KUSTA
Oleh :
20160113
2B
Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan karunia_Nya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah Keperawatan ilmu teknologi ( IT ) ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan keluarga yang membantu
memberikan semangat dan dorongan demi terwujudnya karya ini, yaitu makalah
Keperawatan ilmu teknologi ( IT ) ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yaitu bapak agus
wiwit yang telah membantu kami, sehingga kami merasa lebih ringan dan lebih mudah
menulis makalah ini. Atas bimbingan yang telah berikan, kami juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang juga membantu kami dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa teknik penyusunan dan materi yang kami sajikan masih kurang
sempurna.Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang mendukung dengan tujuan
untuk menyempurnakan makalah ini.
Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat di manfaatkan sebaik mungkin, baik itu
bagi diri sendiri maupun yang membaca makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN
E. Patogenesis ...............................................................................................4
F. Manifestasi Klinis.......................................................................................4
G. Macam-Macam Kusta................................................................................5
K. Pengobatan Kusta......................................................................................9
L.Dicharge Planning.......................................................................................9
P. Penatalaksanaan.........................................................................................10
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga termasuk
juga petugas kesehatan. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan
maupun pemahaman serta kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan cacat
yang ditimbulkannya. Meskipun penyakit kusta saat ini dapat disembuhkan bukan berarti
Indonesia sudah terbebas dari masalah kusta. Hal ini disebabkan karena dari tahun ke
tahun masih ditemukannya sejumlah kasus baru1. (Nurcahyati, 2016)
Selama periode tahun 2010-2014, angka penemuan kasus kusta baru maupun
prevalensi kusta mengalami penurunan sejak tahun 2011. Angka penemuan kasus baru
kusta pada tahun 2014 merupakan yang terendah yaitu sebesar 7,8 per 100.000
penduduk, sedangkan angka prevalensi kusta sebesar 5,77 per 100.000 dan telah
mencapai target < 10 per 100.000 penduduk2. Kabupaten Bangkalan merupakan salah
satu wilayah yang ada di Jawa Timur dengan angka penemuan baru kasus > 5 per
100.000 penduduk setiap tahunnya. Penemuan kasus kusta baru di Kabupaten Bangkalan
tahun 2014 merupakan urutan ke empat setelah Sampang, Sumenep, dan Pamengkasan3
(Nurcahyati, 2016).
Lingkungan merupakan salah satu faktor paling penting dan berpengaruh positif
terhadap terwujudnya status kesehatan masyarakat. Lingkungan merupakan faktor
determinan dalam menularkan dan memunculkan suatu penyakit, baik penyakit menular
maupun tidak menular. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa lingkungan terutama
terkait kondisi rumah berpengaruh terhadap kejadian kusta. (N, 2016)
1
2
2.2. Etiologi
Dibandingkan M.tuberculosis, basil tahan asam mycobacterium leprae tidak
memproduksi eksotoksin dan enzim litik. Selain itu, kuman ini merupakan satu-satunya
mikobacteria yang belum dibiakkan in vitro. Mikobacteria ini scara sistem syaraf tepi
dan terutama pada tipe lepromatosa, scara sekunder dapat menyerang sistem syaraf tepi
dan terutama pada tipe lepromatosa, scara sekunder dapat menyerang seluruh organ
tubuh lzin tubuh seperti kulit, mukosa mulut, mukosa saluran napas bagian atas, system
retikuloendotelial, mata, tulang, dan testis. Reaksi imun penederita terhadap M.Leprae
berupa reaksi imun seluler terutama pada bentuk kusta tuberkuloid, dan reaksi hormonal
terurtama pada lepra bentuk lepromatosa. (Nurarif & Kusuma, 2013)
M.leprae atau kuman hensen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini
bersifat tahan asama berbentuk asam yang berukuran 1- 8 u, lebar 0,2 0,5, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemikpada binatang armadilo. (Amirudin, Hakim, & Darwis,
2003)
3
4
2.3. Patofisiologi
Kuman pada penyakit kusta dapat membelah diri. Masa membelah diri kuman kusta
memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12 21
hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu setara 2 5 tahun. Penyakit kusta
dapat ditularkan dari penderita kusta tipe basilar (MB) kepada orang lain dengan cara
penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar
para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan
dan kulit. (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)
2.4. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui scara
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh
M. Laprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup
M. Laprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman
yang avirulen dan nontoksis (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)
M. laprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan
saraf. Bila kuman M. Laprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan beraksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel monosnuklear, histiosit)
untukmemfagositnya. (Amirudin, Hakim, & Darwis, 2003)
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke
tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan
penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau melanesia
termasuk indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. (Kosasih, Wisnu,
Daili, & Menaldi, 2007)
3. Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil
berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan
biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan
perdarahan.
4. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang
terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan
tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini.
Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut.
5. Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk leproma mempunyai
kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Bentuk ini menular karena
kelainan kulitnya mengandung banyak kuman.
b. Kulit pecah-pecah dan luka, jari-jari tangan kiting (bengkok) menjadi kaku pada
posisi menekuk
c. Kulit pecah-pecah dan luka, jari kiting menjadi kaku, kaki yang semeper dapat
menjadi dengan posisi menekuk ke dalam
3. Tahap 3
a. Kehilangan pengelihatan atau buta
b. Kehilangan tulangtulang ditambah dengan banyak bekas-bekas luka serta
hilangnya jaringan-jaringan lunak akibat kelalaian merawat luka
Pemeriksaan Laboratorium
Menurut (Agusni & Menaldi, 2003) terbagi menjadi :
1. Pemeriksaan Histopatologik
Pemeriksaan histopatologik pada penyakit kusta biasanya dilakukan untuk
memastikan gambaran klinik, misalnya kusta indeterminate atau penentuan klasifikasi
kusta. Disini umumnya dilakukan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin (H.E) dan
pengecatan tahan asam untuk mencari hasil tahan asam (BTA).
2. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. Laprae. Jenis antibodi yang terbentuk bermacam-
macam, karena terdapat berbagai jenis antigen, misalnya antigen golongan
lipoposakarida yang berasal dari kapsel kuman, antigen protein yang berasal dari inti
sel dll. Antibodi yang terbentuk bersifat spesifik dan non spesifik. Antibodi yang
bersifat spesifik untuk M. Leprae, antara lain : antibodi anti phenolic glycolipid-1
8
(PGL-1) dan antibodi anti protein 16kD, 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Beberapa jenis pemeriksaan serologik kusta
yang banyak dipakai antara lain :
a. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Teknik ini dikembangkan oleh Izumi dkk, dengan dasar reaksi antigen-
antibodi yang akan menyebabkan pengendapan (aglutinasi) partikel yang
terikat akibat reaksi tersebut. Saat ini telah tersedia di pasaran Kit MLPA yang
diproduksi oleh Fuji Rebio Con dan bisa diguanakan dilapangan .
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
Uji ini merupakan uji laboratorik yang memerlukan peralatan khusus serta
ketrampilan tinggi, sehingga dalam penyakit kusta hanya digunakan untuk
keperluan khusus, misalnya untuk penelitian atau kasus tertentu.
c. ML dipstick
Pemeriksaan serologik dengan menggunakan mycobacterium leprae dipstick
(ML dipstick) ditunjukan untuk mendeteksi antibodi igM yang spesifik
terhadap M. Leprae. Dipstick tersebut terdiri atas 2 pita horizontal, satu pita
yang terletak di bawah mengandung epitop imunodominan M. Leprae yang
spesifik yaitu PGL-1 dan pita kedua berada di atas sebagai kontrol.
4. Kenali dan kendalikan stress emosional yang dapat memicu terjadinya masalah kulit
2.12. Penatalaksanaan
Menurut (Fadilah, 2007) penatalaksanaan kusta, yaitu :
Klasifikasi Kusta menurut WHO untuk memudahkan pengobatan di lapangan :
1. PB ( Pauci Bacillery )
2. MB ( Multi Bacillary )
Prinsip Multi Drug Treatment (pengobatan kombinasi Regimen MDT-StandarWHO)
1. Regimen MDT-Pausibasiler
a. Rifampisin
Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Berat badan < 35 kg : 450 mg/bulan
Anak 10 14 th : 450 mg/bulan (12 15 mg/kg BB/hari)
Rifampisin : Diminum di depan petugas ( Hari pertama )
2. Regimen MDT-Multibasiler
a. Rifampisin
Dewasa : 600 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
11
- Lampren
Dewasa : 300 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg/hari
Anak 10 14 th : 200 mg/bulan, disupervisi
Dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari.
- Dapson
Dewasa : 100 mg/hari.
Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
Anak 10-14 tahun : 50 mg/hari(1 2 mg/hari/Kg BB/hari)
Lama pengobatan : diberikan sebanyak 24 regimen dengan jangka
waktu maksimal 36 bulan sedapat mungkin sampai apusan kulit menjadi
BAB II
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik yang terjadi pada masyarakat,
yang disebabkan oleh mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan srafa pusat.Kusta atau lepra terjadi pada
kulit dan dapat ditularkan karena kontak fisik. Serangan kuman yang berbentuk batang
ini biasanya pada kulit, saraf tepi, mata, selaput lendir hidung, otot, tulang dan buah
zakar.
3.2.Saran
Bagi pembaca dan masyarakat sebaiknya harus menjaga kesehatan lingkungan
dan makanan serta pola makan agar memenuhi kecukupan energi dan daya tahan pada
tubuh kita.Sehingga kita terjauh dari penyakit, terlebih penyakit kusta yang di
sebabkan karena infeksi dan kurangnya kebersihan pada diri sendiri.
12
DaftarPustaka
Putra, I. N., Fauzi, N., & Agusni, I. (2009). Kecacatan pada Penderita Kusta Baru di Divisi Kusta Vol 21.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin , 9.
Amirudin, M. D., Hakim, Z., & Darwis, E. (2003). KUSTA. Jakarta: FKUI.
Fadilah, S. (2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.
Irnayanti, Andayani, T. M., & Rahmawati, F. (2014). EVALUASI PHARMACY SUPPORT SYSTEM DALAM
IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN PEDIATRIK RAWAT JALAN. Jurnal
Manajemen dan Pelayanan Farmasi , 95.
Kosasih, A., Wisnu, I. M., Daili, E. S., & Menaldi, L. S. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Manyullei, S., Utama, D. A., & Birawida, A. B. (2007). GAMBARAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR VOL 1. Indonesian
Journal of Public Health , 10.
N, H. B. (2016). SEBARAN KASUS KUSTA BARU BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN SOSIAL
EKONOMI DI KECAMATAN KONANG DAN GEGER KABUPATEN BANGKALAN. Jurnal wiyata , 94.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Brdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta: MediAction.
Nurcahyati, S. (2016). SEBARAN KASUS KUSTA BARU BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN
SOSIAL EKONOMI DI KECAMATAN KONANG DAN GEGER KABUPATEN BANGKALAN. Jurnal Wiyata
, 92.
Retno, G. (2008). INTERAKSI OBAT DAN BEBERAPA IMPLIKASINYA. Puslitbang Biomedis dan Farmasi ,
179.
supardil, S., sampurnol, O. D., & Mulyono. (1998). PENGARUH PENYULUHAN OBAT TERHADAP
PENINGKATAN PERILAKU PENGOBATAN SENDIRI YANG SESUAI DENGAN ATURAN Vol 32. Jurnal
Keperawatan , 181.
Watson, J. M., OBE, DP, G., & FCSP. (1998). Tindakan Penting Untuk Mengurangi Resiko Cacat pada
Penderita Kusta. Jakarta: Bakti Husada.
Wewengkang, K., Palandeng, H. M., & Dina, R. V. (2016). Pencegahan Kecacatan Akibat Kusta di Kota
Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik , 87.
13