003), juga menyatakan tanaman jambu mete tergolong tanaman yang
mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Hampir semua bagian tanaman dapat
dimanfaatkan meliputi buah sejatinya menghasilkan kacang mete, buah semu dapat
diolah menjadi aneka makanan dan minuman termasuk diantaranya adalah cuka,
kulit biji yang menghasilkan minyak laka yang digunakan berbagai industri, kulit ari
jambu mete yang dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak yang bergizi tinggi, kulit
kayu jambu mete yang dapat digunakan sebagai bahan tinta, bahan pencelup, atau
bahan pewarna, akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut, daun jambu mete
yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, sedangkan daun yang tua dapat
dimanfaatkan sebagai obat luka bakar.
Pohon jambu mete inilah yang menjadi media hidup ulat sutera emas
C. trifenestrata. Ulat sutera ini belum populer dibudidayakan (diternakan di dalam
kandang). Petani/masyarakat pada umumnya menganggap ulat ini sebagai hama yang
seringkali dibasmi. Hal berbeda ditemukan di Imogiri, petani justru membiarkan ulat
ini hidup liar di kebun jambu mete mereka. Petani Catur Makaryo (Imogiri)
menyadari ulat ini memiliki nilai ekonomis ketika kokonnya dikumpulkan dan dijual.
Petani di kelompok tani Catur Makaryo pun mendapat tambahan penghasilan dari
usaha sampingan mereka mengumpulkan kokon.
15
Desa Imogiri termasuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yang beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 0,2-440,1 mm yang
dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Suhu udara rata-rata di
o o
Yogyakarta tahun 2000 menunjukkan angka 26,2 C dengan suhu maksimum 35 C
o
dan suhu minimum 20 C. Kelembaban udara tercatat 31%-97%, tekanan udara
antara 1.006,01.013,3 mb, dengan arah angin antara 001240 derajat dengan
kecepatan angin antara 01 sampai dengan 30 knot (BMKG, 2010).
Struktur Organisasi
Susunan kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo terdiri atas delapan
orang pengurus inti organisasi dari kurang lebih 40 orang anggota. Anggota
kelompok tani ini adalah petani jambu mete yang ada di dusun Karang Tenggah dan
Karang Rejek.
Ketua
H.Sogiyanto
Sekretaris Bendahara
Bahroni Juwahir
16
berpengaruh terutama pada pertumbuhan, perkembangan, kesuburan dan mortalitas
(Patton, 1963 dalam Cit Manueke, 1990).
Tanaman yang biasa menjadi pakan ulat sutera emas C. trifenestrata ada tiga,
di antaranya daun jambu mete, daun kedondong dan daun alpukat. Situmorang
(1996) menyatakan bahwa C. trifenestrata menyerang pohon jambu mete, alpukat,
mangga, kenari, kedondong, kayu manis dan lain-lain. Tanaman yang diserang tidak
akan mengakibatkan kematian pada pohon, tetapi tanaman akan tetap tumbuh dan
bertunas kembali. Kualitas warna kokon dari daun jambu mete lebih kuning emas
dibandingkan pada pohon alpukat. Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium
Entomologi Fakultas Biologi UGM Yogyakarta (2000) menemukan larva yang diberi
pakan buatan menggunakan daun jambu mete pada seluruh mete menghasilkan
kokon kuning keemasan. Sedangkan larva yang diberi pakan buatan menggunakan
daun kedondong pada seluruh instar menghasilkan kokon putih kekuningan.
Ulat sutera emas C. trifenestrata yang terdapat pada perkebunan kelompok
tani Catur Makaryo baru dapat memakan daun jambu mete pada usia pohon minimal
2-3 tahun. Total luas lahan 55 ha lahan pertanian di daerah Imogiri, baru sekitar 12
ha yang digunakan untuk budidaya ulat sutera emas. Khan (1991) menyebutkan dari
hasil studi terhadap C.trifenestrata pada pohon mangga, ulat sutera ini menghabiskan
waktu selama 61125 hari untuk menyelesaikan satu kali daur hidup secara lengkap.
Ulat sutera C.trifenestrata memiliki lima instar, dimana ketika memasuki instar ke 4
dan ke 5, larva dapat menyebabkan sebagian atau seluruh daun tanaman tersebut
habis. Studi Laboratorium menurut Ali (1991) C.trifenestrata membutuhkan waktu
7692 hari dalam satu siklus hidup lengkap dengan rata-rata periode larva 41 hari
dan pupa 26 hari pada temperature 25 0C serta kelembaban relative sebesar 70% RH.
Larva akan berkompetisi dalam mendapatkan pakan dan tempat untuk mengokon, hal
ini menjadi salah satu penyebab banyaknya larva yang mati dan gagal dalam
mencapai stadium pupa.
Ulat sutera C.trifenestrata bersifat poikiloterm. Suhu tubuh sesuai dengan
temperature di lingkungan eksternal (Guang, 1988). Suhu yang tidak menghalang-
halangi pertumbuhan ulat itu ialah berkisar 20 0C sampai 28 0C. Di luar suhu itu baik
lebih rendah ataupun lebih tinggi, ulat sutera sulit untuk bisa hidup dengan sehat.
Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan ulat menjadi terlalu pesat dan
17
sebaliknya bila terlalu rendah menjadi lambat pertumbuhannya. Hal ini menimbulkan
gangguan keseimbangan daur siklus ulat. Pemilihan daerah yang suhunya cocok
untuk pertumbuhan larva menjadi pertimbangan yang sangat penting (Katsumata,
1964). Kelembaban yang paling cocok untuk kesehatan larva ialah 75%. Larva muda
lebih tahan terhadap kelembaban yang tinggi. Namun bagi larva dewasa kelembaban
udara yang tinggi dapat melemahkan kesehatannya dan menimbukan gangguan
(Katsumata, 1964). Kelembaban udara yang terlalu tinggi menyebabkan bibit
penyakit (mikroorganisme) berkembang biak dengan subur sehingga larva mudah
terkena penyakit.
Ulat sutera tidak menyukai keadaan yang terlalu terang ataupun terlalu gelap,
tetapi lebih suka kepada keadaan cahaya lemah (15-30 lux). Larva di dalam keadaan
terang lebih aktif bergerak dibandingkan dengan keadaan gelap, ulat-ulat tersebut
cepat naik ke bagian atasa daun. Keadaan pemeliharaan yang selalu gelap dan selalu
terang kurang baik (Katsumata, 1994).
18
Helf terdistribusi di Indonesia, yaitu: C. trifenestrata, C. Serama, C. Kransi, (Akai,
2000), C.javana (Herausgeber, 1996; Akai, 2000), dan C. tenggaraensis (Paukstadt
& Paukstadt, 1999). Strain ngenggat yang ada di Maluku mempunyai kokon 1,5 kali
lebih besar dibandingkan kokon yang ada di jawa (Kalshoven, 1981).
Keseluruhan petani yang menjadikan pendapatan dari kokon ulat sutera emas
sebagai pendapatan sampingan menunjukkan usaha pemanfaatan ulat sutera emas
C. trifenestrata tidak memerlukan energi dan waktu yang besar. Beberapa petani
bahkan memiliki pekerjaan utama lebih dari satu. Pekerja wanita hanya satu dari 21
responden petani pengumpul kokon ulat sutera emas dalam keanggotaan Catur
Makaryo. Alokasi waktu yang diberikan petani dalam usaha pemanfaatan kokon ulat
sutera ini hanya saat proses pengumpulan kokon yang telah siap panen dari pohon
dan pembersihan kokon sebelum dijual. Petani tidak melakukan pengontrolan
terhadap pakan untuk ulat karena biasanya ulat akan mencari sendiri pohon
disekitarnya jika pohon awal yang ditempati telah gundul daun-daunnya.
19
Tabel 3. Distribusi Petani Berdasarkan Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%)
1-2 orang 4 19,05
3 orang 9 42,86
4 orang 7 33,33
5 orang 1 4,76
Total 21 100,00
Persentase petani yang memiliki jumlah pohon paling banyak (25-50 batang
pohon) sebesar 42,86 %. Artinya, mayoritas petani yang berjumlah 42,86 % memiliki
pohon jambu mete berkisar antara 25-50 batang pohon. Sedangkan 4,76% petani
memiliki 150-210 batang pohon. Rata-rata petani memiliki jumlah pohon kurang
lebih 79 batang pohon.
Lahan yang digunakan oleh petani pengumpul kokon ulat sutera emas
merupakan lahan milik kesultanan keraton Jogja yang diserahkan pada rakyat untuk
dijadikan lahan produktif. Petani tidak dibebani dengan biaya sewa ataupun pajak.
Pihak Kesultanan Keraton mempersilahkan menggunakan lahan untuk pertanian.
20
Petani hanya dapat mengelola dalam bentuk pertanian dan tidak dapat mendirikan
rumah di lahan tersebut. Hal ini yang membuat luasan lahan yang dipakai petani
luasnya hampir sama satu sama lain.
Hampir semua petani pengumpul kokon ulat sutera emas yang diwawancarai
pernah mengalami setidaknya satu kali panen kokon sutera emas. Pemanenan
berkisar pada bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Jumlah kokon sekali panen
berkisar antara 0,5-10 ons.
Tabel 6. Penduduk Desa Karang Tengah Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Akhir Tahun 2009
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
04 228 211 439
59 223 224 447
10 14 232 240 473
15 19 274 261 534
20 24 193 220 414
25 29 172 191 364
30 34 224 223 447
35 39 192 218 410
40 44 160 183 343
45 49 131 164 295
50 54 94 89 184
55 59 90 99 189
60 64 94 116 210
65 69 70 115 184
70 74 61 77 138
75 + 53 53 106
Kecamatan / District 2.493 2.684 5.177
21
Hasil wawancara dengan salah satu petani pengelola kebun menunjukkan
bahwa ulat sutera C. trifenestrata tidak memberikan efek buruk pada tanaman. Pohon
jambu mete yang daun-daunnya habis dimakan ulat sutera C. trifenestrata tidak mati,
namun pohon akan kembali bersemi. Saragih dan Haryadi (2003) menyatakan bahwa
tanda tanaman jambu mete diserang oleh hama ulat kipat (Cricula trifenestrata)
adalah daun-daun yang tidak utuh dan terdapat bekas gigitan. Bahkan pada serangan
yang hebat daun dapat habis sama sekali, tetapi tidak menyebabkan tanaman mati.
Buah jambu mete hasil panen dari pohon yang diserang ulat sutera
C. trifenestrata justru memiliki kualitas yang lebih baik. Buah menjadi lebih besar
dan mengkilap. Jika ulat menyerang daun saat musim berbuah atau berbunga,
mungkin hal ini akan mempengaruhi pada penurunan produktivitas. Hal ini karena
ulat bisa ikut memakan bunga dan daun ataupun keberadaan ulat yang memakan
habis daun-daun akan mengganggu proses fotosintesis. Kenyataan di lapang
menunjukkan keberadaan ulat ini tidaklah terus menerus ada di pohon jambu mete.
Kedatangan ulat ini hanya di musim-musim tertentu dimana biasanya terjadi saat
sebelum musim berbunga pohon jambu mete. Peralihan musim penghujan ke musim
kemarau, sekitar bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus merupakan bulan
kedatangan ulat. Ulat yang menyerang tanaman bukan saat musim berbunga atau
berbuah akan menjadikan tanaman dapat tetap beproduksi secara optimal. Sehingga
keberadaan ulat ini bukan hama bagi petani.
Petani justru diuntungkan dengan keberadaan ulat sutera C. trifenestrata di
tanaman jambu mete mereka. Selain kualitas buah menjadi lebih baik, petani juga
menjadi lebih hemat dalam penggunaan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh
petani Catur Makaryo tidak sebanyak penggunaan pestisida pada tanaman jambu
mete pada umumnya. Pestisida yang digunakan petani hanya pestisida yang
diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah daerah.
Sistem Produksi
Sistem produksi adalah bagian dari manajemen operasional. Kata produksi
secara umum dapat diartikan sebagai proses membuat suatu produk dari berbagai
bahan lain. Sedangkan arti sistem adalah method of planning atau cara merencanakan
yang berkaitan dengan membuat produk. Proses kegiatan yang mengubah bahan
baku menjadi bahan lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi disebut proses
22
produksi. Proses produksi adalah kegiatan-kegiatan memproses pengolahan input
menjadi output (Pawirosentono, 2007). Hal ini dapat digambarkan seperti pada
Gambar 6.
Input Proses Output
Kokon di bersihkan
Pupa siap pakai
Kebun
jambu mete Kokon dan pupa
dipisahkan
Ulat yang
Kokon dikumpulkan
telah menjadi Pupuk organik
kokon
Kotoran ulat
Peralatan (gunting,
keranjang, timbangan)
Sistem produksi merupakan proses transformasi nilai tambah dari input yang
mana menjadi output yang melibatkan komponen struktural dan fungsional yang
berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional (Gaspersz, 2005).
Komponen struktural dari system produksi adalah bahan baku, mesin dan peralatan,
tenaga kerja, modal, energi, informasi, tanah, dan lain-lain. Sedangkan komponen
fungsional adalah supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi, kepemimpinan,
dan semua yang berhubungan dengan manajemen dan organisasi. Suatu sistem
produksi akan selalu berada pada suatu lingkungan, sehingga aspek-aspek
lingkungan seperti perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah dan sosial
ekonomi akan mempengaruhi sistem produksi.
Input
Alat-alat yang digunakan dalam proses pembudidayaan kokon ulat sutera
emas C.trifenestrata meliputi keranjang, timbangan, gunting, dan karung. Jumlah
keranjang yang biasa dimiliki petani berkisar 1-2 buah per keluarga petani. Rata-rata
petani memiliki dua buah gunting, satu timbangan dan 4 buah karung. Alat-alat
23
tersebut merupakan alat-alat yang sama yang digunakan petani dalam memelihara
jambu mete. Pada proses produksi kokon, alat-alat tersebut hanya digunakan saat
proses pemanenan kokon ulat sutera emas tiba.
Sistem pemanfaatan kepompong yang diadopsi kelompok tani Catur Makaryo
Imogiri merupakan budidaya yang mengedepankan ekosistem alami, sehingga ulat
dibiarkan hidup secara liar di pohon-pohon jambu mete milik petani. Sehingga bisa
dikatakan petani tidak mengeluarkan biaya peralatan untuk pembudidayaan (secara
liar) ulat sutera emas C.trifenestrata.
Petani di daerah Imogiri hanya mengandalkan air hujan untuk menunjang
keberlangsungan hidup pohon jambu mete. Pohon yang menjadi bahan makanan ulat
ini tumbuh subur di perkebunan kelompok tani catur makaryo. Pemanfaatan ulat
sutera emas C. trifenestrata yang dianggap sebagai hama justru berdampak positif
bagi budidaya jambu mete itu sendiri. Pemanfaatan ulat sutera emas yang
dikumpulkan kokonnya oleh petani menjadikan penggunaan insektisida lebih
berkurang. Insektisida hanya digunakan saat pohon jambu mete yang di umur 2-3
tahun belum dihinggapi/dimakan oleh ulat sutera emas dibandingkan jika pada
kondisi normal, petani biasanya menggunakan insektisida 2-3 kali.
Proses
Petani-petani yang tergabung dalam kelompok tani Catur Makaryo
memanfaatkan limbah kokon ulat sutera emas C. trifenestrata yang secara liar
terdapat di kebun jambu mete milik mereka. Secara umum mereka tidak menerapkan
perlakuan secara khusus, petani hanya memanfaatkan kepompong yang secara alami
hidup pada pohon jambu mete untuk dikumpulkan dan dijual. Ulat C. trifenestrata
dibiarkan hidup ada pohon-pohon jambu mete milik mereka, sehingga petani
mendapatkan penghasilan tambahan selain dari penghasilan utama jambu mete
sendiri.
Tanaman jambu mete yang diserang oleh ulat sutera C. trifenestrata tidak
akan mengakibatkan kematian pada pohon, pohon akan tetap tumbuh dan bertunas
kembali. Buah yang dihasilkan dari pohon yang diserang ulat ini justru lebih baik
dibandingkan buah yang dihasilkan dari pohon yang tidak diserang ulat
C. trifenestrata. Buah menjadi lebih besar dan mengkilap.
24
Pada proses pembudidayan ulat C.trifenestrata, petani Imogiri masih suka
dengan membiarkan ulat-ulat ini liar di alam secara alami, bukan dengan pengelolaan
yang intensif. Bibit ulat datang dengan sendirinya pada musim-musim tertentu.
Biasanya terjadi saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, yaitu sekitar
bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Bibit ulat ini sebagian besar berasal dari telur
yang menempel pada daun-daun jambu mete di sekitar kebun.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu fase siklus ulat sutera
emas dari telur menjadi kupu-kupu (hingga kokon dapat diambil) kurang lebih 45
hari, sedangkan penelitian di Bangladesh menunjukkan daur hidup C. trifenestrata
diselesaikan dalam 61-125 hari dengan lima instar larva (Hug et al., 1991).
25
Telur. Telur-telur yang dihasilkan oleh induk betina diletakan berderet rapih dalam
dua sampai tiga lapisan pada tepi permukaan bawah daun. Jumlah telur yang
diletakkan bervariasi dari 53-380 butir. Penetasan telur biasanya terjadi pada pagi
hari (Lubis, 1999). Telur berbentuk oval atau lonjong dan berwarna putih kekuningan
saat baru diletakkan induknya. Kemudian setelah beberapa hari warna telur berubah
menjadi semakin gelap atau putih kelabu. Selama 10 hari telur berkembang dan pada
hari ke-8 telur mulai berwarna kelabu gelap dengan ujung anteriornya terdapat titik
kecil yang disebut mikrofil dan telur agak pipih. Jumlah telur mencapai 200-325
butir per induk dengan fertilitas tinggi. Telur menetas setelah tujuh hari. Stadia telur
sekitar 8-11 hari (Direktorat Bina Perlindungan Tanamana, 1995).
Banyak telur yang dihasilkan namun terdapat beberapa telur yang tidak
menetas karena di dalam telur tersebut tidak terdapat embrio. Warna telur yang tidak
menetas tidak pernah berubah sejak awal diletakkan oleh induk sampai saatnya
penetasan tetap berwarna putih kekuningan. Telur-telur tersebut akhirnya
mengempes dan kering. Pengakuan bagian pengontrol kebun kelompok tani Catur
Makaryo, pak Jumadi (wawancara langsung) menyebutkan telur-telur kosong yang
tidak pernah menetas ini merupakan telur-telur yang dihasilkan tanpa pembuahan
dengan imago (ngengat) jantan. Imago betina yang tidak dibuahi akan tetap
menghasilkan telur, tetapi tidak dapat menetas karena tidak mempunyai embrio.
26
Larva. Larva keluar dari telur dengan cara memecahkan cangkang telurnya,
kemudian larva/ulat akan memakan cangkangnya. Cangkang yang dimakan tersebut
merupakan sumber nutrisi pertama yang diperoleh larva. Larva dapat memakan
cangkangnya sampai habis namun ada juga larva yang tidak memakan cangkangnya
sampai habis. Situmorang (wawancara langsung), menyebutkan kebiasaan makan
cangkang telur ini akan memberikan ketahanan pada ulat-ulat tersebut. Saat istirahat
tubuh larva memendek sampai setengah panjang tubuh semula.
a. Larva Instar I
Larva yang baru keluar dari telurnya hingga mengalami pergantian kulit yang
pertama disebut larva instar I. Larva kecil ini berwarna kuning bersih dengan panjang
tubuh kurang lebih 3 mm, kepala hitam, tubuhnya diliputi seta pendek.
27
Keadaan ini menandakan bahwa larva instar I ini siap untuk berganti kulit menuju
instar II. Selama masa ini larva diam dan tidak makan, hanya sekali-sekali
menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah. Waktu yang diperlukan larva
C.trifenestrata untuk berkembang sampai instar II adalah 5-6 hari.
b. Larva Instar II
Larva mengalami molting pertama yang menjadi penanda masa instar II.
Panjang larva pada instar ini mencapai 12 mm pada awal instar II dan 17 mm pada
akhir instar II. Bagian kepala larva lebih terang, warna tubuh kuning tua, tubuh larva
mulai memiliki rambut-rambut yang mulai jelas berwarna putih kertas dan panjang,
dan tubuh terlihat lebih gemuk.
Larva instar II berlangsung 5-7 hari. Larva mulai banyak makan dan gerakan
larva lebih lincah. Di akhir instar II, larva memendekkan tubuhnya untuk berganti
kulit menuju instar berikutnya, dan seperti biasanya larva ini tidak makan dan tidak
bergerak.
28
Gambar 11. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar III
Ukuran tubuhnya lebih panjang daripada instar II, yaitu berkisar 17-25 mm pada
akhir instar III. Instar III berlangsung 4-6 hari.
d. Larva Instar IV
29
merah-hitam-kuning, terlihat titik-titik pada segmen tubuhnya, kepala berwarna
merah bata.
Larva tidak hanya memakan daun muda tetapi juga daun tua dan hanya
menyisakan ibu tulang daunnya saja. Butiran kotoran larva ini berukuran sebesar
kepalanya. Larva memakan banyak daun dengan tujuan untuk menyiapkan energi
untuk menghadapi masa pupa yang cukup lama. Larva instar IV berlangsung selama
5-7 hari.
e. Larva Instar V
Panjang larva berkisar 60-75 mm. Seta atau rambut-rambut yang menutupi
tubuhnya juga bertambah panjang dan berwarna putih. Larva instar V sangat rakus,
daun yang dimakan tidak hanya daun yang tua namun daun yang sangat muda masih
dimakan. Peningkatan intensitas memakan daun disebabkan karena pada larva instar
terakhir ini merupakan persiapan untuk menghadapi fase pupa dimana fase tanpa
makan dengan aktivitas fisiologi yang besar, sehingga diperlukan makanan cadangan
yang cukup besar sebagai sumber energi.
30
Stadium Pra Pupa. Larva instar V diakhiri dengan memendeknya tubuh dan larva
mulai mengeluarkan cairan kuning emas yang mula-mula diletakkan di pangkal ibu
tulang daun untuk kemudian ditarik ke helaian daun. Tahapan selanjutnya dibuat
suatu anyaman benang-benang tipis yang berlapis-lapis dan setelah satu hari
terbentuklah suatu kokon berwarna kuning emas. Jalinan benang-benang untuk
pembenukan kokon terjadi mula-mula ke arah horizontal atau membentuk garis yang
panjang kemudian garis-garis yang pendek. Larva yang telah menyelesaikan
pembuatan kokonnya, ulat tidak bergerak selama beberapa hari, berkisar 3-5 hari.
Stadium ini disebut stadium pra pupa.
Stadium Pupa. Larva dalam kokon kemudian berganti kulit menjadi pupa. Proses
pengelupasan kulit ini diawali dari anterior yang robek dan larva menggerak-
gerakkan bagian tubuhnya untuk melepaskan kutikula lama. Hari berikutnya kulit
pupa sudah mengeras dan warnanya sudah kecoklatan. Pupa akan bergerak jika
disentuh. Semakin hari warna pupa menjadi lebih gelap serta garis-garis calon sayap,
calon antena, calon mata, calon anus sudah mulai kelihatan jelas, dan terdapat
bercak-bercak hitam.
31
kuning emas. Selain menghasilkan sutera yang berkilau keemasan dan filamen yang
berpori, serat yang dihasilkan juga memberikan efek halus jika tersentuh kulit.
Filamen tunggal berwarna kuning pada kokon ditutupi materi yang tidak berwarna.
Materi tersebut adalah protein serisin. Pigmen kuning yang berada dalam protein
fibroin merupakan bagian utama dalam filamen kokon (Kato et al., 2000)
Imago. Imago C. trifenestrata ini disebut ngengat. Ciri morfologi ngengat yaitu
seluruh tubuhnya diselimuti sisik-sisik halus berwarna coklat yang cukup tebal.
Ngengat berwarna coklat muda agak kemerahan dengan garis melintang secara
horizontal di tengah sayap. Sayap depan terdapat tiga spot transparan (fenestrate)
sehingga disebut trifenestrata. aktif malam hari dan tertarik pada cahaya lampu.
Imago jantan muncul dari pupa yang berukuran kecil sehingga imago jantan juga
mempunyai ukuran yang lebih kecil daripada imago betina serta berwarna lebih
muda dari imago betina. Ngengat memilki rentan sayap antara 61,684,2 mm.
Ngengat berumur sekitar 1-5 hari dan mulai bertelur pada hari kedua.
32
bertelur meskipun tidak menetas. Hal ini dinilai merugikan dalam sudut pandang
manajemen pembudidayaan. Banyak betina yang telurnya tidak dibuahi maka kokon
yang dihasilkan juga akan jauh lebih sedikit. Sehingga untuk mengatasi hal ini
diperlukan inovasi teknologi untuk membuat semacam bank sperma C. trifenestrata.
Sehingga tidak ada ngengat betina yang bertelur namun tidak menetas, karena
kosong tidak dibuahi.
Secara alami pada hari berikutnya setelah kopulasi betina akan bertelur dan
meletakkan telurnya pada pinggir daun pakan dengan rapih. Betina akan bertelur
selama kurang lebih dua hari dan setelah itu akan mati. Salah satu faktor yang
mempengaruhi siklus hidup ngengatnya adalah kelembaban dengan rata-rata 63%-
77% dan suhu udara.
Proses pengumpulan kokon dilakukan saat pupa telah berubah menjadi kupu-
kupu. Kokon yang telah kosong diambil dari pohon dengan menggunakan gunting
atau dengan langsung melepaskan kokon-kokon yang menempel pada daun dengan
tangan. Saat pemanenan kepompong petani seringkali melibatkan anggota
keluarganya. Kokon yang terkumpul kemudian dibersihkan dari sisa-sisa pupa
dengan cara menggunting satu sisi bagian kokon dan mengeluarkan sisa-sisa pupa.
Kokon yang terkumpul di setiap petani di kumpulkan ke pengelolah kebun untuk
ditimbang ulang lalu kemudian langsung disalurkan ke perusahaan pengolah sutera.
Selama proses pemanenan atau pengusahaan ulat, petani tidak begitu banyak
menghabiskan waktu. Petani hanya mengalokasikan tujuh jam dalam satu siklus
hidup ulat sutera C.trifenestrata.
Siklus hidup C.trifenestrata yang dicapai dalam waktu 61-125 hari
semestinya dapat menghasilakan empat kali panen kokon dalam satu tahun. Hal ini
dapat diwujudkan dengan aplikasi teknologi dalam system budidaya yang intensif,
misalnya dengan system koleksi telur. Kehadiran ulat secara alami saat peralihan
musim, setidaknya akan menghasilkan satu sampai dua kali panen kokon.
Output
Ulat sutera yang dibiarkan hidup liar menunjukkan produktivitasnya yang
sangat bergantung dengan alam. Satu tahun proses produksi dapat terjadi dua kali
panen, tetapi jika cuaca buruk kadang hanya satu kali panen. Rata-rata jumlah kokon
33
yang dihasilkan saat panen berkisar 2-10 ons, dengan rata-rata 5 ons kokon per
petani.
Hasil pengusahaan pembudidayaan ulat sutera ini berupa kokon yang telah
kosong, pupa dan kotoran ulat. Kokon yang kosong dibersihkan dan dijual ke
perusahaan yang telah bekerjasama dengan kelompok tani Catur Makaryo. Seringkali
terdapat permintaan terhadap pupa dari kokon ulat sutera emas, sehingga sebagian
petani juga menjual pupa yang ada di dalam kokon. Pupa ini biasanya dimanfaatkan
untuk bahan kosmetik. Baik kokon maupun pupa dijual ke perusahan yang sama,
yaitu perusahaan Yarsilk. Sedangkan kotoran ulat yang jumlahnya cukup banyak
dijadikan pupuk alami oleh petani. Belum pada taraf komersial petani tetap
mendapatkan keuntungan darinya. Kotoran ini biasanya dikumpulkan di pangkal
akar pohon, sehingga menjadi pupuk alami bagi pohon jambu mete. Harga kokon per
kilogramnya dihargai senilai Rp 180.000,00 per kg, sedangkan harga pupa per kg
dihargai Rp 50.000,00.
Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi dari usaha tani pemanfaatan kepompong sutera emas dihasilkan
dari beberapa perhitungan. Perhitungan tersebut meliputi : total biaya (biaya tetap +
biaya variable), pemasukan, keuntungan, R/C rasio, BEP dan payback periode.
Biaya Investasi
Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membangun usaha. Biaya
investasi dalam pemnfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata pada kenyataannya
merupakan alat-alat investasi yang sama yang digunakan petani pada budidaya
jambu mete. Peralatan produksi yang digunakan untuk pembudidayaan ulat sutera
C. trifenestrata sampai pengumpulan kokon merupakan peralatan yang telah dimiliki
dan digunakan petani untuk produksi jambu mete, sehingga dalam perhitungan
kedepan, alat-alat tersebut dihargai sesuai perbandingan Persentase pemakaiannya.
34
Total nilai investasi dari pemanfaatan pengumpulan kokon kelompok tani
senilai Rp 1.076.000,00. Jika dikonversi menjadi nilai investasi per orang petani,
maka nilai investasi menjadi Rp 51.238,00 per petani.
Biaya Operasional
Biaya operasional adalah biaya produksi yang harus dikeluarkan setiap satu
periode produksi. Biaya tersebut yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap.
Total biaya tetap yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo hanya
bersumber dari biaya penyusutan. Total biaya penyusutan tersebut senilai Rp
395.275,00. Sedangkan biaya tidak tetap yang harus disiapkan kelompok tani tiap
panennya senilai Rp 42.000,00 untuk pembelian karung.
Tabel 9. Total Cost yang Dikeluarkan Oleh Petani Pengumpul Kokon Per Tahun
Biaya Kelompok Tani Per Petani
Biaya Operasional
Biaya Tetap 395.275 18.823
Biaya Tidak Tetap 42.000 2.000
Total Biaya 437.275 20.823
35
Total Cost yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo untuk usaha
pemanfaatan kepompong sutera emas senilai Rp 437.275,00. Jika dihitung dalam
skala per petani, Total Cost nya menjadi Rp 20.823,00 per petani.
Keuntungan
Keuntungan merupakan selisih penerimaan dengan total biaya produksi.
Keuntungan = Penerimaan Total biaya produksi
Budidaya ulat sutera emas= Rp 1.760.000,00 Rp 437.275,00
= Rp 1.322.725,00
Keuntungan total kelompok tani Catur Makaryo untuk pemanfaatan sampah kokon
ulat sutera emas C. trifenestrata senilai Rp 1.322.725,00 dalam sekali panen. Jika
dikonversi per satuan petani, maka keuntungan yang didapat petani senilai
Rp 62.986,00 per petani.
R/C Ratio
Analisis R/C ratio merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat
pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam
kegiatan tersebut. Suatu usaha dinyatakan layak jika nilai R/C ratio lebih besar dari
satu (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan
lebih besar.
R/C Ratio budidaya ulat sutera emas C. trifenestrata
36
R/C ratio =
= Rp 1.760.000,00
Rp 437.275,00
= 4,025
Nilai R/C ratio budidaya emas ulat sutera C. trifenestrata 4,025. Artinya,
setiap penambahan biaya sebesar Rp 1,00 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp
4,00. Jika dikonversi per seorangan petani, R/C RatioBudidaya ulat sutera C.
trifenestrata per petani pun memiliki nilai yang sama, yaitu 4,025. Karena total
pendapatan per petani (Rp 83.809,00) dibagi total biaya produksi per petani (Rp
20.823,00) juga akan menghasilkan nilai 4,025.
37
sedikit jika dibandingkan pengumpulan kepompong menggunakan teknologi
budidaya yang intensif.
Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa keberadaan kelompok tani yang
mengumpulkan kokon ulat sutera emas C. trifenestrata tidaklah merugikan bagi
budidaya utama petani yang memiliki komoditi jambu mete. Keberadaan ulat di
pohon jambu mete justru dapat menghasilkan buah yang lebih berkualitas. Petani
telah mendapat tambahan penghasilan hanya dengan memanfaatkan limbah kokon
ulat sutera emas yang hadir secara alami di kebun jambu mete.
Potensi dari pengembangan ulat sutera emas ini cukup menjanjikan, jika petani
mau menerapkan teknologi dan ilmu budidaya yang tepat untuk pembudidayaan ulat
sutera ini sehingga nilai dari produktivitas panen kepompong tentu akan menjadi
lebih besar. Petani juga dapat mengubah alur produksi. Pemanfaatan kepompong
emas menjadi barang jadi akan jauh meningkatkan pendapatan petani dibandingkan
petani menjual mentah kepompongnya.
Jika dalam satu kilogram kokon terdapat kurang lebih 7.000 lembar kokon.
Maka untuk menghasilkan barang jadi seperti bros bunga saja hanya membutuhkan
kurang lebih 20 lembar kokon. Sehingga satu kilogram kokon dapat menghasilkan
kurang lebih 350 bros bunga dari kokon ulat sutera emas. Harga satu buah bros
kepompong yang biasa di jual oleh perusahaan Yarsilk di Jogja senilai Rp 25.000,00
/pcs. Sehingga total nilai pemasukan dari 350 bros senilai Rp 8.750.000. Asumsi
sebanyak 5% mengalami kerusakan atau produk cacat, maka nilainya pun masih
38
cukup tinggi, Rp 8.312.500,00. Dibandingkan dengan nilai penjualan satu kilogram
kokon mentah senialai Rp 100.000,00 /kg maka pemanfaatan kokon menjadi barang
jadi atau setengah jadi menjadi sangat potensial bagi peta.
Belum lagi pengolahan kokon ke bentuk-bentuk lain yang memiliki nilai jual
yang lebih tinggi dibandingkan bros. Seperti, kalung, kotak esklusif, vas bunga, tas
pesta dan lain sebagainya. Banyak sekali aksesoris kreatif yang dapat dihasilkan dari
pengolahan kepompong ulat sutera emas C. trifenestrata ini.
Gambar 17. Kotak dan Kalung dari Kepompong Ulat Sutera Emas C. trifenestrata
Usaha pemanfaatan kokon menjadi barang jadi juga dapat membantu
membuka lapangan kerja baru bagi petani dan masyarakat sekitar. Hal ini tentu dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat setempat dan pada akhirnya
mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat setempat.
39
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini telah menunjukkan bahwa hama ulat sutera emas
(C. trifenestrata) ternyata memiliki nilai ekonomis yang potensial untuk
dikembangkan.
1. Input produksi pemanfaatan ulat ini hanya memanfaatkan alat-alat yang biasa
digunakan petani untuk memelihara kebun jambu mete. Alat-alat tersebut berupa
keranjang, gunting, dan timbangan.
2. Pola produksi dalam pemanfaatan kokon ulat sutera emas dimulai dari kehadiran
ulat secara alami di kebun jambu mete yang selanjutnya, setelah ulat memakan
habis daun jambu mete, ulat akan menjadi kokon dan dipanen.
3. Petani melakukan pemanenan secara mandiri. Keterlibatan anggota rumah
tangga petani, khususnya Isteri terjadi saat terdapat pesanan dari perusahaan
besar untuk membuat berbagai kerajinan dari kokon sutera emas.
4. Petani mendapatkan penerimaan sebesar Rp 1.760.000,00 untuk penjualan
kokon dan pupa per sekali panen. Keuntungan bersih kelompok tani Catur
Makaryo Rp 1.322.725,00. Jika dikonversi per satuan petani, maka keuntungan
yang didapat petani senilai Rp 62.986,00 per petani per panen (satu tahun
mengalami satu kali panen). Nilai R/C Ratio 4,025, dan nilai PP 0.813 tahun,
yang artinya pengusahaan pengumpulan kokon ini layak untuk dikembangkan
menjadi usaha pembudidayaan yang ekonomis
Saran
Potensi kokon sutera emas khas Indonesia, C. trifenestrata akan semakin
optimal seiring dengan perkembangan industri kokon sutera emas di sektor hilir.
Industri pengolahan kokon menjadi bahan jadi seperti aksen hiasan lampu, vas
bunga, buku dan juga berbagai aksesoris perhiasan wanita perlu ditumbuhkan.
Permintaan yang besar di sektor hilir akan mendorong sektor hulu untuk memenuhi
permintaan pasar, sehingga budidaya ulat sutera emas C. trifenestrata semakin
terdorong untuk berkembang. Oleh karena itu kebutuhan penelitian untuk budidaya
C. trifenestrata perlu dikembangkan.
40
Petani jambu mete, di berbagai daerah lain di Indonesia juga perlu
mengetahui potensi ulat sutera emas C. trifenestrata yang sering mereka anggap
sebagai hama. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik dengan pemerintah
daerah untuk melakukan sosialisasi pada petani, sehingga kekayaan alam Indonesia
dapat tereksplorasi dan terjaga kelestariannya.
41
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas semua nikmat yang
telah diberikan hingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga dan para
sahabatnya. Penulis ingin memberikan penghargaan tertinggi dalam bentuk ucapan
terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada ibunda Yulidesni dan ayahanda
(alm) R. Kusnaedi, serta adinda Crafty Rini Putri dan Rahmat Khoirul atas ketulusan
cinta dan dukungan yang tak pernah surut. Ucapan terimakasih ditujukan pula
kepada bapak Ir. Dwi Joko S. MS, sebagai pembimbing utama dan ibu Ir. Hotnida C.
H. Siregar, M.Si sebagai pembimbing anggota atas bimbingan yang telah diberikan
selama penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
ibu Yuni Cahya Endrawati, S.Pt M.Si., dan ibu Ir. Anita S. Tjakaradidjaja, M. rur.
Sc. sebagai penguji sidang atas saran yang membangun.
Kepada dosen-dosen yang telah memberi banyak bimbingan selama di
Fakultas Peternakan, ibu Ir. Lucia Cyrilla E.N.S.D, M.Si, bapak Ir. Zulfikar Moesa,
M.S., ibu Ir. Rini H. Mulyono, M.Si atas semua nasehat yang telah diberikan, bapak
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc atas segala kemudahan yang diberikan, serta
bapak Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Si untuk kepercayaan dan inspirasinya. Ucapan
terimakasih tak terhingga, penulis sampaikan kepada kelompok tani Catur Makaryo,
Imogiri, Yogyakarta atas bantuan selama penelitian berlangsung. Kepada teman-
teman IPTP 43, BKIM IPB, FIM, KSE, Bisma, WBT, TBnC dan tim Pameran
Pimnas (Desty, Nisa, Cipi, Irma, Ochi, Syafa, Kak Cahyo, Aria, Ondo, Kak Danang,
Adnan, dan Gabuto) untuk energi positif-nya yang begitu besar. Kepada Tim Hebat;
Hida, Dewi, Fadhil, Nana, Rina, Najwa, Isnie, Zikra, Cicin, Siska, Neneng, Hapshoh,
Pera, Herly, Iil, Upik, Fasih, Tyas, Ita, Arini, Nurizka, Ami, Fely, Risa, Ela, Lela,
Tri, Ade, Lia, Iyas, Lintang, dan terspesial Nindira Aryudhani atas kekuatan
pemikiran dan perasaan yang satu, suport dan inspirasi yang luar biasa. Kepada
gurunda pak Jamil Azzaini, ustadz Fatih Karim dan ustadz Felix Siauw atas ilmu,
suport, pembelajaran, energi positif dan kesabaran dalam membentuk mental yang
semoga dengan doa-doa penulis bisa menjadi bentuk ucapan terimakasih. Kepada
sahabat baik, Windi Al-Zahra dan Palestina Santana serta kepada semua pihak yang
42
terlibat dalam kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.
43
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, F. & MZ. Alam. 1992. Parasitoids associated with different stage of Cricula
trifenestrata Helfer (Lepidoptera: Saturniidae). (Abstract) Annals of
Bangladesh Agriculture p. 69.
Akai, H. 2000. A successful example of wild silk development from Cricula
trifenestrata in Indonesia. Int. J. Wild Silkmoth & Silk 5: 91-97.
Akai. 1997. Recent aspects of wild silkmoth and silk research. Seminar 16 April
1997. Wild Silk Conference, Yogyakarta.
Ali M.I. & M. A. Karim. 1991. Note on the biology, behavior, and biocontrol agents
of mango defoliator Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) in
Bangladesh. (Abstract), Bangladesh J. of Entomology: 83.
Anonim. 2010. Definisi manajeman produksi. http://images.lissoi.multiply.
multiplycontent.com/attachment/0/R8Y5PgoKCCEAAA1dgRs1/Manajemen
%20Produksi.com?nmid=76098910. [6 Juni 2010].
44
Jolly, 1974. Indian Insect Life. Agricultural Res. Inst.Pusa, Calcuta.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pets od Corp in Indonesia. Diterjemahkan dan direvisi oleh
P.A. Van der Laan. P.T. Ichtiar Baru-van Hoove, Jakarta.
Kato, Y. Hiromi, Y. & Kozo, T. 2000. Why are Cocoons of Cricula trifenestrata
Golden?. Ibid, 5: 1-4.
Katsumata, F. 1964. Petunjuk Sederhana Bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Tokyo.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1. Wawancara dengan Penanggungjawab Kebun Kelompok Tani Catur
Makaryo
47
Lampiran 2. Kuisioner Penelitian
KUISIONER PENELITIAN
IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Pekerjaan/Jabatan :
Alamat :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan : a). SD c). SMA e). Lainnya: ...................
b). SMP d). Perguruan Tinggi
Tanggungan Keluarga :
Status usaha budidaya ulat sutera emas*): 1.Pekerjaan utama 2.Pekerjaan Sampingan
Jika sebagai usaha sampingan, sebutkan pekerjaan utamanya:
1). Usaha Pertanian Hortikultura; 2). Usaha Peternakan; 3). Usaha Perikanan;
4). Usaha Perkebunan; 5). Buruh Pertanian; 6). Perdagangan;
7). Usaha Angkutan; 8). Ibu Rumah Tangga; 9). Usaha Industri; 10). Jasa;
11). Buruh/Karyawan Non Pertanian;12). PNS/TNI/POLRI; 14). Pensiunan
Kami mohon Bapak/Ibu dapat mengisi kuisioner ini secara obyektif dan benar,
karena kuisioner ini adalah penelitian skripsi dengan tujuan ilmiah sehingga
diperlukan data yang valid dan akurat. Sebelumnya kami ucapkan banyak
terimakasih.
Peneliti:
CITRA AYU FURRY
D14062868
48
Proses Budidaya Ulat Sutera Emas
A. Proses Penanaman
Jumlah pohon jambu mete yang diusahakan untuk sutera: ..................... pohon
Luas lahan untuk pengusahaan sutera: ..................... m2
Jarak Lubang tanam: a). 2m x 2m b). 3m x 3m c). 4m x 4m
Perawatan: a). Dipupuk b). Disemprot daun
c). Disemprot hama e). ..........................
Tabel 1. Biaya Alat dan Bahan Produksi Budidaya Ulat Sutera Emas
No Biaya Satuan Jumlah Harga/satuan Umur Pemakaian
1. Keranjang buah
2. Karung
3. Cangkul
4. Linggis
5. Timbangan
6. Gunting
7. Pupuk
8. Obat daun
9. Bibit pohon
10.
11.
12.
13.
49
Tabel 2. Curahan Jam Kerja Petani
Frekuensi Lama Pelaksanaan
No Kegiatan
Harian Mingguan Bulanan (jam)
1 Pembibitan
2 Membuat lubang tanam
3 Penanaman
4 Pemupukan
5 Penyemprotan daun
6 Pemanenan kokon
7 Pembersihan kokon
8 Penimbangan kokon
9 Pengumpulan kokon
50
Lampiran 2. Nilai Investasi Dari Alat-Alat Yang Dipakai Petani Pengumpul
Jumlah Alat Harga Alat Beban Biaya Total
No Nama Keranjang Timbangan Gunting Keranjang Timbangan Gunting Keranjang Timbangan Gunting Harga
1 Ahmadi 1 1 2 25000 275000 40000 3750 55000 6000 64750
2 Romlan 1 1 2 20000 250000 40000 3000 50000 6000 59000
3 Tugiman 2 2 40000 30000 6000 0 4500 10500
4 Mujari 2 1 2 40000 270000 50000 6000 54000 7500 67500
5 Wiknyo 2 1 40000 25000 6000 0 3750 9750
6 Sisar 3 1 3 60000 275000 45000 9000 55000 6750 70750
7 Jumadi S. 2 1 2 40000 160000 30000 6000 32000 4500 42500
8 Surawi 1 25000 3750 0 0 3750
9 Jazimah 1 15000 2250 0 0 2250
10 Sogiyanto 3 1 2 60000 750000 30000 9000 150000 4500 163500
11 Yatno 2 1 3 40000 275000 75000 6000 55000 11250 72250
12 Pargiyanto 2 1 3 50000 270000 75000 7500 54000 11250 72750
13 Pardi 1 1 2 25000 260000 50000 3750 52000 7500 63250
14 Sugiyo 3 1 4 75000 275000 100000 11250 55000 15000 81250
15 Bahroni 1 1 2 25000 275000 50000 3750 55000 7500 66250
16 Ponijo 1 2 25000 40000 3750 0 6000 9750
17 Wiyono 2 1 2 40000 400000 15000 6000 80000 2250 88250
18 Hartowiyadi 2 1 4 40000 150000 20000 6000 30000 3000 39000
19 Wajiman 2 2 40000 40000 6000 0 6000 12000
20 Sarjono 2 2 40000 40000 6000 0 6000 12000
21 Muh Soleh 2 1 2 50000 250000 50000 7500 50000 7500 65000
Total Biaya Investasi Alat 1076000
32
Lampiran 3. Biaya tetap untuk pengumpulan kokon ulat sutera
33