Anda di halaman 1dari 73

PERLAKUAN HERBISIDA PADA SISTEM TANPA OLAH TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN, HASIL DAN KUALITAS HASIL TANAMAN JAGUNG

MANIS (Zea mays saccharata Sturt.)

SKRIPSI

oleh: VILA RATNASARI LISTYOBUDI 132040012

JURUSAN AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

PERLAKUAN HERBISIDA PADA SISTEM TANPA OLAH TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN, HASIL DAN KUALITAS HASIL TANAMAN JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata Sturt.)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta untuk memenuhi sebagai persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Disusun oleh :

VILA RATNASARI LISTYOBUDI 132.040.012

JURUSAN AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Perlakuan Herbisida Pada Sistem Tanpa Olah Tanah Terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kualitas Hasil Jagung Manis ( Zea mays saccharata Sturt. ) : Vila Ratnasari Listyobudi : 132040012 : Agronomi Menyetujui : Pembimbing dan Penguji

Nama Mahasiswa Nomor Mahasiswa Program Studi

Dr. Ir. Sri Wuryani, M.Agr Pembimbing I

Dr. Ir. Abdul Rizal AZ, MP Penelaah I

Ir. Siwi Hardiastuti EK, SH., MP Pembimbing II

Dr. Ir. RR.Rukmowati B, M.Agr Penelaah II

Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta Dekan

Dr. Ir. Abdul Rizal AZ, MP.

ABSTRAK PERLAKUAN HERBISIDA PADA SISTEM TANPA OLAH TANAH TERHADAP PERTUMBUHAN, HASIL DAN KUALITAS HASIL JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata Sturt.) Penelitian ini bertujuan untuk menentukan macam herbisida yang paling baik digunakan terhadap penekanan gulma, hasil dan kualitas hasil tanaman jagung manis pada lahan tanpa olah tanah dan menentukan dosis herbisida yang paling baik terhadap penekanan gulma, hasil dan kualitas hasil tanaman jagung manis. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta, Desa Wedomartani, Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY pada bulan Februari sampai April 2011. Penelitian menggunakan percobaan lapangan dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan satu faktor. Faktor dalam penelitian ini adalah perlakuan herbisida oxyfluorfen dosis 1-3 L/ha, perlakuan herbisida paraquat dosis 1-2 L/ha, perlakuan herbisida glifosat dosis 1-3 L/ha, ditambah satu perlakuan kontrol (tanpa herbisida). Parameter pengamatan meliputi analisis vegetasi, bobot kering gulma total (g), tinggi tanaman (cm), diameter batang (cm), bobot berangkasan (kg), panjang tongkol dengan kelobot per tanaman (cm), diameter tongkol dengan kelobot per tanaman (cm), bobot tongkol dengan kelobot per tanaman (g), bobot ekonomis tongkol dengan kelobot (kg), dan kadar gula total jagung manis (%). Hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam pada jenjang nyata 5% menggunakan uji Student Newman Keuls (SNK). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan herbisida pada sistem tanpa olah tanah memberikan pengaruh nyata antar perlakuan pada parameter tinggi tanaman 6 mst dan persentase gula total. Herbisida paraquat dosis 2 L/ha menunjukkan perlakuan paling baik pada parameter persentase gula total. Kata kunci : Herbisida, Jagung Manis, Tanpa Olah Tanah (TOT)

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dili Timor-Timur pada tanggal 23 Februari 1987. Penulis merupakan putri pertama dari ayah T. Giri Sulistyo dan ibu Florentina Budiyarti. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA STELLA DUCE 2 Yogyakarta dan pada tahun yang sama diterima di UPN Veteran Yogyakarta. Penulis memilih Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan di kampus. Pada tahun 2005 penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Agronomi periode 2005/2006 sebagai anggota divisi minat dan bakat. Pada tahun 2006 menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Agronomi periode 2006/2007 sebagai anggota divisi minat bakat. Pada tahun 2007 menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Agronomi periode 2007/2008 sebagai Koordinator divisi Advokasi & Humas serta menjadi Koordinator divisi Advokasi & Humas di Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2008/2009.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan skripsi yang berjudul Perlakuan Herbisida pada Sistem Olah Tanah Terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kualitas Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt). Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bimbingan, saran dan dorongan dalam menghadapi keterbatasan, kesulitan yang penulis alami selama menyelesaikan laporan penelitian ini, kepada: 1. Dr. Ir. Sri Wuryani, M. Agr selaku pembimbing I 2. Ir. Siwi Hardiastuti EK, SH., MP. selaku pembimbing II 3. Dr. Ir. Abdul Rizal AZ, MP. selaku penelaah I 4. Dr. Ir. RR. Rukmowati B., M. Agr selaku penelaah II 5. Kedua Orang tua dan adik tercinta 6. Sahabat- sahabat seperjuangan Penulis telah berusaha melengkapi usulan skripsi ini dengan sebaik mungkin, untuk itu segala saran dan kritk yang bersifat membangun sangat diharapkan bagi penulis, agar nantinya dapat berguna untuk penyusunan laporan resmi penelitian selanjutnya. Yogyakarta, Oktober 2011 Penulis

DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK .................................................................... i ........ ii

iii iv

RIWAYAT HIDUP ................................................................................. KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

.... v

.... vi ................................................................................ viii ix

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... BAB I. PENDAHULUAN a. Latar belakang

.... 1 ........ 1 .... 5

b. Identifikasi Masalah

c. Tujuan Penelitian ........ 5 d. Manfaat Penelitian ................ 6

e. Kerangka Pemikiran .................................................................. 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA a. Tanaman Jagung .... 6

............ 10

b. Gulma pada Pertanaman Jagung................................................ 15 c. Pengendalian Gulma dengan Herbisida........... 16 d. Tanpa Olah Tanah (TOT) .... 20 e. Hipotesis .................... 21

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN a. Tempat dan Waktu Penelitian

........ 22

........ 22

b. Bahan dan Alat Penelitian .................... 22 c. Metode Penelitian ........ 22 d. Pelaksanaan Penelitian e. Parameter Pengamatan f. Analisis Hasil .... 23 .... 26

.... 29

BAB IV. HASIL DAN ANALISIS 30 a. Komponen Gulma 30 30 32

1. Analisis vegetasi .. 2. Bobot kering gulma total . b. Komponen pertumbuhan

34 34 35 36

1. Tinggi tanaman pada 4, 5, 6 mst .. 2. Diameter batang pada 4, 5, 6 mst 3. Bobot Berangkasan .. c. Komponen Hasil

37 37 37 38

1. Panjang tongkol dengan kelobot per tanaman.. 2. Diameter tongkol dengan kelobot per tanaman 3. Bobot tongkol dengan kelobot per tanaman.

4. Bobot ekonomis tongkol dengan kelobot per tanaman.. 39 d. Komponen Kualitas Hasil 40

1. Presentase Gula Total 40 BAB V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN 41 a. Pembahasan b. Kesimpulan 41 47

DAFTAR PUSTAKA

.................................................................... 48

LAMPIRAN ............................................................................................ 52

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Analisis vegetasi sebelum tanam ........................................ Halaman 30 31 32 33 34 34 35 36 37 37 38 39 39

2. Analisis vegetasi pada 3 minggu setelah perlakuan herbisida 3. Analisis vegetasi pada 6 minggu setelah perlakuan herbisida 4. Bobot kering gulma total 1 minggu sebelum tanam 5. Bobot kering gulma total pada 3 dan 6 mst .. 6. Tinggi tanaman pada 4, 5, 6 mst 7. Diameter batang pada 4, 5, 6 mst 8. Bobot berangkasan tanaman

9. Panjang tongkol dengan kelobot per tanaman

10. Diameter tongkol dengan kelobot per tanaman . 11. Bobot tongkol dengan kelobot per tanaman .. 12. Bobot ekonomis tongkol dengan kelobot per tanaman .. 13. Presentase gula total ...

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I. II. III. IV. V. VI. VII. Denah percobaan Tata letak tanaman Halaman 52 .. 55 56 57 59 60 53

Deskripsi Jagung Manis .. Cara kerja Analisis Gula Total Dosis herbisida dan pupuk Langkah langkah kalibrasi

.. .. ..

Sidik Ragam parameter pengamatan ......

I.PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Sweet corn (Zea mays saccharata Sturt.) dikenal dengan nama jagung manis

dan banyak dikonsumsi karena memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan dengan jagung biasa. Jagung manis mempunyai beberapa kelebihan antara lain rasanya manis dan umur produksinya lebih singkat karena dapat dipanen pada umur 60-70 hari setelah tanam, tergantung varietasnya. Jagung juga termasuk tanaman yang toleran terhadap lingkungan (www.mitra.net.id, 2010) Produktivitas jagung manis di Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara lainnya terutama Amerika Serikat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiastuti et al., (2001) menunjukkan hasil jagung manis hanya mencapai 4-5 ton/ha, sedangkan penelitian Suroto dan Haryanti (2001) juga menunjukkan hasil jagung manis hanya mencapai 4,9 ton/ha sedangkan lahan pertanaman jagung manis di Indonesia sebagian besar berupa lahan kering, masalah utama penanaman di lahan kering adalah pemenuhan kebutuhan air sepenuhnya tergantung pada curah hujan, kesuburan lahan bervariasi dan adanya erosi yang mengakibatkan penurunan kesuburan lahan (Sarwanto dan Widiyastuti, 2000). Selain itu gulma tumbuh lebih banyak dan populasinya padat (Sastroutomo, 1990).

Gulma berpengaruh buruk terhadap tanaman karena dapat mengurangi hasil dan kualitas tanaman, disebabkan persaingan kebutuhan hidup seperti unsur hara, air, cahaya, dan ruang tempat tumbuh. Keberadaan gulma di sekitar tanaman budidaya tidak dapat dielakkan terutama apabila pertanaman tersebut tidak dipelihara dengan baik (Sastroutomo, 1990). Hadirnya gulma pada periode permulaan siklus hidup tanaman dan pada periode menjelang pembuahan akan berpengaruh terhadap hasil tanaman. Pada periode tersebut tanaman sangat peka terhadap keberadaan gulma karena terjadi persaingan yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman sehingga perlu dilakukan pengendalian untuk mencegah menurunnya hasil panen. Periode ini menggambarkan interval waktu untuk dua kompetisi terpisah, yaitu lamanya waktu suatu tanaman harus bebas gulma sehingga gulma yang tumbuh kembali tidak menurunkan hasil panen, dan lamanya waktu gulma tinggal bersama-sama dengan tanaman, sebelum gulma mulai mengganggu pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk dilakukan pengendalian gulma pada periode yang tepat (Zimdahl, 1980) Pengendalian gulma di Indonesia umumnya dilakukan secara manual, namun hal tersebut tidak didukung oleh tenaga kerja yang siap pada saat pengendalian gulma harus dilakukan sehingga membuat pengendalian gulma terlambat. Selain itu, permasalahan gulma menjadi semakin besar karena umumnya petani mempersiapkan lahan dengan cara mengolah tanah secara intensif. Pengendalian secara manual

tersebut akan menjadi tidak efisien bila lahan pertanaman cukup luas, maka penggunaan herbisida diharapkan dapat mengurangi tenaga manusia, tepat waktu dan relatif singkat. Dalam penerapan teknologi budidaya secara konvensional pada tanaman jagung umumnya petani melakukan pengolahan tanah secara sempurna, pengolahan tanah secara terus-menerus mengakibatkan adanya degradasi tanah sehingga kesuburan tanah menurun. Olah Tanah Sempurna (OTS) dapat memberikan peluang bagi biji gulma yang dorman untuk berkecambah akibat pembalikan tanah kemudian tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan tanaman sehingga dapat mempengaruhi produktivitas tanaman (Saragih dkk., 2000). Untuk mengatasi dampak negatif

tersebut maka diperlukan cara persiapan lahan siap tanam lainnya seperti Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) yang merupakan salah satu alternatif dalam penyiapan lahan untuk tanaman jagung. Dengan penerapan budidaya TOT, maka sisa tanaman dan gulma yang ada dikendalikan dengan menyemprotkan herbisida. Pada sistem produksi pertanian modern, penggunaan herbisida merupakan salah satu faktor penyumbang dalam meningkatkan hasil pertanian. Meskipun demikian, penggunaan herbisida sejenis secara terus-menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan resistensi gulma, kerusakan struktur tanah, pencemaran lingkungan hidup dan menimbulkan keracunan pada tanaman pokok. Permasalahan ini muncul ketika peningkatan kualitas hasil pertanian menjadi sorotan utama bagi masyarakat (Metusala, 2006).

Kualitas yang diharapkan tidak hanya pada penampilan fisik produk, namun yang lebih utama adalah keamanan pangan dan kandungan gizinya. Salah satu unsur keamanan pangan adalah bebas dari cemaran senyawa kimia sintetik maupun organik yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Cemaran kimia berbahaya ini umumnya bersumber dari aplikasi pestisida (insektisida, herbisida, fungisida, dll) yang melebihi dari dosis optimum serta cara aplikasi yang tidak tepat (Metusala, 2006). Oleh karena itu, perlu adanya aplikasi yang tepat dalam penggunaannya khususnya herbisida. Saat ini penggunaan herbisida di dunia semakin meningkat, mencapai 49.6% dari volume total pestisida (Merrington et al., 2002). Penggunaan herbisida paraquat di Bengkulu khususnya gramoxone juga meningkat, mencapai 100 ton lebih per tahun. Hal ini karena kandungan racun dan bahan kimia yang dimiliki herbisida paraquat mampu mengendalikan gulma lebih cepat, lebih ampuh dan harganya lebih terjangkau serta lebih menghemat tenaga dibandingkan pengendalian secara mekanik (Djafaruddin, 1995). Herbisida yang banyak digunakan saat ini sekitar 70% adalah herbisida berbahan aktif glifosat. Herbisida ini merupakan herbisida pasca tumbuh, sistemik, non selektif yang diaplikasikan melalui daun, mempunyai spektrum luas, bersifat translokatif kuat, tidak aktif dalam tanah, cepat terdegradasi dan mempunyai kemampuan mengendalikan gulma tahunan. Gejala kematian gulma terlihat pada 2 4 minggu setelah aplikasi (Lamid et al., 1998). Herbisida pada pertanaman jagung banyak digunakan untuk persiapan lahan dengan sistem tanpa olah tanah, sehingga

diperoleh keuntungan ganda yaitu hemat waktu dan tenaga terutama sebagai pengganti pengendalian gulma secara manual ( Mawardi, 2005). Oksifluorfen merupakan herbisida yang bersifat selektif yang merupakan herbisida pra tumbuh yang diaplikasikan sebelum tanaman tumbuh maupun gulmanya tumbuh. Herbisida oksifluorfen ini dapat membunuh biji-biji gulma yang akan berkecambah, sehingga biji-biji gulma tersebut tidak bisa tumbuh dan berkembang (Hasanudin et al., 2001). Penggunaan macam dan dosis herbisida yang tepat pada lahan TOT dapat memberikan manfaat bagi petani, salah satunya dapat mengendalikan gulma yang tumbuh seawal mungkin. Maka perlu adanya penelitian untuk mengetahui macam dan dosis herbisida yang tepat untuk mengurangi pengaruh buruk pada tanaman jagung manis. Sehingga dapat menekan laju pertumbuhan gulma dan memberi pengaruh terbaik terhadap hasil dan kualitas hasil jagung manis pada lahan TOT. B. Identifikasi Masalah 1. Manakah macam herbisida yang paling baik digunakan terhadap penekanan gulma, hasil dan kualitas hasil tanaman jagung manis pada lahan tanpa olah tanah? 2. Berapakah dosis herbisida yang paling baik terhadap penekanan gulma, hasil dan kualitas hasil tanaman jagung manis pada lahan tanpa olah tanah?

C. Tujuan Penelitian 1. Menentukan macam herbisida yang paling baik digunakan terhadap penekanan gulma, hasil dan kualitas hasil tanaman jagung manis pada lahan tanpa olah tanah. 2. Menentukan dosis herbisida yang paling baik terhadap penekanan gulma, hasil dan kualitas hasil tanaman jagung manis pada lahan tanpa olah tanah. D. Manfaat Penelitian 1. Menambah pengetahuan peneliti tentang macam dan dosis herbisida yang diaplikasikan terhadap hasil dan kualitas hasil jagung manis pada lahan tanpa olah tanah. 2. Sebagai bahan pertimbangan petani dalam penggunaan herbisida pada pertanaman jagung manis pada lahan tanpa olah tanah. 3. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. E. Kerangka pemikiran Produksi jagung manis di Indonesia belum memenuhi kebutuhan dalam negeri, karena produksi tanaman jagung per satuan luas masih rendah. Dalam usaha mempertahankan dan meningkatkan produksi tanaman, banyak dijumpai berbagai masalah yang turut menentukan berhasil tidaknya pengusahaan tanaman tersebut.

Kendala pertama yang dihadapi di lapangan adalah persaingan tanaman jagung manis dengan gulma (Syawal, 2005). Kehadiran gulma pada tanaman jagung dapat menimbulkan kerugian karena terjadinya kompetisi. Gulma yang siklus hidupnya singkat akan menghasilkan 15% 16% dari total bobot kering selama 2-3 minggu setelah perkecambahan sedang tanaman jagung hanya menghasilkan satu persen (Sastroutomo, 1992). Penurunan hasil dapat mencapai 50% bila pengelolaan gulma kurang dapat perhatian (Moenandir et al., 2001) oleh karena itu keberadaan gulma perlu ditekan agar tidak mengganggu tanaman pokok. Pengaruh gulma dapat terjadi secara langsung yaitu melalui persaingan unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh serta pengaruhnya secara tidak langsung yaitu sebagai inang hama dan penyakit tanaman, sehingga pengendalian gulma perlu dilakukan. Salah satu metodenya yaitu dengan pengendalian secara kimia (Metusala, 2006). Pengendalian secara kimia sangat erat kaitannya dengan penggunaan herbisida. Herbisida berasal dari kata herba yang berarti tumbuhan pengganggu dan sida artinya pembunuh atau mengendalikan gulma (Rukmana dan Saputra, 1999). Penggunaan herbisida sejenis secara terus-menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan resistensi gulma sehingga efikasi herbisida menjadi rendah. Umumnya petani memecahkan permasalahan resistensi gulma dengan cara menggunakan herbisida dengan persistensi dan dosis yang tinggi. Akibatnya residu

logam-logam berat akan banyak terakumulasi di dalam tanah dan sulit terdegradasi karena waktu paruhnya yang lama sehingga pada akhirnya menyebabkan kerusakan struktur tanah dan menimbulkan keracunan pada tanaman pokok (Sutanto, 2002). Dalam pelaksanaan TOT terkait sangat erat dengan herbisida, karena herbisida diperlukan sebagai pengganti olah tanah untuk mematikan sisa-sisa tanaman musim lalu dan untuk menyiapkan lahan tanam yang bebas dari gulma. Sistem TOT menggunakan herbisida yang tepat berpengaruh baik terhadap tanaman dan dapat meningkatkan hasil tanaman dan mampu mengendalikan gulma. Di samping itu TOT juga efisien terhadap waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan sehingga menguntungkan dibandingkan olah tanah sempurna (Lamid et al., 1998). Penggunaan herbisida yang tepat dalam persiapan lahan dapat memberikan manfaat bagi para petani antara lain dapat mengendalikan gulma yang tumbuh seawal mungkin. Beberapa herbisida mampu mengendalikan gulma sejak pertumbuhan awal. Namun dilain pihak penggunaan herbisida juga dapat menimbulkan perubahanperubahan dalam komposisi jenis gulma dan timbulnya jenis-jenis baru yang tadinya tidak ada menjadi ada serta timbul gulma-gulma yang toleran terhadap beberapa jenis herbisida (Sastroutomo, 1990). Untuk itu perlu diketahui macam dan dosis yang tepat untuk menekan gulma dan pengaruhnya terhadap hasil dan kualitas hasil jagung manis pada lahan tanpa olah tanah.

Penggunaan herbisida paraquat untuk pengendalian gulma diharapkan dapat menekan pertumbuhan gulma lebih efektif dan efisien. Herbisida paraquat termasuk herbisida kontak non selektif. Molekul herbisida ini setelah mengalami penetrasi ke dalam daun dan bagian lain yang hijau, bila terkena sinar matahari akan bereaksi menghasilkan hidrogen peroksida yang dapat merusak membran sel dan seluruh organ tanaman. Oleh karena itu tanaman kelihatan terbakar, namun herbisida ini tidak mematikan organ perbanyakan gulma yang ada di dalam tanah. Herbisida ini berspektrum luas dapat mengendalikan beberapa jenis gulma rumput dan daun lebar dan hanya mematikan bagian tanaman yang berwarna hijau (Tjitrosoedirdjo et al., 1984 cit.,Hardiastuti et al, 2005). Herbisida lain yang sering digunakan adalah yang berbahan aktif glifosat. Penggunaan herbisida berbahan aktif glifosat memiliki keuntungan yaitu hemat waktu dan tenaga terutama sebagai pengendalian gulma secara manual. Glifosat merupakan herbisida sistemik yang mempunyai spektrum luas dan bersifat non selektif dan banyak digunakan untuk pengendalian alang-alang (Sriyani et al., 2001). Mawardi (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pada pengamatan 2 MST terlihat bahwa glifosat dengan dosis 1440 g/ha dan 1920 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma pada budidaya jagung tanpa olah tanah. Oksifluorfen sangat efektif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar, gulma berdaun sempit dan teki dipertanaman bawang merah, kakao, karet, kelapa sawit, kedelai, kacang tanah, padi gogo, padi sawah, teh, ubi kayu, dan tebu (Herbisida

Handbook, 1983). Dengan penggunan oksifluorfen yang merupakan herbisida pra tumbuh maka tujuan penggunaan herbisida ini adalah untuk mengendalikan gulma seawal mungkin sehingga pertumbuhan gulma dapat ditekan pada awal periode kritis tanaman. Diharapkan pada periode kritis ini area pertanaman bisa bebas dari gulma sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat optimal.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Tanaman Jagung Sweet corn atau jagung manis sudah sejak lama dikenal oleh bangsa Indian,

Amerika. Hal ini terbukti ketika tahun 1779 Sullivar melakukan ekspedisi melawan suku Indian. Dalam perjalanannya melalui sungai Susquehenna, ia menemukan ladang jagung manis. Pada tahun 1832, sweet corn telah banyak ditanam di Amerika sampai tahun 1866 telah ada 16 varietas (Palungkun dan Budiarti, 2000). Jagung telah tersebar di seluruh Indonesia. Daerah-daerah penghasil jagung yang telah tercatat antara lain Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku (AAK, 1993). Klasifikasi jagung manis adalah sebagai berikut : Kingdom Plantae, Divisio Spermatophyta, Subdivisio Poales (Graminales), Famili Poaceae (Graminae), Genus Zea, Spesies Zea mays, Varietas Zea mays saccharata Sturt. Menurut Subekti et al., (2002) berdasarkan bentuk dan struktur biji jagung dapat diklasifikasikan sebagai berikut : jagung mutiara (Z. mays indurate), jagung gigi kuda (Z. mays indentata), jagung manis (Z. mays saccharata), jagung pod (Z. tunicate sturt), jagung berondong (Z. mays everta), jagung pulut (Z. ceritina Kulesh), jagung QPM (Quality Protein Maize), jagung minyak tinggi (High Oil). Sifat manis

pada sweet corn disebabkan oleh adanya gen su-1 (sugary), bt-2 (brittle), dan sh-2 (shrunken). Gen ini dapat mencegah pengubahan gula menjadi zat pati pada endosperm sehingga jumlah gula yang ada kira-kira dua kali lebih banyak dibandingkan jagung biasa (Palungkun dan Budiarti, 2000). Secara fisik maupun morfologi, jagung manis sulit dibedakan dengan jagung biasa. Perbedaan antara kedua jagung tersebut umumnya pada bunga jantan. Bunga jantan jagung manis berwarna putih krem, sedangkan pada jagung biasa kuning kecoklatan. Rambut pada jagung manis berwarna putih, sedangkan pada jagung biasa berwarna merah. Jagung manis mengandung lebih banyak gula pada endospermnya daripada jagung biasa dan pada proses pematangan, kadar gula yang tinggi menyebabkan biji keriput. Keadaan yang keriput inilah yang membedakannya dengan biji jagung biasa. Selain itu tinggi tanaman jagung manis sedikit lebih pendek daripada jagung biasa. Perbedaan lainnya adalah jagung manis berumur lebih genjah dan memiliki tongkol yang lebih kecil dibandingkan jagung biasa. Tongkol biasanya sudah siap panen ketika tanaman berumur 60-70 hari (Palungkun dan Budiarti, 2000). Jagung merupakan tanaman berumah satu monoecious dimana letak bunga jantan dan betina terpisah pada satu tanaman dan bunga jantan terbentuk pada ujung batang, sedangkan bunga betina terletak pada pertengahan batang. Tanaman jagung bersifat protandry dimana bunga jantan umumnya tumbuh 1-2 hari sebelum

munculnya rambut pada bunga betina (Subandi et al., 1988). Bunga jantan mengandung banyak bunga kecil pada ujung batangnya yang disebut tassel. Tiap bunga kecil tersebut terdapat tiga buah benang sari. Bunga jantan yang terbungkus ini di dalamnya terdapat benang sari. Bunga betina juga mengandung banyak bunga kecil yang ujungnya pendek dan datar, pada saat masak disebut tongkol. Setiap bunga betina mempunyai satu putik (Palungkun dan Budiarti, 2000). Bunga terbentuk pada saat tanaman sudah mencapai pertengahan umur. Sel telur yang terdapat pada bunga betina dilindungi oleh tangkai putik, sedangkan yang berbentuk benang biasanya disebut rambut (AAK, 1993). Lebih kurang 95% dari bakal biji terjadi karena perkawinan silang dan hanya 5% terjadi perkawinan sendiri. Hampir semua tepung sari yang menyerbuki putik datang dari malai tanaman terdekat, tetapi tepung sari dapat diterbangkan angin sampai sejauh 1 kilometer (Suprapto, 1990). Sistem perakaran jagung terdiri atas akar primer, akar lateral, akar horizontal, dan akar udara. Akar primer adalah akar yang pertama kali muncul pada saat biji berkecambah dan tumbuh ke bawah. Akar lateral adalah akar yang tumbuh memanjang ke samping. Akar udara adalah akar yang tumbuh dari bulu-bulu di atas permukaan tanah (Najianti dan Danarti, 1992). Tanaman jagung berakar serabut, menyebar ke samping dan ke bawah sepanjang 25 cm (Suprapto, 1990).

Warisno (1998), mengemukakan bahwa batang tanaman jagung bulat silindris dan tidak berlubang tetapi padat dan berisi berkas-berkas pembuluh sehingga makin memperkuat berdirinya batang. Batang jagung beruas-ruas dan pada bagian pangkal batang beruas cukup pendek dengan jumlah sekitar 8-20 ruas. Rata-rata panjang (tinggi) tanaman jagung antara 1 sampai 3 meter di atas permukaan tanah. Batang tanaman jagung dapat tumbuh membesar dengan diameter sekitar 3-4 cm. Daun jagung berbentuk pita atau garis. Selain itu, tanaman juga mempunyai ibu tulang daun yang terletak tepat di tengah-tengah daun. Jumlah daun sekitar 8-48 helai setiap batangnya, tergantung pada jenis atau varietas yang ditanam. Panjang daun 30-45 cm dan lebarnya antara 5-15 cm (Warisno, 1998). Biji jagung terletak pada tongkol yang tersusun memanjang. Pada tongkol tersimpan biji-biji jagung yang menempel erat, sedangkan pada buah jagung terdapat rambut-rambut yang memanjang hingga keluar dari pembungkus (kelobot). Pada setiap tanaman jagung terbentuk 1-2 tongkol. Bakal biji yang sudah siap diserbuki ditandai dengan rambut yang memanjang dan keluar melalui sela-sela antara tongkol dan kelobot. Pada setiap bakal biji selalu terdapat tangkai putik berupa rambut. Semakin bunga betina siap untuk dibuahi, maka semakin bertambah jumlah rambut yang keluar melewati ujung tongkol jagung (AAK, 1993). Biji tersusun rapi pada tongkol, setiap tongkol terdiri atas 10-14 baris, sedangkan setiap tongkol terdiri kurang lebih 200-400 butir (Muhajir, 1988).

Sweet corn mempunyai tipe pertumbuhan determinate. Sweet corn tergolong jagung yang berumur genjah. Umur panen tanaman ini tergantung pada jenisnya. Umumnya sweet corn siap dipanen pada umur 60-70 hari setelah tanam, tetapi di daerah dataran tinggi umur panen dapat mencapai 80 hari. Jagung termasuk tanaman C-4 yang mampu beradaptasi dengan baik pada faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan hasil. Tanaman C-4 dapat beradaptasi pada terbatasnya banyak faktor seperti intensitas radiasi matahari yang tinggi dengan suhu siang dan malam yang tinggi pula, curah hujan rendah, serta kesuburan tanah yang relatif rendah. Sifat-sifat yang menguntungkan dari jagung sebagai tanaman C-4 antara lain aktivitas fotosintesis pada keadaan normal relatif tinggi, fotorespirasi sangat rendah, transpirasi rendah serta efisien dalam penggunaan air. Meskipun demikian jagung memerlukan air yang cukup selama masa pertumbuhannya, khususnya saat menjelang berbunga dan pengisian biji (Muhajir, 1988). Rukmana (1997), mengemukakan bahwa jagung terutama ditanam di dataran rendah, baik tegalan, sawah tadah hujan maupun sawah irigasi di musim kemarau, tetapi juga dapat pula ditanam pada ketinggian 1000-1800 m dpl. Pertanaman jagung sangat memerlukan drainase dan aerasi yang baik. Tanah yang baik untuk pertumbuhan jagung adalah tanah yang gembur dan subur, kaya humus, menghendaki tanah yang bertekstur lempung, lempung berdebu atau lempung berpasir.

Tanaman jagung toleran terhadap reaksi kemasaman tanah pada kisaran pH 5,5-7,0. Tingkatan keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah pada pH 6,8 dan memberikan hasil tertinggi pada pH tersebut. Lahan kering di Indonesia sebagian besar adalah tanah podsolik merah kuning yang pH rata-ratanya rendah (masam) (Rukmana, 1997) B. Gulma pada pertanaman jagung Gulma didefinisikan sebagai tumbuhan yang tidak dikehendaki atau tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan memiliki pengaruh negatif, sehingga kehadirannya tidak dikehendaki manusia. Oleh karena itu tumbuhan apapun, termasuk tanaman yang biasa dibudidayakan (crop plants), biasa dikategorikan sebagai gulma bila tumbuh di tempat dan pada waktu yang salah (Rukmana dan Saputra, 1999). Rukmana dan Saputra (1999), mengemukakan bahwa keberadaan gulma pada areal tanaman budidaya dapat menimbulkan kerugian baik dari segi kuantitas maupun kualitas produksi. Kerugian yang ditimbulkan gulma diantaranya adalah sebagai berikut : 1. penurunan hasil pertanian akibat persaingan langsung dalam perolehan air, udara, unsur hara, cahaya matahari dan tempat hidup. 2. penurunan kualitas hasil karena tercampurnya biji tanaman budidaya dengan biji atau bagian gulma yang lain.

3. menjadi inang hama dan penyakit. 4. membuat tanaman budidaya keracunan akibat senyawa racun (alelokimia) yang dikeluarkan oleh gulma, seperti zat phenol dan absisthin. 5. mempersulit pekerjaan di lapangan dan dalam pengolahan hasil. 6. menghambat atau bahkan merusak alat pertanian terutama alat pengolah tanah. 7. mengurangi jumlah air. 8. menghambat lalu lintas air serta dapat menimbulkan pendangkalan. 9. meningkatkan biaya produksi, karena tenaga kerja dan waktu untuk pengolahan tanah, penyiangan dan pemeliharaan selokan akan bertambah. Gulma dominan pada jagung adalah dari golongan rumput, menyusul golongan daun lebar dan paling sedikit dari golongan tekian, diantaranya yaitu D. ciliaris, A. conyzoides, P. distichum, E. indica, B. latifolia, C. rotundus, P. niruri, C. doctylon, A. phyloxeroides, S. nodiflora, S. anthelmia, dan E. colona (Bangun, 1985). Sedangkan menurut Rukmana dan Saputra (1999), gulma yang banyak tumbuh pada areal pertanaman jagung antara lain Babandotan (A. conyzoides), Putri malu (M. pudica), Meniran (P. niruri), Jampang (D. ciliaris), Teki (Cyperus rotundus),

Jejagoan (E. crus-galli), Kakawatan (C. dactylon), Gelang atau Krokot (P. aleracea), Alang-alang (I. cylindrical), Rumput belulang (E. indica), Das-dasan (F. miliaceae), Bayam duri (A. spinosus) dan Semanggi (M. crenata). C. Pengendalian Gulma dengan herbisida Pengendalian gulma sudah merupakan suatu keharusan pada budidaya jagung. Umumnya petani mengendalikan gulma secara manual dengan menggunakan tangan sehingga sangat mahal dan tidak efisien (Sasmita et al., 2005). Teknik pengendalian gulma ada beberapa cara antara lain dengan cara manual, mekanis, kultur teknis, biologi dan kimiawi. Pengendalian gulma secara manual akan menjadi masalah apabila pengusahaan tanaman jagung dalam skala luas dan ada keterbatasan ketersediaan tenaga kerja serta biaya (Sebayang, 2002). Pengendalian gulma secara kimiawi adalah pengendalian yang menggunakan bahan kimia yang menghambat dan

mematikan gulma. Dalam hal ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kemanjuran (efikasi), keamanan bagi aplikator maupun lingkungan serta aspek ekonominya (Triharso, 1996). Pengendalian secara kimia sangat erat kaitannya dengan penggunaan herbisida. Herbisida berarti senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan gulma. Herbisida merupakan bahan kimia dalam pengendalian gulma,

serta memberikan keuntungan lebih dalam pemakaiannya. Adapun keuntungan yang diberikan oleh herbisida adalah sebagai berikut: 1. dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu. 2. dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman. 3. lebih efektif membunuh gulma tahunan. 4. dalam dosis rendah dapat sebagai hormon tumbuh. Di samping kelebihan dan keuntungan, herbisida juga mempunyai kekurangan-kekurangan yang dapat merugikan. Kelemahan itu antara lain adalah herbisida dapat menimbulkan: a) species gulma yang resisten, b) polusi dan c) residu yang dapat meracuni tanaman (Sukman & Yakup, 2002). Berdasarkan cara kerjanya, herbisida dibedakan menjadi dua, yaitu herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak adalah herbisida yang mampu mematikan setiap bagian gulma, terutama bagian yang berklorofil. Efek herbisida kontak sangat cepat namun kelemahannya tidak dapat mematikan bagian tanaman yang berada di dalam tanah. Sedangkan herbisida sistemik adalah herbisida yang mematikan gulma dengan meracuni sistem fisiologis, mengganggu sintesis enzim serta menghambat metabolism gulma. Herbisida ini mudah ditranslokasikan ke seluruh bagian tumbuhan (Rukmana dan Saputra, 1999). Ditinjau dari segi kesehatan dan lingkungan, penggunaan herbisida yang tidak terkontrol sering menimbulkan permasalahan atas bahaya residu yang

ditinggalkan. Di dalam tanah, umumnya residu herbisida berinteraksi dengan partikel tanah dan akar tanaman. Herbisida yang jatuh sampai ke tanah, selain diabsorbsi oleh partikel tanah juga berada dalam larutan tanah dan bergerak ke segala arah termasuk diserap akar tanaman. Sasongko (1998) pernah meneliti pada tanah Vertisol, Inseptisol dan ultisol yang diambil dari areal pertanaman tebu yang telah disemprot Atrazine dengan dosis 6 kg/ha, kemudian dimasukkan ke dalam paralon dan dicuci dengan air. Pada air cucian ditemukan residu herbisida 0,010 ug/l untuk tanah Vertisol, 0,109 ug/l pada tanah Inseptisol dan 0,120 ug/l pada tanah Ultisol; sedangkan jumlah herbisida selebihnya belum diketahui distribusinya. Bila herbisida diaplikasikan ke dalam tanah maka herbisida tersebut dapat mengalami beberapa hal sebagai berikut : tercuci (leaching) keluar daerah perakaran, diikat oleh partikel tanah dan bahan organik, mengalami penguraian (degradasi), diabsorbsi/diserap oleh tanaman dan menguap bila tekanan uapnya tinggi. Herbisida paraquat merupakan herbisida kontak non selektif yang berspektrum luas dalam pengendalian gulma dan hanya mengendalikan bagian tanaman yang berhijau daun/berklorofil. Baik untuk mengendalikan gulma berdaun sempit seperti, D. ciliaris, E. indica dan C. rotundus. Oxyfluorfen merupakan herbisida yang diaplikasikan lewat tanah sebagai herbisida pra tumbuh. Herbisida tersebut cepat menunjukkan gejala terbakar pada gulma. Lehnen et. al. (1995) dan

Kendig (1996) mengemukakan bahwa mekanisme penghambatan oleh oxyfluorfen adalah menghambat enzyme protoporprinogen oxydase (Protox). Herbisida glifosat termasuk herbisida sistemik berspektrum luas dengan pengembangan teknologi formulasi yang canggih untuk mengendalikan gulma secara tuntas dan pengendalian dalam waktu lama disbanding herbisida lain yang ada. Glifosat efektif untuk mengendalikan alang-alang, tekian, rumputan dan gulma daun lebar pada pertanaman jagung. Dosis dalam penggunaan herbisida diartikan dengan jumlah bahan aktif yang digunakan untuk mengendalikan gulma per satuan luas tertentu sehingga dosis aplikasi yang dianjurkan untuk mengendalikan gulma berkisar antara 1-3 L/ha. Ditinjau dari segi waktu pemberian herbisida dapat dibedakan menjadi tiga yaitu, herbisida pra-tanam, herbisida pra-tumbuh, dan herbisida pasca tumbuh. Herbisida pra-tanam, diaplikasikan pada lahan sebelum atau pada waktu tanah diolah tetapi belum ditanami. Herbisida pra-tumbuh diberikan sebelum gulma dan tanaman tumbuh. Efektifitas herbisida akan maksimal bila tanahnya tidak berbongkahbongkah. Herbisida pasca tumbuh disemprotkan bila gulma dan tanaman sudah tumbuh bersama-sama. Pada keadaan ini herbisida harus benar-benar selektif dalam arti kata dapat mematikan gulma tetapi aman bagi tanaman budidaya. Selektifitas dapat ditingkatkan dengan memilih herbisida yang cocok untuk tanaman dan sesuai dengan gulma sasaran (Sasmita et al., 2005).

D.

Tanpa Olah Tanah (TOT) Teknologi tanpa olah tanah merupakan salah satu teknik persiapan lahan atau

budidaya tanaman yang termasuk dalam rumpun teknologi olah tanah konservasi. Pada TOT, tanah dibiarkan tidak terganggu kecuali untuk alur kecil atau lubang tugalan untuk penempatan benih. Sebelum tanam, gulma dapat dikendalikan dengan herbisida yang layak dan ramah lingkungan lainnya. TOT banyak sekali membantu mengendalikan gulma sehingga biaya persiapan lahan menjadi relatif murah dan sederhana (Ardjasa et al., 1994). Teknik TOT dapat diterapkan dengan baik pada berbagai tipe tanah, terutama tanah lempung berpasir sampai lempung berliat, tanah berdrainase baik (TOT padi sawah) maupun berdrainase buruk (TOT lahan kering), dan tanah datar sampai berbukit. TOT umumnya meningkatkan kelembaban tanah dengan berkurangnya evaporasi. Di daerah dengan curah hujan rendah dan tanah yang dapat menyimpan air, peningkatan kelembaban tanah akan meningkatkan penyerapan nutrisi yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas. Dengan meningkatnya kelembaban tanah, suhu tanah menjadi lebih rendah (Utomo, 2000). Pada penelitian Mawardi (2005) diungkapkan penggunaan herbisida glifosat dosis 2 L/ha dan 3 L/ha member pengaruh bobot kering gulma total pada pengamatan 5 dan 8 MST dan menunjukkan bahwa seluruh perlakuan TOT + glifosat efektif mengendalikan gulma, hal ini disebabkan karena herbisida glifosat setelah diabsorbsi oleh daun, lalu ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma.

Herbisida glifosat dengan sistem TOT dapat dianjurkan karena mampu memberikan hasil yang sama dengan Olah Tanah Sempurna juga lebih efisien ditinjau dari biaya dan tenaga kerja. Secara umum dari pertumbuhan dan hasil tanaman jagung dapat disimpulkan bahwa herbisida yang diuji pada sistem TOT tidak membahayakan sehingga tidak mempengaruhi hasil tanaman jagung (Mawardi, 2005). Sistem tanpa olah tanah dengan pendangiran (TOT-D) menghasilkan jagung manis sebesar 9,323 ton/ha yang sama dengan sistem olah tanah minimum dan olah tanah intensif dengan pendangiran serta olah tanah intensif bermulsa (Setiawan, 2005).

E.

Hipotesis Diduga pengendalian gulma pada pertanaman jagung manis menggunakan

macam herbisida yang berbahan aktif glifosat kalium dengan dosis aplikasi 3 L/ha dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap hasil dan kualitas hasil jagung manis serta terhadap penekanan pertumbuhan gulma pada lahan tanpa olah tanah.

III.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta, Desa Wedomartani, Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketinggian tempat 115 m dpl dengan jenis tanah Regosol. Waktu pelaksanaan percobaan adalah bulan Februari 2011 hingga April 2011. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih jagung manis Hibrida, herbisida oxyfluorfen dosis 1-3 L/ha, herbisida paraquat dosis 1-2 L/ha, herbisida glifosat dosis 1-3 L/ha, urea 450 kg/ha, SP 36 200 kg/ha, KCL 200 kg/ha, furadan 3G, Matador 25 EC. Sedangkan alat yang diperlukan yaitu tugal, cangkul, cetok, sabit, sprayer, alat tulis, label, kantong plastik, jangka sorong, gelas ukur volume 1000 ml, timbangan analitik, meteran gulung, gunting, kuadran, penggaris, oven. C. Metode Penelitian Penelitian menggunakan percobaan lapangan dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan satu faktor. Faktor dalam penelitian ini adalah: Herbisida oxyfluorfen dosis 1 L/ha Herbisida oxyfluorfen dosis 2 L/ha Herbisida oxyfluorfen dosis 3 L/ha

Herbisida paraquat dosis 1 L/ha Herbisida paraquat dosis 1,5 L/ha Herbisida paraquat dosis 2 L/ha Herbisida glifosat dosis 1 L/ha Herbisida glifosat dosis 2 L/ha Herbisida glifosat dosis 3 L/ha Sehingga didapat 9 perlakuan dengan 3 ulangan, ditambah 1 perlakuan kontrol (dengan gulma dan tanpa herbisida) dan jumlah petak total adalah ((3 x 3) + 1) x 3 ulangan = 30 petak percobaan. Setiap petak berukuran 4 m x 2 m dengan jarak tanam 70 x 25 cm dan terdiri atas 60 tanaman sehingga total tanaman 1620 tanaman. Setiap petak diambil 5 sampel. D. Pelaksanaan Penelitian 1. Analisis vegetasi Analisis vegetasi dengan menggunakan metode kuadrat dalam bentuk petak contoh 0,5 m x 0,5 m dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada saat 1 minggu sebelum tanam, 3 minggu setelah tanam dan 6 minggu setelah tanam. 2. Persiapan lahan Membuat blok-blok pada lahan percobaan sebanyak 3 blok, dan setiap blok dibuat petak percobaan sebanyak sepuluh petak dengan ukuran 4 m x 2 m; jarak antar

petak 40 cm dan jarak antar blok 70 cm. Perlakuan TOT, lahan tanpa dilakukan pengolahan dan disemprot dengan herbisida, untuk perlakuan OTS dilakukan pengolahan dan disemprot dengan herbisida, sedangkan perlakuan kontrol dilakukan pengolahan, disiangi dan tanpa disemprot herbisida. Masing-masing petak perlakuan TOT dan OTS dilakukan penyemprotan dengan herbisida sesuai dengan perlakuan dengan volume semprot 400 L/ha. Penyemprotan dilakukan 1 minggu sebelum tanam.

3. Penanaman

Benih ditanam dua butir per lubang dengan kedalaman 3-5 cm dengan jarak tanam 70 x 25 cm, setelah berumur satu minggu dilakukan penjarangan dengan cara memotong salah satu tanaman sehingga tiap lubang tinggal satu tanaman. Kebutuhan benih untuk percobaan ini adalah 3240 butir. 4. Pemeliharaan tanaman a. Pemupukan Dosis pemupukan jagung manis untuk setiap hektarnya yaitu pupuk urea sebanyak 450 kg/ha, pupuk SP 36 sebanyak 200 kg/ha, dan pupuk KCL sebanyak 200 kg/ha. Adapun waktu pemberian pupuk Urea dibagi menjadi 3 tahap, yaitu pada awal tanam, pupuk susulan I dan pupuk susulan II masingmasing 150 kg/ha. Pupuk diberikan bersamaan dengan waktu tanam, yaitu 1/3 bagian urea, SP 36 dan seluruh bagian KCL diberikan saat tanam. Pupuk

Urea sebagai pupuk susulan I yang diberikan setelah tanaman jagung berumur 30 hari setelah tanam. Sedangkan pupuk susulan II diberikan saat tanaman jagung 50 hari setelah tanam yaitu 1/3 bagian lainnya b. Penyulaman Penyulaman dilakukan bila ada benih yang tidak tumbuh dan dilakukan maksimal satu minggu setelah tanam agar diperoleh keseragaman tanaman. c. Penyiraman Penyiraman dilakukan dengan mengamati kondisi kelembaban lahan, terutama pada fase awal pertumbuhan dan saat pembentukan tongkol dengan bantuan alat gembor dan selang. Penyiraman dilakukan pada saat pagi atau sore hari. d. Pengendalian hama dan penyakit Pada saat menanam benih diberi furadan 3G dengan dosis 20 kg/ha pada lubang tanam untuk mencegah hama pada awal pertumbuhan. Pengendalian hama dilakukan dengan menyemprotkan Matador 25 EC dengan konsentrasi 1-2 ml/L pada saat ambang ekonomis tanaman.

E. Parameter Pengamatan Parameter pengamatan dilakukan terdiri atas pengamatan gulma, pengamatan pertumbuhan, hasil dan kualitas hasil jagung manis. 1) Pengamatan Gulma

a. Analisis vegetasi Analisis dilakukan 3 kali yaitu 1 minggu sebelum tanam, 3 minggu setelah tanam dan 6 minggu setelah tanam dengan menggunakan metode kuadrat. Cara perhitungan analisis vegetasi adalah sebagai berikut (Tjitrosoedirjo et al., 1984) : 1. Kerapatan Mutlak (KM) suatu jenis = jumlah individu jenis itu dalam petak contoh.
KM suatu spesies x100% KMsemua spesies

Kerapatan Nisbi (KN) suatu jenis =

Dominansi Mutlak (DM) suatu jenis = jumlah dari nilai biomassa dari jenis tersebut.

Dominansi Nisbi (DN) suatu jenis

DM suatu spesies x100% DMsemua spesies

Frekuensi Mutlak (FM) suatu jenis = jumlah unit sampel yang terdapat dari spesies tersebut.

Frekuensi Nisbi (FN) suatu spesies =

FM spesies tersebut x 100% FM semua spesies

2. Nilai penting suatu jenis = KN + DN + FN 3. SDR (Summed Dominance Ratio) = Nilai penting/3 b. Bobot kering gulma total Merupakan total seluruh bobot kering gulma pada setiap petak percobaan pada 1 minggu sebelum tanam, 3 minggu dan 6 minggu setelah tanam. Data ini diperoleh dengan mencabut semua gulma yang ada di dalam petak contoh kemudian dioven pada suhu 80 0C sampai beratnya konstan. Setelah itu ditimbang dengan timbangan analitik. 2) a. Pengamatan pertumbuhan tanaman jagung manis Tinggi tanaman (cm) Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari leher akar sampai ujung daun tertinggi. Pengamatan dilakukan umur 4, 5 dan 6 mst. b. Diameter batang (cm) Pengamatan dilakukan dengan cara mengukur diameter batang yang terdapat diatas ruas ketiga dari pangkal akar dengan menggunakan jangka sorong. Pengamatan dilakukan umur 4, 5 dan 6 mst.

c. Bobot brangkasan (kg) Pengamatan dilakukan dengan cara menimbang seluruh brangkasan tanaman sampel pada saat panen. 3) Pengamatan hasil tanaman jagung manis

a. Panjang tongkol dengan kelobot per tanaman (cm) Pengukuran ini dilakukan pada tanaman sampel dengan cara mengukur panjang tongkol berkelobot. Pengukuran ini dilakukan saat panen. b. Diameter tongkol dengan kelobot per tanaman (cm) Pengukuran ini dilakukan pada tanaman sampel dengan cara mengukur diameter tongkol berkelobot. Lingkar tongkol yang diukur berada pada panjang tongkol. Pengukuran ini dilakukan saat panen. c. Bobot tongkol dengan kelobot per tanaman (g) Pengamatan ini dilakukan dengan menimbang tongkol tiap tanaman sampel pada saat panen. d. Bobot ekonomis tongkol dengan kelobot (kg) Pengamatan ini dilakukan dengan menimbang tongkol yang telah dipotong ujungnya 1/3 bagian dan mengurangi beberapa kelobot yang paling luar tiap petak sampel pada saat panen.

4)

Pengamatan kualitas jagung manis

a. Kadar gula biji jagung manis (%) Pengukuran ini dilakukan dengan metode Spektrofotometri Nelson-Somogy untuk mengukur gula total yang ada didalam jagung manis. Pengukuran ini dilakukan di Lab. CV. Chemical Pratama. Dilakukan setelah panen umur 70 hari. Langkah kerja analisis terdapat pada lampiran IV. F. Analisis Hasil Data hasil pengamatan dianalisis keragamannya dengan sidik ragam pada jenjang nyata 5% menggunakan uji Student Newman Keuls (SNK) dan dihitung menggunakan program SPSS.

30

IV. HASIL DAN ANALISIS HASIL

A. Komponen Gulma 1. Analisis Vegetasi a. Analisis vegetasi sebelum tanam. Hasil analisis vegetasi gulma sebelum tanam. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa sebelum dilakukan tanam terdapat 11 jenis gulma. Gulma yang mendominasi lahan tersebut adalah gulma Cyperus compressus dengan nilai Nisbah Jumlah Dominan (NJD) sebesar 32,35 %, kemudian diikuti gulma Eleucene indica dengan nilai NJD 30,49 % dan Cynodon dactylon dengan nilai NJD 11,22 %. Hasil analisis vegetasi gulma disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Analisis vegetasi sebelum tanam.
Nama Gulma Daun lebar Ageratum conyzoides Commelina benghalensis Portulaca oleracea Tekian Fimbristylis dichotoma Cyperus compressus Cyperus rotundus Echinochloa colona Rumputan Cynodon dactylon Dygitaria sp Eleucene indica Eragrostis tenella Total NJD (%) 3,35 2,69 3,49 6,24 32,35 3,43 2,14 11,22 2,05 30,49 2,55 100

31

b. Analisis vegetasi pada 3 minggu setelah perlakuan herbisida Hasil analisis vegetasi gulma 3 minggu setelah perlakuan herbisida menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah spesies gulma dari 11 sepesies gulma menjadi 13 spesies gulma. Hasil NJD pada semua petak menunjukkan bahwa gulma dominan adalah Cynodon dactylon kecuali petak control didominasi gulma Fimbritylis miliacea. Hasil analisis vegetasi gulma disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Analisis vegetasi pada 3 minggu setelah perlakuan herbisida (%).
Nama gulma/perlakuan 1 2 3 Daun lebar Ageratum conyzoides 13,93 8,08 Euporbia prunifolia 7,45 Commelina benghalensis Legumminose sp 1,04 Phyllanthus fraternus Tekian Fimbritylis miliacea Cyperus compressus Cyperus rotundus Rumputan Cynodon dactylon Dygitaria sp Digitaria longiflora Eleucene indica Eragrostis tenella Total 4 5 21,73 3,43 1,64 8,24 6 7 8 9 10 -

20,34 22,86 10,50 2,04 2,45 20,8 15,99 8,42 20,85 14,64

31,03

26,42 20,32

17,4 67,08 61,12 79,15 45,4 85,36 100 68,97 100 32,36 8,42 1,53 6,31 - 20,9 11,04 1,96 100 100 100 100 10,8 100 -

100 100 100 100 100

Keterangan: 1= Kontrol 2= oxyfluorfen dosis 1L/ha 3= oxyfluorfen dosis 2L/ha 4= oxyfluorfen dosis 3L/ha 5= paraquat dosis 1L/ha 6= paraquat dosis 1,5L/ha 7=paraquat dosis 2L/ha 8= glifosat dosis 1L/ha 9= glifosat dosis 2L/ha 10 = glifosat 3L/ha c. Analisis vegetasi pada 6 minggu setelah perlakuan herbisida Hasil analisis vegetasi gulma pada 6 minggu setelah perlakuan herbisida menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah spesies gulma

32

dari 13 sepesies gulma pada 3 minggu setelah perlakuan herbisida menjadi 22 spesies gulma. Hasil NJD pada semua petak menunjukkan bahwa gulma dominan yaitu Cynodon dactylon dan Digitaria longiflora. Hasil analisis vegetasi gulma pada 6 msa dapat dilihat pada lampiran X. Hasil analisis vegetasi gulma disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Analisis vegetasi pada 6 minggu setelah perlakuan herbisida (%)
Nama Gulma/perlakuan 1 2 3 4 5 Daun lebar Ageratum conyzoides 5,97 4,6 7,9 Cleome rutidosperma 7,78 5,81 Commelina benghalensis Dactyloctenium 4,99 5,2 3,82 aegyptium Borreria leavis 1,14 1,77 1,33 Mimosa invisa 2,9 4,23 Euporbia prunifolia 4,28 6,15 5,74 Amaranthus viridis Bidens pilosa 6,29 4,63 3,97 Portulaca oleracea 5,15 Tridax procumbens 3,33 Eclipta prostrata 1,43 Melochia concatenata 1,67 1,43 Tekian Chloris barbata 12,66 12,32 9,28 Cyperus compressus 7,26 8,31 9,45 Cyperus rotundus 17,07 11,75 16,85 Cyperus iria Fimbritylis miliacea 2,33 5,02 13,48 1,43 Rumputan Cynodon dactylon 5,67 28,25 23,95 28,34 55,88 Digitaria longiflora 16,31 2,99 68,33 28,24 Eleucene indica Eragrostis tenella 13,02 Total 100 100 100 100 100 6 1,87 22,64 1,33 7 8 9 10 -

20,94 30,12

70,97 77,24 70,38 24,45 64,18 3,19 15,21 8,68 17,54 11,67 10,28 7,55 27,89 13,87 100 100 100 100 100

Keterangan: 1= Kontrol 2= oxyfluorfen dosis 1L/ha 3= oxyfluorfen dosis 2L/ha 4= oxyfluorfen dosis 3L/ha 5= paraquat dosis 1L/ha 6= paraquat dosis 1,5L/ha 7=paraquat dosis 2L/ha 8= glifosat dosis 1L/ha 9= glifosat dosis 2L/ha 10 = glifosat 3L/ha

2. Bobot kering gulma total (%) a. Bobot kering gulma total 1 minggu sebelum perlakuan herbisida.

Hasil bobot kering gulma total pada 1 minggu sebelum perlakuan herbisida

33

dapat dilihat pada lampiran XI. Hasil bobot kering gulma total 1 minggu sebelum perlakuan disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Bobot kering gulma total 1 minggu sebelum perlakuan Nama Gulma Ageratum conyzoides Commelina benghalensis Mean 0.65a 0.25a

Portulaca oleracea 0.34a Fimbristylis dichotoma 0.40a Cyperus compressus 2.38c Cyperus rotundus 0.26a Echinochloa colona 0.18a Cynodon dactylon 1.14b Dygitaria sp 0.2567a Eleucene indica 0.68a Eragrostis tenella 0.19a Total 0.61 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5% Tabel 5 menunjukkan bahwa ada beda nyata antar masing_masing gulma. Bobot kering terbesar terdapat pada spesies gulma Cyperus compressus pada analisis vegetasi 1 minggu sebelum perlakuan dan gulma tersebut yang mendominasi.

b. Bobot kering gulma total pada 3 dan 6minggu setelah perlakuan herbisida (g). Hasil bobot kering gulma total pada 3 dan 6 minggu setelah perlakuan herbisida dapat dilihat pada lampiran XII dan XIII dan disajikan pada tabel 5 berikut.

34

Tabel 5. Bobot Kering Gulma Total pada 3 dan 6 msa Perlakuan Mean 3 msa Mean 6 msa Kontrol 31.4a 11.2a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 23.7a 25.8a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 12.0a 22.5a Oxyfluorfen dosis 3L/ha 15.3a 20.9a Paraquat dosis 1L/ha 11.7a 14.8a Paraquat dosis 1,5L/ha 8.8a 21.5a Paraquat dosis 2L/ha 14.6a 3.1a Glifosat dosis 1L/ha 10.1a 24.9a Glifosat dosis 2L/ha 23.0a 28.6a Glifosat dosis 3L/ha 22.2a 31.9a Total 17.32 20.55 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5% Tabel 5 Menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan tidak ada beda nyata, demikian pula antara perlakuan dengan kontrol juga tidak ada beda nyata.

B. Komponen Pertumbuhan 1. Tinggi tanaman umur 4, 5, 6 mst Hasil analisis varian tinggi tanaman umur 4,5,6 minggu dapat dilihat pada lampiran XIV, XV, XVI dan disajikan pada tabel 7 berikut.

35

Tabel 7. Rerata tinggi tanaman umur 4, 5, 6 minggu (cm) Perlakuan Mean 4 mst Mean 5 mst Mean 6 mst Kontrol 70.7a 124.1a 173.7c Oxyfluorfen dosis 1L/ha 69.3a 114.2a 160.3a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 62.7a 112.6a 163.8b Oxyfluorfen dosis 3L/ha 67.6a 118.0a 147.4a Paraquat dosis 1L/ha 62.9a 110.0a 171.6c Paraquat dosis 1,5L/ha 63.9a 110.3a 156.0a Paraquat dosis 2L/ha 64.9a 108.5a 148.8a Glifosat dosis 1L/ha 71.5a 112.8a 156.1a Glifosat dosis 2L/ha 72.7a 119.2a 173.1c Glifosat dosis 3L/ha 72.1a 120.7a 173.9c Total 67.88 115.10 162.50 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom 3 dan 4 menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5%, sedangkan rerata yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom 5 menunjukkan ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5% Tabel 7 Menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan pada 4 dan 5 mst dari hasil uji SNK tidak berbeda nyata demikian pula antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata. Tetapi tinggi tanaman pada 6 mst dari hasil uji SNK ada beda nyata antar perlakuan demikian pula antara perlakuan dengan kontrol ada beda nyata.

2. Diameter batang pada 4,5, 6 mst (cm) Hasil analisis varian diameter batang umur 4 minggu dapat dilihat pada lampiran XVII, XVIII, XIX menunjukkan bahwa pada perlakuan herbisida disajikan pada Tabel 8 berikut.

36

Tabel 8. Diameter Batang pada 4, 5, 6 mst (cm) Perlakuan Mean 4 mst Mean 5 mst Mean 6 mst Kontrol 17.1a 18.4a 20.1a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 17.4a 19.6a 22.0a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 17.0a 18.3a 20.9a Oxyfluorfen dosis 3L/ha 17.7a 19.4a 20.1a Paraquat dosis 1L/ha 20.0a 18.6a 21.5a Paraquat dosis 1,5L/ha 18.9a 19.4a 21.7a Paraquat dosis 2L/ha 19.3a 19.8a 21.7a Glifosat dosis 1L/ha 19.9a 22.5a 23.3a Glifosat dosis 2L/ha 20.9a 22.4a 22.6a Glifosat dosis 3L/ha 20.4a 22.5a 23.8a Total 18.90 20.11 21.80 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan dengan kontrol pada uji SNK taraf 5% Tabel 8 menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan dari hasil uji SNK tidak berbeda nyata demikian pula antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata. 3. Bobot berangkasan (kg) Hasil analisis varian bobot berangkasan dapat dilihat pada lampiran XX dan disajikan pada tabel 10 berikut. Tabel 9. Rerata bobot berangkasan tanaman (kg) Perlakuan Mean Kontrol 1.0a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 1.5a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 0.7a Oxyfluorfen dosis 3L/ha 1.1a Paraquat dosis 1L/ha 1.0a Paraquat dosis 1,5L/ha 1.0a Paraquat dosis 2L/ha 0.9a Glifosat dosis 1L/ha 0.7a Glifosat dosis 2L/ha 1.2a Glifosat dosis 3L/ha 1.2a Total 1.08 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan dengan kontrol pada uji SNK taraf 5%

37

Tabel 9 menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan dari hasil uji SNK tidak berbeda nyata demikian pula antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata pada parameter bobot berangkasan. C. Komponen Hasil 1. Panjang tongkol dengan kelobot per tanaman (cm) Hasil analisis varian panjang tongkol dengan kelobot dapat dilihat pada lampiran XXI dan disajikan pada tabel 10 berikut. Tabel 10. Panjang Tongkol dengan kelobot per tanaman (cm) Perlakuan Mean Kontrol 23.8a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 25.1a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 25.6a Oxyfluorfen dosis 3L/ha 24.6a Paraquat dosis 1L/ha 23.1a Paraquat dosis 1,5L/ha 23.8a Paraquat dosis 2L/ha 22.1a Glifosat dosis 1L/ha 23.8a Glifosat dosis 2L/ha 23.8a Glifosat dosis 3L/ha 24.0a Total 23.99 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan dengan kontrol pada uji SNK taraf 5% Tabel 10 menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan dari hasil uji SNK tidak berbeda nyata demikian pula antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata. 2. Diameter tongkol dengan kelobot per tanaman (cm) Hasil analisis diameter tongkol dengan kelobot per tanaman dapat dilihat pada lampiran XXII dan disajikan pada tabel 11 berikut.

38

Tabel 11. Diameter Tongkol dengan kelobot (cm) Perlakuan Mean Kontrol 43.4a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 43.8a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 39.4a Oxyfluorfen dosis 3L/ha 44.9a Paraquat dosis 1L/ha 42.4a Paraquat dosis 1,5L/ha 43.6a Paraquat dosis 2L/ha 45.2a Glifosat dosis 1L/ha 42.5a Glifosat dosis 2L/ha 44.4a Glifosat dosis 3L/ha 44.5a Total 43.4 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5% Tabel 11 menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan dari hasil uji SNK tidak berbeda nyata demikian pula antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata. . 3. Bobot tongkol dengan kelobot per tanaman (g) Hasil analisis varian bobot tongkol dengan kelobot per tanaman dapat dilihat pada lampiran XXIII dan disajikan pada tabel 12 berikut. Tabel 12. Bobot Tongkol dengan Kelobot (g) Perlakuan Mean Kontrol 198.0a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 251.3a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 202.9a Oxyfluorfen dosis 3L/ha 236.0a Paraquat dosis 1L/ha 274.6a Paraquat dosis 1,5L/ha 172.0a Paraquat dosis 2L/ha 182.3a Glifosat dosis 1L/ha 194.6a Glifosat dosis 2L/ha 223.3a Glifosat dosis 3L/ha 299.3a Total 223.46 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5%

39

Tabel 12 menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan dari hasil uji SNK tidak berbeda nyata demikian pula antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata.

4. Bobot ekonomis tongkol dengan kelobot per tanaman (g) Hasil analisis varian bobot ekonomis tongkol dengan kelobot dapat dilihat pada lampiran XXIV dan disajikan pada tabel 13 berikut. Tabel 13. Bobot Ekonomis Tongkol dengan kelobot per tanaman (g) Perlakuan Mean Kontrol 196.9a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 250.3a Oxyfluorfen dosis 2L/ha 202.2a Oxyfluorfen dosis 3L/ha 235.2a Paraquat dosis 1L/ha 273.8a Paraquat dosis 1,5L/ha 168.0a Paraquat dosis 2L/ha 181.1a Glifosat dosis 1L/ha 205.7a Glifosat dosis 2L/ha 219.0a Glifosat dosis 3L/ha 292.0a Total 222.46 Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5% Tabel 13 menunjukkan bahwa rerata antar perlakuan dari hasil uji SNK tidak berbeda nyata demikian pula antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata.

40

D. Komponen Kualitas Hasil 1. Kadar gula total (%) Hasil analisis kadar gula total dapat dilihat pada lampiran XXV dan disajikan pada tabel 14 berikut. Tabel 14. Persentase Gula Total (%) Perlakuan Mean Kontrol 6.59a Oxyfluorfen dosis 1L/ha 6.89b Oxyfluorfen dosis 2L/ha 6.87b Oxyfluorfen dosis 3L/ha 7.23d Paraquat dosis 1L/ha 7.37f Paraquat dosis 1,5L/ha 7.31e Paraquat dosis 2L/ha 7.62g Glifosat dosis 1L/ha 7.31e Glifosat dosis 2L/ha 7.32e Glifosat dosis 3L/ha 7.03c Total 7.15 Keterangan : rerata yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan ada beda nyata antar perlakuan pada uji SNK taraf 5% Tabel 14 menunjukkan bahwa perlakuan herbisida paraquat dosis 2 L/ha pada parameter persentase gula total paling tinggi jumlahnya dibanding dengan semua perlakuan dan kontrol.

41

V. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan 1. Komponen Gulma Berdasarkan hasil analisis vegetasi awal sebelum pengolahan lahan menunjukkan bahwa terdapat 11 spesies gulma. Gulma golongan tekian yaitu Cyperus compressus (NJD 32,35%) merupakan gulma dominan, hal ini

menunjukkan bahwa gulma tersebut merupakan gulma yang paling mampu bersaing dengan gulma lainnya pada lahan terbuka. Analisis vegetasi kedua pada 3 minggu setelah aplikasi (msa) herbisida menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah spesies gulma dari 11 spesies menjadi 13 spesies. Terjadi perubahan gulma dominan pada saat sebelum pengolahan lahan dengan setelah aplikasi herbisida pada semua petak perlakuan. Gulma yang dominan pada semua petak perlakuan adalah Cynodon dactylon. Perubahan gulma dominan dapat disebabkan karena biji-biji atau organ perkembang biakan gulma yang ada di dalam tanah tidak terkena percikan herbisida yang diaplikasikan pada petak perlakuan yang bersifat kontak yaitu mematikan bagian zat hijau daun sehingga hanya mematikan organ gulma yang tumbuh di atas tanah. Gulma Cynodon dactylon merupakan gulma jenis rumputan yang memiliki kemampuan regenerasi jaringan yang cepat sehingga bagian organ yang terkena herbisida yang telah rusak bisa digantikan jaringan baru. Gulma ini cukup tahan terhadap herbisida dengan penggunaan dosis herbisida yang tinggi gulma ini masih bisa tumbuh sedangkan gulma yang lain mengalami kematian

42

kerena herbisida. Selain itu, perkembangbiakan Cynodon dactylon tidak hanya menggunakan biji saja tetapi dengan menggunakan rimpang, sehingga rimpang yang ada d idalam tanah apabila tanah diolah akan bisa berada diatas dan bila kodisi lingkungan mendukung maka akan tumbuh dan berkembang biak. Analisis vegetasi umur 3 minggu setelah perlakuan herbisida pada petak perlakuan herbisida oxyfluorfen, gulma yang muncul ada 5 jenis dibandingkan dengan petak kontrol gulma yang muncul sebanyak 8 jenis. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan herbisida ini cukup dapat menekan

pertumbuhan gulma terutama pada awal pertumbuhan tanaman. Dapat dilihat bahwa gulma dominan pada petak perlakuan herbisida ini adalah gulma Cynodon dactylon. Penggunaan herbisida oksifluorfen ini kurang efektif untuk membunuh gulma ini pada dosis yang tinggi saja gulma ini masih bisa hidup. Pada petak perlakuan herbisida glifosat terlihat bahwa gulma dominan adalah Cynodon dactylon juga, hilangnya gulma berdaun lebar menunjukkan bahwa herbisida glifosat efektif membunuh gulma jenis ini. Sedangkan pada petak perlakuan herbisida parakuat ada beberapa jenis gulma berdaun lebar dan rumputan yang tidak muncul, hal ini disebabkan karena herbisida tersebut mampu membunuh gulma dalam jangka waktu 3 sampai 7 hari setelah penyemprotan. Hasil analisis vegetasi pada 6 minggu setelah perlakuan herbisida masih terjadi peningkatan gulma dari 11 spesies gulma pada saat sebelum pengolahan lahan menjadi 22 spesies gulma. Gulma dominan pada semua petak perlakuan

43

masih didominasi oleh gulma Cynodon dactylon tetapi pada petak kontrol gulma yang dominan adalah Cyperus rotundus dengan nilai NJD 17,07 %. Pada analisis vegetasi umur 6 minggu setelah aplikasi herbisida jumlah jenis gulma yang muncul mengalami peningkatan. Pada petak perlakuan herbisida glifosat dosis 3 L/ha gulma daun lebar tidak muncul lagi, pada petak ini jenis gulma menurun menjadi 4 jenis gulma yang muncul sedangkan pada petak control gulma yang muncul jenisnya banyak kurang lebih hanya 15 jenis gulma. Dengan ini dapat dilihat bahwa pengunaan herbisida glifosat dengan dosis 3 L/ha cukup efektif dalam menekan pertumbuhan gulma berdaun lebar tetapi tidak efektif untuk menekan jenis gulma Cynodon dactylon. Herbisida glifosat memberikan pengaruh baik karena merupakan herbisida sistemik yang mampu membunuh gulma secara menyeluruh. Pada parameter bobot kering gulma total pada 3 minggu setelah perlakuan herbisida tidak menunjukkan pengaruh yang nyata bobot kering gulma total sedangkan pada umur 6 minggu setelah perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan dosis herbisida juga tidak menunjukkan pengaruh nyata. Dengan hasil tersebut maka dapat dilihat bahwa perlakuan dosis herbisida oxyfluorfen, parakuat dan glifosat yang diaplikasikan kurang memiliki daya brantas yang tinggi terhadap penekanan gulma. Dosis ini terlalu kecil sehingga gulma masih bisa tumbuh pada periode yang kritis tanaman sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu karena terjadi persaingan antara gulma dengan tanaman jagung manis, yang menyebabkan pertumbuhan kurang optimal sehingga hasilnya juga kurang maksimal.

44

Dapat dilihat bahwa semakin tinggi dosis herbisida yang digunakan semakin menekan pertumbuhan gulma. Pada awal aplikasi herbisida di dalam tanah masih dalam jumlah yang cukup untuk mengendalikan gulma dan berkurang sejalan dengan makin lamanya waktu dari aplikasi. Karakteristik herbisida sangat mempengaruhi peristensi herbisida itu sendiri.

2. Komponen Pertumbuhan Penggunaan herbisida untuk persiapan lahan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan gulma. Apabila daya tekan herbisida terhadap gulma cukup baik, maka pengaruh tidak langsung herbisida yang digunakan terhadap pertumbuhan tanaman diharapkan juga akan baik. Dengan menghambat pertumbuhan gulma pada awal pertumbuhan akan menurunkan persaingan gulma pada tanaman jagung. Dengan berkurangnya persaingan antar tanaman dengan gulma maka dapat memberikan pertumbuhan yang baik terutama pada masa vegetatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada perlakuan macam herbisida menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap tinggi tanaman jagung manis pada 4 mst dan 5 mst, ini menunjukkan bahwa penggunaan ketiga macam herbisida mampu menekan pertumbuhan gulma sehingga tanaman jagung manis mampu tumbuh dengan baik. Pada pengamatan tinggi tanaman umur 6 mst menunjukkan bahwa ada beda nyata, penggunaan herbisida glifosat dosis 3 L/ha mampu memberikan tinggi tanaman tertinggi dibanding dengan penggunaan herbisida oxyfluorfen dosis 1-3 L/ha dan herbisida parakuat dosis 1,5-2 L/ha, ini dikarenakan herbisida glifosat

45

merupakan herbisida sistemik yang mampu membunuh gulma sampai ke akarakarnya sehingga pertumbuhan gulma tertekan, tidak mengganggu dan tidak membahayakan pertumbuhan jagung manis. Hasil analisis pada parameter pertumbuhan diameter batang pada 4 6 mst dan bobot berangkasan menunjukkan tidak ada beda nyata pada masingmasing perlakuan.

3. Komponen Hasil Hasil analisis panjang tongkol dengan kelobot per tanaman, diameter tongkol dengan kelobot, bobot tongkol dengan kelobot dan bobot ekonomis tongkol dengan kelobot menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan. Hal ini diduga bahwa penekanan kompetisi gulma hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif jagung manis namun tidak berpengaruh terhadap kuantitas hasil jagung manis. Pertumbuhan tanaman jagung yang optimal tidak menjamin memberikan hasil yang lebih tinggi, karena banyak faktor lingkungan tumbuh lainnya yang mempengaruhi. Menurut Gardner (1991), indeks hasil panen menunjukkan perbandingan distribusi hasil asimilasi antara biomassa ekonomi dengan biomassa keseluruhan atau sama saja dengan koefisien pembagian hasil asimilat. Pada jagung yang tongkolnya terletak di tengah batang, hampir seluruh asimilasi yang diproduksi berasal dari daun. Selama pengisian biji, daun-daun sebelah atas menyumbangkan sekitar 85% hasil asimilasi ke tongkol. Daun-daun sebelah bawah menyumbangkan hasil asimilasinya untuk pertumbuhan akar dan pemeliharaan batang dan daun serta

46

pertambahan berat tongkol. Translokasi ke tempat pemanfaatan hasil metabolism (akar, pucuk, buah yang sedang berkembang) itu sangat kompleks dan mekanisme atau daya penggerak yang mengarahkan atau mengatur pembagian ke tempat pemanfaatan hasil metabolisme itu tidak diketahui. Hasil panen yang tidak berbeda nyata antar perlakuan dapat diasumsikan bahwa perlakuan herbisida dapat dijadikan langkah pengendalian gulma untuk menggantikan kebiasaan petani dalam hal penyiangan gulma. Pengendalian gulma pertanaman jagung manis pada skala luas, akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan dengan pengendalian kimiawi menggunakan herbisida.

4. Komponen Kualitas Hasil Hasil analisis kadar gula total menunjukkan ada beda nyata antara perlakuan. Perlakuan herbisida parakuat dosis 2 l/ha menunjukkan persentase kadar gula total tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain maupun dengan kontrol, hal ini dimungkinkan karena perombakan karbohidrat menjadi glukosa mencapai tahap maksimum pada saat panen dibandingkan dengan kontrol. Tetapi dari hasil analisis kadar gula total ini masih dibawah standar dari deskripsi varietas jagung manis hibrida, hal ini dimungkinkan karena tingkat kesuburan tanah yang berbeda pada lahan penelitian, jenis tanah pada lahan tersebut yaitu tanah pasiran yang porous yang menyebabkan unsur hara atau pupuk yang diberikan dalam jumlah tertentu terlindi sehingga penyerapan unsur hara atau pupuk yang diberikan tidak maksimal.

47

B. Kesimpulan 1. Perlakuan herbisida pada sistem tanpa olah tanah memberikan pengaruh nyata antar kombinasi perlakuan pada parameter tinggi tanaman 6 mst dan persentase gula total. 2. Herbisida paraquat dosis 2 L/ha menunjukkan perlakuan paling baik pada parameter persentase gula total.

Saran Dari hasil penelitian ini, karena kontrol dengan semua kombinasi perlakuan pada parameter hasil tidak menunjukkan beda nyata, maka perlakuan herbisida pada sistem olah tanah dapat menjadi alternatif cara budidaya jagung manis.

48

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius. Yogyakarta. 140 hlm. Adi Sarwanto, T. dan E. Widiyastuti. 2000. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Anwar. 2002. Residu Herbisida Paraquat + Diuron pada Baby Corn. Akta Agro. Vol.5 No.1 hlm 35-40. Jan-Jun 2002. Ardjasa, W. S. Widyantoro, W. Hermawan and S. Asmono. 1994. Effect of No Tillage System wit Polaris Herbicide (Glyphosate-24%) on Lowland Rice Production in Irrigated Lowland Area. Conservation Tillage Discussion. 9 November 1994. Medan. Bangun, P. 1985. Pengendalian Gulma pada Tanaman Jagung. Dalam Subandi, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi. Hasil Penelitian Jagung, Sorgum, Terigu 1980-1984. Risalah Rapat Teknis Puslitbangtan, Bogor. Hal 83-97 Budiastuti, M.S., D. Suroto, dan S. Haryanti. 2001. Penggunaan Glifosat dan Macam Olah Tanah pada Pertanaman Jagung Manis. Konferensi Nasional XV HIGI di Surakarta 17-19 Juli 2001 : 417-422. Djafaruddin. 1995. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman (Umum). Bumi Aksara, Jakarta. Hardiastuti, S. dan S. Budi S. 2005. Persiapan Lahan Tanpa Olah Tanah dengan Menggunakan Herbisida Paraquat dan Sulfosat serta Cara Pengendalian Gulma pada Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt). Prosiding Konferensi Nasional XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005. Hal IV-31-35 Herbisida Handbook. 1983. Herbisida Handbook of The Weed Science Society of Amerika. Hal 359 361 Irawati, E. B., dan Hardiastuti, S. 2005. Penyiapan Lahan TOT dengan Menggunakan Macam Herbisida dan Waktu Pentiangan Gulma pada Tanaman Jagung (Zea mays L.) Hibrida. Prosiding Konferensi XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005. Hal VI-41-45 Ismail, I. G. Dan S. Effendi. 1993. Pertanaman Kedelai pada Lahan Kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbang Tanaman. Bogor. Kopytko, M., G. Chalela, and F. Zauscher. 2002. Biodegradation of Two Commercial Herbicides (Gramoxone & Matancha) by Bacteria

49

Pseudomonas putida. EJB Electronic Journal of Biotechnology. 5 : 182-192. http://www.ejb.org/content/vol5/issue2/full/1. 21 Jan 2010. Lamid, Z., Harnel, Adlis, dan W. Hermawan. 1998. Pengkajian TOT dengan Herbisida Glifosat pada Budidaya Jagung di Lahan Kering. Pros. Sem. Nas. Budidaya Pertanian OTK VI. Padang, 24-25 Maret 1998. Mawardi, D. 2005. Efikasi Herbisida Glifosat untuk Persiapan Budidaya Jagung Tanpa Olah Tanah. Jurnal Agrotropika X(2):79-84. Desember 2005. Merrington, G., L. Winder., R. Parkinson and M. Redman. 2002. Agricutural Polution : Environmental Problems and Practical Solutions. Metusala, D. 2006. Studi Waktu Aplikasi dan Dosis Herbisida Campuran Atrazine dan Mesotrione pada Pengendalian Gulma terhadap Hasil dan Kualitas Hasil Jagung (Zea mays). Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Fakultas Pertanian, Jurusan Agronomi. 100 hlm. Moenandir, J., Faizatul dan Titin Sumarni. 2001. Pengaruh Glifosat dan Populasi pada Gulma dan Jagung pada Sistem Olah Tanah Konsevasi. Pros. Konf XV HIGI, Surakarta Vol.2:391-145. Moore, R. E. 1998. About Paraquat. http://coffeehouse.fulori.com/paraquat.html. 21 Jan 2010. Muhajir, F. 1988. Karakteristik Tanaman Jagung. Dalam Subandi, Mahddin Syam dan Adi Widjono, 1988. Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Hal 33-48 Najiyati, S. dan Danarti. 1992. Palawija. Penebar Swadaya. Jakarta. 166 hlm. Nurjanah, U. 2002. Pergeseran Gulma dan Hasil Jagung Manis pada Tanpa Olah Tanah Akibat Dosis dan Waktu Pemberian Glyphosat. Akta Agrosia. 5(1): 1-7 Palungkun, R. dan A. Budiarti. 2000. Sweet Corn Baby Corn. Penebar Swadaya. Jakarta. 79 hlm. Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Jagung. Kanisius. Yogyakarta. 112 hal ------------, R. dan Saputra. 1999. Gulma dan Teknik Pengendalian. Kanisius. Yogyakarta, 88 hal Saragih, S. E., Rory Susanto dan Z. Lamid. 2000. Herbisida sebagai Komponen dalam Mendukung Keberhasilan Budidaya Tanah Konservasi. Prosiding

50

Seminar Nasional Budidaya Pertanian OTK VII F-OTK-HIGI, 23-24 Agustus 2000. Banjarmasin. Hal 25-34/ Sasmita, ER., Hardiastuti, S. Yuliani, U. 2005. Penggunaan Herbisida Paraquat pada Budidaya Jagung Sistem Tanpa Olah Tanah. Prosiding Konferensi Nasional XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005. Hal VI-46-49 Sasongko, D. 1998. Kajian Herbisida Atrazine dan Diuron di Beberapa Jenis Tanah Pertanaman Tebu Lahan Kering. Disertasi Doktor (S3). Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan) Sastroutomo. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia. Jakarta. 217 hal. ----------------. 1992. Pestisida, Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya. Cetakan Pertama. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sebayang, H. T., S. Y. Tyasmoro dan D. E. Pujiyanti. 2002. Pengaruh Waktu Aplikasi Herbisida Glifosat dan Pengendalian Gulma Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Sistem Tanpa Olah Tanah. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Tanah Konservasi. Hal 1-4. Setiawan, A. N. 2005. Penekanan Populasi Gulma pada Jagung Manis dengan Sistem Olah Tanah Konservasi. Prosiding Konferensi Nasional XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005. Hal VI-15-24. Setyowati, N., U. Nurjanah dan A. Altubagus. 2005. Pergeseran Gulma pada Budidaya Jagung Manis yang Ditanam pada Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) di Lahan Alang-alang. Prosiding Konferensi Nasional XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005. Hal IV-57-66 Sriyani, N., Z. Lamid., Harnel, dan R. Sutanto. 2001. Penggunaan Herbisida Sulfosat 24% untuk Penyiapan Lahan Tanaman padi Gogo Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Hlm. 504-514. Prosiding Konferensi Nasional XV HIGI, Surakarta 17-19 Juli 2001. Subandi, M. Syam, dan A. Widjono. 1988. Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 422 hlm. Subekti, N. A., Syafruddin, R. Efendi, dan S. Sunarti. 2002. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Sukman, Yernelis dan Yakup 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suprapto, H. S. 1990. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta. 59 hlm.

51

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta. 219 hal. Syawal, Y. 2005. Pengaruh Penyiangan Gulma pada Periode Kritis Tanaman dan Tingkat Pemupukan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.). Prosiding konferensi Nasional XVII HIGI, Yogyakarta 20-21 Juli 2005. Hal III-18-25 Tjitrosoedirdjo, S., I. N. Utomo dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Gramedia, Jakarta. 210 hal. Triharso. 1996. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 34 Utomo, M. 2000. Teknologi Olah Tanah Konservasi sebagai Pilar Pertanian Berkelanjutan. Pemberdayaan Petani, Sebuah Agenda Penguatan Masyarakat Warga. DPP HKTI. Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta. 81 hlm. www.mitra.net.id/family/garden/sayuran.htm.edit 27 april 2010 Yuliani, U. 2005. Pengaruh Waktu Pemberian Herbisida Paraquat terhadap Penekanan Gulma dan Hasil Tiga Varietas Jagung pada Sistem T.O.T. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Zimdahl, R.L. 1980. Weed crop Competition. I.P.P.C. Oregon, USA. 18 p.

56

Lampiran I. Denah Percobaan

IIIIII M1D1 M2D2 M3D3

M2D1

M1D3

Kontrol

M2D3

M3D1

M1D2 Keterangan:

Kontrol

M1D2

M2D1

M1D1 = herbisida oxyfluorfen dosis 1 l/ha


M3D2 M2D1 M1D1

M1D2 = herbisida oxyfluorfen dosis 2 l/ha M1D3 = herbisida oxyfluorfen dosis 3 l/ha M2D1 = herbisida parakuat dosis 1 l/ha M2D2 = herbisida parakuat dosis 1,5 l/ha M2D3 = herbisida parakuat dosis 2 l/ha

M1D3

M3D3

M2D3

M3D1

M3D2

M2D2

M1D2

Kontrol

M3D2

M2D2

M1D1

M3D1

M3D1 = herbisida glifosat dosis 1 l/ha


M3D3 M2D3 M1D3

M3D2 = herbisida glifosat dosis 2 l/ha M3D3 = herbisida glifosat dosis 3 l/ha Kontrol = tanpa herbisida

57

Lampiran II. Tata Letak Tanaman dalam Satu Petak Percobaan 2,5 m

3 4,2 m

3minggu 6minggu

6
a a a a a a a a a

58

Keterangan : = Petak percobaan

= Petak sampel

= Petak gulma

= Tanaman sampel

59

Lampiran III. Deskripsi Jagung Manis Hibrida

Deskripsi Benih Jagung Hibrida

Pertumbuhan tanamannya tegap dan kuat. Kemampuan adaptasinya luas, baik tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Varietas ini sangat sesuai untuk dikembangkan di daerah beriklim tropis. Ketahanan terhadap karat daun sangat baik. Memiliki tinggi tanaman 2 m. Ukuran tongkolnya besar, dengan panjang 22 cm dan diameternya 5-6 cm. Bijinya berwarna kuning keputihan dan rasanya manis. Waktu keluar bunga jantan 40 hst dan bunga betina 44 hst. Kadar gula yang dimiliki varietas ini sebesar 10%. Hasil per hektarnya sebesar 10,5 ton/ha tanpa kelobot. Siap untuk dikonsumsi sebagai jagung manis mulai umur 70 hari setelah tanam.

Sumber : SK MENTERI No. 45/Kpts/TP.240/2/2000

60

Lampiran IV. Cara Kerja Analisis gula Total (Metode Nelson-Somogy Spektrofotometri) Penentuan Gula Total : Menimbang bahan padat yang sudah dihaluskan atau bahan cair sebanyak 2,5-25 g tergantung kadar gula totalnya, dan memindahkan ke dalam labu takar 100 ml, menambahkan 50 ml aquades. Menambahkan bubur Al(OH)3, atau larutan Pb-asetat. Penambahan bahan penjernih ini diberikan tetes demi tetes sampai penetesan dari reagensia tidak menimbulkan pengeruhan lagi. Kemudian menambahkan aquades sampai tanda dan menyaring. Menampung filtrate dalam labu takar 200 ml. Untuk menghilangkan kelebihan Pb menambahkan Na2CO3, anhidrat atau K atau Na-oksalatan hidrat atau larutan Na-fosfat 8% secukupnya, kemudian menambahkan aquades sampai batas, kemudian menggojog dan menyaring. Filtrat bebas Pb bila ditambah K atau Na oksalat atau Na-fosfat atau Na2CO3 tetap jernih. Mengambil 50 ml filtrate bebas Pb dari larutan, memasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian menambahkan 25 ml aquades dan 10 ml HCl 30% (berat jenis 1,15). Memanaskan di atas penangas air pada suhu 67-700C selama 10 menit. Kemudian mendinginkan cepat-cepat sampai suhu 200C. menetralkan dengan NaOH 45%.

61

Lampiran V. Cara Kerja Analisis Pati (Metode Nelson-Somogy Spektrofotometri) Penentuan Pati : Menimbang 2-5 g contoh yang berupa bahan padat yang telah dihaluskan atau bahan cair dalam gelas piala 250 ml, menambahkan aquades 50 ml dan mengaduk selama 1 jam. Menyaring suspense dengan kertas saring dan mencucinya dengan aquades sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang larut dan dibuang. Untuk bahan yang mengandung lemak, maka mencuci pati yang terdapat sebagai residu pada kertas saring sebanyak 5 kali dengan 50 ml ether, membiarkan ether menguap dari residu, kemudian mencuci lagi dengan 150 ml alcohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Memindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam Erlenmeyer dengan pencucian 200 ml aquades dan menambahkan 20 ml HCl 25 % (bera tjenis 1,125), kemudian menutup dengan pendingin balik dan memanaskan di atas penangas air selama 2,5 jam. Setelah dingin menetralkan dengan larutan NaOH 45% dan mengencerkan sampai volume 500 ml, kemudian menyaring. Menentukan kadar gula yang dinyatakan sebagai glukosa dari filtrat yang diperoleh. Penentuan glukosa seperti pada penentuan gula total. Berat glukosa dikalikan 0,9 merupakan berat pati.

62

Lampiran VI. Dosis Herbisida dan Pupuk Perhitungan Herbisida Luas 1 ha = 10.000 m2 Luas petak percobaan = 4 m x 2 m = 8 m2 Volume semprot = 400 l/ha = 400.000 ml/10.000 m2 Volume semprot per petak = 8 m2/10.000 m2 x 400.000 ml = 320 ml Dosis herbisida 1 l/ha Dosis per petak = 8 m2/10.000 m2 x 1000 ml = 0,8 ml Volume air yang digunakan per petak = volume semprot per petak dosis herbisida = 320 ml 0,8 ml = 319,2 ml

Dosis herbisida 1,5 l/ha Dosis per petak = 8 m2/10.000 m2 x 1500 ml = 1,2 ml Volume air yang digunakan per petak = volume semprot per petak dosis herbisida = 320 ml 1,2 ml = 318,8 ml

Dosis herbisida 2 l/ha Dosis per petak = 8 m2/10.000 m2 x 2000 ml = 1,6 ml Volume air yang digunakan per petak = volume semprot per petak dosis herbisida = 320 ml 1,6 ml = 318,4 ml

63

Dosis herbisida 3 l/ha Dosis per petak = 8 m2/10.000 m2 x 3000 ml = 2,4 ml Volume air yang digunakan per petak = volume semprot per petak dosis herbisida = 320 ml 2,4 ml = 317, 6 ml

PerhitunganPupuk Dosis pupuk Urea Dosis per petak = 8 m2/10.000 m2 x 450.000 g = 360 g/petak Dosis per tanaman = 360 g/60 tanaman = 6 g/tanaman Dosis pupuk SP36 Dosis per petak = 8 m2/10.000 m2 x 200.000 g = 160 g/petak Dosis per tanaman = 160 g/60 tanaman = 2,67 g/tanaman Dosis pupukKCl Dosis per petak = 8 m2/10.000 m2 x 200.000 g = 160 g/petak Dosis per tanaman = 160 g/60 tanaman = 2,67 g/tanaman

64

Lampiran VII. Langkah-langkah kalibrasi Kalibrasi K = 10.000 x C / L x V Keterangan : C = Curah nozzle sprayer (liter/menit) L = Lebar gawang/lebar semprotan (m) K = Kecepatan jalan (meter/menit) V = Volume semprot (l/ha)

C1 = 1,20 l/menit C2 = 1,12 l/menit C3 = 1,32 l/menit Maka C = 1,20 + 1,12 + 1,32 / 3 = 1,21 liter/menit

L1 = 2,30 m L2 = 2,21 m L3 = 2,43 m Maka L = 2,30 + 2,21 + 2,43 / 3 = 2,31 meter

K = 10.000 x 1,21 l/menit / 2,31 m x 400 l = 13,09 m/menit Kurang lebih kecepatan berjalan adalah 13 meter/menit atau 1 m/4,6 detik

Anda mungkin juga menyukai