Anda di halaman 1dari 3

Dongeng Dan Mimesis

Oleh Arif Yudistira*)

Belum lama ini, penyanyi cilik Adyla Rafa Naura Ayu, yang akrab
dipanggil Naura menggelar konser music bertajuk Konser Dongeng Naura
(5/11/2017) di Bandung. Orang Jawa punya akronim menarik mengenai
dongeng, dipaido keneng (boleh tidak dipercaya). Tapi karena sifatnya yang
tak memaksakan diri untuk dipercaya itulah, dongeng mengandung pitutur,
petuah, nasehat.
Di konser Naura, pemakaian kata “Dongeng” bukan tanpa alasan.
Tetapi sadar bahwa kata dongeng sengaja dihidupkan kembali untuk anak-
anak Indonesia. Dongeng sendiri memiliki arti penting dalam dunia anak-
anak kita. Anak-anak yang masih dalam dunia antara realitas dan khayal,
memerlukan dongeng sebagai perantara yang nyata dan yang khayal itu.
Di dalam buku Psikologi Perkembangan (1982) diterangkan bahwa
anak merupakan makhluk yang masih sedang berkembang, masih sedang
mengalami perubahan-perubahan, belum mempunyai ciri dan sifat yang
tetap. Karena itulah, anak-anak mengalami fase penting dalam hidupnya di
tahun-tahun awal.
Maria Montesori menyebut bahwa fase awal perkembangan manusia
adalah fase bahasa. Di dalam usia 1-5 tahun, perkembangan bahasa
manusia mengalami peningkatan yang tak pernah terjadi di fase yang lain.
Pada masa inilah, kita melihat anak-anak akan mengalami daya khayal yang
menghidupkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Tak hanya dalam
dongeng, kita menemukan daya khayal atau fantasi ini pada permainan pula.
Di usia 4-5 tahun, ada permainan fantasi yang biasa dilakukan mereka
diantaranya adalah anak bermain sendirian tapi seolah bercakap-cakap
dengan teman, anak menggunakan benda atau alat yang dibayangkannya
sebagai benda lain, misalnya kursi dibayangkan sebagai mobil atau kuda.
Berikutnya adalah bermain peran, misalnya bermain sekolah-sekolahan,
bermain polisi atau perang-perangan.
Dongeng sering bertautan dengan perkara biografis. Dari dongeng
itulah anak-anak bertuah keteladanan, bertemu sifat baik dan buruk, bisa
mengerti dunia dengan lebih terang. Saya jadi ingat Miyoki Inoue gadis
jepang dengan berat 500 gram, terlahir buta. Akibat ibunya suka
mendongeng, ia bisa melihat dengan jelas apa yang ada disekitarnya meski
ia buta. Perkara dongeng dan biografis ini bisa kita temukan pula di buku
berjudul Hatta Bercerita (2013). Kita bisa menyimak sedikit dari pengakuan
Hatta Rajasa berikut ini : “Salam cerita. Saya dibesarkan dengan dongeng.
Setiap hari, sehabis magrib, saya dan seluruh kakak-adik saya pasti sudah
duduk manis bersila di lantai sementara Ibu duduk di bale dan menceritakan
dongeng. Dongeng-dongeng yang datang dari negeri yang jauh, dan banyak
diantaranya dongeng Nusantara, begitu membius petualangan imajinasi
saya. Ada kisah keberanian melawan ketidakadilan, ada kisah pengorbanan
mulia, tak kurang pula kisah jenaka, dunia saya menjadi luas, tak terbatas
pada kampong halaman saja. Ketika beranjak dewasa, keteladanan dalam
dongeng banyak menginspirasi saya”.
Mendengar pengakuan Hatta Rajasa tadi, tentu kita bisa mengerti
bagaimana dongeng ikut serta membentuk perilaku anak-anak bahkan jauh
ketika mereka dewasa. Orang yang biasa diberikan dongeng mampu
membedakan antara yang khayali dan yang realitas. Ia pun jadi tersadar
bahwa hidup kita ini adalah dongeng yang indah dari Sang Maha Kuasa.
Dari cerita, kita bisa mengenali tokoh-tokoh idola. Bila dicerita Kancil
dan Pak Tani, kita jadi mengidolakan kancil karena kecerdikannya. Dari
cerita Roro Jonggrang dan Bandung Bandawasa kita jadi membenci sifat
bohong dan menipu. Itulah sekilas dari kesan saat kita menyimak dan
membaca dongeng.
Di era sekarang, fungsi dongeng kemudian menjadi berubah. Dongeng
kini tak lagi dilantunkan, tapi dibaca. Ada perubahan dari tradisi mendengar
kemudian berubah kepada tradisi membaca.
Tak heran, bila di pasaran buku kali ini, buku anak menempati urutan
teratas dalam jumlah pembelian dan produksi. Buku anak semakin diminati
oleh para orangtua dikarenakan dongeng tak lagi didendangkan atau
dilisankan. Sehingga buku cerita anak atau dongeng bisa menolong untuk
mengatasi krisis dongeng ini.
Padahal kita tahu, sebenarnya dongeng ikut serta membentuk apa
yang akan datang. Anak-anak yang hidup di era 50-an tentu bisa
memberikan pengakuan panjang mengenai betapa kuatnya pengaruh tradisi
lisan berupa dongeng.
Kini, orangtua memang semakin kurang cerewet dan lihai dalam
urusan mendongeng. Tapi setidaknya, kita bisa menggunakan medium buku
cerita anak sebagai salah satu cara untuk mengedukasi anak-anak kita.
Semakin orangtua giat dalam mendongeng, anak-anak secara tak
langsung telah melakukan kerja mimesis melakukan peniruan kebudayaan
terhadap tokoh-tokoh hingga pelajaran yang ada di dongeng.
Kerja dongeng seperti bangunan imajinatif mengasah kemampuan
anak dalam memberikan respon tentang apa yang ada disekitarnya, dan
membantu mereka menyesuaikan diri terhadap situasi itu.
Disinilah perang dongeng yang jauh ke depan terhadap perkembangan
sifat dan membentuk karakter anak. Meski tak nampak secara riil di masa
sekarang, dongeng ikut serta membawa anak pada cakrawala yang luas
serta membantu mereka menghadapi dunia yang kompleks dan penuh
tantangan ini.
Tentu saja akan berbeda hasilnya seorang anak yang dibesarkan
dengan cerita dengan seorang anak yang dibesarkan tanpa cerita (dongeng).
Anak yang dibesarkan dengan cerita, lebih kaya pandangannya, dan lebih
bisa meneladani sifat-sifat yang baik, dan menghindari sifat-sifat yang buruk
baginya.
Sebagai guru, kita bisa menggiatkan dongeng di sekolah, anak-anak
tentu saja akan senang dan semakin tumbuh dengan lebih baik bila guru-
gurunya di sekolah suka mendongeng. Sehingga kemampuan mendongeng
tak hanya didominasi oleh komunitas dongeng semata, tapi juga merupakan
bagian dari kewajiban kita selaku pendidik.

*) Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Pengasuh MIM PK Kartasura.

Anda mungkin juga menyukai