Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well Being


1. Definisi subjective well-being
Menurut Ryff (1989) well-being adalah inventaris adaptasi
kognitif yang mengukur kemampuan seseorang untuk mengevaluasi
diri mereka sendiri secara positif, menemukan makna dan tujuan dalam
hidup, dan memiliki rasa penguasaan dan penentuan nasib sendiri.
Ryff membedakan antara hedonis well-being (suasana hati dan
perasaan) dan eudaimonic well-being, yang berhubungan dengan
tujuan dalam hidup, pertumbuhan dan perkembangan, serta hubungan
baik dengan orang lain.
Eudaimonic well being bermakna bahwa kebahagiaan adalah
hasil dari perjuangan untuk mencapai aktualisasi diri, dimana dalam
prosesnya akan sangat dipengaruhi oleh bakat, nilai dan kebutuhan dari
individu dalam menjalani hidup (Maltby, Wood, Osborne & Hurling,
2009). Sedangkan, kebahagian hedonis memilik kesamaan dengan
filosofi hedonism yang memandang bahwa tujuan hidup adalah
pencarian kepuasaan dan kebahagiaan.
Subjective well-being merupakan evaluasi orang terhadap
kehidupannya sendiri, baik secara afektif maupun kognitif (Diener,
2000). Orang merasakan subjective well-being yang melimpah ketika
mereka mengalami perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit
perasaan tidak nyaman, ketika mereka merasakan kesenangan dan
sedikit rasa sakit, dan ketika mereka puas dengan hidup mereka
(Diener, 2000). Subjective well-being mencerminkan penilaian masing-
masing individu terhadap diri sendiri tentang kualitas kehidupan
mereka. Penilaian ini bersifat subjektif karena tergantung dari invidu
masing-masing. Penilain subjektif ini dikarenakan adanya perbedaan
berdasarkan nilai hidup, ekspektasi dan hidupnya (Carr, 2004).

1
Subjective well-being tidak mencari tahu penyebab orang bahagia atau
tidak bahagia (Carr, 2004). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa subjective well-being itu adalah kebahagiaan itu sendiri. Oleh
sebab itulah, dalam penelitian ini subjective well-being dan
kebahagiaan dianggap memiliki makna yang sama.

2. Dimensi Subjective Well-being


Ada tiga dimensi dalam Subjective well being, yaitu life
satisfaction, postive affect dan negative affect. Life satisfaction adalah
penilaian kognitif seseorang terhadap tingkat kepuasaan hidupnya.
Positive affect adalah frekuensi dan intensitas emosi yang
menyenangkan seperti perasaan nikmat dan bahagia. Negative affect
adalah frekuensi dan intensitas emosi yang tidak menyenangkan
seperti kekhawatiran dan kesedihan. Kedua afek tersebut (positif dan
negatif) adalah perasaan orang terhadap kehidupan mereka (Diener,
2000 & Kashdan, 2004). Dengan demikian, orang yang merasakan
emosi positif yang tinggi dan emosi negatif yang sedikit serta
merasakan kehidupannya sempurna dapat didefinisikan sebagai orang
yang bahagia. Hal ini sejajar dengan definisi Subjective well being
yang dikemukakan oleh Diener.

3. Faktor penyebab subjective well being


Faktor yang mempengaruhi subjective well being dibagi
menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Cantril, 2000;
Bradburn, 1969; Campbell, Converse & Rodgers, 1976; Inglehart,
1990; Veenhoven, 1994 dalam Eddington dan Shuman, 2006).

a. Faktor internal yang mempengaruhi subjective well being


sebagai berikut:
Traits, sifat seseorang dapat mempengaruhi subjective well
being. Extraversion dan neuroticsm berpengaruh cukup besar

2
dalam mempengaruhi subjective well being dibandingkan sifat-
sifat. Ciri seseorang yang memiliki sifat extraversion cenderung
lebih positif, hangat, mampu bersosialisasi sehingga hal ini
berkorelasi dengan emosi yang menyenangkan. Sedangkan
seseorang dengan sifat neuroticism cenderung mudah khawatir,
sensitif, pesimis sehingga akan berhubungan dengan pikiran dan
emosi yang tidak menyenangkan. Self esteem, Eddington &
Shuman (2006) menunjukkan bahwa kepuasan diri merupakan
predictor kepuasan terhadap hidupnya. Namun self esteem ini
memiliki hubungan yang kecil, karena self esteem akan berubah
sesuai dengan keadaan hidupnya.
Self efficacy adalah perasaan yang dimiliki seseorang untuk
mencapai tujuan-tujuan penting didefinisikan sebagai self efficacy
(Feasel, 1995 dalam Eddington & Shuman, 2006). Seseorang yang
memiliki self efficacy yang tinggi memiliki keyakinan akan
kemampuannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga,
seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi mampu
mencapai tujuan-tujuan yang penting dalam hidupnya dan
mengesampingkan tujuan yang tidak penting sehingga individu
tersebut semakin bahagia dengan hidupnya.

b. Faktor eksternal yang mempengaruhi subjective well being


sebagai berikut:
Sex differences, Shuman (Eddington dan Shuman, 2006)
menyatakan penemuan menarik mengenai perbedaan jenis kelamin
dan subjective well-being. Wanita lebih banyak mengungkapkan
afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih
banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini;
namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global
yang sama. Wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif
yang lebih banyak dibandingkan pria. Sehingga wanita apabila

3
bersedih maka dapat mengakibatkan kejadian yang buruk baginya
sedangkan saat ia bahagia maka akan memberikan kejadian yang
baik juga.
Purpose memberikan peran penting dalam penyebab SWB,
orang-orang merasa bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang
dinilai tinggi dibandingkan dengan tujuan yang dinilai rendah.
Contoh berhasil membeli rumah mewah lebih menyenangkan
dibandingkan dengan membeli rumah yang biasa saja. Seseorang
yang memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya akan cenderung
lebih bahagia.
Income atau pemasukan memiliki hubungan yang
signifikan terhadap SWB walaupun hubungan yang dimiliki kecil.
Secara umum, orang yang memiliki pemasukan yang tinggi lebih
bahagia dibandingkan orang yang memiliki pendapatan yang
rendah. Hal ini dikarenakan dalam meningkatkan Subjective well-
being, seseorang butuh untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka
seperti makanan, tempat tinggal dan kebutuhan kesehatan.
Pernikahan atau marriage berperan sebagai penopang dalam emosi
dan kondisi ekonomi yang menghasilkan reaksi positif dan juga
sebaliknya orang yang bahagia memiliki kemungkinan lebih besar
menikah. Interaksi, pengkespresian emosi, dan pembagian tugas
berperan dalam keberhasilan pernikahan. Persepsi tentang
kesehatan lebih penting daripada secara objektif. Individu dengan
kondisi kronis atau cacat memliki Subjective well-being yang
rendah, jika kondisinya lebih ringan memungkinkan adaptasi.
Kesehatan yang buruk mempengaruhi kebahagiaan secara negatif
karena berhubungan pengan pencapaian goal atau tujuan.
Agama disebutkan sebagai opiate of the masses yaitu
berhubungan dengan lingkungan banyak atau beberapa orang,
keyakinan beragama, relasi dengan Yang Maha Kuasa,
sembahyang, serta partisipasi dan pengabdian. Agama juga

4
mempengaruhi ketika individu berada dalam krisis serta berperan
dalam meningkatkan hubungan dengan sesama dalam komunitas
yang tersedia. Efek dari agama tidak selalu positif dan masih
diperlukan penelitian lebih lanjut. Kesenangan hidup tinggi bagi
mereka yang pengangguran, pensiun, tua, atau bagi yang memiliki
status kekayaan dan sosial tinggi dan pernikahan tanpa anak.
Olahraga juga berpengaruh positif bagi kesenangan karena tubuh
melepaskan hormone endorphin, relasi sosial, dan kepuasan
terhadap kesuksesan atau self-efficacy. Kepuasan tertinggi dicapai
oleh aktivitas tantangan yang melibatkan skill. Kesenangan paling
popular adalah menonton televise dan liburan adalah sumber
kebahagiaan serta relaksasi. Intensivitas pengalaman positif tidak
memiliki banyak efek terhadap kebahagiaan berhubungan dengan
kemunculan yang jarang. Individu mengalami mood yang positif
ketika bersama teman dibanding dengan ketika bersama dengan
orang tua atau sendiri. Kebahagiaan yang paling tinggi adalah jatuh
cinta selama cinta itu masih ada. Kebahagiaan yang berlangsung
paling lama adalah agama. Kemampuan intelejensi berhubungan
dengan pencapaian tujuan termasuk pengaruh dengan kebahagiaan.
Fisik yang menarik memiliki efek yang besar terutama bagi wanita
muda. Kemampuan sosial extrovert berpengaruh positif pada
kebahagiaan dibanding yang tidak bisa menemukan dukungan
sosial atau pertemanan. Kebahagiaan juga berhubungan dengan
kerja sama, kepemimpinan, dan kemampuan heteroseksual.

B. Materialisme
1. Definisi Materialisme
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, materialisme adalah
pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk
kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata, dengan
mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.

5
Materialisme menurut Belk (1985) adalah individu yang menempatkan
kepemilikan duniawi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup
sehingga kepemilikan duniawi sebagai sebuah tujuan hidup. Belk
(1985) juga mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri
kepribadian yang dimiliki setiap orang. Belk (1985) menyatakan
bahwa materialisme terdiri atas 4 dimensi yaitu: possessiveness yaitu
kecenderungan untuk mempertahankan kontrol atau kepemilikan harta
seseorang, nongenerosity yaitu keengganan untuk memberikan harta
atau berbagi harta dengan orang lain, envy yaitu ketidaksenangan atau
niat jahat pada keunggulan orang lain dalam kebahagiaan, kesuksesan,
reputasi, atau kepemilikan apa pun yang diinginkan, dan preservation
yaitu konservasi peristiwa, pengalaman, dan kenangan dalam bentuk
materi.
Selain itu, materialisme menurut Richins & Dawson (1992)
adalah nilai individu atau dasar kepercayaan yang menganut
pentingnya kepemilikan benda atau materi sebagai kesejahteraan dan
kesempurnaan hidup. Orang materialistis sangat memperhatikan citra
dan status sosial mereka. Leiss, Kline, dan Jhally (1986) berpendapat
bahwa individu materialistis terutama terkait dengan perbandingan
sosial dan posisi mereka dalam hubungan dengan orang lain. Mereka
merasakan kebahagiaan dan harga diri tidak didasarkan pada jumlah
uang atau harta absolut itu sendiri tapi lebih pada rasio dari apa yang
dimilikinya dibandingkan dengan yang dimiliki orang lain.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
materialisme adalah pandangan hidup yang mengutamakan
kepemilikan materi untuk meraih kebahagiaan.

2. Dimensi materialisme
Materialisme ini dibagi dalam 3 dimensi oleh Richins &
Dawson (1992). Berikut ini 3 dimensi materialisme menurut Richin &
Dawson yaitu: Pertama, dimensi pentingnya harta dalam hidup

6
seseorang (acquisition centrality) bertujuan untuk mengukur derajat
keyakinan seseorang yang menganggap bahwa harta dan kepemilikan
sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dimensi ini terlihat pada
ciri dimana umumnya mereka egois dan terpusat pada diri sendiri,
serta mereka mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan,
contohnya: mereka menginginkan untuk mempunyai tidak hanya
sesuatu, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan
sederhana. Kedua, dimensi kepemilikian merupakan ukuran
kesuksesan hidup (possession defined success) untuk mengukur
keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada jumlah dan
kualitas kepemilikanya. Dimensi ini terlihat pada ciri orang yang
mengutamakan menghargai dan memamerkan kepemilikan. Ketiga,
dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian
(acquisition as the pursuit of happiness) untuk mengukur keyakinan
apakah seseorang memandang kepemilikan dan harta merupakan hal
yang penting untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup.
Dimensi ini terlihat pada ciri dimana mereka miliki sekarang tidak
dapat memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu
mengharapkan kepemilikan yang lebih tinggi agar mendapatkan
kebahagian yang lebih besar.

3. Faktor penyebab materialisme


Ada tiga faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser,
Ryan, Couchman, & Sheldon, 2004) yaitu sebagai berikut: Pertama,
insecurity yaitu kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas
dan ragu tentang perasaan berharga, mengatasi tantangan secara
efektif, dan perasaan aman terhadap dunia yang sulit diprediksi;
dengan cara memiliki materi-materi dalam rangka mengatasi perasaan
tidak aman (insecurity) tersebut, pemaparan terhadap model dan nilai
materialistik, dalam bentuk pesan-pesan implisit dan eksplisit yang
menampilkan pentingnya uang dan kepemilikan. Kedua, gaya hidup

7
yang materialistik pada anggota keluarga dan teman sebaya, juga yang
ditampilkan oleh media, menimbulkan materialisme pada individu dan
pengiklanan dan penyebaran kapitalisme. Ketiga, iklan-iklan yang
terpengaruh oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang dapat
menimbulkan perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang
terpengaruh akan berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan
cara memiliki uang atau materimateri lainnya yang ditampilkan oleh
iklan tersebut.
Selain itu, harga diri rendah (Park & John, 2011), Kecemasan
akan kematian dan rasa tidak aman (Kasser & Sheldon, 2000;
Rindfleisch & Burroughs, 2004), Faktor keluarga (Chaplin & John,
2007, 2010; Kasser dkk, 1995), Stres dan konflik keluarga (Flouri,
2007), Faktor pergaulan (Banerjee & Dittmar, 2008; Chan &
Prendergast, 2007), Faktor lingkungan (Bauer dkk, 2012; Chan,
Zhang, & Wang, 2006), Faktor religius (Polak & McCullough, 2006;
Rakrachakarn dkk, 2013) adalah beberapa faktor yang menyebabkan
materialisme.

4. Dampak Materialisme
Menurut Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon (2004), orientasi
nilai materialisme pada individu dapat merusak hubungan
interpersonal dan relasi dalam komunitas. Hal ini karena hubungan
interpersonal pada individu yang materialistik akan ditandai dengan
reaksi emosi yang ekstrim, bukan dengan kepercayaan dan
kebahagiaan. Selain itu, individu yang materialistik sering
membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga menimbulkan
perasaan yang buruk terhadap diri sendiri dan membuat individu akan
semakin materialistik (Kasser et al., 2004), Rendahnya Empati, self
transcendence (Can, 2013), Rendahnya well being, ketidakbahagiaan
dan ketidakpuasan hidup (Brouskeli & Loumakou, 2014; Dittmar &

8
Kapur, 2011; Gararsdttir, Jankovi & Dittmar, 2008; Karabati &
Cemalcilar, 2010; Konow & Earley, 2008; Tatzel, 2002; Tsang, dkk,
2014; Can, 2013), perilaku compulsive dan excessive buying (Dittmar,
2005; Mller, dkk, in press, 2011; Pham, Yap, & Dowling, 2011),
sikap negatif terhadap pernikahan dan memiliki anak (Li dkk, 2010),
Ketidaksukaan menabung dan sekolah pada anak, rendahnya motivasi
belajar intrinsik, meningkatnya motivasi belajar ekstrinsik, dan
rendahnya performa akademik (Goldberg dkk, 2003; Ku, Dittmar, &
Banerjee, in press; 2012), rendahnya sikap dan perilaku pro
lingkungan (Hurst dkk, 2013; Kilbourne & Picket, 2008), sulit
menabung, manajemen keuangan buruk, kecemasan finansial
(Gararsdttir & Dittmar, 2012; Goldberg dkk, 2003).

C. Self Transcendence
Hamer (2004) mendefinisikan self transcendence sebagai istilah
yang menggambarkan perasaan spiritual yang tidak bergantung pada
agama tradisional, alam, dan tempat seseorang tinggal. Menurut hamer,
individu yang memiliki sifat self transcendence cenderung melihat segala
sesuatu termasuk diri mereka sebagai bagian dari sesuatu yang besar.
Mereka memiliki perasaan empati yang kuat pada manusia, tempat dan
benda. Orang yg tidak transenden memiliki sudut pandang yang lebih
egois. Mereka fokus pada perbedaan antara orang, tempat, dan benda
bukan kesamaan atau ketertarikan.
Cloninger (1994) mendefinisikan self transcendence sebagai
karakter dan menciptakan ukuran yang mengukur kepribadian. Cloninger
mengidentifikasi kepribadian sebagai temperamen dan karakter yang dapat
diukur dalam tujuh faktor Temperament and Character Inventory (TCI).
Self transcendence menurut TCI-ST Cloninger memiliki tiga faktor
sebagai berikut: Ketidakberdayaan (Vs pengalaman sadar diri), identifikasi
transpersonal (vs selfisolation), dan penerimaan spiritual (vs materialisme
rasional). Cloninger (2004) melaporkan bahwa individu yang memiliki

9
nilai tinggi pada sifat self transcendence cenderung bijaksana, idealis,
transpersonal, setia, dan spiritual. Individu dengan skor rendah represif,
praktis, dualistik, skeptis, dan materialistis. Cloninger juga membahas
bahwa individu dengan kepribadian dewasa paling sering diarahkan,
kooperatif, dan transenden (Cloninger, Svrakic, & Przybeck, 1993).
Kepribadian yang sehat mencerminkan peningkatan skor pada tiga ciri
karakter TCI Cloninger, sementara skor rendah pada tiga ciri tersebut
mencerminkan gangguan kepribadian. Hal ini berguna untuk dicatat
bahwa Cloninger mendefinisikan self transcendence sebagai sifat
kepribadian dan temperamen.

D. Hubungan Materialisme, Self Transcendence, dan Well-being


Hubungan antara materialisme dan well-being secara konsisten
menunjukkan bahwa materialisme memiliki hubungan negatif dengan
well-being (Belk, 1985; Richins dan Dawson, 1992; Ryan dan Dziurawiec,
2001; Sirgy, 1998). Banyak peneliti telah menemukan hubungan negatif
yang konsisten antara keduanya (misalnya, Belk, 1985; Burroughs &
Rindfleisch, 2002; Carver & Baird, 1998; Kasser & Ryan, 1993, 1996;
Roberts, Tanner, & Manolis, 2005; Solberg, Diener, & Robinson, 2004).
Secara khusus, materialisme berbanding terbalik dengan nilai-nilai
yang berorientasi kolektif (Burroughs & Rindfleisch, 2002) dan
berbanding terbalik dengan nilai prososial universalisme dan kebajikan
(Schwartz & Sagiv, 1995). Rich dan Dawson (1992) menemukan bahwa
individu yang sangat materialistis cenderung tidak menganggap hubungan
dengan orang lain sebagai nilai penting dibandingkan dengan nilai lain
seperti keamanan finansial. Demikian pula, Burroughs dan Rindfleisch
(2002) menemukan bahwa materialisme dikaitkan secara negatif dengan
tiga nilai kolektif: nilai-nilai masyarakat, nilai keluarga, dan nilai-nilai
agama.
Richins dan Dawson (1992) berpendapat bahwa materialisme
adalah sistem nilai dalam oposisi langsung untuk keutamaan prososial,

10
yang dihasilkan dari fokusnya pada individualistik dan bukan sosial atau
orientasi lainnya. Penelitian yang menghubungkan materialisme dengan
menurunkan nilai prososial sebagian besar berasal Schwartz (1992) pada
struktur nilai-nilai dasar manusia. Schwartz telah mengidentifikasi sepuluh
jenis nilai umum yang membentuk dasar nilai-nilai kemanusiaan lintas
budaya. Nilai ini adalah: Kekuatan, prestasi, hedonisme, stimulasi,
pengarahan diri sendiri, universalisme, kebajikan, tradisi, kesesuaian, dan
keamanan (Schwartz, 1992; Schwartz & Sagiv, 1995).
Penelitian empiris telah menunjukkan bahwa ukuran materialisme
terkait erat dengan nilai peningkatan diri Schwartz. Burroughs dan
Rindfleisch (2002) menemukan bahwa materialisme (Diukur sebagai nilai
yang ditempatkan pada perolehan benda material) terkait erat dengan
peningkatan diri. Demikian pula Karabati dan Cemalcilar (2010)
menemukan bukti kuat adanya hubungan antara keduanya. Materialisme
dan nilai self-enhancement, dengan koefisien yang tertinggi antara
materialisme dan kekuatan (dari semua sepuluh nilai). Hubungan positif
antara nilai self - enhancement dan langkah-langkah materialisme lainnya
telah dikonfirmasi di sampel AS, Kanada, dan Jerman (Kilbourne,
Grnhagen, & Foley, 2005). Menilai nilai dasar menggunakan Survei Nilai
Schwartz, para periset telah mampu menunjukkan hubungan terbalik
antara materialisme dan nilai prososial. Prososial (universalisme dan
kebajikan) berhubungan negatif dengan Materialisme (diukur sebagai
pentingnya harta benda bagi individu; Kilbourne dkk., 2005).
Cloninger (2006) mengemukakan bahwa spiritualitas adalah
komponen penting untuk well being dan tingkat spiritualitas individu dan
lebih spesifik lagi, self transcendence adalah well being. Hubungan antara
self transcendence dan well-being bersifat langsung dan positif bila
indikator well-being positif (Reed, 2003). Dengan demikian, self
transcendence diharapkan dapat mempengaruhi secara positif terhadap
well being tetapi secara negatif terhadap materialisme.

11
E. Penelitian-penelitian yang Relevan
Peneliti Metodologi Hasil Penelitian
Jennifer Marie Smith Penelitian ini Semakin tinggi
(2010) menganalisis hubungan tingkat materialisme
antara materialism maka semakin tinggi
dengan well-being dan pula tingkat depresi.
depresi Semakin tinggi
Variabel dalam tingkat materialisme
penelitian ini adalah maka semakin rendah
materialism, well-being tingkat well being.
dan depresi
Sample sebanyak 1136
Longitudinal Study of
Generations
(Bengston, 2005), a
large-scale study of
multi-generational,
California families who
completed
questionnaires at 5
times points from
1985 to 1997
Materialisme diukur
dengan skala Bengton
(1975) adaptasi dari
Survei Nilai Rokeach
(1973), depresi diukur
dengan menggunakan
Pusat Inventaris

12
Depresiasi
Epidemiologi (Radloff,
1977), dan well being
diukur dengan
menggunakan
Bradburn's Affect
Balance Scale (1969)
Analisis data
menggunakan multiple
regresi dan model linear
hierarki
Jonathan J. Sperry Penelitian ini Positive moderate
(2011) menganalisis hubungan antara self
self transcendence, transcendence, well
spiritualitas dan well being dan spiritualitas
being
Variable dalam
penelitian ini adalah self
transcendence,
spiritualitas dan well
being
Sample sebanyak 115
orang penderita HIV
AIDS
Pengukuran well being
menggunakan Index of
well being, self
transcendence diukur
menggunakan self
transcendence scale dan

13
spiritualitas
menggunakan spiritual
perspective scale
Analisis data
menggunakan multiple
regression
Cemal Can (2013) Penelitian ini Ada hubungan negatif
menganalisis hubungan antara materialisme
antara materialisme, self dan well being
transcendence dan well Ada hubungan negatif
being antara materialisme
Variabel dalam dan self transcendence
penelitian ini adalah
materialisme, self
transcendence dan well
being
Sample sebanyak 143
mahasiswa
Analisis data
menggunakan multiple
korelasi
Pengukuran
materialisme
menggunakan material
values scale, self
transcendence
menggunakan TCI
scale, dan well being
menggunakan
hopelessness scale

14
Michael D. Cohn Penelitian ini bertujuan Ada hubungan negatif
(2014) untuk mengeksplorasi antara materialisme,
materialisme terkait well being dan
dengan well being dan possitive affect.
untuk memahami Ada hubungan positif
variabel mediator untuk antara materialisme
menjelaskan hubungan dan negative affect.
tersebut.
Pengukuran
materialisme
menggunakan Material
Value scale (Richin,
2004), subyektif well
being diukur dengan
Satisfaction with Life
Scale (SWLS; Diener,
Emmons, Larsen, &
Griffin, 1985) dan
Positive Negative
Affect Schedule
(PANAS; Watson,
Clark, & Tellegen,
1988)

F. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran pada penelitian ini adalah sebagai berikut

Materialisme Self Well-Being


Transcendence
ee

15
G. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada hubungan negatif antara materialisme dan well being.
2. Ada hubungan negatif antara materialisme dan self transcendence.
3. Ada hubungan positif antara self transcendence dan well being.

16

Anda mungkin juga menyukai