Anda di halaman 1dari 33

Pendidikan Agama Islam (Pemikiran Islam)

Makalah
Karya Tulis Ilmiah
Filsafat Islam Timur

Disusun oleh :
Faza Faidhan (10060312115)

Kelas : farmasi C

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum

atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan

mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama

atau kepercayaan Ilahiah.

Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan

manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada

dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran,

yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren,

dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Makin ilmu pengetahuan digali dan ditekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan

(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut

sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika,

matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya

tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan

kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.

Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat,

sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria

suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu.

Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk
dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari

serta memaknai segala esensi kehidupan.


BAB II

PEMBAHASAN

FILSAFAT ISLAM DI DUNIA TIMUR

Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi,

paling tidak bisa dikatakan bahwa filsafat adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena

kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).

Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-

awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita

sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal),

karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.

Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-

percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu,

memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-

proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa

dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika

berpikir dan logika bahasa.

Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu

pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa

orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang

disalin oleh St. Agustine (354 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius

Boethius (480 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah

belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan

ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat

pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat
Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah

Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah

menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya

kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu

pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris,

tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan

berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.

Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan

filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 400 SM) adalah Socrates (469 399

SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya

yang bernama Aristoteles (384 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat

lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak

belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan

Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya

Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.

Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan

filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani,

Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd. Berbeda dengan filosof-filosof Islam

pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol).

Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail

(Abubacer). Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles.

Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.

Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun

seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap

setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik

untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah

memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah

yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa

yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya

Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat

menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan

kurang bernilai.

Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang

diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang

berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk

menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali

berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk

mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf

(mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam

karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).

Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan

dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961)

menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal

keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan

bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat

dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.

Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu

Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd
(Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu

Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang

menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh

Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang

diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah

masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.

A. Al-Kindi

Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi asal cikal-bakalnya, yaitu Banu

Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dahulu menempati daerah

selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan

banyak dikagumi orang.

Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Yaqup bin Ishaq Ash-Shabbahbin Imran

bin Ismail bin Al Asyats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M).

Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah adalah Gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi

dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi

lahir. Dengan demikian Al-Kandi dibesarkan dalam keadaan yatim.

Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan

kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan

dalam terminologi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang ia bahas mencakup

epistimologi, metafisika, etika, dan sebagainya. Sebagaimana halnya para penganut aliran

Phythagoras, Al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa

berfilsafat dengan baik.


Dari karangan-karangannya dapat diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut

aliran eklektisisme dalam metafisika dan psikologi ia mengambil pendapat Plato; dalam

bidang etika ia mengambil pendapat-pendapat Socrates dan Plato. Meskipun demikian,

kepribadian Al-Kandi sebagai filsafat Muslim tetap bertahan.

Di sini al-Kindi - seperti halnya dalam problematika-problematika lain - meletakkan

batu pertama dalam rangka menjelaskan kebebasan kehendak secara filosofisnya. Untuk itu ia

menganalisa bahwa aksi hakiki adalah sesuatu (perbuatan) yang merupakan buah dari niat

dan kehendak dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan

oleh getaran-getaran hati. Ia berani menngatakan teori tawallud yang dikemukakan oleh

Mutazilah. Menurutnya, sebab ada dua: dekat yang merupakan sebab langsung dan jauhyang

merupakan sebab tidak langsung. Ia mendukung teori perhatian Tuhan yang konsekuensinya

menundukkan alam kepada hukum-hukum yang tetap. Sumber-sumbernya yang sampai

kepada kita hanya sampai di sini, yang karenanya tidak membicarakan manusia dengan

sistem alam atau kehendak Allah. Ini adalah apa yang akan dikaji oleh para penggantinya

yang datang sesudahnya.

Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan agama dengan

filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang

tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk

memiliki filsafat itu. Pernyataan ini terutama tertuju kepada ahli-ahli agama yang

mengingkari filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik, jalan menuju kekafiran dan keluar dari

agama. Al-Kindi sendiri sebagai filosof Muslim tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan

dengan pendapat filosof yang dianutnya. Misalnya dalam menyeberangkan pendapat dengan

Aristoteles bahwa alam itu abadi. Ia tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa alam

adalah ciptaan Allah, diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada pula.
Dengan demikian, bagi Al-Kindi, berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan

mengorbankan keyakinan agama, seperti yang sering dituduhkan orang kepadanya. Filsafat

sejalan dan dapat mengabdi kepada agama, walaupun beliau mendefinisikan filsafat itu

sendiri masih terikat dengan filsafat terdahulu. Dan dari beragam definisi, tampaknya Al-

Kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir yaitu; filsafat adalah pengetahuan

tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum) baik esensinya maupun

kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya. Menurut Al-

Kindi, filosof adalah seorang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengalkan

kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau

hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang

kebenaran, tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran

itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep Al-Kindi tentang filsafat

merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan terakhir adalah dalam

hubungannya dengan moralitas.

B. Al-Farabi

al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi.

Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan di

desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). Kadang-kadang ia mendapat

sebutan orang Turki, sebab ayah Al-Farabi sebagai seorang Iran menikah dengan wanita

Turki. Sepertinya nama sebutan orang Turki kepadanya karena ibunya berasal dari negara

Turki. Kepribadian Al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar. Dalam berolah kata, tutur

bahasa, ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran,
Turkistan dan Kurdistan sangat ia pahami. Justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa

ilmu pengetahuan pada waktu itu, Al-Farabi belum bisa menguasai.

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah ke kota Baghdad, yang pada

waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar di sana kurang lebih dua puluh

tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ibnu Suraj

untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta ibn Yunus untuk belajar ilmu mantiq

(logika).

Dari Baghdad Al-Farabi mencoba pergi ke Harran sebagai salah satu pusat

kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Di sana ia berguru dengan Yohana Ibn Hailan, namun

tidak lama kemudian, ia meninggalkan kota ini untuk kembali ke kota Baghdad. Di sini

kembali mendalami filsafat. Ia juga mampu mencapai ahli ilmu mantiq, ia kemudian

mendapat prediket guru kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukkan

ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya sama yang dialami oleh

Aristoteles sebagai guru pertama, ia (Aristoteles) orang yang pertama menemukan ilmu

logika.

Pada tahun 350 H (941 M) Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini,

kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara layak oleh Saif Al-Dullah, khalifah dinasti

Al-Hamdan di Allepo (Halab). Sampai wafat Al-Farabi dengan usia 80 tahun. Pengalaman

selama di istana Saif Al-Dullah, Al-Farabi dapat mengembangkan ilmunya dengan para

sastrawan, ahli bahasa, para penyair dan ilmuan lainnya. Sehingga ia menjadi filosof yang

masyhur pada masanya di istana tersebut. Dalam kepandaian Al-Farabi dibidang filsafat

membawa pengaruh terhadap kemajuan pemerintahan Saif Al-Dullah, sebagaimana Al-Kindi

yang dapat mencemerlangkan pemerintahan Al-Mutasyim.

Karya Al-Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih

kalah dalam jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan
sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam

pembicaraannya. Sebagian karangan Al-Farabi masih diketemukan di beberapa perpustakaan,

sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabdikan namanya. Ciri khas tertentu

yang ada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah,

namun juga memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al

Fraundismy dan Plotinus.

Sebagai contoh ulasan Al-Farabi; terhadap karya Aristoteles adalah

masalah Burhan (dalil), Ibarat (keterangan), Khotibah (caraberpidato), alJadal(argumen/berd

ebat), Qiyas (analogi), Mantiq (logika), adapun ulasan ia terhadap karya Plotenus adalah

kitab Al Majesti fi-Ihnil Falaq, juga terhadap karya Iskandar Al Fraudismy tentang Makalah

fin-nafsi. Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah:

1) Al Jamiu Baina Rayai Al Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-

thails(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles);

2) Tahsilu as Saadah (mencari kebahagiaan);

3) As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan);

4) Fususu Al Taram (hakikat kebenaran);

5) Arroou Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan);

6) As Syiyasyah (ilmu politik)

7) Fi Maani Al Aqli;

8) Ihshou Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu);

9) At Tangibu ala As Saadah;

10) Isbatu Al Mufaraqat;

11) Al Taliqat

Upaya untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Al-Farabi, sehingga kitab-

kitabnya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, Almania, bahasa Arab dan
Prancis, adapun karya yang pertama dari Al-Farabi yaitu Ishou Al Ulum membahas berbagai

ilmu dan cabang-cabangnya, seperti memuat ilmu-ilmu bahasa, matematika, logika,

ketuhanan, musik, astronomi, perkotaan, fiqih, fisika, mekanika dan ilmu kalam. Ilmu

tersebut mendapat perhatian besar oleh Al-Farabi adalah ilmu fiqh dan ilmu kalam.

Al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al

Maujudaat, yang berarti sesuatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang

ada ini. Al-Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga

berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab

kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Memahami atas pemikiran Al-Farabi di atas, seolah-olah filsafatnya adalah

perpaduan/campuran dari filsafat Aristoteles dan Plato. Dalam masalah alam, Al-Farabi

sependapat dengan pemikiran Plato bahwa alam ini baru, yang terjadi dari tidak ada (sama

dengan pendapat Al-kindi). Ide Plato tentang alam mirip suatu pengertian alam akhirat pada

dunia Islam. Persoalan tentang terjadinya alam serta bagaimana hubungan pencipta (khaliq)

dengan makhluknya, Al-Farabi setuju atas teori emanasi Neo Platonisme (sebagaimana

pendapat Al-Kindi), lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan istilah

nama Nadhariyatul Faidl, dengan pemikiran dan uraiannya sendiri. Pola pikir pada bidang

mantiq dan fisika, Al-Farabi sependapat dengan alur pikir Aristoteles, dalam bidang etika dan

politik, ia sependapat dengan Plato, dan persoalan metafisika ia sependapat dengan Plotinus.

Ia juga lebih banyak menggeluti masalah moral, politik dan psikologi dibandingkan

Al-Kindi. Ia menghadapi secara tegas problematika qada dan qadar. Ia menggeluti tingkah

laku individu di samping serius mengatur urusan-urusan kemasyarakatan. Nampaknya ia

merupakan kaum Paripatetik Arab paling serius mendalami sosiologi. Ia memfokuskan diri

pada kebahagiaan, yang menurutnya merupakan tujuan tertinggi yang didambakan manusia

yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji melalui kehendak dan
pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan dan meraih

kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab menurutnya kehendak merupakan sendi

moral sekaligus sebagai sendi politik_begitu menurut istilah dia_juga ilmu madani. Yaitu

ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum volisional, bakat, moral,

tabiat nilai tempat lahirnya perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum ini. Sebab, moral dan

politik menurut Al-Farabi berhubungan erat, karena Madinah fadilah (kota ideal) mirip sekali

dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-masing anggotanya saling

membantu.

Ketika Al-Farabi menyusun konsep tentang akal itu esa adanya, bahwa akal hanya

berisi satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan

adalah aqil (berpikir) dan maqul (dipikirkan), melalui Taaqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-

Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang

disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan

dari akal pertama yang Taaqqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri.

Dengan Taaqqul Tuhan melimpah ke Al Aqlis Tsani(akal kedua), yang dapat

menimbulkan al falakul Aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari

alam makhluk. Al Aqlits Tsani, menimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama

timbulnya Karatul Kawakibits tsabitah, langit bintang-bintang tetap, kemudian akal ketiga

melimpah ke Al Aqlur Rabi (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang zuhal

(Saturnus), kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit

bintang Musytari (Yupiter), lalu ke Al Aqlu Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris

(Mars), selanjutnya Al Aqlust Tsabi (akal ketujuh) dengan munculnya langit matahari, Al

Aqlusts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang zuhrah (Venus), Al Aqlut Tasi (akal

kesembilan) dengan langit bintang Utharid (Markurius), akhirnya, Al Aqlul Asyir bersama
dengan langit bulan. Adapun Al Aqlul Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul

Faal (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.

Persoalan yang muncul adalah bagaimana hubungan Al Aqlul Faal dengan isi bumi

baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan?. Al-Farabi menjawab dengan kembali kepada

teori Aristoteles. Al-Farabi membedakan zat (materi) dan bentuk (surah), bahwa materi

merupakan kemungkinan belaka, namun bentuk dapat menentukan kemungkinan tersebut.

Sebagai contoh, kayu sebagai materi banyak mengandung kemungkinan, bisa menjadi kursi,

lemari, meja dan sebagainya. Kemungkinan baru tersebut dapat terlaksana menjadi realitas

apabila diberi bentuk, semisal bentuk lemari, kursi, meja, kotak, dan lain sebagainya.

Demikian pula dengan bumi beserta isinya, susunan bumi dan segala isinya. Al-Farabi

berpendapat, pembahasannya dimulai terbalik dari bawah ke atas. Maka wujud yang

terbawah/rendah adalah materi yang abstrak, belum mempunyai bentuk, kemudian disebut Al

Maddatul Ula la Musytarakah yaitu materi pertama pada kondisi pada tingkat yang lebih

tinggi berupa unsur-unsur yaitu air, tanah, api, dan udara. Tingkatan yang lebih tinggi lagi

dari bentuk unsur-unsur tersebut berbentuk wujud, misalnya emas, perak, besi, tembaga, dan

lain sebagainya. Kemudian ada tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah tumbuh-tumbuhan,

dengan diwujudkan karena ada Jiwa. Sebagai jiwa yang wujudnya paling rendah yaitu Jiwa

Vegetatif yaitu jiwa yang berdaya jadera. Akhirnya sampaiAl Aqlul Faal yang berbentuk

wujud manusia, oleh jiwa yang memiliki daya berpikir aktual (Al Aqlu Bil Fili). Di samping

itu juga mempunyai daya menanggap (Al Quwwatul Mutaehajjilah). Al Aqlu Bil Fili adalah

kenyataan yang mana manusia menumpuhnya melalui dahulu dalam masa akal

kemungkinan Al Aqlu Bil Quwwahyaitu pada usia bayi. Akal kemungkinan iri akan menjadi

akal kenyataan apabila telah menerima pengetahuan dari Al Aqlu Faal (akal aktif).

Bahwa kebenaran jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi

pandangan filsafat dan buahnya, ini yang mendasarkan pemahaman Al-Farabi dalam menata
kehidupannya atas kemurnian jiwa. Ilmu kalam dan ilmu akal diharapkan dapat membawa

manusia berpandangan benar. Hal itu dapat dicapai dengan cara setingkat demi setingkat

dengan ilmu pasti dan ilmu mantiq. Al-Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah

memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai

penciptanya. Dengan arah ke situ maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat

menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan

segala cosmosnya (kaum). Sebagaimana hal tersebut diungkapkan Prof. Dr. Abubakar Aceh.

C. Ibnu Maskawaih

Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika

Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan

dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk

filsafat Yunani, sangat luas.

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Yaqub bin Maskawaih.

Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini

diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam.

Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syiah

dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin

umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa

Maskawaih tergolong penganut aliran Syiah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-

Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari

Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.


Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para

penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul

Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421

H/16 Pebruari 1030 M.

Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan

Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syiah dan berasal

dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari

Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara)

dengan gelar Muizz Al-Daulah pada 945 M.

Adhud Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan

dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu

jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi,

disamping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral

yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk

menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.

Riwayat pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak

menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang

jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa

Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin

memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-

anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Quran dasar-dasar bahasa

Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Mata

pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang

berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-

anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran
ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika.

Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan

furusiah (semacam ilmu kemiliteran).

Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya,

meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi

keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-

pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih

diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh

kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga

akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan Adhud Al-Daulah.

Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan)

di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang Ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika);

2) Kitab Al-Fauz Al-Akabr, tentang etika;

3) Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika;

4) Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-Araq, tentang etika;

5) Kitab Tartib As-Saadat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani

Abbas dan Banu Buwaih;

6) Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak

setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H;

7) Kitab Al-Jami, tentang ketabiban;

8) Kitab Al-Adwiyah, tentang obat-obatan;

9) Kitab Al-Asyribah, tentang minuman;

10) Kitab Al-Mustaudi, berisi kumpulan syair-syair pilihan;

11) Kitab Maqalat fi Al-Nafsi wa Al-Aql, tentang jiwa dan akal;


12) Kitab Jawizan Khard (Akal Abadi), yang membicarakan panjang lebar tentang

pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi.

Pemikiran filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah

(kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa

yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa

engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau

dapat kau katakan bahwa hikmah adalah bahwa engkau mengetahui perkara-perkara

Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari

pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (maqulat) dapat

membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.

Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas.

Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori

merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala

sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan

tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan

manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.

Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan

perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat

membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-

perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral

adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan

hidup bersama.

Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis

tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.


D. Ibnu Sina

Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia

lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara

pada tahun 340 H / 980 M. Kelahiran beliau ditengah masa yang sedang kacau, di masa

kekuasaan Abassiyah mulai mundur dan negeri-negeri semulanya dibawah kekuasaan

Abbasiyah sehingga melepaskan diri dan berdiri sendiri. Termasuk kota Baghdad sebagai

pusat pemerintahannya dikuasai oleh goongan Banu Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun

447 H.

Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar Al-Quran dengan

menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti:

astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran, dan ilmu metafisika.

Ketika umur beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran,

sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya

dalam teori saja, melainkan segi praktikpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur,

penguasa Bukhara menderita sakit, dan kebanyakan dokter tidak mampu mengobati, maka

setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina, Khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia

mendapat sambutan yang baik sekali dari masyarakat.

Pada waktu usianya mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia

meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm.

Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama tinggal

di situ. Hidupnya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, hingga sampai di

Hamadan. Di tempat ini beliau dijadikan menteri oleh Syamsuddaulah untuk beberapa kali,

meskipun di sini ia pernah dipenjarakan beberapa bulan. Kemudian ia pergi ke Isfahan, di


bawah penguasa Ala Addaulah, ia kembali ke Hamadan, ketika Ala Addaulah merebut negeri

Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428 H/1037 M pada usia 57 tahun.

Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh kegiatan politik namun karena kecerdasan yang

dimilikinya, menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur

waktu dalam aktivitas politik, mengajar, dan mengarang. Dalam tulis menulis tidak kurang

dari 50 lembar karya yang dapat disajikan. Ia sangat berjasa bagi pera ilmuwan, dengan

karya-karya yang berguna.

Adapun karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah:

1) As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan terdiri dari 4

bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut

mempunyai beberapa naskah yang terbesar di berbagai perpustakaan barat dan timur. Bagian

ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Taheran. Pada tahun 1956

Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika

yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah

asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954, dengan nama Al-

Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.

2) An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku As-Shafa, dan pernah diterbitkan bersama-

sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada

tahun 1331 H di Mesir.

3) Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah

diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa

Prancis. Kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1974 di bawah asuhan Dr. Sulaiman

Dunia.

4) Al-Hikmat Al-Masyiriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya

maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang
mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi

filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.

5) Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini

pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk

universitas-universitas Eropa, sampai akhir abad ke 17 M. Buku tersebut pernah diterbitkan

di Roma tahun 1593 M dan di India tahun 1323 H.

Adapun filsafat ajaran Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosuf muslim

terdahulu. Dari Tuhanlah kemaujudan yang mesti, mengalir inteligensi pertama, sendirian

karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat inteligensi

pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya

mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak

saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua

kemaujudan yaitu: (1) inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas,

dan (2) lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya,

kemungkinan alamiyahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai

inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut

malaikat Jibril. Nama ini diberikan, karena ia memberikan bentuk

atau memberitahukan materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Karena itu ia juga

disebut pemberi bentuk (dator formarum menurut sarjana-sarjana barat abad pertengahan).

Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud

tunggal, secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua.

Karena ketunggalannya, maka apakah Tuhan itu dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua

unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah

Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini buka merupakan

kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik
dengan esensinya, dengan kata lain, misalnya seorang Eksimo yang tidak pernah melihat

gajah, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan bahwa gajah itu ada. Demikian

halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya

mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada

mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada.

Argumentasi kosmologi yang didasarkan pada doktrin Aristoteles tentang sebab pertama,

akan sia-sia dalam membuktikan adanya Tuhan. Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak

memilih untuk membangun argumen ontologis. Argumentasi Ibnu Sina, sebagaimana akan

kita lihat kemudian, yang menjadi doktrin penting bagi dogma teologi Katolik Roma sesudah

Aquinas, lebih mendekati pembuktian Leibniz tentang Tuhan sebagai dasar akan adanya

dunia, yaitu pemberian Tuhanlah apa yang kita dapat mengerti tentang adanya dunia. Di sini,

sebab-akibat mempunyai premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan yang serupa. Di

samping ke belakang, yaitu juga ke depan yaitu memulai dari premis yang tidak diragukan

lagi kepada suatu kesimpulan. Sesungguhnya menurut Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu

karena adanya keperluan yang rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-pengetahuan Tuhan

tentang semua kejadian, seperti apa yang kita lihat dalam pembahasannya tentang Tuhan.

Dunia, secara keseluruhan, ada bukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ia

diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina tentang

eksistensi secara singkat.

E. Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad

Abu Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M.
Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah

ayahnya meninggal, Al Ghazali diasuh oleh seorang ahli tasawuf.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad

bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negeri

Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan

belajar pada ImamAl Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya

yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti

ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafii. Karena kecerdasannya itulah Imam

Al Haromain mengatakan bahwa Al Ghazali itu adalah lautan tak bertepi.....

Setelah Imam Al Haromain wafat, Al Ghazali pergi ke Al Ashar untuk berkunjung

kepada Menteri Nizam al Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh

kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama

dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al Ghazali.

Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai

guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al

Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama 4 tahun. Ia mendapat perhatian yang

serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia

menjauhkan diri dari keramaian.

Pada tahun 488 H Al Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun

Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syria (Syam) untuk

mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan

menetap untuk beberapa lama. Di sini ia beribadat di masjid Al Umawi pada suatu sudut

hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sampai

mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya

Ulumuddin. Al Ghazali tinggal di Damaskus itu kurang lebih selama 10 tahun, dimana ia
hidup dengan amat sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum,

mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah dan berbuat yang dapat mendekatkan diri

kepada Allah SWT dan berkhalawat.

Setelah penulisan Ihya Ulumud Din selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian

mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Tetapi

karena ada desakan dari penguasa yaitu Muhammad penguasa waktu itu, Al-Ghazali diminta

kembali ke Naisabur dan mengajar di perguruan tinggi Nizamiyah. Pekeerjaan ini hanya

berlangsung dua tahun, untuk akhirnya kembali ke kampung asalnya, Thus. Di kampungnya

Al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah para mutashawwifin (ahli tasawuf). Ia membagi

waktunya guna membaca Al-Quran, mengadakan pertemuan dengan para fuqahadan ahli

tasawuf, memberikan pelajaran bagi orang yang ingin mengambilnya dan memperbanyak

ibadah (shalat). Di kota Thus inilah beliau akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 14

Jumadil akhir 505 H / 1111 M.

Al-Ghazali memang hujjah al-Islam. Ia membela Islam dalam menolak orang-orang

Nasrani, juga dalam serangannya terhadap kaum Batiniah dan kaum filosof . al-Ghazali

menganut dan membentengi mazhab al-Asyariyah, walaupun ia mengeritik kajian teoritik

yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin (teolog Islam) dan sikap mereka berlebih-lebihan

dalam berdebat dan bermusuhan. Jika perdebatan ini di abad-abad pertama nampak

mendesak, maka di abad-abad berikutnya tidak begitu dibutuhkan. Masyarakat awam puas

dengan taklid dan tidak mampu mengadakan perdebatan teologis (kalamiah). Untuk itu Al-

Ghazali menyerukan untuk Mengekang Masyarakat Awam dari Ilmu Kalam, walaupun Al-

Asyari telah mendahuluinya dengan mengarang risalah Fi Istihsan fi ilm al-Kalam. Nampak

sekali bahwa kondisinya berbeda. Dengan menilai kondisi-kondisi yang terakhir, Ibnu

Kaldun (808 H = 1406 M) mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Al-Ghazali, dan

berpendapat bahwa studi-studi teologis harus dibatasi untuk kalangan khusus. Di akhir
kehidupan Al-Ghazali --- ketika ia didominasi oleh kecenderungan sufis dan mulai

mengeritik studi-studi rasional yang sebelumnya sudah ia lakukan --- bertindak begitu keras

terhadap ilmu kalam (teologi Islam) mengalahkan sikap kerasnya terhadap studi-studi lain. Ia

menetapkan bahwa tujuannya adalah membentengi aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jamaah dan

menjaganya dari gangguan ahli bidah. Itu adalah ilmu yang memadai dengan tujuannya

walaupun tidak memadai dengan maksud Al-Ghazali sendiri.

Al-Ghazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asyariyah, menjelaskan akal

dengan naqli. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia

harus mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari

sumbat angan-angan dan khayalan maka ia harus mempersepsi benda-benda secara hakiki.

Namun Al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naqlilah yang

bisa melewati batas-batas ini. Mengenai problematka sifat-sifat (Allah), Al-Ghazali

memegang pendapat yang dinut oleh Asyari, sehingga ia tidak menerima pendapat yang

dikemukakan oleh kaum Hasywiyah maupun Mutazilah, karena kedua aliran ini ekstrim.

Aliran Hasywiyah berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat Al-Quran dan Al-Sunnah)

agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis.

Sebaliknya Mutazilah berlebih-lebihan dalam mensucikan Allah, sehingga mereka harus

menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang paling baik adalah tengah-tengah. Menurut Al-Ghazali,

Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam diciptakan dengan kehendak dan

kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat),

sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu

antara benda-benda. Nampak jelas bahwa Al-Ghazali mengagumi pemecahan

masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh Asyari. Pemecahan ini ia tingkatkan dengan

cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan.


Tentang karangan Al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah meliputi berbagai

macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi Islam) fiqh (hukum Islam), tasawuf,

akhlak, dan autobiografi. Sebagian besar dari karangannya adalah berbahasa Arab, dan

sebagian lagi berbahasa Parsi.

Ada beberapa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia.

Namun sangat dikenal oleh negeri barat, yaitu buku yang menyebabkan polimik di antara ahli

filsafat, buku tersebut adalah Maqashidul Falasifah (Tujuan para Ahli Filsafat) dan

kitab Tahafut Al Falasifah (Keberantakan para Filosuf).

Bukunya selain Ihya Ulumud Din yang paling terkenal itu, juga ada yang bernama Al

Munqidz min A Dhalal (Penyelamat dari kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pikiran

dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk

mencapai Tuhan. Di antara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak Al-Ghazali

dalam menuliskan autobiorafinya.

Karangan Al-Ghazali, di samping ada teman-teman yang sepaham dengan pemikiran-

pemikirannya, ada pula yang menantang akan pendiriannya. Adapun yang sepaham

adalah Renan Cassanova, Carro De Vaux, dan lain-lain. Sedang yang menantang adalah Ibnu

Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari kalangan fuqaha.

Adapun penyerangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah

disebabkan sikap Al-Ghazali yang menantang para filosuf Islam, bahkan ia sampai

mengafirkan dalam tiga hal yaitu:

1) Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

2) Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja, dan

3) Ada kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.

Penyerangan termuat dalam kitabnya yang terkenal yaitu Tahafut Al Falasifah dan Al

Munqidz min Ad Dhalal, akan tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan Al
Amal dikatakan bahwa ketiga-tiganya persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang

tasawuf juga. Juga dalam bukunya Al Madhnun ala Ghairi Alhlihi, ia mengakui qadimnya

alam. Kemudian dalam Al Munqidz min Ad Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang

dipeluknya ialah kepercayaan orang-orang tasawuf.

Kemudian dalam bukunya yang lain lagi, Miraj As Salikin ia menaentang orang-

orang tasawuf yang mengatakan adanya kebangkitan rohani saja. Jadi Al-Ghazali menentang

kepercayaan dalam 3 soal tersebut dalam beberapa bukunya, tetapi mempercayai juga dalam

buku-bukunya yang lain. Manakah yang benar? Dan bagaimana pendirian yang sebenarnya?.

Tafsiran para pembahas disini berbeda-beda. Menurut Ibnu Tufail, perlawanan

terseubut memang suatu kontradiksi benar-benar dari pemikiran Al Ghazali. Menurut Ibnu

Salah, karena Al-Ghazali dari aliran ahlussunnah, maka pikiran-pikiran daribukunya yang

berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari Al-Ghazali, seperti buku Al Madhnun ala

Ghairi Ahlihi.

Menurut Dr. Zaki Mubarrak dalam bukunya Al Akhlaqin Al-Ghazali, perbedaan

pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pikiran Al-Ghazali, mulai dari seorang

murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru

yang tenar. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dan menguasai dan menyingkap bermacam-

macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan

pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.

Namun demikian Dr. Sulaiman Dunia, mempunyai penafsiran lain. Ia mengatakan

bahwa semuabuku-buku Al-Ghazali masih dipeganginya terus sampai akhir hayatnya. Tetapi

harus diingat, ada buku-buku yang ditujukan kepada orang biasa (awam) dan ada pula yang

khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang tentu

isinya tidak akan sama.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah ditelaah dan dicermati uraian pemikiran-pemikiran para filsuf Islam di dunia

timur, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Al-Kindi adalah filsuf Islam yang mula-mula secara sadar berupaya mempertemukan

ajaran-ajaran Islam dengan filsfat Yunani. Sebagai seorang filosuf, Al-Kindi amat percaya

kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi

dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan

metafisis. Oleh karenanya menurut Al-Kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-

hal di luar jangkauan akal manusia yang yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian

Al-Kindi tidak sependapat dengan para filosuf Yunani dalam hal yang dirasakan bertentangan

dengan ajaran agama Islam yang diyakininya. Misalnya mengenai kejadian alam yang berasal

dari ciptaan Tuhan yang semula tiada, berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan

bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karenanya Al-Kindi tidak termasuk

golongan filosuf yang dikritik oleh Al-Ghazali.

Al-Farabi ia lebih banyak menggeluti masalah moral, politik dan psikologi

dibandingakan Al-Kindi. Ia menghadapi secara tegas problematika qada dan qadar. Ia

mengetahui tingkah laku individu disamping serius mengatur urusan-urusan kemasyarakatan.

Nampaknya ia merupakan kaum paripatetik Arab yang paling serius mendalami sosiologi. Ia

memfokuskan diri pada kebahagiaan, yang menurutnya merupakan tujuan tertinggi yang

didambakan manusia yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji

melalui kehendak dan pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan

dan meraih kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab, menurutnya kehendak
merupakan sendi moral sekaligus sebagai sendi politik---begitu menurut istilah dia---juga

ilmu madani. Yaitu ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum yang

berlaku. Sebab moral dan politik menurut beliau berhubungan erat. KarenaMadinah

fadilah (kota ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-

masing anggotanya saling membantu.

Ibnu Maskawaih adalah filsuf Islam dalam. Tetapi kefilosufannya itu tidak ia raih

melalui jalur pendidikan formal, melainkan dengan otodidak. Dialah contoh seorang otodidak

sukses dan sejati. Dan perlu dicatat di sini bahwa pengaruh filsafat Yunani sangat besar

merasuk dalam pikirannya sehingga terkesan menomorduakan ajaran-ajaran Islam. Filsafat

Yunani mendapat porsi yang lebih besar dibandingan porsi agama. Misalnya ketika menyebut

tentang keutamaan-keutamaan moral, bukannya menonjolkan nilai-nilai akhlak Islam tetapi

justru mengadopsi konsep Plato, Aristoteles, dan Galen. Namun demikian, Maskawaih

memiliki nilai plus dibandingkan filosuf lainnya, terutama sekali dalam pembahasannya

tentang urgensi kenabian dan urgensi ditanamkannya pendidikan agama terhadap anak-anak,

naik turunya peradaban, bangsa-bangsa dan negara-negara. Untuk itu ahli sejarah harus

menjaga diri terhadap kecenderungan umum mencampuradukkan kenyataan dan rekaan atau

kejadian-kejadian palsu. Ia bukan saja harus faktual, tetapi juga harus kritis dalam

mengumpulkan data. Ia tidak hanya mengisi sejarahnya dengan gambaran-gambaran tentang

kenyataan, tetapi juga pandangan-pandangan filosofis, menafsirkannya dalam

lingkup kepentingan manusiawidan akibat-akibat yang terjadi. Sebagaimana di dalam alam,

di dalam sejarahpun tidak ada tempat bagi kebetulan. Karena itu sejarah bukanlah kumpulan

kenyataan terpisah dan statis, tetapi merupakan proses kreatif-dinamis harapan-harapan dan

aspirasi-aspirasi manusia. Ia adalah organisme yang hidup dan tumbuh, yang strukturnya

ditentukan oleh cita-cita dasar serta cita-cita kebangsaan dan negara.


Ibnu Sina, karyanya memberikan kesan bahwa problematika qada dan qadar

membara di zamannya. Anggapan terkuat menyatakan bahwa majlis-majlis kaum Ismailiyah

dan propagandis Fatimi tidak kehilangan kesempatan untuk membicarakan masalah ini

sebagai pendukung atau penentang. Sebagai bukti ialah bahwa Syeikh al-Rais (gelar Ibnu

Sina) mengantisipasi masalah ini tidak hanya sekali. Mengenai masalah ini, ia menulis

sejumlah risalah. Nampak kegoncangan yang menimpa hidupnya maupun penjara dan hukum

buang yang dialaminya, ada kaitannya dengan pemecahan topik dimaksud. Para ahli sejarah

berpendapat bahwa Ibnu Sina menyusun salah satu risalah tersebut dalam perjalanan menuju

Isfahan, setelah ia melarikan diri dari benteng Fardajan tempat ia dipenjara dengan kejam

selama empat bulan. Selebihnya, ini merupakan bukti bagi sikap mutakalimin terhadap

problematika ini, dan tidak meningkatkannya. Ia berusaha untuk menyelesaikan problem ini

dalam pola lain yang ia setujui dan sejalan dengan filsafatnya. Dalam rangka menyelesaikan

problem ini, ia kadang-kala menempuh metode dialog tetapi kadang-kala menempuh jalur

analisis. Risalah yang ia tulis fi al-Qada wa al-Qadar, merupakan potongan (fragmen) sastra

yang kritis (munqamah), yang memuat kata-kata asing dan imajinasi yang jauh, di mana ia

menceritakan kisahnya bersama dengan orang yang mengingkari qadar, dengan semangat

permusuhan dan debat.

Al-Ghazali memiliki pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq,

metafiska dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf

yang menulis tentang kefilsafatan dalam karyanyaMaqashid Al Falasifah, sesudah itu ia

menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai seorang

filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengkritik filsafat dan

menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-

hal yang berlawanan dengan agama. Dengan demikian dia seorang filosuf yang sanggup

menggugat dirinya sendiri. Ia jujur, konsekuen dan tegas dalam pendirian. Selalu nengacu
pada kebenaran yang didasarkan pada ajaran Islam. Menurut Al-Ghazali agama tidak

melarang ataupun memerintahkan mempelajari ilmu matematika, karena ilmu adalah hasil

pembuktian pemikiran orang yang tidak bisa diingkari, sesudah dipahami dan dimengerti.

Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan: (1) Karena keberatan dan ketelitian ilmu-

ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang mengira bahwa semua lapangan filsafat

demikian pula keadaannya, sampaipun dalam lapangan ketuhanan; (2) Sikap yang timbul

dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus

mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka

bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari

dan dianggap berlawanan dengan syara.

Lapangan logika menurut Al-Ghazali juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama,

atau dengan kata lain agama tidak memerintahkan atau melarang logika. Logika berisi

tentang penyelidikan dalil-dalil pembuktian, qiyas-qiyas (sylogisme), syarat-sayarat

pembuktian (burhan), definisi-definisi dan sebagainya. Semua persoalan ini tidak perlu

diingkari, sebab masih sejenis dengan yang dipakai oleh ulama-ulama theologi Islam

meskipun kadang-kadang berbeda istilah dan kata-katanya. Bahasa yang ditimbulkan oleh

logika dari filosuf-filosuf, ialah karena syarat-syarat pembuktian tersebut juga menjadi

pendahuluan dalam soal-soal ketuhanan (metafisika), sedang sebenarnya tidak demikian.

Ilmu fisika menurut Al-Ghazali, membicarakan tentang planet-planet, unsur-unsur

(benda-benda) tunggal, seperti air, hawa tanah dan api: kemudian benda-benda tersusun

seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, logam, sebab-sebab perubahan dan pelarutannya.

Pembahasan tersebut sejenis dengan pembahasan langan kedokteran, yaitu menyelidiki tubuh

orang, anggota-anggota badannya dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalamnya.

Sebagaimana untuk agama tidak diisyaratkan mengingkari ilmu kedokteran, maka demikian

pula fisika juga tidak perlu diingkari, kecuali dalam beberapa hal yang disebutkan dalam
buku Tahafutu Al Falasifah, yang disimpulkan bahwa alam semesta ini dikuasai (tunduk)

kepada Tuhan, tidak bekerja dengan diri sendiri, tetapi bekerja karena Tuhan zat pencipta.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin. 1956. Dhuha Al-Islam II. Cairo

H.A. Mustofa. 1997. Fisafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia

Ibrahim Madkour. 2009. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah . Jakarta: PT. Bumi Aksara

M. Luthfi Jumah. 1927. Tarikh Falasifah Al-Islam. Mesir

Anda mungkin juga menyukai