Anda di halaman 1dari 10

AGAMA, TATARAN USIA, dan KEMATIAN

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama


Dosen Pengampu : Fatimatuzz zahra
oleh :
Cholis Irvanata Nim 114004
Naili Sa'adah Nim 114009
Nurbadriyatus Sa'adah Nim 114180
Putri Ayu Mahardika Nim 114010
Siti Mualimah Nim 114183

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI


KELAS A JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
2016

0
Agama, Tataran Usia dan Kematian

A. Latar Belakang
Agama adalah fitrah ketentuan mutlak bagi Manusia tanpa
manusia agama bukan berarti apa-apa, karena Agama memang ditujukan
bagi manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu
yang bersifat adikodrati (supernatural) yang seakan menyertai manusia
dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai
bagi kehidupan manuskuabagai orang perorang maupun dalam
hubunganya dengan kehidupan bermasyarakat. Agama memberi dampak
bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara psikologis, agama
dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik
(luar diri).
Sebagai makhluk ciptaan Allah swt, ternyata hidup manusia itu
terbatas. Manusia sama sekali tidak bisa memperhatahankan apa yang di
inginkan. Kedudukan yang tinggi maupun besarnya kekuasaan yang di
genggam, akan "melorot" kalau rentang waktynya sudah habis. Nyawa
sekalipun segera pupus manakala "masa pakainya habis.
Kematian adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu diminta, dia
akan datang sendiri. Tidak perlu mendaftar atau mencalonkan diri. Data
setiap makhluk sudah tercatat. Termasuk hal-hal paling kecil, maupun niat
yang masih tersembunyi di dalam hati. Semua terdata utuh dan lengkap.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian agama?
2. Apa pengertian kematian?
3. Bagaimana pengaruh agama dalam menghadapi kematian?
4. Bagaimana pengaruh tataran usia dalam menghadapi kematian?

1
C. Pembahasan
1. Pengertian Agama
Seorang sosiolog agama bernama Elizabeth K. Nottingham
berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui
definisi, melainkan melalui deskripsi. Menurut gambaran Elizabeth K.
Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering "terdapat di mana-
mana", dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk
mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan
alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan
batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri.
Meskipun perhatian tertuju kepada adanya suatu dunia yang tak dapat
dilihat (akhirat), namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-
masalah kehidupan sehari-hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham,
1985:3-4).
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu
yang bersifat adikodrati ternyata seakan menyertai manusia dalam
ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi
kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungan
dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga agama memberi
dampak bagi kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian secara psikologis, agama dapat berfungsi
sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri). Dan
motif yang di dorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang
mengagumkan dan sulit di tandingi oleh keyakinan nonagama, baik
doktrin maupun ideologi yang bersifat profan. Agama memang unik,
hingga sulit di definisikan secara tepat dan memuaskan.1

2. Pengertian Kematian
Mati adalah terputusnya roh dengan badan atau jasmani. Mati
berbeda dengan tidur, karena tidur berupa putusnya roh sementara

1
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), 275-276.

2
dalam hubungan-hubungan lahiriah. Kematian adalah musibah yang
besar dan penderitaan yang hebat, akan tetapi justru yang lebih hebat
lagi adalah sikap kelalaian diri untuk mengingat kematian, tidak mau
beramal guna menyambut kematian. Adapun kematian itu adalah batas
kesempurnaan roh (jiwa) dalam hidup. Maka mati berarti
menghilangkan seluruh daya rasa selama roh itu berada dalam
genggaman Allah swt. 2
Kematian juga adalah sebuah keniscayaan. Tidak perlu diminta
dia akan datang sendiri. Tidak perlu mendaftar atau mencalonkan diri
data setiap makhluk sudah tercacat semua. Nama, tempat dan tanggal
lahir, jenis kelamin, bangsa agama, maupun latar belakang aktifitas
selama hidup, termasuk hal-hal paling kecil, maupun niat yang masih
tersembunyi di dalam hati. Semua terdata utuh dan lengkap. Mau tidak
mau, suka tidak suka, bila saatnya tiba, malaikat maut bakal datang
menjemput.
Saat nyawa "ditarik dari peredaranya" kemakhlukan manusia
pun beralih status Mati. Tidak bakal terjadi pengunduran waktu.
Malaikat pencabut nyawa, bukanlah makhluk bumi yang bisa diajak
bernegosiasi. Makhluk yang satu ini sudah terlatih bekerja dengan
disiplin tinggi, tepat waktu dan tepat sasaran. Tidak melenceng dan
tidak nyasar, bahkan diskriminasi tidak kenal. Semua makhluk hidup
diperlakukan sama.
Kematian membawa manusia ke alam kehidupan baru, yang
sama sekali asing. Yang dulunya bertempat tinggal megah pindah ke
tempat tinggal baru yakni kubur. Menempati unit "liang lahat", tidak
ada lampu. Dibiarkan hidup sendiri dalam kesepian alam penantian
"barzakh". Menanti juga masa evakuasi ke alam berikutnya yaitu "alam
akhirat". Kata mati dan kematian sebenarnya sudah sangat akrab di
telinga manusia. Setiap orang pasti akan mengalaminya.
Namun,manakala masih berada dalam kenikmatan hidup, manusia
sering lengah dan lupa dengan kematian. Sebaliknya, bila usia semakin
2
Muhammad, Firdaus al-Hasyim, Hikmah Mengenang Mati, (Jatim : putra Belajar,
2000), 53-55.

3
sepuh, atau didera sakit, maka bayang-bayang kematian mulai muncul.
Secara psikologis, turut memengaruhi sikap dan perilaku manusia.3

3. Pengaruh Agama Dalam Menghadapi Kematian


Menurut agama Islam, seseorang yang menemui ajalnya atau
mati dianggap tidak masalah. Peristiwa itu adalah lazim terjadi, atau hal
biasa, dan bahkan harus terjadi. Seseorang yang meninggal dunia dalam
keadalaan muslim dianggap tidak ada masalah yang perlu
dikhawatirkan atau ditakutkan. Kematian itu baru melahirkan masalah,
manakala seseorang tatkala meninggal dunia tersebut dalam keadaan
tidak sebagai seorang yang beriman.
Seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan beriman,
maka dijanjikan oleh Allah akan ditempatkan pada tempat yang mulia.
Peristiwa kematian hanya dimaknai sebatas berpindah tempat, yaitu
dari kehidupan di dunia kemudian beralih ke alam kubur dan berlanjut
ke alam yang lebih kekal, yaitu "akhirat". Bagi siapapun, yang beriman
dan bertaqwa, dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan kebahagiaan.
Pengaruh agama bagi orang yang menghadapi kematian. Bagi orang
yang beragama ia akan memperbanyak amal saleh, banyak berbuat
kebajikan sesuai dengan tuntunan ajaran agama, akan menghadapi
kematian dengan suasana batin yang lebih tenang. Orang beragama pun
percaya adanya kematian. Berbeda bagi orang yang tidak beragama,
para pendosa, dan senantiasa hidup dalam kenewahan dunia, dan
tenggelam karena tertipu oleh keindahannya serta sangat mencintai
kesenangan-kesenangan yang ada di dalamnya pasti ia akan lupa untuk
mengingat adanya kematian, bahkan ia tidak ingat sama sekali bahwa
pada suatu saat ia juga akan mati serta batin tidak tenang dan takut akan
menghadapi kematian. Orang yang tidak beragama tidak percaya
adanya kematian.4

3
Jalaluddin, psikologi Agama, 160-161.
4
Jamal, Mamur Asmanai, Rasanya 7 Malam pertama Di Alam Kubur, (Jogjakarta :
Diva press, 2013), 83-89.

4
4. Pengaruh Tataran Usia Dalam Menghadapi Kematian
Siklus perjalanan hidup manusia dapat diibaratkan garis sisi
pada sebuah trapesium. Garis sisi kanan yang menanjak,
menggambarkan masa sejak kelahiran higga menginjak usia dewasa.
Masa akhir kehidupan merupakan tahap akhir dari masa perkembangan
manusia. Pada fase ini berkembang dua hal harapan hidup dan
kematian. Individu yang memiliki harapan hidup tinggi pun tidak lepas
pemikirannya dari kematian juga. Kematian merupakan keniscayaan
dan semua orang memiliki perspektif masing-masing mengenai
kematian. Dari sini berkembang harapan tentang akhir hidup
(kematian). Bahkan sebelum masuk pada masa tua pun individu telah
mengembangkan perspektif tentang kematian. Mulai pada masa kanak-
kanak, remaja, dan dewasa. Pada usia tua, tiap-tiap individu mengalami
proses pertemuan antara perspektif kematian yang dikembangkannya
dengan kematiannya sendiri. Individu pada masa menjelang kematian,
menurut Kubler-Ross akan mengalami proses-proses berkaitan dengan
pola pikir dan perilakunya dalam menghadapi kematiannya hingga
akhirnya individu mencapai penerimaan akan kematian yang akan
menjemputnya.
Hampir kebanyakan orang berpikir bahwa kematian itu
hanyalah milik orang yang sudah lanjut usia saja. Padahal setiap orang
bisa mati kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun caranya tanpa
sesuai dengan keinginannya tidak di akhir siklus hidup manusia. Baik
itu pada waktu bayi, anak-anak, remaja, ataupun dewasa. Kematian bisa
disebabkan oleh kecelakaan, sakit, pembunuhan, ataupun usaha untuk
bunuh diri. Kematian dapat juga terjadi di awal kehidupan, yaitu pada
beberapa saat setelah kelahiran atau malah masih dalam kandungan
sudah meninggal.
a. Masa kanak-kanak
Masa ini dimulai sejak bayi dan mayoritas peneliti percaya
bahwa bayi tidak memiliki konsep dasar tentang kematian. Bayi
lebih mengembangkan keterikatan dengan pengasuh dan mereka

5
dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta
kecemasan dalam proses ini. Pada usia 3-5 tahun, anak sedikit atau
tidak sedikitpun memiliki pandangan terhadap kematian. Dalam
suatu penelitian pada anak usia 3-5 tahun mengenai persepsi
kematian, didapati bahwa anak menolak kematian. Anak usia 6-9
tahun percaya akan kematian namun hanya minoritas anak. Anak
usia 9 tahun ke atas mengenali kematian dan universalitasnya.
b. Masa Remaja
Pandangan remaja mengenai kematian tidak terlalu jelas.
Remaja mengembangkan konsep yang abstrak tentang kematian.
Remaja menggambarkan kematian sebagai kegelapan, cahaya,
transisi, atau ketiadaan sama sekali. Kematian juga di pandangnya
sebagai akhir yang harus dialami oleh setiap manusia dan mati
merupakan bencana alam yang besar, oleh karena itu, remaja merasa
takut. Ia tidak ingin menghayal bahwa ia akan terlepas dari kematian,
akan tetapi ia mencari keyakinan logis yang lebih mendalam
c. Masa Dewasa
Pada usia dewasa awal individu belum menunjukkan
pemahaman khusus mengenai kematian dan meningkat pada usia
dewasa tengah ditandai dengan berkembangnya pemikiran tentang
akhir hidup. Memasuki dewasa akhir atau usia lanjut, manusia sudah
mulai aktif memikirkan perjalanan hidup dibalik kehidupan dunia
nyata. Sudah dibayang-bayangi oleh kematian. Bayangan seperti itu
semakin nyata,dan berat dirasakan, saat dihadapkan pada musibah
kematian keluarga atau orang-orang terdekat. Di kala itu muncul
"rasa kehilangan". Terbayang oleh kenangan masa silam. Kenangan
yang menjadi beban psikologis, khususnya bagi mereka yang sudah
menginjak periode manula.
Secara psikologis, manusia usia lanjut terbebankan oleh rasa
ketidakberdayaan. Kelemahan fisik, keterbatasan gerak dan
menurunnya fungsi alat indera, menyebabkan manusia usia lanjut
merasa terisolasi. Mulai terasa adanya kekosongan batin. Dikala itu

6
penghayatan terhadap segala yang terkait dengan nilai-nilai spiritual
mulai jadi perhatian. Kegelisahan dan kekosongan batin seakan jadi
terobati oleh keakraban dengan aspek-aspek rohaniah dan hati
merasa lebih tenteram dan terobati oleh kedekatan hal-hal yang
bersifat sakral. Kekosongan batin akan kian terasa bila dihadapkan
pada peristiwa-peristiwa kematian. Terutama bila dihadapkan pada
kematian orang-orang yang terdekat. Muncul semacam rasa
kehilangan yang terkadang begitu berat dan sulit diatasi.
Kematian juga disikapi manusia mengenai dirinya. Sadar
bahwa suatu saat dirinya juga akan mengalami kematian. Masing-
masing mulai menakar diri. Menginventarisasi semua aktifitas dan
lakon hidup. Mengingat kebaikan dan keburukan yang pernah
dilakukan. Khawatir akan balasan yang akan diterima di hari
kebangkitan. Perasaan seperti ini sering menghantui manusia. Terjadi
semacam kecemasan batin. Lebih-lebih mereka yang sudah
menginjak usia lanjut.5

D. Kesimpulan
1. Pengertian agama adalah Agama sebagai bentuk keyakinan manusia
terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati ternyata seakan menyertai
manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki
nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun
dalam hubungan dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga
agama memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.
2. Pengertian kematian adalah Kematian adalah musibah yang besar dan
penderitaan yang hebat, akan tetapi justru yang lebih hebat lagi adalah
sikap kelalaian diri untuk mengingat kematian, tidak mau beramal
guna menyambut kematian. Adapun kematian itu adalah batas
kesempurnaan roh (jiwa) dalam hidup. Maka mati berarti
menghilangkan seluruh daya rasa selama roh itu berada dalam
genggaman Allah swt.

5
Jalaluddin, psikologi Agama, 166-170.

7
3. Pengaruh agama dalam menghadapi kematian adalah Bagi orang
yang beragama ia akan memperbanyak amal saleh, banyak berbuat
kebajikan sesuai dengan tuntunan ajaran agama, akan menghadapi
kematian dengan suasana batin yang lebih tenang. Orang beragama
pun percaya adanya kematian. Berbeda bagi orang yang tidak
beragama, para pendosa, dan senantiasa hidup dalam kenewahan
dunia, dan tenggelam karena tertipu oleh keindahannya serta sangat
mencintai kesenangan-kesenangan yang ada di dalamnya pasti ia akan
lupa untuk mengingat adanya kematian, bahkan ia tidak ingat sama
sekali bahwa pada suatu saat ia juga akan mati serta batin tidak tenang
dan takut akan menghadapi kematian. Orang yang tidak beragama
tidak percaya adanya kematian.
4. Pengaruh tataran usia dalam menghadapi kematian adalah Masa
kanak-kanak: Masa ini dimulai sejak bayi dan mayoritas peneliti
percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep dasar tentang kematian.
Bayi lebih mengembangkan keterikatan dengan pengasuh dan mereka
dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta
kecemasan dalam proses ini. Pada usia 3-5 tahun, anak sedikit atau
tidak sedikitpun memiliki pandangan terhadap kematian. Dalam suatu
penelitian pada anak usia 3-5 tahun mengenai persepsi kematian,
didapati bahwa anak menolak kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya
akan kematian namun hanya minoritas anak. Anak usia 9 tahun ke
atas mengenali kematian dan universalitasnya. Masa Remaja:
Pandangan remaja mengenai kematian tidak terlalu jelas. Remaja
mengembangkan konsep yang abstrak tentang kematian. Remaja
menggambarkan kematian sebagai kegelapan, cahaya, transisi, atau
ketiadaan sama sekali. Kematian juga di pandangnya sebagai akhir
yang harus dialami oleh setiap manusia dan mati merupakan bencana
alam yang besar, oleh karena itu, remaja merasa takut. Ia tidak ingin
menghayal bahwa ia akan terlepas dari kematian, akan tetapi ia
mencari keyakinan logis yang lebih mendalam. Masa Dewasa: Pada
usia dewasa awal individu belum menunjukkan pemahaman khusus

8
mengenai kematian dan meningkat pada usia dewasa tengah ditandai
dengan berkembangnya pemikiran tentang akhir hidup. Memasuki
dewasa akhir atau usia lanjut, manusia sudah mulai aktif memikirkan
perjalanan hidup dibalik kehidupan dunia nyata. Sudah dibayang-
bayangi oleh kematian. Bayangan seperti itu semakin nyata,dan berat
dirasakan, saat dihadapkan pada musibah kematian keluarga atau
orang-orang terdekat. Di kala itu muncul "rasa kehilangan".
Terbayang oleh kenangan masa silam. Kenangan yang menjadi beba
psikologis, khususnya bagi mereka yang sudah menginjak periode
manula.

DAFTAR PUSTAKA

al-Hasyim, Muhammad Firdaus, Hikmah Mengenang Mati, Jatim :


Putra Belajar, 2000.
Asmani, Jamal Ma'mur, Rasanya 7 Malam Pertama Di Alam
Kubur, Jogjakarta : Diva Press, 2013.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Rajawali Pers, 2015.

Anda mungkin juga menyukai