Anda di halaman 1dari 15

2.

Command discipline
Disiplin ini tumbuh bukan dari perasaan ikhlas, akan tetapi timbul karena adanya
paksaan/ancaman orang lain
Dalam setiap organisasi, yang diinginkan pastilah jenis disiplin yang pertama,
yaitu datang karena kesadaran dan keinsyafan. Akan tetapi kenyataan selalu
menunjukkan bahwa disiplin itu lebih banyak di sebabkan oleh adanya semacam
paksaan dari luar. Disiplin mengacu pada pola tingkah laku dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
Adanya hasrat yang kuat untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah
menjadi norma, etika, kaidah yang berlaku.
2.
Adanya perilaku yang terkendali.
3.
Adanya ketaatan.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya disiplin kerja seorang pegawai/karyawan
dapat dilihat dari:
1.
Kepatuhan karyawan/pegawai terhadap peraturan yang berlaku, termasuk tepat
waktu dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya.
2.
Bekerja sesuai prosedur yang ada.
3.
Pemeliharaan sarana dan perlengkapan kantor dengan baik.
2.1.3. Tipe-tipe Disiplin Kerja
Menurut Handoko (2001) pembentukan disiplin kerja dapat dilakukan dengan
2 (dua) tipe, yaitu:
Universitas
Sumatera
Utara
1.
Disiplin preventif (
preventive discipline
)
Merupakan tindakan yang diambil untuk mendorong para pekerja mengikuti atau
mematuhi norma-norma dan aturan-aturan sehingga penyelewengan-
penyelewengan tidak terjadi.
2.
Disiplin korektif (
corrective discipline
)
Merupakan suatu kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap
aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih
lanjut.
2.1.4. Prinsip-prinsip Pendisiplinan
Dengan adanya tata tertib yang ditetapkan, dengan tidak sendirinya para
pegawai akan mematuhinya, maka perlu bagi pihak organisasi mengkondisikan
karyawannya dengan tata tertib kantor. Untuk mengkondisikan pegawai agar bersikap
disiplin, maka dikemukakan prinsip pendisiplinan sebagai berikut:
1. Pendisiplinan dilakukan secara pribadi
Pendisiplinan ini dilakukan dengan menghindari menegur kesalahan dihadapan
orang banyak, karena bila hal tersebut dilakukan menyebabkan karyawan yang
bersangkutan malu dan tidak menutup kemungkinan akan sakit hati.
2.
Pendisiplinan yang bersifat membangun
Selain menunjukkan kesalahan yang dilakukan karyawan, haruslah disertai dengan
memberi petunjuk penyelesaiannya, sehingga karyawan tidak merasa bingung
dalam menghadapi kesalahan yang dilakukan.
Universitas
Sumatera
Utara
3.
Keadilan dalam pendisiplinan
Dalam melakukan tindakan pendisiplinan, hendaknya dilakukan secara adil tanpa
pilih kasih serta tidak membeda-bedakan antar karyawan.
4.
Pendisiplinan dilakukan pada waktu karyawan tidak absen.
Pimpinan hendaknya melakukan pendisiplinan ketika karyawan yang melakukan
kesalahan hadir, sehingga secara pribadi ia mengetahui kesalahannya.
5.
Setelah pendisiplinan hendaknya dapat bersikap wajar
Hal itu dilakukan agar proses kerja dapat berjalan lancar seperti biasa dan tidak
kaku dalam bersikap.
Adapun disiplin kerja dipengaruhi oleh faktor yang sekaligus sebagai
indikator dari disiplin kerja oleh Soejono (2000), yaitu:
1.
Ketepatan waktu, para pegawai datang ke kantor tepat waktu, tertib dan teratur,
dengan begitu dapat dikatakan disiplin kerja baik.
2.
Menggunakan peralatan kantor dengan baik, sikap hati-hati dalam menggunakan
peralatan kantor, dapat menunjukkan bahwa seseorang memiliki disiplin kerja
yang baik, sehingga peralatan kantor dapat terhindar dari kerusakan.
3.
Tanggung jawab yang tinggi, pegawai yang senantiasa menyelesaikan tugas yang
dibebankan kepadanya sesuai dengan prosedur dan bertanggung jawab atas hasil
kerja, dapat pula dikatakan memiliki disiplin kerja yang baik.
4.
Ketaatan terhadap aturan kantor.
Universitas
Sumatera
Utara
5.
Pegawai memakai seragam kantor, menggunakan kartu tanda pengenal identitas,
membuat ijin bila tidak masuk kantor, juga merupakan cerminan dari disiplin yang
tinggi.
2.1.5. Pengertian Motivasi Kerja
Motif seringkali diistilahkan sebagai dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut
merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Sehingga motif tersebut merupakan
driving force
yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam
perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. As

ad
dalam
Hasibuan (2003). Motivasi
secara sederhana dapat diartikan

Motivating

yang secara implisit berarti bahwa


pimpinan suatu organisasi berada di tengah-tengah bawahannya, dengan demikian
dapat memberikan bimbingan, instruksi, nasehat dan koreksi jika diperlukan
(Sinungan, 2000). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa motivasi adalah
keinginan yang terdapat pada seorang individu yang merangsang untuk melakukan
tindakan oleh Winardi (2000). Motivasi adalah dorongan yang ada dalam diri
manusia yang menyebabkan ia melakukan sesuatu.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan
dorongan/daya yang timbul dari diri, tanpa ada paksaan dari siapapun untuk
melakukan suatu pekerjaan. Telah lama diketahui bahwa manusia adalah makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial ia membutuhkan rasa sayang, pengakuan keberadaan,
rasa ingin memiliki berbagai kebutuhan tersebut, manusia bekerja dan berusaha
dengan sekuat tenaga untuk memenuhi keinginan itu.
Universitas
Sumatera
Utara
2.1.6. Teori Motivasi Kerja
Ada beberapa teori motivasi yang dikembangkan oleh pakar ilmu perilaku
administrasi yang menurut Gibson
et al.
(1997) secara umum mengacu pada dua
kategori, yaitu:
1.
Teori kepuasan (
Content Theory
), yang memusatkan perhatian kepada faktor
dalam diri orang yang menguatkan (
energize
), mengarahkan (
direct
), mendukung
(
sustain
) dan menghentikan (
stop
) perilaku petugas.
2.
Teori proses (
Process Theory
) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku
itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.
Lebih lanjut Gibson
et al
(1997) mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut:
1. Teori Kepuasan terdiri dari:
A.
Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow
Setiap manusia mempunyai
needs
(kebutuhan, dorongan,
intrinsic
dan
extrinsic factor
), yang pemunculannya sangat tergantung dari kepentingan individu.
Dengan kenyataan ini, kemudian Maslow (1980) membuat

needs hierarchy theory

untuk menjawab tentang tingkatan kebutuhan manusia tersebut. Kebutuhan manusia


diklasifikasi menjadi lima hierarki kebutuhan yaitu:
a.
Kebutuhan Fisiologis (
Physiological Needs
). Perwujudan dari kebutuhan fisiologis
adalah kebutuhan pokok manusia yaitu sandang, pangan, papan, dan kesejahteraan
individu. Kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan yang paling mendasar,
karena tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut, seseorang tidak dapat dikatakan
hidup normal. Meningkatnya kemampuan seseorang cenderung mereka berusaha
Universitas
Sumatera
Utara
meningkatkan pemuas kebutuhan dengan pergeseran dari kuntitatif ke kualitatif.
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang amat primer, karena kebutuhan ini telah
ada dan terasa sejak manusia dilahirkan. Misalnya dalam hal sandang. Apabila
tingkat kemampuan seseorang masih rendah, kebutuhan akan sandang akan
dipuaskan sekedarnya saja. Jumlahnya terbatas dan mutunya pun belum mendapat
perhatian utama karena kemampuan untuk itu memang masih terbatas. Akan tetapi
bila kemampuan seseorang meningkat, pemuas akan kebutuhan sandang pun akan
ditingkatkan, baik sisi jumlah maupun mutunya. Demikian pula dengan pangan.
Seseorang yang ekonominya masih rendah, kebutuhan pangan biasanya masih
sangat sederhana. Akan tetapi jika kemampuan ekonominya meningkat, maka
pemuas kebutuhan akan panganpun akan meningkat. Hal serupa dengan kebutuhan
akan papan/perumahan. Kemampuan ekonomi seseorang akan mendorongnya
untuk memikirkan pemuas kebutuhan perumahan dengan pendekatan kuantitatif
dan kualitatif sekaligus.
b.
Kebutuhan rasa aman (
Safety Needs
). Kebutuhan keamanan harus dilihat dalam
arti luas, tidak hanya diartikan dalam arti keamanan fisik semata, tetapi juga
keamanan psikologis dan perlakuan yang adil dalam pekerjaan. Karena pemuas
kebutuhan ini terutama dikaitkan dengan kekaryaan seseorang, artinya keamanan
dalam arti fisik termasuk keamanan seseorang didaerah tempat tinggal, dalam
perjalanan menuju ke tempat bekerja, dan keamanan di tempat kerja.
c.
Kebutuhan Sosial (
Social Needs
). Manusia pada hakikatnya adalah makhluk
sosial, tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan pasti memerlukan bantuan
Universitas
Sumatera
Utara
orang lain, sehingga mereka harus berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan
tersebut. Kebutuhan sosial tercermin dalam empat bentuk perasaan, yaitu:
1)
Kebutuhan akan perasaaan diterima orang lain dengan siapa ia bergaul dan
berinteraksi dalam organisasi dan demikian ia memiliki
sense of belonging
yang tinggi.
2)
Harus diterima sebagai kenyataan bahwa setiap orang mempunyai jati diri
yang khas dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan jati dirinya
itu, setiap manusia merasa dirinya penting, artinya ia memiliki
sense of
importance
.
3)
Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak akan gagal sering disebut
sense of
accomplishment
. Tidak ada orang yang merasa senang apabila ia menemui
kegagalan, sebaliknya, ia senang apabila ia menemui keberhasilan.
Kebutuhan akan perasaan diikutsertakan (
sense of participation
). Kebutuhan
ini sangat terasa dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan
tugas sendiri. Sudah barang tentu bentuk dari partisipasi itu dapat beraneka
ragam seperti dikonsultasikan, diminta memberikan informasi, didorong
memberikan saran.
d.
Kebutuhan akan harga diri (
Esteem Needs
). Semua orang memerlukan pengakuan
atas keberadaan statusnya oleh orang lain. Situasi yang ideal adalah apabila
prestise itu timbul akan menjadikan prestasi seseorang. Akan tetapi tidak selalu
demikian, karena dalam hal ini semakin tinggi kedudukan seseorang, maka akan
semakin banyak hal yang digunakan sebagai simbol statusnya itu. Dalam
Universitas
Sumatera
Utara
kehidupan organisasi banyak fasilitas yang diperoleh seseorang dari organisasi
untuk menunjukkan kedudukan statusnya dalam organisasi. Pengalaman
menunjukkan bahwa baik di masyarakat yang masih tradisional maupun
di lingkungan masyarakat yang sudah maju, simbol-simbol status tersebut tetap
mempunyai makna penting dalam kehidupan berorganisasi.
e.
Aktualisasi diri (
Self Actualization
). Hal ini dapat diartikan bahwa dalam diri
seseorang terdapat kemampuan yang perlu dikembangkan, sehingga dapat
memberikan sumbangsih yang besar terhadap kepentingan organisasi. Melalui
kemampuan kerja yang semakin meningkat akan semakin mampu memuaskan
mengembangkan diri serta berbuat yang lebih baik.
B.
Teori Dua Faktor dari Herzberg
Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan
pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg
memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi
karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow,
khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan, Kedua,
kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker
and
Hall
dalam
Timpe, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat
dari berbagai industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut
teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor
pemuas (
motivation factor
) yang disebut juga dengan
satisfier
atau
instrinsic
Universitas
Sumatera
Utara
motivation
dan faktor kesehatan (
hygienes)
yang juga disebut
disatisfier
atau
extrinsic
motivation
. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan
termotivasi yaitu
factor intrinsic
yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri
masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar
diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.
Jadi petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang
memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat
otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan di sini tidak
terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka
yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang
diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan
hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Siagian, 2003).
Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai
untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan
dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan,
faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor
intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang
lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih
memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih
rendah (Leidecker dan Hall
dalam
Timpe, 2002).
Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor
motivasi dan ini mendapat kritikan dari para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali
Universitas
Sumatera
Utara
dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari
pekerjaan itu, tetapi kerena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Penelitian oleh Schwab, De Vitt dan Cuming tahun 1971 telah membuktikan bahwa
faktor ekstrinsik pun dapat berpengaruh dalam memotivasi performa tinggi (Grensing
dalam
Timpe, 2002).
C.
Teori ERG (
Existence, Relatedness, Growth
) dari Alderfer
Menurut teori ERG Dari Clayton Alderfer ini ada 3 (tiga) kebutuhan pokok
manusia yaitu: a)
Existence
(eksistensi); kebutuhan akan pemberian
Relatedness
persyaratan keberadaan materil dasar kita (kebutuhan psikologis dan keamanan).
b)
Relatedness
(keterhubungan); Hasrat yang kita miliki untuk memelihara hubungan
antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan), c)
Growth
(pertumbuhan); Hasrat
kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).
D.
Teori Kebutuhan
dari McClelland
Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini
berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut
McClelland
dalam
Hasibuan (2003) adalah: a) kebutuhan akan prestasi (
need for
achievement
= n Ach. b) kebutuhan akan kekuasaan (
need for power
= n Pow).
c) kebutuhan akan afiliasi (
need for affiliation
= n Af). a) kebutuhan akan prestasi (n
Ach). Kebutuhan akan prestasi (n Ach) merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat bekerja seseorang. Karena n Ach akan mendorong seseorang untuk
mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang
dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang maksimal. Seseorang menyadari
Universitas
Sumatera
Utara
bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh
pendapatan yang besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b) kebutuhan akan kekuasaan (n Pow). Kebutuhan akan kekuasaan (n Pow)
merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. n Pow akan
merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua
kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Seseorang
dengan n Pow tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa mengendalikan orang
yang ada di sekitarnya. c) kebutuhan akan Afiliasi (n Af). Kebutuhan akan Afiliasi (n
Af) menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena n
Af ini akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan
perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal,
dan perasaan ikut serta.
2. Teori Proses terdiri dari:
A.
Teori Harapan (
Expectancy Theory
)
Pencetus pertama dari teori dari harapan ini adalah
Vic
tor H. Vroom
dan
merupakan teori motivasi kerja yang relatif baru. Teori ini berpendapat bahwa orang-
orang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu
jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan
besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya
suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi
perangsang seseorang dalam bekerja giat.
Universitas
Sumatera
Utara
B.
Teori Pembentukan Perilaku (
Operant Conditioning
)
Teori ini berasumsi bahwa perilaku pegawai dapat dibentuk dan diarahkan
kearah aktivitas pencapaian tujuan. Teori pembentukan perilaku sering disebut
dengan istilah-istilah lain seperti:
behavioral modification, positive reinforcement dan
skinerian conditioning.
Pendekatan pembentukan perilaku ini didasarkan atas hukum pengaruh (
law
of effect
) yaitu perilaku yang diikuti konsekuensi pemuasan sering diulang sedangkan
perilaku konsekuensi hukuman tidak diulang. Perilaku pegawai di masa yang akan
datang dapat diperkiraan dan dipelajari, berdasarkan pengalaman di masa lalu.
Menurut teori pembentukan perilaku, perilaku pegawai dipengaruhi kejadian-
kejadian atau situasi masa lalu. Apabila konsekuensi perilaku tersebut positif, maka
pegawai akan memberikan tanggapan yang sama terhadap situasi lama, tetapi apabila
konsekuensi itu tidak menyenangkan, maka pegawai cenderung mengubah
perilakunya untuk menghindar dari konsekuensi tersebut.
C.
Teori Keadilan (
Equity Theory
)
Teori motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai akan termotivasi
untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, apabila ia diperlakukan secara adil dalam
pekerjaannya.

Keadilan adalah suatu keadilan yang muncul dalam pikiran seseorang


jika ia merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan adalah seimbang dengan rasio
seseorang yang dibandingkan

(Davis, 2004).
Ketidakadilan akan ditanggapi dengan bermacam-macam perilaku yang
menyimpang dari aktivitas pencapaian tujuan seperti menurunkan prestasi, mogok,
Universitas
Sumatera
Utara
malas dan sebagainya. Inti dari teori ini adalah pegawai membandingkan usaha
mereka terhadap imbalan yang diterima pegawai lainnya dalam situasi kerja yang
relatif sama. Selain itu juga membandingkan imbalan dengan pengorbanan yang
diberikan. Apabila mereka telah mendapatkan keadilan dalam bekerja, maka mereka
termotivasi untuk meningkatkan produtivitas kerjanya.
Berdasarkan pembahasan tentang berbagai teori motivasi dan kebutuhan-
kebutuhan yang mendorong manusia melakukan tingkah laku dan pekerjaan, maka
dapat disimpulkan bahwa motivasi petugas pemasyarakatan adalah keseluruhan daya
penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri
yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas
dalam menjalankan tugas sebagai petugas pemasyarakatan untuk mencapai tujuan.
2.1.7. Metode-metode Motivasi
Menurut Hasibuan (2003) terdapat dua metode dalam motivasi, metode
tersebut adalah metode langsung dan metode tidak langsung. Kedua metode motivasi
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Metode langsung, merupakan motivasi materil atau non materil yang diberikan
secara langsung kepada seseorang untuk pemenuhan kebutuhan dan
kepuasannya. Motivasi ini dapat diwujudkan misalnya dengan memberikan
pujian, penghargaan, bonus dan piagam.
2.
Metode tidak langsung, merupakan motivasi yang berupa fasilitas dengan
maksud untuk mendukung serta menunjang gairah kerja dan kelancaran tugas.
Universitas
Sumatera
Utara
Contohnya adalah dengan pemberian ruangan kerja yang nyaman, penciptaan
suasana dan kondisi kerja yang baik.
2.1.8. Asas-asas Motivasi
1.
Asas mengikutsertakan, artinya mengajak bawahan untuk ikut serta dalam
berpartisipasi dan memberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat sebagai
rekomendasi dalam pengambilan keputusan.
2.
Asas komunikasi, artinya mengiformasikan secara jelas tentang tujuan yang
ingin dicapai, cara mengerjakannya dan kendala yang dihadapi.
3.
Asas pengakuan, artinya memberikan penghargaan, pujian dan pengakuan yang
tepat serta wajar kepada bawahan atas prestasi kerja yang dicapainya.
4.
Asas wewenang yang didelegasikan, artinya memberikan kewenangan dan
kepercayaan diri kepada bawahan, bahwa dengan kemampuan dan kreativitasnya
mampu mengerjakan tugas dengan baik.
5.
Asas adil dan layak, artinya alat dan jenis motivasi yang diberikan harus
berdasarkan atas keadilan dan kelayakan terhadap semua pegawai. Misalnya
pemberian hadiah dan hukuman terhadap semua pegawai harus adil dan layak
bila masalahnya sama.
6.
Asas perhatian timbal balik, artinya bawahan yang berhasil mencapai tujuan
dengan baik maka pimpinan harus bersedia memberikan alat dan jenis motivasi.
Tegasnya kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak oleh
Hasibuan (2003).
Universitas
Sumatera
Utara
2.1.9. Teori Prestasi Kerja
Setiap organisasi baik swasta maupun pemerintah, selalu berupaya agar
pegawai yang terlibat dalam kegiatan organisasi dapat memberikan prestasi kerja
setinggi mungkin untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Adapun menurut
Hidayat dan Sucherly (2000), bahwa prestasi kerja aparat pemerintah pada hakikatnya
merupakan hasil kerja sektor pemerintah yang berupa jasa pelayanan terhadap
masyarakat dan terdiri dari banyak ragam serta sulit untuk dikuantifikasikan serta
dinilai dengan harga. Untuk mengukur karya dan prestasi aparat pemerintah maka
pendekatan yang sering dipakai adalah memperbandingkan realisasi kegiatan pegawai
dan target tujuan yang ingin dicapai organisasi.
Prestasi kerja sering digunakan dalam organisasi bisnis pada khususnya dan
perencanaan pengembangan ekonomi nasional pada umumnya. Bahkan pada saat ini
organisasi publik yang memandang bahwa prestasi kerja pegawai merupakan pangkal
tolak dari tercapainya produktivitas organisasi.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas organisasi tersebut, ternyata faktor
prestasi kerja merupakan bagian yang terpenting. Seperti yang dikemukakan oleh
Musanef (2002), bahwa prestasi kerja pada dasarnya merupakan:
a.
Kecakapan di bidang tugas,
b.
Keterampilan melaksanakan tugas,
c.
Pengalaman di bidang tugas,
d.
Bersungguh-sungguh melaksanakan tugas,
e.
Kesegaran, kesehatan jasmani, dan rohani,
Universitas
Sumatera
Utara
f.
Melaksanakan tugas serta berdaya guna dan berhasil guna,
g.
Hasil kerja melebihi yang ditentukan.
Komponen-komponen yang disebutkan oleh Musanef di atas ternyata sama
dengan komponen-komponen yang dinilai pada prestasi Pegawai Negeri Sipil
menurut Surat Edaran BAKN tanggal 11 Pebruari 1980 No. 02/SE/1980 tentang
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Di dalam Surat Edaran
tersebut didefinisikan bahwa prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh
seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan
kepadanya. Dan prestasi kerja seorang Pegawai Negeri Sipil dipengaruhi oleh
kecakapan, kemampuan dan pengalaman serta sikap kesungguhan Pegawai Negeri
Sipil.
Menurut Hasibuan (2003), disebutkan bahwa apabila prestasi kerja karyawan
setelah rnengikuti pengembangan, baik kualitas maupun kuantitas kerjanya
meningkat maka berarti metode pengembangan yang diterapkan cukup baik. Tetapi
jika prestasi kerjanya tetap berarti metode pengembangan kurang, jadi perlu diadakan
perbaikannya. Pengembangan di sini adalah suatu usaha untuk meningkatkan
kemampuan teknis, teoritis, konsep dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan/jabatan melalui pendidikan dan latihan.
Pengertian prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, didasarkan atas
kecakapan, usaha dan kesempatan. Prestasi kerja ini adalah gabungan dari tiga faktor
penting yaitu kemampuan dan minat seseorang pekerja, kemampuan dan penerimaan
Universitas
Sumatera
Utara
atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi seorang pekerja.
Semakin tinggi ketiga faktor di atas, maka semakin besarlah prestasi kerja karyawan
yang bersangkutan.
Di pihak lain, Dharma (2003) melihat penilaian prestasi kerja seorang
pegawai dapat dipergunakan sebagai:
(1) Untuk mengukur tanggung jawab seseorang, dan
(2) Sebagai dasar bagi peningkatan dan pengembangan para pegawai secara pribadi.
Pandangan Dharma ini pada dasarnya dilandasi pemikiran bahwa upaya
peningkatan prestasi juga harus diikuti dengan upaya yang transparan (diketahui oleh
seluruh anggota organisasi) untuk memberikan peran bagi pegawai yang prestasinya
tinggi.
Mathis dan Jakson (2002) menyatakan bahwa prestasi kerja pada dasarnya
adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Prestasi kerja karyawan
adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada
organisasi yang antara lain termasuk: 1. Kuantitas
output
, 2. Kualitas
output
,
3. Jangka waktu
output
, 4. Kehadiran di tempat kerja, dan 5. Sikap kooperatif.
2.1.10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Kerja
Masukan pada organisasi publik mencakup manusia dan masukan fisik.
Seseorang dapat membedakan masukan fisik misalnya karakteristik bangunan, jumlah
dan mutu peralatan, dan fasilitas fisik pendukung lainnya. Masukan manusia
khususnya terfokus pada studi sifat-sifat yang mencakup para pegawai,
penyelenggara, sekretariat, bagian administrasi dan staf lainnya. Para pembuat
Universitas
Sumatera
Utara
kebijakan dan keputusan, mencari pemahaman yang dapat memanipulasi masukan,
dari sudut pandang praktis untuk mencapai manfaat maksimum.
Menurut Mulyono (2003) bahwa ada 4 (empat) variabel penentu prestasi kerja
dalam organisasi publik, yaitu:
1.
Lingkungan,
2.
Karakteristik organisasi,
3.
Karakteristik kerja, dan
4.
Karakteristik individu.
2.1.11.
Pengertian Dosen
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a.
Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b.
Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia;
c.
Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan
bidang tugas;
d.
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e.
Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f.
Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
Universitas
Sumatera
Utara
g.
Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h.
Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan; dan
i.
Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru dalam Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005.
2.2. Kerangka Konseptual
Sumber daya manusia merupakan tulang punggung kehidupan organisasi.
Keberhasilan organisasi secara keseluruhan sangat bergantung pada kualitas sumber
daya manusia yang dimiliki organisasi tersebut sehingga organisasi perlu memiliki
karyawan yang berkemampuan tinggi dan berkembang dengan baik untuk mencapai
tingkat prestasi yang tinggi.
Pembinaan dan pengembangan karyawan baru ataupun lama dalam
perusahaan adalah salah satu kegiatan dalam rangka menyesuaikan diri dengan
perubahan dan perkembangan karyawan. Karena itu perlu dilakukan penilaian atas
pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh karyawan atau disebut dengan penilaian
kinerja atau penilaian prestasi kerja (Rivai dan Sagala, 2009). Begitu juga pada
Politeknik Negeri Medan, ketika ingin mengetahui apakah dosen tetap Pegawai
Negeri Sipil di lingkungannya telah berprestasi atau tidak, maka perlu dilakukan
Universitas
Sumatera
Utara
penilaian prestasi kerja. Hal ini telah dilakukan setahun sekali dan lebih dikenal
sebagai Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3).
Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, didasarkan kecakapan, usaha
dan kesempatan (Hasibuan, 2003). Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru
atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas
keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan
mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional (UU No. 14
Tahun 2005).
Stanford
dalam
Mangkunegara (2005) mengemukakan istilah kinerja berasal
dari kata
Job Performance
atau
Actual Performance
(prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (
ability
)
dan faktor motivasi (
motivaton
), dapat dirumuskan sebagai berikut:
Human Performance = Ability + Motivation
Motivation
=
Attitude
+
Situation
Ability
=
Knowledge
+
Skill
Aspek-aspek dari kinerja (prestasi) meliputi: mutu pekerjaan, kejujuran,
inisiatif, kehadiran, sikap, kerjasama, keandalan, pengetahuan tentang pekerjaan,
Universitas
Sumatera
Utara

Prestasi Muhibbin Syah (2001:192), prestasi adalah hasil belajar meliputi segenap ranah
psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa.
Prestasi Nana Syaodih Sukmadinata (2003:102): Prestasi adalah hasil belajar yang
merupakan penekanan dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki
seseorang, sedangkan indikasinya dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk
pengetahuan, ketrampilan berpikir, maupun ketrampilan motorik.
Prestasi Weiner dalam Sri Esti Wuryani Djiwandono (2002:355), mengatakan bahwa siswa-
siswa yang termotivasi untuk berprestasi akan tetap melakukan tugas lebih lama daripada siswa-
siswa yang kurang berprestasi bahkan sesudah mereka mengalami kegagalan dan
menghubungkan kegagalannya itu dengan tidak atau kurang berusaha dalam belajar, dengan kata
lain siswa yang termotivasi untuk mencapai prestasi ingin dan mengharapkan sukses, sedangkan
siswa yang tidak termotivasi untuk berprestasi cenderung mengalami kegagalan dalam belajar
atau sulit mencapai prestasi yang baik.
Prestasi Witherington (2003:155), prestasi adalah hasil yang dicapai individu melalui usaha
yang dialami secara langsung dan merupakan aktivitas kecakapan dalam situasi tertentu

Anda mungkin juga menyukai