Anda di halaman 1dari 15

Demam Tifoid

Nisa Kamila
102012291/ D
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510 - Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
niskamila@yahoo.com

Abstrak

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman golongan
Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enterik, tifus, dan paratifus abdomen.
Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang
sama seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan
masalah kesehatan yang penting, terutama di negara-negara yang sedang berkembang baik
ditinjau dari segi epidemiologi, segi diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dari
laboratorium kliniknya. Hal ini berhubungan erat pula dengan keadaan sanitasi dan
kebiasaan higiene yang kurang memuaskan.

Kata kunci: demam tifoid, Salmonella, epidemiologi, diagnosis

Pendahuluan

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak
di daerah tropis dan subtropis seperti indonesia. yang menimbulkan infeksi pada usus halus
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan serta lesu.
Demam Tifoid mudah menular dan disebabkan oleh banyak faktor. Faktor penyebabnya
antara lain kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang
rendah, pengolahan makanan yang masih rendah, urbanisasi, keadaan sosio ekonomi yang
masih rendah, pemeliharaan kebersihan pribadi (personal hygiene) yang kurang baik, air
minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan tidak dimasak mendidih, serta kebersihan
lingkungan dan sanitasi yang kurang.

Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan
penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti.
Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak

1
ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit
lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya
pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.

Anamnesis

Anamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam medik
pasien. Anamnesis merupakan suatu komunikasi antara dokter dengan pasien atau orang yang
terdekat dengan kehidupan pasien tersebut sehari-hari. Tujuan dari anamnesis ini adalah untuk
mengetahui keluhan utama dari pasien serta informasi mengenai riwayat penyakit pasien. Anamnesis
dapat dilakukan pada pasiennya sendiri (auto) atau pada keluarga terdekat (allo).1 Rekam
medik yang dilakukan meliputi:
a. Identitas: nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien,
keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.
b. Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien tentang permasalahan yang
sedang dihadapinya.
c. Riwayat penyakit sekarang (RPS): cerita kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai
pasien datang berobat.
d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): bertanya apakah pasien pernah mengalami
demam tifoid sebelumnya.
e. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah
kesehatan pada anggota keluarga.
f. Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah,
tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan)

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik merupakan suatu keterampilan pemeriksaan dasar yang harus
dimiliki oleh seorang dokter dalam mendukung diagnosanya terhadap suatu penyakit.
Seorang dokter yang baik, dapat mendiagnosis secara tepat hanya dengan melakukan
pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan lab, khususnya untuk penyakit-penyakit yang memang
tidak membutuhkan pemeriksaan lab.1 Pemeriksaan fisis mempunyai nilai yang sangat
penting untuk memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisis
meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang (Inspeksi), periksa raba (Palpasi),

2
pemeriksaan ketok (Perkusi), dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop
(Auskultasi).2

1. Pemeriksaan kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang


terhadap rangsangan dari lingkungan.2

Tingkat kesadaran ini dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:2

Compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat


menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
Apatis, yaitu keadaan yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikap
acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.
Somnolen (obtundasi, letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

2. Tanda-Tanda Vital2
Suhu: Untuk mengukur suhu tubuh, digunakan termometer demam. Suhu tubuh
yang normal adalah 36-37C.
Tekanan darah: Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter
(sfigmomanometer). Tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.
Denyut nadi: Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali per menit.
Respiratory rate: Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali
per menit.

3
Pada kasus, didapatkan hasil pemeriksaan fisik; Compos mentis, T: 37C,
RR:18x/mnt, N:90x/mnt, TD:120/80 mmHg, abdomen: nyeri tekan pada ulu hati, hepar dan
lien: tidak teraba. Dan demam meningkat menjelang sore hari

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang hasil anamnesis kita terhadap
pasien. Pemerikasaan laboratorium juga dapat digunakan sebagai bukti penguat diagnosis
kita. Seperti pada kasus yang diduga terkena infeksi dari Salmonella thypi, pemeriksaan
laboratorium yag dilakukan antara lain adalah uji widal, uji tubex, uji typidot,uji IgM dipstick
dan kultur darah.3-4

Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:3-4
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman),
b. Aglutinin H (flagela kuman),
c. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi
kuman ini.
Pembentuk an aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti aglutinin
H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan
untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:3-4
1. Pengobatan dini dengan antibiotik,
2. Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid,
3. Waktu pengambilan darah,
4. Daerah endemik atau nonendemik,

4
5. Riwayat vaksinasi,
6. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,
7. Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna
diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya
berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.

Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S. typhi O9 pada serum pasien,
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex
yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik
latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D
walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan
memberikan hasil negatif.3-4
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang
respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan
dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen O9 berlangsung cepat
sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya
dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan
sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi:3-4


1. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas,
2. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S.
typhi O9,
3. Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan
antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9.

Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan ke
dalam tabung dengan satu tetes (25 L) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 L)
ditambahkan ke dalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-

5
tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar
selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna
larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna
inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Interpretasi hasil uji Tubex.3-4


Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila
3 Borderline
masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan
pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung
reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung
oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi
terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak
tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.

Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.
typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.3-4

Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan
sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG
saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi
atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini
kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang
dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM

6
spesifik yang ada pada serum pasien. Uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai
100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.3-4

Uji IgM Dipstick


Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi pada
spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip
sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini
stabil untuk disimpan selama 2 hari pada suhu 4-25C di tempat kering tanpa paparan sinar
matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi
dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir
dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik.3-4

Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus
apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah
timbulnya gejala.

Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut:3-4
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif,
2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman,
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat
negatif,
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat.

7
Pada pemeriksaan darah pasien, didapatkan hasil; Hb: 14 g/dl, Ht: 42%, leukosit:
4000/l, trombosit: 200.000/l, Salmonella typhi O: 1/320, S. typhi H: 1/320, S. paratyphi AO:
1/80, S. paratyphi AH: -

Working Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang, dapat disimpulkan
bahwa working diagnosis pada kasus ini adalah demam tifoid. Demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk menular, penyakit ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.

Gejala Klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.3
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.3

Differential Diagnosis

1. Demam Dengue:

Demam ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Penularan infeksi virus
demam dengue terjadi melalui vector genus Aedes terutama Aedes Aegypti dan A.

8
albopictus. Gejala klinis demam ini menyerupai gejala klinis infeksi lainnya disertai
dengan ruam kulit, manifestasi perdarahan seperti petekie, leucopenia. Penderita demam
ini biasanya sering mengalami epistaksis atau perdarahan gusi.1-3

Demam Berdarah Dengue: Penderita demam ini sama dengan penderita demam
dengue kecuali pada DBD, didapati kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, atau
hipoproteinemia. Pada keadaan berat dapat terjadi SSD atau sindrom syok dengue yang
disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, hipotensi,
kulit dingin, dan gelisah. 3,4

2. Malaria:

Penderita penyakit ini disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium dan memiliki 4
species: P. vivax, P.ovale, P.malariae, P. falciporum. Dari keempat tersebut, yang dapat
menyebabkan kematian paling sering adalah P.falciporum. Manusia dapat terinfeksi oleh
parasit ini melalui saliva ketika nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi menggigit dan
memiliki fase sporozoit yang merupakan stadium infeksi pada parasit ini. Gejala klinis
penderita ini sama seperti penderita infeksi lainnya meliputi sakit kepala, lelah, nyeri
abdomen dan demam. Walaupun nyeri kepala pada malaria cukup parah, tetapi tidak ada
kekakuan leher atau photophobia dan nyeri otot tidak separah pada penderita demam dengue.
Orthostatic hypotension sering didapati. Yang khas tentang malaria adalah demam tinggi,
menggigil, dan kekakuan badan. Pada P.falciporum mungkin demamnya tidak pernah
reguler, suhu mencapai diatas 40oC dengan takikardi dan delirium. Hepatomegali,
splenomegali, dan jaundice yang ringan sering didapati pada penderita ini. Rash tidak
didapati pada penderita ini kecuali pada penderita berat P. falciparum. 3,4

3. Leptospirosis:

Penderita Leptospirosis disebabkan oleh Leptospirosis interrogans. Mikroorganisme


ini dapat hidup di tubulus renalis untuk beberapa tahun tertuama pada rodents atau tikus.
Transmisi bakteri ini pada manusia biasanya melalui kontak langsung dengan urin, darah,
atau jaringan dari binatang atau hewan yang telah terinfeksi atau kepaparang terhadap
lingkungan yang terkontaminasi. Transmisi antara manusia ke manusia jarang. Karena
Leptospirosis interrogans ini dikeluarkan melalui urin dan dapat hidup dalam air selama
beberapa bulan, air merupakan transportasi bagi transmisi bakteri ini seperti pada banjir
dimana urin dari hewan yang terkontaminasi bergabung. Gejala-gejala yang didapati

9
penderita ini hampir sama dengan gejala klinis infeksi yang lain meliputi demam, menggigil,
sakit kepala di bagian frontal dan retroorbital, mual, muntah, dan nyeri otot. Yang khas pada
penderita ini adalah nyeri otot terutama di bagian betis, belakang, dan perut. Sering juga
didapat conjunctival suffusion. Rash, limfadenopati, splenomegali, hepatomegali jarang
ditemukan. Pada penderita berat ditemukan Weils syndrome yang dikarakteristikan dengan
jaundice, gangguan renal, dan hemmorhagic diathesis. 3,4

Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Salmonella adalah motil,
tidak membentuk spora, tidak berkapsul, batang gram-negatif. Kebanyakan strain meragi
glukosa, manosa, dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi mereka tidak meragi
laktosa atau sukrosa. S. typhi tidak menghasilkan gas. Organisme Salmonella tumbuh secara
aerobik dan mampu tumbuh secara anaerobik fakultatif. Mereka resisten terhadap banyak
agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 130F (54,4C) selama 1 jam atau
140F (60C) selama 15 menit. Mereka tetap dapat hidup pada suhu sekeliling atau suhu yang
rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam
sampah, bahan makanan kering, agen farmakeutika dan bahan tinja.5
Seperti anggota lain Enterobakteriaseae, Salmonella memiliki antigen somatik O dan
antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel stabil panas;
antigen H adalah protein labil panas yang dapat muncul pada fase 1 atau 2. Skema Kauffman-
White biasa digunakan untuk mengklasifikasi serotip Salmonella yang didasarkan pada
antigen O dan H. Penggolongan serotip penting secara klinis karena serotip tertentu
cenderung untuk disertai dengan sindrom klinis spesifik dan karena deteksi serotip yang tidak
biasa kadang-kadang secara epidemiologi berguna. Antigen lain adalah polisakarida kapsul
virulen (Vi) ada pada S. typhi dan jarang ditemukan pada strain S. paratyphi C.5

Epidemiologi

Surveilan Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia


pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4
per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35.1% yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus.

10
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di
daerah urban ditemukan 760-810per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan.

Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun dengan demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.3

Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sallmonella yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke
saluran getah bening lalu ke aliran darah. Kemudian bakteri dibawa oleh darah menuju berbagai
organ, termasuk usus. Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan dieksresi dalam
tinja. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik. 3
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. 3

11
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague
Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. 3

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ
lainnya.

Penatalaksanaan atau Terapi

Non-Medica Mentosa: 3,4,6

1. Istirahat dan perawatan: Dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat


penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat sperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, buang air besar, akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, perlengkapan yang dipakai,
serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif): Dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan keseatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal
yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid karena
makanan yang kurang akan menunrunkan keadaan umum dan gizi penderita akan
semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Pemeberian bubur saring
ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.
Kemudian ditingkatkan ke bubur kasar dan nasi.
3. Pemberian antimikroba: dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.

Medica Mentosa:3,4,6

1. Kloramfenikol: Obat pilihan utama di Indonesia dengan efektifitas membunuh 90%


kuman. Dosis 4 x500 mg/hari (PO or IV) sampai dengan 7 hari bebas panas.
2. Tiamfenikol: Dosis sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologi
seperti anemia apalastik kemungkinan lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol.

12
3. Kotrimoksazol: Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa: 2x2 tablet (1 mengandung sulfametoksazol 400mg dan 80
mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
4. Ampisilin dan Amoksisilin: kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih
rendah dibanging kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan berkisar 50-150 mg/kbBB
dan digunakan selama 2 minggu.
5. Sefalosporin Generasi Ketiga: Yang terbukti efektif untuk demam tifoid:
seftriakson. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 g dalam dekstrosa 100cc
diberikan jam perinfus sekali sehari selama 3 hingga 5 hari.
6. Golongan Fluorokuinolon:

a. Norfloksasin: 2x400mg/hari selama 14 hari.

b. Siprofloksasin: 2x500mg/hari selama 6 hari.

c. Ofloksasin: 2x400 mg/hari selama 7 hari.

d. Pefloksasin: 400mg/hari selama 7 hari.

e. Fleroksasin 400mg/hari selama 7 hari.

7. Azitromisin: Dosis 2x500mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini dibanding


dengan fluorokuinolon, secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi
rawat inap terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain Multi Drug
Resistance maupun Nalidixic Acid Resistant S. typhi. Dibandingkan dengan
ceftriakson, azitromisin mampu mengurangi angka relaps. Antibiotika ini
terkonsentrasi dalam sel sehingga antiibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan
dalam pengibatan infeksi S. typi yang merupakan kuman intraseluler. Bisa PO atau
IV.
8. Kortikosteroid: Hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septic dengan dosis 3x5mg.

Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan karena dikhawatirkan dapat terjadi
partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol
tidak dianjurkan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum
dapat disingkirkan. Pada kehamilan lanjut dari trimester pertama, dapat diberikan.

13
Fluorokuinolon dan kotrimaksazol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid.
Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksilin, dan seftriakson. 3,4,6

Komplikasi

Karena demam tifoid merupakan penyakit sistemik, makan hampir semua organ tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi dapat terjadi. 3,4

1. Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.

2. Komplikasi ekstra-intestinal:

a. Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID.

c. Paru: Pneumonia, empiema, pleuritis.

d. Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.

e. Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.

f. Tulang: osteomielitis, periostitis, arthritis.

g. Neuropsikiatrik.

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan3

Pencegahan
Pencegahan penyakit demam tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan sanitasi
lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Serta Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral
dan vaksin suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini
pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama
chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang
masih rentan, bisa juga divaksinasi.7

14
Kesimpulan
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang, dapat ditarik diagnosis
pada kasus ini adalah demam tifoid, Namun untuk memastikan suatu diagnosa, tes
laboratorium perlu dilakukan. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi. Faktor
penyebabnya antara lain kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah, pemeliharaan kebersihan pribadi (personal hygiene) yang kurang baik.
Oleh sebab itu Pemberian obat dan dosis harus tepat dan teratur untuk mengurangi terjadinya
komplikasi dan penyembuhan yang lebih cepat. Demam tifoid dapat dicegah dengan
pemberian vaksin namun lebih baik lagi kalau kemungkinan transmisi tersebut dikurangi atau
ditiadakan.

Daftar Pustaka
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009. h. 83-8.
2. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45
3. Sudoyo AW, et al.. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Ed 5. Jakarta: Internal
Publishing; 2009. h.2797-805.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1.
Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
5. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis demam tifoid. Dalam : Kumpulan
Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Jakarta : BP FKUI.2001.h.65-73.
6. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:
departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. 2009.
7. Santoso M, Angelia. Pola pengobatan pada pasien demam tifoid di RSUD Koja.
Meditek vol 13. 2005.

15

Anda mungkin juga menyukai