Anda di halaman 1dari 64

SISTEM PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI PENGUSAHAAN

ULAT SUTERA EMAS (Cricula trifenestrata) DI PERKEBUNAN


JAMBU METE DESA IMOGIRI YOGYAKARTA

SKRIPSI

CITRA AYU FURRY

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i
RINGKASAN

CITRA AYU FURRY. D14062868. Sistem Produksi dan Nilai Ekonomi


Pengusahaan Ulat Sutera Emas (Cricula trifenestrata) di Perkebunan Jambu
Mete Desa Imogiri Yogyakarta. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Dwi Joko Setyono, M.S


Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar M.Si

Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah yang banyak diantaranya


masih belum dimanfaatkan. Salah satu diantaranya adalah ulat sutera emas Cricula
trifenestrata. Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan kelompok sutera non
murbei yang menghasilkan benang-benang sutera berwarna keemasan. Tidak seperti
jenis sutera yang lebih dikenal masyarakat berasal dari Bombyx mori atau ulat sutera
murbei. Sutera yang dihasilkan oleh C. trifenestrata memiliki lebih kuat dan lembut
di tangan. Sebagian petani jambu mete di daerah Yogyakarta sudah memanfaatkan
kokon C. trifenestrata, meskipun produksi kokonnya masih sangat bergantung pada
alam.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem produksi pemanfaatan
kepompong sutera emas dan nilai ekonominya pada petani jambu mete di daerah
Imogiri Yogyakarta. Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei.
Rancangan dan analisis data yang digunakan meliputi analisis deskriptif dan analisis
pendapatan (nilai ekonomi). Analisis deskripsi membahas input, proses dan output
dalam sebuah proses produksi. Analisis pendapatan meliputi perhitungan biaya
investasi, biaya operasinal, total cost, total revenue, keuntungan, R/C Ratio, dan
Payback Periode.
Proses pemanfaatan ulat sutera emas (C. trifenestrata) masih sangat
sederhana. Input produksi pemanfaatan ulat ini hanya memanfaatkan alat-alat yang
biasa digunakan petani untuk memelihara kebun jambu mete. Alat-alat tersebut
berupa keranjang, gunting, dan timbangan. Pola produksi dalam pemanfaatan kokon
ulat sutera emas dimulai dari kehadiran ulat secara alami pada kebun jambu mete.
Setelah C. trifenestrata menyelesaikan satu siklus hidup (61-125 hari) dan ngengat
keluar dari kokon, maka kokon siap untuk dikumpulkan. Petani melakukan
pemanenan secara mandiri. Keterlibatan anggota rumah tangga petani, khususnya
Isteri terjadi saat terdapat pesanan membuat berbagai kerajinan dari kokon sutera
emas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hama ulat sutera emas (C. trifenestrata)
ternyata memiliki nilai ekonomis yang potensial untuk dikembangkan. Petani
mendapatkan penerimaan sebesar Rp 1.260.000,00 per tahun (satu tahun sama
dengan satu siklus) dari penjualan kokon dan Rp 500.000,00 dari penjualan pupa.
Keuntungan bersih kelompok tani Catur Makaryo Rp 1.322.725,00 dalam sekali
panen. Nilai R/C Ratio 4,025 dan nilai Pay Back Period 0,813 tahun, yang artinya
pengusahaan pengumpulan kokon ini layak untuk dikembangkan menjadi usaha
pembudidayaan yang ekonomis.

Kata-kata kunci: ulat sutera emas, Cricula trifenestrata, sistem produksi, nilai
ekonomi, jambu mete

ii
ABSTRACT

Production System and Economic Value of Golden Silk Worm (Cricula


trifenestrata) in Imogiri Village Cashew Plantation Yogyakarta

Furry, C. A., D. J. Setyono, and H. C. H. Siregar.

Indonesia has an abundant natural resources which is still unknown and


utilized optimally, such as the potential of golden silkworm Cricula trifenestrata.
The aimed of this study was to analyze the C. trifenestrata cocoon production system
and economic value to cashew farmer in Imogiri, Yogyakarta. The result showed that
the name of the silkworm clay C. trifenestrata, have been proved as the potential
economic value which can be developed. Silkworms could be used not only by
taking the cocoons as the raw materials of unique handicrafts, but also providing
good influence for the quality of cashew fruit. The production process on utilizing
C. trifenestrata was so simple; they used baskets, scissors, and scales. A wild
silkworm life cycle (C. trifenestrata) spent 61-125 days. Farmers got a receipt IDR
1.260.000 for cocoon sale and IDR 500.000 for pupa sale. The net benefit was gotten
for IDR 1.322.725 and Pay Back Period for 0.813 year. The research showed the
production system of cocoons collecting was deserved economically to be improved.

Keywords: wild silkworm, Cricula trienestrata, Production system, economic value,


cashew

iii
SISTEM PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI PENGUSAHAAN
ULAT SUTERA EMAS (Cricula trifenestrata) DI PERKEBUNAN
JAMBU METE DESA IMOGIRI YOGYAKARTA

CITRA AYU FURRY


D14062868

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Insitut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

iv
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Sistem Produksi dan Nilai Ekonomi Pengusahaan Ulat Sutera
Emas (Cricula trifenestrata) di Perkebunan Jambu Mete Desa
Imogiri Yogyakarta.
Nama : Citra Ayu Furry
NIM : D14062868

Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Dwi Joko Setyono, M.S.) (Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.)
NIP. 19601123198903 1 001 NIP. 19620617 1990003 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc)


NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 10 Agustus 2012 Tanggal Lulus:

v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan tanggal 23 Januari 1989 di Bekri, Lampung Tengah.
Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Ribut Kusnaedi
dan Ibu Yulidesni. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan pada tahun 2000 di
SD Negeri 628 Sule Inti, Palembang, pendidikan lanjutan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 2003 di SMP Negeri 2 Tanjung Bintang, Lampung Selatan,
dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA
AssalamTanjung Bintang, Lampung Selatan. Penulis diterima sebagai mahasiswa
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Nasional) dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
pada tahun 2007.
Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif di berbagai organisasi
diantaranya Staf Kebijakan Kampus BEM KM IPB (2006-2007), Pengurus PPSDM
Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM IPB) 2006-2008, Pengurus Ikatan
Keluarga Musholah TPB (IKMT) 2006-2007, Pengurus Paguyuban Forum Indonesia
Muda Bogor (2007-sekarang), Pengurus Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan
Indonesia (HMPPI) 2007, Ketua Divisi Syiar Forsita Pengurus Koalisi Gaul Sehat
(KOGASE IPB ) 2008-2009. Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan seminar
diantaranya Pelatihan Kepemimpinan Forum Indonesia Muda (FIM Anggakatan V)
tahun pada 2006, Pelatihan Multimedia BKIM IPB (2007), Training Kubik
Leadership (2007), Training Umat Terbaik Hidup Berkah (UTHB) pada tahun 2008,
Pelatihan Kewirausahaan Go Entrepreneur Perum Pegadaian (2010), Pelatihan
Kewirausahaan Building Entrepreneur Student Program (BEST) Fapet IPB pada
tahun 2010, Pelatihan BISMA Leadership Karya Salemba Empat (KSE), Seminar
Nasional Peduli Pendidikan (2008).
Penulis pernah mendapatkan penghargaan setara emas untuk Lomba Karya
Tulis Wirausaha Mahasiswa (LKTWM PIMNAS Ke XXIV), Juara 1 Lomba Produk
Kreatif Pameran Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasinal (PIMNAS ke XXIII), Harapan I
Lomba karya Tulis Inovasi Produk Lokal Indonesia. Penulis berkesempatan
mendapatkan beasiswa dari Karya Salemba Empat (KSE) serta Beasiswa BISMA
Indofood Sukses Makmur pada tahun 2011.
vi
KATA PENGANTAR

Komoditas sutera mempunyai peran penting dalam dunia perdagangan


internasional. Sutera menjadi bahan baku industri tekstil yang permintaannya masih
lebih tinggi daripada ketersediaannya. Indonesia memiliki potensi sutera lokal
dengan kualitas yang dapat bersaing di dunia internasional. Hanya saja, usaha
mengembangkannya belum optimal dilakukan, baik di tataran petani maupun
pemerintah.
Skripsi dengan judul Sistem Produksi dan Nilai Ekonomi Pengusahaan Ulat
Sutera Emas (Cricula trifenestrata) di Perkebunan Jambu Mete Desa Imogiri
Yogyakarta disusun atas dasar dorongan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
petani jambu mete melalui pemanfaatan ulat sutera emas. Ulat sutera emas (Cricula
trifenestrata) yang secara alami hadir di perkebunan jambu mete milik petani
ternyata bukanlah jenis hama tetapi justru memiliki potensi ekonomi yang strategis.
Masih banyak petani yang belum mengetahui potensi ulat ini. Sumbangsih keilmuan
di dunia peternakan yang dimiliki Penulis diharapkan dapat menjadi tambahan
informasi bagi masyarakat, khususnya petani-petani jambu mete di daerah lain untuk
memanfaatkan keberadaan ulat sutera Cricula trifenestrata. Jika semakin banyak
kelompok-kelompok tani yang menyadari potensi ekonomis dari ulat sutera emas
(Cricula trifenestrata), maka bukan hanya tambahan pendapatan saja yang akan
didapatkan, tetapi juga berefek pada pelestarian plastma nutfah Indonesia, dan
terciptanya komoditas baru khas Indonesia yang memiliki nilai tinggi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna. Semoga apa yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2012


Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN .... i
ABSTRACT ... iii
LEMBAR PERNYATAAN........................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN........ v
RIWAYAT HIDUP ....................................................... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI .. viii
DAFTAR TABEL ...... x
DAFTAR GAMBAR ..... xi
DAFTAR LAMPIRAN .. xii
PENDAHULUAN ............................................................. 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Ulat Sutera .. 4
Cricula trifenestrata ... 4
Daerah Penyebaran 5
Daur Hidup C. trifenestrata Helf. .. 5
Pakan C. trifenestrata ..... 6
Tanaman Jambu Mete A. occidentale 6
Potensi Pertumbuhan Perkebunan Jambu Mete . 6
Sistem Produksi .. 7
Analisis Pendapatan Usaha Tani .... 8
Nilai Ekonomis Sutera ............................................................ 9
MATERI DAN METODE . 10
Lokasi dan Waktu .................. 10
Materi ..................................................................................... 10
Populasi dan Sampel .. 10
Data dan Instrumentasi ...................... 10
Prosedur .................... 11
Rancangan dan Analisis Data ... 11
Analisis Deskriptif . 11
Analisis Pendapatan (Nilai Ekonomi) .... 11
HASIL DAN PEMBAHASAN .. 14
Kondisi Umum ....... 14
Sejarah Kelompok Tani Catur Makaryo.... 14
viii
Lokasi Kelompok Tani .. 15
Struktur Organisasi ... 16
Habitat Ulat Sutera Emas C. trifenestrata ................ 16
Klasifikasi C. trifenestrata . 18
Pengusahaan Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) .............. 19
Sistem Produksi .... 22
Input ... 23
Proses . 24
Daur Hidup C. trifenestrata 25
Output . 33
Nilai Ekonomi ... 34
Biaya Investasi ... 34
Biaya Operasional 35
Biaya Total atau Total Cost(TC) .......... 35
Penerimaan atau Total Revenue (TR) .. 35
Keuntungan . 36
R/C Ratio 36
Payback Periode (PP) 37
Potensi Pengembangan Kokon Ulat Sutera C.
trifenestrata .... 37
KESIMPULAN .. 40
Kesimpulan ... 40
Saran ... 40
UCAPAN TERIMA KASIH . 42
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN ...... 45

ix
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Daerah Penghasil Utama Jambu Mete di Indonesia pada Tahun
2002 .................................................................................................. 7
2. Distribusi Jenis Profesi Utama Petani........................................... 19
3. Distribusi Tanggungan Keluarga Tiap Petani .......................... 20
4. Distribusi Jumlah Pohon Tiap Petani ... 20
5. Distribusi Jumlah Panen Kokon Tiap Petani 21
6. Penduduk Desa Karangtengah Menurut Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin Akhir Tahun 2009 . 21
7. Nilai Investasi dari Alat-alat yang Dipakai Petani 34
8. Biaya Penyusutan untuk Pengumpulan Kokon Ulat Sutera ............. 35
9. Total Cost yang Dikeluarkan oleh Petani Pengumpul Kokon Per
Tahun. 35

x
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Telur, Kepompong, dan Ulat Sutera C. trifenestrata ....................... 4
2. Ngengat dari C. trifenestrata ........................................................... 5
3. Skema Sistem Produksi ................................................................... 7
4. (a). Papan Nama Sekretariat Kelompok Tani Catur Makaryo, (b).
Penunjuk Arah Desa Wisata yang Menjadi Salah Satu Program
Kelompok Tani Catur Makaryo ....................................................... 14
5. Susuan Kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo .................. 16
6. Kegiatan Satu Tahap Proses Produksi ............................................. 23
7. Siklus Hidup Ulat Sutera Emas C. trifenestrata .............................. 25
8. Telur Ulat Sutera Emass C. trifenestrata ......................................... 26
9. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar I ....................................... 27
10. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar II ...................................... 28
11. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar III .................................... 29
12. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar IV .................................... 29
13. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata pada Stadium V ........................ 30
14. Stadium Pupa Ulat Sutera Emas C. trifenestrata ............................. 31
15. Stadium Imago Ulat Sutera C. trifenstrata ...................................... 32
16. Bros Bunga dari Kepompong Ulat Sutera C.trifenestrata ............... 38
17. Kotak dan Kalung dari Kepompong Ulat Sutera Emas C. trifenes-
trata .................................................................................................. 39

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Wawancara dengan Penanggungjawab Kebun Kelompok Tani
Catur Makaryo . 46
2. Kuisioner Penelitian ......................................................................... 47
3. Nilai Investasi dan Alat-Alat yang Dipakai Petani Pengumpul ... 50
4. Biaya Tetap untuk Pengumpulan Kokon Ulat Sutera ...... 51

xii
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah baik berupa kekayaan
alam tambang, maupun kekayaan alam flora dan fauna. Masih cukup banyak
kekayaan alam Indonesia yang belum diketahui dan dimanfaatkan. Salah satu
diantaranya adalah ulat sutera liar Cricula trifenestrata. Ulat yang terkenal
menghasilkan sutera meliputi dua kelompok, yaitu ulat sutera murbei dan ulat
sutera non murbei. Kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah
didomestikasi dengan daun murbei (Morus sp) sebagai pakannya, contohnya
adalah Bombyx mori, sedangkan kelompok non murbei atau sutera liar adalah ulat
sutera yang belum didomestikasi dengan pakan bukan daun murbei. Ulat sutera
liar (wild silkworm) atau kelompok sutera non murbei merupakan ulat sutera yang
menghasilkan berbagai jenis sutera yang sangat bervariasi jenisnya. Di Indonesia
terdapat lima spesies ulat sutera liar, yaitu Attacus atlas L, Samia cynthia ricini
Bsd, Cricula trifenestrata Helf, C. aelaezea Jord, Anthraea pernyi yang semuanya
termasuk familia Saturniidae (Situmorang, 1996).
Cricula trifenestrata yang menghasilkan kokon (kepompong) berwarna
kuning keemasan hidup liar di sebagian daerah Indonesia. Penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan adanya beberapa keunggulan dari ulat sutera liar
dibanding dengan ulat sutera B. mori. Sifat suteranya lembut, dapat menyimpan
panas lebih lama, dan anti bakteri. Keunggulan lain adalah variasi warna
suteranya yang bermacam-macam, filamen kokon mengandung lebih banyak pori
dan tidak menyebabkan alergi (Akai, 1997).
Pakan C. trifenestrata mencakup daun dari berbagai jenis tumbuhan
seperti pohon alpukat, kenari, kedondong, kopi, jambu mete, mangga, dan kayu
manis. Banyak perkebunan di Indonesia, khususnya perkebunan jambu mete
berpotensi dijadikan sumber pakan C. trifenestrata. Ulat sutera liar hanya hidup di
iklim tropis seperti di Indonesia, sehingga Indonesia memiliki potensi
pengembangan budidaya C. trifenestrata yang lebih strategis.
Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan komoditas hasil
perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia karena memiliki
arti ekonomis yang cukup besar sebagai bahan baku agroindustri. Sejak tahun

1
1994-2002, areal tanaman jambu mete terus meningkat, dengan rata-rata
pertumbuhan 3,5% per tahun. Tahun 2003, produksi gelondong mete Indonesia
telah mencapai 110.232 ton (Direktorat Jendral Perkebunan, 2003).
Sebagian besar petani jambu mete masih menganggap C. trifenestrata ini
sebagai hama sehingga ulat sutera ini seringkali diberantas. Padahal keberadaan
C. trifenestrata pada pohon jambu mete justru memicu peningkatan kualitas buah
jambu mete. Selain keunggulan di atas, kokon C. trifenestrata dapat dijadikan
bahan baku pembuatan asesoris. Sebagian kecil petani jambu mete di daerah
Imogiri yang telah mengetahui nilai ekonomi C. trifenestrata telah mulai
memanfaatkan kokonnya sejak tahun 1995 dengan cara mengkoleksinya dari alam
(Situmorang, 1996). Sebagian kokon-kokon yang dikumpulkan, dipintal menjadi
benang sutera emas dan sebagian lainnya dibuat menjadi lembaran kokon yang
digunakan dalam pembuatan berbagai macam barang kerajinan tangan yang
eksklusif.
Sampai saat ini, terdapat beberapa produsen aksesoris yang memanfaatkan
kepompong C. trifenestrata sebagai bahan baku produknya. Produsen tersebut
tersebar di Pulau Jawa dan Bali. Kendala utama yang dialami para produsen
adalah bahan baku kulit kokon yang masih terbatas karena ulat sutera
C. trifenestrata belum dibudidayakan. Lebih jauh, jika ulat ini tidak dipopulerkan
di masyarakat untuk dibudidayakan, ditambah lagi oleh dampak perubahan iklim,
besar kemungkinan di masa mendatang spesies ini akan mengalami kepunahan
atau potensi ini justru dikembangkan oleh negara lain. Oleh karena itu, perlu
diketahui sistem produksi C. trifenestrata secara terintegrasi sehingga dapat
diadopsi dalam usaha budidaya atau dijadikan referensi bagi pemilik kebun jambu
mete ataupun kebun lainnya di daerah lain untuk memanfaatkan ulat sutera
C. trifenestrata dan tidak menganggapnya sebagai hama.

2
Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis sistem produksi dan
potensi ekonomi pemanfaatan hama ulat sutera liar (C. trifenestrata) di desa
Imogiri. Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengetahui:
1. Kebutuhan input produksi dan teknologi yang digunakan dalam
pemanfaatan C. trifenestrata.
2. Pola produksi dan siklus C. trifenestrata.
3. Keterlibatan tenaga kerja dalam rumah tangga petani jambu mete di
Imogiri.
4. Pendapatan petani jambu mete yang membudidayakan C. trifenestrata di
Imogiri.

3
TINJAUAN PUSTAKA

Ulat Sutera
Ulat yang terkenal menghasilkan sutera meliputi dua kelompok, yaitu ulat
sutera murbei dan ulat sutera non murbei (San-Ming, 1989). Ulat sutera yang
dimasukkan dalam kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah
didomestikasi dengan daun murbei (Morus sp) sebagai pakannya, contohnya Bombyx
mori, sedangkan yang masuk dalam kelompok non murbei atau sutera liar adalah ulat
sutera yang belum didomestikasi dengan pakan bukan daun murbei, contohnya
Cricula trifenestrata.
Ulat sutera liar (wild silkworm) merupakan ulat sutera non-murbei yang
menghasilkan berbagai jenis sutera yang sangat bervariasi jenisnya. Terdapat
setidaknya lima spesies ulat sutera liar di Indonesia yaitu Attacus atlas L, Samia
cynthia ricini Bsd, Cricula trifenestrata Helf, Cricula aelaezea Jord, Anthraea pernyi
yang semuanya termasuk familia Saturniidae (Situmorang, 1996). Ulat sutera liar
tersebut menghasilkan jenis sutera yang berbeda dangan Bombyx mori. Sifat
suteranya lembut, dapat menyimpan panas lebih lama, dan anti bakteri. Keunggulan
lain adalah variasi warna suteranya yang bermacam-macam, filamen kokon
mengandung lebih banyak pori dan tidak menyebabkan alergi (Akai, 1997).

Cricula trifenestrata
Cricula trifenestrata termasuk dalam klasifikasi ordo Lepidoptera, famili
Saturniidae, genus Cricula (Triplehorn & Johnson, 2005). Ciri morfologi
C. trifenestrata ini adalah tubuh ulat berwarna hitam dengan bercak-bercak putih dan
rambut-rambut putih, kepala dan ujung abdomen berwarna merah cerah.

Gambar1. Telur, Kepompong, dan Ulat Sutera C. trifenestrata

4
Tubuh ulat mampu mencapai panjang 60 mm. Pupa berada di dalam kokon
berbentuk jala yang berwarna kuning emas dan seringkali ditemukan bergerombol di
daun. Ngengat betina berukuran besar (memiliki bentangan sayap sekitar 75mm) dan
berwarna coklat. Ngengat betina mudah dibedakan dengan ngengat jantan karena
memiliki tiga jendela kecil pada sayap depan (Kalshoven, 1981).

Gambar 2. Ngengat dari C. trifenestrata

Daerah Penyebaran
Cricula trifenestrata Helf. dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia dan
Asia Tenggara (Kalshoven, 1981). Cricula trifenestrata javana ditemukan di Nusa
Tenggara Timur, yaitu Flores (Watson, 1913). Cricula trifenestrata tenggarensis
ditemukan di Sumba (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Cricula trifenestrata juga
dijumpai di daerah Sumatera (Herausgeber, 1996). Cricula trifenestrata kransi
ditemukan di daerah Sulawesi (Akai, 2000). Cricula trifenestrata banggaiensis
ditemukan di Kepulauan Banggai (Naumann dan Pakustadt, 1997). Cricula
trifenestrata bornea ditemukan di Kalimantan (Watson, 1913).

Daur Hidup Cricula trifenestrata Helf.


Penelitian di Bangladesh menunjukkan daur hidup C. trifenestrata
diselesaikan dalam 61-125 hari dengan lima instar larva (Hug et al,. 1991). Ahmed
dan Alam (1993) menyatakan bahwa larva yang sangat aktif adalah instar III sampai
akhir. Saat larva yang lebih muda tidak makan, larva beristirahat di tepi daun dan
yang lebih tua menggantungkan diri pada petiole atau bahkan pada ranting yang kecil.
Ulat memasuki stadium pupa setelah melewati masa pertumbuhan yang
ditandai dengan lebih banyak makan. Proses tersebut didahului dengan pembuatan
kokon sebagai pelindung dari mangsanya dan untuk perkembangan selanjutnya (Jolly,

5
1974). Setelah itu, ngengat keluar dari kokon yang membungkusnya. Ngengat
berwarna cokelat muda dengan tiga bercak transparan pada sayap bagian depan, dan
pada hari berikutnya ngengat akan kawin. Selanjutnya, betina akan mengeluarkan
telur dan lengkaplah daur C. trifenestrata Helf (Budidaya Ilmu Pertanian, 1986).

Pakan Cricula trifenestrata


Ulat sutera ini bersifat gregarious (agresif saat makan) dan pada saat terjadi
peledakan populasi dapat menyebabkan pohon menjadi gundul. Pohon yang biasa
diserang C. trifenestrata adalah pohon jambu mete (Anacardium sp.), pohon alpukat
(Persea sp.), kedondong (Spondias sp.), kenari (Canarium sp.), mangga (Mangifera
sp.) dan kayu manis (Cinnamomum sp.) (Kalsholven, 1981). Situmorang (1996)
menyatakan bahwa C. trifenestrata memakan daun pada pohon jambu mete, alpukat,
mangga, kenari, kedondong, kayu manis dan lain-lain. Tanaman yang daunnya
dimakan tidak akan mengakibatkan kematian pada pohon, tetapi akan tetap tumbuh
dan bertunas kembali.

Tanaman Jambu Mete A. occidentale


Tanaman mete atau jambu mete berasal dari daerah di kawasan Amerika
Tengah, Peru, Meksiko, Brazil hingga Hindia Barat. Tanaman jambu mete tumbuh
pada 250 LU/LS, dapat tumbuh sampai pada ketinggian 2.500 m di atas permukaan
laut. Tanaman ini tahan terhadap cuaca panas, namun suhu optimum bulanan untuk
pertumbuhan rata-rata 27 0C. Apabila pada saat pembungaan terjadi suhu rendah,
perkembangannya dapat terganggu. Perakaran tanaman mete sangat intensif dan
dalam, sehingga dapat tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang mendukung.
Di daerah gunung Kidul dan wilayah Timur Indonesia yang beriklim kering dan
tanahnya berbatu serta berkapur, tanaman ini masih mampu tumbuh dan berproduksi
baik. Tanah yang berdrainase baik dengan solum dalam, berpasir dan mengandung
lempung sangat sesuai untuk pertumbuhannya. Curah hujan yang merata baik untuk
menanam mete secara komersil dan besar-besaran (Ashari, 1995).

Potensi Pertumbuhan Perkebunan Jambu Mete


Jambu mete (A. occidentale L.) merupakan komuditas hasil perkebunan yang
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, karena memiliki arti ekonomis yang
cukup besar sebagai bahan baku agroindustri. Semenjak tahun 1994 sampai 2002

6
pertumbuhan areal tanaman jambu mete terus meningkat, rata-rata 3,5% per tahun.
Tahun 2003, produksi gelondong mete Indonesia telah mencapai 110.232 ton
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2003). Produksi gelondong mete Indonesia juga
menduduki urutan ke-6 sebagai produsen mete di dunia setelah Vietnam, India,
Nigeria, Brazil, dan Tanzania (Food and Agriculture Organization, 2004).
Pertanaman jambu mete tersebar di Kawasan Timur Indonesia. Sebagian
besar pertanamannya (sekitar 98%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat.
Daerah penghasil utama jambu mete yaitu Nusa Tenggara Timur (14,15%), Sulawesi
Tenggara (24,05%), Sulawesi Selatan (24,92%), Jawa Timur (10,14%), Nusa
Tenggara Barat (10,17%) dan Jawa Tengah (5,01%) (Direktorat Jendral Perkebunan,
2003).

Tabel 1. Daerah Penghasil Utama Jambu Mete di Indonesia pada Tahun 2002
No Provinsi Luas Pertanaman (ha) Produksi
PR PB Total (ton)
1 Nusa Tenggara Timur 146.153 209 146.362 15.600
2 Sulawesi Tenggara 117.031 3.519 120.550 26.507
3 Sulawesi Selatan 78.558 1.195 79.753 27.459
4 Jawa Timur 57.445 0 57.445 11.181
5 Nusa Tenggara Barat 51.640 3.800 55.445 11.210
6 Jawa Tengah 30.271 0 30.271 5.524
7 Provinsi lainnya 87.698 1.405 89.103 12.738
Total 568.796 10.128 578.924 110.232
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan (2003), PR: Perkebunan Rakyat, PB: perkebunan Besar

Sistem Produksi
Sistem produksi merupakan kumpulan dari sub sistem yang saling
berinteraksi dengan tujuan menstranformasi input produksi menjadi output produksi
yang memiliki nilai lebih/jual. Input produksi ini dapat berupa bahan baku, mesin,
tenaga kerja, modal, dan informasi. Sedangkan output produksi merupakan produk
yang dihasilkan berikut hasil sampingannya, seperti limbah, informasi, dan
sebagainya (Fadly, 2011). Secara skematis sistem produksi digambarkan sebagai
berikut:

Input Proses Output

Gambar 3. Skema Sistem Produksi

7
Analisis Pendapatan Usaha Tani
Usaha tani adalah kegiatan yang ditujukan untuk menghasilkan output
(penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal sebagai pengeluaran.
Analisis pendapatan memerlukan data penerimaan (revenue) dan pengeluaran
(expenses) baik yang menyangkut tetap (fixed) maupun biaya operasi (operating
expenses). Semuanya dalam perhitungan tunai (cash). Jumlah yang dijual (termasuk
yang digunakan sendiri) dikalikan dengan harga merupakan jumlah yang diterima,
itulah yang disebut penerimaan. Bila penerimaan dikurangi dengan biaya produksi
hasilnya dinamakan pendapatan. Analisis pendapatan berguna untuk mengetahui dan
mengukur apakah kegiatan yang dilakukan berhasil atau tidak. Terdapat dua tujuan
utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dari suatu
kegiatan dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau
tindakan. Tingkat pendapatan selain dipengaruhi oleh keadaan harga faktor produksi
dan harga hasil produksi, juga dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan yang
dilakukan oleh peternak. Analisis usahatani meliputi penerimaan dan pendapatan
usahatani (Soekartawi, 2002).
Penerimaan total adalah nilai produk total usaha tani dalam jangka waktu
tertentu. Boediono (2002), menyatakan bahwa penerimaan adalah hasil penjualan
output yang diterima produsen dan jumlah penerimaan dari suatu proses produksi
dapat ditentukan dengan mengalikan jumlah produksi yang dihasilkan dengan harga
jual produk tersebut. Biaya mencakup suatu pengukuran nilai sumber daya yang
harus dikorbankan sebagai akibat dari aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk
mencari keuntungan. Berdasarkan volume kegiatan, biaya dibedakan atas biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang dikeluarkan dalam
kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu,
contuhnya adalah biaya penyusutan, sedangkan biaya variabel (variable cost) adalah
biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah sebanding dengan perubahan volume
kegiatan, contohnya adalah biaya bahan baku setengah jadi dan biaya survey.
(Boediono, 2002). Pengeluaran total usaha tani adalah nilai semua input yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah selisih antara total
penerimaan dan total pengeluaran (Soekartawi, et al., 1986)

8
Soeharjo dan Patong (1973) mengatakan bahwa pendapatan usaha tani yang
diterima seorang petani dalam satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima
petani lainnya. Perbedaan pendapatan petani ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya masih dapat berubah dalam batas-batas kemampuan petani, misalnya
luas lahan usaha tani, efisiensi kerja dan efisiensi produksi. Faktor-faktor yang tidak
dapat berubah seperti iklim dan jenis lahan.
Salah satu ukuran yang bisa dijadikan indikator untuk mengetahui
keuntungan usaha tani yang dilihat dari segi pendapatan adalah perbandingan antara
penerimaan dengan biaya atau R/C. Nilai R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh
akan lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
penerimaan tersebut sehingga kegiatan usaha tani efisien untuk dilakukan. Nilai R/C
< 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan
yang diperoleh sehingga usaha yang dilakukan tidak efisien. Alat yang digunakan
untuk menganalisis keuntungan usaha tani adalah R/C atas biaya tunai dan R/C atas
biaya total (Soekartawi et al., 1986).

Nilai Ekonomis Sutera


Nilai merupakan penghargaan atas suatu manfaat bagi orang atau kelompok
orang pada waktu tertentu. Sedangkan penilaian merupakan penetapan atau
penentuan bobot atau manfaat suatu barang dan jasa bagi manusia. Jadi penilaian
barang dan jasa merupakan penentuan bobot atau manfaat barang dan jasa bagi
manusia (David dan Johnson, 1987).
Kebutuhan akan benang sutera selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 1994
keperluan benang sutera dunia adalah 92.743 ton per tahun, sedang produksinya baru
mencapai 83.393 ton (Food and Agriculture Organization, 1994, dalam Departemen
Kehutanan 1996). Untuk memenuhi keperluan tersebut konsumen sutera juga
membidik pasar di Amerika Selatan dan Asia Tenggara antara lain ke Indonesia.
Dengan demikian pasar benang sutera masih terbuka, baik untuk memenuhi
kebutuhan ekspor, maupun untuk digunakan di dalam negeri.

9
MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan dari awal Desember 2010 sampai awal Januari
2011. Lokasi penelitian bertempat di perkebunan jambu mete rakyat milik
kelompok tani Catur Makaryo di desa Imogiri, Yogyakarta.

Materi

Populasi dan Sampel


Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah petani yang
memanfaatkan C. trifenestrata. Pemilihan wilayah di Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Yogyakarta didasarkan atas pertimbangan bahwa masyarakat di
wilayah tersebut telah memanfaatkan kokon dari ulat sutera emas C. trifenestrata
secara ekonomis.
Penentuan responden (sampel unit) diambil dari petani dari kelompok tani
Catur Makaryo, dua dusun (Karangtengah dan Karangrejek) yang dipilih secara
sengaja (purposive), dengan satuan responden adalah kepala keluarga. Pemilihan
desa secara sengaja didasarkan pertimbangan yang sama dengan pemilihan
wilayah.

Data dan Instrumentasi


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data primer adalah data yang
diperoleh dari hasil pengamatan dilapangan dan diperoleh melalui wawancara
dengan petani yang terpilih menjadi responden, ketua kelompok, dan penanggung
jawab pengelola lapang kelompok tani Catur Makaryo serta pihak-pihak yang
terlibat dalam penelitian. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar
pertanyaan yang telah disusun secara terstruktur dan dipersiapkan terlebih dahulu
untuk memperoleh gambaran tentang input, output serta besarnya kegiatan usaha
pembudidayaan C. trifenestrata dan kegiatan usaha di luar usaha pembudidayaan.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan dari
bahan tertulis atau pustaka yang dapat dipercaya dan berhubungan dengan
penelitian berupa hasil penelitian. Diantaranya data klimatologi daerah Imogiri

10
dari BMKG, data karakteristik penduduk dari Badan Pusat Statistik, Badan
Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta, dan Dinas Pertanian Kota Yogyakarta.

Prosedur
Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei untuk menganalisis
sistem produksi dan pendapatan ekonomi dari pemanfaatan C. trifenestrata di
desa Imogiri. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari
suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang
pokok. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis
pendapatan. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi dan
potensi usaha pemanfaatan C. trifenestrata di desa Imogiri. Analisis pendapatan
digunakan untuk mengetahui nilai ekonomi pemanfaatan C. trifenestrata di desa
Imogiri.

Rancangan dan Analisis Data

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini merupakan deskripsi yang
mendalam tentang proses produksi dari pemanfaatan kokon ulat sutera emas C.
trifenestrata. Proses produksi yang dimaksud meliputi pengamatan terhadap
input, proses dan output yang terkait dengan pemanfaatan kokon ulat sutera emas
C. trifenestrata. Input merupakan bahan dan alat-alat yang dibutuhkan dalam
pemanfaatan kokon, termasuk siklus produksi dari kokon ulat sutera emas C.
trifenestrata. Proses merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menghasilkan output. Output merupakan hasil keluaran dari proses produksi yang
memiliki nilai.

Analisis Pendapatan (Nilai Ekonomi)


Analisis Pendapatan atau nilai ekonomi dari usaha tani pemanfaatan
kepompong sutera emas dihasilkan dari beberapa perhitungan. Perhitungan
tersebut meliputi : biaya investasi, biaya operasional, total biaya (biaya tetap +
biaya variable), pemasukan, keuntungan, R/C rasio, BEP dan payback periode.

11
Biaya Investasi. Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membangun
usaha. Biaya investasi biasanya berumur lebih dari satu tahun. Misalnya biaya alat
timbangan besar yang umur pemakaiannya lebih dari 1 tahun.

Biaya Operasional. Biaya operasional adalah biaya produksi yang harus


dikeluarkan setiap satu periode produksi. Biaya tersebut yaitu biaya tetap dan
biaya tidak tetap. Misalnya biaya penyusutan.

Biaya Total atau Total Cost (TC). Biaya total adalah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan untuk pengadaan ulat sutera dan pengumpulan kokon. Biaya total
atau Total Cost ini merupakan total biaya produksi yang dikeluarkan untuk biaya
operasinoal.

Penerimaan atau Total Revenue (TR). Penerimaan adalah jumlah uang yang
diperoleh dari hasil penjualan hasil produksi. Penerimaan yang diperoleh oleh
petani dapat berupa penerimaan pokok dan penerimaan sampingan.

Keuntungan. Keuntungan merupakan selisih penerimaan dengan total biaya


produksi. Keuntungan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total
(Total Revenue) dengan biaya total (Total Cost). Rumus pendapatan menurut
Guritno (1996) adalah sebagai berikut :

Kriteria yang digunakan : maka untung, maka rugi, maka


impas
TR = Total Revenue (Total Penerimaan)
TC = Total Cost (Total Biaya)

R/C Ratio. Analisis R/C ratio merupakan alat analisis yang digunakan untuk
melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai
dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dinyatakan layak untuk dijadikan usaha jika
nilai R/C ratio lebih besar dari satu (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka
tingkat keuntungan suatu usaha akan lebih besar.

12
Payback Periode (PP). Analisis payback periode (PP) untuk mengetahui lama
waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi yang ditanamkan atau
berapa lama investasi yang ditanamkan akan kembali. PP dapat dihitung dengan
cara sebagai berikut:
Payback Periode = (Biaya (investasi) /keuntungan) x tahun

13
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Sejarah Kelompok Tani Catur Makaryo


Kelompok Tani Catur Makaryo merupakan kelompok usaha pertanian yang
memiliki peranan penting dalam pengembangan dan kemajuan pertanian di desa
Imogiri, Yogyakarta. Kelompok tani ini menjadi tempat bagi para petani berbagi
informasi dan pengalaman, serta bekerjasama dalam rangka mensejahterakan desa.
Kelompok ini bernama Catur Makaryo yang dalam bahasa Jawa berarti empat pihak
yang berusaha. Empat pihak tersebut adalah: Dusun Karang Tengah, Dusun Karang
Rejek, Kesultanan Yogyakarta dan Perusahaan Yarsilk. Kelompok Tani Catur
Makaryo yang terbentuk tahun 2006 ini diketuai oleh Bapak Sogiyanto. Jumlah
anggota petani yang tergabung dalam kelompok tani catur makaryo kurang lebih 300
anggota petani, namun tidak semuanya menjadi anggota aktif.

Gambar 4. (a). Papan Nama Sekretariat Kelompok Tani Catur Makaryo, (b).
Penunjuk Arah Desa Wisata yang Menjadi Salah Satu Program
Kelompok Tani Catur Makaryo

Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani ini diantaranya adalah pelatihan,
penyuluhan dari pemerintah dan perusahaan swasta, rapat bersama serta kegiatan
simpan pinjam. Selain itu beberapa keluarga petani menyediakan home stay bagi
wisatawan yang ingin menginap dan menikmati suasana desa.
Sebanyak kurang lebih 300 petani mendapat bantuan dari Sultan berupa
penyediaan lahan seluas 1.000-2.000 m2 tiap petani. Lahan tersebut hanya boleh
digunakan untuk pertanian dengan status hukum kepemilikan lahan tetap milik

14
sultan. Petani dibebaskan dalam menanam komoditi pertanian, namun sejak tahun
2006 petani secara serentak menanam pohon jambu mete sebagai komoditas utama.
Pohon jambu mete ini dimanfaatkan terutama untuk penghasil kacang mete. Selain
itu juga dihasilkan sirup dari buah jambu mete dan bahan pewarna alami. Saragih
dan Haryadi (2003), juga menyatakan tanaman jambu mete tergolong tanaman yang
mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Hampir semua bagian tanaman dapat
dimanfaatkan meliputi buah sejatinya menghasilkan kacang mete, buah semu dapat
diolah menjadi aneka makanan dan minuman termasuk diantaranya adalah cuka,
kulit biji yang menghasilkan minyak laka yang digunakan berbagai industri, kulit ari
jambu mete yang dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak yang bergizi tinggi, kulit
kayu jambu mete yang dapat digunakan sebagai bahan tinta, bahan pencelup, atau
bahan pewarna, akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut, daun jambu mete
yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, sedangkan daun yang tua dapat
dimanfaatkan sebagai obat luka bakar.
Pohon jambu mete inilah yang menjadi media hidup ulat sutera emas
C. trifenestrata. Ulat sutera ini belum populer dibudidayakan (diternakan di dalam
kandang). Petani/masyarakat pada umumnya menganggap ulat ini sebagai hama yang
seringkali dibasmi. Hal berbeda ditemukan di Imogiri, petani justru membiarkan ulat
ini hidup liar di kebun jambu mete mereka. Petani Catur Makaryo (Imogiri)
menyadari ulat ini memiliki nilai ekonomis ketika kokonnya dikumpulkan dan dijual.
Petani di kelompok tani Catur Makaryo pun mendapat tambahan penghasilan dari
usaha sampingan mereka mengumpulkan kokon.

Lokasi Kelompok Tani


Lokasi kelompok tani Catur Makaryo berada di desa Karang Tengah,
Kecamatan Imogiri, Yogyakarta. Kecamatan Imogiri memiliki luas wilayah 5.448,69
ha. Desa Karang Tengah memiliki luas wilayah 287,77 ha yang terdiri atas lahan
sawah seluas 115,70 ha dan lahan kering seluas 34,62 serta bangunan pekarangan
seluas 75,84 ha dan 61,61 ha lahan lainnya. Wilayah Kecamatan Imogiri sebelah
utara berbatasan dengan Kecamatan Pleret dan Jetis, Sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Dlingo, Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Panggung
Kabupaten Gunungkidul, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Jetis dan
Pundong (Imogiri Dalam Angka, 2010).

15
Desa Imogiri termasuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yang beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 0,2-440,1 mm yang
dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Suhu udara rata-rata di
o o
Yogyakarta tahun 2000 menunjukkan angka 26,2 C dengan suhu maksimum 35 C
o
dan suhu minimum 20 C. Kelembaban udara tercatat 31%-97%, tekanan udara
antara 1.006,01.013,3 mb, dengan arah angin antara 001240 derajat dengan
kecepatan angin antara 01 sampai dengan 30 knot (BMKG, 2010).

Struktur Organisasi
Susunan kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo terdiri atas delapan
orang pengurus inti organisasi dari kurang lebih 40 orang anggota. Anggota
kelompok tani ini adalah petani jambu mete yang ada di dusun Karang Tenggah dan
Karang Rejek.

Ketua
H.Sogiyanto

Sekretaris Bendahara
Bahroni Juwahir

Humas Budidaya Pengendalian Pemasaran Keamanan


Jazimah Tanamana Hama Barowi Jumadi
Badarudin Wiyono

Gambar 5. Susuan Kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo

Habitat Ulat Sutera Emas C. trifenestrata


Suplai makanan yang cukup merupakan salah satu syarat mutlak bagi
pertumbuhan dan perkembangan populasi serangga. Unsur-unsur yang menentukan
dalam hal faktor makanan secara keseluruhan adalah kuantitas dan kualitas.
Kuantitas atau banyak sedikitnya suplai makanan sangat mempengaruhi dan
menentukan besarnya populasi sejenis hama serangga. Kualitas makanan
menentukan tahap perkembangan populasi serangga karena gizi makanan

16
berpengaruh terutama pada pertumbuhan, perkembangan, kesuburan dan mortalitas
(Patton, 1963 dalam Cit Manueke, 1990).
Tanaman yang biasa menjadi pakan ulat sutera emas C. trifenestrata ada tiga,
di antaranya daun jambu mete, daun kedondong dan daun alpukat. Situmorang
(1996) menyatakan bahwa C. trifenestrata menyerang pohon jambu mete, alpukat,
mangga, kenari, kedondong, kayu manis dan lain-lain. Tanaman yang diserang tidak
akan mengakibatkan kematian pada pohon, tetapi tanaman akan tetap tumbuh dan
bertunas kembali. Kualitas warna kokon dari daun jambu mete lebih kuning emas
dibandingkan pada pohon alpukat. Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium
Entomologi Fakultas Biologi UGM Yogyakarta (2000) menemukan larva yang diberi
pakan buatan menggunakan daun jambu mete pada seluruh mete menghasilkan
kokon kuning keemasan. Sedangkan larva yang diberi pakan buatan menggunakan
daun kedondong pada seluruh instar menghasilkan kokon putih kekuningan.
Ulat sutera emas C. trifenestrata yang terdapat pada perkebunan kelompok
tani Catur Makaryo baru dapat memakan daun jambu mete pada usia pohon minimal
2-3 tahun. Total luas lahan 55 ha lahan pertanian di daerah Imogiri, baru sekitar 12
ha yang digunakan untuk budidaya ulat sutera emas. Khan (1991) menyebutkan dari
hasil studi terhadap C.trifenestrata pada pohon mangga, ulat sutera ini menghabiskan
waktu selama 61125 hari untuk menyelesaikan satu kali daur hidup secara lengkap.
Ulat sutera C.trifenestrata memiliki lima instar, dimana ketika memasuki instar ke 4
dan ke 5, larva dapat menyebabkan sebagian atau seluruh daun tanaman tersebut
habis. Studi Laboratorium menurut Ali (1991) C.trifenestrata membutuhkan waktu
7692 hari dalam satu siklus hidup lengkap dengan rata-rata periode larva 41 hari
dan pupa 26 hari pada temperature 25 0C serta kelembaban relative sebesar 70% RH.
Larva akan berkompetisi dalam mendapatkan pakan dan tempat untuk mengokon, hal
ini menjadi salah satu penyebab banyaknya larva yang mati dan gagal dalam
mencapai stadium pupa.
Ulat sutera C.trifenestrata bersifat poikiloterm. Suhu tubuh sesuai dengan
temperature di lingkungan eksternal (Guang, 1988). Suhu yang tidak menghalang-
halangi pertumbuhan ulat itu ialah berkisar 20 0C sampai 28 0C. Di luar suhu itu baik
lebih rendah ataupun lebih tinggi, ulat sutera sulit untuk bisa hidup dengan sehat.
Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan ulat menjadi terlalu pesat dan

17
sebaliknya bila terlalu rendah menjadi lambat pertumbuhannya. Hal ini menimbulkan
gangguan keseimbangan daur siklus ulat. Pemilihan daerah yang suhunya cocok
untuk pertumbuhan larva menjadi pertimbangan yang sangat penting (Katsumata,
1964). Kelembaban yang paling cocok untuk kesehatan larva ialah 75%. Larva muda
lebih tahan terhadap kelembaban yang tinggi. Namun bagi larva dewasa kelembaban
udara yang tinggi dapat melemahkan kesehatannya dan menimbukan gangguan
(Katsumata, 1964). Kelembaban udara yang terlalu tinggi menyebabkan bibit
penyakit (mikroorganisme) berkembang biak dengan subur sehingga larva mudah
terkena penyakit.
Ulat sutera tidak menyukai keadaan yang terlalu terang ataupun terlalu gelap,
tetapi lebih suka kepada keadaan cahaya lemah (15-30 lux). Larva di dalam keadaan
terang lebih aktif bergerak dibandingkan dengan keadaan gelap, ulat-ulat tersebut
cepat naik ke bagian atasa daun. Keadaan pemeliharaan yang selalu gelap dan selalu
terang kurang baik (Katsumata, 1994).

Klasifikasi Cricula Trifenestrata


Berikut adalah klasifikasi taksonomi C. trifenestrata:
Kingdom : Animalia
Filum : Anthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Sub Ordo : Ditrysia
Superfamili : Bombycoidea
Famili : Saturniidae
Sub Famili : Saturniinae
Genus : Cricula
Spesies : Cricula Trifenestrata Helf.
(Stehr, 1987)
Ada tujuh sub spesies C. trifenestrata, yaitu: C. trifenestrata, C. agrioides, C.
Serama, C. Treadauayi, C. Kransi, (Akai, 2000a), C. Javana (Herausgeber, 1996;
Akai, 2000), dan C. tenggaraensis (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Kalshoven (1981),
Akai (2000) dan Kato et al. (2000) menyebutkan ngengat ini terdistribusi di seluruh
Indonesia dan Asia Tenggara. Lima diantara tujuh sub spesies Cricula trifenestrata

18
Helf terdistribusi di Indonesia, yaitu: C. trifenestrata, C. Serama, C. Kransi, (Akai,
2000), C.javana (Herausgeber, 1996; Akai, 2000), dan C. tenggaraensis (Paukstadt
& Paukstadt, 1999). Strain ngenggat yang ada di Maluku mempunyai kokon 1,5 kali
lebih besar dibandingkan kokon yang ada di jawa (Kalshoven, 1981).

Pengusahaan Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata)


Basarkan 21 responden yang diwawancara, sebagian besar responden
bermata pencaharian pokok sebagai buruh pertanian (29,17 %) dan jasa (25,00 %)
sedang sisanya sebagai pedagang (16,67 %), usaha industri (8,33 %) serta usaha
perkebunan, usaha pertanian, pegawai negeri sipil (PNS), karyawan dan pensiunan
masing-masing 4,17 %. Pengusahaan ulat sutera emas C. trifenestrata umumnya
hanya merupakan mata pencaharian sambilan.

Tabel 2. Distribusi Petani Berdasarkan Profesi Utama


Profesi Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%)
Perdagangan 4 16,67
Jasa 6 25,00
Buruh pertanian 7 29,17
Usaha Industri 2 8,33
Usaha Perkebunan 1 4,17
Usaha Pertanian 1 4,17
PNS 1 4,17
Karyawan 1 4,17
Pensiunan 1 4,17
Total 24 100,00

Keseluruhan petani yang menjadikan pendapatan dari kokon ulat sutera emas
sebagai pendapatan sampingan menunjukkan usaha pemanfaatan ulat sutera emas
C. trifenestrata tidak memerlukan energi dan waktu yang besar. Beberapa petani
bahkan memiliki pekerjaan utama lebih dari satu. Pekerja wanita hanya satu dari 21
responden petani pengumpul kokon ulat sutera emas dalam keanggotaan Catur
Makaryo. Alokasi waktu yang diberikan petani dalam usaha pemanfaatan kokon ulat
sutera ini hanya saat proses pengumpulan kokon yang telah siap panen dari pohon
dan pembersihan kokon sebelum dijual. Petani tidak melakukan pengontrolan
terhadap pakan untuk ulat karena biasanya ulat akan mencari sendiri pohon
disekitarnya jika pohon awal yang ditempati telah gundul daun-daunnya.

19
Tabel 3. Distribusi Petani Berdasarkan Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%)
1-2 orang 4 19,05
3 orang 9 42,86
4 orang 7 33,33
5 orang 1 4,76
Total 21 100,00

Jumlah petani sebanyak 42,86 % mempunyai tanggungan tiga orang anggota


keluarga. Kemudian, 33,33 % petani memiliki tanggungan sejumlah empat orang
anggota keluarga. Tanggungan petani yang cukup banyak menjadikan aspek
penghasilan tambahan penting bagi petani.
Luas lahan yang dimiliki petani pengumpul kokon ulat sutera emas rata-rata
1.500 m2. Sebagian besar petani memilik luas lahan 1.000 m2 atau 2.000 m2, hanya
satu orang yang memiliki luas lahan sampai 3.000 m2. Walaupun luasan lahan yang
dimiliki petani hampir sama, namun jumlah pohon jambu mete yang dimiliki petani
cukup bervariasi, mulai dari 25 batang sampai 210 batang. Hal ini karena tidak
semua petani menanami lahan yang mereka miliki dengan pohon jambu mete.
Sebagian petani menjadikannya sebagian lahannya sebagai lahan tumpang sari yang
berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan sandang pangannya sehari-hari.

Tabel 4. Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon


Jumlah pohon Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%)
25-50 9 42,86
50-100 5 23,81
100-150 6 28,57
150-210 1 4,76
Total 21 100,00

Persentase petani yang memiliki jumlah pohon paling banyak (25-50 batang
pohon) sebesar 42,86 %. Artinya, mayoritas petani yang berjumlah 42,86 % memiliki
pohon jambu mete berkisar antara 25-50 batang pohon. Sedangkan 4,76% petani
memiliki 150-210 batang pohon. Rata-rata petani memiliki jumlah pohon kurang
lebih 79 batang pohon.
Lahan yang digunakan oleh petani pengumpul kokon ulat sutera emas
merupakan lahan milik kesultanan keraton Jogja yang diserahkan pada rakyat untuk
dijadikan lahan produktif. Petani tidak dibebani dengan biaya sewa ataupun pajak.
Pihak Kesultanan Keraton mempersilahkan menggunakan lahan untuk pertanian.

20
Petani hanya dapat mengelola dalam bentuk pertanian dan tidak dapat mendirikan
rumah di lahan tersebut. Hal ini yang membuat luasan lahan yang dipakai petani
luasnya hampir sama satu sama lain.
Hampir semua petani pengumpul kokon ulat sutera emas yang diwawancarai
pernah mengalami setidaknya satu kali panen kokon sutera emas. Pemanenan
berkisar pada bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Jumlah kokon sekali panen
berkisar antara 0,5-10 ons.

Tabel 5.Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Panen Kokon


Jumlah Panen Kokon Jumlah Petani Persentase Petani (%)
0,5 - 3 ons 11 52,38
4 - 7ons 5 23,81
8 - 10ons 5 23,81
Total 21 100,00

Kurang intensifnya penggarapan lahan diduga disebabkan oleh


mengelompoknya tenaga kerja di bawah umur 25 tahun (Tabel 6) yang cenderung
kurang tertarik pada pekerjaan menggarap lahan pertanian.

Tabel 6. Penduduk Desa Karang Tengah Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Akhir Tahun 2009
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
04 228 211 439
59 223 224 447
10 14 232 240 473
15 19 274 261 534
20 24 193 220 414
25 29 172 191 364
30 34 224 223 447
35 39 192 218 410
40 44 160 183 343
45 49 131 164 295
50 54 94 89 184
55 59 90 99 189
60 64 94 116 210
65 69 70 115 184
70 74 61 77 138
75 + 53 53 106
Kecamatan / District 2.493 2.684 5.177

21
Hasil wawancara dengan salah satu petani pengelola kebun menunjukkan
bahwa ulat sutera C. trifenestrata tidak memberikan efek buruk pada tanaman. Pohon
jambu mete yang daun-daunnya habis dimakan ulat sutera C. trifenestrata tidak mati,
namun pohon akan kembali bersemi. Saragih dan Haryadi (2003) menyatakan bahwa
tanda tanaman jambu mete diserang oleh hama ulat kipat (Cricula trifenestrata)
adalah daun-daun yang tidak utuh dan terdapat bekas gigitan. Bahkan pada serangan
yang hebat daun dapat habis sama sekali, tetapi tidak menyebabkan tanaman mati.
Buah jambu mete hasil panen dari pohon yang diserang ulat sutera
C. trifenestrata justru memiliki kualitas yang lebih baik. Buah menjadi lebih besar
dan mengkilap. Jika ulat menyerang daun saat musim berbuah atau berbunga,
mungkin hal ini akan mempengaruhi pada penurunan produktivitas. Hal ini karena
ulat bisa ikut memakan bunga dan daun ataupun keberadaan ulat yang memakan
habis daun-daun akan mengganggu proses fotosintesis. Kenyataan di lapang
menunjukkan keberadaan ulat ini tidaklah terus menerus ada di pohon jambu mete.
Kedatangan ulat ini hanya di musim-musim tertentu dimana biasanya terjadi saat
sebelum musim berbunga pohon jambu mete. Peralihan musim penghujan ke musim
kemarau, sekitar bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus merupakan bulan
kedatangan ulat. Ulat yang menyerang tanaman bukan saat musim berbunga atau
berbuah akan menjadikan tanaman dapat tetap beproduksi secara optimal. Sehingga
keberadaan ulat ini bukan hama bagi petani.
Petani justru diuntungkan dengan keberadaan ulat sutera C. trifenestrata di
tanaman jambu mete mereka. Selain kualitas buah menjadi lebih baik, petani juga
menjadi lebih hemat dalam penggunaan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh
petani Catur Makaryo tidak sebanyak penggunaan pestisida pada tanaman jambu
mete pada umumnya. Pestisida yang digunakan petani hanya pestisida yang
diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah daerah.

Sistem Produksi
Sistem produksi adalah bagian dari manajemen operasional. Kata produksi
secara umum dapat diartikan sebagai proses membuat suatu produk dari berbagai
bahan lain. Sedangkan arti sistem adalah method of planning atau cara merencanakan
yang berkaitan dengan membuat produk. Proses kegiatan yang mengubah bahan
baku menjadi bahan lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi disebut proses

22
produksi. Proses produksi adalah kegiatan-kegiatan memproses pengolahan input
menjadi output (Pawirosentono, 2007). Hal ini dapat digambarkan seperti pada
Gambar 6.
Input Proses Output

Ulat Sutera C. trifenestrata Kokon siap dipakai

Kokon di bersihkan
Pupa siap pakai
Kebun
jambu mete Kokon dan pupa
dipisahkan

Ulat yang
Kokon dikumpulkan
telah menjadi Pupuk organik
kokon

Kotoran ulat
Peralatan (gunting,
keranjang, timbangan)

Gambar 6. Kegiatan Satu Tahap Proses Produksi

Sistem produksi merupakan proses transformasi nilai tambah dari input yang
mana menjadi output yang melibatkan komponen struktural dan fungsional yang
berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional (Gaspersz, 2005).
Komponen struktural dari system produksi adalah bahan baku, mesin dan peralatan,
tenaga kerja, modal, energi, informasi, tanah, dan lain-lain. Sedangkan komponen
fungsional adalah supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi, kepemimpinan,
dan semua yang berhubungan dengan manajemen dan organisasi. Suatu sistem
produksi akan selalu berada pada suatu lingkungan, sehingga aspek-aspek
lingkungan seperti perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah dan sosial
ekonomi akan mempengaruhi sistem produksi.

Input
Alat-alat yang digunakan dalam proses pembudidayaan kokon ulat sutera
emas C.trifenestrata meliputi keranjang, timbangan, gunting, dan karung. Jumlah
keranjang yang biasa dimiliki petani berkisar 1-2 buah per keluarga petani. Rata-rata
petani memiliki dua buah gunting, satu timbangan dan 4 buah karung. Alat-alat

23
tersebut merupakan alat-alat yang sama yang digunakan petani dalam memelihara
jambu mete. Pada proses produksi kokon, alat-alat tersebut hanya digunakan saat
proses pemanenan kokon ulat sutera emas tiba.
Sistem pemanfaatan kepompong yang diadopsi kelompok tani Catur Makaryo
Imogiri merupakan budidaya yang mengedepankan ekosistem alami, sehingga ulat
dibiarkan hidup secara liar di pohon-pohon jambu mete milik petani. Sehingga bisa
dikatakan petani tidak mengeluarkan biaya peralatan untuk pembudidayaan (secara
liar) ulat sutera emas C.trifenestrata.
Petani di daerah Imogiri hanya mengandalkan air hujan untuk menunjang
keberlangsungan hidup pohon jambu mete. Pohon yang menjadi bahan makanan ulat
ini tumbuh subur di perkebunan kelompok tani catur makaryo. Pemanfaatan ulat
sutera emas C. trifenestrata yang dianggap sebagai hama justru berdampak positif
bagi budidaya jambu mete itu sendiri. Pemanfaatan ulat sutera emas yang
dikumpulkan kokonnya oleh petani menjadikan penggunaan insektisida lebih
berkurang. Insektisida hanya digunakan saat pohon jambu mete yang di umur 2-3
tahun belum dihinggapi/dimakan oleh ulat sutera emas dibandingkan jika pada
kondisi normal, petani biasanya menggunakan insektisida 2-3 kali.

Proses
Petani-petani yang tergabung dalam kelompok tani Catur Makaryo
memanfaatkan limbah kokon ulat sutera emas C. trifenestrata yang secara liar
terdapat di kebun jambu mete milik mereka. Secara umum mereka tidak menerapkan
perlakuan secara khusus, petani hanya memanfaatkan kepompong yang secara alami
hidup pada pohon jambu mete untuk dikumpulkan dan dijual. Ulat C. trifenestrata
dibiarkan hidup ada pohon-pohon jambu mete milik mereka, sehingga petani
mendapatkan penghasilan tambahan selain dari penghasilan utama jambu mete
sendiri.
Tanaman jambu mete yang diserang oleh ulat sutera C. trifenestrata tidak
akan mengakibatkan kematian pada pohon, pohon akan tetap tumbuh dan bertunas
kembali. Buah yang dihasilkan dari pohon yang diserang ulat ini justru lebih baik
dibandingkan buah yang dihasilkan dari pohon yang tidak diserang ulat
C. trifenestrata. Buah menjadi lebih besar dan mengkilap.

24
Pada proses pembudidayan ulat C.trifenestrata, petani Imogiri masih suka
dengan membiarkan ulat-ulat ini liar di alam secara alami, bukan dengan pengelolaan
yang intensif. Bibit ulat datang dengan sendirinya pada musim-musim tertentu.
Biasanya terjadi saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, yaitu sekitar
bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Bibit ulat ini sebagian besar berasal dari telur
yang menempel pada daun-daun jambu mete di sekitar kebun.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu fase siklus ulat sutera
emas dari telur menjadi kupu-kupu (hingga kokon dapat diambil) kurang lebih 45
hari, sedangkan penelitian di Bangladesh menunjukkan daur hidup C. trifenestrata
diselesaikan dalam 61-125 hari dengan lima instar larva (Hug et al., 1991).

Gambar 7. Siklus Hidup Ulat Sutera Emas C. trifenestrata

Daur Hidup Cricula Trifenestrata


Biasanya ulat sutera C. trifenestrata sudah dapat memakan daun pohon jambu
mete yang berumur tiga tahun atau lebih. Berikut penjelasan lebih rinci terkait siklus
hidup ulat sutera emas C. trifenestrata yang hidup secara liar di kebun jambu mete:

25
Telur. Telur-telur yang dihasilkan oleh induk betina diletakan berderet rapih dalam
dua sampai tiga lapisan pada tepi permukaan bawah daun. Jumlah telur yang
diletakkan bervariasi dari 53-380 butir. Penetasan telur biasanya terjadi pada pagi
hari (Lubis, 1999). Telur berbentuk oval atau lonjong dan berwarna putih kekuningan
saat baru diletakkan induknya. Kemudian setelah beberapa hari warna telur berubah
menjadi semakin gelap atau putih kelabu. Selama 10 hari telur berkembang dan pada
hari ke-8 telur mulai berwarna kelabu gelap dengan ujung anteriornya terdapat titik
kecil yang disebut mikrofil dan telur agak pipih. Jumlah telur mencapai 200-325
butir per induk dengan fertilitas tinggi. Telur menetas setelah tujuh hari. Stadia telur
sekitar 8-11 hari (Direktorat Bina Perlindungan Tanamana, 1995).

Gambar 8. Telur Ulat Sutera Emas C. trifenestrata

Banyak telur yang dihasilkan namun terdapat beberapa telur yang tidak
menetas karena di dalam telur tersebut tidak terdapat embrio. Warna telur yang tidak
menetas tidak pernah berubah sejak awal diletakkan oleh induk sampai saatnya
penetasan tetap berwarna putih kekuningan. Telur-telur tersebut akhirnya
mengempes dan kering. Pengakuan bagian pengontrol kebun kelompok tani Catur
Makaryo, pak Jumadi (wawancara langsung) menyebutkan telur-telur kosong yang
tidak pernah menetas ini merupakan telur-telur yang dihasilkan tanpa pembuahan
dengan imago (ngengat) jantan. Imago betina yang tidak dibuahi akan tetap
menghasilkan telur, tetapi tidak dapat menetas karena tidak mempunyai embrio.

26
Larva. Larva keluar dari telur dengan cara memecahkan cangkang telurnya,
kemudian larva/ulat akan memakan cangkangnya. Cangkang yang dimakan tersebut
merupakan sumber nutrisi pertama yang diperoleh larva. Larva dapat memakan
cangkangnya sampai habis namun ada juga larva yang tidak memakan cangkangnya
sampai habis. Situmorang (wawancara langsung), menyebutkan kebiasaan makan
cangkang telur ini akan memberikan ketahanan pada ulat-ulat tersebut. Saat istirahat
tubuh larva memendek sampai setengah panjang tubuh semula.

a. Larva Instar I
Larva yang baru keluar dari telurnya hingga mengalami pergantian kulit yang
pertama disebut larva instar I. Larva kecil ini berwarna kuning bersih dengan panjang
tubuh kurang lebih 3 mm, kepala hitam, tubuhnya diliputi seta pendek.

Gambar 9. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar I


Menjelang hari kelima atau keenam panjang larva bertambah mencapai 10
mm dengan warna kuning pucat. Ulat mulai memakan daun muda dari bagian bawah
secara bergerombol. Larva juga memenuhi kebutuhan airnya dari embun pagi dan
curahan hujan. Hal ini terlihat ketika mulut larva memasukkan air tersebut dengan
sesekali memutar kepalanya. Larva lebih aktif makan pada malam hingga pagi hari
sebelum matahari memancarkan panasnya. Larva yang masih sangat kecil ini sangat
rentan terhadap predator seperti semut, laba-laba, cicak dan sebagainya.
Larva yang sudah mulai tumbuh mencapai ukuran 10 mm larva kemudian
memendekkan tubuhnya sehingga warnanya menjadi lebih kuning kecoklatan kusam.

27
Keadaan ini menandakan bahwa larva instar I ini siap untuk berganti kulit menuju
instar II. Selama masa ini larva diam dan tidak makan, hanya sekali-sekali
menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah. Waktu yang diperlukan larva
C.trifenestrata untuk berkembang sampai instar II adalah 5-6 hari.

b. Larva Instar II
Larva mengalami molting pertama yang menjadi penanda masa instar II.
Panjang larva pada instar ini mencapai 12 mm pada awal instar II dan 17 mm pada
akhir instar II. Bagian kepala larva lebih terang, warna tubuh kuning tua, tubuh larva
mulai memiliki rambut-rambut yang mulai jelas berwarna putih kertas dan panjang,
dan tubuh terlihat lebih gemuk.
Larva instar II berlangsung 5-7 hari. Larva mulai banyak makan dan gerakan
larva lebih lincah. Di akhir instar II, larva memendekkan tubuhnya untuk berganti
kulit menuju instar berikutnya, dan seperti biasanya larva ini tidak makan dan tidak
bergerak.

Gambar 10. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar II

c. Larva Instar III


Larva instar III ditandai dengan perubahan pada warna dan ukuran larva. Kepala
mulai berwarna merah bata dan tubuh tampak bergaris hitam-merah-kuning dengan
diselimuti rambut-rambut panjang berwarna putih.

28
Gambar 11. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar III

Ukuran tubuhnya lebih panjang daripada instar II, yaitu berkisar 17-25 mm pada
akhir instar III. Instar III berlangsung 4-6 hari.

d. Larva Instar IV

Gambar 12. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar IV


Larva instar IV berlangsung setelah pergantian kulit yang ketiganya, tubuh
makin besar dan warnanya makin jelas. Panjang tubuh mencapai 60 mm pada akhir
instar IV. Larva bertubuh gemuk, warnanya mencolok, berselang-seling warna

29
merah-hitam-kuning, terlihat titik-titik pada segmen tubuhnya, kepala berwarna
merah bata.
Larva tidak hanya memakan daun muda tetapi juga daun tua dan hanya
menyisakan ibu tulang daunnya saja. Butiran kotoran larva ini berukuran sebesar
kepalanya. Larva memakan banyak daun dengan tujuan untuk menyiapkan energi
untuk menghadapi masa pupa yang cukup lama. Larva instar IV berlangsung selama
5-7 hari.

e. Larva Instar V
Panjang larva berkisar 60-75 mm. Seta atau rambut-rambut yang menutupi
tubuhnya juga bertambah panjang dan berwarna putih. Larva instar V sangat rakus,
daun yang dimakan tidak hanya daun yang tua namun daun yang sangat muda masih
dimakan. Peningkatan intensitas memakan daun disebabkan karena pada larva instar
terakhir ini merupakan persiapan untuk menghadapi fase pupa dimana fase tanpa
makan dengan aktivitas fisiologi yang besar, sehingga diperlukan makanan cadangan
yang cukup besar sebagai sumber energi.

Gambar 13. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata pada Stadium V


Larva mulai mencari daun dari ranting lain bahkan sampai pindah secara
bergerombol mencari pohon lain. Larva instar V berlangsung selama 4-9 hari. Akhir
dari instar V adalah berubahnya bentuk ulat menjadi pupa yang diawali dengan
pembentukan kokon.

30
Stadium Pra Pupa. Larva instar V diakhiri dengan memendeknya tubuh dan larva
mulai mengeluarkan cairan kuning emas yang mula-mula diletakkan di pangkal ibu
tulang daun untuk kemudian ditarik ke helaian daun. Tahapan selanjutnya dibuat
suatu anyaman benang-benang tipis yang berlapis-lapis dan setelah satu hari
terbentuklah suatu kokon berwarna kuning emas. Jalinan benang-benang untuk
pembenukan kokon terjadi mula-mula ke arah horizontal atau membentuk garis yang
panjang kemudian garis-garis yang pendek. Larva yang telah menyelesaikan
pembuatan kokonnya, ulat tidak bergerak selama beberapa hari, berkisar 3-5 hari.
Stadium ini disebut stadium pra pupa.

Stadium Pupa. Larva dalam kokon kemudian berganti kulit menjadi pupa. Proses
pengelupasan kulit ini diawali dari anterior yang robek dan larva menggerak-
gerakkan bagian tubuhnya untuk melepaskan kutikula lama. Hari berikutnya kulit
pupa sudah mengeras dan warnanya sudah kecoklatan. Pupa akan bergerak jika
disentuh. Semakin hari warna pupa menjadi lebih gelap serta garis-garis calon sayap,
calon antena, calon mata, calon anus sudah mulai kelihatan jelas, dan terdapat
bercak-bercak hitam.

Gambar 14. Stadium Pupa Ulat Sutera Emas C. trifenestrata


Stadia pupa dalam keadaan normal berlangsung antara 21-26 hari, tetapi
apabila keadaan tidak menguntungkan dapat sampai 2-3 bulan (Direktorat Bina
Perlindungan Tanamana, 1995). Kepompong berbentuk jala yang rapat berwarna

31
kuning emas. Selain menghasilkan sutera yang berkilau keemasan dan filamen yang
berpori, serat yang dihasilkan juga memberikan efek halus jika tersentuh kulit.
Filamen tunggal berwarna kuning pada kokon ditutupi materi yang tidak berwarna.
Materi tersebut adalah protein serisin. Pigmen kuning yang berada dalam protein
fibroin merupakan bagian utama dalam filamen kokon (Kato et al., 2000)

Imago. Imago C. trifenestrata ini disebut ngengat. Ciri morfologi ngengat yaitu
seluruh tubuhnya diselimuti sisik-sisik halus berwarna coklat yang cukup tebal.
Ngengat berwarna coklat muda agak kemerahan dengan garis melintang secara
horizontal di tengah sayap. Sayap depan terdapat tiga spot transparan (fenestrate)
sehingga disebut trifenestrata. aktif malam hari dan tertarik pada cahaya lampu.
Imago jantan muncul dari pupa yang berukuran kecil sehingga imago jantan juga
mempunyai ukuran yang lebih kecil daripada imago betina serta berwarna lebih
muda dari imago betina. Ngengat memilki rentan sayap antara 61,684,2 mm.
Ngengat berumur sekitar 1-5 hari dan mulai bertelur pada hari kedua.

Gambar 15. Stadium Imago Ulat Sutera C. trifenstrata

Mobilitas ngengat rendah pada hari pertama kemunculannya. Hari kedua


ngengat jantan mulai aktif bergerak dan menemukan betina kemudian melakukan
kopulasi atau perkawinan. Betina dapat didatangi lebih dari satu jantan, namun yang
berhasil kopulasi hanya dari satu jantan saja. Ngengat betina yang tidak kawin juga

32
bertelur meskipun tidak menetas. Hal ini dinilai merugikan dalam sudut pandang
manajemen pembudidayaan. Banyak betina yang telurnya tidak dibuahi maka kokon
yang dihasilkan juga akan jauh lebih sedikit. Sehingga untuk mengatasi hal ini
diperlukan inovasi teknologi untuk membuat semacam bank sperma C. trifenestrata.
Sehingga tidak ada ngengat betina yang bertelur namun tidak menetas, karena
kosong tidak dibuahi.
Secara alami pada hari berikutnya setelah kopulasi betina akan bertelur dan
meletakkan telurnya pada pinggir daun pakan dengan rapih. Betina akan bertelur
selama kurang lebih dua hari dan setelah itu akan mati. Salah satu faktor yang
mempengaruhi siklus hidup ngengatnya adalah kelembaban dengan rata-rata 63%-
77% dan suhu udara.
Proses pengumpulan kokon dilakukan saat pupa telah berubah menjadi kupu-
kupu. Kokon yang telah kosong diambil dari pohon dengan menggunakan gunting
atau dengan langsung melepaskan kokon-kokon yang menempel pada daun dengan
tangan. Saat pemanenan kepompong petani seringkali melibatkan anggota
keluarganya. Kokon yang terkumpul kemudian dibersihkan dari sisa-sisa pupa
dengan cara menggunting satu sisi bagian kokon dan mengeluarkan sisa-sisa pupa.
Kokon yang terkumpul di setiap petani di kumpulkan ke pengelolah kebun untuk
ditimbang ulang lalu kemudian langsung disalurkan ke perusahaan pengolah sutera.
Selama proses pemanenan atau pengusahaan ulat, petani tidak begitu banyak
menghabiskan waktu. Petani hanya mengalokasikan tujuh jam dalam satu siklus
hidup ulat sutera C.trifenestrata.
Siklus hidup C.trifenestrata yang dicapai dalam waktu 61-125 hari
semestinya dapat menghasilakan empat kali panen kokon dalam satu tahun. Hal ini
dapat diwujudkan dengan aplikasi teknologi dalam system budidaya yang intensif,
misalnya dengan system koleksi telur. Kehadiran ulat secara alami saat peralihan
musim, setidaknya akan menghasilkan satu sampai dua kali panen kokon.

Output
Ulat sutera yang dibiarkan hidup liar menunjukkan produktivitasnya yang
sangat bergantung dengan alam. Satu tahun proses produksi dapat terjadi dua kali
panen, tetapi jika cuaca buruk kadang hanya satu kali panen. Rata-rata jumlah kokon

33
yang dihasilkan saat panen berkisar 2-10 ons, dengan rata-rata 5 ons kokon per
petani.
Hasil pengusahaan pembudidayaan ulat sutera ini berupa kokon yang telah
kosong, pupa dan kotoran ulat. Kokon yang kosong dibersihkan dan dijual ke
perusahaan yang telah bekerjasama dengan kelompok tani Catur Makaryo. Seringkali
terdapat permintaan terhadap pupa dari kokon ulat sutera emas, sehingga sebagian
petani juga menjual pupa yang ada di dalam kokon. Pupa ini biasanya dimanfaatkan
untuk bahan kosmetik. Baik kokon maupun pupa dijual ke perusahan yang sama,
yaitu perusahaan Yarsilk. Sedangkan kotoran ulat yang jumlahnya cukup banyak
dijadikan pupuk alami oleh petani. Belum pada taraf komersial petani tetap
mendapatkan keuntungan darinya. Kotoran ini biasanya dikumpulkan di pangkal
akar pohon, sehingga menjadi pupuk alami bagi pohon jambu mete. Harga kokon per
kilogramnya dihargai senilai Rp 180.000,00 per kg, sedangkan harga pupa per kg
dihargai Rp 50.000,00.

Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi dari usaha tani pemanfaatan kepompong sutera emas dihasilkan
dari beberapa perhitungan. Perhitungan tersebut meliputi : total biaya (biaya tetap +
biaya variable), pemasukan, keuntungan, R/C rasio, BEP dan payback periode.
Biaya Investasi
Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membangun usaha. Biaya
investasi dalam pemnfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata pada kenyataannya
merupakan alat-alat investasi yang sama yang digunakan petani pada budidaya
jambu mete. Peralatan produksi yang digunakan untuk pembudidayaan ulat sutera
C. trifenestrata sampai pengumpulan kokon merupakan peralatan yang telah dimiliki
dan digunakan petani untuk produksi jambu mete, sehingga dalam perhitungan
kedepan, alat-alat tersebut dihargai sesuai perbandingan Persentase pemakaiannya.

Tabel 7. Nilai Investasi dari Alat-alat yang Dipakai Petani


Beban Biaya
Alat
Rata-Rata per Petani (Rp) Kelompok Tani (Rp)
Keranjang 5.821 122.250
Timbangan 39.381 827.000
Gunting 6.036 126.750
Total 51.238 1.076.000

34
Total nilai investasi dari pemanfaatan pengumpulan kokon kelompok tani
senilai Rp 1.076.000,00. Jika dikonversi menjadi nilai investasi per orang petani,
maka nilai investasi menjadi Rp 51.238,00 per petani.

Biaya Operasional
Biaya operasional adalah biaya produksi yang harus dikeluarkan setiap satu
periode produksi. Biaya tersebut yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap.

Tabel 8. Biaya Penyusutan Untuk Pengumpulan Kokon Ulat Sutera


Alat-alat investasi
Nilai
Keranjang Timbangan Gunting
Harga Rata-Rata/Petani 11.893 39.381 15.000
Total harga barang investasi 261.643 827.000 315.000
Umur Penyusutan Per Alat 2 tahun 5 tahun 3 tahun
Biaya Penyusutan 130.821 165.400 105.000
Total Biaya penyusutan 42.000

Total biaya tetap yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo hanya
bersumber dari biaya penyusutan. Total biaya penyusutan tersebut senilai Rp
395.275,00. Sedangkan biaya tidak tetap yang harus disiapkan kelompok tani tiap
panennya senilai Rp 42.000,00 untuk pembelian karung.

Biaya Total atau Total Cost(TC)


Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan ulat
sutera dan pengumpulan kokon. Biaya total atau Total Cost ini merupakan total biaya
produksi yang dikeluarkan untuk biaya operasinoal.

Tabel 9. Total Cost yang Dikeluarkan Oleh Petani Pengumpul Kokon Per Tahun
Biaya Kelompok Tani Per Petani
Biaya Operasional
Biaya Tetap 395.275 18.823
Biaya Tidak Tetap 42.000 2.000
Total Biaya 437.275 20.823

35
Total Cost yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo untuk usaha
pemanfaatan kepompong sutera emas senilai Rp 437.275,00. Jika dihitung dalam
skala per petani, Total Cost nya menjadi Rp 20.823,00 per petani.

Penerimaan atau Total Revenue (TR)


Penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh dari hasil penjualan hasil
produksi. Penerimaan yang diperoleh oleh petani adalah dari hasil penjualan kokon
ulat sutera C. trifenestrata dan pupa-nya. Harga 1 kg kokon Rp 180.000,00 dan harga
1 kg pupa Rp 50.000,00. Dalam satu siklus petani-petani Catur Makaryo mampu
mengumpulkan kurang lebih 7 kg kokon dan 10 kg pupa, dimana satu siklus yang
dialami petani sama dengan satu tahun. Sehingga pendapatan kelompok tani menjadi
sebesar Rp 1.260.000,00 untuk penjualan kokon dan Rp 500.000,00 untuk penjualan
pupa. Total penerimaan dari kokon dan pupa sebesar Rp 1.760.000,00. Penerimaan
rata-rata petani dari penjualan kokon dan pupa kurang lebih senilai Rp 83.809,00 per
petani.

Keuntungan
Keuntungan merupakan selisih penerimaan dengan total biaya produksi.
Keuntungan = Penerimaan Total biaya produksi
Budidaya ulat sutera emas= Rp 1.760.000,00 Rp 437.275,00
= Rp 1.322.725,00
Keuntungan total kelompok tani Catur Makaryo untuk pemanfaatan sampah kokon
ulat sutera emas C. trifenestrata senilai Rp 1.322.725,00 dalam sekali panen. Jika
dikonversi per satuan petani, maka keuntungan yang didapat petani senilai
Rp 62.986,00 per petani.

R/C Ratio
Analisis R/C ratio merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat
pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam
kegiatan tersebut. Suatu usaha dinyatakan layak jika nilai R/C ratio lebih besar dari
satu (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan
lebih besar.
R/C Ratio budidaya ulat sutera emas C. trifenestrata

36
R/C ratio =

= Rp 1.760.000,00
Rp 437.275,00
= 4,025
Nilai R/C ratio budidaya emas ulat sutera C. trifenestrata 4,025. Artinya,
setiap penambahan biaya sebesar Rp 1,00 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp
4,00. Jika dikonversi per seorangan petani, R/C RatioBudidaya ulat sutera C.
trifenestrata per petani pun memiliki nilai yang sama, yaitu 4,025. Karena total
pendapatan per petani (Rp 83.809,00) dibagi total biaya produksi per petani (Rp
20.823,00) juga akan menghasilkan nilai 4,025.

Payback Periode (PP)


Analisis payback periode (PP) untuk mengetahui lama waktu yang diperlukan
untuk menutup biaya investasi yang ditanamkan atau berapa lama investasi yang
ditanamkan akan kembali. Dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:
Payback Periode = (Biaya (investasi) /keuntungan) x tahun
Budidaya ulat = (Rp 1.076.000,00/ Rp 1.322.725,00) x tahun
= 0,813 tahun
Pada budidaya ulat sutera emas biaya investasi dapat dikembalikan pada waktu
0,813 tahun. Atau 10 bulan.

Potensi Pengembangan Kokon Ulat Sutera C. trifenestrata


R/C ratio budidaya ulat sutera emas mencapai 4,025. Usaha ini layak
diusahakan karena R/C rationya lebih dari 1. Payback period budidaya ulat sutera
emas 0,813 artinya modal akan sangat cepat kembali, hanya dalam waktu 10 bulan.
Jika diakumulasikan pendapatan petani dalam satu tahun, pendapatan petani dari
mengumpulkan kokon memang tidak memiliki nilai yang besar. Tetapi potensinya
besar, dan dari sisi kelayakan juga sangat layak. Kondisi nilai ekonomi yang kecil
dikarenakan petani belum optimal dalam proses pembudidayaan ulat sutera ini.
Petani belum menerapkan teknologi dan ilmu budidaya itu sendiri. Pemanfaatan
kepompong ulat sutera yang hanya bergantung dengan kondisi alam membuat
kontinuitas pengadaan produk tidak menentu dan jumlah produksi yang jauh lebih

37
sedikit jika dibandingkan pengumpulan kepompong menggunakan teknologi
budidaya yang intensif.
Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa keberadaan kelompok tani yang
mengumpulkan kokon ulat sutera emas C. trifenestrata tidaklah merugikan bagi
budidaya utama petani yang memiliki komoditi jambu mete. Keberadaan ulat di
pohon jambu mete justru dapat menghasilkan buah yang lebih berkualitas. Petani
telah mendapat tambahan penghasilan hanya dengan memanfaatkan limbah kokon
ulat sutera emas yang hadir secara alami di kebun jambu mete.
Potensi dari pengembangan ulat sutera emas ini cukup menjanjikan, jika petani
mau menerapkan teknologi dan ilmu budidaya yang tepat untuk pembudidayaan ulat
sutera ini sehingga nilai dari produktivitas panen kepompong tentu akan menjadi
lebih besar. Petani juga dapat mengubah alur produksi. Pemanfaatan kepompong
emas menjadi barang jadi akan jauh meningkatkan pendapatan petani dibandingkan
petani menjual mentah kepompongnya.

Gambar 16. Bros Bunga dari Kepompong Ulat Sutera C.trifenestrata

Jika dalam satu kilogram kokon terdapat kurang lebih 7.000 lembar kokon.
Maka untuk menghasilkan barang jadi seperti bros bunga saja hanya membutuhkan
kurang lebih 20 lembar kokon. Sehingga satu kilogram kokon dapat menghasilkan
kurang lebih 350 bros bunga dari kokon ulat sutera emas. Harga satu buah bros
kepompong yang biasa di jual oleh perusahaan Yarsilk di Jogja senilai Rp 25.000,00
/pcs. Sehingga total nilai pemasukan dari 350 bros senilai Rp 8.750.000. Asumsi
sebanyak 5% mengalami kerusakan atau produk cacat, maka nilainya pun masih

38
cukup tinggi, Rp 8.312.500,00. Dibandingkan dengan nilai penjualan satu kilogram
kokon mentah senialai Rp 100.000,00 /kg maka pemanfaatan kokon menjadi barang
jadi atau setengah jadi menjadi sangat potensial bagi peta.
Belum lagi pengolahan kokon ke bentuk-bentuk lain yang memiliki nilai jual
yang lebih tinggi dibandingkan bros. Seperti, kalung, kotak esklusif, vas bunga, tas
pesta dan lain sebagainya. Banyak sekali aksesoris kreatif yang dapat dihasilkan dari
pengolahan kepompong ulat sutera emas C. trifenestrata ini.

Gambar 17. Kotak dan Kalung dari Kepompong Ulat Sutera Emas C. trifenestrata
Usaha pemanfaatan kokon menjadi barang jadi juga dapat membantu
membuka lapangan kerja baru bagi petani dan masyarakat sekitar. Hal ini tentu dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat setempat dan pada akhirnya
mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat setempat.

39
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Penelitian ini telah menunjukkan bahwa hama ulat sutera emas
(C. trifenestrata) ternyata memiliki nilai ekonomis yang potensial untuk
dikembangkan.
1. Input produksi pemanfaatan ulat ini hanya memanfaatkan alat-alat yang biasa
digunakan petani untuk memelihara kebun jambu mete. Alat-alat tersebut berupa
keranjang, gunting, dan timbangan.
2. Pola produksi dalam pemanfaatan kokon ulat sutera emas dimulai dari kehadiran
ulat secara alami di kebun jambu mete yang selanjutnya, setelah ulat memakan
habis daun jambu mete, ulat akan menjadi kokon dan dipanen.
3. Petani melakukan pemanenan secara mandiri. Keterlibatan anggota rumah
tangga petani, khususnya Isteri terjadi saat terdapat pesanan dari perusahaan
besar untuk membuat berbagai kerajinan dari kokon sutera emas.
4. Petani mendapatkan penerimaan sebesar Rp 1.760.000,00 untuk penjualan
kokon dan pupa per sekali panen. Keuntungan bersih kelompok tani Catur
Makaryo Rp 1.322.725,00. Jika dikonversi per satuan petani, maka keuntungan
yang didapat petani senilai Rp 62.986,00 per petani per panen (satu tahun
mengalami satu kali panen). Nilai R/C Ratio 4,025, dan nilai PP 0.813 tahun,
yang artinya pengusahaan pengumpulan kokon ini layak untuk dikembangkan
menjadi usaha pembudidayaan yang ekonomis

Saran
Potensi kokon sutera emas khas Indonesia, C. trifenestrata akan semakin
optimal seiring dengan perkembangan industri kokon sutera emas di sektor hilir.
Industri pengolahan kokon menjadi bahan jadi seperti aksen hiasan lampu, vas
bunga, buku dan juga berbagai aksesoris perhiasan wanita perlu ditumbuhkan.
Permintaan yang besar di sektor hilir akan mendorong sektor hulu untuk memenuhi
permintaan pasar, sehingga budidaya ulat sutera emas C. trifenestrata semakin
terdorong untuk berkembang. Oleh karena itu kebutuhan penelitian untuk budidaya
C. trifenestrata perlu dikembangkan.

40
Petani jambu mete, di berbagai daerah lain di Indonesia juga perlu
mengetahui potensi ulat sutera emas C. trifenestrata yang sering mereka anggap
sebagai hama. Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik dengan pemerintah
daerah untuk melakukan sosialisasi pada petani, sehingga kekayaan alam Indonesia
dapat tereksplorasi dan terjaga kelestariannya.

41
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas semua nikmat yang
telah diberikan hingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga dan para
sahabatnya. Penulis ingin memberikan penghargaan tertinggi dalam bentuk ucapan
terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada ibunda Yulidesni dan ayahanda
(alm) R. Kusnaedi, serta adinda Crafty Rini Putri dan Rahmat Khoirul atas ketulusan
cinta dan dukungan yang tak pernah surut. Ucapan terimakasih ditujukan pula
kepada bapak Ir. Dwi Joko S. MS, sebagai pembimbing utama dan ibu Ir. Hotnida C.
H. Siregar, M.Si sebagai pembimbing anggota atas bimbingan yang telah diberikan
selama penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
ibu Yuni Cahya Endrawati, S.Pt M.Si., dan ibu Ir. Anita S. Tjakaradidjaja, M. rur.
Sc. sebagai penguji sidang atas saran yang membangun.
Kepada dosen-dosen yang telah memberi banyak bimbingan selama di
Fakultas Peternakan, ibu Ir. Lucia Cyrilla E.N.S.D, M.Si, bapak Ir. Zulfikar Moesa,
M.S., ibu Ir. Rini H. Mulyono, M.Si atas semua nasehat yang telah diberikan, bapak
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc atas segala kemudahan yang diberikan, serta
bapak Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Si untuk kepercayaan dan inspirasinya. Ucapan
terimakasih tak terhingga, penulis sampaikan kepada kelompok tani Catur Makaryo,
Imogiri, Yogyakarta atas bantuan selama penelitian berlangsung. Kepada teman-
teman IPTP 43, BKIM IPB, FIM, KSE, Bisma, WBT, TBnC dan tim Pameran
Pimnas (Desty, Nisa, Cipi, Irma, Ochi, Syafa, Kak Cahyo, Aria, Ondo, Kak Danang,
Adnan, dan Gabuto) untuk energi positif-nya yang begitu besar. Kepada Tim Hebat;
Hida, Dewi, Fadhil, Nana, Rina, Najwa, Isnie, Zikra, Cicin, Siska, Neneng, Hapshoh,
Pera, Herly, Iil, Upik, Fasih, Tyas, Ita, Arini, Nurizka, Ami, Fely, Risa, Ela, Lela,
Tri, Ade, Lia, Iyas, Lintang, dan terspesial Nindira Aryudhani atas kekuatan
pemikiran dan perasaan yang satu, suport dan inspirasi yang luar biasa. Kepada
gurunda pak Jamil Azzaini, ustadz Fatih Karim dan ustadz Felix Siauw atas ilmu,
suport, pembelajaran, energi positif dan kesabaran dalam membentuk mental yang
semoga dengan doa-doa penulis bisa menjadi bentuk ucapan terimakasih. Kepada
sahabat baik, Windi Al-Zahra dan Palestina Santana serta kepada semua pihak yang

42
terlibat dalam kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.

43
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, F. & MZ. Alam. 1992. Parasitoids associated with different stage of Cricula
trifenestrata Helfer (Lepidoptera: Saturniidae). (Abstract) Annals of
Bangladesh Agriculture p. 69.
Akai, H. 2000. A successful example of wild silk development from Cricula
trifenestrata in Indonesia. Int. J. Wild Silkmoth & Silk 5: 91-97.
Akai. 1997. Recent aspects of wild silkmoth and silk research. Seminar 16 April
1997. Wild Silk Conference, Yogyakarta.
Ali M.I. & M. A. Karim. 1991. Note on the biology, behavior, and biocontrol agents
of mango defoliator Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) in
Bangladesh. (Abstract), Bangladesh J. of Entomology: 83.
Anonim. 2010. Definisi manajeman produksi. http://images.lissoi.multiply.
multiplycontent.com/attachment/0/R8Y5PgoKCCEAAA1dgRs1/Manajemen
%20Produksi.com?nmid=76098910. [6 Juni 2010].

BMKG. 2010. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1996.


Perkembangan persuteraan alam di Indonesia. Seminar Nasional Persuteraan
Alam, 30 Juli 1996, Bandung
Departemen Pertanian Ungaran. 1986. Budidaya Jambu Mete. Departemen
Pertanian, BIP Ungaran.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2003. Statistika Perkebunan Indonesia. Jambu Mete


(Cashew Nut) Tahun 2001-2003.
Fadly. 2011. http://punyafadly.blogspot.com/2011/03/sistem-produksi.html [diakses
tanggal 27 Agustus 2012]
Food and Agriculture Organization, 2004. Cashewnut market. dalam
http://www.uga.edu/fruit/cashew.htm
Guang, W. W. 1988. The silkworm and the environtment, Food And Agriculture
Organization UNDP, Agricultural Services Bulletin (2)
Herausgeber. 1996. Checklist of saturniidae of Sumatera. In heterocera Sumatrana
Volume 10 (8th volume of the Green Book Series). Heterocera Sumatera
Society, Gottingen (http://www.saturnia.de/Research?HSS.SatSum.Html).
Hug, SB; Hossain M; Khan AB. 1991. Biology of Cricula trifenestrata helf
(Lepidoptera: saturniidae), a leaf eating caterpillar of mango. (Abstract).
Bangladesh J. of Entomology.
Badan pusat Statistika. 2000. Imogiri Dalam Angka. Kordinator Statistik Kecamatan
Imogiri. Yogyakarta.

44
Jolly, 1974. Indian Insect Life. Agricultural Res. Inst.Pusa, Calcuta.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pets od Corp in Indonesia. Diterjemahkan dan direvisi oleh
P.A. Van der Laan. P.T. Ichtiar Baru-van Hoove, Jakarta.
Kato, Y. Hiromi, Y. & Kozo, T. 2000. Why are Cocoons of Cricula trifenestrata
Golden?. Ibid, 5: 1-4.
Katsumata, F. 1964. Petunjuk Sederhana Bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Tokyo.

Lubis, R. E. 1999. Pemeliharaan Cricula trifenestrata Helf. pada tanamanan alpukat


di lapangan. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Paukstadt, U. & LH. Paukstadt. 1999. A cheeklist us saturniidae species of the


eastern smaller Sunda islands (Sumba, Flores and Timor-Indonesia).
Galethea. Berichte des Kreises Numberger Entomologen, Numberg
(http://www.saturnia.de/Research /HSS.SatSum.Html).
Paukstadt, U. & LH. Paukstadt. 1998. Cricula trifenestrata n. Subp., eine neue
Unterart der Gattung Cricula Walker 1855 aus West Malaysia (Lepidoptera:
Saturniidae). Entomol. Z. 108 (4); 120-141 (http://google.com/bin/Query?p
=Cricula+ trifenestrata).
San-Ming, W. 1989. Silk Egg Production. Food And Agriculture Organization-
Un.Agriculture Service Bulletin 73/3.
Situmorang, J. 1996. An attempt to produce Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae)
Using Baringtonia Laeves as Plant Fodder. Int. J. Wild Silkmoth and Silk
2:55-57.
Soeharjo & Patong. 1973. Sendi-sendi Pokok Usahatani. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia press, Jakarta.
Stehr. 1987. Immature Insect. Dubuqu, Iowa: Kendall Hunt Publisher Co.
Triplehorn, CA. & NF. Johnson. 2005. Borror and Delongs Introduction to the study
of Insects. Ed ke-7. Australia. Tomson.

45
LAMPIRAN

46
Lampiran 1. Wawancara dengan Penanggungjawab Kebun Kelompok Tani Catur
Makaryo

Penulis : Kenapa bentuk dan warna telurnya ada yang berbeda?


Penanggungjawab kebun : Karena ada telur yang jadi (berisi embrio) ada telur
palsu (yang kosong)
Penulis : Kenapa bisa kosong pak?
Penanggungjawab kebun : Telur-telur kosong yang tidak pernah menetas ini
merupakan telur-telur yang dihasilkan tanpa
pembuahan dengan imago (ngengat) jantan.
Penulis : Berarti apa ngengat betina yang tetap bisa bertelur
tanpa ada ngengat jantan?
Penanggungjawab kebun : Iya, imago betina yang tidak dibuahi akan tetap
menghasilkan telur, tetapi tidak dapat menetas karena
tidak mempunyai embrio.

47
Lampiran 2. Kuisioner Penelitian
KUISIONER PENELITIAN

Dalam rangka penelitian untuk penyusunan skripsi dengan judul


SISTEM PRODUKSI DAN NILAI EKONOMIS PENGUSAHAAN ULAT
SUTERA EMAS DI PERKEBUNAN JAMBU METE DESA KARANG
TENGAH, KECAMATAN IMOGIRI, YOGYAKARTA

IDENTITAS RESPONDEN

Nama :
Pekerjaan/Jabatan :
Alamat :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan : a). SD c). SMA e). Lainnya: ...................
b). SMP d). Perguruan Tinggi
Tanggungan Keluarga :
Status usaha budidaya ulat sutera emas*): 1.Pekerjaan utama 2.Pekerjaan Sampingan
Jika sebagai usaha sampingan, sebutkan pekerjaan utamanya:
1). Usaha Pertanian Hortikultura; 2). Usaha Peternakan; 3). Usaha Perikanan;
4). Usaha Perkebunan; 5). Buruh Pertanian; 6). Perdagangan;
7). Usaha Angkutan; 8). Ibu Rumah Tangga; 9). Usaha Industri; 10). Jasa;
11). Buruh/Karyawan Non Pertanian;12). PNS/TNI/POLRI; 14). Pensiunan

Kami mohon Bapak/Ibu dapat mengisi kuisioner ini secara obyektif dan benar,
karena kuisioner ini adalah penelitian skripsi dengan tujuan ilmiah sehingga
diperlukan data yang valid dan akurat. Sebelumnya kami ucapkan banyak
terimakasih.

Peneliti:
CITRA AYU FURRY
D14062868

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

48
Proses Budidaya Ulat Sutera Emas
A. Proses Penanaman
Jumlah pohon jambu mete yang diusahakan untuk sutera: ..................... pohon
Luas lahan untuk pengusahaan sutera: ..................... m2
Jarak Lubang tanam: a). 2m x 2m b). 3m x 3m c). 4m x 4m
Perawatan: a). Dipupuk b). Disemprot daun
c). Disemprot hama e). ..........................

B. Proses Pemanenan Kepompong Sutera Emas


Panen dalam 1 tahun: a). 1 kali b). 2 kali c). 3 kali d). Belum pernah
Pernah panen di bulan: a). Januari b). Februari c). Maret d). April
e). Mei f). Juni g). Juli h). Agustus
i). September j). Oktober k). November l). Desember
Jumlah kepompong sekali panen:
Panen pertama: a). 2 ons b). 3 ons c). 4 ons d). 5 ons e). 6 ons
f). 7 ons g). 8 ons h). 9 ons i). 10 ons j). .... ons
Panen kedua: a). 2 ons b). 3 ons c). 4 ons d). 5 ons e). 6 ons
f). 7 ons g). 8 ons h). 9 ons i). 10 ons j). .... ons

Tabel 1. Biaya Alat dan Bahan Produksi Budidaya Ulat Sutera Emas
No Biaya Satuan Jumlah Harga/satuan Umur Pemakaian
1. Keranjang buah
2. Karung
3. Cangkul
4. Linggis
5. Timbangan
6. Gunting
7. Pupuk
8. Obat daun
9. Bibit pohon
10.
11.
12.
13.

Penjualan Hasil Panen


Dijual ke Perusahaan: ..........................
Koperasi : ...........................
Harga kokon per kilo: a). Rp.50.000 b). Rp.60.000 c). Rp.70.000
d). Rp.80.000 e). Rp.90.000 d). Rp.100.000
Harga kokon yang masih ada pupanya:
a). Rp.50.000 b). Rp.60.000 c). Rp.70.000
d). Rp.80.000 e). Rp.90.000 d). Rp.100.000
Harga pupa/entung per kilo:
a). Rp.50.000 b). Rp.60.000 c). Rp.70.000
d). Rp.80.000 e). Rp.90.000 d). Rp.100.000

49
Tabel 2. Curahan Jam Kerja Petani
Frekuensi Lama Pelaksanaan
No Kegiatan
Harian Mingguan Bulanan (jam)
1 Pembibitan
2 Membuat lubang tanam
3 Penanaman
4 Pemupukan
5 Penyemprotan daun
6 Pemanenan kokon
7 Pembersihan kokon
8 Penimbangan kokon
9 Pengumpulan kokon

50
Lampiran 2. Nilai Investasi Dari Alat-Alat Yang Dipakai Petani Pengumpul
Jumlah Alat Harga Alat Beban Biaya Total
No Nama Keranjang Timbangan Gunting Keranjang Timbangan Gunting Keranjang Timbangan Gunting Harga
1 Ahmadi 1 1 2 25000 275000 40000 3750 55000 6000 64750
2 Romlan 1 1 2 20000 250000 40000 3000 50000 6000 59000
3 Tugiman 2 2 40000 30000 6000 0 4500 10500
4 Mujari 2 1 2 40000 270000 50000 6000 54000 7500 67500
5 Wiknyo 2 1 40000 25000 6000 0 3750 9750
6 Sisar 3 1 3 60000 275000 45000 9000 55000 6750 70750
7 Jumadi S. 2 1 2 40000 160000 30000 6000 32000 4500 42500
8 Surawi 1 25000 3750 0 0 3750
9 Jazimah 1 15000 2250 0 0 2250
10 Sogiyanto 3 1 2 60000 750000 30000 9000 150000 4500 163500
11 Yatno 2 1 3 40000 275000 75000 6000 55000 11250 72250
12 Pargiyanto 2 1 3 50000 270000 75000 7500 54000 11250 72750
13 Pardi 1 1 2 25000 260000 50000 3750 52000 7500 63250
14 Sugiyo 3 1 4 75000 275000 100000 11250 55000 15000 81250
15 Bahroni 1 1 2 25000 275000 50000 3750 55000 7500 66250
16 Ponijo 1 2 25000 40000 3750 0 6000 9750
17 Wiyono 2 1 2 40000 400000 15000 6000 80000 2250 88250
18 Hartowiyadi 2 1 4 40000 150000 20000 6000 30000 3000 39000
19 Wajiman 2 2 40000 40000 6000 0 6000 12000
20 Sarjono 2 2 40000 40000 6000 0 6000 12000
21 Muh Soleh 2 1 2 50000 250000 50000 7500 50000 7500 65000
Total Biaya Investasi Alat 1076000

Keterangan: Beban Biaya Keranjang = 15% dari harga alat


Beban Biaya Timbangan = 20% dari harga alat
Beban Biaya Gunting = 15% dari harga alat

32
Lampiran 3. Biaya tetap untuk pengumpulan kokon ulat sutera

Jumlah Alat Harga Penggunaan Total Harga penggunaan


No Keranjang Timbangan Gunting 15% 20% 15% Keranjang Timbangan Gunting
1 1 1 2 3750 55000 6000 3750 55000 12000
2 1 1 2 3000 50000 6000 3000 50000 12000
3 2 2 6000 0 4500 12000 0 9000
4 2 1 2 6000 54000 7500 12000 54000 15000
5 2 1 6000 0 3750 12000 0 3750
6 3 1 3 9000 55000 6750 27000 55000 20250
7 2 1 2 6000 32000 4500 12000 32000 9000
8 1 3750 0 0 3750 0 0
9 1 2250 0 0 2250 0 0
10 3 1 2 9000 150000 4500 27000 150000 9000
11 2 1 3 6000 55000 11250 12000 55000 33750
12 2 1 3 7500 54000 11250 15000 54000 33750
13 1 1 2 3750 52000 7500 3750 52000 15000
14 3 1 4 11250 55000 15000 33750 55000 60000
15 1 1 2 3750 55000 7500 3750 55000 15000
16 1 2 3750 0 6000 3750 0 12000
17 2 1 2 6000 80000 2250 12000 80000 4500
18 2 1 4 6000 30000 3000 12000 30000 12000
19 2 2 6000 0 6000 12000 0 12000
20 2 2 6000 0 6000 12000 0 12000
21 2 1 2 7500 50000 7500 15000 50000 15000
Rata-Rata 11893 39381 15000
Total harga barang investasi 261643 827000 315000
Umur Penyusutan Per Alat 2 tahun 5 tahun 3 tahun
Biaya Penyusutan 130821 165400 105000
Total Biaya penyusutan 401221

33

Anda mungkin juga menyukai