Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated
hypersensitivity).1
Walaupun telah dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obat
antituberkulosis yang poten hingga saat ini TB masih merupakan masalah yang
menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai
penyumbang kasus terbanyak di dunia.2
Setidaknya setengah juta anak-anak menjadi sakit akibat TB tiap tahunnya.
Lebih dari 70.000 anak-anak meninggal karena TB setiap tahun. Sekitar 70-80%
anak-anak yang terinfeksi TB, memiliki penyakit pada paru-paru mereka (pulmonary
TB). Sisanya dipengaruhi oleh penyakit TB di bagian tubuh yang lain
(extrapulmonary TB). Ada lebih dari sepuluh juta anak yatim dengan riwayat
orangtua TB meninggal pada 2010.1
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang
diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan
undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah
orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif, sehingga penanggulangan TB
ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang
diperhatikan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis
II.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated
hypersensitivity). Penyakit ini biasanya terjadi di paru, tetapi dapat mengenai organ
lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif,
biasanya terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian.1

II.1.2 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,
Mikobakterium adalah bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk spora.
Meskipun bakteri ini tidak dapat diwarnai dengan mudah. Tetapi apabila telah
diwarnai, bakteri ini dapat menahan warnanya walaupun diberikan asam atau alkohol
dan oleh sebab itu disebut basil tahan asam. Bakteri ini panjangnya 1-4 mikron x 0,3-
0,6 mikron, tumbuh optimal pada suhu sekitar 37C dengan pH optimal 6,4-7, dengan
bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak mempunyai selubung tetapi
lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid.3

Gambar 2.1 Mycobacterium tuberkulosis


Mycobacterium tuberculosis biasanya terdapat pada manusia yang sakit
Tuberkulosis. Penularan terjadi melalui jalan pernapasan. Pertumbuhan bakteri ini
secara aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana.
CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhannya lambat dengan waktu
pembelahan sekitar 20 jam. Suhu pertumbuhan optimum 37C.4

II.1.3 Penularan dan Penyebaran


Mycobacterium tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan
pernapasan. Walaupun mungkin terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang
terbukti, tidak satupun yang penting. Basilus tuberkel di sekret pernapasan
membentuk nuklei droplet cairan yang dikeluarkan selama batuk, bersin, dan
berbicara. Droplet keluar dalam jarak dekat dari mulut, dan sesudah itu basilus yang
ada tetap berada di udara untuk waktu yang lama. Infeksi pada pejamu yang rentan
terjadi bila terhirup sedikit basilus ini. Jumlah basilus yang dikeluarkan oleh
kebanyakan orang yang terinfeksi tidak banyak, diperlukan kontak rumah tangga
selama beberapa bulan untuk penularannya.5

Infeksi tuberkulosis berkaitan dengan jumlah kuman pada sputum yang


dibatukkan, luasnya penyakit paru, dan frekuensi batuk. Mikobakterium rentan
terhadap penyinaran ultraviolet, dan penularan infeksi di luar rumah jarang terjadi ada
siang hari. Ventilasi yang memadai merupakan tindakan yang terpenting untuk
mengurangi tingkat infeksi dari lingkungan. Sebagian besar pasien tidak menjadi
infeksius dalam dua minggu setelah pemberian kemoterapi yang tepat karena
penurunan jumlah kuman yang dikeluarkan dan berkurangnya batuk.2
Walaupun telah dikenal sekian lama dan telah lama ditemukan obat-obat
antituberkulosis yang poten hingga saat ini TB masih merupakan masalah yang
menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai
penyumbang kasus terbanyak di dunia.2
Setidaknya setengah juta anak-anak menjadi sakit akibat TB tiap tahunnya.
Lebih dari 70.000 anak-anak meninggal karena TB setiap tahun. Sekitar 70-80%
anak-anak yang terinfeksi TB, memiliki penyakit pada paru-paru mereka (pulmonary
TB). Sisanya dipengaruhi oleh penyakit TB di bagian tubuh yang lain
(extrapulmonary TB). Ada lebih dari sepuluh juta anak yatim dengan riwayat
orangtua TB meninggal pada 2010.1
Data seluruh kasus TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat Pendidikan Indonesia
selama 5 tahun (1998-2002) dijumpai 1.086 kasus TB dengan angka kematian
bervariasi dari 0-14,1%. Kelompok usia terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan
bayi <12 bulan didapatkan 16,5%. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan
kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok umur
dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 14 tahun 0,76% dan antara 5
14 tahun 0,53%.6

II.1.4 Patogenesis
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi nuklei droplet dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat
bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh
orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat
masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Hal ini menimbulkan respon
peradangan akut nonspesifik yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan
sedikit atau sama sekali tanpa gejala. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh
neutrofil, kemudian makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan
oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.3
Selama 2-8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang biak
di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada pejamu yang terinfeksi.
Limfosit yang cakap secara imunologik memasuki daerah infeksi, di daerah tersebut
limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin. Sebagai
responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan bentuk
menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang tersusun
menjadi granuloma. Mikobakterium dapat bertahan dalam makrofag selama bertahun-
tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam sel ini, namun
multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kemudian terjadi
penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang lambat yang kadang
meniggalkan lesi sisa yang tampak pada foto Roentgen paru. Kombinasi lesi paru
perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang terkalsifikasi dikenal sebagai
kompleks Ghon /sarang primer.3

Kompleks Ghon ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati
regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi
penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis fokal), dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis fokal + limfadenitis regional = kompleks primer.5
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler
(KEMENKES, 2013). Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan
tuberkulosis primer.
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB
pasca primer = TB sekunder). TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB pasca primer
ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apikal-
posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan
tidak ke nodus hiler paru.5
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan bertbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga dapat berasal dari
infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia muda (elderly tuberculosis).
Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas pasien.5
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadic (occult hematogenic spread).
2. Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
3. Komplek primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional
4. TB primer adalah proses masukknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,
5. terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik, hingga pasien mengalami
infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.
6. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui
proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan
seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).
Gambar 2.1. Patogenesis TB.
Sumber: dikutip dari Rahajoe dan Setyanto, 2010.
II.1.5 Diagnosis Tuberkulosis
II.1.5.1 Penemuan pasien TB
Berdasarkan JUKNIS TB Anak KEMENKES, pasien TB anak dapat ditemukan
dengan cara melakukan pemeriksaan pada7 :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau
sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama
pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya
terjadi pada pasien TB dewasa.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala
sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis
TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
a) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.
b) Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada
anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c) Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
d) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
e) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.

II.1.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan yang
khas terutama pada kasus-kasus dini. Demam subfebris terjadi pada sebagian besar
kasus. Pemeriksaan antropometri menunjukkan status gizi kurang. Temuan yang
lebih spesifik dapat diperoleh jika TB mengenai organ tertentu, seperti gibus, kifosis,
paraparesis, pada TB vertebra, dan pembesaran kelenjar getah bening multipel tanpa
nyeri tekan pada TB kelenjar.8

II.1.5.3 Pemeriksaan Bakteriologi


Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji
tuberkulin, dan gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan
kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang
dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung
untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman Mycobacterium
tuberculosis.9 Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya dapat dilakukan beberapa
teknik pemeriksaan lain seperti bilas lambung (gastric lavage), apusan laring, isap
trakea, dan bronkoskopi. Bilas lambung merupakan metode yang paling sering
digunakan. Bilas lambung harus dilakukan 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari,
dilakukan dini hari dan pasien berpuasa serta berbaring terlentang.9
Hasil Pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif,
sedangkan hasil biakan Mycobacterium tuberculosis memerlukan waktu yang lama
yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya dapat
diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pada medium cairan selektif dengan
menggunakan nutrien radiolabel (sistem radiometrik BACTEC), dan kerentanan obat
dapat ditentukan dalam 3-5 hari tambahan.9

II.1.5.4 Uji Tuberkulin


Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
terinfeksi TB maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini
terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan terakumulasinya sel-sel
inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak
dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit.9

Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin


PPD (Purified Protein Derivative) secara intrakutan di bagian volar lengan dengan
arah suntikan memanjang lengan (longitdinal). Reaksi (indurasi transversal) diukur
48-72 jam setelah penyuntikan, apabila tidak ada indurasi ditulis dengan 0 mm. Uji
tuberkulosis positif jika indurasi 10 mm, meragukan dan perlu diulang dalam jarak
waktu minimal 2 minggu jika indurasi 5-9 mm, negatif jika indurasi <5mm. Hasil
positif pada anak menunjukkan adanya infeksi TB. Akan tetapi, reaksi tuberkulin
tidak digunakan untuk memantau pengobatan karena akan bertahan lama hingga
bertahun-tahun, walaupun pasien sudah sembuh.7

II.1.5.5 Pemeriksaan Radiologis


Gambaran foto toraks TB pada anak sering tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Namun, diagnosis TB
paru pada anak tetap memerlukan hasil pemeriksaan radiografi toraks karena
beberapa hal, yaitu gejala klinis yang sering tidak spesifik, pemeriksaan apusan BTA
dan kultur yang sering mendapat hasil negatif, serta asimtomatik.
Anak memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, struktur anatomi, dan fisiologi
tubuh dengan dewasa. Sebagai contoh, interpretasi mediastinum pada foto toraks
sering dikaburkan dengan adanya timus. Teknik pemeriksaan Roentgen pada anak
juga berbeda dengan dewasa, pada dewasa sering dipakai teknik PA (posteroanterior)
sedangkan pada anak AP (anteroposterior) dan lateral kanan.
Menurut Icksan dan Luhur (2008), secara radiologis TB paru dibedakan atas :
a. TB Paru Primer
b. TB Paru postprimer (reactivation TB, reinfection TB, secondary TB)
TB Paru Fokal
Tuberculous lobar pneumonia dan Bronkopneumonia
TB Endobronkial
Tuberkuloma
TB milier
c. Pleuritis TB
Tuberkulosis primer sering disebut sebagai childhood tuberculosis (tuberkulosis
pada anak) sedangkan tuberkulosis postprimer disebut adult tuberculosis
(tuberkulosis pada dewasa).4 TB primer memang pada umumnya menyerang anak,
tetapi bisa juga terjadi pada orang dewasa dengan daya tahan tubuh yang lemah,
seperti penderita HIV, Diabetes Melitus, Systemic Lupus Erytematosus (SLE) dan
sebagainya.
II.1.5.5.1 TB primer
Pada TB primer, Kelainan foto toraks yang dominan adalah berupa
limfadenopati hilus dan mediastinum. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.2.
lokasi kelainan biasanya terdapat pada satu lobus, terutama di daerah lobus bawah,
lobus tengah dan lingula serta segmen anterior lobus atas. Paru kanan lebih sering
terkena karena struktur anatomis bronkus kanan yang lebih vertikal dan
mengakibatkan basil TB lebih sering masuk ke daerah tersebut (Franco et al., 2003).
Limfadenopati sering terjadi pada hilus ipsilateral, dan dilaporkan terjadi pada 1/3
kasus. Limfadenopati merupakan gambaran tipikal pada anak usia <5 tahun.8
Gambaran TB primer lebih sering dijumpai pada anak yang lebih muda
(sebelum remaja). Menurut WHO definisi remaja dalam hal ini adalah anak dengan
usia 10 19 tahun. Dari hasil studi oleh Weber, et al. tahun 2000 dilaporkan bahwa
hanya terdapat 10% remaja (adolescent) saja yang memiliki gambaran limfadenopati.
Gambaran yang lebih sering dijumpai pada anak remaja adalah kavitas yang mirip
dengan gambaran TB pada dewasa.8
Hasil penelitian Anna et al., tahun 2011 menggambarkan distribusi frekuensi
gambaran radiologis pada remaja sebagai berikut : infiltrat (53,3%); kavitasi (32,4%);
konsolidasi (27%); pembesaran lymph node pada hilus (3,2%) (gambar 2.3.);
atelektasis (1,9%). Hasil ini menunjukkan bahwa bentuk TB primer terjadi pada anak
dengan usia lebih muda dan bentuk postprimer pada remaja yang lebih tua.
Gambar 2.2. Limfadenopati Hilus, A (anteroposterior), B (lateral).
Sumber: dikutip dari Smith dan John, 2012.

Gambar 2.3. Infiltrat dan Limfadenopati Gambar 2.4. Infiltrat, kavitas, &
hilus. atelektasis.
Sumber: dikutip dari Laya, 2014 Sumber: dikutip dari Franco et al., 2003.

II.1.5.5.2 TB post primer


TB paru post primer biasanya terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya.
Selama infeksi primer kuman terbawa aliran darah ke daerah apeks dan segmen
posterior lobus atas dan ke segmen superior lobus bawah, untuk selanjutnya terjadi
reaktivasi infeksi di daerah ini karena tekanan oksigen di lobus atas tinggi.
Gambaran foto toraks yang dicurigai aktif :
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikoposterior atas dan superior lobus
bawah.
2. Kavitas lebih dari satu dan dikelilingi konsolidasi atau nodul
3. Bercak milier
4. Efusi pleura bilateral

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tidak aktif :


1. Fibrosis
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura

Klasifikasi TB post primer secara radiologis (Icksan dan Luhur S, 2008):


1. Lesi minimal
Luas lesi yang terlihat tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis median,
apek dan iga 2 depan, lesi soliter dapat berada dimana saja, tidak ditemukan
adanya kavitas.
2. Lesi lanjut sedang
Luas sarang-sarang yang berupa bercak tidak melebihi luas satu paru, bila ada
kavitas ukurannya tidak lebih 4 cm, bila ada konsolidasi tidak lebih dari satu
lobus.
3. Lesi sangat lanjut
Luas lesi melebihi lesi minimal dan lesi lanjut sedang, tetapi bila ada kavitas
ukuran lebih dari 4 cm.
II.1.5.5.3 Pleuritis TB
Pada keadaan normal rongga pleura berisi cairan 10-15 ml. Efusi pleura terjadi
akibat produksi cairan yang berlebihan karena reaksi hipersensitif dengan protein
Mycobacterium tuberculosis serta eliminasi cairan pleura yang berkurang akibat
adanya obstruksi limfatik di pleura parietalis.9 Efusi pleura bisa terdeteksi dengan
foto toraks PA dengan memperlihatkan tanda meniscus atau ellis line, apabila
jumlahnya 175 ml. Pada foto lateral dekubitus efusi pleura
sudah bisa dilihat bila ada penambahan 5 ml dari jumlah normal dan pada posisi
lateral efusi pleura bisa terlihat bila jumlah cairannya 100 cc. Pada posisi supine efusi
pleura bisa terdeteksi bila jumlahnya 500 ml. Penebalan pleura di apikal relatif biasa
pada TB paru atau bekas TB paru. Efusi pleura sering dijumpai pada pasien TB yang
disertai lesi luas di paru, tapi bisa berdiri sendiri tanpa ada lesi di paru.9

II.1.5.6 Penegakkan Diagnosis


Dalam menegakkan diagnosa TB pada anak, dapat menggunakan sistem
skoring. Sistem skoring ini diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosa
maupun overdiagnosa TB. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TB di Fasilitas Kesehatan (Kemenkes RI, 2014).
Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan. Berat badan dan panjang/ tinggi badan
dinilai saat pasien dating dengan penentuan status gizi untuk anak usia 5 tahun
menurut kurva CDC 2000.

Gambar 2.3. Alur Diagnosa dan Tatalaksana TB Anak di Puskesmas


II.1.6 Penatalaksanaan

Apabila jumlah skor 6 maka pasien harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT. Selanjutnya harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan. Apabila
respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan
apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka pasien harus segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun
gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap
dihentikan.
II.1.6.1 Panduan obat TB pada anak
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan
dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada
anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan
dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan.
Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid
(H).
Dosis :
INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
Streptomisin: 1540 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif
lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk
Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk
anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:
Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut. Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis
KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan
komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg:

Keterangan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
Anak dengan BB 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini:

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB


milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin, Pirazinamid,
Etambutol atau Streptomisin). Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin
selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB,
perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 12 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Lama pemberian kortikosteroid adalah 24 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu 26 minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Hindari pemakaian streptomisin pada anak bila memungkinkan, karena
penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan permanen syaraf pendengaran, dan
terdapat risiko penularan HIV akibat perlakuan yang tidak benar terhadap alat
suntikan.
II.1.6.2 Tindak lanjut
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respons pengobatan pasien harus
dievaluasi. Respons pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu
makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang.
Apabila respons pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6
bulan. Sedangkan apabila respons pengobatan kurang atau tidak baik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan sambil mencari penyebabnya. Sistem skoring hanya
digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

II.1.6.3 Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk anak


Bila anak balita sehat, yang tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA
positif, mendapatkan skor < 5 pada evaluasi dengan sistem skoring, maka kepada
anak balita tersebut diberikan isoniazid dengan dosis 510 mg/kg BB/hari selama 6
bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG
dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.

II.1.6.4 Tindakan kesehatan masyarakat


Laporkan setiap kasus ke Dinas Kesehatan setempat. Pastikan bahwa
dilakukan pemantauan pengobatan. Periksa semua anggota keluarga serumah (bila
mungkin mungkin juga kontak di sekolah) untuk mendeteksi kemungkinan TB dan
upayakan pengobatannya.

II.1.7 Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul pada penderita tuberkulosis paru adalah:
II.1.7.1 Efusi pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapatnya penumpukan cairan
dalam rongga pleura. Efusi pleura dapat disebabkan kerena kondisi gangguan pada
reabsorbsi dan peningkatan produksi cairan pleura (akibat infeksi pada pleura). Pada
penderita tuberkulosis paru, efusi pleura disebabkan karena meningkatnya
permeabilitas kapiler yang disebabkan karena infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis.

II.1.7.2 Batuk darah (Hemoptisis)


Hemoptisis adalah darah yang keluar dari mulut saat batuk. Darah yang
dikeluarkan pada penderita tuberkulosis paru dapat berupa garis atau bercak-bercak
darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang banyak. Batuk
darah pada tuberkulosis paru merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi
dari pembuluh darah pada dinding kavitis.
II.1.7.3 Bronkiektaksis
Bronkiektaksis merupakan dilatasi bronchus dan bronkhiolus kronis permanen.
Bronkietaksis sering kali ditunjukkan oleh tanda klinis infeksi yang kronis atau
berulang pada jalan napas yang melebar dan adanya sekret yang menumpuk pada
jalan napas. Pada penderita tuberkulosis paru, bronkiektaksis ditandai dengan gejala
batuk kronis dan produksi sputum purulen kehitaman.
II.1.7.4 Empiema
Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura.
Awalnya, cairan pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi
sering berlanjut menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya sampai pada keadaan
dimana paru-paru tertutup oleh membran eksudat yang kental. Hal ini terjadi jika
abses paru-paru meluas sampai rongga pleura.
II.1.7.5 Gagal napas
Gagal nafas adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan
paru untuk mensuplai oksigen secukupnya ke seluruh tubuh atau mengeluarkan
karbondioksida dari aliran darah. Banyak keadaan-keadaan dan faktor-faktor, seperti
overdosis obat-obatan atau alkohol, keracunan karbonmonoksida, komplikasi dari
penyakit paru obstruktif kronis dan trauma dada, dapat menyebabkan gagal nafas.
Kondisi ini merupakan suatu keadaan yang mengancam keselamatan jiwa karena
suplai oksigen yang tidak cukup atau terlalu banyak kandungan karbondioksida
dalam suplai darah dapat menyebabkan kerusakan jaringan, yang akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan organ yang multipel.

II.1.7.8 Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
mengempisnya paru akibat bocornya udara ke ruangan antara dua lapisan pleura
(rongga pleura). Pleura adalah kantung yang terdiri dari dua lapisan yang meliputi
paru-paru dan memisahkannya dari dinding dada. Sejumlah kecil cairan di dalam
rongga pleura mengurangi gesekan dan memfasilitasi gerakan pernafasan. Cairan ini
juga membantu paru-paru untuk tetap mengembang dengan menciptakan tekanan
negatif. Pada pneumotoraks, adanya udara antara dua lapisan pleura meningkatkan
tekanan pada rongga dada dan menyebabkan paru-paru yang elastis tertekan,
menyebabkan paru mengempis. Oleh karena itu, paru-paru tidak lagi dapat
mengembang sebagaimana biasanya. Pneumotoraks dapat menyebabkan nyeri dada
tajam yang tiba-tiba ketika paru-paru mengempis, diikuti dengan kesulitan bernafas
dan pernafasan yang pendek.

II.2. Hemoptisis
II.2.1 Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di
bawah laring atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring.
Banyaknya jumlah batuk darah yang dikeluarkan sangat penting diketahui untuk
menentukan klasifikasi hemoptisis nonmasif atau masif.10
a. Hemoptisis ringan: volume batuk darah < 30 ml/hari.
b. Hemoptisis sedang: volume batuk darah 30 150 ml/hari.
c. Hemoptisis berat: volume batuk darah > 150 ml/hari tetapi tidak memenuhi
kriteria hemoptisis massif.
d. Hemoptisis masif:
Batuk darah > 600 ml dalam 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah
tidak berhenti.
Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml dalam 24 jam dan
pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin kurang dari 10 gr/dl,
dalam pengamatan batuk darah tetap berlangsung.
Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml dalam 24 jam dan dari
pemeriksaan laboratorium hemoglobin lebih dari 10 gr/dl, tetapi dalam
pengamatan 48 jam dengan pengobatan konservatif batuk darah tidak
berhenti.

II.2.2 Anatomi.
Sirkulasi darah paru berasal dari 2 sistem sirkulasi yaitu sirkulasi pulmoner dan
sirkulasi bronkial. Arteri bronkial biasanya tidak tervisualisasi pada aortografi pada
pasien tanpa penyakit paru. 80 % individu memperlihatkan gambaran
intercostobronchial trunk (ICBT) saat dilakukan pemeriksaan angiografi, gambaran
ICBT sering dijumpai pada sisi posterolateral aorta sedangkan letak normal arteri
bronkial pada sisi anterolateral aorta kanan dan kiri. Diameter normal arteri bronkial
kurang dari 1,5 mm dan ukurannya 0,5 mm saat masuk ke dalam segmen
bronkopulmoner.11

II.2.2.1 Arteri Bronkial


Arteri bronchial bervariasi dalam asal sumber arteri dan pola percabangan
selanjutnya. Arteri bronchial umumnya berasal dari aorta se tinggi T3 - T8 dan
mendarahi trachea, bronkus, jaringan alveoli pulmo, nervus vagus, mediastinum
posterior, jaringan getah bening bronkopulmonal, perikardium dan sepertiga tengah
esofagus. Variasi sirkulasi bronkial antar individu amat beragam Arteri bronchial
berasal dari aorta toraks descendens antara atas T5 sampai bawah corpus vertebra T6
70% dari populasi. 10% lain cabang pertama dari aorta thorax atau arkus, di luar
batas T5-T6. Sisanya 20% berasal dari berbagai struktur termasuk cabang thorax
(brachiocephalic, subclavian, internal mammary, pericardiophrenic, atau
thyrocervical) dan cabang abdomen (aorta, inferior phrenic, celiac).1

Ketika berasal dari aorta, pola percabangan menunjukkan beberapa


variasi termasuk empat pola klasik menurut Cauldwell et al. Konfigurasi tipe
pertama (40,6%) terdiri dari satu arteri bronkial kanan yang berasal dari
intercostobronchial trunk yang berhubungan dengan dua arteri bronkial kiri dengan
asal terpisah. Tipe kedua (21,3%) terdiri dari satu arteri bronkial kanan dari
intercostobronchial trunk bersama dengan satu arteri bronkial kiri. Tipe ketiga
(20,6%), memiliki dua arteri bronkial kanan, salah satunya berhubungan dengan
trunkus intercostobronchial, dan dua arteri bronkial kiri. Tipe keempat (9,7%) adalah
dua arteri bronkial kanan, salah satu yang berhubungan dengan intercostobronchial
trunk dengan satu arteri bronkial kiri.11
II.2.2.2 Arteri non bronkial sistemik
Hemoptisis yang tidak membaik dengan terapi emboli perkutan meskipun
teknik yang adequate telah dilakukan perlu dipikirkan kemungkinan di aksesori,
keterlibatan arteri nonbronchial. Pasokan arteri mungkin berasal dari distribusi
pembuluh darah thorax atau abdomen (seperti arteri interkostal, cabang arteri
subklavia dan aksilaris, arteri mamari interna, arteri frenikus, left gastric artery.
Arteri bronkial ektopik dan orthotopic dianggap lebih vertikal atau horizontal
sebelum bergabung dengan cabang bronkial. Arteri collateral nonbronkial sistemik
tidak sesuai dengan pola tersebut, tidak mengikuti daerah transpleural atau lebih
berpotensi melalui ligamentum paru inferior, tidak bergabung dengan cabang
bronkial.

II.2.2.3 Arteri pulmonalis


Evaluasi pembuluh darah thorax harus selalu menyertakan sirkulasi paru.
Perdarahan yang berasal dari arteri pulmonalis sekitar 10% dari penyebab hemoptisis.
Hemoptisis berasal dari arteri paru dicurigai ketika embolisasi arteri sistemik tidak
menanggulangi perdarahan.

II.2.3 Etiologi
Di seluruh dunia, penyebab paling umum hemoptisis adalah TB aktif. Pada
negara-negara berkembang seperti Amerika Serikat, hemoptisis paling sering terjadi
pada proses inflamasi kronis termasuk penyakit infeksius (TBC, aspergillosis) dan
non-infeksius (cystic fibrosis, bronkiektasis) sebagai
etiologi. Penyebab utama hemoptisis noninflamasi di Amerika Serikat adalah
karsinoma bronkogenik dan penyakit jantung bawaan. Situasi yang jarang muncul
adalah kriptogenik, dan paling biasa ditemui pada populasi merokok, terhitung
hingga 42% dari keluhan hemoptisis.
Dalam kebanyakan kasus, hemoptisis berasal dari arteri bronkial akibat
perubahan vaskuler terminal menyebabkan perubahan keadaan aliran dan distribusi
normal. Kondisi inflamasi, beberapa faktor termasuk hipoksia lokal, berkontribusi
pada penurunan perfusi arteri paru. Pada inflamasi kronis, peranan faktor
pertumbuhan angiogenik menyebabkan pertumbuhan dan pembentukan
neovascularity dari arteri bronkial sebagai kompensasi aliran arteri paru yang
menurun. Sel neoplasma mengeluarkan zat kemotaktik pada aliran arteri terjadi
kelainan proliferasi dan metabolik. Pembuluh darah sistemik juga dapat ditemukan
dalam kondisi yang sama, terutama di mana tumor atau inflamasi di perkiraan dekat
permukaan pleura dan / atau refleksi.
Di mana aliran collateral didapatkan, dinding pembuluh darah yang abnormal
tipis. Kerapuhan ini tetap berkaitan dengan peningkatan tekanan darah lokal yang
meluas ke aliran sistemik, dan kecenderungan terjadi pseudoaneurysm sebagai
predisposisi neovascularisasi ruptur, berpotensi besar hemoptisis masif. Infeksi yang
timbul di daerah arteri bronkial yang berproliferasi dapat meningkatkan ruptur
pembuluh darah yang rapuh. Gangguan yang lebih jarang mendasari sebagai
penyebab hemoptisis (Tabel 2). Penyakit jantung bawaan, sering dengan penurunan
perfusi arteri paru keseluruhan menyebabkan proliferasi arteri bronkial dan sistemik.
Selain itu, arteri paru-paru serta aorta (yaitu, fistula aortobronchial) berkontribusi
terjadi hemoptisis, hanya 5%. 11

II.2.4 Digital subtraction arteriography dalam diagnosis hemoptisis


Digital subtraction arteriography dilakukan sebelum menjalani embolisasi
arteri bronkial yang optimal dilakukan memanfaatkan unit radiografi mempunyai
akuisisi frame-rate yang tinggi. Hal ini memungkinkan penggambaran yang sangat
baik arteri bronkial dan sistemik non-bronkial. Angiography dan intervensi
dilakukan di bawah sedasi sedang atau anestesi umum, menentukan presentasi klinis
dan status dari pasien.
Standar masuk melalui arteri femoralis communis lebih dominan walaupun
masuk melalui arteri brachialis mungkin diperlukan untuk menuju saluran arteri
sistemik nonbronkial yang sulit. Walaupun demikian, apabila dilakukan mempunyai
tingkat morbiditas dan komplikasi yang tinggi. Pada institusi kami, semua pencitraan
dan intervensi lebih sering menggunakan abbocath 5 Fr. Semua arteriography harus
menggunakan salah satu bahan kontras non-ionik low-osmolar atau iso-osmolar,
kontras high-osmolar menyebabkan myelitis transverse. Banyak aortography thorax
menggambarkan jumlah , ukuran dan posisi arteri bronkial (gambar 5.1). Sangat
menolong pada kasus arteri bronkial abberant/menyimpang atau ektopik . Diameter
normal dan pelebaran arteri bronkial ditemukan pada aortography thorax seharusnya
diteliti tanda kelainan pada pembuluh darah terminal. Ektravasasi aktif, membantu
dan spesifik, terjadi hingga 10,7% dari pemeriksaan. Tidak dapat mengidentifikasi
letak perdarahan, menemukan yang sensitif (dicurigai) sebagai lokasi hemoptisis
adalah vaskular hipertrofi dan meliuk, neovascularisasi, hypervascularisasi,
pembentukan aneurisma, dan shunting ( arteri bronkial ke vena paru atau arteri
bronkial ke arteri paru). Pedoman berlaku umum untuk diameter arteri bronkial yang
abnormal adalah > 3 mm, dengan diameter pembuluh darah yang normal biasanya 1,5
mm. Menggabungkan temuan CT thorax dengan temuan angiografi mungkin lebih
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas lokasi hemoptisis pada angiografi. Sangat
penting adalah adanya penebalan pleura ukuran 3 mm atau lebih besar berbatasan
degan kelainan di parenkim. Hipertrofi lemak extrapleural mungkin juga hadir
dengan gambaran pembuluh darah yang melebar pada daerah tersebut.
Penggunaan mikrokateter dalam teknik koaksial sekarang tersebar luas, dan
kegunaannya yang didokumentasikan dengan baik untuk angiografi superselective
serta untuk pemberian bahan embolan. Ini bisa menjadi manfaat ketika kateter 5F
tidak mampu mempertahankan dengan baik akses untuk angiografi diagnostik, dan
tentu saja untuk pengiriman bahan emboli. Ketika memilih trunkus
intercostobronchial dengan microcatheter tersebut, perhatian diberikan kepada
manipulasi kateter luar separuh interkostal yang dapat meningkatkan hal tersebut di
atas arteri spinalis anterior.
Metode penyuntikan dan tingkat (tekanan) harus dipilih/ditentukan berdasarkan
pada penilaian intraprosedur diameter arteri bronkial dan tingkat laju aliran darah.
Penyuntikan kontras dengan tangan melalui mikrokateter terbaik diberikan dengan
jarum suntik volume kecil yang mampu menghasilkan tekanan yang cukup untuk
mencapai laju aliran yang diperlukan untuk menghasilkan opasitas pada pembuluh
darah.. Atau, injeksi listrik dapat dilakukan dengan memperhatikan toleransi tekanan
maksimal dari microcatheter tersebut. Angiogenesis transpleural terjadi dalam kondisi
peradangan kronis atau neoplastik .Seperti disebutkan sebelumnya, ini dapat timbul di
toraks dan / atau abdomen.

II.2.5 Penatalaksanaan hemoptisis


a. Pembedahan
Sebelum dilakukan pembedahan harus terlebih dahulu diperiksa fungsi paru dan
diketahui asal dari perdarahan (dengan pemeriksaan bronkoskopi). Pembedahan
bisa segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi.
b. Konservatif
Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut :
1. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Bagi penderita yang mempunyai refleks batuk yang baik, dapat diletakkan
dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah
yang terasa menyumbat saluran pernapasan. Dapat dibantu dengan
pengisapan darah dari jalan na fas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali
disuruh menahan batuk.
Bagi penderita yang tidak mempunyai refleks yang baik diletakkan dalam
posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit
trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau
masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas
yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap.
Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan sukar
berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein 10 - 20 mg.
Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga
kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita
dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif.
2. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
Pemberian oksigen
Pemberian cairan untuk hidrasi
Tranfusi darah
Memperbaiki keseimbangan asam dan basa
3. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan rata-rata dalam 7 hari.
Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresim (Pitrissin).,
ascorbic acid ikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam
factor-faktor pembekuan darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan
infus.
4. Mengobati penyakit yang mendasari
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu
diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga
antibiotika yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2008. Global tuberculosis control: surveillance, planning, financing.


WHO/HTM/TB/2008393.
2. Depkes RI.2008. Diagnosis & Tatalaksana Tuberkulosis Anak Kelompok Kerja
Tb Anak. Jakarta: Depkes-IDAI.
3. Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., dan Morse, S.A. 2007. Jawetz, Melnick,
& Adelberg's Medical Microbiology. 24th ed. United States of America: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
4. Utji R, dan Harun H. Kuman tahan asam. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran
(Edisi Revisi). Jakarta: Binarupa Aksara; p. 227-36.
5. Amin Z, Bahar A (2014). Tuberkulosis paru. Dalam : Aru W,Sudoyo B S,Idrus
A,Marcellus S,Siti S, ed.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke-6 Jilid I.
Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp : 863-71.
6. Kartasasmita C. 2002. Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak.
[homepage on the internet]. No date [cited 2017 mar 7] Available from:
http//www.depkes.com
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
8. Calistania, C. & Indawati, W., 2014. Respirologi Pediatri, Tuberkulosis. In:
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A, Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aesculapius: 181.
9. Rahajoe, N.N & Setyanto, D.B., 2010. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. In:
Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B., ed. Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 174, 204, & 207.
10. Sopko D. R, M.D.,1 and Smith T.P, M.D. Bronchial Artery Embolization for
Hemoptysis. Semin Intervent Radiol 2011;28:4862.
11. Burke C. T, M.D and Mauro M. A, M.D., F.A.C.R., F.S.I.R., F.A.H.A. Bronchial
Artery Embolization. Seminars in Interventional Radiology. 2004 ; 21: 1.
1
WHO. 2008. Global tuberculosis control: surveillance, planning, financing.
WHO/HTM/TB/2008393.

2
Depkes RI.2008. Diagnosis & Tatalaksana Tuberkulosis Anak Kelompok Kerja Tb Anak.
Jakarta: Depkes-IDAI.

3
Brooks, G.F., Carroll, K.C., Butel, J.S., dan Morse, S.A. 2007. Jawetz, Melnick, & Adelberg's
Medical Microbiology. 24th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

4
Utji R, dan Harun H. Kuman tahan asam. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran (Edisi Revisi).
Jakarta: Binarupa Aksara; p. 227-36.

5
Amin Z, Bahar A (2014). Tuberkulosis paru. Dalam : Aru W,Sudoyo B S,Idrus A,Marcellus
S,Siti S, ed.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke-6 Jilid I. Jakarta:Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 863-71.

6
Kartasasmita C. 2002. Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak. [homepage on the
internet]. No date [cited 2017 mar 7] Available from: http//www.depkes.com

7
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
8
Calistania, C. & Indawati, W., 2014. Respirologi Pediatri, Tuberkulosis. In: Tanto, C., Liwang, F.,
Hanifati, S., Pradipta, E.A, Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius: 181.
9
Rahajoe, N.N & Setyanto, D.B., 2010. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. In: Rahajoe, N.N.,
Supriyatno, B., Setyanto, D.B., ed. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 174, 204,
& 207.
10
Sopko D. R, M.D.,1 and Smith T.P, M.D. Bronchial Artery Embolization for Hemoptysis. Semin

Intervent Radiol 2011;28:4862.

11
Burke C. T, M.D and Mauro M. A, M.D., F.A.C.R., F.S.I.R., F.A.H.A. Bronchial Artery

Embolization. Seminars in Interventional Radiology. 2004 ; 21: 1.

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover REFERAT
    Cover REFERAT
    Dokumen3 halaman
    Cover REFERAT
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Status THT
    Status THT
    Dokumen1 halaman
    Status THT
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Cover REFERAT
    Cover REFERAT
    Dokumen3 halaman
    Cover REFERAT
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Anam & PF
    Anam & PF
    Dokumen1 halaman
    Anam & PF
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • FORMAT Posyandu
    FORMAT Posyandu
    Dokumen2 halaman
    FORMAT Posyandu
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Cover REFERAT
    Cover REFERAT
    Dokumen3 halaman
    Cover REFERAT
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Template ANC KIA
    Template ANC KIA
    Dokumen1 halaman
    Template ANC KIA
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Refrat
    Refrat
    Dokumen7 halaman
    Refrat
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen25 halaman
    Malaria
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Template ANC KIA
    Template ANC KIA
    Dokumen1 halaman
    Template ANC KIA
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Case Vesikolithiasis
    Case Vesikolithiasis
    Dokumen34 halaman
    Case Vesikolithiasis
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Tut Klinik Febris
    Tut Klinik Febris
    Dokumen23 halaman
    Tut Klinik Febris
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Dokcil
    Dokcil
    Dokumen5 halaman
    Dokcil
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Screening Kesehatan Di SMP
    Screening Kesehatan Di SMP
    Dokumen1 halaman
    Screening Kesehatan Di SMP
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Cover Journal Reading
    Cover Journal Reading
    Dokumen1 halaman
    Cover Journal Reading
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen27 halaman
    Malaria
    Siti Fatimah Rad
    0% (1)
  • Artritis Gout
    Artritis Gout
    Dokumen21 halaman
    Artritis Gout
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Tatalaksana Malaria Berat
    Tatalaksana Malaria Berat
    Dokumen25 halaman
    Tatalaksana Malaria Berat
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen21 halaman
    Malaria
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis A
    Hepatitis A
    Dokumen21 halaman
    Hepatitis A
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen27 halaman
    Malaria
    Siti Fatimah Rad
    0% (1)
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen16 halaman
    Malaria
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Malaria
    Malaria
    Dokumen25 halaman
    Malaria
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Uas CRP Input
    Uas CRP Input
    Dokumen4 halaman
    Uas CRP Input
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis A
    Hepatitis A
    Dokumen21 halaman
    Hepatitis A
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Tut Klinik Febris
    Tut Klinik Febris
    Dokumen23 halaman
    Tut Klinik Febris
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Lamp Iran
    Lamp Iran
    Dokumen3 halaman
    Lamp Iran
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen4 halaman
    Lembar Pengesahan
    Siti Fatimah Rad
    Belum ada peringkat
  • PPT Referat
    PPT Referat
    Dokumen61 halaman
    PPT Referat
    Siti Fatimah Rad
    100% (1)