Anda di halaman 1dari 2

Rasa Malu

Luqman Al-Hakim pernah ditanya oleh seseorang.


“Apa satu hal baik dalam diri manusia?.
“Agama,” jawab Luqman.
“Kalau dua?” tanya orang itu.
“Agama dan Harta.”
“Kalau tiga?”
“Agama, Harta, dan Rasa Malu.”
Runtuh apa yang disebut “manusia” saat ia kehilangan rasa “malu”nya. Harkat serta
martabat manusia menjadi tanggal bila ia menghilangkan satu sifat ini. Dalam kebudayaan
timur, rasa malu amat dijunjung tinggi. Malu bila berkata tidak sopan, malu bila tidak hormat
kepada yang tua, malu bila berperilaku seenaknya di muka umum. Agama mengajarkan malu
sebagai nilai yang berharga dari manusia. Dalam hadist Bukhari, “Nabi adalah yang lebih
pemalu dari gadis perawan yang dipingit di kamarnya.” Seorang manusia teladan, panglima
perang, manusia paling agung memiliki sifat keras pemberani, tetapi juga amat pemalu.”
Ada semacam “batas”. Malu, adalah batas. Bila ia diterabas, maka benarlah apa yang
disabdakan Nabi dalam hadit Bukhari yang lain yang berbunyi : “Jika kamu tidak malu,
berbuatlah sesukamu.” Tuhan sendiri sangat malu melihat hamba-Nya yang memohon ampun
kepadanya. Ia amat malu untuk menyiksa hamba-Nya.
Danarto di bukunya Cahaya Rasul (1999) mengutip hadist Nabi : “Sesungguhnya Allah
selalu melihat orangtua renta, tiap pagi dan sore, dan berkata, “Wahai hamba-Ku, telah tua
usiamu, Makinkusut kulitmu. Makin rapuh tulangmu. Makin dekat ajalmu. Makin dekat
kedatanganmu kehadirat-Ku. Malulah pada-Ku, maka Aku akan malu oleh ketuaanmu untuk
menyiksamu di neraka.”
Dalam hadist Qudsi, Tuhan berfirman : “Kasih-Ku, mendahului murka-Ku.” Tuhan amat
sangat sayang kepada hamba-Nya bila ia memiliki rasa “malu”. Panggung peradaban manusia
tumbuh dan kuat karena memiliki rasa “malu”. Semakin beradab suatu bangsa, semakin ia
memiliki tata susila yang baik. Semakin tinggi adab manusia, semakin ia pemalu untuk
berbuat jahat dan dosa. Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan bahwa kata malu berasal dari
kata al-hayah (hidup), siapa yang tidak memiliki hayah, berarti ia mayat di dunia. Dan di
akhirat dia akan sengsara.
Dalam dunia yang Maha luas ini, rasa malulah yang membuat kita menjadi besar
sekaligus kecil. Di tengah jagat raya yang luas ini, kita adalah setitik noktah. Untuk itulah,
rasanya tak pantas kita untuk menyombongkan diri lagi angkuh. Tetapi rasa malu untuk
berbuat salah dan dosa kepada Tuhan yang mengangkat kita menjadi mulia bersama-Nya.
Saat “rasa malu” tanggal, bukan cuma baju yang sobek, tetapi juga hati menjadi
terkoyak-koyak karena tidak lagi bisa membedakan antara yang haq dan yang batil. Antara
yang benar dengan yang “sepertinya benar”. Malu membuat hamba merasa rela untuk
menjalankan perintah serta menjauhi larangan. Hamba yang merasa dikasihi Tuhan tahu,
Tuhan amat dekat dengan-Nya.
Di jaman yang runyam seperti sekarang ini, “rasa malu” kian tanggal. Orang Jawa
menyebut “Satrio ilang wirange” (Kesatria hilang rasa malunya). Pejabat tidak lagi merasa
malu menyalahgunakan wewenangnya. Anak tidak lagi memiliki “rasa malu” kepada
orangtuanya. Kejahatan dan angkaramurka seolah dengan tanpa rasa malu dipertontonkan di
hadapan kita.
Orang semakin berilmu, semakin menanggalkan “rasa malu”nya. Kejahatan dan nafsu
seolah diumbar tanpa batas. Orang tidak malu lagi melakukan perselingkuhan, melakukan
skandal, dan kemaksiatan. Gelar Profesor, gelar doktor tidak membuat seorang semakin
menajamkan “malu” untuk berbuat serong.
Dalam zaman yang linglung itulah kita seperti hendak memperbaiki. Bahwa
kecerdasan, intelektual, dan segala gelar yang kita peroleh tiada memiliki arti saat “malu”
telah kita tanggalkan. Namun kita melihat kejahatan dan juga korupsi semakin menjadi.
Orang tidak lagi risih memegang uang yang bukan milik sendiri. Orang tidak lagi merasa
malu, saat aib menjadi tontonan di setiap harinya.
Ada kisah menarik tentang “rasa malu” dari Abu Nawas. Suatu hari, Abu Nawas
kedatangan pencuri di malam hari, ia mengendap-endap dan masuk ke rumahnya. Abu
Nawas mengetahui kejadian itu, namun apa yang dilakukan Abu Nawas?. Ia malah sembunyi
di sudut rumahnya. Pencuri itu fokus kesana-kemari dan tidak ada barang yang berharga
yang dimiliki Abu Nawas. Lalu pencuri itu melihat Abu Nawas. “Hei, mengapa kamu malah
sembunyi disitu?”. Abu Nawas menjawab : “Aku malu, karena tidak ada barang berharga satu
pun yang bisa kuberikan padamu.” Pencuri itu pun justru kecewa dan pergi, namun ia lega
Abu Nawas tidak berteriak padanya sehingga warga tidak memukulinya.
Saat orang memiliki “malu”, maka ia akan semakin berhati-hati dalam hidupnya. Ia
tahu apa yang harus disembunyikan dan tampakkan. Ia semakin mengerti apa yang sejatinya
perlu dilihat oleh orang dengan apa yang tidak. Ia sadar betul, kapan ia akan menunjukkan
kepada liyan mana yang harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, mana yang harus
terang-terangan. Sifat malu membawa kita pada sifat arif, penuh pertimbangan dan tidak
tergesa-gesa.

Para Nabi, para Rasul, serta para sufi adalah seorang pemalu. Hari-harinya nampak
dijalani dengan hati-hati dan penuh kesadaran. Mereka malu, saat Tuhan tidak berkenan
terhadap apa yang mereka lakukan. Mereka malu, apa yang mereka lakukan tidak sesuai
dengan perkenan Tuhan. Rasa malu membawa mulut mereka basah dengan dzikir. Zuhud
dan sikapnya yang tidak tamak hadir karena “malu” kepada Tuhan-Nya.
Saat kita melihat orang gila di tengah-tengah kita, kita tersentak, terperangah,
sembari menggumam, “ora due isin” (tidak tahu malu)!. Dan kita tahu, itu pula yang akan kita
ucapkan pada koruptor, dan siapapun yang berbuat nista ketahuan boroknya. Dalam dunia
mereka dipermalukan, dihukum dengan aneka rupa hukuman. Dan siapakah penghukum yang
adil dari dosa-dosa kita?. Semoga Tuhan mengampuni kita dan menabur kasih-Nya. Tentu
saat kita masih menyimpan “rasa malu” kepada-Nya.

Anda mungkin juga menyukai