Anda di halaman 1dari 27

Referat

NEUROGENIC BLADDER

Oleh:
Dina Sabilah S.Ked 04054821618031
Dhanty Mukhlisa S.ked 04084821719179

Pembimbing:
dr. Afriani, Sp.S

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN NEUROLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Judul

1
NEUROGENIC BLADDER
Oleh :

Dina Sabilah S.Ked 04054821618031


Dhanty Mukhlisa S.ked 04084821719179

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 10
April 15 Mei 2017.

Palembang, April 2017

dr. Afriani, Sp.S

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Refrat dengan
judul Neurogenic Bladder. Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Afriani, Sp.S selaku
pembimbing yang telah membantu penyelesaian penyusunan laporan kasus
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, semua
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Demikianlah penulisan Referat ini, semoga bermanfaat untuk penulis dan
orang lain.

Palembang, April 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
LEMBAR PENGESAHAN . 2
KATA PENGANTAR.. 3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6
BAB III NEUROGENIC BLADDER 13
BAB IV PENUTUP.. 25
DAFTAR PUSTAKA 26

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap organ dalam tubuh manusia mempunyai perannya masing-masing.
Kandung kemih berfungsi untuk mengisi dan mengeluarkan urin secara
terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf
pusat dan perifer. Istilah neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis
spesifik ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu
gangguan fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Neurogenic bladder
didefinisikan sebagai disfungsi kandung kemih karena kerusakan atau penyakit
pada sistem saraf pusat ataupun sistem saraf perifer.1
Penelitian prevalensi Neurogenic Bladder di Asia yaitu survai oleh
APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board) pada tahun 1998 yang
mencakup 7875 laki-laki dan perempuan (sekitar 70% perempuan) dari 11 negara
(termasuk 499 dari Indonesia); didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic Bladder
secara umum pada orang Asia adalah sekitar 50,6%. Neurogenik bladder akan
meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di
Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%-90% pasien
multipleltipel sclerosis, 37%-72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada
pasien dengan stroke. Diperkirakan bahwa 70%-84% pasien dengan trauma
medulla spinalis paling tidak mempunyai gangguan kandung kemih.
Gejala Neurogenic Bladder bisa urgensi, frekuensi, retensi dan
inkontinens, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius
mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau
overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih. Penyebab
tersering adalah gangguan medulla spinalis, trauma merupakan penyebab akut
serta memberikan manifestasi klasik. Banyak penyebab dapat mendasari
timbulnya Neurogenic Bladder sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti
sebelum diagnosis ditegakkan.2,3

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Kandung kemih merupakan jalinan otot polos yang dibedakan atas
kandung kemih dan leher kandung kemih. Bagian terbawah leher kandung kemih
disebut sebagai uretra posterior karena berhubungan dengan uretra. Kandung
kemih bagian fundus terdiri atasi tiga lapisan otot polos yang saling bersilangan
dan disebut otot detrusor. Pada dinding kandung kemih bagian posterior terdapat
area berbentuk segitiga yang lazim disebut trigonum. Sudut bagian bawah segitiga
merupakan bagian leher kandung kemih yaitu muara uretra posterior sedangkan
kedua sudut lainnya merupakan muara kedua ureter. Kedua ureter menembus otot
detrusor dalam posisi oblik dan memanjang 12 cm di bawah mukosa kandung
kemih sebelum bermuara ke dalam kandung kemih. Struktur tersebut dapat
mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter.
Gerakan peristaltik ureter memungkinkan urin mengalir menuju kandung
kemih karena peningkatan tekanan intra ureter. Otot detrusor selain meluas ke
seluruh kandung kemih juga meluas ke arah bawah dan mengelilingi leher
kandung kemih sepanjang 23 cm lalu turun hingga ke uretra posterior yang
disebut sebagai sfingter interna. Otot detrusor secara tidak langsung berfungsi
sebagai katup mencegah pengosongan kandung kemih oleh leher kandung kemih
dan uretra posterior hingga tekanan pada kandung kemih mencapai ambang
potensial yang berlangsung secara otonom. Pada bagian bawah uretra posterior,
uretra melalui diafragma urogenital yang terdiri dari kumpulan otot sfingter
eksterna yang bekerja secara volunter.

6
Kandung kemih manusia mempunyai dua fungsi utama yaitu
penampungan dan pengosongan urin. Secara fisiologis, pada proses berkemih
terdapat empat syarat yang harus terpenuhi agar berlangsung normal, yakni:
1. kapasitas kandung kemih yang adekuat,
2. pengosongan kandung kemih yang sempurna,
3. berlangsung dalam kontrol yang baik, dan setiap pengisian dan
pengosongan kandung kemih tidak berakibat buruk terhadap saluran
kemih bagian atas dan ginjal.
Saluran kemih bawah mendapatkan persarafan somatik dan otonom
(simpatis dan parasimpatis). Persarafan simpatis berasal dari medula spinalis
daerah torako-lumbal yaitu Th-10 sampai dengan L-1 yang bersatu pada pleksus
hipogastrik dan diteruskan melalui serat saraf post-ganglionik untuk mempersarafi
otot detrusor, leher kandung kemih, dan uretra posterior. Sistem persarafan
parasimpatis berasal dari korda spinalis setinggi S-2, S-3 dan S-4 yang
mempersarafi daerah fundus sedangkan persarafan somatik setinggi korda spinalis
yang sama melalui nervus pudendus mempersarafi otot sfingter eksternal.

Gambar 1. Vesica Urinaria

2.1.1 Struktur otot detrusor dan sfingter


7
Susunan sebagian besar otot polos bladder apabila berkontraksi akan
menyebabkan pengosongan pada bladder. Pengaturan serabut detrusor pada
daerah leher bladder berbeda antara pria dan wanita dimana pria mempunyai
distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter
leher bladder yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter
interna yang ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot
lurik berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari
prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter
secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pada
pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan
yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi.1,2,3

2.1.2 Persyarafan dari vesica urinaria dan sfingter


a. Persyarafan parasimpatis (N. pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari serabut
preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna
intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner keluar
dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui
N. pelvikus ke pleksus parasimpatis di pelvis. Serabut postganglioner pendek
berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ-organ pelvis. Tidak terdapat
perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglioner dan otot polos
musculus detrusor. Sebaliknya, serabut postganglioner mempunyai jaringan difus
sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan.
Meskipun pada beberapa neurotransmitter non-kolinergik/non-adrenergik juga
ditemukan, namun keberadaannya pada manusia diragukan.1,2

b. Persyarafan simpatis (N. Hipogastrik dan rantai simpatis sakral)


Bladder menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis thorakolumbal
melalui N. hipogastrik. Leher bladder menerima persarafan yang banyak dari
sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh

8
simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas.
Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada miksi meskipun pada
umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher bladder pria banyak
mengandung transmitter noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi
menyebabkan penutupan dari leher bladder untuk mencegah ejakulasi
retrograde.2,3

c. Persyarafan somantik (N. pudendus)


Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus
urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu
nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini
yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor
neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai
diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian
mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat
skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik.
Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam
n.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal
dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor
unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai
amplitudo yang sedikit lebih rendah.1,2,3

d. Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah


Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada
pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak
dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide
dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat
digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni. Ketiga
pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus)
mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus
dan membawa sensasi dari distensi bladder tampaknya merupakan hal yang
terpenting pada fungsi bladder yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe,
9
serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A bermyelin kecil. Peran aferen
hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini menyampaikan beberapa sensasi dari
distensi bladder dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari
aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang
serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen bladder. Hal ini
menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medulla spinalis
sakral untuk intergrasi viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian
pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras
ascending dari bladder dan uretra berjalan di dalam traktus sphinothalamikus.
Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis juga berperan pada transmisi dari
informasi aferen. 1,2,3

Gambar 2. Persyarafan Vesica Urinaria


2.1.3 Hubungan dengan susunan saraf pusat
a. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-
bulbospinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan
bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks
transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau
10
pengosongan bladder. Pusat miksi pons berperan sebagai pusat pengaturan yang
mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak.1,2
b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial
dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi,
inkontinens, hilangnya sensibilitas bladder atau retensi urine. Pemeriksaan
urodinamis menunjukkan adanya bladder yang hiperrefleksi. 1,2
2.1.4 Fisiologi pengaturan fungsi sfingter vesica urinaria
a. Pengisian urin
Pada pengisian vesica urinaria, distensi yang timbul ditandai dengan
adanya aktivitas sensor regang pada dinding vesica urinaria. Pada vesica urinaria
normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat
inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari vesica urinaria. Inhibisi
dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi
pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance vesica
urinaria kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh
Selain akomodasi vesica urinaria, kontinens selama pengisian memerlukan
fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih
tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar.
b. Pengaliran urin
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari
distensi vesica urinaria yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif
terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak diketahui
dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi otot lurik dari sfingter uretra dan lantai
pelvis yang diikuti dengan kontraksi vesica urinaria. Inhibisi tonus simpatis pada
leher vesica urinaria juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi
tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang
lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan
mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

11
12
BAB III

NEUROGENIC BLADDER

3.1 Definisi Neurogenic bladder


Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat
kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi
dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu
aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak
terkendali.4,5,6

3.2 Etiologi
Klasifikasi Neurogenic Bladder
a Lesi serebral : Uninhibited Bladder
o detrusor areflexia; detrusor hyperreflexia dengan pengaturan oleh
sphincter eksterna.
b Lesi spinal suprasacral : Reflek Bladder
o autonomic dysreflexia (lesi di atas T6); detrusor hyperreflexia
dengan dissinergi sphincter eksterna.
c Lesi spinal : Inkontinensia
o Bladder mengosongkan isinya dengan cepat dan sering
o Sphincter uretra eksterna mengalami kontraksi secara paradox
o Adanya dissinergi antara M. Detrusor dan sphincter : Sphincter dan
bladder keduanya sama-sama spastik pada saat bersamaan.
Meskipun bladder berusaha mengeluarkan urine, namun sphincter
externa ber kontraksi kuat, mencegah urine jangan keluar.
d Lesi Spinalis sacral: Otonomic Bladder
o areflek detrusor dengan non-relaksasi uretra; atonic urethra.
e Lesi Perifer: Atoni Bladder
o areflek detrusor dengan gangguan koordinasi sphincter uretra.
13
KLASIFIKASI LAPIDES
a Unhibited Neurogenik Bladder
Letak lesi tipe ini pada traktus kortikoregulations, menyebabkan
gangguan fungsi inhibisi pada miksturisi. Lesi intracranial dapat berupa:
Defisiensi mental (dementia, Parkinson)
Kelainan sesrebral difus akut
Lesi hemisfer (stroke)
Multiple sclerosis
Posterosklerosis
Gambaran Klinis:
Kontraksi volunteer positif, sensasi masih intak, dan residual urin sedikit.

b Reflex Neurogenik Bladder


Tipe ini di sebabkan terputusnya pusat serebral dengan batang otak
(pontis) dengan pusat mikturisi sakralis. Sensasi vesika urinaria hilang,
kontraksi hiperefleks involunter, detrusor-eksterna spinter dysinergi,
kapasitas sedikit.
Manifestasi Klinik:
o Tak dapat memulai dan menghentikan miksi
o Miksturisi secara presipitatif.
o Distensi vesika urinaria diketahui memalui reflek otonomik
(berkeringat, fenomena pilomotorik, dll)
o Urinasi dengan rangsangan perineum, kompresi abdomen atau
kandung kemih.
o Vesika urinaria kosong, (reflek spinal), residual urin bervariasi.
Kelainan dapat disebabkan meilitis, multiple sclerosis, neoplasma,
mielopati vasskuler/ traumatik.

14
c Autonomus Neurogenic Bladder
Lesi pada syaraf sensorik dan motorik yang menuju medulla spinalis
sakralis.
Manifestasi klinis:
o Sensasi vesikal hilang, distensi vesikal, kontraksi karena rangsang
pleksus intrinsic vesika urinaria, tekanan intravesikal meningkat,
residual urin besar, kapasitas tidak bertambah. Saddle anaesthesia
positif dan reflex bulbokavernosus negatif.
o Lesi berupa sindroma klonus kauda atau kauda ekuina, radikulopati
motorik atau sensorik S-2 S-3, dan S-4 atau syaraf perifer. Kausa di
sebabkan neoplasma, trauma, inflamasi, spina bifida.

d Sensory Neurogenic Bladder


Sinonim : Atonik neurogenic bladder
Lesi terletak pada radiks posterior, sarkalis, ganglion, kolumna posterior
MS sakralis. Etiologi dapat berupa tabes dorsalis, posterolateral sclerosis,
multiple sclerosis, neuropati diabetika.
Manifestasi klinis :
o Sensasi vesikal hilang, distensi vesikal
o Sulit miksi dan miksi dengan kompresi, dapat berlanjut
menjadi overflow incontinence.

e Motor Paralytic Bladder


Tipe ini disebabkan lesi pada syaraf motorik vesika urinaria. Etiologi
berupa poliomyelitis, poliardikulupati, neoplasma, trauma.
Manifestasi klinis : Distensi vesikal dekompensata, sensaso vesikal intak,
nyeri distensi, sulit menilai miksi, kapasitasi dan residual urin bervariasi,
saddle anaesthesia negative, reflex bulbocavernosus positif.

15
3.2.1 Kelainan pada sistem saraf pusat :8
1. Alzheimers disease
2. Meningomielocele
3. Tumor otak atau medulla spinalis
4. Multiple sclerosis
5. Parkinson disease
6. Cedera medulla spinalis
7. Pemulihan stroke
3.2.2 Kelainan pada sistem saraf tepi : 8
1. Neuropati alkoholik
2. Diabetes neuropati
3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
5. Defisiensi vitamin B12

3.3 Patofisiologi
Gangguan bladder dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung
jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :2,3,9
3.3.1 Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan
seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal
bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan
berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada
kerusakan lobus anteroir, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu
anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat
menimbulkan kontraksi bladder yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan
secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara
volunteer.

3.3.2 Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
16
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian
sacral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi
detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin
terjadi antara lain adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan
menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan
kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume bladder.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor.
Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara
bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi
sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang
menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas.Urin dapat keluar dari bladder
hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter
sehingga aliran urin terputus-putus.
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan
bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan
disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder yang
hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinya kontraksi bladder. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi
dalam jumlah yang sedikit.

3.3.3 Lesi Lower Motor Neuron (LMN)

17
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun
ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria dan
hilangnya sensibilitas vesica urinaria. Proses pendahuluan miksi secara volunteer
hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang,
vesica urinaria menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah
parsial. Compliance vesica urinaria juga hilang karena hal ini merupakan suatu
proses aktif yang tergantung pada utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari
peregangan vesica urinaria terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan
karena informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui
n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu
mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher vesica urinaria
memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi
selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress
inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.5
3.4 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,
retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat
menilai lokasi kerusakan karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat
kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul
sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk
menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau
striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis
bagian sakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada
umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga
timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga
dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi
susunan saraf pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat
menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa.
Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi

18
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras
sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan
kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan
ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik
dengan overflow.7,8,10

3.5 Diagnosis
Neurogenik bladder melibatkan sistem saraf dan kandung kemih dan untuk
mendiagnosis adanya Neurogenic bladder yaitu dengan memeriksa baik sistem
saraf (termasuk otak) dan kandung kemih itu sendiri.11,13,14
Diagnosis meliputi dengan melakukan anamnesis tujuannya yaitu untuk
mengetahui bagaimana pola buang air kecilnya atau ada tidak gangguan saat
berkemih serta mengetahui adanya faktor-faktor resiko. Kemudian dapat
dilakukan pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan rektal, genitalia, serta
pemeriksaan dinding perut (abdominal) untuk mengecek ada tidaknya pembesaran
pada bladder ataupun kelainan lainnya.Selain itu, pemeriksaan neurologis juga
dilakukan untuk menentukan kelainan neurologis yang menjadi dasar terjadinya
neurologic bladder, uji neurologis harus mencakup status mental, refleks,
kekuatan motorik dan sensibilitas (termasuk dermatomal sakral). Pemeriksaan
penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium yaitu dengan memeriksa urin
ataupun darah. 13,14,15
Pemeriksaan lainnya seperti :
1. Pemeriksaan urodinamika
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui fungsi kandungan
kemih dengan mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan urin,
pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih
pada saat buang air kecil. Pemeriksaan urodinamika dapat berupa
Cystometrography, Postvoid residual urine, uroflometri, serta elektromielografi
sfingter.13,14
2. Cystometrography

19
Cara pemeriksaannya dengan memasukan kateter berisi transduser untuk
mengukur tekanan ke dalam kandungan kemih dan rektum dan kateter tersebut
ddihubungkan dengan komputer. Kemudian memasukan cairan steril ke dalam
kandungan kemih. Selama fase pengisian tersebut komputer akan memberikan
informasi mengenai tekanan kandung kemih, dan rektum, refleks kandungan
kemih dan kapasitas kandungan kemih.13,14,15

Gambar 3. Cystometrography

3. Postvoid residual urine


Sebuah tes diagnostik yang mengukur berapa banyak urin di kandung
kemih yang tersisa setelah buang air kecil. Pemeriksaan residu urine setelah
berkemih (PVR) adalah pemeriksaan dasar untuk inkontinensia urine untuk
mengetahui kemampuan vesika urinaria dalam mengosongkan seluruh isinya.
Abnormal : 50-100ml / >20% volume BAK.13,14
1. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik.Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah yang tidak invasive. Hasilbiasanya diberikandalam
mililiterper detik(mL / detik).13,14

20
Gambar 4. Uroflometri
2. Elektromielografi
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau
tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan
disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang
dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda spinalis.13,14,15
6. Cystoscopy
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau
tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan
disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang
dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda spinalis. Fungsi
sistoskopi dalam pemeriksaan disfungsi kandung kemih neurogenik
memungkinkan adanya penemuan massa kandung kemih seperti kanker dan batu
pada kandung kemih yang tidak dapat terdiagnosa dengan hanya pemeriksaan
urodinamik saja. Pemeriksaan ini diindikasikan untuk pasien yang mengeluhkan
gejala berkemih iritatif persisten atau hematuria. Pemeriksa dapat mendiagnosa
berbagai macam penyebab pasti dari overaktivitas kandung kemih seperti sistitis,
batu dan tumor secara mudah.13,14,15

21
Gambar 5. Cystoscopy

3. Pemeriksaan Imaging berupa pemeriksaan X-ray, USG, CT-Scan serta MRI.


Untuk mendeteksi kelainan neurologis dapat dilakukan pemeriksaan ini.13,14

3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong dan
secara reguler, mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi fungsi
ginjal. Kateterisasi atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu
mencegah urin dari sisa terlalu lama di kandung kemih. Ketika urin tetap dalam
kandung kemih terlalu lama, orang tersebut berada pada risiko infeksi saluran
kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala biasanya
lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus.15
Jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra
untuk mengosongkan kandung kemih, baik secara berkesinambungan maupun
untuk sementara waktu. Kateter dipasang sesegera mungkin agar otot kandung
kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan yang berlebihan dan untuk
mencegah infeksi kandung kemih. Pemasangan kateter secara permanen lebih
sedikit menimbulkan masalah pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada pria,
kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya.15

3.6.1 Terapi Non farmakolgis

22
Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training.
Bladder trining adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot
kandung kemih agar fungsinya kembali normal.Bladder training adalah salah satu
upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke
keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari bladder training
adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal
perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih.15
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda
berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel
execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang
dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan
kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar
panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat
penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih.16
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing
(menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training
dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training
dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap
beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian dilepas.
Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih. Terapi ini bertujuan
memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi
atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali
per hari atau 3-4 jam sekali.10

Langkah-langkah bladder training:

23
1. Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang
memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi,
supaya meningkatkan volume urin residual.
2. Anjurkan pasien minum (200-250 cc).
3. Tanyakan pada pasienapakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.
4. Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.
5. Lihat kemampuan berkemih pasien.

3.6.2 Terapi farmakologis


1. Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobati inkontinensia karena mereka
menghambat kontraksi kandung kemih involunterdan memperbaiki fungsi
penampungan air kemih oleh kandung kemih. Hiosiamin (Levbid) 0.125 mg,
Dicyclomine hydrochloride (Bentyl) 10-20 mg.15
2. Anti spasmodik
Anti spasmodik melepaskan otot polos kandung kemih. Obat anti
spasmodik telah dilaporkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dan
efektif mengurangi atau menghilangkan inkontinensia. Oksibutinin (ditropanXL)
5-15 mg, Tolterodin(detrol) 2 mg.15,16
3. Obat Betanekol klorida (urecholine)
Golongan obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja pada reseptor
muskarinik (kolonergik). Merupaka agonis kolinergik yang digunakan untuk
meningkatkan kontraksi detrusor. Obat ini membantu menstimulasi kontraksi
bladder pada pasien yang menyimpan urin. Betanekol klorida 10-50 mg 3-4 kali
dalam sehari.15,16
3.5.3 Terapi operatif
Pembedahan bisa dilakukan pada kasus tertentu yang jarang. Pembedahan
dilakukan untuk membuat jalan lain untuk mengeluarkan urin, memasang alat
untuk menstimulasi otot kandung kemih.15,16
BAB IV

24
PENUTUP

Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat


kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi
dengan baik untuk miksi atau underactive bladder (Flaksid) maupun kandung
kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks
yang tak terkendali (Spastik).
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,
retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat
menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat
timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi
urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Retensi dapat juga
timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga
dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks miksi seperti pada lesi
susunan saraf pusat. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia
detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral.
Bladder Training atau latihan bladder adalah salah satu upaya
mengembalikan fungsi bladder yang mengalami gangguan, ke keadaan normal
atau ke fungsi optimalnya sesuai dengan kondisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Faiz and Moffat. At a Glance ANATOMI. Jakarta: Erlangga, 2004.

25
2. Snell, RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta : EGC, 2006.
3. Waxman, Stephan G. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi
Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.
4. Benevento B.T. and Marca L. Sipski..Neurogenic Bladder, Neurogenic
Bowel, and Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys
Ther. 2002; 82 (6): 601-612.
5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC,
2007.
6. Sheerwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC,
2001.
7. Rackley R. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In :
http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 15
Agustus 2014).
8. Ropper, Allan H and Brown Robert H. Adams and Victors Principles of
Neurology Eighth Edition. New York: McGraw-Hill, 2005.
9. Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In
Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New York: Churchil
Livingstone, 1993.
10. Greenfield, et al. Essentials of Surgery: Scientific Principles and Practice
2nd Edition. New York: McGraw-Hill, 1997.
11. Columbia urologist. Neurogenic bladder. Article of Columbia Urology
Medical Center. 2012; [December 2014; cited 2014 2Desember]Available
from: http://columbiaurology.org/specialties/female/neurogenic-
bladder.html
12. Hopkins J. Neurogenic bladder. Article of The Johns Hopkins Medicine.
2012. [December 2014; cited 2014 2 Desember] Available from:
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/kidney_and_urin
ary_system_disorders/neurogenic_bladder

26
13. Ginsberg, D. 2012. Assessment and Diagnostic Strategies for Neurogenic
Bladder. Journal of Renal and Urology Haymarket Medical Education Part
1.
14. Shenot,MD.2014. Neurogenic bladder. Article of Merck Manual Home
Health Handbook Neurogenic Bladder. [December 2014; cited 2014 2
Desember] Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/voidi
ng_disorders/neurogenic_bladder.html
15. Campellone, J.Neurogenic bladder. 2014. Article of National Library of
Medicine. [December 2014; cited 2014 2 Desember] Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000754.htm
16. IUGA. 2011. Bladder training. Article of International Gynecologycal
Ascosiation. [December 2014; cited 2014 2 Desember] Available from:
www.iuga.org/resource/resmgr/.../eng_btraining.pdf

27

Anda mungkin juga menyukai

  • Demam Tifoid Referat
    Demam Tifoid Referat
    Dokumen17 halaman
    Demam Tifoid Referat
    nisrinakl
    67% (3)
  • BAB I Revisi
    BAB I Revisi
    Dokumen5 halaman
    BAB I Revisi
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Fu
    Fu
    Dokumen4 halaman
    Fu
    Dwi Lestari
    Belum ada peringkat
  • Status Pertima Wati
    Status Pertima Wati
    Dokumen23 halaman
    Status Pertima Wati
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Bab II Refrat Fix
    Bab II Refrat Fix
    Dokumen17 halaman
    Bab II Refrat Fix
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen21 halaman
    Tinjauan Pustaka
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Kalsium
    Kalsium
    Dokumen2 halaman
    Kalsium
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • SPM Penyakit Dalam
    SPM Penyakit Dalam
    Dokumen159 halaman
    SPM Penyakit Dalam
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga Ica 6 Agustus
    Laporan Jaga Ica 6 Agustus
    Dokumen12 halaman
    Laporan Jaga Ica 6 Agustus
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Fu
    Fu
    Dokumen4 halaman
    Fu
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen7 halaman
    Tugas
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • BAB I Abal Abal
    BAB I Abal Abal
    Dokumen2 halaman
    BAB I Abal Abal
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus & ANALISIS
    Laporan Kasus & ANALISIS
    Dokumen13 halaman
    Laporan Kasus & ANALISIS
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Translate THT Hal 2 Fix
    Translate THT Hal 2 Fix
    Dokumen2 halaman
    Translate THT Hal 2 Fix
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Case Stroke
    Case Stroke
    Dokumen44 halaman
    Case Stroke
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis BPPV
    Anamnesis BPPV
    Dokumen1 halaman
    Anamnesis BPPV
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Analisis 14 Ica Dhanty
    Analisis 14 Ica Dhanty
    Dokumen11 halaman
    Analisis 14 Ica Dhanty
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • KSM Ica
    KSM Ica
    Dokumen2 halaman
    KSM Ica
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Analisis 14 Ica Dhanty
    Analisis 14 Ica Dhanty
    Dokumen11 halaman
    Analisis 14 Ica Dhanty
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Case Andini Dhanty
    Case Andini Dhanty
    Dokumen49 halaman
    Case Andini Dhanty
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Lesi Reaktif Gingiva
    Lesi Reaktif Gingiva
    Dokumen30 halaman
    Lesi Reaktif Gingiva
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Cover Otitis Media Efusi
    Cover Otitis Media Efusi
    Dokumen4 halaman
    Cover Otitis Media Efusi
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Laporan Dokter Keluarga
    Laporan Dokter Keluarga
    Dokumen17 halaman
    Laporan Dokter Keluarga
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Dokter Keluarga
    Bab 2 Dokter Keluarga
    Dokumen4 halaman
    Bab 2 Dokter Keluarga
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis BPPV
    Anamnesis BPPV
    Dokumen1 halaman
    Anamnesis BPPV
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Neurogenic Bladder Refrat
    Neurogenic Bladder Refrat
    Dokumen27 halaman
    Neurogenic Bladder Refrat
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Soal 2
    Soal 2
    Dokumen4 halaman
    Soal 2
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat
  • Case Stroke
    Case Stroke
    Dokumen44 halaman
    Case Stroke
    Dhanty Mukhlisa
    Belum ada peringkat