Anda di halaman 1dari 3

Akar Masalah Pendidikan Islam

Oleh Arif Yudistira*)

Pendidikan adalah jalan. Ia adalah bekal masa depan. Dengan pendidikan, kita tak
hanya sekadar melakukan transformasi pengetahuan, tapi juga memberikan bimbingan
agar anak-anak kita memiliki karakter dan kepribadian yang baik. Pendidikan di Indonesia
bercorak nasionalistik. Meski mayoritas penduduk beragama Islam, akan tetapi corak
pendidikan dan watak nasionalisme sudah dicanangkan oleh Taman Siswa bersama Ki
Hajar Dewantara.

Meskipun secara konsep pendidikan berwatak nasionalisme sudah ditancapkan,


bukan berarti pemerintah Indonesia melarang konsep pendidikan berbasis islam. Karena
itulah, sebelum kemerdekaan bahkan telah tumbuh subur konsep sekolah islam modern
yang didirikan oleh Muhammadiyah maupun dari kalangan NU. Muhammadiyah
mendirikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan konsep perkaderan dan
kebangsaan. Sementara NU lebih akrab dengan pendidikan berbasis pesantren.

Muhammadiyah dengan sekolah yang didirikannya tak lepas dari nilai-nilai


nasionalisme, akan tetapi pelajaran serta penanaman nilai-nilai Kemuhammadiyahan
ditampilkan dalam pelajaran dan praktek keseharian. Sementara NU membangun konsep
pendidikan berbasis Kiai. Ada kesatuan holistik antara kiai, konsep pendidikan yang
diterapkan serta manajemen pendidikan di dalamnya.

Selama setengah abad lebih Indonesia merdeka, konsep pendidikan Islam di


Indonesia masih abstrak. Meski rujukan dan landasan utamanya sama, akan tetapi dalam
praktek pendidikan islam masih mengalami kekaburan konsep. Kekaburan konsep itu
semakin bervariasi seiring dengan berkembangnya model pendidikan islam berbasis
organisasi masyarakat yang menaunginya. Muhammadiyah misalnya punya model
pendidikan islam tersendiri. NU memiliki konsep pendidikan islam sendiri, MTA pun
demikian halnya. Semakin banyak ormas islam yang memiliki lembaga pendidikan, maka
semakin beragam pula konsep pendidikan islam yang ada.

Di buku berjudul Beberapa Persoalan Dalam Pendidikan Islam (1977) karya drs.
Burlian Somad kita bakal menemukan bagaimana akar persoalan dalam pendidikan islam.
Selain konsep yang abstrak, kita masih belum punya rumusan mengenai istilah pendidikan
islam. Pendidikan Islam menurut penulis adalah “ pendidikan yang bertujuan membentuk
individu menjadi bercorak-diri berderajat tertinggi menurut ukurang Allah dan isi
pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah Ajaran Allah.”
Pada bagian lain penulis memberikan penjelasan kembali bahwa pendidikan islam
itu bukan suatu pendidikan yang berdasarkan Al-qur’an, melainkan harus bil-Qur’an. Isi Al-
quranlah yang menjadi isi pendidikan islam. Sebab “berdasarkan atau atas dasar “Al-qur’an
menunjukkan adanya hasil-hasil pemikiran manusia yang perumusannya bertolak dari ayat
Al-quran tertentu saja.”

Dari pengertian penulis, pendidikan islam sejatinya adalah pendidikan yang isinya
dari Al-quran. Akan tetapi pendidikan islam di negeri kita masih terpaku pada menelan
mentah-mentah isi Al-qur’an. Padahal kalau kita tilik lebih jauh, Al-qur’an adalah kitab yang
relevan sepanjang zaman. Karena itulah sudah menjadi tugas manusia, khususnya umat
islam untuk lebih menggali dan menjadikan Al-qur’an sebagai pedoman hidup dan
landasan berfikir. Sehingga umat islam semakin tertantang untuk menjadikan Al-qur’an
sebagai sebuah kitab yang melindungi dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagaimana Kuntowijoyo di bukunya berjudul Islam Sebagai Ilmu (2006)


menekankan bahwa islam harus diposisikan sebagai ilmu pengetahuan, sehingga tidak
hanya orang Islam yang bisa menerima nilai-nilai universalitas islam, tapi juga umat
manusia pada umumnya. Dengan memposisikan islam sebagai ilmu, maka Islam menjadi
terbuka untuk dikritik, digali, dan diteliti sehingga kebenaran Islam menjadi kebenaran
universal.

Burlian Somad menilai selain kekaburan konsep, ada juga tantangan pendidikan
islam lainnya. Salah satu aspeknya adalah ketidaksesuaian kurikulum. Ada lima penyebab
mengapa pendidikan islam sering tidak sesuai kurikulumnya. Pertama, pengidentikkan
antara Islam dengan teori-teori keagamaan. Kedua, pengidentikkan antara pendidikan dan
pengajaran. Ketiga, kekaburan tujuan pendidikan islam bagi para pendiri, pengasuh dan
pelaksana pendidikan islam. Keempat, kekaburan pengeritan dan kurikulum pendidikan.
Lima, kekeliruan langkah dalam pembuatan kurikulum.

Di era sekarang, pendidikan islam cenderung mengalami penyempitan makna.


Pendidikan islam kemudian dipandang sebagai sekolah islam semata. Di sekolah islam kini
juga menghadapi problem yang signifikan. Problem itu ditandai dengan makin kaburnya
konsep pendidikan islam dengan praktek amaliah islam. Sekolah islam adalah sekolah yang
punya kurikulum tahfidz. Kekaburan konsep ini makin variatif saat tiap lembaga
pendidikan islam saling bersaing satu sama lain untuk berebut kepercayaan di masyarakat.
Akhirnya pendidikan islam menjadi sebatas branding atau nama semata.

Ditambah lagi semakin minimnya pakar pendidikan islam. Sehingga orang semakin
kehilangan rujukan, kehilangan konsep dalam praktik pendidikan islam. Sementara, dalam
persoalan finansial dan sebagainya, lembaga pendidikan islam tak sepenuhnya mandiri.
Ada yang berasal dari pemerintah dan juga lembaga pendonor yang mau tak mau ikut
menentukan bagaimana konsep pendidikan islam di lembaga tersebut dijalankan.

Inilah akar masalah pendidikan islam yang menjadi sorotan Burlian Somad puluhan
tahun lalu. Sampai saat ini, pendidikan islam pun masih belum mampu menyelesaikan akar
masalah di dalamnya. Meskipun secara manajemen kian maju, dan tertata, pada aspek
prospek dan output lulusan, pendidikan islam belum berhasil sepenuhnya untuk
memproduksi ilmuwan-ilmuwan islam yang mumpuni dan mampu memberi kontribusi
secara keagamaan dan kemanusiaan.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo

Anda mungkin juga menyukai