Anda di halaman 1dari 3

PERBUATAN DOSA DAN AIB HARUS DIRAHASIAKAN

Oleh: Muhamad Sidik, S.Sos.


(Penyuluh Agama Ahli Pertama Kua Kec. Kabawetan)

Allah menciptakan manusia lengkap dengan nafsunya. Oleh karena itu, manusia tak
luput dari berbuat dosa, baik sengaja maupun tidak. Mereka kerap berbuat sesuatu yang
berpotensi menjadi aib bagi dirinya.

Secara bahasa, aib berarti cacat. Sedangkan secara istilah, aib adalah suatu bagian yang
tidak berasal dari Allah Swt dan dianggap sebagai bentuk kekurangan. Aib bisa berupa cerita
buruk, pengalaman kelam, ataupun sifat jelek yang dimiliki oleh seseorang. Islam
menganjurkan umatnya untuk menutupi aib tersebut. Namun, Allah menegaskan bahwa
sebaik-baik manusia adalah yang senantiasa bertobat.

Saat seorang muslim tidak sengaja berbuat dosa, maka ia telah membuat aib untuk
dirinya sendiri. Aib adalah sesuatu yang sudah sepantasnya ditutupi, bukan diumbar dan
diceritakan kepada orang lain. Begitu pula halnya dengan dosa.

Diantara bentuk taqwa kita kepada Allah adalah dengan tidak memamerkan kejelakan
kita sendiri atau aib. Setiap dari kita pasti memiliki aib di masa lalu. Saat seseorang
bermaksiat, lalu perbuatannya tidak sampai diketahui oleh orang lain, maka Allah
sesungguhnya telah berbaik hati kepadanya dengan menutupi aib tersebut untuknya.
Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemurah, Kekal, dan
Maha Menutupi. Dia mencintai rasa malu dan sikap sitr (menyembunyikan aib) (HR. Nasai
no. 406).

Seringkali kita meyakini bahwa segala kemuliaan yang kita miliki ini berasal dari usaha
kita sendiri. Kita lupa bahwa ada Allah lah yang terus menutupi segala aib kita di hadapan
manusia. Mungkin kita tidak sadar akan hal itu, sehingga membuat kita menjadi lupa diri.
Kemuliaan yang kita miliki saat ini bisa jadi bukan karena kebaikan kita. Kebaikan yang kita
lakukan adalah sesuatu yang memang senyatanya harus diamalkan selama hidup kita. Allah
juga menjanjikan surga-Nya kelak bagi orang-orang yang selalu melakukan kebajikan selama
hidupnya.

Perlu disematkan dalam diri kita bahwa diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat,
dan cela. Tentu saja jika mau dibandingkan dengan para nabi yang juga pernah melakukan
kesalahan, maka posisi kita mungkin jauh dari kemuliaan mereka. Maka jangan pernah
terbesit di hati kita kata sombong dengan segala kemuliaan ini, baik harta, jabatan, tahta, dan
yang lainnya. Muhamad bin Wasi’ berkata: Seandainya dosa-dosa itu ada baunya maka tidak
seorangpun yang mau duduk bersamaku.

Oleh karena itu, jangan pernah ujub atau sombong dengan amalan kita. Jangan pernah
terpedaya dengan pujian yang diberikan. Jangan pernah riya dengan kebajikan yang dipebuat.
Karena semua itu tidak akan berguna, jika satu aib saja diungkap oleh Allah. Yakinlah,
semua pujian tersebut akan berubah menjadi celaan. Kita akan terpuruk, seterpuruk-
terpuruknya. Kita juga akan malu, semalu-malunya. Kita juga akan hina, sehina-hinanya.
Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita.

Jika Allah sudah menutupi aib itu, seseorang yang memiliki iman di hatinya harus
menjaga agar perbuatannya tak sampai diketahui orang lain. Maka, ia hendaknya tak
menceritakan perbuatan dosa yang ia lakukan, apalagi berbangga diri dengannya.

Mengumbar aib sendiri berpotensi menjauhkan ampunan Allah. Pintu ampunan tertutup
saat seseorang dengan sengaja mengumbar maksiat yang ia lakukan setelah Allah
meyembunyikannya. Rasulullah Saw. bersabda: Setiap umatku akan mendapatkan ampunan
dari Allah kecuali Al-Mujahir, yaitu semisal ada seorang laki-laki yang mengerjakan
perbuatan buruk pada malam hari, kemudian ia menjumpai waktu subuh dan Allah telah
menutupi aibnya, lalu laki-laki tersebut mengatakan, Wahai Fulan, aku telah mengerjakan
sebuah perbuatan buruk ini dan itu! Maka itulah orang yang malamnya Allah telah menutup
aibnya, lalu ia membuka aibnya sendiri (HR. Bukhari no. 6069).

Tidak hanya menjauhkan dari ampunan Allah, menceritakan perbuatan dosa sendiri
kepada orang lain berpotensi mengundang mereka melakukan perbuatan yang sama.

Jika orang lain sampai melakukan hal yang sama karena mengetahui perbuatannya, maka
ia telah membuat rantai dosa untuk dirinya sendiri yang akan memberatkannya di akhirat.
Mengenai hal ini, Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan
yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka
mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui (QS. An-Nur [24]: 19).

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang senang menyebarkan
perbuatan keji dan memalukan seperti perbuatan zina di kalangan orang-orang mukmin baik
laki-laki maupun perempuan, mereka akan mendapat hukuman di dunia ini dan di akhirat,
bila mereka tidak tobat dan tidak menjalankan hukuman di dunia, ia akan di azab di neraka.
Penyebaran berita yang tidak patut disebarkan dilarang dalam agama Islam.

Rasulullah Saw juga bersabda: Siapa yang mempelopori satu kebiasaan buruk dalam
Islam, maka dia mendapatkan dosa keburukan itu, dan dosa setiap orang yang melakukan
keburukan itu karena ulahnya, tanpa dikurangi sedikit pun dosa mereka (HR. Muslim no.
1017).

Perbuatan dosa yang Allah tutupi adalah bentuk rahmat-Nya yang ingin menjaga
kehormatan hamba-Nya di hadapan makhluk. Oleh karena itu, seorang hamba tidak
sepantasnya menceritakan perbuatan-perbuatan dosa kepada orang lain, karena itu akan
menjauhkannya dari rahmat Allah, dan mengundang orang lain untuk melakukan perbuatan
yang sama.

Jika kita tergelincir dalam perbuatan dosa setelah berusaha berhati-hati, maka itu adalah
hal yang wajar. Tugas kita adalah memohon ampun dan bertobat, serta menjaga dosa itu agar
menjadi rahasia kita dengan-Nya saja. Sebagaimana pesan dari Imam Ibnu Abdil Barr:
Sesungguhnya menutupi aib lebih diutamakan bagi muslim daripada mengadukannya kepada
penguasa. Dan itu haruslah dibarengi dengan keyakinan bertobat dan penyesalan atas
dosanya.

Anda mungkin juga menyukai