Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai manusia

dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah. Sebagai bidan yang ahli dan

profesional dalam melayani klien, sudah menjadi suatu kewajiban kita untuk mengetahui

lebih dahulu apa saja wewenang yang boleh kita lakukan dan wewenang yang

seharusnya ditangani oleh seorang dokter SpOG sehingga bidan harus meninjau agar

tindakan bidan tidak menyalahi peraturan yang berlaku.

Akhir-akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa adanya

peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang

berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya.

Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata

dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/atau manajemen

rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari

tindakan malpraktik atau kelalaian medis. Lepas dari fenomena tersebut, ada yang

mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar

kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter.

Untuk itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang refleksi

malpraktik kebidanan beserta contoh kasus malpraktik serta analisa kasus malpraktik

kebidanan.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini

adalah bagaimana refleksi kasus malpraktik kebidanan.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk memahami dan menganalisa refleksi kasus malpraktik kebidanan

2. Tujuan Khusus

a. Untuk memahami tentang pengertian malpraktik

b. Untuk memahami tentang jenis-jenis malpraktik

c. Untuk memahami tentang pembuktian malparaktik di bidang pelayanan

kesehatan

d. Untuk memahami tentang tanggung jawab hukum malpraktik

e. Untuk mengetahui tentang upaya pencegahan menghadapi tuntutan malpraktik

f. Untuk mengkaji dan menganalisa contoh kasus malpraktik kebidanan.

2
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Malpraktek

Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktek mempunyai arti

pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan

yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut

dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan

suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari

seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu

pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap

pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.

Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam

setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum.

Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah

diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut

pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut

yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan

berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu

dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-

perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka

ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau

yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical

3
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical

malpractice pasti merupakan ethical malpractice.

B. Jenis-jenis Malpraktek

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori

sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan

Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice

manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan

tercela.

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan

(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan

euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP),

membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa

indikasi medis pasal 299 KUHP).

Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan

tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati

mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.

4
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah

bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang

lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila

tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana

yang telah disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara

lain:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat

melakukannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak

sempurna.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau

korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius

liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung

gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama

tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

5
3. Administrative malpractice

Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice

manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu

diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai

kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya

tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin

Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila

aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat

dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

C. Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan

Dari definisi malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk

mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan

merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka

menurut ukuran dilingkungan yang sama. Dari definisi tersebut malpraktek harus

dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam

menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim

dipergunakan diwilayah tersebut.

Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan

resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena

perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah

perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan

perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis). Sebagai contoh adanya komplain

6
terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita radang uretra setelah pemasangan

kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga bidan?

Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko

yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang

kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?. Hal-hal inilah yang menjadi

pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek. Apabila tenaga bidan

didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang

mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada

dan tidaknya kesalahan.

Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus

dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidana

yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela.

b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah

(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga

mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan

adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa

alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan

dengan dua cara yakni :

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

7
a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan haruslah

bertindak berdasarkan :

Adanya indikasi medis

Bertindak secara hati-hati dan teliti

Bekerja sesuai standar profesi

Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa

yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut

standard profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal

(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh

karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini

haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai

dasar menyalahkan tenaga bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan

hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh

si penggugat (pasien).

8
2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni

dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan

(doktrin res ipsa loquitur).

Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi

kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak

ada contributory negligence.

Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki kedudukan

jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut

.Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat

membuktikan kesalahan tenaga bidan, karena:

a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.

b. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.

c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

D. Tanggung Jawab Hukum Malpraktik

Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat

memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian.

Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji

9
apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko

tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian

tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga bidan.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

1. Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari

hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban

yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena

health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung

jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2. Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas

kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya

(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien

yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.

3. Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan

yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap

orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau

berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap

orang lain atau benda orang lain.

10
E. Upaya Pencegahan Menghadapi Tuntutan Malpraktek

1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena

adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu

bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena

perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan

berhasil (resultaat verbintenis).

b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala

kebutuhannya.

f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat

sekitarnya.

2. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga

bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif

dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.

Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan

dapat melakukan :

a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal

bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-

11
doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan

disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau

mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)

sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau

menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan

dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan

pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan

mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa

penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.

Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat

membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil

penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus

membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus

membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab

atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak

diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk

membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan

adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya

rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-

12
orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga

kebidanan.

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 yaitu:

1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang

hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan

medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan

pasien sendiri.

2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan

informed consent secara lisan maupun tertulis.

3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya

persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien

memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang

bersangkutan serta resikonya.

4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan

lisan atau sikap diam.

5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta

maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila

dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan

kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga

terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan

pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.

13
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan,

baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara

lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

14
BAB III

KAJIAN KASUS MALPRAKTIK

KASUS SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS

Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006, Dunia kedokteran di Malang Raya gempar.

Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan

malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu

(39) tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi sungsang

itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan sedangkan kepalanya tertinggal di

dalam rahim. Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin (40) kalut bukan

kepalang. Bayi yang diidam-idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara

yang sangat memprihatinkan. Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya, ujar

Muhaimin.

Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya

Selasa sore lalu mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan,

Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat

tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.

Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama

ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. Nggak ada firasat apa-apa. Ya normal-

normal saja katanya. Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk

masih terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan,

pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.

Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan

15
ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia

sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi

itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal. Saya ciumi dan

usap wajahnya, sambil menangis, kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.

Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan

menganggap ini takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke

yang berwenang. Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.

Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan

yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian,

masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan

Handayani.

Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi

Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata

dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan

melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus

mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. Saya juga meminta polisi segera

mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut, katanya.

(www.opensubscriber.com)

16
ANALISA KASUS

Kasus di atas menceritakan tentang Seorang bidan bernama Linda Handayani,

melakukan pertolongan proses persalinan sunsang. Bayi sungsang yang ditolongnya lahir

dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam

rahim. Dilihat dari kasus tersebut, bidan Linda Handayani telah melakukan tindakan yang

salah (melakukan tindakan malpraktek), hal ini dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu :

1. Bidan melakukan tindakan di luar standar profesi dan wewenang sebagai seorang bidan.

Ada beberapa tindakan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter saat

menolong persalinan. Jika sang bidan tetap melakukan tindakan yang seharusnya tidak

boleh dilakukan, itu sudah termasuk malpraktek kecuali bidan yang praktik ditempat

yang terpencil dan tidak ada dokter atau tempat rujukan sangatlah jauh dari tempat

praktek bidan dan persalinan sudah harus segera dilakukan (Permenkes 1464 Tahun

2010 Pasal 14) . Tapi jika memungkinkan maka segera lakukan tindakan rujukan karena

kadang bidan apalagi yang sudah senior merasa yakin dan bisa melakukan tindakan yang

dilarang dan terjadi sesuatu hal, maka itu akan jadi masalah besar, seperti kasus bayi

sungsang yang kepala putus, penolongnya adalah bidan senior yang berusia 60th dan

terkenal dimasyarakat.

Bidan tidak diberikan kewenangan dalam melakukan tindakan menolong persalinan

letak sungsang karena Bidan Linda secara Undang-Undang Kesehatan dan Etika Profesi

tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan pertolongan persalinan patologis

bidan tidak mempunyai kewenangan dalam menolong persalinan letak sungsang karena

risiko yang ditimbulkannya sangat besar.

17
2. Bidan melakukan tindakan tanpa memperhatikan prinsip kode etik kebidanan dan

kewajiban bidan terhadap tugasnya yaitu tidak melakukan tindakan dengan benar.

Dalam kasus ini bidan melakukan tindakan pertolongan persalinan sunsang yang salah

hingga menyebabkan kepala bayi putus dan tertinggal di dalam rahim.

3. Bidan melanggar hak pasien

Secara hak pasien telah dirugikan, terutama tentang persyaratan pasien memperoleh

pelayanan kesehatan secara aman. Pasien berhak mendapatkan pertolongan persalina

yang aman, dengan kondisi ibu sehat dan bayi selamat. Namun, dalam kasus ini

pertolongan persalinan yang dilakukan oleh bidan Linda telah menyebabkan kematian

bayi dengan kondisi kepala bayi putus.

Tinjauan dari segi hukum :

Apa yang seharusnya dilakukan keluarga untuk menghadapi kasus ini?

Keluarga yang akan melakukan tuntutan terhadap tenaga bidan sebagai terdakwa

yang telah melakukan criminal malpractice, harusnya dapat membuktikan apakah

perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang

tercela.

Berdasarkan kasus di atas, bidan Linda Handayani hanya berniat untuk

menolong, namun pada pertolongan kasus ini bukanlah kewenangan bidan,

melainkan kewenangan dokter obgyn.

b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah

(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

18
Berdasarkan kasus di atas masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada

unsur sengaja atau tidak sengaja. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya

menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.

Selanjutnya apabila keluarga menuduh bidan Linda Handayani telah melakukan

kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus

dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan

sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya criminal malpractice yang bersifat negligence

(lalai) pembuktianya dapat dilakukan dengan:

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4D

yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian bidan Linda Handayani dengan pasien Nunuk

Rahayu, bidan Linda Handayani haruslah bertindak berdasarkan:

Adanya indikasi medis

Bertindak secara hati-hati dan teliti

Bekerja sesuai standar profesi

Sudah ada informed consent.

Berdasarkan point point di atas penggugat harus mengkaji lebih lanjut

untuk didapatkan bukti yang jelas apakah bidan Linda Handayani telah

19
memenuhi tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang bidan atau

tidak.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari

apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan

menurut standard profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat

dipersalahkan. Dalam kasus diatas bidan Handayani telah memenuhi point

ini, menolong persalinan sungsang bukanlah kewenangan dari bidan sehingga

melalui point ini bidan Handayani dapat dipersalahkan/digunakan sebagai

berkas tuntutan dari keluarga ke bidan Handayani.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal

(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh

karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini

haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai

dasar menyalahkan tenaga bidan. Berdasarkan teori ini yang dihubungkan

dengan kasus maka, hasil negative dari kasus ini yang berupa putusnya leher

bayi dan meninggalnya bayi tidak dapat digunakan langsung sebagai dasar

menyalahkan bidan Handayani, perlu dilakukan pengkajian oleh penggugat

mengenai hubungan langsung antara penyebab dan kerugian yang diderita

20
oleh penggugat (keluarga ibu Nunuk) untuk didapatkan bukti yang jelas untuk

pengajuan tuntutan.

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni

dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan

bidan (doktrin res ipsa loquitur). Dalam kasus ini hasil layanan bidan adalah

putusnya leher bayi dari ibu Nunuk.

Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada

memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak

ada contributory negligence.

Apa yang seharusnya dilakukan seorang bidan dalam menghadapi kasus ini?

Dalam kasus diatas tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice,

maka tenaga bidan dapat melakukan :

1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal

bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-

doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan

disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau

mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)

sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

21
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan apa yang

terjadi sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau

hal-hal yang lain.

2. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau

menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan

dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan

pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan

mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan, apakah hal

ini merupakan pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani dapat membebaskan

diri atau tidak dalam pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani harus

memperjelas apa yang terjadi sebenarnya sehingga layak untuk mendapat

hukuman atau tidak.

22
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa seorang bidan harus

berhati-hati dalam memberikan pelayanan pada pasiennya. Sehingga pelayanan atau

tindakan yang kita berikan tidak merugikan pasien dan berdampak pada kesehatan

pasien. Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan pasien

sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehensif dan berkualitas Bidan

juga harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup mendalam agar setiap

tindakannya sesuai dengan standar profesi dan kewenangan kebidanan, sehingga tidak

terjadi tindakan malpraktek.

B. Saran

Setelah mempelajari makalah ini, diharapkan penulis maupun rekan-rekan bidan

dapat mengetahui dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang termasuk malpraktek

dengan melaksanakan praktik kebidanan berdasarkan ilmu pengetahuan, wewenang dan

kode etik dan standar profesi kebidanan.

23

Anda mungkin juga menyukai