"Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan sibuk untuk memperbaiki diri
daripada sibuk mencari-cari aib dan kesalahan orang lain." (Ibnul Qayyim)
Saudaraku,
Suasana apa yang terekam dalam jiwa kita saat membaca kalimat-kalimat
tersebut? Bilakah kita berada dalam daftar orang-orang yang berbahagia
dan menang? Atau, celaka? Semoga Allah Swt membimbing hati dan
langkah kita untuk tetap memiliki karakter orang-orang yang berbahagia
dan menang. Semoga Allah menjauhkan hati dan langkah kita dari karakter
orang-orang yang terpedaya oleh ilmu, amal dan kemampuannya. Amiin.
Saudaraku,
Salah satu pesan yang bisa kita petik dari petuah Ibnul qayyim
rahimahullah itu adalah kedalaman ilmunya tentang lintasan dan perasaan-
perasaan jiwa. Ibnul Qayyim rahimullah yang banyak berguru pada Imam
Ibnu Taimiyyah itu berhasil mengenali karakter jiwa kemanusiaannya,
sampai ia pun kemudian banyak mengeluarkan nasihat-nasihat yang
maknanya sangat dalam dan menyentuh tentang jiwa.
Saudaraku,
Mengenali diri memang penting. Rasulullah Saw. juga mengajarkan kita
untuk lebih banyak bercermin dan mengevaluasi diri sendiri ketimbang
bercermin dan mengevaluasi orang lain. Orang yang sibuk oleh aib dan
kekurangannya, kata Rasulullah lebih beruntung ketimbang orang yang
sibuk memperhatikan kekurangan orang lain.
Dan memang, manfaat menjalani nasihat Rasulullah ini adalah seperti
dikatan Ibnul Qayyim, "Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan sibuk
untuk memperbaiki diri daripada sibuk mencari-cari aib dan kesalahan
orang lain."
Saudaraku,
Semoga Allah mempererat genggaman tangan kita di jalan-Nya. Itulah
pentingnya mengenali diri. Sampai-sampai Umar bin Abdul Aziz yang
dijuluki khulafaur rasyidin kelima itu mengatakan, Aku mempunyai akal
yang aku takut Allah akan mengazabku karenanya. (Riyadun Nufus,
1/355). Umar bin Abdul Aziz banyak merenungi dirinya dan sangat
mengenal dirinya, sehingga muncullah perkataan luar biasa itu.
Bahkan, karena pengenalan diri yang mendalam itu, Fudhail bin Iyadh
radhiallahu anhu mengatakan, la yarifur riya ila mukhlish, riya tak
mungkin disadari, kecuali oleh orang yang ikhlas. Ya, orang yang
merasakan manisnya keikhlasan, pasti akan mengetahui pahitnya riya.
Sebaliknya, orang yang tidak pernah merasakan nikmatnya ikhlas, tak
mungkin bisa mengenali pahitnya riya. Begitulah. Manisnya manisnya ikhlas
dan pahitnya riya, hanya dirasakan oleh orang-orang yang terbiasa dan
mengenali getaran jiwa.
Saudaraku,
Apa yang dikatakan oleh Fudhail itu tadi pun bertolak karena kondisi dirinya
yang sangat mengenal jiwanya sendiri. Orang yang tidak mengenal dirinya,
bahkan mengingkari keburukan dirinya adalah orang yang tidak akan
mampu mengetahui apalagi mempengaruhi jiwa orang lain. Apalagi
meluruskan kebengkokannya, ia tidak akan bisa. Inilah materi yang
disebutkan oleh Al Kailani ketika ia mengatakan, Bila engkau mampu
meluruskan kekurangan yang ada pada dirimu, berarti engkau mampu
meluruskan kekurangan yang ada pada selain dirimu. Ia melanjutkan,
Kemampuanmu menghilangkan kemungkaran tergantung dengan
kekuatan imanmu memerangi kemungkaran dalam dirimu. Kelemahanmu
tinggal diam di dalam rumah dari merubah kemungkaran adalah karena
kelemahan imanmu dalam memerangi kemungkaran yang ada dalam
dirimu. Kekokohan dan kekuatan imanlah yang mengokohkan para ulama
saat mereka berhadapan dengan pasukan syaitan baik manusia dan jin.
(Al-Fathur Rabbani, 30)