Anda di halaman 1dari 5

Pentingnya Pendidikan Keluarga

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Dalam buku berjudul Gadis Remaja(1961) terbitan Balai


Pustaka Dr. Sis Heyster menuliskan kalimat apik : suatu tanda
djaman sekarang, djaman kebobrokan djiwa, ialah bahwa harga
diri dan tjara membatasi diri pada si gadis dan wanita umumnya
makin lama makin tak nampak.
Pendapat Dr. Sis Heyster boleh kita terima atau kita tolak.
Bagaimana kemudian seorang gadis, apalagi anak-anak remaja di
masa sekarang ini, cenderung dibebaskan. Orangtua di zaman
sekarang cenderung memberikan kebebasan kepada para anak
gadisnya.
Bila dahulu, ada masa-masa yang harus dilalui oleh seorang
gadis sebelum ia memasuki masa dewasa. Para gadis tak hanya
dididik oleh orangtua dalam urusan rumah tangga. Tetapi
mereka juga diajarkan berbagai ketrampilan yang mesti dikuasai
oleh mereka sebagai bekal ketika dewasa kelak. Kita bisa
mendapati gadis-gadis di masa lampau amat sangat lihai dalam
urusan dapur, sumur, dan kasur.
Urusan kebersihan rumah, urusan masak-memasak menjadi
suatu hal yang sudah mereka kuasai. Maka malulah orangtua
mereka bila anak gadisnya tak mampu menyelesaikan
ketrampilan-ketrampilan yang bersifat domestik itu.
Dalam urusan rumah tangga yang berhubungan dengan
masyarakat, gadis remaja pun dididik dan dibina agar ia tahu dan
mengerti bagaimana kelak memposisikan dirinya dalam
lingkungan masyarakatnya. Hal ini tak hanya berurusan dengan
masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga erat dengan hubungan
ketrampilan seorang gadis menguasai tempat-tempat yang
berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga seperti belanj
kebutuhan rumah tangga dan sebagainya.
Mereka juga mendapati bekal pengetahuan akan tubuh
mereka sendiri ketika akan memasuki masa-masa puber dan
menjelang dewasa. Ada norma-norma yang diwariskan oleh
orangtua kita agar menjadi suatu bekal dan pengetahuan agar
mereka selamat menjalani masa-masa dewasa mereka dengan
bijak.
Oleh karena itu, pemahaman tentang kemajuan di kalangan
gadis-gadis remaja di masa itu adalah penguasaan terhadap ilmu
serta nasihat dari orangtua mereka.
Sehingga, perempuan di kala itu, tentu masih identik
dengan yang domestik, berhubungan dengan rumah. Tapi di
rumah itu pula, ia memberikan warna, memberikan
keharmormonisan dan sumber kebahagiaan bagi keluarga
mereka.
Kita masih mendapati sisa-sisa potret perempuan yang
memiliki ketrampilan sosial yang bagus dan penguasaan urusan
domestik yang bagus di kedua era yakni orde lama dan orde
baru. Kita mendapati Inggrid dan juga Ibu Tien yang selama ini
menjadi sosok yang tak hanya lihai dalam urusan rumah tangga,
jahit-menjahit hingga urusan sosial mereka.
Setelah era kedua presiden kita, sepertinya susah untuk
menemukan sosok gadis remaja yang hingga dewasa memiliki
keterampilan rumah tangga yang begitu sempurna dan berpadu
dengan keterampilan sosialnya. Begitu pula pengetahuan dalam
urusan adat dan tata susila yang begitu lekat dalam tubuhnya.
Kemerosotan para gadis dan perempuan di masa sekarang
yang semakin jauh meninggalkan dunia domestik dan sosial
mereka banyak dinilai sebagai kemajuan. Orang tua sekarang
lebih senang kalau anak mereka lebih mudah bergaul dan
menemukan diri mereka bersama teknologi dan pergaulan yang
erat dengan kemajuan.
Mereka merasa urusan masak-memasak, urusan kebersihan
rumah tangga, hingga urusan nilai dan etika akan mereka
temukan sendiri seiring berjalannya waktu ketika mereka
menjelang dewasa.
Terlebih membatasi pergaulan mereka dengan lawan jenis
cenderung tak menjadi trend orangtua sekarang. Bila perlu,
mereka diberi kebebasan sepenuhnya bertanggungjawab
terhadap tubuh mereka sendiri.
Singkatnya, orangtua sekarang cenderung tak mau ribet
dalam urusan mendidik anak. Bila perlu mereka fokus bekerja,
sehingga urusan anak menjadi tanggungjawab pembantu atau
sekolah.
Meski dalam urusan pendidikan mereka begitu perhatian,
tetapi dalam urusan keterampilan mereka di rumah hingga
pergaulan, orangtua sekarang cenderung mengabaikannya.
Di tahun 1975 kita bisa mendapati kesepakatan Asosiasi
Kesejahteraan Keluarga Amerika yang mengemukakan
pentingnya ilmu kesejahteraan keluarga : Tidak banyak impian
khayal akan menghasilkan suatu identitas biasa yang ada gunanya
dalam hubungan pekerjaan ..... Mereka (para Ahli Keejahteraan
Keluarga), mempunyai sikap yang sama terhadap pelayanan
pelayanan manusia, dan kepekaan seperti kepada hubungan
timbal-balik lingkungan dan kepribadian terhadap tingkah laku
dan perbuatan (Mc Farland, 1975 :5).
Vincent G.Hutchinson mengungkap banyak hal yang
berkaitan dengan ilmu kesejahteraan keluarga di bukunya
Kecenderungan Baru dalam Pendidikan Ilmu Kesejahteraan
Keluarga(1992). Ia juga mengungkapkan negara-negara luar
seperti Finlandia juga mulai mengurusi betapa pentingnya ilmu
ini.
Lalu bagaiamana dengan negara kita sendiri?. Ilmu tentang
kesejahteraan keluarga dan dinamikanya cenderung makin lama
makin meredup. Bila dulu, kita masih mewarisi PKK, kini
organisasi itu diisi oleh orangtua-orangtua dan tak banyak
generasi ibu-ibu muda masuk PKK. Dengan alasan kerja dan
sebagainya, akhirnya PKK pun menjadi organisasi yang tak
banyak berubah dan stagnan.
Bila kita prihatin dengan persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan persoalan keluarga seperti pergaulan anak
muda, sampai pada persoalan tindak kekerasan terhadap anak,
mestinya ilmu tentang etika pergaulan, tentang keluarga, dan
hubungannya dengan lingkungan sosial tetaplah diperlukan.
Bahkan negara pun boleh dibilang terlambat membentuk
Direktorat Pendidikan Keluarga dan Anak. Sampai saat ini,
lembaga ini belum sepenuhnya optimal mengatasi pelbagai
persoalan keluaga seperti kekerasan seksual pada anak, dan
persoalan keluarga lainnya.
Ada pergeseran yang jauh tentang bagaimana ilmu dan
kebijaksanaan keluarga yang dahulu dimulai dari orangtua,
menjadi sesuatu yang bersifat kelembagaan dan diurusi negara.
Sepertinya kita telah kehilangan banyak ilmu yang mengurusi
pelbagai persoalan pelik tentang keluarga kita sendiri.
Sehingga ketika banyak kasus terjadi yang berkait dengan
persoalan keluarga, kita terpaksa mempertanyakan kepada ahli
dan mengadu pada negara.
Fenomena ini sama seperti kita terheran-heran bagaimana
mungkin kota gaplek seperti Wonogiri menjadi tempat yang
subur dalam kasus pelecehan seksual anak yang tak hanya
perkosaan, bahkan pembunuhan begitu sadis hadir disana.

*) Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, guru MIM PK Kartasura

Anda mungkin juga menyukai