PENDAHULUAN
II.1 Tuberkulosis
II.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated
hypersensitivity). Penyakit ini biasanya terjadi di paru, tetapi dapat mengenai organ
lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif,
biasanya terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian.1
II.1.2 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,
Mikobakterium adalah bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk spora.
Meskipun bakteri ini tidak dapat diwarnai dengan mudah. Tetapi apabila telah
diwarnai, bakteri ini dapat menahan warnanya walaupun diberikan asam atau alkohol
dan oleh sebab itu disebut basil tahan asam. Bakteri ini panjangnya 1-4 mikron x 0,3-
0,6 mikron, tumbuh optimal pada suhu sekitar 37C dengan pH optimal 6,4-7, dengan
bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak mempunyai selubung tetapi
lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid.3
II.1.4 Patogenesis
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi nuklei droplet dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat
bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh
orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat
masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Hal ini menimbulkan respon
peradangan akut nonspesifik yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan
sedikit atau sama sekali tanpa gejala. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh
neutrofil, kemudian makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan
oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.3
Selama 2-8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang biak
di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada pejamu yang terinfeksi.
Limfosit yang cakap secara imunologik memasuki daerah infeksi, di daerah tersebut
limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin. Sebagai
responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan bentuk
menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang tersusun
menjadi granuloma. Mikobakterium dapat bertahan dalam makrofag selama bertahun-
tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam sel ini, namun
multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kemudian terjadi
penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang lambat yang kadang
meniggalkan lesi sisa yang tampak pada foto Roentgen paru. Kombinasi lesi paru
perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang terkalsifikasi dikenal sebagai
kompleks Ghon /sarang primer.3
Kompleks Ghon ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati
regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi
penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis fokal), dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis fokal + limfadenitis regional = kompleks primer.5
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler
(KEMENKES, 2013). Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan
tuberkulosis primer.
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB
pasca primer = TB sekunder). TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB pasca primer
ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apikal-
posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan
tidak ke nodus hiler paru.5
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan bertbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga dapat berasal dari
infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia muda (elderly tuberculosis).
Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas pasien.5
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadic (occult hematogenic spread).
2. Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
3. Komplek primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional
4. TB primer adalah proses masukknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,
5. terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik, hingga pasien mengalami
infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.
6. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui
proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan
seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).
Gambar 2.1. Patogenesis TB.
Sumber: dikutip dari Rahajoe dan Setyanto, 2010.
II.1.5 Diagnosis Tuberkulosis
II.1.5.1 Penemuan pasien TB
Berdasarkan JUKNIS TB Anak KEMENKES, pasien TB anak dapat ditemukan
dengan cara melakukan pemeriksaan pada7 :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau
sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama
pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya
terjadi pada pasien TB dewasa.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala
sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis
TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
a) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.
b) Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada
anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c) Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
d) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
e) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
Gambar 2.3. Infiltrat dan Limfadenopati Gambar 2.4. Infiltrat, kavitas, &
hilus. atelektasis.
Sumber: dikutip dari Laya, 2014 Sumber: dikutip dari Franco et al., 2003.
Apabila jumlah skor 6 maka pasien harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT. Selanjutnya harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan. Apabila
respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan
apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka pasien harus segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun
gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap
dihentikan.
II.1.6.1 Panduan obat TB pada anak
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan
dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada
anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan
dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan.
Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid
(H).
Dosis :
INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
Streptomisin: 1540 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif
lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk
Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk
anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:
Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut. Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis
KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan
komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg:
Keterangan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
Anak dengan BB 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini:
II.1.7 Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul pada penderita tuberkulosis paru adalah:
II.1.7.1 Efusi pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapatnya penumpukan cairan
dalam rongga pleura. Efusi pleura dapat disebabkan kerena kondisi gangguan pada
reabsorbsi dan peningkatan produksi cairan pleura (akibat infeksi pada pleura). Pada
penderita tuberkulosis paru, efusi pleura disebabkan karena meningkatnya
permeabilitas kapiler yang disebabkan karena infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis.
II.1.7.8 Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
mengempisnya paru akibat bocornya udara ke ruangan antara dua lapisan pleura
(rongga pleura). Pleura adalah kantung yang terdiri dari dua lapisan yang meliputi
paru-paru dan memisahkannya dari dinding dada. Sejumlah kecil cairan di dalam
rongga pleura mengurangi gesekan dan memfasilitasi gerakan pernafasan. Cairan ini
juga membantu paru-paru untuk tetap mengembang dengan menciptakan tekanan
negatif. Pada pneumotoraks, adanya udara antara dua lapisan pleura meningkatkan
tekanan pada rongga dada dan menyebabkan paru-paru yang elastis tertekan,
menyebabkan paru mengempis. Oleh karena itu, paru-paru tidak lagi dapat
mengembang sebagaimana biasanya. Pneumotoraks dapat menyebabkan nyeri dada
tajam yang tiba-tiba ketika paru-paru mengempis, diikuti dengan kesulitan bernafas
dan pernafasan yang pendek.
II.2. Hemoptisis
II.2.1 Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di
bawah laring atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring.
Banyaknya jumlah batuk darah yang dikeluarkan sangat penting diketahui untuk
menentukan klasifikasi hemoptisis nonmasif atau masif.10
a. Hemoptisis ringan: volume batuk darah < 30 ml/hari.
b. Hemoptisis sedang: volume batuk darah 30 150 ml/hari.
c. Hemoptisis berat: volume batuk darah > 150 ml/hari tetapi tidak memenuhi
kriteria hemoptisis massif.
d. Hemoptisis masif:
Batuk darah > 600 ml dalam 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah
tidak berhenti.
Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml dalam 24 jam dan
pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin kurang dari 10 gr/dl,
dalam pengamatan batuk darah tetap berlangsung.
Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml dalam 24 jam dan dari
pemeriksaan laboratorium hemoglobin lebih dari 10 gr/dl, tetapi dalam
pengamatan 48 jam dengan pengobatan konservatif batuk darah tidak
berhenti.
II.2.2 Anatomi.
Sirkulasi darah paru berasal dari 2 sistem sirkulasi yaitu sirkulasi pulmoner dan
sirkulasi bronkial. Arteri bronkial biasanya tidak tervisualisasi pada aortografi pada
pasien tanpa penyakit paru. 80 % individu memperlihatkan gambaran
intercostobronchial trunk (ICBT) saat dilakukan pemeriksaan angiografi, gambaran
ICBT sering dijumpai pada sisi posterolateral aorta sedangkan letak normal arteri
bronkial pada sisi anterolateral aorta kanan dan kiri. Diameter normal arteri bronkial
kurang dari 1,5 mm dan ukurannya 0,5 mm saat masuk ke dalam segmen
bronkopulmoner.11
II.2.3 Etiologi
Di seluruh dunia, penyebab paling umum hemoptisis adalah TB aktif. Pada
negara-negara berkembang seperti Amerika Serikat, hemoptisis paling sering terjadi
pada proses inflamasi kronis termasuk penyakit infeksius (TBC, aspergillosis) dan
non-infeksius (cystic fibrosis, bronkiektasis) sebagai
etiologi. Penyebab utama hemoptisis noninflamasi di Amerika Serikat adalah
karsinoma bronkogenik dan penyakit jantung bawaan. Situasi yang jarang muncul
adalah kriptogenik, dan paling biasa ditemui pada populasi merokok, terhitung
hingga 42% dari keluhan hemoptisis.
Dalam kebanyakan kasus, hemoptisis berasal dari arteri bronkial akibat
perubahan vaskuler terminal menyebabkan perubahan keadaan aliran dan distribusi
normal. Kondisi inflamasi, beberapa faktor termasuk hipoksia lokal, berkontribusi
pada penurunan perfusi arteri paru. Pada inflamasi kronis, peranan faktor
pertumbuhan angiogenik menyebabkan pertumbuhan dan pembentukan
neovascularity dari arteri bronkial sebagai kompensasi aliran arteri paru yang
menurun. Sel neoplasma mengeluarkan zat kemotaktik pada aliran arteri terjadi
kelainan proliferasi dan metabolik. Pembuluh darah sistemik juga dapat ditemukan
dalam kondisi yang sama, terutama di mana tumor atau inflamasi di perkiraan dekat
permukaan pleura dan / atau refleksi.
Di mana aliran collateral didapatkan, dinding pembuluh darah yang abnormal
tipis. Kerapuhan ini tetap berkaitan dengan peningkatan tekanan darah lokal yang
meluas ke aliran sistemik, dan kecenderungan terjadi pseudoaneurysm sebagai
predisposisi neovascularisasi ruptur, berpotensi besar hemoptisis masif. Infeksi yang
timbul di daerah arteri bronkial yang berproliferasi dapat meningkatkan ruptur
pembuluh darah yang rapuh. Gangguan yang lebih jarang mendasari sebagai
penyebab hemoptisis (Tabel 2). Penyakit jantung bawaan, sering dengan penurunan
perfusi arteri paru keseluruhan menyebabkan proliferasi arteri bronkial dan sistemik.
Selain itu, arteri paru-paru serta aorta (yaitu, fistula aortobronchial) berkontribusi
terjadi hemoptisis, hanya 5%. 11
2
Depkes RI.2008. Diagnosis & Tatalaksana Tuberkulosis Anak Kelompok Kerja Tb Anak.
Jakarta: Depkes-IDAI.
3
Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., dan Morse, S.A. 2007. Jawetz, Melnick, & Adelberg's
Medical Microbiology. 24th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
4
Utji R, dan Harun H. Kuman tahan asam. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran (Edisi Revisi).
Jakarta: Binarupa Aksara; p. 227-36.
5
Amin Z, Bahar A (2014). Tuberkulosis paru. Dalam : Aru W,Sudoyo B S,Idrus A,Marcellus
S,Siti S, ed.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke-6 Jilid I. Jakarta:Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 863-71.
6
Kartasasmita C. 2002. Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak. [homepage on the
internet]. No date [cited 2017 mar 7] Available from: http//www.depkes.com
7
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
8
Calistania, C. & Indawati, W., 2014. Respirologi Pediatri, Tuberkulosis. In: Tanto, C., Liwang, F.,
Hanifati, S., Pradipta, E.A, Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius: 181.
9
Rahajoe, N.N & Setyanto, D.B., 2010. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. In: Rahajoe, N.N.,
Supriyatno, B., Setyanto, D.B., ed. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 174, 204,
& 207.
10
Sopko D. R, M.D.,1 and Smith T.P, M.D. Bronchial Artery Embolization for Hemoptysis. Semin
11
Burke C. T, M.D and Mauro M. A, M.D., F.A.C.R., F.S.I.R., F.A.H.A. Bronchial Artery