Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kampung Tradisional di Ngada


a. Belaraghi
Pergi ke Belaraghi, sebuah dusun
tradisional yang masih
mempertahankan hampir seluruh
aspek tradisi masyarakat Ngada,
sebaiknya dilakukan pagi hari
karena selain dusunnya yang
menjadi tujuan utama juga semua
keaslian dan perkembangan
masyarakat yang dilalui di
sepanjang jalan menuju Aimere
begitu menarik.
Ngada terkenal karena jeratan daya tarik masyarakatnya yang memilih untuk
mempertahankan gaya hidup yang tradisional. Sebenarnya kita tak pernah tahu kemampuan
mereka untuk dapat memiliki berbagai hal seperti masyarakat kontemporer lainnya. Akan
tetapi, secara jelas mereka nampak cukup bahagia dengan apa yang mereka punya.
Di titik puncak keaslian dan jauh dari popularitas yang disandang desa tradisional
lainnya, Belaraghi seperti museum kehidupan masyarakat Ngada. Kehidupannya terpisah
dari keramaian dengan bentang alam yang menjadi benteng alam sekaligus jembatan yang
tak mudah dilalui. Dalam satu aspek kepentingan, keterpencilan ini menjadi sebuah
keuntungan karena dengannya keaslian dan otentisitas dusun ini akan lebih lama terjamin
dan tidak akan berubah modern terlalu cepat. Di sisi lain, bentang alam yang tak mudah ini
masih memerlukan pengembangan infrastruktur dan fasilitas yang bertanggung jawab.
Bagi warga Belaraghi, berjumpa tamu yang mengunjungi dusun mereka bagaikan
cinta pada pandangan pertama. Mereka akan menyambut dengan suka cita dan menuangkan
segala kerinduan pada tamu yang mereka nanti-nantikan dengan menyediakan suguhan-
suguhan kehormatan. Di rumah tamu, rebus ubi, pisang, dan talas disuguhkan dengan kopi
atau arak. Sambal cabe rawit Flores tak lupa disertakan dalam piring sederhana. Tak lama,
makan siang yang merupakan bagian dari tradisi ti'i ka ebunusi, yaitu menyajikan masakan
untuk leluhur, dipersembahkan dengan mengorbankan seekor babi hutan yang banyak
dipelihara masyarakat Flores.
Arti pengunjung bagi warga Belaraghi ialah tamu, bukan wisatawan. Maka dari itu,
sikap penghormatan tak setengah hati dan dilakukan di rumah tamu, sao one, salah satu
rumah paling sakral karena tamu dikenalkan kepada para leluhur.

2
Warga Belaraghi memiliki komitmen mempertahankan bentuk rumah tradisional
mereka, bukan semata-mata untuk wisatawan tetapi memang tak ada keinginan merubah
tradisi atap rumbia dan ijuk menjadi seng dan antena parabolanya serta listrik yang
berseliweran di ubun-ubun rumah tradisional mereka yang sakral.
Enam belas rumah tradisional yang mereka pertahankan tersusun dalam dua jajar saling
berhadapan. Uniknya, di Belaraghi, pelataran di depan rumah lebih tinggi dari fondasi rumah
beratap daun rumbia. Lima rumah di antaranya berjuluk sao pu'u, atau rumah asal yang
memiliki ornamen rumah kecil di ujung atapnya. Lima rumah lainnya ialah sao lobo atau
rumah terakhir yang memiliki ornamen tubuh manusia di atapnya. Sisanya dijuluki sao kaka,
dimana kata kaka artinya berbagi. Sao kaka diperlakukan sebagai anak dari rumah asal dan
rumah terakhir.
Di Belaraghi terdapat lima klan atau keluarga dengan masing-masing ngadhu dan
bhaga. Ngadhu ialah payung seolah laki-laki dengan perannya melindungi dan memberikan
keteduhan, menjadi simbol leluhur laki-laki. Saat dipahat dari batang pohon di hutan dan
dibawa ke desa, para perempuan seluruhnya harus masuk rumah karena roh leluhur laki-laki
tengah datang menuju batang ngadhu.
Bhaga ialah simbol leluhur perempuan dengan bentuk payung yang lebih kecil. Walau
demikian, para warga laki-laki sajalah yang akan meletakkan payung bhaga di tempat sakral
di tepi ngadhu. Seperti halnya seluruh masyarakat di Flores, formasi batuan yang ditumpuk
seolah merajut kuat tradisi megalitik, adalah perlambang jalur komunikasi antara manusia
dengan roh leluhur. Selain ngadhu dan bhaga, altar meja besar yang disebut lenggi, biasa
disimpan di setiap desa tradisional yang fungsinya menyelesaikan permasalahan antara klan
dalam dusun.

b. Kampung Gurusina

Gurusina merupakan salah satu kampung adat yang terdapat di Kabupaten Ngada.
Terletak di Kecamatan Jerebuu dengan jarak 16k m dari Aimere dan 21 km dari Ibukota
Bajawa. Keunikan perkampungan adat Gurusina ini misalnya, selain dilatari dengan gunung
Inerie, juga dalam lokasi pemukiman, seluruh rumah adat terbuat dari bambu dan atap alang-
alang. Sedangkan di beberapa rumah induknya, terdapat hiasan rumah di atas
atapnya. Hiasan rumah di atas atap ini menandakan bahwa rumah adat ini merupakan rumah

3
adat utama. Pada bagian depan setiap rumah adat juga, terdapat pajangan tanduk kerbau.
Tanduk kerbau ini menandakan kejayaan dan kebesaran akan harta dan kekayaan setiap
warga penghuni rumah adat di sini.
Keunikan lainnya pada rumah adat ini ialah, di setiap pintu utama tepatnya di bagian
atas pintu masuk depan, diberi ukiran kayu dengan nama rumah. Lantai rumahnya pun tanpa
semen, melainkan menggunakan pelepah bambu. Di setiap papan penyangga lantai terdapat
ukiran berbentuk bungan dan binatang.
Di bagian tengah perkampungan adat Gurusina ini, terdapat tiga buah rumah kecil,
yang bahan bangunannya sama persis dengan bahan bangunan rumah adatnya. Fungsi dari
ketiga rumah ini, adalah sebagai tempat penyimpanan harta benda serta kekayaan suku
Gurusina.
Di tengah perkampungan ini juga terdapat tiga buah lopo yang dipercaya warga
kampung Gurusina sebagai tempat peristirahatan para leluhur mereka. Di kampung adat ini
setiap warga lansia, sehari-hari mempunyai pekerjaan khusus, diantaranya memecahkan buah
kemiri dan menjemur hasil bumi lainnya di halaman rumah.

c. Kampung Bena

Kampung Bena merupakan salah satu perkampungan adat yang ada di kabupaten
Ngada yang hingga saat ini masih memegang kuat tradisi budaya yang diwarisinya dari
nenek moyang mereka. Terletak di kaki gunung Inerie, membuat kampung yang terkenal
dengan rumah adat Bena ini tidak hanya menawarkan keunikan rumah dan tradisinya, tapi
juga pemandangan gunung Inerie yang menakjubkan mata setiap orang yang melihatnya.
Kampung ini memiliki lebih dari 40 buah rumah yang saling berhadap-hadapan.
Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari
utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi
tebing terjal. Mata pencaharian penduduk kaum laki-laki adalah berladang dan kaum
perempuan adalah menenun untuk dijual ke para wisatawan ataupun ke pelosok kota Bajawa
Ngada. Para wisatawan yang datang pun tidak hanya dari lokal juga dari Manca negara

4
seperti dari Belanda, Jepang, Belgia, dan negara Eropa lainnya (setidaknya itu yang saya
baca dari buku tamu).

2.2 Ngadhu dan Bhaga

Ngadhu dan Bhaga, awalnya dibangun oleh keturunan ketiga dari masyarakat budaya
Reba. mereka yang seketurunan membentuk satu-kesatuan yang disebut woe. Ngadhu
menjadi personifikasi atau simbol kehadiran leluhur lelaki dari satu woe. Sebuah Ngadhu
mempunyai namanya sendiri. Nama sebuah Ngadhu diambil dari nama leluhur pokok lelaki.
Ngadhu, bagi masyarakat budaya Reba merupakan monumen pengganti rupa dari para
leluhur lelaki dari suatuwoe yang adalah satu-kesatuan hukum adat yang berdasarkan
keturunan adat. Sedangkan Bhaga adalah monumen pengganti rupa leluhur pokok
perempuan dari setiap woe (klan).
Ngadhu dan Bhaga; monumen pengganti rupa dari suami dan isteri pokok dan
sekaligus menjadi panutan bagi suami isteri. Ngadhu dan Bhaga, suami isteri teladan yang
berlandaskan kesucian. Mereka berwibawa dan berhasil membangun bahtera keluarga yang
serasi dan harmonis. Keturunannya berkembang biak penuh kewibawaan dan berhasil pula.
Simbol Seorang Pemimpin
Ngadhu dan Bhaga menjadi lambang pemimpin-pemimpin keluarga yang disebut
Mosa. Ngadhu adalah pemimpin (mosa) dan kepala keluarga yang berperan sebagai nahkoda
yang mengemudi bahtera keluarga, suku dan masyarakat. Ngadhu menjadi simbol pemimpin
yang bersifat kebapaan, penuh wibawa dan kasih sayang. Ngadhu menjadi simbol pemimpin
yang dihormati karena dia menjaga dan menjamin kesejahteraan keluarga.Bhaga adalah juga
pemimpin (mosa) di dalam keluarga, suku dan masyarakat karena kasih keibuannya yang
sangat berperan di dalam rumah tangga.
Bagi masyarakat Ngada, yang paling utama dari Ngadhu dna Bhaga bukan papan,
ilalang, ataupun kayu yang diukir yang begitu indah serta diberi atap yang menawan, tetapi
yang terutama adalah penghormatan kepada leluhur lelaki dan leluhur perempuan. Dalam
tradisi mengangkat Ngadhu untuk ditegakkan di pelataran kampung, bagian pucuk berada di
depan sedangkan bagian pangkalnya di belakang. Pada kedua bagian ini berdiri seorang
lelaki dengan pakaian kebesaran. Bagian depan berperan menunjukkan arah sedangkan
bagian belakang memperlihatkan kepemimpinan seorang ibu yang melatarbelakangi Ngadhu

5
(suami; laki-laki; pemimipin) di luar rumah. Ngadhu dan Bhaga berperan sebagai pemimpin
di dalam dan di luar rumah, yang mengayomi kehidupan dan menjadi teladan keluarga. Peran
Ngadhu dan Bhaga melambangkan penegak kesatuan, keutuhan dan kewibawaan kampung
agar hidup dalam suasana kasih persaudaraan. Seorang pemimpin harus serentak memiliki
sifat kebapaan dan keibuan yang senantiasa membahagiakan seluruh anggotanya.
Dalam kaitannya dengan yang ilahi, Ngadhu dan Bhaga menjadi perantara untuk
mencapai dan berhubungan dengan-Nya. Hal ini nampak jelas dalam ungkapan, tegakkan
Ngadhu menjadi tiang penyangga langit dan akarnya mengakar kuat ke dalam tanah (bumi)
serta pucuknya bertumbuh menjulang tinggi mencapai Allah. Inilah ajaran sekaligus
kewajiban bagi setiap woe (klan) untuk menegakkan simbol kehadiran leluhur lelaki dan
perempuan menjadi perantara kepada Allah.

Ngadhu Bhaga

2.3 Senjata Tradisional Ngada


1. Sau (Parang Adat)
Parang atau klewang yang diberi hiasan bulu kuda putih pada bagian gagangnya
(rega sau).
2. Gala / Tombak
Senjata khusus orang Ngada yang digunakan dalam berburu.
2.4 Pakaian Adat Masyarakat Ngada

Untuk pakaian adat yang dipakai oleh pria terdiri dari ;


Boku
Penutup kepala yang berfungsi sebagai mahkota yang melambangkan kejantanan.
Boku tersebut terbuat dari kain yang ditenun berwarna coklat tua
Maringia
Secarik kain merah/kuning yang diengkapi hiasan yang digunakan sebagai pengikat
untuk memperkuat boku pada kepala
Lue

6
Selembar kain yang bermotif kuda atau ayam yang dilipat dan dikenakan menyilang
pada punggung laki-laki
Sapu
Kain yang bermotif kuda atau ayam dengan warna dasar hitam yang dikenakan
sebagai pengganti celana panjang
Keru
Ikat pinggang yang ditenun dengan motif kuda atau ayam yang berfungsi sebagai
penguat kain.
Lega
Lega/tas adat dibagi 2 (dua) jenis yakni :
Lega Lua Rongo/Lega Jara
Tas anyaman yang diberikan hiasan bulu kuda putih atau bulu kambing putih pada
bagian sisi penampang luar
Lega Kebi Tuki
Tas anyaman adat yang diberikan hiasan biasa yang tidak terbuat dari bulu kuda atau
kambing.
Degho
Gelang adat yang terbuat dari gading gajah.
Sau
Parang atau klewang yang diberi hiasan bulu kuda putih pada bagian gagangnya (rega
sau).
Wuli
Kalung khusus yang dikenakan pada saat upacara tertentu yang terbuat dari
seperangkat kulit kerang laut.
Untuk pakaian adat yang dikenakan oleh wanita yaitu :
Medo
Hiasan kepala terbuat dari stik bambu yang diberi hiasan bulu kuda putih.
Maringia
Hiasan di dahi yang terbuat dari potongan kain dengan ukuran lebar 1 cm panjang
sesuai kebutuhan dan dihiasi dengan manik-manik atau perak.
Rabhe Kobho
Penguat konde atau manik-manik yang berfungsi sebagai hiasan kepala
Kasa sese
Sepasang kain kuning dengan lebar 3 cm dengan panjang sesuai kebutuhan dan
biasa dipakai dengan cara mnyilang pada dada sampai punggung.
Lawo
Kain tenun yang berwarna dasar hitam dihiasi dengan motif kuda atau ayam putih
atau biru.

7
Butu Bae
Kalung panjang yang terbuat dari manik-manik.
Lega
Sama seperti lega yang dipakai oleh laki-laki
Degho
Sama seperti yang dikenakan oleh laki-laki namun ukurannya lebih kecil.
Lua Manu
Rangkaian bulu ayam yang diikat dengan benang untuk dikenakan pada jari tangan.
Tuba
Sejenis hiasang yang terbuat dari kayu atau tongkat yang diberikan asesoris bulu
ayam dan bulu kuda putih yang dipakai pada saat menari.

2.5 Teknik Anyaman


Anyaman, sesuai dengan penjelasan artikel sebelumnya, adalah sebuah karya yang
terbentuk dari lipatan dan tindihan bahan yang menjadi satu. Membuat anyaman
memperlukan 2 hal, bahan dan keterampilan. Berikut penjelasan untuk membuat anyaman
dapat dilakukan dengan cara mempelajari teknik dasar anyaman.
Terdapat dua teknik dasar anyaman yang disesuaikan dengan jenis anyamannya.
Berikut merupakan penjelasan teknik dasar anyaman:
Teknik Anyaman Rapat
Anyaman Dua Sumbu

Teknik dasar anyaman ini mempunyai beberapa sebutan lain yaitu Anyaman Silang,
Anyaman Sasag, Anyaman Tunggal. Sasag menurut Purwadi dan Purnomo, merupakan
bahasa sansekerta yang berarti sasak atau telur. Sasak adalah nama suku di Indonesia,
mengingat mereka juga pengrajin anyam-anyaman.
Membuat anyaman dua sumbu dapat dilakukan dengan cara menyilangkan dua sumbu.
Setiap bilah silangkan dengan bilah lainnya hingga terbantuk struktur bersilang. Posisi
anyaman tidak harus selalu lurus, melainkan bisa membentuk garis miring. Akhir dari sumbu
atau bilah akan diikat sehingga anyaman menjadi kuat.

8
Anyaman Tiga Sumbu

Teknik dasar anyaman ini mirip seperti teknik anyaman bilik. Perbedaannya terletak pada
pola yang membentuk tiga arah. Bahan anyaman, yaitu pakan dan lusi akan disusun sesuai
dengan tiga arah yang telah ditentukan.
Hasil dari teknik dasar anyaman ini akan ada dua yaitu anyaman tiga sumbu jarang dan
anyaman tiga sumbu rapat. Sumbu jarang memberikan lubang yag renggang dan sumbu rapat
akan memberikan kekuatan yang lebih kuat.
Khusus untuk anyaman tiga sumbu rapat, apabila dibentuk dengan pola bentuk heksagonal /
segi enam beraturan, sering disebut dengan anyaman segi enam. Secara umum anyaman tiga
sumbu sering digunakan untuk membungkus ketupat.

Anyaman Empat Sumbu

Teknik dasar anyaman empat sumbu mempunyai pola yang mirip seperti dua sumbu. Pola
menyulam akan menyisip dan menumpangkan bahan, yaitu pakan dan lusi, secara satu sama
lainnya dengan arah yang berbeda.
Perbedaannya dengan teknik dasar anyaman dua sumbu adalah bahan yang ditaruh berbeda
arah akan lebih banyak jumlahnya. Akan ada empat buah sumbu yang terdapat di arah
lainnya.
Teknik dasar anyaman empat sumbu termasuk teknik dasar anyaman yang mempunyai
lubang dengan bentuk pola oktogonal / segi delapan beraturan. Nama lain dari teknik dasar
anyaman empat sumbu adalah teknik dasar anyaman segi delapan karena mempunyai lubang
dengan bentuk segi delapan beraturan.

9
Anyaman Bilik atau Anyaman kepang

Teknik dasar anyaman bilik ini sering disebut dengan teknik menganyam dua-dua. Selain itu
nama lain nya adalah Anyaman Kepang, karena pembuatannya sama dengan membuat
kepangan pada rambut. Bahan-bahan akan dianyam dengan cara menyilang secara berurutan
dan bersamaan, sama seperti teknik dasar anyaman sasak.
Perbedaannya adalah renggangan atau sela yang dimasuki bilah dalam menganyam lebih
variasi. Cara menggunakan teknik dasar anyaman ini adalah dengan menganyam bahan-
bahan dengan menyilang secara bergantian dari kiri dan dari kanan. Teknik dasar anyaman
ini umumnya digunakan untuk membuat bilik dan nyiru.

10

Anda mungkin juga menyukai