Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH INFORMASI TEKNOLOGI

KUSTA

Dosen mata kuliah : Agus Wiwit S.Kep,

Oleh :

Seftian Darma Wisana

20160113

2B

AKADEMI KEPERAWATAN DIPLOMA III

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO

TAHUN AKADEMIK 2016/2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan karunia_Nya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah Keperawatan ilmu teknologi ( IT ) ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan keluarga yang membantu
memberikan semangat dan dorongan demi terwujudnya karya ini, yaitu makalah
Keperawatan ilmu teknologi ( IT ) ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yaitu bapak agus
wiwit yang telah membantu kami, sehingga kami merasa lebih ringan dan lebih mudah
menulis makalah ini. Atas bimbingan yang telah berikan, kami juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang juga membantu kami dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa teknik penyusunan dan materi yang kami sajikan masih kurang
sempurna.Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang mendukung dengan tujuan
untuk menyempurnakan makalah ini.

Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat di manfaatkan sebaik mungkin, baik itu
bagi diri sendiri maupun yang membaca makalah ini.

Ponorogo, 23 juli 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Kusta ...........................................................................................3

C. Etiologi Kusta ...........................................................................................3

D. Patofisiologi Kusta ...................................................................................4

E. Patogenesis ...............................................................................................4

F. Manifestasi Klinis.......................................................................................4

G. Macam-Macam Kusta................................................................................5

H. Tahap Terjadinya Kusta.............................................................................5

I. Masalah Yang Sering Muncul.....................................................................6

J. Pemeriksaan Pasien Dan Lab......................................................................6

K. Pengobatan Kusta......................................................................................9

L.Dicharge Planning.......................................................................................9

P. Penatalaksanaan.........................................................................................10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................12
B. Saran..........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga termasuk
juga petugas kesehatan. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan
maupun pemahaman serta kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan cacat
yang ditimbulkannya. Meskipun penyakit kusta saat ini dapat disembuhkan bukan berarti
Indonesia sudah terbebas dari masalah kusta. Hal ini disebabkan karena dari tahun ke
tahun masih ditemukannya sejumlah kasus baru1. (Nurcahyati, 2016)
Selama periode tahun 2010-2014, angka penemuan kasus kusta baru maupun
prevalensi kusta mengalami penurunan sejak tahun 2011. Angka penemuan kasus baru
kusta pada tahun 2014 merupakan yang terendah yaitu sebesar 7,8 per 100.000
penduduk, sedangkan angka prevalensi kusta sebesar 5,77 per 100.000 dan telah
mencapai target < 10 per 100.000 penduduk2. Kabupaten Bangkalan merupakan salah
satu wilayah yang ada di Jawa Timur dengan angka penemuan baru kasus > 5 per
100.000 penduduk setiap tahunnya. Penemuan kasus kusta baru di Kabupaten Bangkalan
tahun 2014 merupakan urutan ke empat setelah Sampang, Sumenep, dan Pamengkasan3
(Nurcahyati, 2016).
Lingkungan merupakan salah satu faktor paling penting dan berpengaruh positif
terhadap terwujudnya status kesehatan masyarakat. Lingkungan merupakan faktor
determinan dalam menularkan dan memunculkan suatu penyakit, baik penyakit menular
maupun tidak menular. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa lingkungan terutama
terkait kondisi rumah berpengaruh terhadap kejadian kusta. (N, 2016)

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi penyakit kusta?
2. Bagaimana etiologi penyakit kusta?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit kusta?
4. Bagaimana patogenesis penyakit kusta?
5. Bagaimana manifestasi klinis penyakit kusta?
6. Apa saja macam-macam penyakit kusta?
7. Bagaimana tahapan-tahapan terjadinya penyakit kusta?

1
2

8. Apa saja masalah yang sering muncul pada penyakit kusta


9. Bagaimana pemeriksaan pasien dan lab pada penyakit kusta?
10. Bagaimana pengobatan penyakit kusta?
11. Bagaimana dicharge planning penyakit kusta?
12. Bagaimana penatalaksanaan penyakit kusta?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi penyakit kusta?
2. Untuk mengetahui etiologi penyakit kusta?
3. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit kusta?
4. Untuk mengetahui patogenesis penyakit kusta?
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit kusta?
6. Untuk mengetahui macam-macam penyakit kusta?
7. Untuk mengetahui tahapan-tahapan terjadinya penyakit kusta?
8. Untuk mengetahui masalah yang sering muncul pada penderita kusta?
9. Untuk mengetahui pemeriksaan pasien dan lab pada penyakit kusta?
10.Untuk mengetahui pengobatan penyakit kusta?
11.Untuk mengetahui dicharge planning penyakit kusta?
12.Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit kusta?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah mycobacterium
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit
dan ukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan srafa pusat (Nurarif & Kusuma, 2013)
Kusta atau lepra adalah suatu penyakit kulit menular menahun yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium leprae. Serangan kuman yang berbentuk batang ini biasanya
pada kulit, saraf tepi, mata, selaput lendir hidung, otot, tulang dan buah zakar. (Fadilah,
2007)

2.2. Etiologi
Dibandingkan M.tuberculosis, basil tahan asam mycobacterium leprae tidak
memproduksi eksotoksin dan enzim litik. Selain itu, kuman ini merupakan satu-satunya
mikobacteria yang belum dibiakkan in vitro. Mikobacteria ini scara sistem syaraf tepi
dan terutama pada tipe lepromatosa, scara sekunder dapat menyerang sistem syaraf tepi
dan terutama pada tipe lepromatosa, scara sekunder dapat menyerang seluruh organ
tubuh lzin tubuh seperti kulit, mukosa mulut, mukosa saluran napas bagian atas, system
retikuloendotelial, mata, tulang, dan testis. Reaksi imun penederita terhadap M.Leprae
berupa reaksi imun seluler terutama pada bentuk kusta tuberkuloid, dan reaksi hormonal
terurtama pada lepra bentuk lepromatosa. (Nurarif & Kusuma, 2013)
M.leprae atau kuman hensen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini
bersifat tahan asama berbentuk asam yang berukuran 1- 8 u, lebar 0,2 0,5, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemikpada binatang armadilo. (Amirudin, Hakim, & Darwis,
2003)

3
4

2.3. Patofisiologi
Kuman pada penyakit kusta dapat membelah diri. Masa membelah diri kuman kusta
memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12 21
hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu setara 2 5 tahun. Penyakit kusta
dapat ditularkan dari penderita kusta tipe basilar (MB) kepada orang lain dengan cara
penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar
para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan
dan kulit. (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)

2.4. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui scara
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh
M. Laprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup
M. Laprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman
yang avirulen dan nontoksis (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)
M. laprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan
saraf. Bila kuman M. Laprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan beraksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel monosnuklear, histiosit)
untukmemfagositnya. (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke
tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan
penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau melanesia
termasuk indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. (Kosasih, Wisnu,
Daili, & Menaldi, 2007)

2.5. Manifestasi Klinis


Tanda utama (Cardinal sign) Menurut Fadilah (2007) :
1. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) yang tak
berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.
2. Penebalan syaraf tepi.
5

3. Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil
berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan
biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan
perdarahan.
4. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang
terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan
tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini.
Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut.
5. Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk leproma mempunyai
kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Bentuk ini menular karena
kelainan kulitnya mengandung banyak kuman.

2.6. Macam-Macam Kusta


Menurut (Nurarif & Kusuma, 2013), yaitu :
1. Kusta bentuk kering : tidak menular, kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar
uang logam atau lebih besar, sering timbul di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan
2. Kusta bentuk basah : bentuk menular karena kumanya banyak terdapat diselaput lendir
hidung, dan organ tubuh lainya, dapat berupa bercak kemerah-merahan, kecil-kecil
tersebar diseluruh badan, atau berupa penebalan kulit yang luas sebagai infiltrate yang
tampak mengkilap dan berminyak, dapat berupa benjolan besar sebesar biji jagung
yang tersebar dibadan, muka dan daun telinga. Disertai rontoknya alis mata,
menebalnya daun telinga.
3. Kusta tipe peralihan : merupakan peralihan antara kedua tipe utama. Pengobatan jenis
ini dimasukan ke jenis tipe kusta basah.

2.7. Tahapan-Tahapan Terjadinya Kusta


Tahap terjadinya kusta menurut (Watson, OBE, DP, & FCSP, 1998), yaitu :
1. Tahap I
a. Reflek kedip mata tidak baik
b. Hilang rasa dan tidak berkeringat, jari-jari tangan kiting atau bengkok
c. Jari-jari kaki kiting dan tidak,kaki hlang rasa dan tidak berkeringat
2. Tahap 2
a. Peradangan dan infeksi mata
6

b. Kulit pecah-pecah dan luka, jari-jari tangan kiting (bengkok) menjadi kaku pada
posisi menekuk
c. Kulit pecah-pecah dan luka, jari kiting menjadi kaku, kaki yang semeper dapat
menjadi dengan posisi menekuk ke dalam
3. Tahap 3
a. Kehilangan pengelihatan atau buta
b. Kehilangan tulangtulang ditambah dengan banyak bekas-bekas luka serta
hilangnya jaringan-jaringan lunak akibat kelalaian merawat luka

2.8. Masalah Yang Sering Muncul


Masalah yang sering muncul menurut (Nurarif & Kusuma, 2013), yaitu :
1. Resiko infeksi
2. Difisiensi pengetahuan tentang penyakit, penyebab infeksi, tindakan, dan pencegahan.
3. Hipertermia Berhubungan dengan adanya infeksi.
4. Harga diri rendah situasional.
5. Resiko trauma
6. Resiko cidera
7. Hambatan mobilitas fisik

2.9. Pemeriksaan Pasien dan Pemeriksaan Lab


1. Anamnesis (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003) :
a. Keluhan pasien
b. Riwayat kontak dengan pasien
c. Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi
2. Inspeksi (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003) :
a. Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga
kerusakan kulit
3. Palpasi (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003) :
a. Kelainan kulit : nodus, infiltrat. Jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki
b. Kelainan syaraf :
Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti, harus sistematis, meraba
atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai menyakiti pasien atau pasien
mendapat kesan yang buruk
7

Pemeriksaan saraf tepi antara lain :


Bandingkan saraf kiri dan kanan membesar atau tidak
Pembesaran regular (smooth) atau irregular, bergumpal
Perabaan keras atau kenyal
Nyeri atau tidak

4. Tes Fungsi Saraf (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)


a. Tes Sensoris
Rasa Raba
Rasa Nyeri
Rasa Suhu
b. Tes Otonom
Tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan)
Tes pilocarpin
c. Tes Motoris
Periksa Gerakan
Periksa Tahanan
Bandingkan selalu kaki dan tangan kiri pasien dengan tangan dan kaki yang
kiri

Pemeriksaan Laboratorium
Menurut (Agusni & Menaldi, 2003) terbagi menjadi :
1. Pemeriksaan Histopatologik
Pemeriksaan histopatologik pada penyakit kusta biasanya dilakukan untuk
memastikan gambaran klinik, misalnya kusta indeterminate atau penentuan klasifikasi
kusta. Disini umumnya dilakukan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin (H.E) dan
pengecatan tahan asam untuk mencari hasil tahan asam (BTA).
2. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. Laprae. Jenis antibodi yang terbentuk bermacam-
macam, karena terdapat berbagai jenis antigen, misalnya antigen golongan
lipoposakarida yang berasal dari kapsel kuman, antigen protein yang berasal dari inti
sel dll. Antibodi yang terbentuk bersifat spesifik dan non spesifik. Antibodi yang
bersifat spesifik untuk M. Leprae, antara lain : antibodi anti phenolic glycolipid-1
8

(PGL-1) dan antibodi anti protein 16kD, 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Beberapa jenis pemeriksaan serologik kusta
yang banyak dipakai antara lain :
a. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Teknik ini dikembangkan oleh Izumi dkk, dengan dasar reaksi antigen-
antibodi yang akan menyebabkan pengendapan (aglutinasi) partikel yang
terikat akibat reaksi tersebut. Saat ini telah tersedia di pasaran Kit MLPA yang
diproduksi oleh Fuji Rebio Con dan bisa diguanakan dilapangan .
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
Uji ini merupakan uji laboratorik yang memerlukan peralatan khusus serta
ketrampilan tinggi, sehingga dalam penyakit kusta hanya digunakan untuk
keperluan khusus, misalnya untuk penelitian atau kasus tertentu.
c. ML dipstick
Pemeriksaan serologik dengan menggunakan mycobacterium leprae dipstick
(ML dipstick) ditunjukan untuk mendeteksi antibodi igM yang spesifik
terhadap M. Leprae. Dipstick tersebut terdiri atas 2 pita horizontal, satu pita
yang terletak di bawah mengandung epitop imunodominan M. Leprae yang
spesifik yaitu PGL-1 dan pita kedua berada di atas sebagai kontrol.

3. Pemeriksaan Reaksi Rantai Polimerase (Polimerase Chain Reaction/PCR)


Kini untuk mendeteksi adanya M. Leprae di dalam jaringan atau sediaan hapus,
dapat digunakan suatu cara yang disebut metode PCR. Untuk pemeriksaan ini
diperlukan adanya mesin PCR dan reagensia khusus untuk amplifikasi DNA, serta
elektroforesa untuk melihat adanya pita dari protein tertentu. Prinsip PCR ini adalah
menggandakan suatu potongan rantai DNA tertentu dari DNA kuman, sehingga
jumlahnya berlipat ganda dan bisa dilihat sebagai pita protein pada medan
elektroforesa.
9

2.10. Pengobatan Kusta


Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO
scara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen selanjutnya
yang dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri dari atas kombinasi obat-
obat daspon, rifampisin, klofazimin. Selain untuk mengatasi resistensi daspon yang
semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan untuk mengurangi ketidaktaatan
penderita dan menurunkan angka putus obat yang cukup tinggi pada masa monoterapi
dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman
kusta dalam jaringan. (S & Suhariyanto, 2003)

Obat dalam rejimen MDT-WHO1 antara lain (S & Suhariyanto, 2003):


1. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon).
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Jadi
tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA.
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat
bakterisidal pada dosis lazim. Rifampisn bekerja mengahambat enzim polimerase
RNA yang berikatan scara ireversibel.
3. Klofazimin (Lamprene-CIBA GEIGY; B-663)
Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek
bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Disampin itu obat ini juga mempunyai efek antinflamasi
sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta khususnya ENL.

4. Etionamid dan Protionamid


Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada
pengobatan kusta.

2.11. Dicharge Planning


Menurut (Nurarif & Kusuma, 2013) cara pencegahan kusta, yaitu :
1. Biasakan hidup bersihdan cuci tangan sebelum melakukan aktifitas sebelum dan
sesudah aktifitas
2. Makan makanan yang bergizi seimbang
3. Hindari penularan melalui penggunaan handuk pisau cukur scara bersamaan
10

4. Kenali dan kendalikan stress emosional yang dapat memicu terjadinya masalah kulit

2.12. Penatalaksanaan
Menurut (Fadilah, 2007) penatalaksanaan kusta, yaitu :
Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan pengobatan di lapangan :
1. PB ( Pauci Bacillery )
2. MB ( Multi Bacillary )
Prinsip Multi Drug Treatment (pengobatan kombinasi Regimen MDT-StandarWHO)
1. Regimen MDT-Pausibasiler
a. Rifampisin
Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Berat badan < 35 kg : 450 mg/bulan
Anak 10 14 th : 450 mg/bulan (12 15 mg/kg BB/hari)
Rifampisin : Diminum di depan petugas ( Hari pertama )

1. Dewasa : 600 mg/bulan


2. Anak 10 14 tahun : 450 mg/bulan
3. Anak 5 9 tahun : 300 mg/bulan
b. Dapson :
1. Dewasa : 100 mg/hari
2. Anak 10 14 tahun : 50 mg/hari
3. Anak 5 9 tahun : 25 mg/hari
4. Diberikan dalam jangka waktu 6 9 bulan.
Dapson
Dewasa : 100 mg/hari
Berat badan < 35 kg : 50 mg/hari
Anak 10 14 th : 50 mg/hari (1 2 mg/kg BB/hari)
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 6 regimen dengan jangka
waktu maksimal 9 bulan

2. Regimen MDT-Multibasiler
a. Rifampisin
Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
11

Anak 10 14 th : 450 bulan (12 15 mg/kg BB/bulan)


Rifampisin : diminum di depan petugas ( Hari pertama )
1. Dewasa : 600 mg/bulan
2. Anak 10 14 tahun : 450 mg/bulan
3. Anak 5 9 tahun : 300 mg/bulan
b.Lampren :
1. Dewasa : 300 mg/bulan
2. Anak 10 14 tahun : 150 mg/bulan
3. Anak 5 9 tahun : 100 mg/bulan
c.Dapson :
1. Dewasa : 100 mg/hari
2. Anak 10 14 tahun : 50 mg/hari
3. Anak 5 9 tahun : 25 mg/hari
Diberikan sebanyak 12 blister dengan jangka waktu 12 18 bulan.

- Lampren
Dewasa : 300 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
Anak 10 14 th : 200 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari.
- Dapson
Dewasa : 100 mg/hari.
Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(1 2 mg/hari/Kg BB/hari)
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan jangka
waktu maksimal 36 bulan sedapat mungkin sampai apusan kulit menjadi
BAB II
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik yang terjadi pada masyarakat,
yang disebabkan oleh mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan srafa pusat.Kusta atau lepra terjadi pada
kulit dan dapat ditularkan karena kontak fisik. Serangan kuman yang berbentuk batang
ini biasanya pada kulit, saraf tepi, mata, selaput lendir hidung, otot, tulang dan buah
zakar.

3.2.Saran
Bagi pembaca dan masyarakat sebaiknya harus menjaga kesehatan lingkungan
dan makanan serta pola makan agar memenuhi kecukupan energi dan daya tahan pada
tubuh kita.Sehingga kita terjauh dari penyakit, terlebih penyakit kusta yang di
sebabkan karena infeksi dan kurangnya kebersihan pada diri sendiri.

12
DaftarPustaka

Putra, I. N., Fauzi, N., & Agusni, I. (2009). Kecacatan pada Penderita Kusta Baru di Divisi Kusta Vol 21.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin , 9.

Agusni, I., & Menaldi, S. L. (2003). KUSTA. Jakarta: FKUI.

Amirudin, M. D., Hakim, Z., & Darwis, E. (2003). KUSTA. Jakarta: FKUI.

Fadilah, S. (2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.

Irnayanti, Andayani, T. M., & Rahmawati, F. (2014). EVALUASI PHARMACY SUPPORT SYSTEM DALAM
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN PEDIATRIK RAWAT JALAN. Jurnal
Manajemen dan Pelayanan Farmasi , 95.

Kosasih, A., Wisnu, I. M., Daili, E. S., & Menaldi, L. S. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Manyullei, S., Utama, D. A., & Birawida, A. B. (2007). GAMBARAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR VOL 1. Indonesian
Journal of Public Health , 10.

N, H. B. (2016). SEBARAN KASUS KUSTA BARU BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN SOSIAL
EKONOMI DI KECAMATAN KONANG DAN GEGER KABUPATEN BANGKALAN. Jurnal wiyata , 94.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Brdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta: MediAction.

Nurcahyati, S. (2016). SEBARAN KASUS KUSTA BARU BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN
SOSIAL EKONOMI DI KECAMATAN KONANG DAN GEGER KABUPATEN BANGKALAN. Jurnal Wiyata
, 92.

Retno, G. (2008). INTERAKSI OBAT DAN BEBERAPA IMPLIKASINYA. Puslitbang Biomedis dan Farmasi ,
179.

S , H. S., & Suhariyanto, B. (2003). KUSTA. Jakarta: FKUI.

supardil, S., sampurnol, O. D., & Mulyono. (1998). PENGARUH PENYULUHAN OBAT TERHADAP
PENINGKATAN PERILAKU PENGOBATAN SENDIRI YANG SESUAI DENGAN ATURAN Vol 32. Jurnal
Keperawatan , 181.

Watson, J. M., OBE, DP, G., & FCSP. (1998). Tindakan Penting Untuk Mengurangi Resiko Cacat pada
Penderita Kusta. Jakarta: Bakti Husada.

Wewengkang, K., Palandeng, H. M., & Dina, R. V. (2016). Pencegahan Kecacatan Akibat Kusta di Kota
Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik , 87.

13

Anda mungkin juga menyukai