Anda di halaman 1dari 3

Buku Itu Simbolik

Oleh Arif Yudistira*)

Buku itu suluh. Orang bisa menjadikannya sebagai jalan untuk mencari terang,
jalan untuk melihat cakrawala. Melalui buku yang kita baca, kita tak hanya
menyelesaikan kata-kata di dalamnya. Kita sedang menata deretan pikiran kita dan
membentangkannya. Orang yang berbicara menggunakan buku seperti sedang berpijak
pada sesuatu yang kokoh, kuat, berdasar. Kenikmatan menggumulinya seperti sensasi
yang tak tergantikan. Di novela Rumah Kertas (2016) Carlos Maria Dominguez berkisah
mengenai manusia penggila buku : Brauer. Brauer yang membangun rumahnya dari
buku-bukunya akhirnya menikmati kesendirian, keterasingan, tapi juga sebuah sensasi
tatkala ia menyendiri, tanpa istri, tanpa teman, tanpa siapapun di tepi pantai.
Kebahagiaannya seperti tak terganti dengan apapun. Nasibnya, seperti menegaskan bahwa
ia tak bakal menjadi apa-apa, ia tak congkak, sombong, padahal dia bisa memilih untuk
menjadi ilmuwan, atau apapun menggunakan buku-bukunya. Ia memilih tidak
melakukan itu, ia memilih hidup dan tinggal bersama bukunya.

Buku bisa merubah takdir hidup orang-orang. Sebagaimana yang dikatakan Carlos
Maria Dominguez, banyak tokoh dunia maupun di negeri kita berubah karena buku.
Mereka adalah orang-orang tercerahkan karena membaca buku. Soekarno, Semaun, Tan
Malaka, Tirto Adhisoerjo, Mohammad Hatta, dan Pramoedya Ananta Toer, maupun
Widji Thukul.

Mereka adalah orang-orang yang menggunakan buku sebagai suluh, penerang


mereka dalam gelap. Di dalam buku Memoir Mohammad Hatta menuliskan kisahnya
sepulang dari Belanda, ia membawa 16 peti buku. Buku-buku itulah yang kelak dijadikan
referensi dan sumber bacaan dari tulisan-tulisannya. Kelak kita mengenalnya tak hanya
sebagai bapak bangsa tapi juga ekonom yang bersahaja. Buku-buku itu pula kelak yang
diwariskan anak-anaknya.

Begitu pula Pramoedya Ananta Toer. Ia menjadikan buku sebagai sebuah usaha
membaca nasionalisme dalam dirinya. Wujud nasionalisme itu ia wujudkan dengan
menulis kronik sejarah. Ia hendak menyusun sebuah dokumentasi dari Aceh sampai
Papua. Sayang sekali, ketika sampai Papua, Pramoedya sudah harus mengalah pada usia.
Ia pun sampai mengidap trauma mendalam saat tahu buku-buku dan hasil kerjanya
dibakar oleh tentara.
Penjara dan Buku

Tokoh-tokoh kita di masa lalu merasa sedih tatkala hari-harinya lepas dari buku.
Bahkan mereka mensiasati sebisa mungkin, buku masuk dalam ruang penjara mereka.
Bersama buku-buku itu, mereka menjadi hidup meski di dalam penjara. Soekarno, Hatta,
Sjahrir, Tan Malaka. Mereka mencipta buku justru dari penjara. Indonesia Menggugat
misalnya ditulis Soekarno di dalam penjara. Mochtar lubis juga menulis bukunya dari
penjara yang diberi judul Catatan Subversif. Begitu pula Pramoedya Ananta Toer. Ia
mengumpulkan ingatan dan melakukan kerja literasinya di penjara. Ia tak ingin kerja
hidupnya hancur sia-sia tatkala kerja literasinya dihancurkan. Di penjara, Pram justru
menulis susah payah dengan lintingan rokok. Kelak kita pun tahu, tetraloginya menjadi
karya yang menggemparkan sampai sekarang.

Penjara seperti ruang yang sepi, senyap, serta menyesakkan jiwa bagi orang-orang.
Para tokoh kita merasakan hal itu, tapi tidak bila ada buku. Buku seolah menjadi pengisi
jiwa, seperti obat bagi trauma dan rasa sakit saat di penjara. Pada hari jumat, (10/2/17),
harian Solopos memberitakan bahwa Pelaksana Tugas Bupati Klaten Sri Mulyani
meminjamkan buku ke Lembaga Pemsyarakatan sebanyak 200 buah. Berita itu terkesan
melegakan. Seolah ada angin segar bagi para penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Mereka
bisa menikmati buku bacaan yang dihadirkan sebagia pelipur lara serta teman berbagi
kesepian dan duka.

Konon, dari pengakuan Pembinaan Anak Didik dan Kegiatan Kerja (Binadik
Giatja) Eko Susanto, penghuni Lapas memang diarahkan untuk membaca ke taman
bacaan. Lapas juga menyediakan kursus bahasa inggris yang bekerjasama dengan LSM.
Publik boleh saja optimis dengan pemberian buku sebagai peristiwa simbolik itu. Kita
diajak untuk percaya bahwa penghuni lapas pun perlu melek literasi bersama pemerintah.

Adegan pemberian pinjaman buku kepada Lapas seolah menyiratkan pesan


simbolik. Para narapidana diajak untuk membaca, agar bisa meringankan pikiran mereka
dan menghindari aktifitas yang tak penting di penjara. Apakah para pejabat di Klaten
sudah melek baca dan aktif berliterasi?. Barangkali kita bisa melontarkan pertanyaan
serupa agar peristiwa buku tak sekadar simbolik semata.

Pasalnya kita patut menaruh curiga, para pejabat di Klaten lebih sering rapat serta
kumpul-kumpul semata. Kecurigaan ini tentu bukan tanpa dasar, setelah mendengar
berita Bupati Klaten yang terkena Operasi Tangkap Tangan KPK. Kita pun sulit untuk
percaya kembali bahwa usaha dan kerja yang dilakukan oleh pejabat di Klaten benar-
benar sudah bersih dari korupsi.
Kita menduga, bahwa Bupati Klaten dan jajarannya tak membaca buku Korupsi
karya Pramoedya. Mereka barangkali tak sadar, korupsi bisa berawal dari sebuah hasrat
yang akhirnya tak mampu dibendung.

Peristiwa peminjaman 200 buku ke Lapas Klaten bisa dibaca sebagai sebuah
peristiwa simbolik. Buku bisa dijadikan simbol bahwa penguasa dalam hal ini (Plt Bupati
Klaten) masih peduli terhadap nasib literasi di penjara. Tapi juga bisa dibaca sebagai
simbol sekaligus otokritik bahwa bila pejabat Klaten saja peduli terhadap melek literasi di
penjara, maka sudah semestinya mereka juga peduli terhadap nasib literasi di kalangan
internalnya.

Buku bisa dijadikan simbol pencitraan, atau sebaliknya dijadikan suluh buat
pembacanya. Beberapa waktu lalu kita juga dihebohkan dengan kabar Jokowi yang
membeli buku. Semoga saja pak Presiden juga tak lupa memperhatikan nasib buku, nasib
literasi, dan nasib para pekerja buku.

Kita pun berdoa agar pemberian “pinjaman” buku kepada LP Klaten tak sekadar
pencitraan semata. Publik boleh berharap agar pejabat di Klaten pun rajin baca buku, agar
pengetahuan mereka makin bertambah, dan makin bijak. Harapannya agar mereka makin
sadar, serta amanah dalam menjalankan kepemimpinannya.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Penulis


Buku Buku, Kata, Kita (2017)

Anda mungkin juga menyukai