Makalah
Karya Tulis Ilmiah
Filsafat Islam Timur
Disusun oleh :
Faza Faidhan (10060312115)
Kelas : farmasi C
PENDAHULUAN
atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan
mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan
manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada
dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran,
yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren,
Makin ilmu pengetahuan digali dan ditekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan
(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut
sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika,
matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya
tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan
sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria
suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu.
Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk
dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari
PEMBAHASAN
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi,
paling tidak bisa dikatakan bahwa filsafat adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-
awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita
sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal),
karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-
proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa
dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa
orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang
disalin oleh St. Agustine (354 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius
Boethius (480 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah
belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat
pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat
Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah
Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya
pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris,
tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan
filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 400 SM) adalah Socrates (469 399
SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya
yang bernama Aristoteles (384 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat
lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak
belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan
Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya
filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd. Berbeda dengan filosof-filosof Islam
pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol).
Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail
(Abubacer). Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun
seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap
setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik
untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah
yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa
yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya
Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat
menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan
kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang
diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang
berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk
berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk
mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf
(mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam
menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal
keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan
bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu
Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd
(Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu
Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang
Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah
A. Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi asal cikal-bakalnya, yaitu Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dahulu menempati daerah
selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Yaqup bin Ishaq Ash-Shabbahbin Imran
bin Ismail bin Al Asyats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M).
Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah adalah Gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi
dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi
epistimologi, metafisika, etika, dan sebagainya. Sebagaimana halnya para penganut aliran
Phythagoras, Al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa
aliran eklektisisme dalam metafisika dan psikologi ia mengambil pendapat Plato; dalam
batu pertama dalam rangka menjelaskan kebebasan kehendak secara filosofisnya. Untuk itu ia
menganalisa bahwa aksi hakiki adalah sesuatu (perbuatan) yang merupakan buah dari niat
dan kehendak dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan
oleh getaran-getaran hati. Ia berani menngatakan teori tawallud yang dikemukakan oleh
Mutazilah. Menurutnya, sebab ada dua: dekat yang merupakan sebab langsung dan jauhyang
merupakan sebab tidak langsung. Ia mendukung teori perhatian Tuhan yang konsekuensinya
kepada kita hanya sampai di sini, yang karenanya tidak membicarakan manusia dengan
sistem alam atau kehendak Allah. Ini adalah apa yang akan dikaji oleh para penggantinya
Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan agama dengan
filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang
tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk
memiliki filsafat itu. Pernyataan ini terutama tertuju kepada ahli-ahli agama yang
mengingkari filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik, jalan menuju kekafiran dan keluar dari
agama. Al-Kindi sendiri sebagai filosof Muslim tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan
dengan pendapat filosof yang dianutnya. Misalnya dalam menyeberangkan pendapat dengan
Aristoteles bahwa alam itu abadi. Ia tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa alam
adalah ciptaan Allah, diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada pula.
Dengan demikian, bagi Al-Kindi, berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan
mengorbankan keyakinan agama, seperti yang sering dituduhkan orang kepadanya. Filsafat
sejalan dan dapat mengabdi kepada agama, walaupun beliau mendefinisikan filsafat itu
sendiri masih terikat dengan filsafat terdahulu. Dan dari beragam definisi, tampaknya Al-
Kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir yaitu; filsafat adalah pengetahuan
tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum) baik esensinya maupun
kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya. Menurut Al-
Kindi, filosof adalah seorang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengalkan
kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau
hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang
kebenaran, tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran
itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep Al-Kindi tentang filsafat
merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan terakhir adalah dalam
B. Al-Farabi
al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi.
Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan di
desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). Kadang-kadang ia mendapat
sebutan orang Turki, sebab ayah Al-Farabi sebagai seorang Iran menikah dengan wanita
Turki. Sepertinya nama sebutan orang Turki kepadanya karena ibunya berasal dari negara
Turki. Kepribadian Al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar. Dalam berolah kata, tutur
bahasa, ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran,
Turkistan dan Kurdistan sangat ia pahami. Justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa
Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah ke kota Baghdad, yang pada
waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar di sana kurang lebih dua puluh
tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ibnu Suraj
untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta ibn Yunus untuk belajar ilmu mantiq
(logika).
Dari Baghdad Al-Farabi mencoba pergi ke Harran sebagai salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Di sana ia berguru dengan Yohana Ibn Hailan, namun
tidak lama kemudian, ia meninggalkan kota ini untuk kembali ke kota Baghdad. Di sini
kembali mendalami filsafat. Ia juga mampu mencapai ahli ilmu mantiq, ia kemudian
mendapat prediket guru kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukkan
ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya sama yang dialami oleh
Aristoteles sebagai guru pertama, ia (Aristoteles) orang yang pertama menemukan ilmu
logika.
Pada tahun 350 H (941 M) Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini,
kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara layak oleh Saif Al-Dullah, khalifah dinasti
Al-Hamdan di Allepo (Halab). Sampai wafat Al-Farabi dengan usia 80 tahun. Pengalaman
selama di istana Saif Al-Dullah, Al-Farabi dapat mengembangkan ilmunya dengan para
sastrawan, ahli bahasa, para penyair dan ilmuan lainnya. Sehingga ia menjadi filosof yang
masyhur pada masanya di istana tersebut. Dalam kepandaian Al-Farabi dibidang filsafat
Karya Al-Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih
kalah dalam jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan
sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam
sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabdikan namanya. Ciri khas tertentu
yang ada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah,
namun juga memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al
ebat), Qiyas (analogi), Mantiq (logika), adapun ulasan ia terhadap karya Plotenus adalah
kitab Al Majesti fi-Ihnil Falaq, juga terhadap karya Iskandar Al Fraudismy tentang Makalah
7) Fi Maani Al Aqli;
11) Al Taliqat
kitabnya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, Almania, bahasa Arab dan
Prancis, adapun karya yang pertama dari Al-Farabi yaitu Ishou Al Ulum membahas berbagai
ketuhanan, musik, astronomi, perkotaan, fiqih, fisika, mekanika dan ilmu kalam. Ilmu
tersebut mendapat perhatian besar oleh Al-Farabi adalah ilmu fiqh dan ilmu kalam.
Maujudaat, yang berarti sesuatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang
ada ini. Al-Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga
berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab
perpaduan/campuran dari filsafat Aristoteles dan Plato. Dalam masalah alam, Al-Farabi
sependapat dengan pemikiran Plato bahwa alam ini baru, yang terjadi dari tidak ada (sama
dengan pendapat Al-kindi). Ide Plato tentang alam mirip suatu pengertian alam akhirat pada
dunia Islam. Persoalan tentang terjadinya alam serta bagaimana hubungan pencipta (khaliq)
dengan makhluknya, Al-Farabi setuju atas teori emanasi Neo Platonisme (sebagaimana
pendapat Al-Kindi), lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan istilah
nama Nadhariyatul Faidl, dengan pemikiran dan uraiannya sendiri. Pola pikir pada bidang
mantiq dan fisika, Al-Farabi sependapat dengan alur pikir Aristoteles, dalam bidang etika dan
politik, ia sependapat dengan Plato, dan persoalan metafisika ia sependapat dengan Plotinus.
Ia juga lebih banyak menggeluti masalah moral, politik dan psikologi dibandingkan
Al-Kindi. Ia menghadapi secara tegas problematika qada dan qadar. Ia menggeluti tingkah
merupakan kaum Paripatetik Arab paling serius mendalami sosiologi. Ia memfokuskan diri
pada kebahagiaan, yang menurutnya merupakan tujuan tertinggi yang didambakan manusia
yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji melalui kehendak dan
pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan dan meraih
kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab menurutnya kehendak merupakan sendi
moral sekaligus sebagai sendi politik_begitu menurut istilah dia_juga ilmu madani. Yaitu
ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum volisional, bakat, moral,
tabiat nilai tempat lahirnya perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum ini. Sebab, moral dan
politik menurut Al-Farabi berhubungan erat, karena Madinah fadilah (kota ideal) mirip sekali
dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-masing anggotanya saling
membantu.
Ketika Al-Farabi menyusun konsep tentang akal itu esa adanya, bahwa akal hanya
berisi satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan
adalah aqil (berpikir) dan maqul (dipikirkan), melalui Taaqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-
Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang
disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan
dari akal pertama yang Taaqqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri.
menimbulkan al falakul Aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari
alam makhluk. Al Aqlits Tsani, menimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama
timbulnya Karatul Kawakibits tsabitah, langit bintang-bintang tetap, kemudian akal ketiga
melimpah ke Al Aqlur Rabi (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang zuhal
(Saturnus), kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit
bintang Musytari (Yupiter), lalu ke Al Aqlu Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris
(Mars), selanjutnya Al Aqlust Tsabi (akal ketujuh) dengan munculnya langit matahari, Al
Aqlusts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang zuhrah (Venus), Al Aqlut Tasi (akal
kesembilan) dengan langit bintang Utharid (Markurius), akhirnya, Al Aqlul Asyir bersama
dengan langit bulan. Adapun Al Aqlul Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul
Faal (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.
Persoalan yang muncul adalah bagaimana hubungan Al Aqlul Faal dengan isi bumi
baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan?. Al-Farabi menjawab dengan kembali kepada
teori Aristoteles. Al-Farabi membedakan zat (materi) dan bentuk (surah), bahwa materi
Sebagai contoh, kayu sebagai materi banyak mengandung kemungkinan, bisa menjadi kursi,
lemari, meja dan sebagainya. Kemungkinan baru tersebut dapat terlaksana menjadi realitas
apabila diberi bentuk, semisal bentuk lemari, kursi, meja, kotak, dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan bumi beserta isinya, susunan bumi dan segala isinya. Al-Farabi
berpendapat, pembahasannya dimulai terbalik dari bawah ke atas. Maka wujud yang
terbawah/rendah adalah materi yang abstrak, belum mempunyai bentuk, kemudian disebut Al
Maddatul Ula la Musytarakah yaitu materi pertama pada kondisi pada tingkat yang lebih
tinggi berupa unsur-unsur yaitu air, tanah, api, dan udara. Tingkatan yang lebih tinggi lagi
dari bentuk unsur-unsur tersebut berbentuk wujud, misalnya emas, perak, besi, tembaga, dan
lain sebagainya. Kemudian ada tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah tumbuh-tumbuhan,
dengan diwujudkan karena ada Jiwa. Sebagai jiwa yang wujudnya paling rendah yaitu Jiwa
Vegetatif yaitu jiwa yang berdaya jadera. Akhirnya sampaiAl Aqlul Faal yang berbentuk
wujud manusia, oleh jiwa yang memiliki daya berpikir aktual (Al Aqlu Bil Fili). Di samping
itu juga mempunyai daya menanggap (Al Quwwatul Mutaehajjilah). Al Aqlu Bil Fili adalah
kenyataan yang mana manusia menumpuhnya melalui dahulu dalam masa akal
kemungkinan Al Aqlu Bil Quwwahyaitu pada usia bayi. Akal kemungkinan iri akan menjadi
akal kenyataan apabila telah menerima pengetahuan dari Al Aqlu Faal (akal aktif).
pandangan filsafat dan buahnya, ini yang mendasarkan pemahaman Al-Farabi dalam menata
kehidupannya atas kemurnian jiwa. Ilmu kalam dan ilmu akal diharapkan dapat membawa
manusia berpandangan benar. Hal itu dapat dicapai dengan cara setingkat demi setingkat
dengan ilmu pasti dan ilmu mantiq. Al-Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah
memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai
penciptanya. Dengan arah ke situ maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat
menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan
segala cosmosnya (kaum). Sebagaimana hal tersebut diungkapkan Prof. Dr. Abubakar Aceh.
C. Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika
Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan
dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Yaqub bin Maskawaih.
Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini
diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam.
Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syiah
dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin
umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa
Maskawaih tergolong penganut aliran Syiah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-
Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari
penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul
Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421
Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan
Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syiah dan berasal
dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari
Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara)
dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu
jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi,
disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral
yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk
menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang
jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa
Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin
memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-
anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Quran dasar-dasar bahasa
Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Mata
berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-
anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran
ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika.
Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan
Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya,
meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi
keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-
pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih
diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan)
5) Kitab Tartib As-Saadat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani
6) Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak
pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi.
(kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa
yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa
engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau
dapat kau katakan bahwa hikmah adalah bahwa engkau mengetahui perkara-perkara
membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori
merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala
sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan
perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat
membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-
perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral
adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan
hidup bersama.
Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia
lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara
pada tahun 340 H / 980 M. Kelahiran beliau ditengah masa yang sedang kacau, di masa
Abbasiyah sehingga melepaskan diri dan berdiri sendiri. Termasuk kota Baghdad sebagai
pusat pemerintahannya dikuasai oleh goongan Banu Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun
447 H.
menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti:
Ketika umur beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran,
sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya
dalam teori saja, melainkan segi praktikpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur,
penguasa Bukhara menderita sakit, dan kebanyakan dokter tidak mampu mengobati, maka
setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina, Khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia
meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm.
Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama tinggal
di situ. Hidupnya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, hingga sampai di
Hamadan. Di tempat ini beliau dijadikan menteri oleh Syamsuddaulah untuk beberapa kali,
Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh kegiatan politik namun karena kecerdasan yang
waktu dalam aktivitas politik, mengajar, dan mengarang. Dalam tulis menulis tidak kurang
dari 50 lembar karya yang dapat disajikan. Ia sangat berjasa bagi pera ilmuwan, dengan
1) As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan terdiri dari 4
bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut
mempunyai beberapa naskah yang terbesar di berbagai perpustakaan barat dan timur. Bagian
ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Taheran. Pada tahun 1956
Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika
yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah
asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954, dengan nama Al-
2) An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku As-Shafa, dan pernah diterbitkan bersama-
sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada
3) Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah
diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis. Kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1974 di bawah asuhan Dr. Sulaiman
Dunia.
4) Al-Hikmat Al-Masyiriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya
maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang
mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
5) Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk
Adapun filsafat ajaran Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosuf muslim
terdahulu. Dari Tuhanlah kemaujudan yang mesti, mengalir inteligensi pertama, sendirian
karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat inteligensi
pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya
mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak
saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua
kemaujudan yaitu: (1) inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas,
dan (2) lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya,
kemungkinan alamiyahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai
inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut
atau memberitahukan materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Karena itu ia juga
disebut pemberi bentuk (dator formarum menurut sarjana-sarjana barat abad pertengahan).
Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud
tunggal, secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua.
Karena ketunggalannya, maka apakah Tuhan itu dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah
Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini buka merupakan
kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik
dengan esensinya, dengan kata lain, misalnya seorang Eksimo yang tidak pernah melihat
gajah, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan bahwa gajah itu ada. Demikian
halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya
mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada
mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada.
Argumentasi kosmologi yang didasarkan pada doktrin Aristoteles tentang sebab pertama,
akan sia-sia dalam membuktikan adanya Tuhan. Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak
memilih untuk membangun argumen ontologis. Argumentasi Ibnu Sina, sebagaimana akan
kita lihat kemudian, yang menjadi doktrin penting bagi dogma teologi Katolik Roma sesudah
Aquinas, lebih mendekati pembuktian Leibniz tentang Tuhan sebagai dasar akan adanya
dunia, yaitu pemberian Tuhanlah apa yang kita dapat mengerti tentang adanya dunia. Di sini,
samping ke belakang, yaitu juga ke depan yaitu memulai dari premis yang tidak diragukan
lagi kepada suatu kesimpulan. Sesungguhnya menurut Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu
karena adanya keperluan yang rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-pengetahuan Tuhan
tentang semua kejadian, seperti apa yang kita lihat dalam pembahasannya tentang Tuhan.
Dunia, secara keseluruhan, ada bukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ia
diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina tentang
E. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Abu Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M.
Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad
bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negeri
Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan
belajar pada ImamAl Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti
ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafii. Karena kecerdasannya itulah Imam
kepada Menteri Nizam al Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama
dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al Ghazali.
Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai
guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al
Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama 4 tahun. Ia mendapat perhatian yang
serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia
Pada tahun 488 H Al Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun
Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syria (Syam) untuk
menetap untuk beberapa lama. Di sini ia beribadat di masjid Al Umawi pada suatu sudut
hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sampai
mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya
Ulumuddin. Al Ghazali tinggal di Damaskus itu kurang lebih selama 10 tahun, dimana ia
hidup dengan amat sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum,
mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah dan berbuat yang dapat mendekatkan diri
mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Tetapi
karena ada desakan dari penguasa yaitu Muhammad penguasa waktu itu, Al-Ghazali diminta
kembali ke Naisabur dan mengajar di perguruan tinggi Nizamiyah. Pekeerjaan ini hanya
berlangsung dua tahun, untuk akhirnya kembali ke kampung asalnya, Thus. Di kampungnya
waktunya guna membaca Al-Quran, mengadakan pertemuan dengan para fuqahadan ahli
tasawuf, memberikan pelajaran bagi orang yang ingin mengambilnya dan memperbanyak
ibadah (shalat). Di kota Thus inilah beliau akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 14
Nasrani, juga dalam serangannya terhadap kaum Batiniah dan kaum filosof . al-Ghazali
yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin (teolog Islam) dan sikap mereka berlebih-lebihan
dalam berdebat dan bermusuhan. Jika perdebatan ini di abad-abad pertama nampak
mendesak, maka di abad-abad berikutnya tidak begitu dibutuhkan. Masyarakat awam puas
dengan taklid dan tidak mampu mengadakan perdebatan teologis (kalamiah). Untuk itu Al-
Ghazali menyerukan untuk Mengekang Masyarakat Awam dari Ilmu Kalam, walaupun Al-
Asyari telah mendahuluinya dengan mengarang risalah Fi Istihsan fi ilm al-Kalam. Nampak
sekali bahwa kondisinya berbeda. Dengan menilai kondisi-kondisi yang terakhir, Ibnu
Kaldun (808 H = 1406 M) mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Al-Ghazali, dan
berpendapat bahwa studi-studi teologis harus dibatasi untuk kalangan khusus. Di akhir
kehidupan Al-Ghazali --- ketika ia didominasi oleh kecenderungan sufis dan mulai
mengeritik studi-studi rasional yang sebelumnya sudah ia lakukan --- bertindak begitu keras
terhadap ilmu kalam (teologi Islam) mengalahkan sikap kerasnya terhadap studi-studi lain. Ia
menetapkan bahwa tujuannya adalah membentengi aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jamaah dan
menjaganya dari gangguan ahli bidah. Itu adalah ilmu yang memadai dengan tujuannya
dengan naqli. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia
harus mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari
sumbat angan-angan dan khayalan maka ia harus mempersepsi benda-benda secara hakiki.
Namun Al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naqlilah yang
memegang pendapat yang dinut oleh Asyari, sehingga ia tidak menerima pendapat yang
dikemukakan oleh kaum Hasywiyah maupun Mutazilah, karena kedua aliran ini ekstrim.
Aliran Hasywiyah berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat Al-Quran dan Al-Sunnah)
agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis.
menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang paling baik adalah tengah-tengah. Menurut Al-Ghazali,
Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam diciptakan dengan kehendak dan
kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat),
sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu
masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh Asyari. Pemecahan ini ia tingkatkan dengan
macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi Islam) fiqh (hukum Islam), tasawuf,
akhlak, dan autobiografi. Sebagian besar dari karangannya adalah berbahasa Arab, dan
Ada beberapa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia.
Namun sangat dikenal oleh negeri barat, yaitu buku yang menyebabkan polimik di antara ahli
filsafat, buku tersebut adalah Maqashidul Falasifah (Tujuan para Ahli Filsafat) dan
Bukunya selain Ihya Ulumud Din yang paling terkenal itu, juga ada yang bernama Al
Munqidz min A Dhalal (Penyelamat dari kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pikiran
dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk
mencapai Tuhan. Di antara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak Al-Ghazali
pemikirannya, ada pula yang menantang akan pendiriannya. Adapun yang sepaham
adalah Renan Cassanova, Carro De Vaux, dan lain-lain. Sedang yang menantang adalah Ibnu
Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari kalangan fuqaha.
Adapun penyerangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah
disebabkan sikap Al-Ghazali yang menantang para filosuf Islam, bahkan ia sampai
Penyerangan termuat dalam kitabnya yang terkenal yaitu Tahafut Al Falasifah dan Al
Munqidz min Ad Dhalal, akan tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan Al
Amal dikatakan bahwa ketiga-tiganya persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang
tasawuf juga. Juga dalam bukunya Al Madhnun ala Ghairi Alhlihi, ia mengakui qadimnya
alam. Kemudian dalam Al Munqidz min Ad Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang
Kemudian dalam bukunya yang lain lagi, Miraj As Salikin ia menaentang orang-
orang tasawuf yang mengatakan adanya kebangkitan rohani saja. Jadi Al-Ghazali menentang
kepercayaan dalam 3 soal tersebut dalam beberapa bukunya, tetapi mempercayai juga dalam
buku-bukunya yang lain. Manakah yang benar? Dan bagaimana pendirian yang sebenarnya?.
terseubut memang suatu kontradiksi benar-benar dari pemikiran Al Ghazali. Menurut Ibnu
Salah, karena Al-Ghazali dari aliran ahlussunnah, maka pikiran-pikiran daribukunya yang
berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari Al-Ghazali, seperti buku Al Madhnun ala
Ghairi Ahlihi.
pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pikiran Al-Ghazali, mulai dari seorang
murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru
yang tenar. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dan menguasai dan menyingkap bermacam-
macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan
bahwa semuabuku-buku Al-Ghazali masih dipeganginya terus sampai akhir hayatnya. Tetapi
harus diingat, ada buku-buku yang ditujukan kepada orang biasa (awam) dan ada pula yang
khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang tentu
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah ditelaah dan dicermati uraian pemikiran-pemikiran para filsuf Islam di dunia
Al-Kindi adalah filsuf Islam yang mula-mula secara sadar berupaya mempertemukan
ajaran-ajaran Islam dengan filsfat Yunani. Sebagai seorang filosuf, Al-Kindi amat percaya
kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi
dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan
metafisis. Oleh karenanya menurut Al-Kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-
hal di luar jangkauan akal manusia yang yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian
Al-Kindi tidak sependapat dengan para filosuf Yunani dalam hal yang dirasakan bertentangan
dengan ajaran agama Islam yang diyakininya. Misalnya mengenai kejadian alam yang berasal
dari ciptaan Tuhan yang semula tiada, berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karenanya Al-Kindi tidak termasuk
Nampaknya ia merupakan kaum paripatetik Arab yang paling serius mendalami sosiologi. Ia
memfokuskan diri pada kebahagiaan, yang menurutnya merupakan tujuan tertinggi yang
didambakan manusia yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji
melalui kehendak dan pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan
dan meraih kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab, menurutnya kehendak
merupakan sendi moral sekaligus sebagai sendi politik---begitu menurut istilah dia---juga
ilmu madani. Yaitu ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum yang
berlaku. Sebab moral dan politik menurut beliau berhubungan erat. KarenaMadinah
fadilah (kota ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-
Ibnu Maskawaih adalah filsuf Islam dalam. Tetapi kefilosufannya itu tidak ia raih
melalui jalur pendidikan formal, melainkan dengan otodidak. Dialah contoh seorang otodidak
sukses dan sejati. Dan perlu dicatat di sini bahwa pengaruh filsafat Yunani sangat besar
Yunani mendapat porsi yang lebih besar dibandingan porsi agama. Misalnya ketika menyebut
justru mengadopsi konsep Plato, Aristoteles, dan Galen. Namun demikian, Maskawaih
memiliki nilai plus dibandingkan filosuf lainnya, terutama sekali dalam pembahasannya
tentang urgensi kenabian dan urgensi ditanamkannya pendidikan agama terhadap anak-anak,
naik turunya peradaban, bangsa-bangsa dan negara-negara. Untuk itu ahli sejarah harus
menjaga diri terhadap kecenderungan umum mencampuradukkan kenyataan dan rekaan atau
kejadian-kejadian palsu. Ia bukan saja harus faktual, tetapi juga harus kritis dalam
di dalam sejarahpun tidak ada tempat bagi kebetulan. Karena itu sejarah bukanlah kumpulan
kenyataan terpisah dan statis, tetapi merupakan proses kreatif-dinamis harapan-harapan dan
aspirasi-aspirasi manusia. Ia adalah organisme yang hidup dan tumbuh, yang strukturnya
dan propagandis Fatimi tidak kehilangan kesempatan untuk membicarakan masalah ini
sebagai pendukung atau penentang. Sebagai bukti ialah bahwa Syeikh al-Rais (gelar Ibnu
Sina) mengantisipasi masalah ini tidak hanya sekali. Mengenai masalah ini, ia menulis
sejumlah risalah. Nampak kegoncangan yang menimpa hidupnya maupun penjara dan hukum
buang yang dialaminya, ada kaitannya dengan pemecahan topik dimaksud. Para ahli sejarah
berpendapat bahwa Ibnu Sina menyusun salah satu risalah tersebut dalam perjalanan menuju
Isfahan, setelah ia melarikan diri dari benteng Fardajan tempat ia dipenjara dengan kejam
selama empat bulan. Selebihnya, ini merupakan bukti bagi sikap mutakalimin terhadap
problematika ini, dan tidak meningkatkannya. Ia berusaha untuk menyelesaikan problem ini
dalam pola lain yang ia setujui dan sejalan dengan filsafatnya. Dalam rangka menyelesaikan
problem ini, ia kadang-kala menempuh metode dialog tetapi kadang-kala menempuh jalur
analisis. Risalah yang ia tulis fi al-Qada wa al-Qadar, merupakan potongan (fragmen) sastra
yang kritis (munqamah), yang memuat kata-kata asing dan imajinasi yang jauh, di mana ia
menceritakan kisahnya bersama dengan orang yang mengingkari qadar, dengan semangat
Al-Ghazali memiliki pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq,
metafiska dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf
menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai seorang
filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengkritik filsafat dan
hal yang berlawanan dengan agama. Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup
menggugat dirinya sendiri. Ia jujur, konsekuen dan tegas dalam pendirian. Selalu nengacu
pada kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam. Menurut Al-Ghazali agama tidak
melarang ataupun memerintahkan mempelajari ilmu matematika, karena ilmu adalah hasil
pembuktian pemikiran orang yang tidak bisa diingkari, sesudah dipahami dan dimengerti.
Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan: (1) Karena keberatan dan ketelitian ilmu-
ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang mengira bahwa semua lapangan filsafat
demikian pula keadaannya, sampaipun dalam lapangan ketuhanan; (2) Sikap yang timbul
dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus
mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka
bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari
Lapangan logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama,
atau dengan kata lain agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi
pembuktian (burhan), definisi-definisi dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu
diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai oleh ulama-ulama theologi Islam
meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan kata-katanya. Bahasa yang ditimbulkan oleh
logika dari filosuf-filosuf, ialah karena syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi
(benda-benda) tunggal, seperti air, hawa tanah dan api: kemudian benda-benda tersusun
Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan langan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh
Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian
pula fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam
buku Tahafutu Al Falasifah, yang disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk)
kepada Tuhan, tidak bekerja dengan diri sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan zat pencipta.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA