Anda di halaman 1dari 33

Referat

ASMA BRONKHIAL

Oleh:

Rayhan Abi Mayzan 1210313063


Luthfillah Ghaisani F 1210313044
Emeraldo 0910313250

PRESEPTOR:
dr. Rudy Afriant, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2017

1
BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata Asthma berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti
menghembuskan nafas dengan mulut terbuka atau terengah-engah.1 Sekitar 300
juta orang diseluruh dunia menderita Asma, dengan 250.000 kematian disebabkan
oleh asma.2 Insiden terjadinya penyakit alergi dewasa ini meningkat sejalan
dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun
zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi
di masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis
saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada
akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus
meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara
Asia Pasifik seperti Indonesia. Penelitian di Asia Pasifik baru-baru ini
menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh
pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian
gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan
pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global
Initiative for Asthma (GINA).1
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima
belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global
untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan
kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan
kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-

2
4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi
paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 %
yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.2
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter
sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong
penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering
diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita,
terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu
menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan
asma.3

B. Tujuan penulisan
Mengetahui tentang asma bronkhial secara menyeluruh yang meliputi
pemahaman yang lengkap mengenai definisi, anatomi dan fisiologi, patogenesis,
patofisiologi, faktor resiko, klasifikasi, diagnosa, pemeriksaan fisik dan
penunjang, diagnosa banding, komplikasi dan penatalaksanaan asma bronkhial.

C. Manfaat penulisan
1. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan tentang asma
bronkhial, mulai dari definisi sampai pengobatan asma.
2. Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi tentang asma
bronkhial.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen yang bisa diobati, dikarakteristikkan
dengan inflamasi kronis di saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi seperti
mengi, sesak, rasa berat di dada dan batuk yang intensitasnya berberda-beda
berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara ekspirasi.4
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciri-
ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas,
yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri
patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.1
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap
pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau
perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.6

B. Anatomi dan fisiologi


Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.
Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara
garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang
dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan
berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari
bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus
terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan

4
fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat,
bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang
disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan
partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan
atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan
panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya
dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas
debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya mencapai 100%.6
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat
persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah
selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah
bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan
kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin
tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara
pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas
dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi
seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk
mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui
glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan
benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.6
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk
seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan
diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa,
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang
hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-
benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari
jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus
merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian

5
vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang
menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak
syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk
dirangsang.7
Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan lebih vertikal dari
yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri
lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung
alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh
cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat
berubah. Seluruh saluran udara,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini
disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung
kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos,
diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah
bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru, yaitu
tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari: Bronkiolus respiratoris, duktus
alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari
paru.7
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga
proses yang terjadi, yaitu:7
1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara
melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli
dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan
tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang
rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan
tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi
sekitar 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun
2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran
udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai
tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan

6
intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil
sehingga udara mengalir keluar paru.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler
melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari
tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan
partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih
tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih
tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya
karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke
jaringan melalui transportaliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan
melalui dua jalan: pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi
berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan
karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium
bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah.
Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi
hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1
ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi
mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan
karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan
dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan
sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang
dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial
karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah
maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.7
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa: pH darah yang normal
berkisar 7,35 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0
7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun
bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru
menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan
terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak

7
dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius
adalah suatu keadaan PaCO2 turun akibat hiperventilasi.7

Gambar 1. Anatomi dan Obstruksi Saluran Nafas Pada Asma

C. Patogenesis Asma
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada
beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena
degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan
beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot
polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan
pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga
terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus
dan stimulasi refleks saraf.8

8
1. Inflamasi Saluran Napas
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat
kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi
antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.8
a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas
humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit
B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol
fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas
sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel
limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan Th2. Sel Th1mensekresi
interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony Stimulating Factor
(GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-) sedangkan
Th2mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons
imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang
merupakan sel pengenal antigen primer (primary antigen presenting cells/
APC).
b. Mekanisme limfosit T-IgE
Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan
bantuan Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa
ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi.
Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan me-
ngontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen
pada limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit
B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama
akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan
berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel
tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator
yang berperan pada reaksi inflamasi.

9
c. Mekanisme limfosit T-nonIgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-
9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling
berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi
eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran
napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas
(Airway Hyperresponsiveness/AHR).

Gambar 2. Respon Immun Pada Asma

2. Hiperesponsivitas Saluran Napas


Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu
berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun
nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma
seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik
saluran napas. Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas
melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran
napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar,
kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot
polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi
hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin,

10
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast
sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major
basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF).8

Gambar 3. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma

3. Sel Inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap
sel yang tepat belum pasti.
a. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak
didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen
saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis. Sel mast melepaskan
berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5,
GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan
meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi
mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive
intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting
granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam
mekanisme antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan
eosinofil. Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek
alergi dan menurunkan AHR.

11
b. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor
IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan
alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE dependent sehingga berperan
dalam proses infla-masi. Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain
LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi
komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur
proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan
menghantarkan alergen pada limfosit.
c. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-
5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas
penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain.
Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam
kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan
hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan
AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein
dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF,
radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan
Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel
saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.
d. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil
menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit
oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa
mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF. Neutrofil dalam jumlah
besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama
eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL
menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran
napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.

12
e. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma
yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus
penderita asma stabil mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga
merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan
mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin
seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi
sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup
eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.
f. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang
melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit
peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan
alergen.
g. Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan
memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel
dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan
membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik
alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di
bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe
lokal di bawah pengaruh GMCSF.
h. Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan
fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan
mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio
fibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat
hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.8
4. Mediator Inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh
pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF,
leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,

13
peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan
sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap
mediator memiliki beberapa pengaruh.8
a. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan
basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor.
Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi
refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel.
Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein.
Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta
menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.
b. Prostaglandin
Prostaglandin (PG)D2dan PGF2merupakan bronkokonstrikstor poten.
Prostaglandin E2menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo,
menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan
merangsang saraf aferen saluran napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi
otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan
prostaglandin.
c. Platelet activating factor (PAF)
Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2pada membran fosfolipid, dapat
dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro
ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas,
jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.
Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder
edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan
rangsangan PAF. Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi
eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel,
merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi
reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit.
d. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan
penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan

14
aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui
mekanisme non histamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4dan
LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosinofil,
merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel
pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.
e. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat
menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam
inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan olehlimfosit T, makrofag, sel mast,
basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel
mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan
mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang
limfosit B membentuk IgE.
f. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan
mediator peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan
bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma.
Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas,
meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.
g. Nitric oxide (NO)
Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf,
diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai
vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO
pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang
normal.
h. Radikal bebas oksigen
Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida,
hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida,
oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa
oksigen reaktif. Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam
proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. Jumlah

15
oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan
bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta
peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak
DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan
menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas.
i. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh
kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran
napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma
bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan
batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi
sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C
sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.
j. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related
peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A
menyebabkan bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran
mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.
k. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada
penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan
berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.8

5. Mekanisme Saraf
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui
mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik
nonkolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks.
a. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada
binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik
dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas
oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.

16
b. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara
tidak langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme
adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor
adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik
menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan
menyebabkan bronkodilatasi.
c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC)
yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada
asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter
seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf
NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan
reseptor penghambat saraf NANC menyebabkan pemecahan bahan
neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).8

D. Patofisiologi asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen

17
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran nafas.1
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu
10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada
otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T,
sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam
patogenesis asma.1
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel
saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus
oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin,
asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek
syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan
dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan Calcitonin Gen-
Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktifasi sel-sel inflamasi.1
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektifberatnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat
nonspesifik.1

18
E. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor pejamu (host) dan
faktor lingkungan.
Faktor Pejamu Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/etnik
Faktor lingkungan mempengaruhi Alergen di dalam ruangan (mite
berkembangnya asma pada individu domestic, biantang, kecoa, jamur)
dengan predisposisi asma Alergen di luar ruangan (tepung sari
bunga, jamur)
Bahan di lingkungan kerja (Asap
rokok pada perokok aktif dan pasif)
Polusi udara(dalam dan luar
ruangan)
Infeksi pernapasan (Hipotesis
higiene)
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesitas
Faktor lingkungan mencetuskan Alergen di dalam dan di luar
eksaserbasi dan atau menyebabkan ruangan
gejala-gejala asma menetap Polusi udara di dalam dan di luar
ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet,
penyedap, pewarna makanan), obat-
obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan
merangsang, household spray)

F. Gambaran Klinis Asma


Gejala khas untuk Asma, jika ada maka menigkatkan kemungkinan pasien
memiliki Asma, yaitu :
1. 1. Terdapat lebih dari satu gejala ( mengi, sesak, dada terasa berat)
khususnya pada dewasa muda
2. 2. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari

19
3. 3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
4. 4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan
cuaca, tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok atau bau yang
sangat tajam
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelasseperti rasa berat di dada,
dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada
sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi,
dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau
uji provokasi bronkus dengan metakolin.9
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan
gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.9
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk
pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang
gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik
bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.
Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan
diagnosis.9

G. Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat
sebelumnya.
1. Klasifikasi menurut etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan
antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.

20
2. Klasifikasi menurut derajat berat asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan.
Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk
waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
4. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya
suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat
penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh
berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala,
eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji
faal paru) serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan
menjadi intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat
(Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat
yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat
ringannya serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan
pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan
terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan,

21
asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu
adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan
keterbatasan yang ada.1

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1


Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Bulanan 2 kali sebulan APE 80%
Gejala <1x/minggu, VEP180% nilai
tanpa gejala di luar prediksi APE
serangan 80% nilai
Serangan singkat terbaik
Variabilitas APE
<20%
Persisten ringan Mingguan >2 kali sebulan APE >80%
Gejala >1x/minggu, VEP180% nilai
tetapi <1x/hari prediksi APE
Serangan dapat 80% nilai
menggangu terbaik
aktivitas dan tidur Variabilitas APE
20-30%
Persisten Harian >2 kali sebulan APE 60-80%
sedang Gejala setiap hari -VEP1 60-80%
Serangan nilai prediksi
menggangu APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Bronkodilator setiap -Variabilitas APE
hari >30%
Persisten berat Kontinyu Sering APE 60%
Gejala terus VEP1 60% nilai
menerus prediksi APE
Sering kambuh 60% nilai
aktivitas fisik terbaik
terbatas Variabilitas APE
>30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9


Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk
membungkuk ke
depan

22
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
terganggu terganggu terganggu
Frekuensi Meningkat meningkat Sering >30
napas kali/menit
Retraksi Umumnya tidak Kadang kala ada ada
otot-otot ada
bantu napas
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi <100 100-120 >120
nadi
Pulsus Tidak ada Mungkin ada (10- Sering ada
paradoksus (<10mmHg) 25mmHg) (>25mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus
dipenuhi.9

H. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi
dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut
ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi
klinis serta pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis

23
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di
dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan
karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur.
Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga,
apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan
kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau
steroid.1
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan:
napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi,
ekspirasi diperpanjang.1,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM

24
tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo
sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis
dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-
kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara
yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi
tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping
ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya
berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20m, tidak dalam bentuk

25
nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis
dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau
kering, histamin dan metakolin.1

I. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma


1. Diagnosis banding
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala
utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur
lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk
pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan
kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan
tanda-tanda cor pulmonal.
b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada
emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan
jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan
napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat
lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila
timbul pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien
tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang
atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang
memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping ortopnea
pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

26
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,
gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien
batuk-natuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea,
takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan
hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara
lain aksis jantung ke kanan.
e. Penyakit lainyang jarang
Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.

2. Komplikasi asma
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga

J. Pengobatan Asma
Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
a. Penyuluhan kepada pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan
kerjasam antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat
tercapai bila pasien dan keluarganya memhami penyakitnya, tujuan
pengobatan, obat-obat yang dipakai serta efek samping.
b. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala, pemeriksaan
uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil
pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma yang

27
tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya
obstruksi salura napas.
c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Di harapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus serangan
asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan.
d. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala
asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan
1) Obat-obat anti asma
2) Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
3) Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari
yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa
mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari.
Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana
pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor
pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
2) Mengatasi hipoksemia
3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin
4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya
5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-
cara mengatasi dan mencegah serangan asma.
f. Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma pada
umumnya memerlukan pengawasanyang teratur daritenaga kesehatan.
Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara
pemakaian obat, cara menghindari faktor pencetus serta oenggunaan alat peak
flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin jarang.9

28
Obat-obat anti asma
Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan
gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain:9
a. Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari,
dengan tujuan aggar gejala asma persisten tetap terkendali. termasuk
golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja
panjang (long acting). Obat-obat anti inflamasi kususnya
kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah.
Obat-obat anti alergi,bronkodilator atau obat golongan lain sering
dianggap termasuk obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat,
karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas
misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik,
memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktifitas bronkus dan
memperbaiki kualitas hidup. Obat anti inflamasi dapat mencegah
terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi.
Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus
lebih baik bila di bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan
pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium
kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis
beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral dan
obat-obat anti alergi.9
b. Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi
bronko konstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan
segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agosnis beta 2 hirup kerja
pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup,
teofilin kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.9
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol)
merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan
sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena
kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang
gejala pada asma periodik.9

29
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah
perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung
mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat
atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain
dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut,
juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin maupun agonis
beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai
sediaan hirup.9

Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga


Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat ringannya
gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai setiap hari obat-
obat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang,
kortikosteroid oral jangka panjang (tabel 3).9
Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tangga
Tahap Obat Pencegah Harian Pilihan Lain
Asma Intermitten Tidak diperlukan
Asma Persisten Ringan Kortikosteroid hirup Teofilin lepas lambat
500g BDP Kromolin
(beclomethasone Anti leukotrin
diproprionate) atau
ekuivalen
Asma Persisten Sedang Kortikosteroid hirup - Kortikosteroid hirup
(200-1000 g BDP atau 500-1000g BDP atau
ekuivalen) + LABA (long ekuivalen + teofilin lepas
acting beta agonist) lambat atau
- Kortikosteroid hirup
500-1000g BDP atau
ekuivalen + oral LABA
atau
- Kortikosteroid hirup
dosis lebih tinggi
>1000g BDP atau
ekuivalen
- Kortikosteroid hirup
dosis lebih tinggi
>1000g BDP atau
ekuivalen + anti leukotrin

30
Asma Persisten Berat Kortikosteroid hirup
(>1000 g BDP atau
ekuivalen) + LABA satu
atau lebih obat berikut
bila diperlukan
- Teofilin lepas
lambat
- Anti leukotrin
- LABA oral
- Kortikosteroid
oral
- Anti IgE

31
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan
peradangan; penyempitan ini bersifat reversible.
2. Fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa
3. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan beberapa selPelepasan mediatorMengaktivasi sel target
saluran napas Bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema,
hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.
4. Faktor Resiko Asma :faktor genetik,lingkungan, dan faktor lain.
5. Gambaran Klinis Asma: asma klasik, asma alergik, dan asma karena
pekerjaan.
6. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat asma, kontrol asma
dan gejala.
7. Diagnosis asma berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
8. Diagnosis banding: bronkitis kronik, emfisema paru, gagal jantung kiri
akut, emboli paru, dan penyakit lainnya.
9. Komplikasi asma: pneumothoraks, pneumodiastinum, atelektasis, dll.
10. Pengobatan asma menggunakan protokol pengobatan menurut GINA

B. Saran
1. Penderita asma sebaiknya menghindari faktor pencetus asma agar tidak
terjadi eksaserbasi.
2. Dokter seharusnya memberikan edukasi dan pendidikan kepada
masyarakat, khususnya penderita asma

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale.


Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 58; No.11; Nopember 2008.

2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,


Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In:
Shaikh WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And
Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher; 2006.707-36

3. European Environment and Health Information System (ENHIS), 2007.


Prevalence of asthma and allergies in children. WHO Europe. Available
from: http://www.who.it/Document/EHI/ENHIS_Factsheet_3_1.pdf
[Accessed at 12 Desember 2016]

4. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of


Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of
Bilirubin. Department of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku
University School of Medicine

5. Global strategy for asthma management and prevention. GINA. 2016

6. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Primer. 2014

7. Alsagaff, H., Mukty, A. 2013. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam


Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press:
Surabaya

8. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan


Kepustakaan Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan: Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran
No. 141, 2003

9. Sukamto, Sundaru, H. 2013. Asma Bronkial Dalam Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta

33

Anda mungkin juga menyukai