Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan adalah hasil hubungan antara manusia dengan alam


lingkungannya. Arsitektur tradisional sebagai bagian dari kebudayaan kelahirannya
dilator belakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan setempat dan dilandasi
oleh keadaan alam setempat.

Arsitektur tradisional Bali merupakan salah satu langgam arsitektur


tradisional yang cukup diminati oleh banyak orang karena keunikannya dan
harmonisasinya dengan alam. Arsitektur tradisional bali memiliki ornament dari
berbagai daerah di Bali dengan ciri khas bangunannya masing-masing. Sedangkan
dari desain bangunan tradisional bali ini di ikung dengan konsep-konsep yang
dditerapkan pada perancangan bangunan tradisional bali. Salah satu bangunan
tradisional Bali dan sering di bangun adalah bale daja.

Bale daja merupakan salah satu bangunan tradisional bali yang banyak
dijumpai di bali.Bangunan bale daja terbagi menjadi 2 bagian dengan fungsi yang
berbeda, bale daja bagian kiri memiliki fungsi untuk tempat tidur orang tua atau
kepala keluarga, sedangkan bale daja sebelah kanan berfungsi untuk ruang suci
tempat sembahyang dan tempat menyimpan alat-alat upacara. Bale daja memiliki
tipologi tri angga yaitu kepala, badan , dan kaki serta memiliki 12 tiang (saka).

Bale daja memiliki 2 balai-balai yang terletak di sebelah kiri dan kanan.
Bentuk bangunan bale daja adalah segi empat ataupun persegi panjang. Atapnya
berbentuk limas an dengan struktur atap bali, sedangkan bagian bawahnya berupa
bebaturan yang terbuat dari batu dan biasanya dihiasi dengan ornament tradisional
bali seperti ukiran tumbuhan. Posisi lantai bale daja cukup tinggi dari tanah halaman
sehingga biasanya dilengkapi dengan tangga untuk akses pencapaian.

Saat ini cukup sulit menemukan bangunan bale daja dengan saka roras yang
asli, faktanya telah banyak terjadi perkembangan dan perubahan pada bangunan bale
daja misalnya digunakan sebagai lobby resort. Dari sini timbulah keinginan penulis
untuk mencoba menjadikan bangunan bale daja sebagai bangunan yang bersifat
publik dan memiliki fungsi selain sebagai tempat tinggal dan menyimpan alat
upacara. Dengan menganalogikan bentuk bale daja sendiri dan dengan penerapan
salah satu konsep arsitektur tradisional bali, yaitu tri angga yang merupakan tiga
bagian dari bangunan yang terdiri dari kaki, badan dan kepala.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, timbulah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana analogi bentuk dari bale daja ?

2. Bagaimana pengertian dari konsep tri angga?

3. Bagaimana menganalogikan bale daja kedalam desain bangunan lobby


resort?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengeksistensikan kosep arsitektur tradisional bali di zaman


modern.

2. Mengembangkan potensi arsitektur tradisional bali ke dalam bangunan


public.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi mengenai pengembangan potensi dari bale daja.

2. Memancing para arsitek muda untuk mencoba desain baru dengna


menggunakan nilai-nilai arsitektur tradisional bali.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Pembangunan Rumah Adat Bali

Pada dasarnya pembangunan rumah adat Bali dibangun berdasarkan aturan


yang ada dalam kitab suci Weda. Dalam pembangunannya rumah ini harus memenuhi
syarat dan sesuai dengan aturan Kosala Kosali yang mengatur tentang tata letak
rumah. Aturan ini hampir mirip dengan aturan feng shui yang amat terkenal di Cina.
Sama halnya dalam masyarakat Cina yang mengenal filosofi dalam tata letak , rumah
adat Bali pun tidak mau kalah. Ada nilai-nilai filosofis yang terkandung di balik
pembangunan rumah adat semacam ini. Menurut masyarakat Bali, membangun
rumah harus memenuhi aspek Tri Hita Karana yaitu aspek yang mencakup
keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat akan terwujud jika seseorang mampu
mewujudkan hubungan sinergis antara pawonga (penghuni rumah) , palemahan
(linkungan dari tempat rumah tersebut berada) , dan parahyangan. Kebanyakan rumah
adat masyarakat Bali dibangun dengan filosofi tadi. Umumnya selain harus
memenuhi sinergi antara pawonga , palemahan dan parahyangan. Di dalam ajaran
agama Hindu terdapat ajaran bahwasannya manusia hendaknya menyelaraskan
dirinya dengan alam. Pandangan ini menghendaki dua macam kemenangan dalam
proses kehidupan, yaitu kemenangan lahiriah dan batiniah. Alam semesta terwujud
dari lima unsur yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu apah (zat cair), teja (sinar),
bayu (udara), pertiwi (zat padat / tanah) dan akasa (ether). Dari sinilah timbulnya
suatu pandangan bahwa Bhuana Agung (makro kosmos) dan Bhuana Alit (mikro
kosmos) mempunyai sumber yang sama, yaitu Panca Mahabhuta. Dalam agama
Hindu, manusia senantiasa diajarkan bagaimana menciptakan balance cosmology
(keseimbangan dan keselarasan terhadap keduanya). Secara ringkas paham dasar
agama Hindu yang begitu meresap dalam kehidupan masyarakat Bali dapat
digambarkan dalam bentuk diagram yang menjelaskan tentang tujuan kehidupan
untuk mencapai Moksha yang diwujudkan dalam beberapa bentuk kegiatan upacara
(yadnya) dan fase-fase kehidupan mulai dari fase Brahmacari (saat mencari dan
mengembangkan kebenaran / dharma), fase Gryhasta (saat berumah tangga dan
membina keluarga yang dilandasi ajaran kebenaran, fase Wanaprasta (saat untuk
merefleksikan / meditasi terkait dengan segala amal perbuatan yang telah dilakukan)
dan fase Bhiksuka (saat manusia kembali kepada Sang Hyang Widhi).

Gambar 1. Paham Dasar Agama Hindu


Sumber : Robi Sularto,

Rwa Bhineda

Konsep perpaduan antara dua kekuatan di sekitar manusia. Hal ini yang
mendasari terjadinya pembagian menjadi dua, seperti : baik & buruk, laki-laki &
perempuan, siang & malam, dan sebagainya. Menciptakan keselarasan dengan cara
menyatukan antara unsur purusha (akasa) dan pradhana (pertiwi) dapat mewujudkan
bibit kehidupan. Dalam kaitannya dengan wujud arsitektur adalah tercapainya suatu
wujud bawa (benda) maurip (hidup).
Tri Hita Karana

Tri Hita Karana memiliki makna tiga unsur sebagai penyebab kebaikan yang
terdiri dari atma (roh/jiwa), prana (tenaga) dan angga (jasad/fisik). Konsepsi Tri Hita
Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos yang besar (bhuana agung) sampai
yang paling kecil (bhuana alit). Dalam alam semesta jiwa adalah Paramaatma
(Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah kekuatan alam dan jasad adalah Panca Maha
bhuta. Dalam lingkup permukiman desa, jiwa adalah parahyangan (pura desa),
tenaga adalah pawongan (warga desa) dan jasad adalah palemahan (wilayah teritorial
desa). Pada rumah tinggal, jiwa adalah sanggah/pamerajan (area suci/pura keluarga),
tenaga adalah penghuni (anggota keluarga) dan jasad adalah pekarangan, sedangkan
dalam konteks manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad
adalah stula sarira (tubuh manusia).

Tri Angga dan Tri Loka

Tri Angga memiliki arti tiga bagian dalam tubuh manusia yang terdiri dari
utama angga (kepala), madya angga (badan) dan nista angga (kaki). Konsep Tri
Angga dalam Bhuana Agung disebut dengan Tri Loka atau Tri Mandala. Konsepsi
Tri Angga berlaku dari yang besar (makro) sampai yang terkecil (mikro). Bila
dianggap secara vertikal, maka aplikasi konsep tersebut terdiri dari utama berada
pada posisi teratas / sakral, madya posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor.
Gambar 2. Tri Angga Pada Ruang Makro dan Mikro
Sumber : Robi Sularto

Nawa Sanga / Sanga Mandala

Nawa Sanga / Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan


dan tata letak bangunan pada arsitektur Bali. Konsep Nawa Sanga adalah merupakan
penggabungan dari konsep orientasi sumbu bumi dan sumbu ritual / sumbu matahari.
Orientasi berdasarkan sumbu bumi membagi tiga zona yang terdiri dari : daerah
tinggi / gunung (utama) disebut dengan Kaja, daratan (madya) dan laut (nista)
disebut dengan Kelod. Sedangkan orientasi sumbu ritual/matahari membagi menjadi
tiga zona yang terdiri dari : arah terbitnya matahari di timur (utama) disebut dengan
Kangin, transisi arah timur barat (madya) dan arah terbenamnya matahari di Barat
(nista) disebut dengan Kauh.
Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan konsep sumbu
ritual/matahari (Kangin-Kauh) inilah yang menghasilkan konsep Sanga Mandala.
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang lahir dari sembilan
manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar pada delapan arah
mata angin dengan satu pada bagian tengah yang menjaga keseimbangan alam
semesta.

Gambar 3. Konsepsi Nawa Sanga / Sanga Mandala


Sumber : Buku Pameran Arsitektur, PKB 1993

Konsep Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam tata letak bangunan dan alokasi
kegiatannya, seperti kegiatan utama yang memerlukan ketenangan diletakkan pada
daerah Utama ning Utama, kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nista
ning Nista, sedangkan kegiatan diantara ke-duanya diletakkan di tengah atau dikenal
dengan daerah Madya ning Madya.

2.2 Konsep dalam arsitektur bali

1. Asta Kosala Kosali

Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tataletak,
dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempatsuci yang
ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual
denganmemperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik
(dewasa)membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.Asta Kosala Kosali
merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggaldan bangunan suci.
penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomitubuh yang punya.
Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yangempunya rumah.
Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:

-- Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari
yangmenghadap ke atas),

-- Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan


tengahtangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)

-- Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari
kirike kanan)

2. Asta Bumi

Asta Bumi merupakan yang mengatur tentang luas halaman , pembagian ruang
halaman, dan jarak antar bangunan. Setiap ruang di Bali, terbagi menjadi 3 wilayah
ruang, yakni:
1. Wilayah Utama Mandala Utama mandala adalah bagian yang paling
sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi. Di wilayah ini,
dibangun pelinggih-pelinggih (bangunan-bangunan Pura) utama. Tujuan dari
penataan pelinggih (baik tata ukuran-dan-jarak maupun ruang) di sini
dimaksudkan agar terpancar energi suci sehingga terbina hubungan yang
harmonis antara penyungsung (pemuja) dengan yang disungsung (dipuja).
Kokretnya hubungan yang harmonis antara manusia dengan penciptanya
yang dalam konsep Tri Hita Karana disebut Parahiyangan (ruang untuk
melakukan aktivitas hubungan antara manusia dengan penciptanya)
2. Wilayah Madya Mandala Madya Mandala adalah bagian tengah,
menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan Utama Mandala. Di
wilayah ini dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gede, bale
dangin, bale dauh, paon(dapur suci).
3. Wilayah Nista Mandala Nista Mandala adalah bagian teben, boleh
menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan madya mandala
hanya saja lebar halaman tetap harus sama. Di wilayah ini di bangun pelinggih
yang disebut Lebuh. Tujuan dibuatnya lebuh di sini dimaksudkan agar
terpancar energi positive sehingga terbina hubungan yang harmonis antara
manusia dengan mahluk lainnya seperti buthakala dan alam bawah lainnya.
Biasanya pada nista mandala terdapat ternak babi, dan lain-lain.

3. hulu - Teben.

"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan
dengan hulu. Ada dua patokan mengenai hulu yaitu

1. Arah Timur, dan


2. Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.

Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.

Cara menentukan lokasitempat suci di rumah atau merajan adalah menetapkan


dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar
timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja
sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika
gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas,
jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya.
Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan
membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah
pemujaan.

Pemilihan Tanah Pekarangan.

Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang
miring ke timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang,
pelemahan marubu lalah(berbau pedas).

Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :

karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),


karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
karang tenget
karang buta salah wetu
karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
tanah yang berwarna hitam- legam, berbau bengualid (busuk).

Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi
membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang
ditentukan, serta dibuatkan pelinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara
pamarisuda.

Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.

Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta


Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin
hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan
(alam bhuta).

Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di


atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma,
Penunggun Karang dan Natar.

Rumah Bertingkat.

Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di


hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12
jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

Menentukan tata letak pekarangan

Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau
Utara pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah,
ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.
Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan
lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga
lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.
Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain.
Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan
umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.
Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan
umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.Dan lain
sebagainya.

Bale Meten / Bale Daja

Bale Meten terletak di bagian Utara ( dajan natah umah ) atau di sebelah barat
tempat suci / Sanggah. Bale Meten ini juga sering disebut dengan Bale Daja, karena
tempatnya di zona utara ( kaja ). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang
terletak di kiri dan kanan ruang. Bentuk bangunan Bale Meten adalah persegi
panjang, dapat menggunakan saka / tiang yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (
sakutus ), dan 12 ( saka roras ). Fungsi Bale Meten adalah untuk tempat tidur orang
tua atau Kepala Keluarga di bale sebelah kiri. Sedangkan di bale sebelah kanan
difungsikan untuk ruang suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan alat alat
upacara. Sebagaimana dengan bangunan Bali lainnya, bangunan Bale Meten adalah
rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah
halaman ( 75-100 cm ). Bangunan ini adalah bangunan yang memiliki tempat
tertinggi pada seluruh bale dalam satu pekarangan disamping untuk menghindari
terjadinya resapan air tanah.

Sakaroras

Objek yang kita kaji ini merupaka jenis bale daja sakaroras atau saka 12. Sakaroras
merupakan bangunan utama untuk perumahan utama. Bahan bangunan, konstruksi
dan penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bentuk bangunan berdenah bujur
sangkar dengan konstruksi atap limasan berpuncak satu. Petaka sebagai titik ikatan
konstruksi di puncak atap. Bangunan ini memiliki jumlah tiang 12 buah dengan
pembagian empat-empat sebanyak tiga deret dari luan ke teben. Dua bale-bale
masing-masing mengikat empat tiang dengan sunduk, waton, dan likah sebagai
stabilitas ikatan. Empat tiang sederet di teben dengan canggahwang sebagai stabilitas
konstruksinya.

Bangunan tertutup di dua sisi dan terbuka ke arah natah. Ke arah teben tertutup
dengan dinding setengah terbuka namun ada pula yang terbuka. Letak bangunan di
bagian Kangin atau Kelod dan terbuka ke arah natah. Fungsi bangunan sakaroras
sebagai Sumanggen untuk kegiatan adat dan bangunan serba guna memiliki luas
sekitar 6m x 6m, mendekati enam kali luas sakepat, atau tiga kali luas sakenem atau
satu setengah kali luas tiang sanga. Dalam tipologi bangunan perumahan tradisional
Bali, sakepat dengan bale-bale sisi panjang sepanjang tiang dan sisi lebar dua pertiga
panjang tiang merupakan modul dasar. Panjang tiang ditentukan oleh sisi-sisi
penampang tiang dan pengurip untuk masing-masing jenis kasta, peranan penghuni,
dan kecenderungan yang ingin dicapai.

Bangunan sakeroras juga disebut Bale Murdha bila hanya satu bale-bale mengikat
empat tiang dibagian tengah. Disebut Gunung Rata atau sakutus handling bila
difungsikan sebagai Bale Meten dengan dedeleg sebagai puncak atapnya. Letaknya di
bagian Kaja menghadap ke natah.

2.3 Transformasi Arsitektur Bale Daja ( Meten) di Masa Kini

Masyarakat Bali kini bukanlah merupakan masyarakat tradisi meskipun sebagian


kegiatannya masih merupakan kegiatan tradisi. Dari hasil penelitian, masyarakat Bali,
dengan tingkat pendidikan yang tinggi, gaya hidup modern, tetap membutuhkan
adanya bale-bale yang berhubungan dengan kegiatan ritual keagamaan dan
kemasyarakatan. Bangunan yang tetap dibutuhkannya adanya; pamerajan/ sanggah
sebagai tempat sembahyang, serta bale daja dan bale dangin sebagai ruang tidur dan
tempat pendukung upacara keagamaan. Namun dilain pihak, tuntutan kebutuhan
pribadi sebagai seorang yang telah mengenyam pendidikan serta berpenghasilan
cukup menyebabkan terjadilah perkembangan pada arsitektur umah-nya. Kajian kali
ini membahas transformasi arsitektur bale daja. Masyarakat Bali kini merupakan
masyarakat modern yang kerjanya tidak hanya berprofesi sebagai petani dan profesi
tradisi lainnya tetapi juga membaca buku dan bekerja di depan komputer. Selain itu
perubahan gaya hidup juga menuntut aktivitas yang serba praktis dan kenyamanan
yang lain. Dalam kapasitasnya sebagai arsitektur Bali kekinian atau saat ini,
transformasi bale daja ditelusuri dari kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bali.
Penelusuran menghasilkan penilaian atas vektorvektor yang berpengaruh dalam
transformasi. Vektor positif memberi dukungan atas kaidah-kaidah arsitektur
tradisional Bali. Demikian sebaliknya pada vektor negatif.
BAB III

DATA ANALISA

3.1 Nilai Nilai Arsitektur Bali dalam Objek Observasi

3.1.1 Profil Objek Observasi

Nama Objek : The Natya Ubud Resort

Fungsi Bangunan : Resort

Lokasi : Ubud Bali

3.2 Pembahasan Objek

The Natya Ubud Resort memiliki arah orientasi pintu masuk berada disebelah
timur laut dan berorientasi kearah tenggara. Sesuai dengan aturan orientasi dari Sanga
Mandala yang merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana
pada bale meten yang berubah menjadi lobby bangunan Natya ubud ini yang
menganut sumbu natural yang mengacu pada gunung dan lembah. Hal ini merupakan
arah yang tepat juga bila mengacu pada potensi site yang bisa mendapatkan view ke
lembah diarah selatan.
Sumber : AUB3

Selain arah hadap (orientasi) bangunan yang benar, The Natya Ubud Resort
juga memiliki tata layout rumah yang tepat sesuai konsep tata nilai tradisional Bali,
Hal ini dapat dilihat bahwa sirkulasi The Natya Ubud Resort terdiri atas tiga pola
nilai yaitu, publikm semi publikm dan privat yang didasarkan pada Pola Tri Mandala
yang terdiri dari area nista, madya, dan utama.
Sumber : Dokumen Pribadi

Dari segi elemen pembentuk ruang ( lantai, dinding, dan plafond) ada
beberapa titik area yang dirancang sesuai dengan konsep elemen pembentuk
bangunan tradisional Bali.Pada bagian plafon (kepala), lobby ini mengaplikasikan
bentuk plafon sesuai dengan konsep bangunan tradisional Bali. Dimana pada lobby
bangunan berbentuk struktur ekspos dari atapnya yang tidak ditutupi.

Sumber : Repository Petra


Pada bagian dinding (badan), The Natya Ubud Resort, lobbynya
mengaplikasikan tiang sebagai salah satu vocal point pada bangunan tersebut. Bentuk
Lobbynya yang memanjang kesampinf memiliki 2 tingkat lantai yang lantai dasarnya
difungsikan sebagai restoran dan infinity pool, membuat bangunan ini terdiri atas
banyak kolom. Kolom ini merupakan salah satu elemen utama dari pembentuk
bangunnan tradisional Bali.

Sumer : Dokumen Pribadi Sumber : Dokumen Pribadi

3.3 Analogi Bale Kul- kul dan Implikasi pada Desain Banguan Perpustakaan

Metode yang akan digunakan dalam perancangan ini adalah metode analogi
matematis. Dengan menggunakan metode ini penulis lebih memperhitungkan
proporsi dari bangunan bale meten tersebut dan menafsirkannya pada proporsi
desain bangunan lobby yang akan didesain berdasarkan pengembangan desain
bale meten yang akan penulis buat. Konsep arsitektur tradisional Bali salah
satunya adalah Tri Angga yang terdapat pada setiap bangunan. Bale meten juga
memiliki konsep Tri Angga dalam bangunannya. Penerapan konsep tri angga
pada bale meten adalah, nista atau kaki merupakan pondasi dari bale meten,
madya atau badan merupakan badan dari bale meten yang merupakan tempat
untuk berlangsungnya aktivitas pengguna, dan yang terakhir adalah utama atau
kepala yang merupakan atap dari bale meten yang umumnya terbuat dari rangka
kayu dan jerami atau ijuk sebagai penutupnya.
Dengan menganalogikan bangunan sebagai manusia maka bangunan tersebut
akan dibagi menjadi tiga bagian yang proporsional. Begitu juga dengan desain
lobby pada Natya Resort Ubud. Kesamaan perletakan bangunan bale meten dan
lobby resort natya ubud menjadi salah satu pertimbangan dalam penggunaan
bale meten untuk menganalogikan bangunan lobby Natya Ubud Resort.

3.4 Penerapan Konsep Tri Angga pada Desain Bangunan Perpustakaan


Konsep Tri Angga pada bangunan Bale Meten berupa nista (kaki) yang pada
bangunan berupa pondasi, madya (badan) yang pada bangunan merupakan
badan serta utama (kepala) yang pada bangunan merupakan atap. Pada
bangunan lobby Natya Resort Ubud ini bagian nista masih tetap sebagai
pondasi bangunan lobby. Sedangkan untuk madya juga merupakan bagian
badan dari bangunan lobby. Utama angga pada lobby juga tetap seperti utama
pada bale meten yaitu atap. Disini penulis akan lebih dalam membahas tentang
bagian madya atau badan bangunan lobby. Pada bangunan lobby ini, arsitek
menggunakan atap berbahan alang-alang sesuai dengan gaya arsitektur
tradisional bali pada bangunan bale meten, Pintu masuk lobby ini menghadap
ke arah selatan sesuai perletakan pintu masuk pada bale meten. Namun yang
sedikit berbeda adalah sejumlah tiang yang menyokong bangunan lobby ini.
Pada bangunan bale meten biasanya menggunakan tiang penyangga berupa
saka dengan berbagai oramen tradisional Bali, namun pada lobby ini tiang
penyangga hanya berupa kayu polos dengan finishing akhir menggunakan
plitur. Bangunan lobby pada Natya Resort Ubud ini juga didesain dengan
struktur atap yang terekspos sama halnya seperti pada bangunan bale meten.
Pada bagian lobby ini terdapat sebuah receptionis dan sejumlah sitting area
yang dapat digunakan oleh tamu villa saat menunggu proses check in dan check
out. Dari lobby ini, tamu villa juga disuguhkan pemandangan indah dari hutan
asli Ubud yang dapat dilihat melalui sekeliling villa karena lobby ini didesain
tanpa tembok penutup di sekelilingnya.

Anda mungkin juga menyukai