Anda di halaman 1dari 17

Epidemiologi HIV AIDS dan Penanggulangannya di Puskemas

Stella Nadia Sura


102013347
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
e-mail: stella.2013fk347@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Angka kejadian HIV-AIDS semakin hari semakin memprihatinkan. Indonesia termasuk salah
satu Negara di Asia yang mengalami epidemi HIV dan AIDS dengan prevalensi yang meningkat
tajam dan menunjkkan penurunan, walaupun upaya penanggulangan HIV dan AIDS telah
dilaksanakan oleh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta serta pemerintah.
Infeksi HIV akan cenderung meningkat yang diakibatkan oleh pengetahuan dan perilaku
masyarakat yang masih kurang peduli. Hal tersebut berkaitan dengan bertambah banyaknya
hubungan seksual yang tidak terlindungi dan penularan HIV melalui jarum suntik penyalahguna
narkotika, psikotropika dan zat adiktif (napza).1 HIV tidak dapat tersebar dengan sendirinya atau
bertahan lama diluar tubuh manusia. Virus tersebut membutuhkan cairan tubuh manusia untuk
bisa hidup, bereproduksi dan mampu menularkan ke orang lain. Virus tersebut ditularkan melalui
darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu dari pengidap HIV. Seorang wanita yang
mengidap HIV dapat menularkan virus HIV kepada anaknya pada saat kehamilan, kelahiran atau
pada masa menyusui.2

Sampai dengan triwulan III tahun 2014 jumlah kasus baru HIV 7335 kasus, infeksi tertinggi
menurut golongan umur adalah 25-49 tahun mencapai 69.1%, 20-24 tahun mencapai 17.2%,
umur >= 50 tahun mencapai 5.5%. Rasio laki-laki : perempuan adalah 1:1. Sementara itu kasus
AIDS dari bulan Juli sampai September 2014 telah bertambah 176 orang. Persentase tertinggi
kasus AIDS pada usia 30-39 tahun (42%), umur 20-29 tahun (36.9%) dan umur 40-49 tahun
(13.1%). Rasio AIDS laki-laki banding perempuan adalah 2:1. Yang menarik adalah adanya 4%
kasus yang berasal dari ibu yang HIV positif yang menularkan kepada anaknya.

1
Etiologi dan Patogenesis
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
lmmunodeficiency Virus (HIV) . HIV adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikal yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel lymfosit karenanya mempunyai reseptor untuk virus HIV
yang disebut CD-4.

Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis Lymfosit T helper/inducer yang
mengandung marker CD4 (sel T4). Lymfosit merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi - fungsi imunologik.
Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk kedalam target dan ia melepas
bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptase ia merubah bentuk RNAnya menjadi
DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi oleh HIV
dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Berbeda dengan virus lain,
virus HIV menyerang sel target dalam jangka lama. Jarak dari masuknya virus ketubuh sampai
terjadinya AIDS sangat lama yakni 5 tahun atau lebih. Infeksi oleh vius HIV menyebabkan
fungsi sistem kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau
hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain.

Epidemiologi HIV/AIDS
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi, distribusi, dan faktor-faktor
(determin) yang mempengaruhi suatu penyakit dalam suatu populasi. Berdasarkan kasus di atas,
kita dapat mengetahui frekuensi dan distribusi dari suatu penyakit dipegaruhi oleh variabel
orang, tempat dan waktu. Begitu juga dengan faktor (determinan) yang dapat mempengaruhi,
dapat dibagi kedalam faktor agent, host, environtment.
1. Faktor agent
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang mudah mengalami mutasi
sehingga sulit untuk membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut .Virus HIV sangat
lemah dan mudah mati diluar tubuh. HIV termasuk Virus yang sensitif terhadap pengaruh
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan.
2. Faktor host

2
Distribusi golongan umur penderita AIDS Di Amerika Serikat Eropa, Afrika dan Asia tidak jauh
berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun. Mereka termasuk kelompok umur
yang aktif melakukan bubungan seksual. Kelompok masyarakat beresiko tinggi adalah mereka
yang melakukan hubungan seksual dengan banyak mitra seks (promiskuitas), kaum
homoseksual/biseksual, kaum heteroseksual golongan pernyalahguna narkotik suntik, penerima
transfusi darah termasuk penderita hemofilia dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang
lahir dari ibu pengidap HIV.
3. Faktor environtment
Lingkungan biologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran AIDS.
Lingkungan biologis antara lain adanya luka-luka pada ulkus genital, herpes simplex dan syphilis
meningkatkan prevalensi penularan HIV. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat
berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat. Bila faktor-faktor ini mendukung pada
perilaku seksual yang bebas akan meningkatkan penularan HIV dalam masyarakat.

Puskesmas
Puskesmas adalah sarana pelayanan kesehatan dasar yang amat penting di Indonesia. Puskesmas
merupakan unit yang strategis dalam mendukung terwujudnya perubahan status kesehatan
masyarakat menuju peningkatan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal tentu diperlukan upaya pembangunan sistem pelayanan kesehatan dasar
yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat selaku konsumen dari pelayanan
kesehatan dasar tersebut. Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama dan
terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan, harus melakukan upaya kesehatan wajib dan
beberapa upaya kesehatan pengembangan yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, tuntutan
dan kemampuan serta kebijakan pemerintah daerah setempat. Puskesmas dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu dilaksanakan melalui
upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan disertai dengan upaya penunjang
yang diperlukan.

Dalam KEPMENKES RI No. 128 tahun 2004 dinyatakan bahwa fungsi Puskesmas dibagi
menjadi tiga fungsi utama: Pertama, sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) primer ditingkat pertama di wilayahnya; Kedua, sebagai pusat penyedia data dan
informasi kesehatan di wilayah kerjanya sekaligus dikaitkan dengan perannya sebagai penggerak

3
pembangunan berwawasan kesehatan di wilayahnya, dan; Ketiga, sebagai penyelenggara Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP) primer/tingkat pertama yang berkualitas dan berorientasi pada
pengguna layanannya. Artinya, upaya kesehatan di Puskesmas dipilah dalam dua kategori yakni :
Pertama, pusat pelayanan kesehatan masyarakat primer yakni puskesmas sebagai pemberi
layanan promotif dan preventif dengan sasaran kelompok dan masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, dan; Kedua, Puskesmas sebagai pusat
pelayanan kesehatan perseorangan primer dimana peran Puskesmas dimaknai sebagai gate
keeper atau kontak pertama pada pelayanan kesehatan formal dan penakis rujukan sesuai dengan
standard pelayanan medik.

Surveilans HIV/AIDS
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans adalah pengamatan yang
dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan
intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka
perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati
atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan, pengendalian, dan
penanggulangan masalah tersebut secara efektif dan efisien.3

Tujuan dari surveilans HIV dan AIDS adalah memberikan suatu data terhadap pelayanan
kesehatan di Indonesia agar melakukan suatu perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
terhadap penanggulangan AIDS di Indonesia. Informasi kesehatan yang berasal dari data dasar
pola penyakit sangat penting untuk menyusun perencanaan dan untuk mengevaluasi hasil akhir
dari intervensi yang telah dilakukan. Pengambilan keputusan dalam bidang kesehatan
masyarakat memerlukan informasi yang cukup handal untuk mendeteksi adanya perubahan-
perubahan yang sistematis dan dapat dibuktikan dengan data (angka). Keuntungan dari kegiatan
surveilans epidemiologi yaitu:3
1. Dapat menjelaskan pola penyakit yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan
tindakan tindakan/intervensi kesehatan masyarakat.
2. Dapat melakukan monitoring kecenderungan penyakit endemis.
3. Dapat mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologi penyakit, khususnya
untuk mendeteksi adanya KLB/wabah

4
4. Memberikan informasi dan data dasar untuk memproyeksikan kebutuhan pelayanan
kesehatan dimasa mendatang.
5. Dapat membantu pelaksanaan dan daya guna program pengendalian khusus dengan
membandingkan besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan program.
6. Membantu menetapkan masalah kesehatan dan prioritas sasaran program pada tahap
perencanaan program.
7. Mengidentifikasi kelompok risiko tinggi menurut umur, pekerjaan, tempat tinggal dimana
masalah kesehatan sering terjadi dan variasi terjadinya dari waktu ke waktu (musiman,
dari tahun ke tahun), dan cara serta dinamika penularan penyakit menular.

Sistem Surveilans
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan tahap awal dan tahap yang krusial. Data yang dikumpulkan
harus sistematis, terus-menerus, lengkap tepat waktu, benar, serta jujur. Sumber data juga
harus cukup banyak. Dapat berasal dari Puskesmas, rumah sakit, laboratorium, sumber data
KLB penyakit dan keracunan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sistem pengumpulan data
merupakan proses rutin dan berkesinambungan (primer), dapat berasal dari registrasi
kehamilan, laporan kesakitan, laporan dari laboratorium, dari masyarakat, dan lain-lain. Atau
pengumpulan data tersebut sesuai dengan kebutuhan misalnya kesekolah, pasar, tempat
lokalisasi, penyelidikan KLB, dan lain-lain. Dalam pengumpulan data perlu diperhatikan
juga:
- Kasus yang tepat, sesuai kriteria
- Pencatatan cepat, jangan banyak missing dan tidak dapat dibaca
- Format tersedia dengan baik dan cukup
- Instrumen dimengerti oleh petugas
- Penyimpanan data yang baik
- Harus ada sistem pengiriman yang benar dan jelas
2. Analisi dan Interprstasi Data
Di kabupaten/ kota dan provinsi pengelola program penyakit menular sexual dan HIV/AIDS
melakukan analisis sederhana supaya bisa menunjukkan tren/kecenderungan prevalens HIV
pada setiap sub-populasi sentinel menurut waktu dan tempat dengan menggunakan grafik-

5
grafik sederhana. Data tersebut akan dianalisis untuk melihat tren/kecenderungan prevalens
infeksi HIV berdasarkan orang, waktu dan tempat dalam bentuk grafik dan ditambahkan
penjelasan. Data surveilans HIV harus diinterpretasikan untuk menilai seberapa cepat
peningkatan atau penurunan prevalens HIV dengan cara membandingkannya dengan daerah
lain. Sewaktu menganalisis dan menginterpretasi kita harus dapat memahami kualitas data
dan mencari metode terbaik untuk mencari kesimpulan. Analisa data dapat dilakukan dengan
2 cara antara lain analisa deskriptif dan analisa analitik.
3. Diseminasi Informasi
Yaitu penyebarluasan informasi kepada individu atau kelompok tertentu yang berkaitan atau
berkepentingan. Laporan singkat tersebut akan dikirimkan kepada semua pihak yang terkait
baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi/kabupaten/kota yang terkait.Hasil analisis
dan interpretasi di dideminasikan kepada orang-orang tersebut sebagai umpan balik.
4. Monitoring
Monitoring merupakan pengawasan rutin terhadap informasi penting dari kegiatan surveilans
yang sedang dilaksanakan dan hasil-hasil program yang harus dicapai. Pada pelaksanaan
surveilans, monitoring dilakukan pada prosesnya melalui sistem pencatatan dan pelaporan.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi, BLK dan Subdit AIDS& PMS sesuai dengan protap.
5. Evaluasi
Bisa dilakukan saat sistem sedang berjalan maupun sudah berjalan. Evaluasi mencakup
efektifitas sistem, jumlah penyakit yang diamati, waktu, dana, dan tenaga yang dibutuhkan.

Indikator Surveilans
Indikator kinerja surveilans merupakan ukuran kualitas suatu sistem kerja. Secara operasional,
suatu unit program apabila menyatakan besarnya masalah program, maka wajib didukung oleh
sistem kerja informasi yang baik. Baik atau tidak baiknya sistem kerja informasi ini, dinyatakan
dengan ukuran atau indikator kinerja surveilans. Selain itu indikator ini nantinya dapat kita
gunakan sebagai alat evaluasi kegiatan. Jenis indikator surveilans antara lain:

6
- Indikator morbidity, mortality, disability
- Indikator faktor risiko penyakit
- Indikator hasil laboratorium
- Indikator program : input, proses, output, outcome

Sebuah indikator haruslah sensitif terhadap suatu perubahan, dapat memberikan arti dan makna
suatu kegiatan, logis, dan rasional. Indikator sebuah surveilans tidaklah sama dengan tujuan
surveilans tersebut. Contoh dari sebuah tujuan dan indicator sueveilans adalah sebagai berikut;
tujuan surveilans HIV adalah terdatakannya angka kesakitan HIV per 100.000 populasi per tahun
di setiap Kabupaten/Kota, sedangkan indikator kinerja surveilans HIV adalah setiap rumah sakit
yang merawat pasien mengirimkan laporan bulanan data kesakitan HIV dengan kelengkapan
laporan masing-masing RS lebih dari 75% per tahun.

Rendahnya kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga
ASEAN menimbulkan keraguan para pengamat AIDS. Apakah hal tersebut disebabkan karna
memang kasus HIV/AIDS yang rendah atau sistem surveilan Indonesia yang kurang intensif dan
efektif dilaksanakan. Lemahnya pelaksanaan sistem surveilan HIV/AIDS DI Indonesia ditinjau
dari berbagai sudut.4
1. Belum seriusnya pemerintah mengembangkan program pencegahan penyakit. Meskipun
kemauan politis pemerintah sudah ada dengan terbentuknya Komisi Penanggulangan AIDS,
tetapi gerak koordinasinya masih belum mampu menghasilkan program terobosan. Inisiatif
pengembangan program lebih banyak datang dari pihak LSM pemerhati masalah AIDS yang
mendapat dana dari donor internasional.
2. Stigma yang muncul di masyarakat terhadap penderita AIDS, menyebabkan
penderita/mereka yang berpotensi terinfeksi HIV lebih baik tidak memeriksakan dirinya
sehingga kasus HIV tidak mudah dideteksi oleh sistem surveilan.
3. Rendahnya kasus HIV di Indonesia menyebabkan pemerintah relatif lamban mengantisipasi
penularan HIV/AIDS.

7
Tabel 1. Persentase infeksi HIV yang dilaporkan menurut jenis kelamin tahun 2008-2013

Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)


SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya
pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua data hasil kegiatan
Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas Pembantu, Puskesmas
keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan, serta dilaporkannya data tersebut
kepada jenjang administrasi diatasnya sesuai kebutuhan secara benar, berkala dan teratur, guna
menunjang pengelolaan upaya kesehatan masyarakat.
Tujuan dari SP2TP ini agar tersedianya data dan informasi yang akurat tepat waktu dan mutakhir
secara periodik dan teratur pengolahan program kesehatan masyarakat melalui puskesmas di
berbagai tingkat administrasi. Sedangkan tujuan lainnya:
1. Tersedianya data secara akurat yang meliputi segala aspek.
2. Terlaksananya pelaporan yang secara teratur diberbagai jenjang administrasi sesuai dengan
prosedur yang berlaku.
3. Digunakan data tersebut sebagai alat pengambilan keputusan dalam rangka pengelolaan
rencana dalam bidang program kesehatan

SP2TP meliputi pencatatan, pelaporan, pelaksanaan, pengawasan. Pencatatan dan pelaporan


mencakup data umum dan demografi wilayah kerja puskesmas, data ketenagaan di puskesmas,
data sasaran yang dimiliki puskesmas, data kegiatan pokok puskesmas, pelaporan dilakukan secara
periodik (bulanan, tribulanan, semester dan tahunan). Jenis laporan SP2TP terdiri dari :

8
1. Laporan tahunan, yang meliputi data penduduk, pegawai, fasilitas kesehatan, data sarana
kesehatan yang terdiri dari alat medis dan alat non medis.
2. Laporan semester, khususnya melaporkan program usaha kesehatan sekolah (UKS) yang
terdiri dari data sekolah (S1) dan data jumlah murid sekolah (S2).
3. Laporan bulanan (LB) yang terdiri dari LB1 (data kesakitan), LB2 (data kematian), LB3
(data kegiatan program gizi), LB4 (data kegiatan kesehatan masyarakat lainnya)
4. Laporan mingguan (W1). Yaitu pelaporan penyakit-penyakit menular dan yang dapat
menimbulkan KLB yang harus dilaporkan segera maksimal 7 hari ke jenjang yang lebih
tinggi agar segera dilaksanakan penanggulangannya.
5. Laporan harian (W2). Pelaporan penyakit-penyakit menular yang mempunyai potensi
menjadi wabah atau KLB dan harus dilaporkan segera dalam waktu 24 jam ke jenjang yang
lebih tinggi.

Grafik 1. Jumlah HIV dan AIDS yang dilaporkan pertTahun sampai dengan maret 2013

Alur pengiriman sampai saat ini:


- Dikirim ke Dinas Kesehatan TK II, diteruskan ke Dinas Kesehatan TK 1, kemudian
diteruskan ke Departemen Kesehatan (c.q. Bagian Informsi Ditjern Pembinaan Kesehatan
Masyarakat).
- Umpan balik dikirim ke kanwil depkes provinsi.
- Alur pengiriman jangka panjang
- Mengikuti alur jenjang adminitrasi organisasi. Departemen Kesehatan menerima laporan
dari Depkes Provinsi.

9
Penyelesaian Masalah
Masalah adalah terdapatnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Perumusan masalah
yang baik adalah kalau rumusan tersebut jelas menyatakan adanya kesenjangan secara kualitatif
dan kuantitatif. Yang dimaksud dengan masalah dalam perencanaan kesehatan tidak terbatas
pada masalah gangguan kesehatan saja, akan tetapi meliputi semua faktor yang mempengaruhi
kesehatan penduduk (lingkungan, perilaku, kependudukan, dan pelayanan kesehatan). Untuk
nantinya dapat menyelesaikan masalah, terlebih dulu perlu dilakukan penentuan prioritas
masalah dan prioritas jalan keluar.
Untuk dapat menetapkan apa yang menjadi prioritas masalah, beberapa hal yang harus dilakukan
antara lain:
a. Melakukan pengumpulan data
Untuk dapat menetapakan prioritas masalah kesehatan, perlu tersedia data yang cukup. Untuk
itu perlu dilakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan lingkungan, perilaku,
keturunan, dan pelayanan kesehatan, termasuk keadaan geografis, keadaan pemerintahan,
pendidikan, sosisal budaya dan keadaan kesehatan.
b. Pegelolaan data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah. Cara pengelolaan data yang dikenal ada tiga
macam, secara maual, elektronik, dan mekanik.
c. Penyajian data
Data yang telah diolah perlu disajikan. Penyajian data yang lazim digunakan yakni secara
tekstular, tabular dan grafikal.
d. Pemilihan prioritas masalah
Hasil penyajian data akan memunculkan berbagai masalah. Tidak semua masalah dapat
diselesaikan, oleh karena itu deperlukan pemilihan prioritas masalah, dalam arti masalah
yang paling penting untuk diselesaikan. Penentuan prioritas masalah kesehatan adalah suatu
proses yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan mengguankan metode tertentu untuk
menentukan urutan masalah dari yang paling penting sampai dengan kurang penting.

Cara pemilihan prioritas masalah banyak macamnya. Secara sederhana dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu scoring technique (penskoran) dan non-scoring technique. Penentuan prioritas
masalah juga dapat ditentuakn berdasarkan kesepakatan kelompok seperti Brain Storming,

10
Delphi Technique, dan Delbecq Technique. Selain itu ada juga dikenal sistem pemilihan prioritas
dengan teknik matrik dimana kriteria yang ditetapkan akan dikaji dan masing-masing anggota
akan memberi bobot (1-5 : tidak penting-penting) terhadap masalah yang ada dengan
berdasarkan kriteria-kriteria berikut:
1. Pentingnya masalah:
- Prevalence
- Severity
- Rate of increase
- Degree of unmeet need
- Public concern
- Political climate
- Sosial benefit
2. Kelayakan teknologi:
- Ilmu kedokteran
- Teknologi kedokteran
3. Sumber daya
- Dana
- Sarana
- Tenaga

Selain cara matriks, PAHO (Pan America Health Organization) membagi penentuan prioritas
berdasarkan 4 kriteria (skor 1-10) :
1. Magnitude (M): prevalensi, jumlah penduduk yang terkena
2. Severity (S): keparahan, misalnya CFR, kerugian ekonomis
3. Vulnerability (V): apakah tersedia kemampuan/teknologi mengatasinya
4. Community/political concern (CC) : kehebohan masyarakat dan pejabat

Pencegahan
Dikarenakan prevalensi yang meningkat setiap tahunnya, salah satu metode pencegahan
transmisi penyakit tersebut adalah dengan metode konseling dan tes HIV melalui program VCT
(Voluntary Counseling and Testing). Di Indonesia program ini tergolong baru sehingga sosialisasi
kepada masyarakat masih sangat kurang. Program VCT atau konseling dan pemeriksaan HIV

11
secara sukarela adalah proses konseling yang berlangsung sebelum, selama, dan sesudah
seseorang menjalani pemeriksaan darah untuk mengetahui apakah ia telah terinfeksi HIV. VCT
bertujuan agar kita dapat mengetahui kondisi kesehatan klien sejak dini, serta dapat
mengantisipasi kemungkinan terburuk terhadap dirinya apabila hasil pemeriksaan positif. Selain
itu. VCT juga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi mengenai HIV atau membantu
seseorang mencari pelayanan dan bantuan yang sesuai. Layanan VCT merupakan prosedur
diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS beserta risiko dan
konsekuensi terhadap diri, pasangan, keluarga dan orang di sekitarnya dengan tujuan utama
perubahan perilaku ke arah perilaku yang lebih sehat dan lebih aman. Namun sayangnya,
layanan ini belum tersebar secara merata dan belum disosialisasikan secara simultan, sehingga
banyak orang yang kurang peduli terhadap layanan tersebut karena kurangnya informasi.5

Penyuluhan dapat menjadi sarana yang cukup baik untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenai infeksi HIV/ penyakit AIDS. Sesuai dengan teori hubungan antara pengetahuan, sikap,
dan perilaku dalam sebuah penelitian, diketahui bahwa peningkatan pengetahuan terhadap
penyakit AIDS setelah penyuluhan juga menimbulkan perubahan sikap yang bermakna. Perilaku
sampel terhadap penyakit AIDS tidak menunjukkan perubahan yang signifikan karena perilaku
sebagian besar sampel sudah baik bahkan sebelum dilakukannya penyuluhan. Perilaku yang baik
ini berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat Indonesia yang memandang perilaku seks
berganti pasangan, penggunaan obat terlarang, dan penggunaan jarum suntik bergantian sebagai
hal yang buruk dan harus dihindari. Hal tersebut tidak berlaku pada VCT. Tingkat pengetahuan
VCT sampel yang semula rendah dapat ditingkatkan hingga menjadi baik melalui penyuluhan,
sosialisasi, dan promosi. Sikap dan perilaku pasien terhadap VCT juga dapat diubah melalui
penyuluhan, namun perubahan tersebut tidak dapat menciptakan sikap dan perilaku yang baik
bagi sebagian besar sampel. Penyebab utama hal ini adalah perasaan takut terhadap stigmata,
diskriminasi, dan kemungkinan dikucilkan oleh masyarakat sekitar apabila seseorang melakukan
tes infeksi HIV. Selain itu, seseorang yang melakukan tes VCT juga seringkali ditunjuk memiliki
riwayat promiskuitas atau positif menderita penyakit AIDS.2,6

Strategi promosi kesehatan


Strategi global promosi kesehatan diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO)
pada tahun 1984, di mana ada tiga strategi pokok untuk mewujudkan visi dan misi promosi

12
kesehatan yaitu Advokasi, Dukungan Sosial (Social Support), dan Pemberdayaan Masyarakat
(Empowerment). 7
1. Advokasi
Melakukan pendekatan atau lobi (lobbying) dengan para pembuat keputusan agar mereka
menerima commited dan akhirnya mereka bersedia mengeluarkan kebijakan atau keputusan-
keputusan untuk membantu dan mendukung program yang akan dilaksanakan. Kegiatan ini
disebut advokasi. Dengan kata lain, advokasi dapat diartikan sebagai upaya pendekatan
(approaches) terhadap orang lain yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan
suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan. Dalam pendidikan kesehatan para pembuat
keputusan baik baik di tingkat pusat maupun daerah disebut sasaran tersier. Bentuk kegiatan
advokasi bisa dilakukan secara formal dan informal.
Bentuk kegiatan advokasi antara lain adalah sebagai berikut :
a.Lobi politik (political lobbying)
Lobi adalah berbincang-bincang secara informal dengan para pejabat untuk
menginformasikan dan membahas masalah dan program kesehatan yang akan dilaksanakan.
Langkah-langkah yang akan dilaksanakan dimulai dari penyampaian masalah kesehatan yang
ada, dampak dari masalah kesehatan, kemudian solusi untuk mengatasi masalah kesehatan
tersebut. Pada saat lobi harus disertai data yang akurat (evidence based) tentang masalah
kesehatan tersebut.
b. Seminar dan atau presentasi
Seminar atau persentasi menyajikan masalah kesehatan di hadapan para pembuat keputusan
baik lintas program maupun lintas sektoral. Penyajian masalah kesehatan disajikan secara
lengkap dengan data dan ilustrasi yang menarik, serta rencana program dan pemecahannya.
Kemudian masalah tersebut dibahas bersama-sama dan pada akhirnya akan diperoleh komitmen
dan dukungan terhadap program yang akan dilaksanakan.
c.Media
Advokasi media adalah melakukan kegiatan advokasi dengan menggunakan media,
khusunya media massa (media cetak dan media elektronik). Masalah kesehatan disajikan dalam
bentuk tulisan dan gambar, berita, diskusi interaksif, dan sebagainya. Media massa mempunyai
kemampuan yang kuat untuk membentuk opini publik dan dapat mempengaruhi bahkan
merupakan tekanan (pressure) terhadap para penentu kebijakan dan para pengambil keputusan.

13
d. Perkumpulan (asosiasi) peminat
Asosiasi atau perkumpulan orang-orang yang mempunyai minat atau keterkaitan terhadap
masalah tertentu, termasuk juga perkumpulan profesi. Misalnya perkumpulan masyarakat peduli
AIDS, kemudian kelompok ini melakukan kegeiatan-kegiatan untuk menanggulangi AIDS.
Kegiatan tersebut dapat memberikan dampak terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil para
birokrat di bidang kesehatan dan para pejabat lain untuk peduli HIV/AIDS.

Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan para penentu kebijakan atau para pembuat
keputusan sehingga mereka memberikan dukungan, baik kebijakan, fasilitas, maupun dana
terhadap program yang ditawarkan. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang dapat memperkuat
argumentasi pada saat melakukan advokasi, yaitu sebagai berikut :
a. Meyakinkan (credible)
Program yang ditawarkan harus meyakinkan para penentu kebijakan dan pembuat
keputusan. Oleh karena itu, harus didukung oleh data dari sumber yang dapat dipercaya. Dengan
kata lain program yang diajukan harus didasari oleh permasalahan yang utama dan factual
artinya masalah tersebut memang ditemukan di lapangan dan penting untuk segera diatasi. Kalau
tidak diatasi akan membawa dampak yang lebih besar dari masyarakat.
b. Layak (feasible)
Program yang diajukan harus tersebut secara teknis, politik, dan ekonomi harus
memungkinkan atau layak. Layak secara teknis artinya program tersebut dapat dilaksanakan
dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Layak secara politik artinya program yang diajukan
tidak akan membawa dampak politik pada masyarakat. Layak secara ekonomi artinya program
tersebut didukung oleh dana yang cukup, dan apabila program tersebut merupakan program
layanan, maka masyarakat mampu membayarnya
c. Relevan (relevant)
Program yang diajukan tersebut minimal harus mencakup dua kriteria yaitu memenuhi
kebutuhan masyarakat dan benar-benar dapat memecahkan masalah yang dirasakan masyarakat.
Oleh sebab itu semua program harus ditujukan untuk menyejahterakan masyarakat dengan cara
membantu pemecahan masalah masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
d. Penting (urgent)

14
Program yang diajukan tersebut harus mempunyai urgensi yang tinggi dan harus segera
dilaksanakan, kalau tidak akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Oleh sebab itu,
program yang diajukan adalah program yang paling penting di antara program-program yang
lain.
e. Prioritas tinggi (high priority)
Program mempunyai prioritas tinggi apabila feasible baik secara teknis, politik maupun
ekonomi, relevan dengan kebutuhan masyarakat dan mampu memecahkan masalah kesehatan
masyarakat

2. Dukungan Sosial (Social support)


Dukungan sosial ialah menjalin kemitraan untuk pembentukan opini publik dengan
berbagai kelompok opini yang ada di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha / swasta media massa, organisasi profesi,
pemerintah, dll. Bina suasana dilakukan untuk sasaran sekunder atau petugas pelaksana di
berbagai tingkat administrasi (dari pusat hingga desa).
Strategi dukungan sosial adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan social
melalui tokoh masyarakat, baik formal maupun informal. Kegiatan promkes memperoleh
dukungan sosial atau bina suasana dari tokoh masyarakat atau tokoh keluarga sehingga dapat
menjembatani antara pengelola promkes dengan masyarakat. Kegiatan mencari dukungan sosial
melalui tokoh masyarakat pada dasarnya adalah mensosialisasikan program-program kesehatan
agar masyarakat mau menerima dan berpartisipasi terhadap program kesehatan.
Oleh sebab itu, strategi ini dapat dikatakan sebagai upaya bina suasana atau membina
suasana yang kondusif terhadap kesehatan yaitu upaya untuk membuat suasana atau iklim yang
kondusif atau menunjang pembangunan kesehatan sehingga masyarakat terdorong untuk
melakukan perilaku hidup bersih dan sehat. Beberapa bentuk kegiatan tersebut adalah pelatihan-
pelatihan para tokoh masyarakat, seminar, lokakarya, pendidikan / penyuluhan, sarasehan,
pertemuan berkala, kunjungan lapangan, study banding dan sebagainya. Sasaran pada dukungan
social adalah sasaran sekunder, misalnya tokoh masyarakat dan tokoh keluarga.

3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)

15
Pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan kemampuan masyarakat agar dapat
berdiri sendiri, serta memiliki keterampilan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan mereka
sendiri
Pemberdayaan adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat
langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (visi promosi kesehatan). Bentuk
kegiatan pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan, antara lain: penyuluhan
kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk misalnya: koperasi,
pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga (income generating
skill). Sasaran pemberdayaan masyarakat adalah sasaran primer.
Dengan meningkatnya kemampuan ekonomi keluarga akan berdampak terhadap
kemampuan dalam pemeliharan kesehatan mereka, misalnya: terbentuknya dana sehat,
terbentuknya pos obat desa, berdirinya polindes, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan semacam ini
di masyarakat sering disebut "gerakan masyarakat" untuk kesehatan.

Kesimpulan
Penyuluhan dapat menjadi sarana yang cukup baik untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenai infeksi HIV/ penyakit AIDS. Salah satu program yang dapat dilaksanakan di
Puskesmas adalah VCT. Hal itu dapat dibuktikan berdasarkan penilitian bahwa adanya hubungan
antara pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat setelah dilakukannya penyuluhan terkait HIV
dan VCT. Namun layanan ini perlu disosialisasikan secara simultan, sehingga banyak orang
yang akan semakin peduli terhadap layanan tersebut. Meningkatkan promosi kesehatan
masyarakat tentu bukan hanya dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, namun juga diperlukan
peran dari masyarakat lainnya, seperti pemerintah, media massa, tokoh formal maupun
nonformal, untuk dapat mewujudkannya.

16
Daftar Pustaka
1. Juliastika, Korompis GE, Ratag BT. Hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan sikap
dan tindakan penggunaan kondom pria pada wanita pekerja seks di Manado. 2011.
2. Tjan S, Sitorus R.A, Armanita S. Wijayaningrum A, Feby F. Puspoegoro A. Hubungan
penyuluhan dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil tentang HIV dan program
Voluntary Counseling and Testing. Vol 1. Universitas Indonesia. Jakarta. 2013.h.118-122.
3. Amiruddin R. Mengembangkan evidence based public health (EBPH) HIV dan AIDS
berbasis surveilans. Vol 2. Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS. Makassar. 2013.h.53-4
4. Muninjaya AAG. AIDS di Indonesia: Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Jakarta: EGC.
2000.h.65-6
5. Mujiati, Julianty P. Faktor persepsi dan sikap dalam pemenfaatan layanan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) oleh kelompok beresiko HIV/AIDS di kota Bandung tahun
2013. Vol 5. Bandung. 2014.h.48-52.
6. Donkor ES. Knowledge, attitudes, and practices of voluntary counseling and testing for HIV
among university students. Global advanced research journal. 2012;1(2):41-6.
7. Bartholomew L K ,dkk. Intervention mapping designing theory and evidence-based health
promotion programs.NewYork:McGraw-Hill; 2006.h.56-61.

17

Anda mungkin juga menyukai