Indonesia bukan hanya mengalami krisis ekonomi, tetapi juga politik, birokrasi, manusia
dan budaya. Hal ini terlihat dari semakin tingginya ketimpangan ekonomi di indonesia, semakin
maraknya korupsi serta menjamurnya budaya konsumtif dan kenakalan remaja.
Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di
Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Ketimpangan kekayaan antara orang kaya
dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Hal tersebut diperkuat dengan hasil
penelitian yang dirilis oleh lembaga sosial masyarakat Oxfam yang menunjukkan bahwa dalam
dua dekade terakhir ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat lebih cepat dibanding dengan
negara lain di Asia Tenggara. Setidaknya, empat orang terkaya di Indonesia disebut memiliki
kekayaan yang setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin di Indonesia. Direktur
Advokasi dan Kampanye Oxfam Internasional Steve Price Thomas menjelaskan, data di tahun
2016 menyebutkan bahwa 1 persen individu terkaya dari total penduduk Indonesia menguasai
nyaris 49 persen total kekayaan seluruh penduduk Indonesia. Bahkan, data terbaru juga
menyebutkan bahwa kekayaan kolektif dari empat miliarder terkaya sebesar 25 miliar dolar AS
atau setara dengan Rp 335 triliun. Angka ini bahkan masih lebih besar dari total kekayaan 40
persen penduduk termiskin, atau sekitar 100 juta orang.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai menjadi lembaga yang paling korup oleh publik.
Setidaknya itu yang tertuang dari hasil survei yang dirilis oleh Transparency International
Indonesia (TII). Dari data Global Corruption Barometer (GCB) 2017 versi Indonesia yang
diterbitkan TII, ada 54 persen responden yang menilai lembaga yang mewakili rakyat itu sebagai
lembaga terkorup. Survei GCB 2017 versi Indonesia dilakukan dengan mewawancarai 1.000
responden usia 18 tahun ke atas yang tersebar di 31 provinsi. Hasilnya, DPR menjadi lembaga
yang berada di puncak yang disebut kerap melakukan praktik korupsi. Di peringkat bawahnya
terdapat birokrasi, DPRD, Dirjen Pajak dan kepolisian. Penilaian publik bahwa DPR adalah
lembaga terkorup didukung dengan fakta sejak tahun 2004 hingga 2013, terdapat 74 anggota
DPR yang tersangkut kasus korupsi. Sementara, untuk anggota DPRD Provinsi yang terjerat
kasus korupsi sebanyak 2.545 orang dan 431 anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut praktik
serupa. Data itu diolah TII dari Kementerian Dalam Negeri dan KPK. Dalam pemaparan TII juga
terungkap sebanyak 64 persen responden menilai tingkat korupsi di Indonesia naik dalam 12
bulan terakhir. DPR yang seharusnya menjadi lembaga tumpuan masyarakat dalam menyalurkan
aspirasi serta mengayomi masyarakat justru menjadi lembaga yang tidak amanah. Wajar jika
masyarakat Indonesia mengalami krisis kepercayaan.
Selain ketimpangan ekonomi dan korupsi, masalah lainnya adalah masyarakat Indonesia
tidak bangga dengan kebudayaannya sendiri. Masyarakat Indonesia justru menjadikan budaya
barat sebagai acuan dan menyerapnya tanpa ada filter. Sehingga budaya barat yang menganut
kebebasan pun ditiru. Salah satu contohnya adalah seks bebas. Berdasarkan penelitian di
berbagai kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 % remaja mengaku pernah melakukan
hubungan seks bebas. 20,9% remaja Indonesia hamil di luar nikah. Mengutip data Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) hingga 2014 ini menunjukkan,
setengah dari jumlah gadis muda perkotaan dan 62,7 persen pelajar putri SMP tidak perawan.
Selain itu, Indonesia yang dikenal dengan keramahtamahannya perlahan terkikis dengan
banyaknya kriminalitas. Banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan
cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan pun orang lain. Contoh riilnya adanya
geng motor dan juga perilaku klitih anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang
menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Gadget dan media sosial menjadi hal yang mendominasi kehidupan masyarakat
indonesia. Interaksi sosial menjadi berkurang karena setiap orang sibuk dengan gadget dan sosial
media. Ketika berkumpul dengan teman atau keluarga pun yang terjadi bukanlah interaksi antara
satu orang dengan yang lain, melainkan sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Menurut APJII
atau singkatan dari Asosiasi Penyelenggara jasa Internet Indonesia mengatakan bahwa 48% dari
88,1 juta orang pengguna internet itu merupakan masyarakat pengonsumsi internet harian. Itu
artinya, warga Indonesia tidak bisa lepas dari gadget dan internet untuk mengakses media sosial
setiap harinya. Untuk bisa mengakses internet dan media sosial melalui PC, ponsel maupun
tablet dalam satu harinya, dibutuhkan waktu sekitar 4 jam 42 menit.
Jika dicermati, masalah-masalah tersebut bersumber dari rendahnya kontrol diri serta
sikap individualisme masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia masih sulit untuk
mengendalikan kebebasan dan masih mengutamakan kesenangan serta kenikmatan sebagai
tujuan utama dalam hidup. Uang dan kekuasaan menjadi alat untuk mencapai kesenangan, yang
akhirnya memicu setiap orang untuk menjadi semakin kaya semakin berkuasa tanpa peduli
keadaan orang lain. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Apapun dilakukan
tanpa pertimbangan apakah hal tersebut merugikan banyak orang atau tidak yang terpenting
adalah diri sendiri mendapatkan kesenangan. Yang paling pokok harus diurus oleh manusia
bukanlah kebebasan, melainkan batas-batas. Harus ada kontrol pada sebuah kebebasan, agar
kebebasan itu tidak menjerumuskan masyarakat Indonesia ke jurang kehancuran, serta agar
masyarakat Indonesia bisa menjadi makhluk sosial yang lebih peduli terhadap orang lain juga
lingkungannya.