NEUROGENIC BLADDER
Oleh:
Dina Sabilah S.Ked 04054821618031
Dhanty Mukhlisa S.ked 04084821719179
Pembimbing:
dr. Afriani, Sp.S
Referat
Judul
1
NEUROGENIC BLADDER
Oleh :
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 10
April 15 Mei 2017.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Refrat dengan
judul Neurogenic Bladder. Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Afriani, Sp.S selaku
pembimbing yang telah membantu penyelesaian penyusunan laporan kasus
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, semua
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Demikianlah penulisan Referat ini, semoga bermanfaat untuk penulis dan
orang lain.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
LEMBAR PENGESAHAN . 2
KATA PENGANTAR.. 3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6
BAB III NEUROGENIC BLADDER 13
BAB IV PENUTUP.. 25
DAFTAR PUSTAKA 26
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Kandung kemih manusia mempunyai dua fungsi utama yaitu
penampungan dan pengosongan urin. Secara fisiologis, pada proses berkemih
terdapat empat syarat yang harus terpenuhi agar berlangsung normal, yakni:
1. kapasitas kandung kemih yang adekuat,
2. pengosongan kandung kemih yang sempurna,
3. berlangsung dalam kontrol yang baik, dan setiap pengisian dan
pengosongan kandung kemih tidak berakibat buruk terhadap saluran
kemih bagian atas dan ginjal.
Saluran kemih bawah mendapatkan persarafan somatik dan otonom
(simpatis dan parasimpatis). Persarafan simpatis berasal dari medula spinalis
daerah torako-lumbal yaitu Th-10 sampai dengan L-1 yang bersatu pada pleksus
hipogastrik dan diteruskan melalui serat saraf post-ganglionik untuk mempersarafi
otot detrusor, leher kandung kemih, dan uretra posterior. Sistem persarafan
parasimpatis berasal dari korda spinalis setinggi S-2, S-3 dan S-4 yang
mempersarafi daerah fundus sedangkan persarafan somatik setinggi korda spinalis
yang sama melalui nervus pudendus mempersarafi otot sfingter eksternal.
8
simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas.
Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada miksi meskipun pada
umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher bladder pria banyak
mengandung transmitter noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi
menyebabkan penutupan dari leher bladder untuk mencegah ejakulasi
retrograde.2,3
11
12
BAB III
NEUROGENIC BLADDER
3.2 Etiologi
Klasifikasi Neurogenic Bladder
a Lesi serebral : Uninhibited Bladder
o detrusor areflexia; detrusor hyperreflexia dengan pengaturan oleh
sphincter eksterna.
b Lesi spinal suprasacral : Reflek Bladder
o autonomic dysreflexia (lesi di atas T6); detrusor hyperreflexia
dengan dissinergi sphincter eksterna.
c Lesi spinal : Inkontinensia
o Bladder mengosongkan isinya dengan cepat dan sering
o Sphincter uretra eksterna mengalami kontraksi secara paradox
o Adanya dissinergi antara M. Detrusor dan sphincter : Sphincter dan
bladder keduanya sama-sama spastik pada saat bersamaan.
Meskipun bladder berusaha mengeluarkan urine, namun sphincter
externa ber kontraksi kuat, mencegah urine jangan keluar.
d Lesi Spinalis sacral: Otonomic Bladder
o areflek detrusor dengan non-relaksasi uretra; atonic urethra.
e Lesi Perifer: Atoni Bladder
o areflek detrusor dengan gangguan koordinasi sphincter uretra.
13
KLASIFIKASI LAPIDES
a Unhibited Neurogenik Bladder
Letak lesi tipe ini pada traktus kortikoregulations, menyebabkan
gangguan fungsi inhibisi pada miksturisi. Lesi intracranial dapat berupa:
Defisiensi mental (dementia, Parkinson)
Kelainan sesrebral difus akut
Lesi hemisfer (stroke)
Multiple sclerosis
Posterosklerosis
Gambaran Klinis:
Kontraksi volunteer positif, sensasi masih intak, dan residual urin sedikit.
14
c Autonomus Neurogenic Bladder
Lesi pada syaraf sensorik dan motorik yang menuju medulla spinalis
sakralis.
Manifestasi klinis:
o Sensasi vesikal hilang, distensi vesikal, kontraksi karena rangsang
pleksus intrinsic vesika urinaria, tekanan intravesikal meningkat,
residual urin besar, kapasitas tidak bertambah. Saddle anaesthesia
positif dan reflex bulbokavernosus negatif.
o Lesi berupa sindroma klonus kauda atau kauda ekuina, radikulopati
motorik atau sensorik S-2 S-3, dan S-4 atau syaraf perifer. Kausa di
sebabkan neoplasma, trauma, inflamasi, spina bifida.
15
3.2.1 Kelainan pada sistem saraf pusat :8
1. Alzheimers disease
2. Meningomielocele
3. Tumor otak atau medulla spinalis
4. Multiple sclerosis
5. Parkinson disease
6. Cedera medulla spinalis
7. Pemulihan stroke
3.2.2 Kelainan pada sistem saraf tepi : 8
1. Neuropati alkoholik
2. Diabetes neuropati
3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
5. Defisiensi vitamin B12
3.3 Patofisiologi
Gangguan bladder dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung
jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :2,3,9
3.3.1 Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan
seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal
bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan
berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada
kerusakan lobus anteroir, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu
anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat
menimbulkan kontraksi bladder yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan
secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara
volunteer.
3.3.2 Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
16
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian
sacral medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi
detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin
terjadi antara lain adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan
menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi yang akan menyebabkan
kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume bladder.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor.
Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara
bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi
sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang
menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas.Urin dapat keluar dari bladder
hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi sfingter
sehingga aliran urin terputus-putus.
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan
bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan
disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder yang
hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinya kontraksi bladder. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi
dalam jumlah yang sedikit.
17
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun
ekstradural akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria dan
hilangnya sensibilitas vesica urinaria. Proses pendahuluan miksi secara volunteer
hilang dan karena mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang,
vesica urinaria menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah
parsial. Compliance vesica urinaria juga hilang karena hal ini merupakan suatu
proses aktif yang tergantung pada utuhnya persyarafan. Sensibilitas dari
peregangan vesica urinaria terganggu namun sensasi nyeri masih didapatkan
karena informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui
n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu
mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher vesica urinaria
memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi
selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress
inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.5
3.4 Manifestasi Klinis
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi,
retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang
mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat
menilai lokasi kerusakan karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat
kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul
sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk
menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau
striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis
bagian sakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada
umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga
timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga
dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi
susunan saraf pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat
menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa.
Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
18
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras
sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan
kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan
ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik
dengan overflow.7,8,10
3.5 Diagnosis
Neurogenik bladder melibatkan sistem saraf dan kandung kemih dan untuk
mendiagnosis adanya Neurogenic bladder yaitu dengan memeriksa baik sistem
saraf (termasuk otak) dan kandung kemih itu sendiri.11,13,14
Diagnosis meliputi dengan melakukan anamnesis tujuannya yaitu untuk
mengetahui bagaimana pola buang air kecilnya atau ada tidak gangguan saat
berkemih serta mengetahui adanya faktor-faktor resiko. Kemudian dapat
dilakukan pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan rektal, genitalia, serta
pemeriksaan dinding perut (abdominal) untuk mengecek ada tidaknya pembesaran
pada bladder ataupun kelainan lainnya.Selain itu, pemeriksaan neurologis juga
dilakukan untuk menentukan kelainan neurologis yang menjadi dasar terjadinya
neurologic bladder, uji neurologis harus mencakup status mental, refleks,
kekuatan motorik dan sensibilitas (termasuk dermatomal sakral). Pemeriksaan
penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium yaitu dengan memeriksa urin
ataupun darah. 13,14,15
Pemeriksaan lainnya seperti :
1. Pemeriksaan urodinamika
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui fungsi kandungan
kemih dengan mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan urin,
pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih
pada saat buang air kecil. Pemeriksaan urodinamika dapat berupa
Cystometrography, Postvoid residual urine, uroflometri, serta elektromielografi
sfingter.13,14
2. Cystometrography
19
Cara pemeriksaannya dengan memasukan kateter berisi transduser untuk
mengukur tekanan ke dalam kandungan kemih dan rektum dan kateter tersebut
ddihubungkan dengan komputer. Kemudian memasukan cairan steril ke dalam
kandungan kemih. Selama fase pengisian tersebut komputer akan memberikan
informasi mengenai tekanan kandung kemih, dan rektum, refleks kandungan
kemih dan kapasitas kandungan kemih.13,14,15
Gambar 3. Cystometrography
20
Gambar 4. Uroflometri
2. Elektromielografi
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau
tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan
disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang
dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda spinalis.13,14,15
6. Cystoscopy
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau
tidak. Kegagalan relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan
disinergia detrusor sfingter (kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang
dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi lesi pada korda spinalis. Fungsi
sistoskopi dalam pemeriksaan disfungsi kandung kemih neurogenik
memungkinkan adanya penemuan massa kandung kemih seperti kanker dan batu
pada kandung kemih yang tidak dapat terdiagnosa dengan hanya pemeriksaan
urodinamik saja. Pemeriksaan ini diindikasikan untuk pasien yang mengeluhkan
gejala berkemih iritatif persisten atau hematuria. Pemeriksa dapat mendiagnosa
berbagai macam penyebab pasti dari overaktivitas kandung kemih seperti sistitis,
batu dan tumor secara mudah.13,14,15
21
Gambar 5. Cystoscopy
3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong dan
secara reguler, mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi fungsi
ginjal. Kateterisasi atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu
mencegah urin dari sisa terlalu lama di kandung kemih. Ketika urin tetap dalam
kandung kemih terlalu lama, orang tersebut berada pada risiko infeksi saluran
kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala biasanya
lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus.15
Jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra
untuk mengosongkan kandung kemih, baik secara berkesinambungan maupun
untuk sementara waktu. Kateter dipasang sesegera mungkin agar otot kandung
kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan yang berlebihan dan untuk
mencegah infeksi kandung kemih. Pemasangan kateter secara permanen lebih
sedikit menimbulkan masalah pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada pria,
kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya.15
22
Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training.
Bladder trining adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot
kandung kemih agar fungsinya kembali normal.Bladder training adalah salah satu
upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke
keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari bladder training
adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal
perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih.15
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda
berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel
execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang
dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan
kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar
panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat
penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih.16
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing
(menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training
dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training
dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap
beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian dilepas.
Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih. Terapi ini bertujuan
memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi
atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali
per hari atau 3-4 jam sekali.10
23
1. Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang
memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi,
supaya meningkatkan volume urin residual.
2. Anjurkan pasien minum (200-250 cc).
3. Tanyakan pada pasienapakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.
4. Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.
5. Lihat kemampuan berkemih pasien.
24
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
25
2. Snell, RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta : EGC, 2006.
3. Waxman, Stephan G. A Lange Medical Book Clinical Neuroanatomi
Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.
4. Benevento B.T. and Marca L. Sipski..Neurogenic Bladder, Neurogenic
Bowel, and Sexual Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys
Ther. 2002; 82 (6): 601-612.
5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC,
2007.
6. Sheerwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC,
2001.
7. Rackley R. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In :
http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 15
Agustus 2014).
8. Ropper, Allan H and Brown Robert H. Adams and Victors Principles of
Neurology Eighth Edition. New York: McGraw-Hill, 2005.
9. Fowler CJ. Neurogenic bladder dysfunction and its management, In
Greenwood R et al. Neurological rehabilitation. New York: Churchil
Livingstone, 1993.
10. Greenfield, et al. Essentials of Surgery: Scientific Principles and Practice
2nd Edition. New York: McGraw-Hill, 1997.
11. Columbia urologist. Neurogenic bladder. Article of Columbia Urology
Medical Center. 2012; [December 2014; cited 2014 2Desember]Available
from: http://columbiaurology.org/specialties/female/neurogenic-
bladder.html
12. Hopkins J. Neurogenic bladder. Article of The Johns Hopkins Medicine.
2012. [December 2014; cited 2014 2 Desember] Available from:
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/kidney_and_urin
ary_system_disorders/neurogenic_bladder
26
13. Ginsberg, D. 2012. Assessment and Diagnostic Strategies for Neurogenic
Bladder. Journal of Renal and Urology Haymarket Medical Education Part
1.
14. Shenot,MD.2014. Neurogenic bladder. Article of Merck Manual Home
Health Handbook Neurogenic Bladder. [December 2014; cited 2014 2
Desember] Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/voidi
ng_disorders/neurogenic_bladder.html
15. Campellone, J.Neurogenic bladder. 2014. Article of National Library of
Medicine. [December 2014; cited 2014 2 Desember] Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000754.htm
16. IUGA. 2011. Bladder training. Article of International Gynecologycal
Ascosiation. [December 2014; cited 2014 2 Desember] Available from:
www.iuga.org/resource/resmgr/.../eng_btraining.pdf
27