Case Togosss
Case Togosss
DAFTAR MASALAH
No Aktif Tanggal
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus
Seorang Laki-Laki berusia 49 tahun denganHIV, Anemia, TB Paru Aktif,
Efusi pleura Kiri, Candidiasis Oral
Pembimbing
Pelapor Mengetahui
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.N
Umur : 49 tahun
No RM : 406996
Jenis Kelamin :Laki-laki
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Kontraktor
Alamat : Getas Pejaten 05/03 Jati Kudus
Ruang Rawat :Melati 2, Kamar B4
Status : Pasien BPJS
Masuk RSUD : 11November 2016
Dikasuskan : 14November 2016
Tanggal Keluar : 17November 2016
DATA SUBJEKTIF
ANAMNESA:
Autoanamnesadengan pasien pada tanggal 14November 2016 di ruang Melati 2 kamar
B4.
KELUHAN UTAMA:
Demam
RIWAYAT KEBIASAAN:
o Riwayat penggunaan narkotika : disangkal
o Riwayat penindikan maupun tattoo : disangkal
o Riwayat transfusi : disangkal
o Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
o Riwayat merokok sehari 1 bungkus namun 2 bulan ini sudah berhenti
merokok
o Riwayat Seks bebas : diakui
DATA OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
o Kesadaran umum : Tampak sakit ringan
o TB : 160cm BB: 50 kg
o BMI : 19,53 kg/cm2 (Kesan: Tubuh ideal)
o Leher :
o Trakea ditengah, pembesaran KGB submandibula, servikal,
infraklavikula, supraklavikula, aksila (-), Pembesaran kelenjar
tiroid (-), JVP 5 + 3 cm H2O pada sudut 45o.
o Dada :
o Bentuk dada simetris pada posisi statis dinamis. Barrel chest (-),
retraksi interkostal (-), ginekomastia (-),venektasi (-), spider naevi
(-), atrofi muskulus pektoralis (-), benjolan dan bekas luka (-),
retraksi interkostal (-), tattoo(-).
JANTUNG
INSPEKSI Tampak pulsasi ictus cordis di ICS VI MCLS
PALPASI Teraba pulsasi ictus cordis di ICS VI MCLS, tidak kuat angkat lebar +/- 2 cm
PERKUSI Redup Batas Kiri atas jantung: ICS II PSLS
Batas Kanan Jantung: ICS IV PSLD
Batas Kiri jantung: ICS V MCLS
Abdomen
o Inspeksi :
o Tampak simetris dan flat, pulsasi epigastrium (-), striae (-), distensi vena (+),
Scar (-), Peristaltik usus(-), Pulsasi aorta abdominal (-)
o Auskultasi :
o peristaltik usus 16x/menit, bruit aorta (-), bruit arteri renalis (-), Friction
rub(+) pada daerah kanan atas abdomen.
o Perkusi :
o timpani, nyeri ketok CVA (-), Batas paru hepar ICS VI MCL Dextra, shifting
dullness (+), fluid wave (-), castle sign (-)
o Palpasi :
o Hepatomegali (-),ballottement ginjal kanan dan kiri (-), nyeri tekan (+), nyeri
lepas (-), Lien tidak teraba, Nyeri tekan kandung kemih (-), pulsasi aorta
abdominal(-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13 L g/dL 14.0 18.0
Eritrosit 4,29 L Jt/ul 4.5 5.9
Hematokrit 37,9 L % 40 52
Trombosit 199 103/uL 150 400
Leukosit 5,2 103/uL 4.0 12.0
Neutrofil 51,1 % 50 70
Limfosit 26,9 % 25 40
Monosit 11,1 L % 28
MCH 30,3 Pg 27 31
MCHC 34,3 g/dL 33 37
MCV 88,3 fL 79 99
KIMIA KLINIK
Ureum 19,1 mg/dl 19-44
Creatinin 1,4 H mg/dl 0,6-1,3
SGOT 67 H u/L 0-50
SGPT 44 u/L 0-50
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,4 L g/dL 14.0 18.0
Eritrosit 2,82 L Jt/ul 4.5 5.9
Hematokrit 26,7 L % 40 52
Trombosit 284 103/uL 150 400
Leukosit 7,0 103/uL 4.0 12.0
Neutrofil 56,1 % 50 70
Limfosit 22,9 L % 25 40
Monosit 11,4 L % 28
MCH 33,3 L Pg 27 31
MCHC 35,2 L g/dL 33 37
MCV 94,7 L fL 79 99
KIMIA KLINIK
Ureum 19,6 mg/dl 19-44
Creatinin 0,9 mg/dl 0,6-1,3
SGOT 27 u/L 0-50
SGPT 17 u/L 0-50
X Foto Thoraks
Cor:
o Cor dalam batas normal, hilus dan mediastinum tidak melebar
Pulmo:
o Corakan bronkovaskuler normal, tak tampak bercak infiltrat di kedua paru
Diafragma:
o Sinus dan diagfragmakiri suram
KESAN:
o Tb paru aktif, DD : Bronkopneumonia
o Effusi Pleura Kiri Minimal
PROBLEM AKTIF:
1. HIV-AIDS
2. Anemia
3. TB Paru
4. Efusi Pleura kiri
5. Kandidiasis Oral
PROBLEM AKTIF :
Problem 1 : HIV-AIDS
o Assesment :
Mencari komplikasi : infeksi oportunistik
- Kandidiasis oral
- TBC Paru
-Diare kronik
- Pneumonia bakteri
- Toksoplasma ensefalitis
- TBC ekstra Paru
- Herpes Zooster
Menentukan stadium Clinical stage 3 (WHO)
Menentukan terapi
o Initial plan:
Diagnosa :
Hitung sel limfosit T CD4+
Foto rontgen
Pemerikasaan lab sero imunologi : HbsAg
Therapy : Infus RL 20 tpm
Zidofudin 2x300 mg
Lamivudin 2 x 150 mg
Nevirapin 1 x 200 mg
Monitoring : Hitung sel limfosit CD4+
Pantau efek samping obat
Edukasi :
Problem 2 : Anemia
o Assesment : Menentukan etiologi (anemia penyakit kronik, kekurangan zat
besi, penyakit hepar kronik)
o Initial Plan :
o Diagnosa : Hapusan darah tepi, TIBC, serum feritin
o Terapi : Terapi PRC 2 kantong/ hari sampai Hb 10 g/dL
o Monitoring : Keluhan subjektif pasien.
o Edukasi : Menjelaskan dampak dari penyakit dan
memberitahu pasien tentang diet yang sesuai, serta pola makan
yang teratur
Problem 3 : TB Paru aktif
o Assesment : Mencari DD : Bronkopneumonia
o Initial Plan :
Diagnosa : Pemeriksaan BTA
Terapi : 2RHZE/4HR
Monitoring : Evaluasi pengobatan pada akhir bulan ke 2,
akhir bulan ke 6
Edukasi : Menjelaskan tentang penyakit yang diderita,
menggunakan masker
RINGKASAN
Pasien datang dengan keluhan demam4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
jugamengeluhkan lemas sepanjang hari, nafsu makan menurun dan batuk 1 bulan.
Pemeriksaan tanda-tanda vital TD : 110/70, Nadi : 74x/menit, nafas 20x menit, dan
suhu : 37,0oC. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan conjungtiva anemis dansklera
ikterik.Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin : 9,4 g/dL, eritrosit : 2,82 jt/ul, hematokrit
: 26,7%, limfosit : 22,9%, monosit : 11,4 %, MCH : 33,3 pg, MCV : 94,7fL, MCHC 35,2
g/dL.
Catatan Kemajuan
Problem 1 : HIV-AIDS
14 november 2016
S : Pasien mengeluhkan badan lemas dan demam
O : TD : 117/74
N : 72 x/menit
S : 38,9 C
Mata : konjungtiva anemis (-/-)
A : B20
Hasil Lab CD4 tidak ada
ALUR BERPIKIR
Pasien datang dengan keluhan demam 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
juga mengeluhkan lemas sepanjang hari, nafsu makan menurun dan batuk 1 bulan.
Pemeriksaan tanda-tanda vital TD : 110/70, Nadi : 74x/menit, nafas 20x menit, dan
suhu : 37,0oC. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan conjungtiva anemis dansklera
ikterik.Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin : 9,4 g/dL, eritrosit : 2,82 jt/ul, hematokrit
: 26,7%, limfosit : 22,9%, monosit : 11,4 %, MCH : 33,3 pg, MCV : 94,7fL, MCHC 35,2
g/dL. Hasil VCT reaktif.
HIV-AIDS Anemiaa
Kandidiasis
/ TB paru
Orala
TINJUAN PUSTAKA
1.2 Etiologi
HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari
famili Lentivirus (Gambar 1).Strukturnya tersusun atas beberpa lapisan dimana
lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein
gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
permukaan T-helperlymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian
dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme) (Merati dkk.,2006).
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2.Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Erop yang berhubungan erat dengan Afrika Barat (Merat dkk.,2006)
infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu
bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan mengandung
inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan
tubuh lain misalnya air mata, keringat dan urin dapat merupakan media
transmisi HIV.
Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium
Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV
setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah
seseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan
HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitara
0,09%. Di rumah sakit Dr. Sutomo dan rumah sakit swasta di Surabaya,
terdapat 16 kasus kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam 2 tahun
terakhir. Pada evaluasi lebih lanjut tidak terbukti terpapar HIV (Djauzi S
dkk.,2006).
1.4 Patogenesis
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila
terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang
progresif ( Djoerban Z dkk.,2006).
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in
vitro dan in vivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik,
folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikroglia,
astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal (Merati dkk,2006).
Infeksi HIV terjadi melalui CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan
bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melaui kompleks molekul
adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell
specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Antigen
gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-
reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan
terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan
RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase
reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA penjamu dengan
bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut dengan provirus.
Setalah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan
enzim polimerasi sel host menjdi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi
dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein, mRNA akan memproduksi
semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel
virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding
pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkn dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening (Djoerban Z
dkk.,2006)
gp41). Antobodi muncul disirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara
umum dapat dideteksi pertamakali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi
HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21
akan dikenal oleh sistem imin yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap
HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak mematikan virus dan hanya
berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun seluler yang terjadi
berupa reaksi cepat sel CTL 9sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8).
Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan
terus laju replikasi HIV (Djaoerban Z dkk.,2006)
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa
gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
lambat (non-progessor).Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam
lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,
herpes dan lain-lainnya.
Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus berkesinambungan pada
infeksi HIV yang tidak diterapi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari.Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Infeksi HIV/AIDS
1. Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis
WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans
epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya
didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.
Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui
stadium klinis pada orang dewasa.WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium
klinis yakni stadium I (asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit
sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS).Bersama dengan hasil pemeriksaan
jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai
terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi.Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan
diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat.Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas.Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan
medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
2. Pemeriksaan
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya
infeksi HIV. Pertama untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain
dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit. Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakan apabila terdapat infeksi oportunistik
atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Depkes RI ,2011)
Cara penentuan yang lain dengan serologi HIV yang dianjurkan adalah
ELISA, mempunyai sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan
serologi HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan yang lebih spesifik Western blot (WB)(Nasronudin, 2007). Tes
serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB dapat
ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti (p17, p24,
p55), polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41, gp120,
gp160). Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan
melalui EIA terdapat potensi false positif 2%. Interpretasi WB meliputi:
a. Negatif: tidak ada bentukan pita
b. Positif: reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
c. Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria hasil positif.
2.7 Penatalaksanaan
` HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total, namun
data 8 tahun terakhir menunjukan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan
menggunakan kombinasi beberpa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas adini akibat infeksi HIV (Djoerban z dkk.,2006).
Secara umum, penatalaksanaan odha terrdiri atas beberapa jenis yaitu :
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV)
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, kanker serviks.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan
yang engkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi oportunistik berkurang.
Terapi Antiretroviral :
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita
yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan bijaksana, serta
mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah memberikan penjelasan tentang
manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV; kesanggupan dan
kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat
yang tepat untuk memulai terapi ARV.
Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa menurut WHO
(2006).
Stadium Klinis Pemeriksaan CD4 Pemeriksaan CD4
WHO tidak dapat dapat dilakukan
dilakukan
I ARV belum Terapi bila CD4 <200
direkomendasikan sel/ mm3
II ARV belum Mulai terapi bila CD4
Terapi ARV
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT +
3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia.Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah
d4T + 3TC + NVP.Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena
adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati
perifer.Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat
digunakan.Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh
diberikan (Depkes RI, 2007).Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat. Adapun
kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.
Tabel di bawah ini mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian
obat ARV golongan ini.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai
terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 <
200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila
tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang
dari 200/mm3.Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat
CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4
tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis.Terapi ARV
dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 <
350/mm3.Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3.
Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan
pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka
penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar
virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai
terapi. (Depkes RI, 2007)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif.Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan
sesegera mungkin (AIII).Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,
demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan
pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari
bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir
sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007).
Infeksi Opportunistik dan HIV/AIDS :
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium
lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh
agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu yang imunokompeten.
Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV hingga
jumlah sel T CD4 turun dari kadar normal sekitar 1.000 sel/l menjadi kurang dari
200 sel/ l. Ketika pengobatan terhadap beberapa patogen oportunistik umum
terbentuk dan penatalaksanaan pasien AIDS memungkinkan ketahanan yang lebih
lama, spektrum infeksi oportunistik mengalami perubahan.
Patogen Penyebab :
Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV) , tubuh secara gradual
akan mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit
CD4. Pada keadaan di mana jumlah dan fungsi limfosit CD4. Pada keadaan di mana
jumlah limfosit CD4 <200/ml atau kurang, sering terjadi gejala penyakit indikator
AIDS. Spektrum infeksi yang terjadi pada keadaan imunitas tubuh menurun pada
infeksi HIV ini disebut infeksi oportunistik.
Perjalan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan
oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut. Regulasi imun
ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem
HLA yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang karakteristik. Pada
awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi
adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena
kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun.
Keadaan ini menyebabkan tubuh pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik.
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal,
maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian
mengalami reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum
mempunyai pola tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada
gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah
limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan
Bakteria
Reaktivasi inhalasi Ya
1. MTB endogen, orang
sakit
Air, tanah Inhalasi, ingestion Tidak
2. MAC
Virus
1. Hepers Reaktivasi Seksual Ya
Simpleks endogen, orang
sakit
2. Herpes Reaktivasi Tidak tentu Tidak tentu
Zozter endogen, orang
sakit
3. CMV Reaktivasi Seksual, darah Ya
endogen, orang
sakit
4. EBV Reaktivasi Inhalasi/in-gestion? Ya
endogen, orang
sakit
Parasit
1. Pneumocys- Reaktivasi Inhalasi Mungkin
tisca carinii endogen, orang
sakit
2. Toksoplas- Reaktivasi Ingestion Tidak
ma Gondii endogen, orang
sakit
3. Mikrospori-dia Air, orang/binatang Ya
terinfeksi
4. Cryptospori-dia Air, orang/binatang Ya
terinfeksi
Jamur
1. Kandida Air, tanah Tidak tentu Tidak
Penyakit Gastrointestinal
Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran gastrointestinal (GI). Penurunan
berat badan dan selera makan merupakan gejala umum apapun patologinya
a. Penyakit esofagus biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat menelan dan
disfagia. Kandidiasis merupakan penyebab 80% kasus (terjadi pada 30% pasien
dengan OCP). Plak pseudomembranosa tampak saat pemeriksaan barium meal
sebagai defek pengisian (filling defects) dan saat endoskopi.
b. Penyakit usus halus sering berhubungan dengan diare cair bervolume banyak,
nyeri perut dan malabsorpsi. Bila terdapat imunidefisiensi sedang (100-200 CD4
sel/mm3), Cryptosporidium, mikrosporidium, dan Giardia merupakan penyebab
yang mungkin. Bila kadar CD4 <50 sel/mm3, Mycobacterium avium intercelluler
(MAI) dan CMV merupakan diagnosis alternatif.
c. Penyakit usus besar timbul sebagai diare (sering berdarah) bervolume sedikit yang
disertai dengan nyeri perut. Suatu patogen enterik bakterial standar mungkin
berperan seperti Clostridium difficile. Kolitis CMV merupakan diagnosis penting
pada pasien dengan hitung CD4 rendah yang terjadi pada hingga 5% pasien.
Penegakan diagnosis diakukakn melalui endoskopi yang sering memperlihatkan
ulkus dalam atau dangkal yang konfluen atau segmental, serta dengan biopsi.
Megakolon toksik, perdarahan, dan perforasi dapat menyebabkan komplikasi pada
infeksi.
Penyakit hepatobilier
a. Penyakit bilier dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi CMV,
Crytosporidium, atau mikrosporidium dalam bentuk kolangitis sklerosans atau
kolesistitis akalkulia. Manifestasinya adalah nyeri kuadran kanan atas, muntah,
dan demam; ikterus jarang terjadi. Pada kolangitis sklerosans, peningkatan
fosfatase alkali dan -glutamil transferase serum biasanya mendahului timbulnya
ikterus. Pencitraan ultra sonografi memperlihatkan pelebaran saluran empedu.
Akan tetapi, endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) penting
untuk memperlihatkan gambaran menyerupai kabut intrahepatik dan ekstrahepatik
yang khas untuk kolangitis sklerosans.
b. Penyakit hati dapat disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV atau HCV. Koinfeksi
hepatitis B atau C menjadi masalah yang meningkat pada HIV. Pada kedua
hepatitis tersebut, viremia lebih tinggi dan penyakit lebih agresif. Pada koinfeksi
HBV, imunosupresi yang terlihat pada penyakit tahap lanjut dapat memberikan
Penyakit Paru
Lebih dari setengah pasien-pasien dengan HIV akan mengalami penyakit paru
pada suatu waktu tertentu. Beberapa faktor mempengaruhi kemungkinan penyebabnya
termasuk hitung CD4, etnis, dan usia, kelompok risiko, serta riwayat profilaksis PCP.
Trombositopenia dapat timbul pada awal (5-10%) dengan manifestasi yang serupa
dengan ITP: responsnya terhadap imunoglobulin baik namun hanya jangka penek;
pengobatan pilihan adalah HAART.
b. Mycobacterium avium-intercellulare merupakan mikobakterium lingkungan yang
umumnya terdapat dalam air dan makanan. Infeksi terjadi setelah kolonisasi
slauran pernapasan dan gastrointestinal dalam sebagian besar kasus. Penyakit
diseminata:
Hanya terjadi bila hitung CD4 < 50 sel/mm3.
Mengenai semua organ (terutama sistem retikuloendotelial) dengan infiltrasi
masif organisme dan respons inflamasi minimal.
Timbul sebagai demam, berkeringat, penurunan berat badan, diare kronik,
muntah dan nyeri perut; hepatosplenomegali dan limfadenopati biasa
didapatkan pada pemeriksaan fisik. CT scan biasanya menunjukkan
limfadenopati intraabdomen dan
mediastinum.
ini sering terjadi pada pasien yang mengalami infeksi oportunistik TB namun juga
dapat timbul pada infeksi oportunistik lain.
2. ANEMIA
2.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell mass)
sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan
oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atu hitung eritrosit (red cell count). Tetapi
yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.Harus diingat
bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan
dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi , perdarahan akut dan kehamilan.
Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi
tergantung pada usia,jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan fisiologis tertentu
seperti misalnya kehamilan.
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium.
perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia
untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu:
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria
WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik
atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut.
Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai
kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India
dipakai angka 10-11 g/dl.
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat
indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga
golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada
tabel di bawah ini :
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi d an etiologi
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening test):
2) Pemeriksaan darah seri anemia; 3)Pemeriksaan sumsum tulang; 4)Pemeriksaan
khusus.
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan
adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk
pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung
retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic
hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga
mengenai keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitif pada bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak
diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada
kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaanini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
o Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity),
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin
dan pengecatan besi pada sumsum tulang ( Perls stain).
o Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksirudin, dan tes Schiling.
o Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain lain.
o Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti nisalnya pemeriksaan faal hati,
faal ginjal atau faal tiroid.
F. Terapi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :
Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
terlebih dahulu
Pemeberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
Pengobatan anemia dapat berupa :
Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibT nemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik
Terapi suportif
Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.
Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan yang
ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi
terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis
Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik
atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood.
Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi
diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat seperti furosemid
sebelum transfusi
3. Tuberkulosis
A. Definisi
dapat menyebar kehampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus
limfe.Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan.Individu
kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon
imun.
B. Etiologi
TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan
batangaerobi c t ahan asam yang t um buh lam bat dan sensiti ve t erhadap panas
dan s inar UV. Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah
M. Bovis dan M.Avium.
e.Malaise
Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit
kepala,meriang, nyeri otot, keringat malam.
D. Patogenesis tuberculosis
1. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kumantuberkulosis.Dropletyang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapatmelewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai kealveolus dan menetap di sana.
Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri
di paru yang mengakibatkanradang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke
kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya
infeksisampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.Adanya
infeksidapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif.Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman
yangm as uk dan besarn ya respon daya t ahan tubuh (im unit as
s elul er).P ada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangankuman tuberkulosis.Meskipun demikian, ada beberapa kuman
menetapsebagai kuman persistenataudormant (tidur).Kadang-kadang daya tahantubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masainkubasi mulai dari seseorang terinfeksi
sampai menjadi sakit, membutuhkanwaktu sekitar 6 bulan
E. Diagnosis tuberculosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkandengan
pem eri ks aan fisi k, pem eriksaan l aboratori um dan pem eriksaan radiologis.
1. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atautidaknya gejala
pada pasien.Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah bat uk t erus m enerus dan
berdahak sel am a 3 m inggu at au lebi h.Gej al a tambahan yang mungkin menyertai
adalah batuk darah, sesak nafas dan rasanyeri dada, badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan turun, rasakurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun
tanpa kegiatan dandemam/meriang lebih dari sebulan.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin
ditemukank o n j u n g t i v a m a t a a t a u k u l i t y a n g p u c a t k a r e n a a n e m i a , s u h u
d e m a m (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien
sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus diniatau yang sudah terinfiltrasi
secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut denganfibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. BilaTB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru
yang sakitakan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara
pekak,auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.Dalam
penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigaidengan didapatkannya
kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau ujituberkulin yang positif .
3. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktisuntuk m enemukan l esi TB. Dal am beberapa hal pem eriksaan ini
l ebi h memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada
pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif.Lokasi lesi TB umumnyadi daerah apex paru
tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilusmenyerupai tumor paru.Pada awal
penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa
bercak-bercak seperti awandan dengan batas-batas yang tidak tegas.Bila lesi sudah diliputi
jaringan ikatmaka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan
disebuttuberkuloma.
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak -bercak padatdengan
densitas tinggi.Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luasdengan penciutan yang dapat
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier
terlihat berupa bercak- bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan
paru.Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitasmaupun atelektasis dan
emfisema (Bahar, 2007).S ebagai m ana gambar TB paru yang sudah lanj ut pada
foto rontgen dada di bawah ini :
F. Pemeriksaan bakteriologis
1. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan
d e n g a n ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaandahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjutyaitu foto rontgen dada
atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
1). Kalauhasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif.
2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.Bila
ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas(misalnya,
Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.
Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan
dahak SPS.
1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberculosis BTA positif.
2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis TB.a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai
penderita TB BTAnegatif rontgen positif b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita
tersebut bukan TB.
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh(relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudiankembali lagi berobat dengan
pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan(transfer in)
Pindahan(transfer in)adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan disuatu kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/
pindah.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembalimenjadi positif
pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan)atau pada akhir pengobatan. Atau
penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
I. Pengobatan
Kategori TB Fasa Awal Fasa Seterusnya
1. Kasus baru TB paru 1. 2 bulan H3R3Z3E3/ 1. 4 bulan H3R3
positif 2bulan H3R3Z3S3 2. 4 Bulan HE
2. TB ekstra paru 2. 2 bulan HRZE/ 2 bulan 3. 6 bulan HE
berbahaya HRZS
3. Negatif TB paru
berbahaya
4. TB paru positif yang 1. 2bulan H3R3Z3E3S3/ 1. 5 bulan H3R3E3
sudah di obati 2 bulan HRZES/ 1 2. 5 bulan HRE
bulan HRZE
1. Kasus baru TB paru 1. 2 bulan H3R3Z3E3 1. 4 bulan H3R3
negatif 2. 2 bulan HRZE 2. 4 bulan HR
2. TB paru kurang 3. 6 bulan HE
berbahaya
4. EFUSI PLEURA
A. Definisi
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura. Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya absorbsi. Efusi pleura
merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan etiologi yang
bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus
segera dievaluasi dan diterapi.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya. Sementara pada
populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosa
efusi pleura.1 Secara keseluruhan, insidensi efusi pleura sama antara pria dan wanita. Namun
terdapat perbedaan pada kasus-kasus tertentu dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh
jenis kelamin. Misalnya, hampir dua pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita.
Dalam hal ini efusi pleura maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan
keganasan ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan dengan sistemic
lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada wanita. Di Amerika Serikat,
efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma maligna lebih tinggi pada pria. Hal ini
mungkin disebabkan oleh tingginya paparan terhadap asbestos. Efusi pleura yang berkaitan
dengan pankreatitis kronis insidensinya lebih tinggi pada pria dimana alkoholisme merupakan
etiologi utamanya. Efusi rheumatoid juga ditemukan lebih banyak pada pria daripada wanita.
Efusi pleura kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Namun demikian, efusi pleura belakangan
ini cenderung meningkat pada anak-anak dengan penyebab tersering adalah pneumonia.
Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura. Terlihat bahwa cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada
membran pleura parietal dan viseral (ditunjukkan pada panah yang terputus-putus). Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan
terpenting pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga pleura dan memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler
bronkial pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler, sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran
limfatik pada pleura parietal (panah utuh). Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural liquid accumulation in disease. Uptodate.
Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik itu
pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura tersering adalah
gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura dan merupakan penyebab efusi
pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli paru. Berikut ini merupakan
mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura :
1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya : inflamasi, keganasan,
emboli paru)
2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya : hipoalbuminemia, sirosis)
3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan pembuluh darah
(misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi, infark pulmoner, hipersensitivitas
obat, uremia, pankreatitis)
4. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi sistemik dan atau
sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung kongestif, sindrom vena kava
superior)
5. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan terhambatnya
ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif, mesotelioma)
6. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan dapat terjadi
blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi ataupun ruptur duktus torasikus
(misalnya : keganasan, trauma)
7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang diafragma
melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya : sirosis, dialisa peritoneal)
8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral
9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten dari efusi
pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan akumulasi cairan lebih
banyak lagi.
Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin datar atau
bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan parietal, serta defek
ventilasi restriktif.
D. Klasifikasi
Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat, bergantung
dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut. Cairan transudat
dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik, sementara eksudat
dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun akibat berkurangnya kemampuan drainase
limfatik. Pada kasus-kasus tertentu, cairan pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari
transudat dan eksudat.
1. Transudat
Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan
hidrostatik dan onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang
dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini, endotel
pembuluh darah paru dalam kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi masih normal
pula sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi transudat lebih rendah.
Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat diatasi maka efusi pleura dapat
sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut. Selain itu, efusi pleura transudat juga
dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari peritoneum, bisa pula iatrogenik
sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra dan pipa nasogastrik.
Penyebab-penyebab efusi pleura transudat relatif lebih sedikit yakni :
Gagal jantung kongestif
Sirosis (hepatik hidrotoraks)
Atelektasis yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru
Hipoalbuminemia
Sindroma nefrotik
Dialisis peritoneal
Miksedema
Perikarditis konstriktif
Urinotoraks biasanya akibat obstuktif uropathy
Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura
Fistulasi duropleura
Migrasi kateter vena sentral ke ekstravaskular
Glisinotoraks sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi kandung kemih
dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan setelah pembedahan urologi.
2. Eksudat
Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan
biasanya diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat.
Cairan eksudat dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru ataupun
pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura, pergerakan cairan eksudat dari
rongga peritoneal melalui diafragma, perubahan permeabilitas membran pleura, serta
peningkatan permeabilitas dinding kapiler atau kerusakan pembuluh darah. Adapun
penyebab-penyebab terbentuknya cairan eksudat antara lain :
Parapneumonia
Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma,
leukemia, sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker lambung,
sarkoma serta melanoma)
Emboli paru
Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis reumatoid, sistemic
lupus erythematosus)
Tuberkulosis
Pankreatitis
Trauma
Sindroma injuri paska-kardiak
Perforasi esofageal
Pleuritis akibat radiasi
Sarkoidosis
Infeksi jamur
Pseudokista pankreas
Abses intraabdominal
Paska pembedahan pintas jatung
Penyakit perikardial
Sindrom Meig (neoplasma jinak pelvis disertai ascites dan efusi pleura)
Sindrom hiperstimulasi ovarian
Penyakit pleura yang diinduksi oleh obat
Sindrom yellow nail (kuku kuning, limfedema, efusi pleura)
Uremia
Chylothorax (suatu kondisi akut dengan peningkatan kadar trigilerida pada
cairan pleura)
Pseudochylotoraks (suatu kondisi kronis dengan peningkatan kadar
kolesterol cairan pleura)
Fistulasi (ventrikulopleural, billiopleural, gastropleural)
E. Gambaran Klinis
Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung pada
jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak bergejala. Bahkan efusi
dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya berlangsung perlahan hanya
menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi
sebagai akibat penyakit inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat
awal proses dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang
biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek
hingga sesak nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada
area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan
kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk
kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang
banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat dan atau disertai sputum atau darah dapat
merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat
penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis,
sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll.
Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini dapat
meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obatobat yang selama ini
dikonsumsi pasien.
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi. Temuan
pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL. Gangguan
pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks, egofoni, serta suara
nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat ditemukan. Friction rub pada pleura
juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum
ke sisi kontralateral. Efusi yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan
dengan pneumonia lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien dalam
pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi dapat bergerak
berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang sesuai dengan penyakit
dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer, distensi vena leher, S3 gallop pada
gagal jantung kongestif. Edema juga dapat muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit
perikardial. Ascites mungkin menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan
limfadenopati atau massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini masih
merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura pada awal
diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang menyebabkan hemitoraks
tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke lateral, serta sudut kostofrenikus yang
menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul
sebelumnya agar dapat terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral dekubitus
dapat mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto
lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah melebihi 200 cc,
ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan torakosentesis. Namun pada
efusi loculated temuan diatas mungkin tidak dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang
sedang hingga masif dapat memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang
menyebar pada bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi hemidiafragma,
disposisi kubah diafragma pada daerah lateral.
Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi pleura
yang tidak terdiagnosa jika memang sebelumnya belum pernah dilakukan.
kemungkinan etiologi sebelum akhirnya dicapai kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu,
langkah ini juga dapat menentukan apakah perlu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan
terhadap efusi pleura untuk memastikan diagnosa.
Ada beberapa paramater yang saat ini dapat dipakai untuk membedakan antara
transudat dan eksudat, namun dari keseluruhan parameter tersebut tidak ada yang memiliki
akurasi 100%. Pada awalnya, kadar total protein dalam cairan pleura dipakai untuk
membedakan jenis cairan pleura dimana jika kadar protein cairan pleura > 3 g/dL maka
cairan tersebut merupakan eksudat sedangkan < 3 g/dL merupakan transudat. Namun
menurut Meslom (1979), metode ini salah mengklasifikasikan baik transudat maupun eksudat
sebesar 30%. Sementara itu, Light dkk. (1972) menyatakan bahwa cairan eksudat harus
memenuhi 1 atau lebih kriteria berikut ini : (1) rasio protein cairan pleura dan serum > 0,5 ;
(2) Rasio LDH cairan pleura dan serum > 0,6 ; (3) LDH cairan pleura lebih besar dari dua
pertiga batas atas nilai normal LDH serum. Sensitivitas dan spesifisitas dari paramater ini
pada awalnya dilaporkan cukup tinggi yakni 99% dan 98%. Namun belakangan angka ini
ternyata berubah khususnya pada spesifisitasnya yakni hanya berkisar 70-86% saja. Hal ini
juga sejalan dengan beberapa penelitian yang terkait (Peterman, 1984 ; Burges,, 1995 ; Assi,
1998 ; Gasquez, 1998). Pada tahun 1995, Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan
gabungan LDH dan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama
dengan hasil terbaik dari kriteria Light yakni 99% dan 98% (sedangkan dalam penelitian ini
didapati bahwa spesifisitas kriteria Light hanya 82% saja). Namun dalam penelitian ini cut
off LDH yang digunakan untuk eksudat adalah > 200 IU. Sementara Heffner dkk (1996)
melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas atas nilai LDH serum normal lebih baik
berdasarkan kurva ROC daripada cut off sebelumnya yakni LDH > 200 IU ataupun LDH >
2/3 (0,6) dari batas atas nilai LDH serum normal. Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan
pula bahwa spesifisitas pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat
dan eksudat adalah sebesar 100%. Penelitian oleh Hamal dkk. (2012) melaporkan
pemeriksaan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif
(PPV) dan nilai prediksi negatif (NPV) berturut-turut 97,7% ; 100% ; 100% dan 95% dalam
membedakan eksudat dan transudat. Sementara itu, pemeriksaan LDH cairan pleura (LDH-
P) memiliki nilai berdasarkan urutan sebelumnya yakni sebesar 100% ; 57,8% ; 84,3% ; serta
100%. Kedua pemeriksaan ini (LDH-P dan K-P) memiliki kelebihan yakni tidak perlu
pengambilan darah dan cairan pleura secara simultan. Terdapat pula parameter - parameter
lain yang dapat digunakan dalam penilaian efusi pleura seperti rasio albumin pleura/serum,
rasio kolesterol pleura/serum serta rasio bilirubin pleura/serum, namun parameter-parameter
yang disebutkan terakhir tidak memberi hasil yang lebih memuaskan.
H. Penatalaksanaan
Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya. Namun
demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat menyebabkan gejala
respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan penanganan penyakit dasarnya
telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien.
Penanganan efusi eksudatif bergantung pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama
yang paling sering dijumpai pada efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan dan
tuberkulosis. Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan empiema harus didrainase
untuk mencegah pleuritis fibrotik. Efusi maligna biasanya didrainase untuk meringankan
gejala bahkan pleurodesis diindikasikan untuk mencegah rekurensi. Beberapa obat-obatan
diketahui dapat menyebabkan efusi pleura yang bersifat transudatif. Hal ini perlu diketahui
secara dini untuk menghindari prosedur diagnostik lain yang tidak perlu.
I. Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang mendasarinya,
derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan pleura. Namun demikian,
pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan lebih rendah untuk terjadinya komplikasi.
Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi memiliki prognosa yang lebih buruk
ketimbang pasien dengan pneumonia saja. Namun begitupun, jika efusi parapneumonia
ditangani secara cepat dan tepat, biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan.
Namun jika tidak ditangani dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis
konstriktiva hingga sepsis.
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk, dengan
median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada pria hal ini paling
sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita lebih sering karena
keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup adalah 3-12 bulan bergantung dari
jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap kemoterapi seperti limfoma dan kanker
payudara memiliki harapan hidup yang lebih baik dibandingkan kanker paru dan
mesotelioma. Analisa sel dan analisa biokimia cairan pleura juga dapat menentukan
prognosa. Misalnya cairan pleura dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan
massa keadaan tumor yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL.
editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17thed. The United States of
America: McGraw-Hill
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available at
url: http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006