Anda di halaman 1dari 13

TUGAS TECHNOPRENEURSHIP

MAKALAH ENTREPRENEUR SUSKES

Disusun oleh:

Atras Ghali Indrabrata

Thungky A

Asyhar Sururi

Moh. Derrick Haryo Tetuko

Alfian Nur Fattah

Fuad Nur Arif Kusuma

Alvian Candra

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

YOGYAKARTA

2017
1. Bob Sadino

Bob Sadino adalah sosok entrepreneur sukses bernama lengkap Bob Mustafi Sadino,
yang memulai usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha.
Pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks(supermarket), yang juga merupakan mantan sopir
taksi dan karyawan Unilever yang kemudian menjadi pengusaha sukses.
Titik balik yang getir menimpa keluarga Bob Sadino, Bob rindu pulang kampung setelah
merantau sembilan tahun di Amsterdam, Belanda dan Hamburg, Jerman, sejak tahun 1958. Ia
membawa pulang istrinya, dan mengajaknya hidup serba kekurangan . padahal mereka
tadinya hidup mapan dengan gaji yang cukup besar. Sekembalinya di tanah air. Bob bertekad
tidak ingin lagi menjadi karyawan yang selalu diperintah atasan, karena itulah ia harus kerja
apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan istrinya. Ia juga pernah menjadi sopir taksi,
mobilnya tabrakan dan hancur, lantas beralih jadi kuli bangunan meskipun dengan upah
harian Rp.100.

Suatu hari, temannya ada yang menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan
depresi yang dialaminya. Bob menjadi tertarik juga untuk memelihara ayam-ayam tersebut,
ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan
ayam-ayam ternaknya. Ia seperti mendapatkan ilham, dibenaknya ayam saja bisa berjuang
untuk hidup, tentu manusiapun juga bisa.Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya setiap
hari menjual beberapa kilogram telur, dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya
memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih dalam hal berbahasa
Inggris, Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak
menetap orang asing. Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing
sekalipun, namun mereka mengaca pada diri sendiri dengan memperbaiki pelayanan.
Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu,
lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal supermarket (pasar
swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana
pendek. Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya
holtikultura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia,
karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah. Bob percaya
bahwa setiap langkah sukses selalu diawali dengan kegagalan demi kegagalan. Perjalanan
wirausaha tidak semulus yang dikira, Ia dan juga istrinya sering jungkir balik. Baginya uang
bukan yang nomor satu, yang penting ada kemauan, komitmen, berani mencari dan
menangkap peluang. Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak
harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa
yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat
rencana sehingga ia tidak segera melangkah. Keberhasilan Bob tidak terlepas dari
ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan dengan jatuh bangun, Bob trampil
dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya
dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional. Menurut Bob,
banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena
merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain. Sedangkan Bob selalu luwes terhadap
pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itulah
Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan
pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani
pelanggan dengan sebaik-baiknya. Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah
keluarga. Semua anggota Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama,
semuanya sama-sama mempunyai fungsi dan kekuatan.

Awal Mula Usaha Bob Sadino

Bambang Mustafi Sadino kembali ke Indonesia tahun 1967, setelah bertahun-tahun di


Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam da
Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, yaitu bekerja
mandiri. Ayahnya bernama Sadino, pria Solo yang menjadi guru kepala di SMP dan SMA
Tanjungkarang, menigggal dunia ketika Bob Sadino berusia 19. Modal yang ia bawa dari
Eropa adalah berupa dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Yang satu telah ia jual untuk
membeli sebidang tanah di kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan kemang masih sepi,
masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil yang satunya lagi ditaksikan, Bob
sendirilah yang menjadi sopirnya. Suatu kali, mobil itu disewakan, namun ternyata bukanlah
uang yang kembali, tetapi malah berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya.
Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja menjadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia
mau, istrinya yang bernama Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar
negeri bisa menyelamatkan keadaan, namun Bob bersikeras, Sayalah kepala keluarga, Saya
yang harus mencari nafkah. Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor
ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dan dari sinilah Bob menanjak, ia
berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem
hidroponik, kemudian ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di pulogadung, dan sebuah
warung Shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan
rata-rata perbulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton
daging olahan, dan 100 ton sayuran segar. Saya hidup dari Fantasi, kata Bob
menggambarkan kenberhasila usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil
fantasinya, bisamenjual kangkung Rp.1000/Kg. di mana puntidak ada orang yang menjual
kangkung dengan harga segitu, kata Bob.

Om Bob, adalah panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis
makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak akan ada habis-jabisnya. Karena
itu ia tidak ingin berkhayal yang macam-macam. Haji yang berpenampilan nyentrik ini juga
merupakan penggemar berat musik klasik dan jazz, ia juga mengungkapkan bahwa saat-saat
paling indah baginya adalah ketika Shalat bersama istri dan dua anaknya.

2.1 Kewirausahaan Bob Sadino

Bob Sadino memberikan beberapa tips untuk mereka yang benar-benar ingin membangun
jiwa enterpreneurship (jiwa kewirausahaan). beliau menyarankan agar orang tidak belajar
jiwa wirausaha di dalam kelas, atau dari mereka yang tidak pernah menggeluti langsung
dunia usaha. Sebab biasanya yang diberikan adalah semua saran yang didasari oleh ketakutan
sehingga segalanya dipermudah dengan ide-ide logis padahal usaha adalah sering tidak
mengikuti urutan dan sistematika berpikir biasa, faktor-faktor-faktor yang kelihatannya
terkontrol padahal sangat sulit menerka gerak dan dinamika pasar, saran-saran yang
berlawanan dengan hukum pasar yang cenderung liar, mengabaikan unsur lain yang justru
sangat penting yaitu naluri pengusaha, dsb. Untuk membangun jiwa wirausaha, Bob
menyuruh kita untuk melihat beberapa hal berikut:
1. Kita harus membebaskan diri kita dari rasa takut.
Inilah halangan terbesar. Inilah alasan terbesar mengapa pendidikan memakan
waktu yang lama, yaitu untuk menghindari kesalahan dan resiko. Tapi justru itulah
yang ingin dipangkas oleh Bob karena ia merasa rasa takut adalah penyebab tidak
berkembangnya enterpreneurship. Kesulitan dan resiko selalu menyertakan peluang.
Jadi, jika kita ingin mengembangkan jiwa enterpreneurship, jangan menghindari
resiko.
2. Kita harus membebaskan diri dari tidakan terlalu berharap.
Belum apa-apa sudah membayangkan hitungan khayal tentang keuntungan,
kemudahan, kehebatan dan hasil besar. Jika begini, maka orang mudah kecewa karena
ternyata lapangan mengajarkan yang berbeda. Orang harus belajar menghitung mulai
dari angka kecil tetapi tekun dan komit. Bayangkan sukarnya dan hadapilah
kesukarannya.
3. Kita harus bebaskan diri kita dari pikiran sendiri.
Biasaya berupa konsep, keyakinan, anggapan dsb. Belajarlah untuk tidak tahu
supaya pengertian masuk sebanyak-banyaknya. Lepaskan diri dari konsep-konsep,
semua harus dijalani dulu dengan penuh keberanian, nanti ilmu akan datang sendiri.
Itulah enterpreneurship kata Bob. Memang benar, jika kita berhadapan dengan orang
yang merasa sudah tahu, kita kerepotan. Orang tidak mudah berubah karena sudah
punya asumsi dulu dalam pikiran. Jadi, cara termudah mengadopsi teknik baru adalah
dengan mengambil posisi belajar, tidak tahu. Atau merendahkan hati untuk
menjalankan sesuatu yang baru. Dengan ketiga kunci tersebut, Bob berharap mereka
calon enterpreneur akan memakai prinsip-prinsip tadi sebagai modal mengembangkan
jiwa kewirausahaan.
2. Fakar Prasetyo

Sampah menjadi masalah sekaligus berkah.


Pasalnya mereka dibuang seenaknya di jalan. Siapa
mau ambil mereka maka gratis. Dan salah satunya yang
ikut mengambil mereka adalah Edy Fakar Prasetyo.
Mengambil jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Pengusaha muda satu ini terobsesi akan masalah
sampah. Sisanya Edy terobsesi akan UKM. "Saya,
inginya menulis skripsi tentang pembiayaan UKM,"
paparnya. Maka tidak heran jika dirinya menjadi
pengusaha. Ia kebetulan termasuk pemerhati
lingkungan.

Ia ingin merubah sampah menjadi berkah.


Ditangan kreatifnya bungkus kopi, teh, dan sampah plastik lain, ia rubah menjadi gantungan
kunci, dompet, dan yang terindah dompet wanita. Tahun 2013, dimulailah ide bisnis tentang
merubah sampah di sekitaran lingkungan kampus, bagaimana ya agar sampah bisa dijual.

Lantas pemuda berkacamata ini menemukan konsep upcycle. Jika sampah plastik
dibuang maka akan dia rubah menjadi barang jadi. Daripada dibuang ke sungai, terus
mengalir ke laut, sampah plastik bisa- bisa merusak ekosistem kelautan. Karena kamu tau
sampah bisa termakan ikan atau menghalangi sinar matahari.

Edy jujur tidak mudah. Uang modalnya memang cuma satu jutaan. Tetapi dia tidak
berkembang sampai di tahun 2014. Setahun sudah Edy mencoba merintih usaha pengolahan
sampah, hanya kok sepertinya gagal. Ia tidak berputus asa dan terus berjuang.

Masalah dianggapnya adalah bagaimana meyakinkan orang. Edy berusaha bagaimana


meyakinkan sampah plastik dapat diolah menjadi bahan bernilai jual. Anak muda kelahiran
September 1992 ini terus berusaha ya dengan terus mengedukasi serta memberikan contoh.

Bisnis fasion sampah

"Prosesnya tidak gampang, kita awalnya tidak mendapatkan antusias," ujar dia.
Akhirnya dia mampu mengajak ibu- ibu sekitar berkreasi. Dengan ketekunan mampu
mengajak keluarga di sekitar kampus masuk. Bersama mereka mengerjakan bisnis fashion
social mereka. Mereka membayar warga Rp.50- 80 persaset. Tidak sedikit cuma mau
diberikan produk karya Edy. Total ada 10 orang ibu membantu. "Kami tidak menyebutnya
pegawai," tegasnya. Prinsip bisnis Edy ialah Women Empowering untuk menuhi pesanan
datang. Edy juga memberdayakan mereka menjadi trainer ketika sukses. Sukses ia mampu
menciptakan produk fasion. Produk terkenalnya mulai dompet, tas, dan souvenir dengan
corak menarik. Siapa menyangka bahwa produk tersebut dulunya plastik bekas kopi. Dalam
sebulan dia mampu memproduksi 30 sampai 50 item. Untuk menembus pasar maka ia rajin
mengikuti pameran selain toko online.

Tidak cuma di dalam negeri, tetapi produknya sudah sampai ke luar negeri. Melalui
berbagai ajang pameran termasuk di Malaysia. Produk bernama Ebibag memiliki selera
fasion. Maka tidak salah jika menjadi satu produk laris hingga memenangkan penghargaan
juaratiga kategori sosial.

Omzetnya dibilang lumayan sampai jutaan. Edy tidak menyebut angka pasti. Tapi dia
memberi sinyal angka 14 juta mampu dikantongi. Mungkin karena pasarnya masih terbatas.
Jadi meski Edy membuat tidak dalam jumlah banyak hasil dari penjualan tinggi. Edy sendiri
lebih memilih mengedukasi dibanding sekedar untung. Salah satunya lewat satu program
bernama Petaka atau Pemberdayaan Tenaga Kreatif. Dia mengedukasi lalu memberi bantuan
dalam pemasaran. Harga murah untuk souvenir yakni Rp.5000, sampai Rp.350 ribu buat
tasnya ukuran besar. Untuk penjualan lewat toko online www.ebibag.com. Walaupun khan
berjualan di luar negeri besar, prinsip edukasi yang ia tengah tonjolkan. Jadi dia memilih
mengedukasi pasar dan memasarkan produknya di dalam negeri.

Ambil contoh ada seorang mahasiswa Belgia, tengah melakukan kegiatan musim panas,
dan memborong banyak sekali buat dijual kembali. Pasar internasional diakui olehnya
memang masih besar.

Bisnis komunitas

Dia tidak berorientasi bisnis semata. Buktinya mahasiswa semester 7 ini mengajak teman
sekampus. Lewat satu program bernama Eco Business Indonesia (EBI). Komunitas bisnis
kecil berbasis lingkungan. EBI ialah bisnis hijau atau green business dimana memiliki konsep
sendiri. Mengusung tema 3P, yaitu People, Planet, dan Profit. Penjabarannya People berarti
berbisnis pemberdayaan manusia. Tidak ada namanya pegawai tetapi semua orang bekerja
bersama. Planet sendiri berarti fokus pada kepedulian akan lingkungan. Bagaiman upaya yang
besar berkontribusi akan pelestarian lingkungan.

Upaya mengurangi limah plastik memperpanjang daya guna. Melalui daya upcycle
menjadi kerajinan tangan, dari tas aneka ukuran, dompet, soft case, dan masih banyak lain.
Kalau Profit apalagi kalau bukan menghasilkan komersialisasi. Bagaimana memutar roda
bisnisnya melalui pengembangan pemberdaya luas. Tidak sekedar menghasilkan keuntungan
sebesar- besarnya. Tapi juga satu sinergi dengan Planet dan Peoplenya. Bagaimana
melestarikan lingkungan serta membedayakan manusia. Edy sendiri aktif memfasilitasi
pelatihan pengusaha. Lewat GEO atau Green Entrepreneur Organizer bagi mereka pengusaha
muda bidang lingkungan. Menjadi wirausaha merupakan jati diri seorang Edy. Meski ini
bukanlah usaha beruntung tinggi. Tetapi dia menyadari bisnis hijau merupakan sebuah bentuk
sedekah lingkusngan. Dulu, sejak bangku sekolah dasar, menjadi wirausaha merupakan hal
biasa. Ia pernah menjual stiker ketika bersekolah dasar. Masuk SMP, Edy tidak malu menjual
kopi dan gorengan di sekolah. Ketika masuki ke masa SMA dia menjadi penjual nasi uduk di
kelas. Maka di SMA dirinya didaulat menjadi siswa berprestasi berwirausaha.

Anak kelima dari enam bersaudara sempat tidak ingin jadi pengusaha. Orang tua tidak
mendukung secara finansial. Jadi lepas SMA dia berharap menjadi pegawai bergaji biasa.
Apalagi menjadi wirausaha banyak ketidak pastian. Ditambah dia masih punya banyak
saudara. Hidup Edy mencoba lebih realitis dikedepan hidup. Masuk Ujian Nasional, Edy
mulai ikut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Dia mengaku tidak
memiliki persiapan khusus. Selepas lulus SMA, perlu kamu tau dia sudah bekerja dan berniat
masuk kuliah sambil kerja. Jadi dia tidak punya waktu buat seleksi masuk perguruan tinggi,
edy sibuk kerja.

Dia tidak ikut bimbel. Mengakali keadaan maka Edy belajar dari teman yang ikut bimbel.
Bermodal itulah ia berharap bisa lulus. Agar peluang makin besar maka dia mengambil
jurusan yang jarang. Menurutnya jurusan itu sangat jarang dilirik mahasiswa. Tidak disangka
dia diterima di UIN Jakarta. Tahun 2012, dia menyabet juara Bank Indonesia Green
Entrepreneur. Tahun sama menjadi juara Wirausaha Mapan diadakan oleh Pemkot DKI
Jakarta. Dia juga masuk dalam finalis Social Entrepreneur Academy tahun 2014. Walapun
sukses begitu masalah SDM dan modal menghantui kinerja usahanya.

"Secara teknik, kami masih butuh tenaga ahli," ujar dia. Edy bersama empat rekan bersama
sibuk juga soal pelatihan ibu- ibu PKK. Hingga berdirilah E- bi Institute dan kaderisasi ISIS
(istri sukses idaman suami). Ia mencetak ibu menjadi kaum kreatif berwirausaha mandiri.

Untuk hitungan masih belum gaji. Ia menyebut upah, atau insentif berupa produk sama bagi
hasil. Nilainya 30:70 merupakan penghasil beberapa produk. "...kita tambah upah," ujarnya.
Insentifnya tergantung pada hasil produksinya. Dengan sumber bahan baku banyak dan tidak
jarang gratis, maka omzetnya berlipat. Mungkin masalah utamanya diedukasi bagaimana
menjual. Penjualan memanfaatkan Instagram dan Twitter yaitu @Ebi-bag. Kemudian ada
website edukasi bernama www.menebarmanfaat.com. Hasil karyanya tidak cuma produk,
termasuk edukasi hijau, praktik prakarya limbah, "per-bulan 2- 3 juta," imbuhnya.

"Fluktualif, pemasukan lebih besar dari edukasi, sekitar 60:40," ungkap dia. Masalah pertama
dia hadapi yaitu mencari bungkus kopi dan SDM buat produksi.
3. Christopher Emille Jayanata
Kurangnya pengetahuan masyarakat pada
keamanan bahan pangan di pasaran
menggerakkan Christopher Emille Jayanata untuk
berbagi informasi melalui Komunitas Organik
Indonesia (KOI). KOI yang didirikan pada tahun
2007 memang bukan perkumpulan baru, namun
giatnya pelaku gaya hidup sehat yang berbagi di
media sosial, baik yang tergabung di KOI maupun
tidak, mempermudah penerimaan KOI di
masyarakat. Sebelum terkenal melalui akun
Instagram @komunitasorganikindonesia, Emil
sapaan akrabnyamenyosialisasikan suara
melalui Facebook dan Twitter. Tahun 2011,
bersama pelaku usaha organik kelas mikro, pebisnis ayam probio-pronic ini secara perdana
mengadakan Organic, Green & Healthy Expo of Indonesia (OGH Expo) di Jakarta Barat.
Situasi kala itu, hanya ada 45 anggota yang terlibat. Kesadaran publik juga masih minim,
memaknai kata organik sebagai produk yang dilihat dari sisi harga, bukan khasiat.
Konsistensi membuat KOI kini memiliki lebih dari 200 anggota yang berasal dari Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ini bukan hanya terdiri dari pengusaha sayuran,
buah-buahan, makanan olahan dan unggas. Semangat yang ditularkan KOI memberanikan
pelakon lain di bidang kosmetik, fashion, hingga peralatan rumah tangga penganut prinsip
organic, green danhealthy bersatu dalam setiap activation sehat yang melingkupi
elemen mind, body, and soul.
Logo KOI yang selalu tercantum di bazar sehat seakan mengesahkan kredibilitas sang
penyelenggara. Kegiatan ini, seperti sesi yang menggandeng sahabat KOI seperti penggiat
makan sehat Sophie Navita, Yoesi Ariyani, dan penggiat healty cookingWied Harry
Apriadji, menjadi contoh cara bagi anggota untuk mengaplikasikan segala yang sehat ke
dalam kehidupan sehari-hari.
Anggota KOI juga memiliki kemampuan pada ilmu-ilmu khusus dan boleh menggelar
acara secara independent. Misalnya, mini workshop perawatan kecantikan kulit secara
organik oleh Dewi Kauw, pemilik Skin Dewi, dan demo membuat pizza nongluten lezat
oleh Cut Dewi Rahmah dari Cake Studio.
Kegiatan rutin lainnya adalah kelas peningkatan kualitas produk, branding,
dan marketing. KOI juga memiliki Dewan Kurasi. Anggota dewan merupakan para pakar
yang membantu para anggota komunitas untuk mencapai sertifikasi organik serta
memberikan pengetahuan mengenai kualitas organik yang baik.

Organic Corner di Menteng, Jakarta, hadir sebagai tempat kolektif menjual produk-produk
organik dari anggota KOI dan lokasi untuk menggelar farmers market berkala. OGH Expo
pun kini menjadi acara tahunan KOI yang merambah hingga Yogyakarta dengan nama OGH
Expo Istimewa.
Bagi Emil, siapa pun boleh bergabung asal mau menghasilkan produk organik yang jujur
dan dari hati. Sertifikasi organik itu mahal, tak semua petani atau pelaku bisnis organik
mampu mendapatkannya, ujarnya. Walau saat ini belum bisa mengeluarkan sertifikat, Chris
tak hilang akal dalam membantu petani. Lantas, terciptalah label White Flower sebagai
penanda bahwa produk telah memenuhi standar organic, green, and healthy dari komunitas
KOI. Chris juga bercita-cita menjadikan KOI sebagai lembaga pesertifikasi organik.

Sebenarnya negeri ini memiliki produk organik yang potensial dibanding produk organik
impor, tutur Emil. Di sinilah KOI tak berhenti menjadi perpanjangan tangan petani dan
pemilik usaha organik dalam kemudahan akses produk berkualitas dengan harga terjangkau.
Harapannya, masyarakat tidak tergantung pada produk organik impor.

Resolusi KOI di tahun 2016 adalah menjaga dan menjamin kualitas anggota agar dapat
dipercaya konsumen, menggaungkan kampanye #LokaluntukLokal, dan menghilangkan
penggunaan kantong kresek di tiap kegiatan. KOI juga ingin memantapkan jalur pemasaran
dengan tak putus merancang market place, mengedukasi, dan memajukan kegiatan budaya.

Christopher Emille Jayanata dan anggota keluarganya mengonsumsi makanan organik,


dan ia mengaku tak pernah lagi berbelanja kebutuhan sehari-hari di supermarket. Semua
kebutuhannya itu ia dapatkan dari produsen makanan organik lokal secara langsung. Ke
supermarket paling hanya untuk beli perabot, seperti ember, ucapnya sambil tertawa. Pria
ini adalah Christopher Emile Jayanata, pendiri Komunitas Organik Indonesia (KOI).
Komunitas ini ia dirikan bersama 5 Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kenalannya,
berdasar pada kekhawatirannya soal makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya atau
racun. Komunitas ini juga dibentuk berdasar kesadarannya akan gaya hidup sehat. Saya kala
itu mulai sadar untuk hidup sehat. Kemudian saya kumpulkan lima orang teman yang punya
UMKM, kemudian kami sepakat untuk mendirikan komunitas, ujarnya. Diawali Kesadaran
dan Kekhawatiran Komunitas organik yang didirikannya pada 2007 ini tak hanya fokus pada
produk pangan sehat dan organik, tapi juga pada pemberdayaan UMKM atau produsen lokal,
serta gaya hidup hijau dan ramah lingkungan. Hal itu tercermin dari sederetan kegiatan yang
rutin dilakukan komunitas ini, mulai dari bazaar makanan sehat, festival tahunan, lokakarya
produk ramah lingkungan, dan edukasi gaya hidup sehat, yang semuanya melibatkan
produsen-produsen kecil-menengah dan juga masyarakat luas. Awalnya komunitas ini
bergerak dan bersuara melalui media sosial mainstream, dari situ mereka mulai terhubung
dengan orang-orang yang punya kepedulian sama. Komunitas ini juga mulai terhubung
dengan para produsen makanan sehat dan organik di beberapa daerah di Indonesia. Semakin
meluas, pada tahun 2009, sebuah perusahaan media swasta memfasilitasi sebuah website dan
menjadikan Komunitas Organik Indonesia sebagai organisasi yang lebih kokoh. Tantangan
Ubah Gaya Hidup Masyarakat Diakui betul oleh pria kelahiran Bogor ini, pembentukan dan
pengembangan komunitas ini tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi menyangkut
soal mengubah gaya hidup atau kebiasaan masyarakat Indonesia. Ditambah lagi stigma yang
masih sulit dijauhkan dari masyarakat soal makanan atau produk organik yang mahal.
Padahal kata Emil, tak semua makanan organik itu mahal. Inilah tantangan untuk kami
sekarang. Kata mahal itu yang bikin orang enggan untuk mengonsumsi bahan makanan
organik. Padahal nggak mahal kok! Coba lihat sekeliling kita, banyak produsen makanan
sehat yang tak mematok harga tinggi, lho! jelasnya lewat pembicaraan telepon. Tantangan
lain yang dihadapi Emile dan kawan-kawan adalah para perusahaan raksasa yang telah lama
bercokol di negara ini, seperti perusahaan makanan cepat saji. Produk makanan mereka ini
masih sangat lekat dan disukai oleh masyarakat. Pemerintah juga jadi tantangan yang cukup
besar bagi KOI, jujur Emile. Diceritakan oleh pria yang pernah mengambil studi arsitektur
di Universitas Parahyangan ini, usaha pemerintah juga belum banyak terlihat dan terdengar
untuk mendorong masyarakat konsumsi makanan sehat. Pemerintah pernah mengeluarkan
wacana Indonesia Go Organik, tapi seiring berjalannya waktu hal tersebut hnya sebatas
wacana yang terlupakan begitu saja. Buntutnya, acara yang sudah kami persiapkan terkait hal
itu juga ikut gagal terlaksana, ungkap Emile kecewa. Namun ia optimis. Untuk sebuah
perubahahan, ia paham betul bahwa ada proses yang harus ditempuh, pelan tapi pasti. Proses
itu telah ia lakukan bersama ribuan anggota komunitasnya dengan cara turun langsung ke
masyarakat, memberikan sosialisasi dan edukasi. Komunitas dan Gerakan Berkembang
Sembilan tahun berjalan, komunitas di bawah naungannya ini telah berhasil menghimpun
ribuan anggota yang terdiri dari produsen produk sehat lokal dan konsumen di berbagai
daerah. Bahkan dikatakan Emile, sejak bergabung dengan Komunitas Organik Indonesia,
usaha para produsen kecil dan menengah ini semakin berkembang dan beragam produknya.
Para konsumen yang tergabung komunitas ini juga membuat komunitasnya sendiri,
Komunitas Selaras Alam. Konsumen komunitas kami bahkan bikin komunitas baru.
Mereka juga aktif ikut kegiatan yang diselenggarakan KOI, mulai dari mengisi acara
talkshow, penampilan dan lainnya, tambahnya. Berkat gencarnya kegiatan dan kampanye
yang dilakukan, Emile mulai melihat masyarakat berangsur-angsur sadar akan kesehatan
yang dipengaruhi oleh gaya hidupnya. Katanya, banyak tuh orang-orang yang mulai capek
kena penyakit ini itu, makanya mereka mulai merubah gaya hidupnya. Selain sibuk
mengurus KOI, Emile juga mengurus bisnis peternakan ayam organik dan aktif jadi
pembicara di berbagai forum dan acara televisi. Ia sering diundang untuk mensosialisasikan
gaya hidup sehat yang mudah diterapkan sehari-hari, mulai dari mengonsumi makanan sehat,
olahraga, dan istirahat yang cukup. Saya ingin kelak seluruh masyarakat Indonesia
memiliki akses yang mudah untuk memperoleh produk-produk makanan sehat yang
berkualitas. Nggak mesti organik, tapi bahan makanan sehat dengan kualitas yang bagus itu
banyak di sekitar kita. Semoga KOI bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan para
produsen bahan berkualitas dengan para konsumen, tutupnya.
DaftarPustaka

https://komunita.id/2016/06/23/christopher-emil-sebar-virus-gaya-hidup-sehat-lewat-makanan-
organik/

http://pengusahamuda.wordpress.com/biografi/
http://www.profil.web.id/2017/07/bob-sadino-profil-biodata.html
Poerwanto. 2006. New Businnes Administration. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
http://bisnisi.com/kisah-pengusaha-sukses-dari-nol-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai