Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan yang terjadi segera setelah melahirkan dapat disebabkan oleh banyak
penyebab. Sekitar separuh dari kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh kausa
pascapartum dini ini. Jika dijumpai perdarahan yang berlebihan, etiologi spesifiknya perlu
dicari. Atonia uterus, retensi plasenta termasuk plasenta akreta dan variannya, serta laserasi
saluran genital merupakan penyebab tersering perdarahan dini.
Perdarahan intrapartum atau pascapartum dini yang parah kadang-kadang diikuti oleh
kegagalan hipofisis (sindrom sheehan) yang ditandai oleh kegagalan laktasi, amenore, atrofi
payudara, rontoknya rambut pubis dan aksila, hipotiroidisme, dan insufisiensi korteks
adrenal. Insidensi sindrom sheehan semula diperkirakan adalah 1 per 10.000 persalinan. Di
Amerika Serikat, sindrom ini tampaknya sudah semakin jarang dijumpai.
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi
secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat
diperkirakan jauh sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan
perdarahan postpartum anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah,
rotasi forseps, setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah
seksio sesarea (VBAC) atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan
dapat diperkirakan apabila digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalamm konsentrasi tinggi
yang menyebabkan relaksasi uterus (Gilstrap dkk, 1987).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perdarahan pasca persalinan?
2. Bagaimana fisiologi dari atonia uteri?
3. Bagaimana patofisiologi dari atonia uteri?
4. Apa saja etiologi dari atonia uteri?
5. Bagaimana faktor predisposisi dari atonia uteri?
6. Bagaimana tanda dan gejala dari atonia uteri?
7. Bagaimana manifestasi klinis dari atonia uteri?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari atonia uteri?
9. Bagaimana pencegahan dari atonia uteri?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan atonia uteri?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian perdarahan pasca persalinan.
2. Mengetahui fisiologi dari atonia uteri.
3. Mengetahui patofisiologi dari atonia uteri
4. Mengetahui etiologi dari atonia uteri.
5. Mengetahui faktor predisposisi dari atonia uteri.
6. Mengetahui tanda dan gejala dari atonia uteri.
7. Mengetahui manifestasi dari atonia uteri.
8. Mengetahui penatalaksanaan dari atonia uteri
9. Mengetahui pencegahan dari atonia uteri.
10. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan atonia uteri.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Perdarahan Pasca Persalinan
Perdarahan setelah melahirkan adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat
implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan traktus di sekitarnya, atau keduanya.
Dengan demikian perdarahan postpartum merupakan penjelasan suatu kejadian dan bukkan
diagnosis. Di inggris, separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh proses
postpartum (Bonnar 2000). Apabila terjadi perdarahan berlebihan, harus dicari etiologi yang
spesifik. Atonia uteri, retensi plasenta-termasuk plasenta akreta dan variannya, serta laserasi
traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar kasusu perdarahan postpartum. Dalam
20 tahun terakhir, plasenta akreta telah mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab tersering
perdarahan postpartum yang keparahanya mengharuskan dilakukannya histerektomi(Chestnul
dkk, 1985; Clark dkk., 1984; Zelop dkk., 1993 ).
Secara tradisional, perdarahan pascapartum didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml
atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah sesar. Wanita
dengan hipervolemia normal akibat kehamilan biasanya mengalami peningkatan volume
darah sebesar 30 hingga 60 persen yang bagi kebanyakan wanita, berarti 1 sampai 2 liter.
Oleh karena itu, wanita yang bersangkutan akan menoleransi pengeluaran darah, tanpa
mengalami penurunan yang nyata dalam hematokrit yang mendekati volum darah yang ia
tambahkan selama hamil. Meskipun pengeluaran darah yang melebihi 500 ml beluum pasti
merupakan suatu kejadian abnormal untuk persalinan pervaginam, namun kehilangan darah
yang sebenarnya biasanya dua kali lipat dari pada yang diperkirakan. Oleh karena itu,
perkiraan kehilangan darah yang lebih dari 500 ml seyogyanya menimbulkan peringatan
bahwa wanita yang bersangkutan sedang mengalami perdarahan hebat.
1. Definisi Atonia Uteri
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah
dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal,
Depkes Jakarta ; 2002).
Setelah plasenta lahir, fundus harus selalu di palpasi untuk memastikan bahwa uterus
berkontraksi dengan baik. Kegagalan uterus untuk berkontraksi setelah melahiirkan sering
menjadi penyebab perdarahan obstetris. Faktor predisposisi atonia uteri diperlihatkan di Tabel
56-1. Pembedahan antara perdarahan akibat atonia uterus dan akibat laserasi secara tentatif di
dasarkan pada kondisi uterus. Uterus yang atoniik akanlembek dan tidak keras pada palpasi.
Jika tetap terjadi perdarahan meskipun uterus berkontraksi dengan kuat, kausa perdarahanya
kemungkinan besar adalah laserasi. Darah yang merah segar juga mengisyaratkan laserasi.
Uuntuk memastikan peran laserasi sebagai kausa perdarahan, harus dillakukan pemeriksaan
yang cermat terhadap vagina, serviks dan uterus.
Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh atonia dan trauma, terutama setelah
pelahiran operatif mayor. Secara umum, setelah setiap kelahiran harus dilakukan inspeksi
terhadap inspeksi terhadap serviks dan vagina untuk mengidentifkasi perdarahan akibat
laserasi. Anestesi harus adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman selama pemeriksaan ini.
Pemeriksaan ringga uterus, serviks dan seluruh vagina merupakan hal yang esensial setelah
ekstraksi bokong, setelah versi podalik iinterna, dan setelah persalinan pervaginam pada
seorang wanita dengan riwayat sesar. (Leveno, Kennethj. 2009.)
2.2 Fisiologi
Kontrol normal perdarahan di tempat pelekatan plasenta.
Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/ mnt darah mengalir melalui
ruang antarvilus. Saat plasenta terlepas, banyak arteri dan vena yang menyalurkan darah
menuju dan dari plasenta terputus secara mendadak. Di tempat implantasi plasenta,
diperlukan kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh-pembuluh tersebut
dan menyebabkan obliterasi lumen agar perdarahan dapat dikendalikan. Potongan plasenta
atau bekuan darah yang melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi efektif miometrium
sehingga hemostasis di tempat implantasi tersebut terganggu. Jika miometrium di tempat
implantasi plasenta dan disekitarnya berkontraksi dan beretraksi dengan kuat, kecil
kemungkinan terjadi perdarahan yang fatal meskipun terjadi gangguan mekanisme
pembekuan yang hebat.
Selama kala tiga persalinan, akan terjadi perdarahan tak-terhindarkan yang
disebabkan oleh pemisahan parsial sementara plasenta. Sewaktu plasenta terlepas, darah dari
tempat implantasi dapat cepat lolos kedalam vagina (pemisahan duncan) atau tersembunyi di
balik plasenta dan membran (pemisahan schultze) sampai plasenta lahir. Pengeluaran plasenta
harus diupayakan melalui tekanan manual di fundus seperti di jelaskan di Bab 19. Turunnya
plasenta ditandai oleh kendurnya tali pusat. Jika perdarahan menetap, diindikasikan
pengeluaran plasenta secara manual. Uteus harus di pijat jika tidak berkontraksi dengan kuat.
(Leveno, Kennethj 2009).
2.3 patofisiologi
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi
secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat
diperkirakan jauh sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan
perdarahan postpartum anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah,
rotasi forseps, setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah
seksio sesarea (VBAC) atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan
dapat diperkirakan apabila digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalam konsentrasi tinggi
yang menyebabkan relaksasi uterus (Gilstrap dkk, 1987).
Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar mengalami hipotonia
setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin multipel, atau
hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri. Kehilangan darah pada persalinan
kembar, sebagai contoh, rata-rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak (pritchard,
1965). Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga
dengan kemuungkinan mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah
melahirkan.
Demikian juga, persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan
mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. Wanita dengan paritas tinggi mungkin
berisiko besar mengalami atonia uteri. Fucs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir
5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum
sebesar 2,7 persen pada para wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan
populasi obstetri umum. Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum
sebesar 0,3 persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan
para 4 atau lebih.
Risiko lain adalah wanita yang bersangkutan perbah mengalami perdarahan
postpartum. Akhirnya, kesalahan penatalaksanaan persalinan kala tiga berupa upaya untuk
mempercepat pelahiran plasenta selain dari pada mengeluarkannya secara manual. Pemijatan
dan penekanan secara terus menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat
mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak
sempurna dan pengeluaran darah meningkat.
2.4 Etiologi
Overdistensi uterus,baik absolut maupuun relatif, merupakan faktor resiko mayor
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin
makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan
struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah
di uterus baik sebelum maupun plasenta lahir. Lemahnya kontraksi moimetrium merupakan
akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama
biila mendapatkan stimmulasi.
Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari iinhibisi kontraksi yang disebabkan oleh
obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid,
magnesium sulfat, beta simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis,
septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan
hipotermia akibat resusitasi masif.
Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko
independen untuk terjadinya perdarahan postpartum.(Buku Ajar Obstetri, 2010).
Faktor penyebab terjadinya atonia uteri adalah :
1) Atonia Uteri
a. Umur : Umur yang terlalu muda atau tua
b. Paritas : Sering dijumpai para multipara dan grandemultipara
c. Partus lama dan partus terlantar
d. Obstein operatif dan narkosa
e. Uterus terlalu tegang dan besar, misalnya pada gemeli, hidramnion, atau janin besar
f. Kelainan pada uterus, seperti mioma uteri, uterus cauvelair pada solusio plasenta.
g. Faktor sosio ekonomi, yaitu mamumsi
2) Sisa plasenta dan selaput ketuban
3) Jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, famiks dan rahim.
4) Penyakit darah
5) Kelainan pembekuan darah misalnya hipofibrinogenemia
6) Perdarahan yang banyak
7) Solusio plasenta
8) Kematian janin yang lama dalam kandungan
9) Pre-eklamsi dan eklamsi
10) Infeksi, hepatitis dan septik syok

2.5 Faktor Predisposisi


Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
1) melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal
ini dapat menurunkan insidens perdarahan yang pasca persalinan akibat atonia uteri.
2) Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 g) segera setelah bayi lahir.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah:
1) regangan rahim yang berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak teralu
besar.
2) Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
3) Persalinan grande-multipara.
4) Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis atau menderita penyakit menahun.
5) Mioma uteri yangmenggangu kontraksi rahim.
6) Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
7) Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
2.6 Tanda dan Gejala Atonia Uteri
1. perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi pada
kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak
mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
2. konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan
penyebab perdarahan yang lainnya.
3. fundus uteri naik.
4. terdapat tanda-tanda syok
a) nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
b) tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
c) pucat
d) keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
e) pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f) gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
g) urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)
2.7 Manifestasi Klinis
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek.
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
Gejala klinis umum yang terjadi ialah kehhilangan darah dalam jumlah banyak > 500
ml ), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih dan dapat terjadi
syol hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
Gejala klinis berdasarkan penyebab :
1. Atonia Uteri
Gejala yang selalu ada : uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera
setelah anak lahir ( perdarahan post partum primer ).
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terleppasnya sebagian plasenta dari rahim
dan sebagian lagi belum ; karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atonia
uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama ; pembesaran rahim
yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar ; persalinan
yang serin ( multiparitas ) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada
usaha mengeluarkan plasenta dan mendorng rahim ke bawah sementara plasenta belum epas
dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila ada
perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah
sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan atonia uteri, rahim membesar dan
lembek.
Tearapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus diobati karena
perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang ibu yang telah mengalami
anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan berikutnya
harus di rumah sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah.
Rahim jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan supaya penghentian perdarahan
sepecap mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia
uteri dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak
memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat dilakukan kompresi baimanual pada
rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa ke
dalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada
kemungkinan dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau
pengangkatan rahim.
2.8 Penatalaksanaan
1. kenali dan tegakan diagnosis kerja atonia uteri
2. masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan
berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
3. Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon
uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
4. Kompresi bimanual eksternal, menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang
keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat
kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal.
5. Kompresi bimanual internal, uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen
dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah didalam miometrium (sebagai
pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini
bla perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabia
perdarahan tetap terjadi, coba kompresi aorta abdominalis.
6. Kompresi aorta abdominalis, raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan
posisi tersebut, genggam tangan kanan kemuadian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan
menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan
memperhatikan perdarahan yang terjadi.
7. Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin/ergometrin, bisa dicoba prostaglandin
F2a (250 mg) secara intramuskular atau langsung pada miometrium (transabdominal). Bila
perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
8. Laparotomi dilakukan bila uterus tapi lembek dan perdarahan yang terjadi tetap>200 ml/jam.
Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita
yang belum punya anak atau muda sekali).
9. Bila tidak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
2.9 Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan
kebutuhan transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat,
dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.
Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala
III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10
unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika
untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-
acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-
10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV
dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih
efektif dibanding oksitosin.

1. Oksitosin
Jika uterus tidak keras, diindikasikan pemijatan fundus kuat-kuat. Dua puluh unit (2 ampul)
oksitosin dalam 1000 ml ringer laktat atau salin normal umumnya efektif jika diberikan
secara intravena dengankecepatan sekitar 10 ml/mnt (200 Mu oksitosin per menit) dibarengi
dengan pemijatan uterus. Oksitosin jangan diberikan sebagai dosisi bolus yang tidak
diencerkan karena
2. Turunan Ergot
Jika oksitosin yang disalurkan secara cepat melalui infus terbukti tidak efektif, sebagian
dokter memberikan metilergonovin (Mathergine), 0,2 mg, secara intramuskulus atau
intravena. Obat ini dapat merangsang uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan.
Jika diberikan secara intravena, metilergonovin dapat menyebabkan hipertensi yang
berbahaya, teutama pada wanita preeklamsia.
3. prostaglandin
Turunan 15 methyl dari prostaglandin F2 (Hemabate) juga dapat digunakan untuk mengatasi
atonia uterus. Dosis awal yang dianjurkan adalah 250 g (0,25 mg) secara intramuskulus, dan
hal ini diulangi jika diperlukan dengan interval 15 hingga 90 menit hingga maksimum 8
dosis. Selain kontriksi vaskuler dan saluran napas paru, efek samping lain adalah diare,
hipertensi, muntah, demam, flushing dan takikardi.
4. Perdarahan yang tidak responsif terhadap oksitosik
Perdarahan yang berlanjut setelah beberapa kali pemberian obat oksitosik mungkin berasal
dari laserasi jalan lahir, termasuk dari pada beberapa kasus ruptur uterus. Karena itu, jika
perdarahan menetap, jangan membuang-buang waktu dengnan melakukan upaya-upaya acak
untk menghentikan perdarahan, tetapi harus segera dimulai suatau penatalaksanaan seperti di
Tabel 56-2. Dengan transfusi dan kompresi uterus dengan tangan serta oksitosin intravena,
jarang diperlukan tindakan tambahan. Bila atonia tidak teratasi, mungkin diperlukan
histerektomi sebagai tindakan untuk menyelamatkan nyawa. Cara lain yang mungkin berhasil
adalah ligasi arteri uterina, ligasi arteri illiaka interna, atau embolisasi angiografik.
Ligasi Arteri Iliaka Interna
Pengikatan arteri iliaka interna kadang-kadang mengurangi secara bermakna perdarahan
akibat atonia uterus. Operasii ini lebih mudah dilakukan jika insisi digaris tengah abdomen
diperluas keatas melewati umbilikus. Ligasi arteri iliaka interna mengurangi tekanan nadi di
arteri sebelah distal dari ikatan sehingga mengubah sistem tekanan arteri menjadi tekanan
yang mendekati tekanan di sirkulasi vena yang lebih mudah dihentikan melalui pembentukan
bekuan biasa. Ligasi bilateral kedua arteri tampaknya tidak secara serius menggangu
kemampuan reproduksi selanjutnya. (Leveno, Kennethj 2009 ).
TABEL 56-2 penatalaksanaan perdarahan yang tidak responsif terhadap oksitosik
1) Lakukan penekanan uterus bimanual (Gbr. 56-3). Tekniknya adalah melakukan pemijatan
aspek posterior uterus dengan tangan di abdominal dan pemijatan bagian depan uterus
melalui vagina dengan kepalan yang lain. Tindakan ini akan mengatasi sebagian besar
perdarahn.
2) Minta bantuan!
3) Mulai transfusi darah. Golongan darah semua pasien obstetris harus diketahui, jika
mungkin, sebelum persalinan, serta lakukan uji coombs indirek untuk mendeteksi
antibodi eritrosit. Jika yang terakhir iini negatif, tidak diperlukan pencocokan-silang
darah. Pada kedaruratan yang ekstrem, pasien diberi packed red blood cells golongan O
negatif D (donor universal).
4) Lakukan eksplorasi uterus dengan tangan untuk mencari potongan plasenta yang
tertinggal atau laserasi.
5) Dengan cermat lakukan inspeksi atau serviks dan vagina setelah kedua struktur ini
dipajankan.
6) Pasang kateter intravena kaliber besar yang kedua sehingga pasien dapat diberi
7) kristaloid olus oksitosin bersamaan dengan transfusi darah.
8) Dipasang kateter foley untuk memantau haluaran urine yang merupakan indikator yang
baik untuk menilai perfusi ginjal.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN ATONIA UTERI
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Pengkajian yang benar dan
terarah akan mempermudah dalam merencanakan tindakan dan evaluasi dari tidakan yang
dilakasanakan. Pengkajian dilakukan secara sistematis, berisikan informasi subjektif dan
objektif dari klien yang diperoleh dari wawancara dan pemeriksaan fisik. Pengkajian terhadap
klien post meliputi:
A. Anamnesa
1. Identitas klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record dan
lain lain.
2. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik, hemofilia, riwayat pre
eklampsia, trauma jalan lahir, kegagalan kompresi pembuluh darah, tempat implantasi
plasenta, retensi sisa plasenta.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: kehilangan darah dalam jumlah banyak (>500ml),
Nadi lemah, pucat, lokea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih, tekanan darah rendah,
ekstremitas dingin, dan mual.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita hipertensi, penyakit jantung,
dan pre eklampsia, penyakit keturunan hemopilia dan penyakit menular.
3. Riwayat obstetrik
a) Riwayat menstruasi meliputi: Menarche, lamanya siklus, banyaknya, baunya , keluhan waktu
haid, HPHT
b) Riwayat perkawinan meliputi : Usia kawin, kawin yang keberapa, Usia mulai hamil
c) Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu
1) Riwayat hamil meliputi: Waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus, retensi plasenta.
2) Riwayat persalinan meliputi: Tua kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat bersalin,
apakah ada kesulitan dalam persalinan anak lahir atau mati, berat badan anak waktu lahir,
panjang waktu lahir.
3) Riwayat nifas meliputi: Keadaan lochea, apakah ada pendarahan, ASI cukup atau tidak dan
kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi
d) Riwayat Kehamilan sekarang
1) Hamil muda, keluhan selama hamil muda
2) Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan, suhu, nadi,
pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual, keluhan lain
3) Riwayat antenatal care meliputi : Dimana tempat pelayanan, beberapa kali, perawatan serta
pengobatannya yang didapat
Pola aktifitas sehari-hari.
a.) Makan dan minum, meliputi komposisi makanan, frekuensi, baik sebelum dirawat maupun
selama dirawat. Adapun makan dan minum pada masa nifas harus bermutu dan bergizi, cukup
kalori, makanan yang mengandung protein, banyak cairan, sayur-sayuran dan buah buahan.
b.) Eliminasi, meliputi pola dan defekasi, jumlah warna, konsistensi. Adanya perubahan pola
miksi dan defeksi. BAB harus ada 3-4 hari post partum sedangkan miksi hendaklah
secepatnya dilakukan sendiri (Rustam Mukthar, 1995 )
c.) Istirahat atau tidur meliputi gangguan pola tidur karena perubahan peran dan melaporkan
kelelahan yang berlebihan.
d.) Personal hygiene meliputi : Pola atau frekuensi mandi, menggosok gigi, keramas, baik
sebelum dan selama dirawat serta perawatan mengganti balutan atau duk.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
a.) Mulut : bibir pucat
b.) Payudara : hyperpigmentasi, hipervaskularisasi, simetris
c.) Abdomen : terdapat pembesaran abdomen
d.) Genetalia : terdapat perdarahan pervaginam
e.) Ekstremitas : dingin
2. Palpasi
a.) Abdomen : uterus teraba lembek, TFU lebih kecil daripada UK, nyeri tekan, perut teraba
tegang, messa pada adnexa.
b.) Genetalia : Nyeri goyang porsio, kavum douglas menonjol.
3. Auskultasi
a.) Abdomen : bising usus (+), DJJ (-)
4. Perkusi
a.) Ekstremitas : reflek patella + / +

I. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan fisik umum meliputi pemeriksaan pada ibu hamil:
1. Rambut dan kulit
a) Terjadi peningkatan pigmentasi pada areola, putting susu dan linea nigra.
b) Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah abdomen dan paha.
c) Laju pertumbuhan rambut berkurang.
2. Mata : pucat, anemis
3. Hidung
4. Gigi dan mulut
5. Leher
6. Buah dada / payudara
a) Peningkatan pigmentasi areola putting susu
b) Bertambahnya ukuran dan noduler
7. Jantung dan paru
a) Volume darah meningkat
b) Peningkatan frekuensi nadi
c) Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan pembulu darah pulmonal.
d) Terjadi hiperventilasi selama kehamilan.
e) Peningkatan volume tidal, penurunan resistensi jalan nafas.
f) Diafragma meninggi.
g) Perubahan pernapasan abdomen menjadi pernapasan dada.
8. Abdomen
a) Menentukan letak janin
b) Menentukan tinggi fundus uteri
9. Vagina
a) Peningkatan vaskularisasi yang menimbulkan warna kebiruan ( tanda Chandwick)
b) Hipertropi epithelium
10. System musculoskeletal
a) Persendian tulang pinggul yang mengendur
b) Gaya berjalan yang canggung
c) Terjadi pemisahan otot rectum abdominalis dinamakan dengan diastasis rectal
II. Pemeriksaan Khusus
Observasi setiap 8 jam untuk mendeteksi adanya tanda-tanda komplikasi dengan
mengevaluasi sistem dalam tubuh. Pengkajian ini meliputi :
1. Nyeri/ketidaknyamananNyeri tekan uterus (fragmen-fragmen plasenta tertahan)
Ketidaknyamanan vagina/pelvis, sakit punggung (hematoma).
2. Sistem vaskuler
a.) Perdarahan di observasi tiap 2 jam selama 8 jam 1, kemudian tiap 8 jam berikutnya
b.) Tensi diawasi tiap 8 jam
c.) Apakah ada tanda-tanda trombosis, kaki sakit, bengkak dan merah
d.) Haemorroid diobservasi tiap 8 jam terhadap besar dan kekenyalan
e.) Riwayat anemia kronis, konjungtiva anemis/sub anemis, defek koagulasi kongenital,
idiopatik trombositopeni purpura.
3. Sistem Reproduksi
a.) Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari post partum, kemudian tiap 8 jam selama
3 hari meliputi tinggi fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya
b.) Lochea diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap warna, banyak dan bau
c.) Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda-tanda infeksi, luka jahitan dan apakah
ada jahitannya yang lepas
d.) Vulva dilihat apakah ada edema atau tidak
e.) Payudara dilihat kondisi areola, konsistensi dan kolostrum
f.) Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran dan fungsi sebelum kehamilan
(sub involusi)
4. Traktus urinarius
Diobservasi tiap 2 jam selama 2 hari pertama. Meliputi miksi lancar atau tidak, spontan dan
lain-lain
5. Traktur gastro intestinal
Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi
6. Integritas Ego : Mungkin cemas, ketakutan dan khawatir
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
2. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel darah
putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak
hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat
hamil 5.000-15.000)
3. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum
4. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
5. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP),
penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin
partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Dx. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus
Tujuan: Nyeri berkurang/hilang
Intervensi:

Observasi skala nyeri, intensitas dan lokasi

Ajarkan teknik relaksasi

Ajarkan mengejan saat pembukaan lengkap

Anjurkan pasien untuk menghemat energi dan istirahat berbaring miring

Rasionalisasi:

Untuk mengetahui tingkat nyeri, intensitas dan lokasi nyeri

Untuk mengurangi kecemasan

Untuk mengurangi penekanan vena kava dan mencegak kelelahan

2. Dx. Resiko infeksi berhubungan dengan laserasi perinium


Tujuan: mengurangi resiko infeksi pada pasien, dengan kriteria tidak demam, bebas dari
tanda-tanda infeksi dan tidak terjadi peningkatan WBC
Intervensi:

Lakukan perawatan luka perineum


Tingkatkan intake nutrisi

Monitor tanda dan gejala infeksi

Gunakan universal precaution setiap melakukan tindakan

Kolaborasi pemberian antibiotic yang diresepkan

Rasionalisasi:

Perawatan luka yang tepat mencegah risiko infeksi

Intake nutrisi yang seimbang, menjaga daya tahan tubuh

Deteksi dini, mempercepat penanganan lanjut

Universal precaution untuk pencegahan transfer bakteri penyebab infeksi

Antibiotic harus diberikan untukmencegah infeksi.

3. Dx. Cemas berhubungan dengan krisis situasional


Tujuan: pasien menunjukkan tanda kecemasan baik melalui verbal (menyatakan cemas
berkurang) maupun nonverbal (ekspresi wajah tidak cemas)
Intervensi:

Gunakan teknik komunikasi terapeutik

Anjurkan kepada pasien untuk mengungkapkan kecemasan yang dirasakan

Informasikan kepada pasien prosedur tindakan

Ajarkan teknik relaksasi

Rasionalisasi:

Memberikan rasa metenangan kepada pasien ketika kontak langsung

Memberikan kesempatan untuk mengungkapkan rasa cemas yang dirasakan

Pasien mengerti dengan tindakan sehingga dapat mengurangi kecemasan

Mengurangi sensasi nyeri

4. Dx. Resiko deficit volume cairan berhubungan dengan perdarahan


Tujuan : pasien menunjukkan mata tidak cekung, turgor kulit baik, membrane mucus basah
Intervensi :

Penuhi kebutuhan cairan


Monitor status hemodinamik

Jaga keakuratan catatan intake dan output

Monitor tanda dan gejala retensi cairan

Monitor vital sign

Rasionalisasi :

Untuk mencegah kekurangan volume cairan

Mengetahui status hemodinamik

Mengetahui intake dan output secara pasti

Mendeteksi tanda dan gejala dini

Mengetahui kondisi tubuh.

BAB III
TINJAUAN JURNAL
HUBUNGAN PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD) DENGAN
KEJADIAN ATONIA UTERI PADA IBU BERSALIN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KAUMAN KECAMATAN KAUMAN KABUPATEN TULUNGAGUNG
TAHUN 2012

A. PEMBAHASAN
Secara teori banyak manfaat IMD untuk ibu dan bayi, salah satunya mencegah
perdarahan post partum yang disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri sebenarnya
bisa dikurangi dengan IMD dalam kurun waktu kurang dari 30 menit setelah bayi
lahir. Kurangnya kesadaran dari petugas kesehatan medis juga keengganan untuk
melakukannya membuat IMD jarang dipraktekkan. Di indonesia hanya 4% bayi yang
mendapat ASI dalam 1 jam pertama kelahirannya, sedangkan perdarahan akibat atonia
uteri masih 39%. Data survey awal tahun 2009-2010 di wilayah kerja Puskesmas
Kauman Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung
Penelitian ini dilaksanakan pada 8 Februari- 14 Maret 2012. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional. Desain
penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi adalah seluruh ibu
bersalin dengan estimasi pada saat penelitian sebanyak 60 ibu bersalin. Peneliti
menggunakan accidental sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 40
responden. Data yang diperoleh diproses dan dilakukan analisa dengan melakukan
editing, coding, scoring, tabulating. Peneliti menggunakan tehnik uji kai kuadrat
manual.
B. IMPLIKASI
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari total 40 responden
sebagian besar bayi 27 (67,5%) telah berhasil melakukan IMD dan ibu bersalin
tidak mengalami atonia uteri. Berdasarkan uji kai kuadrat dengan X tabel 3,84
didapatkan X hitung 4,37 > 3,84 sehingga Ho ditolak dan H1 diterima, yang
berarti menyatakan ada hubungan antara pelaksanaan IMD dengan kejadian
atonia uteri. IMD merupakan permulaan menyusu dini segera setelah lahir,
dimana hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan bayi di puting susu dan
sekitarnya, emutan, dan jilatan bayi pada puting ibu merangsang pengeluaran
hormon oksitosin yang dapat membantu rahim berkontraksi sehingga membantu
pengeluaran plasenta dan mengurangi perdarahan ibu. Pelaksanaan IMD sangat
penting dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian ibu akibat atonia uteri
atau perdarahan pascapersalinan. Karena dengan pelaksanaan IMD dapat
merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang membantu rahim berkontraksi
sehingga mengurangi perdarahan ibu dan dapat menekan kejadian atonia uteri.

C. REKOMENDASI
1. Bagi Peneliti
Diharapkan menjadi tambahan pengalaman bagi peneliti dalam
melakukan penelitian kepada masyarakat khususnya tentang IMD dan
atonia uteri.
2. Bagi Institusi
Diharapkan dapat dijadikan tambahan wacana sehingga dapat
menambah wawasan bagi mahasiswa kebidanan khususnya, dan
masyarakat pada umumnya.
3. Bagi Responden
Diharapkan ibu hamil dapat meningkatkan wawasan dalam
mengusahakan pelaksanaan IMD.
4. Bagi Tempat Penelitian (wilayah kerja puskesmas kauman) Diharapkan
dapat meningkatkan mutu pelayanan yang lebih berkualitas dalam
penerapan APN dan mengembangkan rencana asuhan kebidanan.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus / kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi
dan plasenta lahir. Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin
karena hal ini dapat menurunkan insiden pendarahanpasca persalinan akibat atonia
uteri.Pemberian misoprostol peroral 2 3 tablet (400 600 g) segera setelah bayi lahir.
Regangan rahim berlebihan karena gemeli, polihibramnion, atau anak terlalu besar. Kelelahan
karena persalinan lama atau persalina kasep. Kehamilan grande-multipara. Ibu dengan
keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun. Mioma uteri yang
menggangu kontraksi rahim. Infeksi intrauterin (korioamnionitis). Ada riwayat pernah atonia
uteri sebelumnya.
4.2 Saran
Diharapkan perawat serta tenaga kesehatan lainnya mampu meminimalkan faktor risiko
dari atonia uteri demi mempertahankan dan meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan
anak. Selain itu , mahasiswa dengan latar belakang medis sebagai calon tenaga kesehatan
mampu menguasai baik secara teori maupun skil untuk dapat diterapkan pada masyarakat
secara menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

MC. Closky J dan Bulaceck G. 2002. Nursing Outcome Clasification. (NOC).Mosby.


Philadelphia
MC. Closky J dan Bulaceck G. 2002. Nursing interventions Clasification. (NIC).Mosby.
Philadelphia
Nanda (2005-2006), Diagnosa Nanda NIC & NOC..2007-2008. Philadelphia USA

Anda mungkin juga menyukai