Anda di halaman 1dari 26

Firna Apriliani Shafira

240210140022
Kelompok 4A
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Limbah merupakan bahan yang dibuang atau berlebihan seperti abu,
sampah, produk sampingan, dan sebagainya. Limbah tidak hanya dihasilkan oleh
industri, namun skala rumah tangga juga, bahkan pada air kolam juga terdapat
sebagian limbah. Bahan-bahan yang dibuang dalam bentuk limbah mungkin dapat
membahayakan lingkungan menurut karakteristiknya. Oleh karena itu perlu
adanya penanganan limbah yang tepat setelah mengetahui karakteristik limbah
yang akan dibuang.
Limbah memiliki dampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi
kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap
limbah.Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada
jenis dan karakteristik limbah. Karakteristik limbah: berukuran mikro dinamis,
berdampak luas (penyebarannya), berdampak jangka panjang (antar generasi).
Berbagai jenis industri berpotensi mencemari lingkungan diantaranya adalah
industri tekstil, cat, penyamakan kulit, farmasi dan industri pangan (Buckle dkk,
1987).
Limbah cair adalah air yang terdiri dari 0,1% benda-benda padat berupa zat
organik dan anorganik. Zat organik yang terkandung dalam limbah cair antara lain
nitrogen, karbohidrat, lemak. Zat zat tersebut dapat menimbulkan bau tidak
sedap, dan pada zat anorganik tidak merugikan. Keberadaan kandungan bahan
organik yang tinggi pada limbah adalah sebagai sumber makanan untuk
perkembangbiakan mikroba. Penanganan limbah sebelum dilepaskan ke alam
harus menjadi perhatian, sebab diprediksi di dalam limbah masih banyak terdapat
senyawa - senyawa beracun, mengandung senyawa - senyawa yang diperlukan
untuk pertumbuhan bakteri, virus dan protozoa. Sehingga dengan demikian dapat
menjadi media yang baik untuk pembiakan jasad - jasad renik (Mahida, 1992).
Air limbah berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi limbah domestik
dan limbah non domestik. Limbah domestik adalah air limbah dalam kegiatan
rumah tangga, hotel, perkantoran dan sebagainya, sedangkan limbah non domestik
adalah air limbah yang berasal dari kegiatan industri, contohnya adalah industri
pangan. Secara garis besar zat-zat yang terdapat dalam air limbah dapat
dikelompokkan sebagai berikut : air limbah mengandung 99,9% air dan 0,1%
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
bahan padat. Bahan padat tersebut dibagi menjadi dua yaitu organik dan
anorganik. Organik dibedakan menjadi protein (65%), karbohidrat (25%), dan
lemak (10%). Sedangkan anorganik terdiri dari butiran, garam, dan metal
(Sugiharto, 1987).
Limbah yang dapat dibuang ke saluran umum harus memiliki beberapa
syarat tertentu, yaitu temperatur tidak boleh terlalu tinggi, pH tidak boleh terlalu
asam atau basa keras, sebaiknya pH limbah antara 5,5 dan 9. Gas beracun, bau
tengik, gas yang dapat terbakar tidak boleh ada dalam kandungan limbah yang
dibuang. Pada umumnya maksimal konsentrasi kadar lemak adalah 100 mg/L.
Berdasarkan syarat syarat tersebut, maka limbah memerlukan proses pengolahan
yang baik agar dapat dibuang ke lingkungan. Maka dari itu, perlu dilakukan suatu
analisa limbah yang diproduksi dalam setiap proses produksi. Tujuan analisa
limbah adalah untuk memastikan komposisi dalam limbah cair aman untuk
dibuang ke luar dan dapat memntukan proses yang digunakan dalam pengolahan
limbah (Mahida, 1992).
Praktikum limbah industri pangan kali ini, dilakukan praktikum mengenai
karakteristik fisik limbah, kandungan COD (Chemical Oxygen Demand),
kandungan DO (Dissolved Oxygen) dan kandungan BOD (Biochemical Oxygen
Demand), perhitungan total mikroorganisme dengan metode sederhana, pengujian
bakteri koliform serta pengujian bakteri Salmonella dan Shigella dalam limbah.
Sampel yang digunakan adalah air mineral (air bersih), limbah kahatex, limbah
kokita, limbah air tahu dan air selokan.

4.1 Pengujian Karakteristik Fisik Limbah


Pada limbah industri pangan umumnya memiliki ciri-ciri mengandung
bahan organik, adanya polutan tanah, dan adanya larutan alkali. Untuk
mengetahui adanya limbah atau derajat pengotoran air limbah maka dapat
dilakukan pengujian sifat fisik limbah yang diantaranya ialah warna, pH, suhu,
bau, dan endapan. Warna menunjukkan zat-zat terlarut yang terdapat pada limbah.
pH menunjukkan derajat keasaman limbah, karena jika hendak dibuang ke
ligkungan maka pH limbah harus mendekati 7 (pH air normal). Suhu limbah cair
perlu diketahui agar tempat pembuangan limbah tersebut tidak menggangu
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
ekosistem. Adanya endapan dalam limbah menunjukkan bahan asing atau padatan
tersuspensi pada limbah.
Pengujian warna, bau dan suhu limbah, mula-mula 100 ml sampel
dimasukkan ke dalam beaker glass dan diamati warna, bau dan secara bersamaan
suhu limbah diukur dengan termometer. Pengukuran pH, alat yang digunakan
adalah pH meter, mula-mula tutup pH meter dibuka dan celupkan pada larutan
buffer fosfat pH 7 dan pH 4 secara bergantian, tekan tombol read dan tombol
STD sampai angka menunjukkan pH 7 untuk memastikan agar pH meter pada
kondisi netral. Setelah itu, dibersihkan ujung pH meter dengan aquades, dilap
sampai kering dan dicelupkan kembali ujung pH meter pada beaker glass yang
berisi limbah dan dicatat pH limbah.
Pengujian jumlah endapan dilakukan dengan mengeringkan kertas saring di
dalam oven suhu 105oC selama 30 menit, kertas saring lalu didinginkan di
desikator selama 15 menit dan ditimbang. Pengeringan dalam oven dan
pendinginan dalam desikator bertujuan untuk menghasilkan W endapan yang
konstan. Selanjutnya, kertas saring yang sudah dikeringkan diletakkan di atas
corong yang akan digunakan untuk menyaring 100 ml sampel air limbah. Kertas
saring yang sudah digunakan selanjutnya dikeringkan lagi di dalam oven pada
suhu 100oC selama 24 jam, kertas saring lalu didinginkan dalam desikator selama
15 menit dan ditimbang kertas saring hingga konstan.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Limbah
Pengukuran Air Air Air Air Air Tahu
Bersih Selokan Kokita Kahatex
Ph 6,6 7,0 6,6 7,2 3,2
Suhu 27C 25C 30,5C 29C 28C
Warna Bening Keruh Kuning Hijau Kuning
pudar kecoklatan pudar
Bau Tidak Bau got Sambal Tidak Asam
berbau busuk berbau
Wc+k 4,8710 4,9736 5,3262 5,2284 5,6487
Wc+k+e 4,8710 4,9738 5,3507 5,2699 5,6788
Wend. 0 0,0002 0,0245 0,0415 0,0301
Bend. 0 0,0014 0,175 0,296 0,215
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Karakteristik warna limbah menunjukkan zat-zat yang terkandung pada


limbah. Warna tidak dapat menjadi patokan banyak atau tidak kandungan organik
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
dalam limbah (Jenie & Rahayu, 1993). Tetapi warna menunjukkan kekuatan dari
kerusakan organik dalam limbah, jika warnanya berwarna gelap, limbah sudah
busuk (Mahida, 1992). Menurut Suhardi (1991), bahaya tidaknya kotoran pada
limbah dapat dilihat dari warna limbah, apabila warna limbah hitam maka
kandungan Pb tinggi, apabila warna limbah kuning maka kandungan Fe tinggi,
dan apabila warna limbah biru maka kandungan Cu tinggi.
Limbah air bersih dan kahatex tidak memiliki bau yang signifikan atau dapat
dikatakan kedua limbah ini tidak memiliki aroma khas (tidak berbau). Pada air
bersih tidak terdapat aroma apapun dikarenakan, air tidak mengandung zat zat
pengotor apapun, sedangkan pada limbah kahatex seharusnya tercium aroma zat
zat kimia dikarenakan limbah ini merupakan limbah hasil pengolahan industri
tekstil yang pastinya banyak menggunakan zat zat kimia saat pengolahannya.
Sedangkan limbah kokita memiliki aroma seperti sambal busuk. Bau sambal
busuk pada limbah Kokita ini disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme
yang menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu. Bau busuk pada
limbah disebabkan karena adanya penguraian unsur N (baik berupa asam amino
atau senyawa organik lainnya) yang terdapat di dalam limbah (Sugiaharto, 1987).
Bau-bau yang tidak sedap yang dihasilkan oleh limbah dapat merusak lingkungan
secara estetika. Menurut Sugiharto (1987) limbah industri pangan umumnya
berupa limbah organik (mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi) yang
bersifat biodegradable yang dapat diuraikan oleh alam dengan bantuan
mikroorganisme. Proses penguraian kembali ini melibatkan proses pembusukan.
Air selokan memiliki aroma yang khas seperti bau selokan atau got pada
umumnnya, sedangkan limbah tahu memiliki aroma asam yang cukup menyengat.
Warna agak kuning dari limbah industri tahu dikarenakan tahu mengandung
sulfur dari protein yang dikandungnya. Limbah selokan memiliki warna keruh
dikarenakan pada limbah selokan terdapat pengotor-pengotor di dalamnya yang
berasal dari berbagai sumber seperti pembuangan rumah tangga, dan selokan-
selokan lainnya. Warna pada limbah Kokita adalah kuning pudar, hal ini berarti
limbah Kokita mengandung Fe. Air limbah Kahatex memiliki warna hijau
kecokelatant, yang mengindikasikan adanya kandungan Pb dalam sampel. Warna
dari air bersih adalah bening, hal ini dikarenakan pada air, telah melalui proses
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
pemurnian sehingga tidak mengandung senyawa senyawa pengotor dan
memang tidak ada zat apapun yang ditambahkan pada air.
Suhu limbah yang dibuang ke lingkungan haruslah sama dengan lingkungan
sekitar, yaitu 25o 26oC. Jika limbah yang dibuang ke lingkungan mempunyai
suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada lingkungan sekitar maka dapat
mengancam kehidupan makhluk hidup di sekitar lingkungan seperti ikan,
ganggang, dan lain-lain. Berdasarkan tabel 1, sebagian besar air limbah industri
memiliki suhu 25 30,5C. Air bersih dan air selokan memiliki suhu 25 dan 27 C
Sedangkan yang lainnya diatas angka tersebut, hal ini menunjukkan bahwa
industri limbah kahatex, kokita dan tahu belum mengolah limbahnya secara baik
sehingga tidak aman jika dibuang ke lingkungan.
pH menyatakan tingkat asam atau basa dari suatu cairan encer dan mewakili
konsentrasi hidrogen ionnya. Nilai keasaman limbah cair ditentukan oleh
banyaknya ion hidrogen yang larut dalam air. Konsentrasi air normal tingkat
keasamannya berkisar antara 6,5-8,5. Air yang mempunyai tingkat keasaman yang
tinggi mengakibatkan kehidupan makhluk dalam air menjadi terancam. Air
menjadi asam karena adanya buangan yang mengandung asam seperti asam sulfat
dan asam klorida. Sedangkan buangan yang bersifat basa (alkalis) bersumber dari
buangan yang mengandung bahan organik seperti senyawa karbonat, bikarbonat
dan hidroksida (Hammer & Hammer, 1996). Pada umumnya pH limbah diatur
supaya netral, biasanya antara 6 dan 8 (Mahida, 1992). Sampel yang telah diamati
hampir sebagian besar memiliki pH yang mendekati netral antara 6,6 7,2, tetapi
pada limbah Tahu memiliki nilai pH yang asam, yaitu 3,2. Limbah ini seharusnya
tidak boleh langsung dibuang tetapi harus diolah terlebih dahulu untuk
mengurangi kadar asamnya, karena pH asam akan mengakibatkan terbunuhnya
mikroorganisme dalam air. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah
di pabrik Tahu masih belum bagus atau belum memenuhi standar yang ada.
Sampel yang memiliki endapan terbanyak adalah limbah Kahatex, limbah
Kokita, Air Selokan dan Tahu merupakan limbah dengan endapan yang paling
sedikit, sedangkan pada air bersih sama sekali tidak terdapat endapan. Jumlah
endapan ini menunjukkan tingkat kejernihan sampel, berdasarkan data tersebut
urutan tingkat kekeruhan limbah dari yang paling keruh hingga jernih adalah
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
Kahatex, Tahu, Kokita, Air Selokan kemudian Air Bersih. Menurut Jenie &
Rahayu (1993), dengan melihat kekeruhan limbah cair akan bisa mengetahui
banyak atau tidaknya padatan organik atau anorganik dalam limbah cair tersebut.
Kekeruhan yang tampak pada limbah dapat disebabkan oleh benda-benda
tercampur seperti limbah padat, garam, tanah liat, bahan organik, mikroorganisme
aerobik, dan mikroorganisme anaerobik.

4.2 Pengujian COD (Chemical Oxygen Demand)


COD adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasi K2Cr2O7
digunakan sebagai sumber oksigen. Tujuan dari pengukuran COD (Chemical
Oxygen Demand) adalah untuk mengukur nilai COD beberapa air limbah tanpa
refluks atau mengukur kebutuhan oksigen yang digunakan zat organik yang sukar
dihancurkan secara oksidasi. Pengujian COD pada air limbah memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan pengujian BOD yaitu sanggup menguji air limbah
industri yang beracun yang tidak dapat diuji dengan BOD karena bakteri akan
mati dan waktu pengujian yang lebih singkat, kurang lebih hanya 3 jam. Nilai
BOD selalu lebih kecil dari nilai COD (Gintings, 1992). Penentuan total zat
organik menggunakan COD merupakan penentuan secara tidak langsung karena
yang ditentukan adalah kebutuhan O2 untuk menambah zat organik secara
kimiawi.
Pengujian COD menggunakan prinsip oksidasi zat organik dengan kalium
dikromat berlebih dalam asam sulfat mendidih. Jumlah kalium dikromat yang
tidak tereduksi selama reaksi oksidasi akan direduksi oleh larutan KI
menghasilkan I2 yang akan dititrasi oleh larutan natrium tio sulfat dan indikator
amilum. Pengujian dilakukan dengan mengencerkan 2 ml limbah dengan 8 ml
akuades. Kemudian memasukkan 5 ml sampel limbah yang sudah diencerkan ke
dalam erlenmeyer. H2SO4 6 N sebanyak 5 ml dan 20 ml K2Cr2O7 dimasukkan ke
dalam erlenmeyer. Penambahan K2Cr2O7 memiliki fungsi sebagai zat
pengoksidasi, dimana kalium dikromat merupakan suatu campuran yang relatif
mudah yang dapat diperoleh dalam keadaan yang sangat murni, sedangkan
penambahan H2SO4 bertujuan agar terjadi reaksi reduksi-oksidasi menghasilkan
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
oksigen bebas yang nantinya diukur dengan titrasi iod. Kemudian sampel dikocok.
Pemanasan lalu dilakukan selama 10 menit dengan menggunakan waterbath.
Pemanasan dapat meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia. Hal ini dikarenakan
suhu yang tinggi akan menyebabkan meningkatnya energi kinetik masing-masing
molekul dari kedua senyawa yang bereaksi, sehingga terjadinya tumbukan atau
reaksi dari kedua molekul tersebut akan semakin besar, dan akhirnya senyawa
akhir reaksi akan semakin cepat terbentuk.
Larutan lalu didinginkan hingga suhunya menjadi suhu ruang (25 oC).
pendinginan perlu dilakukan karena untuk mencegah kerusakan sebelum amilum
dimasukkan ke dalam erlenmeyer, amilum yang ditambahkan akibat adanya panas
akan mengakibatkan amilum rusak pada suhu tinggi. Larutan lalu ditambahkan 10
ml KI. Penambahan KI harus dilakukan dengan menyelubungi erlenmeyer dengan
kantung plastik hitam, hal ini dikarenakan KI memiliki sifat yang mudah
teroksidasi bila terkena cahaya. Larutan lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N (Na-
tiosulfat) hingga terbentuk warna kuning jerami, lalu ditambahkan amilum
sebagai indikator sebanyak 10 tetes. Larutan lalu dititrasi lagi hingga terdapat
perubahan warna biru menjadi hijau muda.
Penambahan KI ini akan menyebabkan terjadi reaksi antara ion K dengan
oksigen yang dibebaskan dari reaksi oksidasi di atas (On). Reaksi tersebut akan
menghasilkan ion iodida bebas yang jumlahnya ekuivalen dengan jumlah O n yang
membebaskannya. Jumlah ion iodida yang bebas tersebut dapat ditentukan
banyaknya melalui titrasi dengan Na-tiosulfat dengan indikator amilum. Adanya
reaksi antara ion iodida bebas tersebut dengan indikator amilum yang digunakan
akan menghasilkan warna biru tua menjadi hijau muda. Warna biru ini timbul
karena adanya reaksi antara molekul-molekul pati dengan iodin. Iodin dapat
masuk ke dalam struktur molekul pati (amilum) yang berbentuk helix dan
membentuk ikatan. Ikatan antara struktur molekul pati dengan iodin dapat
menghasilkan warna biru tua. Apabila warna biru ini yang terbentuk tidak hilang
kembali, maka menunjukkan titik akhir dari titrasi, dan jumlah volume Na-
tiosulfat yang dibutuhkan untuk menangkap semua iod sama dengan dengan
jumlah iod yang bebas dan sebanding dengan jumlah On atau oksigen yang
terkandung dalam limbah (Suhardi, 1991).
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
Blanko juga dibuat dengan cara yang sama seperti menguji sampel, tetapi
hanya tidak menyertakan sampel. Pembuatan blanko bertujuan untuk mengetahui
kesalahan yang timbul karena adanya bahan organik yang ada pada reagen. Kadar
COD lalu dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

(Vblanko Vsampel ) NNa2 SO3 8.000 fp


COD =
mlsampel
Berikut ini adalah contoh perhitungan beberapa kelompok:
Perhitungan Kelompok 1
(Vblanko Vsampel ) NNa2 SO3 8.000 fp
COD =
mlsampel
(12,8 0) 0,1 8.000 fp
COD =
5
COD = 0
Perhitungan Kelompok 4
(Vblanko Vsampel ) NNa2 SO3 8.000 fp
COD =
mlsampel
(12,8 11,8) 0,1 8.000 fp
COD =
5
COD = 800 ppm

Tabel 2. Hasil Pengamatan Nilai COD Limbah


Limbah V Vtitrasi COD (ppm)
blanko
Air Bersih 12,8 ml - 0
Air Selokan 8,6 ml 3360
Air Kokita 12,3 ml 400
Air Kahatex 11,8 ml 800
Air Tahu 9,8 ml 2400
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 2 diatas, didapatkan nilai COD


terbesar pada sampel air limbah air selokan sebesar 3360 ppm, disusul limbah air
tahu sebesar 2400 ppm, kemudian limbah air kahatex sebesar 800 ppm dan yng
terkecil adalah limbah kokita sebesar 400 ppm. Sedangkan nilai COD air bersih
tidak ada sama sekali atau hanya meunjukkan angka 0 ppm. Limbah tahu
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
merupakan limbah proses produksi tahu yang banyak mengandung zat organik
seperti protein dari kedelai. Semakin besar nilai COD yang didapatkan
menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen banyak digunakan untuk mengurai
senyawa organik di dalam air dan menandakan bahwa kualitas air limbah tidak
baik. Limbah yang mempunyai nilai COD tinggi sebaiknya harus melalui
penanganan khusus sebelum dibuang ke lingkungan, seperti aerasi. Secara umum,
aerasi merupakan proses yang bertujuan untuk meningkatkan kontak antara udara
dengan air. Pada praktiknya, proses aerasi terutama bertujuan untuk meningkatkan
konsentrasi oksigen di dalam air limbah. Peningkatan konsentrasi oksigen di
dalam air ini akan memberikan berbagai manfaat dalam pengolahan limbah.
Berdasarkan keputusan Menteri KLH No.03/MENKLH/II/1991 tentang
baku mutu keluaran limbah cair yaitu mengandung COD dengan ambang batas
250 ppm dari berbagai sumber, baik dari saluran pembuangan rumah tangga,
sungai, atau dari industri pengolahan pangan (Djajadiningrat, 1999). Hal tersebut
menunjukan bahwa keseluruhan sampel limbah tidak dapat dibuang ke
lingkungan karena memiliki nilai COD yang jauh diatas ambang batasnya. Nilai
COD yang terlalu tinggi ini dapat disebabkan karena adanya kesalahan pada saat
pengujian pada saat titrasi.

4.3 Pengujian BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan DO (Dissolved


Oxygen)
Ketersediaan oksigen dalam air dapat habis akibat pertumbuhan mikroba
pengurai, sehingga dapat terjadi kondisi anaerobik yang menyebabkan kematian
biota air seperti ikan dan tanaman. Jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroba
tergantung dari jumlah limbah yang terdekomposisi, sehingga untuk mencegah
peningkatan mikroba pembusuk harus dilakukan pemecahan limbah sesempurna
mungkin sebelum limbah tersebut dibuang ke pembuangan akhir.
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah banyaknya oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa organik pada kondisi aerobik.
Parameter BOD digunakan untuk menentukan tingkat pencemar oleh senyawa
organik yang dapat diuraikan oleh bakteri. Air sungai mempunyai BOD kira-kira
1-10 ppm, sedangkan air tercemar mempunyai nilai BOD > 10 ppm. Beberapa
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
metode untuk pengukuran BOD adalah : metode sederhana (inkubasi), metode
AOAC (1984), metode standar dan metode manometrik (Jennie dan Fardiaz,
1989).
Dissolved oxygen (DO) adalah sejumlah gas oksigen yang berada dalam air
yang ditunjukkan dalam waktu dalam kehadirannya dalam volume air (miligram
O2 per liter) atau dalam air jenuh (persentase). Semakin tinggi nilai DO maka
semakin banyak kandungan oksigen yang ada pada air. Hal ini menunjukkan air
belum tercemar karena banyak oksigen yang belum digunakan untuk menguraikan
pencemar. Semakin tinggi nilai BOD menunjukkan banyaknya bahan organik
yang dapat diuraikan oleh bakteri. Hal ini menunjukkan tingkat pencemaran dari
limbah.
Analisis penentuan nilai DO dan BOD dilakukan secara berkesinambungan.
Artinya, saat pengujian DO selesai maka akan didapat pula nilai BOD. Metode
yang digunakan untuk mengukur nilai DO dan BOD ialah Metode Winkler.
Pengujian BOD dilakukan dengan melakukan pengenceran sampel terlebih
dahulu. Tujuan dari pengenceran ini adalah untuk mencegah limbah yang
berkekuatan tinggi karena pada umunya limbah tersebut mempunyai BOD yang
tinggi yakni lebih tinggi dari 1000 ppm (Jenie & Rahayu, 1993).
Pengenceran dilakukan dengan memasukkan 60 ml sampel ke dalam botol
winkler, lalu ditambahkan akuades hingga larutan tumpah keluar atau full.
Kemudian botol yang berisi sampel diinkubasi selama 5 hari dengan suhu 20 oC.
Sampel yang telah di inkubasi dan sampel tanpa inkubasi lalu diberikan 20 ml
larutan MnSO4 yang akan mengikat O2 dalam sampel sehingga membentuk
MnO2. Setelah itu ditambahkan 20 ml Alkali Iodida Azida untuk membebaskan
iodium dan menghilangkan senyawa reduktor atau oksidator (nitrit). Selanjutnya
dilakukan penghomogenan dengan cara mendiamkan sampel dalam keadaan gelap
(dibungkus plastik hitam) sekitar 5-10 menit. Hal ini dilakukan karena Iodium
yang telah dibebaskan akan mudah teroksidasi oleh cahaya menjadi ion I-. Untuk
menghilangkan endapan yang terbentuk, maka ditambahkan H2SO4 6 N atau asam
pekat sebanyak 5 ml, tutup dan kocok sampai endapan larut sempurna. Setelah
semua endapan hilang maka diambil sampel tersebut sebanyak 25 ml untuk
dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N yang akan mengubah I2 menjadi I- kembali.
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
Jumlah I- yang terbentuk setara dengan O2 yang terdapat pada sampel. Saat
sampel mulai berubah warna agak putih (1/2 reaksi), maka ditambahkan indikator
amilum 1% sebanyak 1 ml. Penambahan indikator dilakukan saat setengah reaksi
karena jika ditambahkan saat awal reaksi maka indikator tersebut akan
membungkus I2 sehingga akan sulit bereaksi dengan Na2S2O3. Lalu titrasi kembali
sampai warna biru tua hilang.
Secara singkat, pada pengujian DO dan BOD ini terjadi reaksi kimia sebagai
berikut :
Mn2+ + 2 OH- + O2 MnO2 + H2O
MnO2 + 2I- + 4 H+ Mn2+ + I2 + H2O
I2 + S2O3- S4O6- + 2I-

Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi setara dengan O2 yang


terdapat pada sampel. Nilai ini dimasukkan dalam formula DO sehingga didapat
nilai DO. Untuk nilai DO5 didapat dari pengujian DO pada sampel yang telah
dilakukan inkubasi selama 5 hari. Nilai DO dapat dihitung dengan rumus:

VNa2 S2O3 NNa2 S2O3 8.000 F


DO =
Vsampel titrasi

Untuk mengetahui nilai BOD, menggunakan rumus:

|D5 D0 |
BOD5 = Fp
Vsampel

Berikut ini adalah contoh perhitungan dari beberapa kelompok:


Perhitungan Kelompok 1
DOo
0,8 x 0.025 x 8000 x 0.2 x 10
DO0 =
25
DO0 =1,28 mg/L

DO5
0,8 x 0.025 x 8000 x 0.2
DO5 =
25
DO5 = 1,28 mg/L
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
BOD
1,28 1,28
BOD = | | x 300
60
BOD = 0

Perhitungan Kelompok 4
DOo
0,2 x 0.025 x 8000 x 0.2 x 10
DO0 =
25
DO0 = 0,32 mg/L
DO5
0,4 x 0.025 x 8000 x 0.2
DO5 =
25
DO5 = 0,64 mg/L

BOD
0,64 0,32
BOD = | | x 0,2
60
BOD = 3,84 mg/L

Uji BOD distandarisasi pada periode 5 hari (disebut BOD5). Penentuan


waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemungkinan hasil oksidasi
ammonia (NH3) yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa ammonia
sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga
dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD. Berikut adalah hasil pengamatannya:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Nilai BOD dan DO Limbah Kelas B1
Limbah Hari 0 Hari 5 BOD
Vtitrasi DO0 Fp Vtitrasi DO5 Fp (mg/L)
Air Bersih 0,8 1,28 0,2 0,8 1,28 0,2 0
Air Selokan 0,6 0,96 0,7 1,12 1,92
Air Kokita 1 1,6 4,5 7,2 67,2
Air Kahatex 0,2 0,32 0,4 0,64 3,84
Air Tahu 0,5 0,8 1 1,6 9,6
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Tabel 4. Hasil Pengamatan Nilai BOD dan DO Limbah Kelas A1
Sampel Kel Hari 0 Hari 5
Volume FP DO Volume FP DO
Titrasi Titrasi
Air Bersih 1 15.5 0.2 24.8 19 0.2 30.4
Air Selokan 2 1.8 0.2 28.8 11.3 0.2 18.08
Air Kokita 3 1.1 0.2 17.6 5 0.2 8
Air Kahatex 4 1.1 0.2 17.6 6.8 0.2 10.88
Air Tahu 5 1.4 0.2 22.4 9.8 0.2 15.68
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
Sampel pada kelas B1 dengan nilai BOD yang paling tinggi adalah air
limbah Kokita, kemudian limbah air Tahu, Kahatex. Sedangkan sampel dengan
BOD terendah adalah air Selokan. Nilai BOD pada air Bersih menunjukkan nilai
0. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun
2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, nilai BOD maksimum 10 mg/l.
Berdasarkan hal tersebut, semua limbah yang dujikan masih dibatas normal/aman
dimana nilai BOD dibawah 10 mg/L, kecuali pada limbah air Kokita yang
menunjukkan nilai BOD sebesar 67,2 mg/L. Nilai BOD dipengaruhi oleh suhu,
cahaya matahari, pertumbuhan biologik, gerakan air dan kadar oksigen (Metclaf
dan Eddy, 2003). Semakin tinggi nilai BOD maka akan semakin rendah kualitas
air limbah tersebut. Sampel pada kelas A1 tidak dapat dibahas dikarenakan hasil
yang tidak sesuai yaitu sangat tingginya nilai BOD dan DO dikarenakan
kesalahan pada saat praktikum seperti terlalu banyak memasukkan sampel atau
suatu larutan lain.
Nilai BOD berbanding terbalik dengan nilai DO. Nilai DO yang baik adalah
antara 5 mg/l 8 mg/l, nilai DO dibawah itu dikategorikan buruk. Semua sampel
limbah yang diuji tanpa inkubasi nilainya diluar 5-8 mg/l, sehingga dapat
dikatakan, bahwa semua limbah dikategorikan buruk. Sedangkan untuk limbah
dengan inkubasi 5 hari, semua hasilnya pun sama dengan limbah tanpa inkubasi
kecuali sampel limbah air Kokita. Nilai DO yang rendah ini dapat disebabkan dari
banyaknya mikroorganisme aerobik pengurai bahan organik di dalam air limbah,
sehingga penggunaan oksigen dalam air meningkat dan menyebabkan kandungan
DO menurun. Hal ini didukung dari hasil pengamatan bahwa nilai BOD yang
diperoleh umumnya lebih tinggi dari nilai DO. Semakin besar nilai BOD maka
semakin kecil nilai DO dikarenakan nilai oksigen telah habis digunakan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik yang terkandung dalam air
limbah. Nilai DO dapat dinaikkan dengan cara mengaerasi limbah.
Kristanto (2002) menyatakan bahwa uji BOD mempunyai beberapa
kelemahan di antaranya adalah:
1. Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan
organik atau bahan-bahan tereduksi lainnya, yang disebut juga
Intermediate Oxygen Demand.
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
2. Uji BOD membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu lima hari.
3. Uji BOD yang dilakukan selama lima hari masih belum dapat
menunjukkan nilai total BOD, melainkan 68 % dari total BOD.
4. Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat di dalam air
tersebut, misalnya germisida seperti klorin yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan
organik, sehingga hasil uji BOD kurang teliti.

4.4 Perhitungan Total Mikroorganisme dari Limbah


Mikroorganisme terdapat dalam air, tanah, udara, tumbuhan, kulit hewan,
dan saluran pencernaan manusia. Mikroorganisme ada yang menguntungkan dan
ada juga yang merugikan seprti mikroorganisme pathogen penyebab penyakit.
Limbah adalah media yang baik bagi pertumbuhan organisme terdiri dari
tumbuhan, hewan, terutama jamur dan bakteri. Beberapa jenis mikroorganisme
tumbuh subur di tempat-tempat kotor seperti air limbah maupun kotoran, dan
sering kali dijadikan sebagai mikroorganisme indikator pencernaan.
Perhitungan jumlah total mikroba pada air limbah penting dilakukan untuk
mengetahui tingkat pencemaran biologis, sehingga dapat ditentukan cara-cara
penanganan limbah yang sesuai dengan karakteristik limbah tersebut. Beberapa
metode perhitungan jumlah total mikroba pada sampel air adalah metode hitung
cawan atau Standard Plate Count (SPC), metode MPN, metode penyaringan pada
membran dan lain-lain. Pada praktikum kali ini pengujian dilakukan dengan
menggunakan metode SPC cara tuang. Pengujian dilakukan dengan melakukan
pengenceran hingga 10-6 pada semua sampel limbah. Tujuan pengenceran adalah
untuk memperluas bidang hidup sampel sehingga memudahkan pada saat
perhitungan mikroorganisme (Fardiaz, 1992). Dua pengenceran (10-5 dan 10-6
untuk sampel limbah Tahu, Kokita dan Kahatex) (10-2, 10-3 dan 10-4 untuk sampel
limbah air Selokan dan air Bersih) lalu diambil masing-masing sebanyak 1 ml dan
dimasukkan ke dalam cawan petri yang beriisi media PCA. Penggunaan media
pertumbuhan PCA karena merupakan medium pertumbuhan mikrobiologi yang
umum digunakan untuk menilai atau memantau total atau pertumbuahan
bakteri. Meskipun demikian PCA bukan media yang selektif tetapi baik untuk
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
pertumbuhan total mikroorganisme (bakteri, kapang dan khamir) karena di
dalamnya mengandung komposisi casein enzymic hydrolisate yang menyediakan
asam amino dan substansi nitrogen kompleks lainnya serta ekstrak yeast
mensuplai vitamin B kompleks. Sampel lalu diinkubasi pada suhu 30oC selama 2
hari, lalu diamati total mikroorganismenya. Pengamatan dilakukan terhadap
jumlah koloni yang tumbuh dan dihitung dengan metode SPC Berikut ini adalah
hasil dari pengamatannya:
Semua sampel menghasilkan hasil positif. Limbah Kokita memiliki nilai
SPC yang paling tinggi yakni 3.8 x 107 CFU/ml pada hari kedua dan 3.1 x 107
CFU/ml pada hari ketiga. Nilai SPC tertinggi setelah Kokita adalah limbah
Kahatex kemudian Tahu, Selokan dan yang terkecil adalah air Bersih. Limbah
tahu merupakan limbah industri pangan yang banyak mengandung karbohidrat
dan protein tinggi yang bersifat biodegradable yang dapat diuraikan oleh alam
dengan bantuan mikroorganisme. Bakteri yang kemungkinan tumbuh pada media
PCA yang telah diinkubasi dari sampel limbah terdiri dari 2 macam, yaitu bakteri
patogen dan non patogen. Bakteri non patogen dapat digunakan utnuk
menghilangkan bahan organik dan mineral yang tida diinginkan dari limbah air.
Contoh untuk bakteri patogen adalah Vibrio cholera, Shigella dysentriae, dan
Salmonella typhosa. Sedangkan untuk bakteri non patogen salah satunya adalah
adalah Streptococcus sp.
Selain bakteri patogen, beberapa bakteri yang mungkin tumbuh tidak
bersifat patogen. Diantaranya Streptococcus sp. Bakteri ini dimanfaatkan untuk
menghilangkan bahan organik dan mineral yang tidak diinginkan pada limbah.
Keberadaan bakteri-bakteri pada limbah diharapkan karena bakteri memiliki
kemampuan untuk menggumpal, sehingga berguna untuk pemisahan bakteri
dalam unit pemisahan padatan dan membantu menghasilkan efluen yang bermutu
baik.
Proses penanganan air limbah menempatkan mikroorganisme menjadi dasar
fungsional untuk sejumlah proses penanganan ataupun sebagai media tumbuh
yang tepat. Di dalam limbah itu sendiri teridri dari berbagai macam jenis makhluk
hidup seperti mikroorganisme bakteri dan kapang serta, virus, protozoa, ganggang
(Algae), Rotufer, dan Crustacea. Kebanyakan bakteri yang tumbuh dalam limbah
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
adalah kemoheterotrofik, yaitu bakteri yang menggunakan bahan organik sebagai
sumber energi dan karbon. Beberapa spesies mengoksidasi senyawa-senyawa
anorganik tereduksi seperti NH3 untuk energi dan menggunakan CO2 sebagai
sumber karbon.Sebagian bakteri yang terdapat dalam ait limbah bersifat
fotosintetik dan menggunakan sinar sebagai energi dan karbon dioksida sebagai
sumber karbon.

4.5 Pengujian Bakteri Koliform


Bakteri koliform merupakan bakteri yang sering digunakan untuk indikator
adanya polusi kotoran. Bakteri koliform dibedakan menjadi dua, yaitu : koliform
fekal (Escherichia coli) dan koliform nonfekal (Enterobacter aerogenes). Bakteri
koliform fekal ditemukan didalam saluran usus hewan dan manusia, sehingga
sering terdapat dalam feses. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator
kontaminasi kotoran. Koliform nonfekal bukan merupakan flora normal di dalam
saluran pencernaan, melainkan ditemukan pada tanaman atau hewan yang telah
mati, dan sering menimbulkan lendir pada makanan.
E. coli memproduksi lebih banyak asam didalam medium glukosa, yang
dapat dilihat dari indikator merah metil, memproduksi indol, tetapi tidak
memproduksi asetoin (asetil metil karbinol). Bakteri ini memproduksi CO2 dan H2
dengan perbandingan 1:1, dan tidak dapat menggunakan sitrat sebagai sumber
karbon.
Untuk mengetahui jumlah koliform pada sampel dapat dengan
menggunakan metode MPN, metode hitung cawan (SPC), metode milipore
membran filter (MF), dll. Pada praktikum kali ini pengujian bakteri Coliform
menggunakan cara MPN yang terdiri dari pembuatan media LB DS dan LB SS,
pembuatan media EMB, Uji Penduga dan Uji Penguat.
Metode MPN menggunakan medium cair di dalam tabung reaksi, di mana
perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif. Pengamatan
tabung yang positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan, atau
terbentuknya gas di dalam tabung Durham yang diletakkan pada posisi terbalik
oleh hasil metabolisme jasad renik. Metode MPN menggunakan 9 tabung reaksi
yang dibagi menjadi 3 seri yaitu seri A, seri B, dan seri C dimana satu seri
masing-masing terdapat 3 tabung reaksi. Seri A menggunakan medium LB DS
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
(Double Strength) dengan sampel sebanyak 10 mL, seri B menggunakan LB SS
(Single Strength) dengan sampel sebanyak 1 mL, dan seri C menggunakan LB SS
(Single Strength) dengan sampel sebanyak 0,1 mL.
Lactose Broth mempunyai komposisi yang sama yaitu Beef extract (3 gr),
peptone (5 gr), lactose (10 gr) dan Bromthymol Blue (0,2 %) per liternya.
Perbedaan antara LBDS dan LBSS hanya terdapat pada kadar laktosanya.
Perbedaan konsentrasi yang dibuat menyebabkan LB-DS lebih pekat dibanding
LB-SS, karena LB-DS dibuat dengan dua kali konsentrasi seharusnya. Dengan
begitu nutrisi yang terkandung dalam LB-DS akan lebih banyak dan memberi
kondisi yang baik bagi mikroorganisme untuk tumbuh (Pelczar, 1986).
Uji penduga dilakukan dengan cara setiap tabung reaksi diisi medium cair
(LBDS dan LBSS) sebanyak 10 ml. Sampel dimasukkan lalu diinkubasikan
selama 48 jam pada suhu 37oC. Uji penguat dilakukan dengan cara sampel yang
menunjukkan hasil yang positif diinokulasikan dengan cara gores kuadran pada
media agar EMB (Eosin Methylene Blue). Media EMB (Eosin Methylen Blue)
mengandung laktosa dan berfungsi untuk memilih mikroba yang
memfermentasikan laktosa seperti staphylococcus aureus, P. aerugenosa dan
salmonella. Mikroba yang memfermentasikan laktosa akan menghasilkan koloni
dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam. Sedangkan mikroba lain yang
dapat tumbuh koloninyan tidak berwarna (Lay dkk, 1992). Lalu diinkubasikan
pada suhu 37oC selama 24 jam, kemudian diamati. Jika pada agar timbul koloni
bulat berwarna merah kehijauan mengkilat seperti metal mengindikasikan bahwa
bakteri tersebut adalah bakteri fekal dan selain warna tersebut, diindikasikan
sebagai bakteri non fekal. Berikut ini adalah hasil pengamatannya:
Tabel 5. Hasil Pengamatan Pengujian Bakteri Koliform
Limbah Uji Penduga Nilai Uji Penguat
LBDS 10 LBSS 1 LBSS 0,1 MPN
Air Bersih 0 0 0 0,03 Tidak dilakukan
Air Selokan 3 3 3 < 24,00 Fekal, non fekal
Air Kokita 3 3 3 < 24,00 Non fekal
Air Kahatex 3 3 3 < 24,00 Fekal, non fekal
Air Tahu 3 3 3 < 24,00 Non fekal
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
Data yang diperoleh menunjukkan semua sampel positif terdapat
mikroorganisme kecuali sampel air Bersih. Semua sampel kecuali air Bersih
memiliki nilai MPN yang sama yaitu < 24,00. Pertumbuhan mikroorganisme
terlihat dari timbulnya gelembung pada tabung Durham dan warna larutan
menjadi keruh. Kekeruhan terjadi merata pada media disebabkan karena adanya
mikroorganisme anaerob fakultatif, yaitu mikroorganisme yang mampu hidup
ataupun tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen. Kekeruhan yang terjadi pada
permukaannya saja disebabkan karena adanya mikroorganisme aerob (Pelczar,
1986). Hal tersebut menunjukkan adanya bakteri yang memfermentasi. Selain
perubahan warna, terlihat juga adanya endapan pada dasar tabung dan lapisan
lendir pada permukaan cairan.
Uji penguat merupakan tahap uji setelah uji penduga. Uji ini dilakukan
untuk memastikan bahwa hasil dari uji sebelumnya merupakan bakteri fekal atau
nonfekal. Dari hasil pengamatan, bakteri fekal dan non fekal didapatkan pada
sampel limbah air Selokan dan Kahatex. Sedangkan pada sampel Tahu dan Kokita
hanya didapatkan bakteri non fekal.
Metode MPN lebih baik dilakukan karena lebih sensitif, dapat mendeteksi
koliform dalam jumlah yang sangat rendah dalam sampel, dapat dibuat sangat
peka dengan penggunaan volume inokulum, bahan-bahan yang mudah
didapatkan, media perrtumbuhan selektif dapat digunakan untuk menghitung jenis
mikroorganisme yang diharapkan diantara jenis-jenis lainnya yang ada dalam
bahan pangan. Sedangkan kerugian dari metode ini adalah dibutuhkannya banyak
ulangan untuk diperoleh hasil yang teliti dan sehubungan dengan hal tersebut
banyaknya biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk persiapan. Umumnya metode
ini banyak digunakan untuk menghitung bakteri patogen dalam jumlah sedikit
yang terdapat dalam bahan pangan.

4.6 Pengujian Bakteri Salmonella Shigella


Salmonella adalah bakteri gram negatif berbentuk batang bukan pembentuk
spora yang terdiri dari sekitar 2.500 serotipe yang semuanya diketahui bersifat
patogen, baik pada manusia maupun hewan. Salmonella adalah bakteri indikator
keamanan pangan. Artinya, karena semua serotipe Salmonella yang diketahui di
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
dunia ini bersifat patogen, maka adanya bakteri ini dalam air atau makanan
dianggap membahayakan kesehatan manusia.
Shigella ialah bakteri patogen yang akan menyenankan shigellosis. Bakteri
ini bersifat gram negatif, batang, non-motil, dan hidup pada suhu optimum 37oC.
Shigella dapat berada pada makanan salad, (kentang, tuna, udang macaroni, dan
ayam), sayuran mentah, susu dan produk harian, dan produk peternakan. Air yang
terkontaminasi dengan limbah buangan manusia dan penanganan tidak higienis
oleh orang yang memproduksi pangan adalah kontaminasi yang paling umum
terjadi.
Pengujian kedua bakteri ini dilakukan dengan memasukkan sampel ke dalam
media pengaya terlebih dahulu, yaitu Tetrathionat Broth (TTB). Tabung reaksi
beriisi TTB harus dilapisi alumunium foil untuk mencegah masuknya cahaya, hal
ini dikarenakan medium TTB merupakan media yang mudah menguap (volatil)
karena mengandung KI dan sangat sensitif bila terkena cahaya akan membentuk
ion-ionnya. Sampel diinkubasi selama 12-16 jam pada suhu 35oC.
Pengujian Salmonella dan Shigella dilakukan pada setiap sampel limbah.
Hal pertama yang dilakukan adalah sampel diambil 1 mL kemudian dimasukkan
pada media pengaya Tetrathionat Broth (TTB) 9 mL di dalam tabung reaksi yang
sudah dilapisi alumunium foil mencegah masuknya cahaya yang kemudian
dikembangbiakan dan diinkubasi selama 12-16 jam pada suhu 35C. Waktu
inkubasi maksimal hanya 16 jam dikarenakan bakteri Salmonella dan Shigella
tumbuh di rentang waktu 12 16 jam, jika kurang maka bakteri belum tumbuh
namun jika lebih dari 16 jam, bakteri yang tumbuh sudah terdapat koliform.
Setelah diinkubasi, kultur tersebut lalu digores dengan metode gores
kuadran pada media Salmonella Shigella Agar (SSA). SS-agar merupakan media
selektif, meida ini adalah media yang memang khusus digunakan untuk
menumbuhkan jenis mikroba tertentu. Media SS-agar ini terdiri dari bile salt yang
berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan beberapa gram
negatif (Pelczar dan Chan, 2006), sehingga diharapkan bakteri yang tumbuh
hanya Salmonella ataupun Shigella. Media lalu diinkubasi kembali dalam suhu
35oC selama 18 24 jam dan diamati pertumbuhan koloni. Pertumbuhan koloni
Salmonella ditandai dengan adanya koloni berwarna hitam sedangkan
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
pertumbuhan koloni Shigella ditandai dengan adanya koloni berwarna merah
muda. Warna hitam ini disebabkan oleh sulfur yang dihasilkan oleh Salmonella.
Berikut ini adalah hasil pengamatannya:
Tabel 6. Hasil Pengamatan Pengujian Bakteri Salmonella Shigella
Limbah Salmonella Shigella Gambar
Air Bersih - +

Air + +
Selokan

Air Kokita + +

Air + -
Kahatex

Air Tahu + +

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)


Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
Perbedaan antara kedua jenis bakteri ini ialah Salmonella menunjukkan
keruh atau bening, tidak berwarna (bagian tengah mungkin berwarna hitam yang
menunjukkan kandungan H2S atau sufur) dan berflagel sedangkan pada Shigella
menunjukkan tidak berwarna dan tidak memiliki flagel. Shigella ditunjukkan
dengan pembentukan koloni berwarna merah muda atau pink. Warna merah muda
disebabkan oleh warna media yang digunakan yaitu merah. Media yang
digunakan adalah SSA (Salmonella Shigella Agar) yang merupakan media
selektif yang hanya bisa menumbuhkan bakteri jenis Salmonella dan Shigella.
Sebelum ditumbuhkan pada media SSA, bakteri-bakteri ini dilakukan tahap
perbanyakan menggunakan media TTB. TTB (Tetrathionat Broth) merupakan
media perbanyakan yang berisikan:
Na2S2O3 45,2 gram
CaCO3 27,8 gram
NaCl 5 gram
Peptone 5 gram
Yeast extract 1 gram
Iodine solution 22,2 gram
Semua bahan-bahan tersebut dilarutkan dalam 1 liter aquades

Berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa semua limbah terdapat pencemar


Salmonella kecuali air Bersih dan Shigella kecuali sampel limbah Kahatex. Hal
ini menunjukkan limbah tersebut berbahaya karena dapat membawa penyakit bagi
lingkungan sekitar. Limbah selokan yang masih mengandung bakteri-bakteri
tersebut sangat berbahaya bagi penduduk sekitar dan dapat mencemari air tanah.
Bakteri Salmonella dan Shigella biasanya ditemukan tumbuh pada makanan yang
berasal dari produk hewani. Menurut Fardiaz (1997) bakteri Salmonella dan
Shigella memiliki pH optimum antara 6-8, sedangkan sampel limbah tahu
memiliki pH asam yaitu 3,8.
Bakteri Salmonella dan Shigella tidak dikehendaki keberadaannya dalam
limbah karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Agar limbah tidak
mencemari lingkungan, perlu dilakukan pengelolaan terlebih dahulu. Pengelolaan
yang paling sederhana ialah pengelolaan dengan menggunakan pasir dan benda-
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
benda terapung melalui bak penangkap pasir dan saringan. Benda yang melayang
dapat dihilangkan oleh bak pengendap yang dibuat khusus untuk menghilangkan
minyak dan lemak. Lumpur dari bak pengendap pertama dibuat stabil dalam bak
pembusukan lumpur, di mana lumpur menjadi semakin pekat dan stabil, kemudian
dikeringkan dan dibuang.
Penanganan air limbah dapat dilakukan dengan cara desinfeksi dan
klorinasi. Namun pada praktikum kali ini tidak dilakukan proses desifeksi dan
kloronasi. Proses desinfeksi yakni proses pembunuhan kuman-kuman dan bakteri
yang berbahaya khususnya Escherichia Coli menggunakan bahan kimia yang
mengandung khlor sebagai zat aktif pembunuh kuman yakni gas khlorin, kaporit
dan hypokholrit. Air yang dibubuhi khlor biasanya menimbulkan bau khlor bila
kadar khlor bebas dalam air mencapai 0,50 mg/L.
Klorinasi ialah usaha pemberian klorin pada bahan dengan tujuan
pembersihan. Klorin memiliki efek mematikan yang tinggi untuk mikroba,
bersifat korosif, tidak terpengaruh kesadahan air. Persenyawaan klorin yang biasa
digunakan dalam desinfeksi ialah gas klorin, hipochlorin, dan kloramin. Waktu
kontak dengan klorin : 20-30 menit sebelum dikonsumsi. Fungsi klorin dalam
penanganan air tidak hanya untuk desinfeksi, tetapi juga untuk tujuan lain seperti :
kontrol terhadap ganggang yang hidup dalam reservoir dan kontrol terhadap
pertumbuhan bakteri pembentuk lendir, pengikat besi.
Mekanisme klorin dalam membersihkan limbah dapat dilihat dari reaksi
klorin bertemu dengan air, sebagai berikut :
Pada pH rendah : Cl2 + H2O HOCl- + HCl
Pada pH tinggi : HOCl- H+ + OCl-

Agar klorinasi berjalan baik maka terdapat faktor-faktor yang


mempengaruhi efisiensi klorin, yaitu :
Jumlah dan tipe klorin yang ada
Hubungan antara bentuk klorin dalam air setelah klorinasi
Jumlah klorin yang dibutuhkan
Lamanya waktu kontak antara klorin dengan air, suhu, dan keasaman atau
alkalinitas air.
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
Pada suhu rendah, reduksi bakteri lambat. Pada suhu 350F 400F separuh
efektifitas pada suhu 700F dan 750F. Nilai pH paling efektif adalah pada pH 7 atau
7. Pada pH tinggi konsentrasi yang diperlukan juga lebih tinggi. Senyawa
hipoklorit seperti : Ca(OCl)2 dan NaOCl dalam air juga membentuk ion hipoklorit
dan asam hipoklorit.
Ca(OCl)2 + 2H2O 2HOCl + Ca(OH)2
NaOCl + H2O HOCl + NaOH
NH3 + HOCl NH2Cl + H2O
NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O
NHCl2 + HOCl NCl3 + H2O

Klorin juga bereaksi dengan senyawa pereduksi termasuk Fe2+, Mn2+, NO2,
H2S dan dengan senyawa-senyawa organic yang ada dalam air. Pereaksi yang
terjadi terutama untuk mengkonsumsi klorin tanpa memberikan efek desinfeksi.
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum Limbah Industri Pangan kali ini dapat disimpulkan
bahwa :
1. Karakteristik setiap limbah berbeda-beda. Limbah air Tahu memiliki pH
3,2 , bersuhu 28oC, berwarna kuning pudar, dan berbau asam.
2. Limbah Kahatex memiliki pH 7,2 , bersuhu 29oC, berwarna hijau
kecoklatan, dan tidak berbau menyengat.
3. Limbah Kokita memiliki pH 6,6 , bersuhu 30,5oC, berwarna kuning pudar,
dan berbau sambal busuk.
4. Limbah Selokan memiliki pH 7,0 , bersuhu 25oC, berwarna keruh, dan
berbau got.
5. Air Bersih memiliki pH 6,6 , bersuhu 27oC, berwarna bening, dan tidak
berbau apapun.
6. Sampel yang memiliki endapan terbanyak adalah limbah Kahatex, limbah
Kokita, Air Selokan dan Tahu merupakan limbah dengan endapan yang
paling sedikit.
7. Air bersih sama sekali tidak terdapat endapan.
8. Nilai COD tertinggi terdapat pada sampel air limbah air selokan sebesar
3360 ppm, disusul limbah air tahu sebesar 2400 ppm, kemudian limbah air
kahatex sebesar 800 ppm
9. Limbah Kokita memiliki nilai COD terendah yaitu sebesar 400 ppm.
10. Sampel dengan nilai BOD yang paling tinggi adalah air limbah Kokita
sebesar 67,2 mg/L, kemudian limbah air Tahu sebesar 9,6 mg/L, Kahatex
sebesar 3,84 mg/L.
11. Sampel dengan nilai BOD terendah adalah air Selokan. Sebesar 1,92 mg/L
12. Nilai DO tertinggi terdapat pada sampel limbah Kokita yaitu sebesar 7,2
dan yang terendah adalah limbah Kahatex sebesar 0,32.
13. Limbah Kokita memiliki nilai SPC tertinggi yakni 3.8 x 107 CFU/ml pada
hari kedua dan 3.1 x 107 CFU/ml pada hari ketiga .
14. Air Bersih memiliki nilai SPC terendah yakni < 3,0 x 103 (1,7 x 103)
CFU/ml pada hari pertama dan kedua.
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
15. Semua sampel limbah terdapat pencemar Salmonella kecuali air Bersih
dan Shigella kecuali sampel limbah Kahatex
16. Semua sampel limbah positif terdapat bakteri Koliform kecuali sampel air
Bersih.
17. Semua sampel limbah kecuali air Bersih memiliki nilai MPN yang sama
yaitu < 24,00.
Firna Apriliani Shafira
240210140022
Kelompok 4A
DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hadi P. dan Adiono. Penerbit UI-Press. Jakarta.

Djajadiningrat, A. 1999. Pengolahan Limbah Cair. Penelitian Pengelolaan


Limbah. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung

Fardiaz, srikandi, DR., Ir. 1997. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.

Gintings, P. (1992). Mencegah dan Mengendalikan Pencemaraan Industri. Pustaka


Sinar Harapan. Jakarta.

Hammer. 1986. Kandungan-kandungan Limbah Industri (Terjemahan). Jakarta.

Jennie dan Fardiaz. 1989. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Penerbit PAU Institut
Pertanian Bogor dan LSIIPB, Bogor

Jenie, B.S.L dan W.P. Rahayu, 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Kristianto, P. 2002. Ekologi Industri. Penerbit ANDI. Yogyakarta.

Lay, Bibiana W. dan Hastowo, Sugyo, (1992), Mikrobiologi, Rajawali Press,


Jakarta.

Mahida. 1992. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali.


Jakarta.

MetCalf dan Eddy. 2003. Wastewater Engineering : Treatment, Disposal and


Reuse, 4th ed., McGraw Hill Book Co., New York.

Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan, 1986, Penterjemah , Ratna Siri Hadioetomo dkk.
Dasar-Dasar Mikrobiologi 1.Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Sugiharto. 1987. Dasar Dasar Pengelolaan Air Limbah. UI Press. Jakarta.

Suhardi. 1991. Kimia dan Teknologi Protein. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi
UGM.

Anda mungkin juga menyukai