Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

Seorang Wanita Usia 45 Tahun Datang dengan Demam Semakin Berat Sejak
2 Hari SMRS

Oleh:
Teguh Rahadian, S.Ked

Rannia Hendreka P., S.Ked

Angela Karenina S.,S.Ked

Pembimbing: dr. A. Restu Iman, SpPD

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI

2016

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Seorang

Wanita Usia 45 Tahun Datang dengan Demam Semakin Berat Sejak 2 Hari

SMRS. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada dr. A. Restu Iman, SpPD selaku pembimbing yang telah

membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini

masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran

dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, Mei 2016

Penulis

2
3
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Seorang Wanita Usia 45 Tahun Datang dengan Demam Semakin Memberat


Sejak 2 Hari SMRS

Oleh:

Teguh Rahadian, S.Ked

Rannia Hendreka P., S.Ked

Angela Karenina S.,S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Univesitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari periode 25
Maret 14 Mei 2016.

Palembang, Mei 2016

dr. A. Restu Iman,


SpPD

4
DAFTAR ISI

Cover i

Kata Pengantar ii

Halaman Pengesahan iii

Daftar Isi iv

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II LAPORAN KASUS 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 13

BAB IV ANALISIS KASUS 25

Daftar Pustaka 27

5
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis adalah kondisi yang didefinisikan secara histopatologi dan


memiliki berbagai manifestasi klinis dan komplikasi, yang beberapa di
antaranya dapat mengancam kehidupan. Sirosis hepatis merupakan suatu
keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang
berlangsung progresif, ditandai dengan rusaknya struktur hati dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis
hepatoseluler, jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan
ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati
(Nurdjanah, 2009).
Di negara barat etiologi sirosis hepatis paling sering disebabkan oleh
alkoholik, sedangkan di Indonesia terutama akibat sinfeksi virus hepatitis B
maupun C. Penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B
menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%,
sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui. Alkohol sebagai penyebab
sirosis hepatis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum
ada datanya (Nurdjanah, 2009). Prevalensi rata-rata sirosis hepatis di
Indonesia adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit
Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.
Perbandingan prevalensi sirosis pada pria:wanita adalah 2,1:1 dan usia rata-
rata 44 tahun (PPHI, 2013).
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan
pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena
kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, berat badan menurun, ada laki-laki dapat timbul impotensi, testis
mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah
lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta (Nurdjanah, 2009).

6
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang cukup serius untuk ditangani.
Angka kejadian sirosis hepatis terus meningkat per tahunnya. Menurut data
dari Center for Disease Control (CDC), sirosis hepatis menempati peringkat
ke-12 sebagai penyebab kematian tertinggi di Amerika. Di Amerika, angka
kejadian sirosis hepatis tercatat sebesar 360 kasus per 100.000 penduduk.
Sementara itu, berdasarkan penelitian Mokdad, et al (2014) yang dilakukan di
183 negara, angka kematian pasien sirosis dekompensata meningkat dari
676,000 kasus pada 1980 menjadi sekitar 1 juta kasus pada tahun 2010.
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup
pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Oleh karena itu penulis membuat laporan kasus ini agar dapat mengenal
penyakit lebih rinci sebelum mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Sirosis Hepatis


Sirosis hepatis merupakan keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hati yang berlangsung secara progresif, ditandai
dengan dibentuknya nodulus regeneratif dan rusaknya struktur hati.
Keadaan ini diakibatkan oleh nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang
retikulin menjadi kolaps yang disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan
vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. sirosis hepatis secara
klinis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata yang berarti belum adanya
gejala klinis yang nyata dan sirosis dekompensata yang ditandai gejala-
gejala dan tanda klinis yang jelas (Nurdjanah, 2009).

3.2 Epidemiologi Sirosis Hepatis


Secara global, prevalensi sirosis hepatis masih belum diketahui. Di
Amerika Serikat, prevalensi sirosis ditemukan sebanyak 0,15% atau
sekitar 400.000 kasus dengan rincian lebih dari 25.000 kasus kematian
dan 373.000 pasien dirawat di rumah sakit pada tahun 1998. Hal ini
merupakan perkiraan yang terlalu rendah karena banyak kasus sirosis
hepatis akibat NASH maupun hepatitis C yang tidak terdiagnosis. Angka
yang lebih tinggi ditemukan pada negara-negara Asia dan Afrika dengan
banyak kasus hepatitis B atau C kronik. Kasus sirosis kompensata
biasanya tidak terdeteksi dalam waktu yang lama, sehingga diperkirakan
sampai dengan 1% populasi memiliki sirosis jaringan (Schuppan and
Afdhal, 2008).
Di negara barat etiologi sirosis hepatis paling sering disebabkan
oleh alkoholik, sedangkan di Indonesia terutama akibat sinfeksi virus
hepatitis B maupun C. Penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus
hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-
40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui. Alkohol sebagai
penyebab sirosis hepatis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali

8
karena belum ada datanya (Nurdjanah, 2009).

3.3 Etiologi Sirosis Hepatis


Menurut Kamath dkk. (2009) sirosis hepatis disebabkan oleh:
1.Virus
Hepatitis Virus B
Hepatitis Virus C
Hepatitis Virus D
2.Autoimun
Hepatitis autoimun
Primary Biliary Cirrhosis (PBC)
Primary Sclerosing Cholangitis (PSC)
3.Toksin
Alkohol
Arsenik
4.Metabolik
Defisisensi 1-antitripsin
Galaktosemia
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Penyakit perlemakan hati non alkoholik and steatohepatitis
Penyakit Wilson
5.Kandung empedu
Atresia
Batu
Tumor
6.Vaskular
Sindrom Budd-Chiari
Fibrosis jantung
7.Genetik
Cystic fibrosis (CF)

9
Lysosomal acid lipase deficiency
8.Iatrogenik
Trauma biliary
Obat-obatan: vitamin A dosis tinggi, metotreksat

3.4 Patofisiologi Sirosis Hepatis


Terdapat tiga mekanisme utama yang mendasari terjadinya sirosis.
Pertama adalah proses kematian sel-sel hati oleh berbagai sebab yang telah
disebutkan. Lalu dengan adanya kematian sel-sel hati, terjadilah regenerasi
sel-sel hati sebagai respon fisiologis dari pejamu. Setelah proses regenerasi,
hati merespon dengan reaksi fibrosis, namun reaksi fibrosis yang terjadi
terlampau berlebihan dan progresif sehingga menimbulkan perubahan
struktur yang berakibat pada gejala vaskular dan perubahan fungsi hati
(Kumar, 2007).
Hati secara normal mengandung kolagen interstitium tipe I, II, dan
IV di saluran porta dan sekitar vena sentralis dan beberapa di parenkim.
Pada sirosis, kolagen tipe I dan II serta komponen lain matriks ekstrasel
mengendap di semua bagian lobulus dan sel-sel endotel sinusoid. Akibatnya
rongga-rongga sinusoid dimana terdapat mikrovaskular terjadi oklusi. Hal
ini berdampak pada aliran darah yang melewati sinusoid menjadi memiliki
tekanan tinggi karena resistensi meningkat akibat oklusi material fibrotik
yang terjadi di sinusoid. Selain itu pertukran zat-zat terlarut juga
perpindahan protein (albumin, lipoprotein dan faktor pembekuan) antara
hepatosit dan plasma menjadi sangat terganggu (Kumar, 2007).
Kelebihan kolagen sehingga terjadi tumpukkan kolagen ini
bersumber dari aktivasi sel stellata dimana sel Kupffer juga berperan dalam
aktivasi sel stellata. Sel stellata menjadi membesar dan yang pada awalnya
sel stellata berperan dalam penyimpanan vitamin A dan lemak menjadi
berubah fungsi. Sel ini mengaktifkan reseptor untuk proliferasi sel dan
sitokin-sitokin fibrogenik seperti platelet-derived growth factor (PDGF) dan
memungkinkan pertumbuhan 1 (TGF-1) yang merupakan mediator
fibrogenik poten (Kumar, 2007).

10
Gambar 1. Patogenesis fibrosis hati
(Kumar, 2007)

Peningkatan resistensi vaskuler pada hipertensi porta dapat terjadi


karena efek mekanis seperti di atas. Selain itu, peningkatan resistensi
vaskuler juga dapat terjadi karena mediator-mediator yang diaktifkan oleh
sel stellata dan akan mempengaruhi aliran darah pada normalnya. Pada sel
ini akan ada ekspresi dari jalur de novo berupa protein alfa actin otot polos.
Di bawah pengaruh mediator seperti endotelin, nitric oxide, atau
prostaglandin terjadilah peningkatan kontraksi yang berperan dalam
peningkatan resistensi aliran darah.
Perubahan resistensi tekanan darah dan struktur fungsional hati pada
sirosis akan menimbulkan banyak manifestasi klinis nonspesifik.

3.5 Gambaran Klinis Sirosis Hepatis


Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang
ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau
karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun, ada laki-laki dapat timbul
impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih
menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
porta (Nurdjanah, 2009).

11
Gambar 2. Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis
(McPhee, 1997)

Lindseth (2012) mengatakan bahwa manifestasi utama dan lanjut


dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis: gagal sel hati dan
hipertensi portal.
1. Manifestasi gagal hepatoselular
Ikterus terjadi sedikitnya pada 60% penderita selama
perjalanan penyakitnya dan biasanya hanya minimal.
Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi. Penderita dapat
menjadi ikterus selama fase dkompensasi disertai gangguan reversibel
fungsi hati. Ikterus intermitten merupakan gambaran khas sirosis
biliaris dan terjadi bila timbul peradangan aktif hati dan saluran
empedu (kolangitis).
Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon korteks
adrenal, testis, dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati
normal. Angioma laba-laba, artrofi testis, ginekomastia, alopesia pada

12
dada dan aksila, serta eritema palmaris (telapak tangan merah)
semuanya diduga disebabkan oleh kelebihan hormon estrogen dalam
sirkulasi. Peningkatan pigmentasi kulit diduga akibat aktivitas hormon
perangsang melanosit (melanocyte-stimulating hormone, MSH) yang
bekerja secara berlebihan.
Gangguan hematologik yang sering terjadi pasda sirosis adalah
kecendrungan perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
Penderita sering mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat,
dan mudah memar. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya
pembenyukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leukopenia,
dan trombositopenia, diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa
tidak hanya membesar tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel
darah dan sirkulasi. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah
defesiensi folat, vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat
kehilangan darah dan peningkatan hemolisis berat.
Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan
dapat diperjelas sebagai akibat hipoalbuminemia dan retensi garam
dan air. Kegagalan sel hati untuk menginaktifkan aldosteron dan
hormon anti-diuretik merupakan penyebab retensi natrium dan air.

2. Manifestasi hipertensi portal


Hipertensi portal merupakan tekanan vena porta yang
meningkat dan menetap di atas nilai normal yaitu 6 sampai 12 H2O.
Mekanisme primer yang menyebabkan hipertensi portal yaitu
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu,
biasanya terjadi peningkatan aliran arteria splangnikus. Kombinasi
kedua faktor yaitu menurunnya aliran keluar melalui vena hepatika
dan meningkatnya aliran masuk bersama-sama akan menghasilkan
beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan berlebihan sistem
portal merangsang timbulnya aliran kolateral untuk menghindari
obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada sistem portal
mnyebabkan splenomegali dan sebagian bertanggung jawab atas
tertimbunnya asites.

13
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan
hipertensi portal terdapat pada esofagus bagian bawah. Pirau darah
melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena
tersebut (varises esofagus). Sirkulasi kolateral jga melibatkan vena
superfisisal dinding abdomen, dan timbulnya sirkulasi ini
mengakibatkan dilatasi vena-vena umbilkus sektar umbilikus (kaput
medusa). Sistem vena rektal membantu dekompensasi tekanan portal
sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan
berkembangnya hemoroid interna.

3.6 Komplikasi Sirosis Hepatis


Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya.
Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain:
1. Peritonitis bakterial spontan, merupakan penyulit yang umum dan berat
pada asites dan ditandai oleh infeksi spontan cairan asites tanpa sumber
intra abdomen. PBS dapat terjadi pada hampir 30% dan dapat memiliki
angka kematian di rumah sakit sebesar 25%. Translokasi bakteri
diperkirakan merupakan penyebab timbulnya PBS, dengan flora usus
menembus usus untuk masuk ke kelenjar limfe mesenterium sehingga
terjadi bakteremia dan tersemainya bakteridi cairan asites. Organisme
tersering adalah Escherichia coli dan bakteri usus Gram-positif lainnya.
Jika lebih dari dua organisme ditemukan, maka perlu dipikirkan
kemungkinan peritonitis bakteri sekunder akibat perforasi viskus.
Diagnosis PBS ditegakkan jika sampel cairan memperlihatkan jumlah
mutlak neutrofil >250/mm3. Biakan perlu dilakukan ketika cairan asites
disedot. Pasien dengan asites mungkin datang dengan demam,
perubahan status mental, peningkatan hitung sel darah putih, dan nyeri
atau rasa tidak enak di abdomen, atau mungkin tanpa satupun dari
gejala di atas. Karena itu, tingkat kecurigaan klinis yang tinggi perlu
dipertahankan dan pungsi peritoneum penting untuk menegakkan
diagnosis (Longo, 2010).

14
2. Sindrom hepatorenal, SHR adalah satu bentuk gagal ginjal fungsional
tanpa patologi ginjal yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan
sirosis tahap lanjut atau gagal hati akut. Pada pasien SHR terjadi
gangguan mencolok pada sirkulasi arteri ginjal. Ini mencakup
peningkatan resistensi vaskular sistemik. Penyebab vasokonstriksi
ginjal kemungkinan besar bersifat multifaktor dan belum sepenuhnya
dipahami. Diagnosis ditegakkan jika terdapat asites dalam jumlah besar
pada pasien yang mengalami peningkatan terhadap kreatinin. SHR tipe
1 ditandai oleh kemerosotan progresif fungsi ginjal dan penurunan
signifikan klirens kreatinin dalam 1-2 minggu setelah berobat.
Sedangkan, SHR tipe 2 ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus
disertai peningkatan kadar kreatinin serum tetapi relatif stabil dan
berkaitan dengan prognosis yang lebih baik daripada prognosis SHR
tipe 1 (Longo, 2010).
3. Varises esofagus merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan
dengan angka mortalitas yang sangat tinggi. Sepertiga pasien dengan
sirosis telah dipastikan secara histologis mengalami varises. Sekitar 5-
15% pasien sirosis mengalami varises per tahun, dan diperkirakan
bahwa sebagian besar pasien dengan sirosis akan mengalami varises
selama hidup mereka. Selain itu, diantisipasi bahwa sekitar sepertiga
pasien dengan varises akan mengalami perdarahan. Oleh karena itu,
penderita biasanya datang dengan melena atau hematemesis. Beberapa
faktor yang dapat memprediksikan risiko perdarahan termasuk
keparahan sirosis (kelas Child), HVPG, ukuran varises, letak varises,
dan stigmata endoskopik tertentu termasuk red wall sign, bercak
hematokistik, eritema difus, warna kebiruan, bercak merah terang, atau
white-nipple spot. Pasien dengan asites yang tegang juga berisiko
mengalami perdarahan dari varises (Longo, 2010).
4. Ensefalopati hepatikum atau koma hepatikum merupakan kumpulan
gejala neuropsikiatri pada penyakit hati akut dan kronik berat. Terdapat
beragam manifestasi berkaitan dengan sindrom neuropsikiatri ini seperti
terdapat kekacauan mental, perubahan perilaku, gangguan intelektual,

15
penuruan kesadaran, tremor otot, dan asteriksis atau flapping tremor
yang kesemuanya tidak berkaitan dengan kelainan otak. Ensefalopati
hepatik dapat diartikan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak akibat
kelebihan material-material dari usus yang tidak disintesis oleh hati,
seperti amonia. Kondisi ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati
yang memungkinkan sistem darah portal mencapai sirkulasi sistemik
dalam jumlah besar tanpa melewati hati terlebih dahulu. Akumulasi
metabolit yang tidak melewati hati ini beberapa dapat bersifat toksik,
beredar dalam darah, dan bisa melewati sawar otak. Amonia merupakan
salah satu metabolit yang diyakini berperan dalam patogenesis sindrom
neuropskiatri yang terjadi pada ensefalopati hepatikum. Diagnosis
ensefalopati hepatikum dapat ditegakkan dengan gambaran klinis dan
dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah EEG (elektroensefalografi)
untuk menyingkirkan diagnosis kelainan otak lainnya. Pemeriksaan
lainnya yang dapat dilakukan adalah tes psikometri untuk menilai
tingkat kemampuan intelektual pasien. Pemeriksaan amonia dapat
dilakukan namun bukan pemeriksaan rutin yang dikerjakan.

3.7 Pengobatan Sirosis Hepatis


Asites, tirah baring dan diawali diet rendah garam sebanyak 5,2 gram atau
90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasikan dengan obat-obatan
diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200
mg sekali sehari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat
badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya
edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat
dikombinasikan dengan furosemd dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian
furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal dosisnya
160 mg/hari
Varises esofagus:
- Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat
beta (propanolol).

16
- Injeksi vitamin K dan asam traneksamat
- Antasida oral, sukralfat dan PPI
- Sterilisasi usus: kanamisin dan laktulosa
Ensefalopati hepatik, laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan
amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakeri usus penghasil
amonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari.
Peritonitis bakterial spotan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim
intravena, amoksisilin, atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati,
mengatur keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati, terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata
(Nurdjanah, 2009).

3.8 Prognosis Sirosis Hepatis


Hasil sebuah penelitian menyebutkan bahwa kemungkinan harapan
hidup keseluruhan dari pasien sirosis adalah 66% dalam 1 tahun, 38% dalam
5 tahun, dan 22% dalam 10 tahun. Kebanyakan kematian pada pasien sirosis
kompensata muncul dikarenakan transisi menjadi stadium dekompensata.
Pada penelitian ini rata-rata harapan hidup pasien tanpa komplikasi adalah
48 bulan, dengan rata-rata setiap tahunnya harapan hidup sirosis
kompensata sebesar 83%, 80% pada pasien dengan pendarahan varises, 71%
pada pasien dengan asites, 51% pada pasien dengan asites dan pendarahan
varises, dan 36% pada pasien enselofati hepatikum (Schuppan and Afdhal,
2008).
Klasifikasi Child-Pugh merupakan asesmen yang digunakan untuk
menilai prognosis pasie sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya
meliputi konnsetrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati,
juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, dan C. Klasifikasi
Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan
hidup selama satu tahun untuk pasien Child A, B, dan C berturut-turut
100%, 80%, dan 45%.

17
Tabel 1. Klasifikasi Child-Pugh Pasien Sirosis Hati

Derajat kerusakan Minimal (1) Sedang (2) Berat (3)


Bil. Serum (mu.mol/dl) <35 35-50 >50
Alb. Serum (gr/dl) >35 30-35 <30
Asites Nihil Mudah dikontrol Sukar
PSE/Ensefalopati Nihil Minimal Berat/koma
Nutrisi Sempurna Baik Kurang/kurus
(Sudoyo, 2009)

Penilaian prognosis yang terbaru menggunakan klasifikasi Child-


Pugh (CP) modifikasi dan Model for End Stage Liver Disease (MELD)
untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.

Tabel 2. Modifikasi Klasifikasi CTP (Child-Turcotte-Pugh)

(WGO, 2014)

18
BAB IV
ANALISIS KASUS

Sirosis hepatis merupakan keadaan patologis yang menggambarkan


stadium akhir fibrosis hati yang berlangsung secara progresif, ditandai dengan
dibentuknya nodulus regeneratif dan rusaknya struktur hati. Keadaan ini
diakibatkan oleh nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang retikulin menjadi
kolaps yang disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan
regenerasi nodularis parenkim hati. sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi
sirosis hepatis kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan
sirosis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas
(Nurdjanah, 2009).
Gejala klinis pada pasien sirosis hepatis disebabkan oleh fenomena
hipertensi portal dan kerusakan sel hepar, pada pasien ini ditemukan:

Manifestasi klinis Yang ditemukan pada pasien

Varises esofagus (hematemesis, melena) Hematemesis (-), Melena (+)

Splenomegali Sulit dinilai

Pelebaran vena abdomen (caput medusa) (+)

Asites (+)

Edema tungkai (+)

Fetor hepatikus (-)

Spider nevi (-)

Ginekomastia (-)

Ikterik (+)

Atrofi testis (-)

Penurunan libido (-)

Inverted albumin globulin (+)

Palmar eritem (-)

19
Berdasarkan gejala klinis yang ditemukan pada pasien, maka pengobatan
yang akan diberikan kepada pasien adalah tatalaksana non farmakologi dan
farmakologi. Untuk tatalaksana non farmakologi yang diberikan adalah tirah
baring dan diet hati. Tatalaksana farmakologi dibagi berdasarkan gejala. Untuk
asites diberikan spironolakton 1x25mg per oral. Untuk menurunkan tekanan vena
porta diberikan propanolol sebanyak 2x10mg per oral. Untuk sterilisasi usus
diberikan Injeksi ceftriaxone 2x1 gram dan Injeksi prosugan 2x1 lid. Untuk
menghentikan pendarahan varices diberikan sukralfat syr 3x1 sdm. Untuk vitamin
hati diberikan curcuma 3x1 tablet.
Untuk menilai prognosis, berdasarkan klasifikasi Child-pugh, pasien ini
memiliki nilai kelas B dengan total nilai 9: encepalopathy (1); asites (2); bilirubin
(3); albumin (3); PT (1).

20
DAFTAR PUSTAKA

CDC (n.d.). Deaths: Final Data for 2013. Retrieved From


http://www.cdc.gov/nchs/data_access/Vitalstatsonline.htm.

Kamath, P.S. dan V.H Shah. 2010. Overview of Cirrhosis. Dalam: M.


Feldman, L.S. Fiedman dan L.J. Brandt. Sleisenger and Fordtrans
Gastrointestinal and Liver Disease 10th Ed. Elsevier, Philadelphia.

Kumar, V., Abbas, Abul K., Fausto, N., Mitchell, R. 2007. Robbins Basic
Pathology Ed. 8. New York: Elsevier Inc.

Lindseth, G.N. 2012. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas.


Dalam: Price, S.A. dan L.M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Vol (1). EGC, Jakarta, Indonesia.

McPhee, S.J. 1997. Pathophysiology of Disease an Introduction to Clinical


Medicine Ed. 2. Connecticut: Appleton and Lange.

Mokdad, A.A., Lopez, A.D., Shahraz, S., Lozano, R., Mokdad, A.H.,
Stanaway, S., Murray, C.JL., Naghavi, M. 2014. Liver Cirrhosis
Mortality in 187
Countries Between 1980 and 2010: a systematic analysis. BMC
Medicine, 124

Nurdjanah, S. 2009. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, L.


Alwi, K.M. Simadibrata dan S. Setiati. Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid I Edisi V. Interna Publishing, Jakarta, Indonesia.

Schuppan, D. dan N.H. Afdhal. 2008. Liver Cirrhosis. Lancet. 371(9615):


838851.

World Gastroenterology Organisation. 2014. WGO Practice Guideline:


Esophageal Varices.
(http://www.worldgastroenterology.org/UserFiles/file/guidelines/esoph
a geal-varices-english-2014.pdf, diakses 15 Agustus 2015).

21

Anda mungkin juga menyukai