Anda di halaman 1dari 19

RESUME

MATAKULIAH BELAJAR DAN PEMBELAJAR


Dosen Pengampu Dr. Hj. Sri Endah Indriwati, M.Pd

Judul : Teori Belajar Revolusi Sosio Kultural dan Penerapannya


Dalam Pembelajaran
Tujuan : Untuk mengetahui mengenai dasar Teori Belajar
Revolusi Sosio Kultural dan Penerapannya
Dalam Pembelajaran
Nama / NIM : Gissa Adela P.W / 150341600860
Prodi : P. BIOLOGI
Tempat, Hari, tanggal : Malang, Senin, 20 Februari 2017

A. Perngertian Teori Belajar Revolusi Sosio Kultural


Berbeda dengan teori-teori belajar yang muncul lebih dahulu, (seperti: teori belajar
disiplin mental, teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, dan teori belajar
humanisme), pengertian teori belajar kultural tidak dijabarkan secara eksplisit. Pendevinisian
teori belajar kultural, oleh para ahli dirumuskan dalam bentuk pendekatan-pendekatan teori
belajar yang lain, yakni: teori belajar konstruktivisme, teori belajar ko-konstruktivisme, teori
belajar sosial, dan teori belajar sosio kutural atau banyak disebut dengan istilah teori belajar
revolusi-sosio kultural (Anwar,2011).
Lahirnya teori belajar kultural merupakan bentuk kritik atas teori-teori belajar
pendahulunya. Para ahli berpandangan bahwa teori-teori belajar yang telah ada sebelumnya
telah mengabaikan aspek bahwa manusia sebagai makhluk individu dan sosial telah terlepas
dari lingkungan sosialnya dalam proses belajar yang dialami dan dilakukan. Lingkungan,
melalui pola interaksinya merupakan setting sekaligus bahan belajar yang mampu
membentuk dan merubah perilaku pembelajar. Oleh karenanya, belajar adalah proses
integrasi antara individu dengan lingkungan. Devinisi lingkungan dalam hal ini memiliki
cakupan yang luas, meliputi lingkungan sosial dan lingkungan alam dengan berbagai aspek
yang mengitarinya, antara lain: interaksi antar individu, pola hubungan kelompok,
kebudayaan, psikologi sosial, dan sebagainya. Terdapat tiga aspek penting dalam teori belajar
kultural, antara lain:
1. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat.
2. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam
suatu komunitas masyarakat.
3. Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan di dalam kehidupan berbudaya,
sehingga akan terjadi proses perubahan.
Penekanan pada aspek kebudayaan masyarakat dalam teori belajar kultural memiliki
alasan yang kuat. Kebudayaan sebagai hasil pola hubungan dan interaksi masyarakat yang
telah disepakati, dianut, dijalankan, dipertahankan, dan berlangsung secara kontinyu, oleh
kelompok masyarakat tertentu, memiliki pengaruh signifikan terhadap corak pendidikan dan
keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan.

B. Teori Belajar Revolusi Sosio Kultural menurut ahli


1. Teori Konstruktivisme Jean Piaget.
Belajar menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses
mengasimilasikan dan mengaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan
pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Kontruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru,
apa yang dilalui dalam kehidupan setiap orang, selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya
memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif
membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa
menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat
pemahaman yang lebih tinggi, dengan menggunakan catatan siswa sendiri, yang
ditulis dengan bahasa dan kata-kata mereka sendiri.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme
adalah aktivitas yang aktif, dimana peserta didik membina sendiri pengtahuannya,
mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan proses menyelesaikan
konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya.
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan
mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk
mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang
ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga,
diperoleh konstruksi yang baru.
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu
artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan
sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu
utama terjadinya belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan
lingkungan sosial menjadi faktor sekunder. Keaktifan siswa menjadi penentu utama
dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar
memudahkan belajar. Menurut Piaget proses belajar untuk membangun kognisi
seseorang, sebenarnya terdiri atas tiga tahapan, antara lain:
a. Asimilasi, yaitu pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah
ada.
b. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
c. Equilibrasi adalah penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi.
Dari ketiga tahapan tersebut, dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif
merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan,
sehingga terjadi ekuilibrasi. Proses adaptasi yang dimaksud meliputi tahapan
asimilasi dan akomodasi untuk mencapai equlibrasi. Berikut ini visualisasi tiga
tahapan belajar menurut Piaget:

PROSES ADAPTASI
E
Q
U
ASIMILASI: AKOMODAS I
I: L
struktur I
kognitif yang Struktur B
sudah ada kognitif R
(skemata) (skemata) A
+ + S
informasi baru Situasi baru I
Gambar 1. Tahapan belajar menurut Piaget.

Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh


Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik tersebut, masih
dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang
dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena
lebih mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim
dikaitkan dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai dengan tuntutan
revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
2. Teori Co-Konstruktivisme, dan Revolusi Sosio-Kultural Vygotsky.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam
pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk
pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari
lingkungan pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang,
dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi. Vygotsky
menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam
pembentukan pengetahuan. Menurut Vygotsky, interaksi sosial dalam hal ini,
interaksi individu dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu
perkembangan kognitif seseorang.
Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan
efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana
dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang
lebih mampu, guru atau orang dewasa. Oleh Vigotsky, teori pembelajaran kultural
didevinisikan dengan pendekatan teori konstruktivisme. Pendekatan teori
kontruktivisme ini selanjutnya dikembangkan menjadi co-konstruktivisme, kemudian
lebih jauh lagi revolusi sosio-kultural.
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh
budaya, tetapi dinilai sangat individualistik karena belum ada proses internalisasi.
Kegiatan belajar hanya terfokus pada siswa secara individu mengkonstruksikan
stuktur kognitif yang dimilikinya dengan pengalaman yang diperoleh melalui
Interaksi sosial dan budaya yang telah tertanam dalam benak siswa. Ini berarti proses
belajar hanya sebatas pada kegiatan internal (dalam diri individu atau hanya pada
kawasan intra-psikologi) saja.
Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara
inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi
(intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi
dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-
psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu). Internalisasi
individu sebagai proses pemerolehan pembelajaran mempengaruhi perkembangan
intelektual siswa. Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky
mengemukakan dua ide, antara lain:
a. Bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks
budaya dan sejarah pengalaman.
b. Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada
sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang. Sistem tanda
adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu
seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya
budaya, bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya merupakan aspek-aspek yang
mempengaruhi internalisasi. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan
keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun
keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai
dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi
sosial yang bersifat primer dan dimensi individual bersifat derivatif atau turunan dan
sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-
Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan
oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif
pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi
melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya.
Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya
dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran
sosio-kultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa
mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep yang
diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan
manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan
budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang-orang yang ada di
lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu
berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam
bidang-bidang tersebut.
Terdapat tiga konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang
perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosio-kultural dalam teori belajar dan
pembelajaran. Tiga konsep tersebut antara lain:
a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development).
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan
berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan
intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental
atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap
pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Sedangkan
fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau
terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial
tersebut.
b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development).
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal
development) ke dalam dua tingkat, yakni:
1.) Tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara
mandiri (intramental).
2.) Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah
bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya
yang lebih kompeten (intermental).
Jarak antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan
potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan
proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang
belum matang yang masih berada dalam proses pematangan. Berikut penjelasan
dalam bentuk visualisasinya:

Tingkat
Tingkat
Perkembangan
Perkembangan
Aktual
(intramental)
ZPD Potensial
(intermental)

Gambar 2. Dua tingkatan perkembangan proksimal.


c. Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas
manusiawi dimediasikan dengan psychologis tools atau alat-alat psikologis
berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika. Ada dua jenis mediasi, yaitu:
1.) Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan
untuk melakukan self- regulation yang meliputi: self planning, self
monitoring, self checking, dan self evaluating. Mediasi metakognitif ini
berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
2.) Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan
masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain
problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa
salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).
3. Teori Sosial Albert Bandura.
Bandura adalah seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial
atau kognitif sosial, serta efikasi diri. Bandura melakukan berbagai eksperimen teori
pembelajaran imitatif yang kemudian dikembangkan pada eksperimen pembelajaran
observasi. Dalam pembelajaran imitatif, ditemukan fakta bahwa pembelajar
cenderung menunujukkan perilaku meniru tindakan model yang dilihatnya. Lain
halnya dengan eksperimennya mengenai teori belajar observasi. Teori belajar
observasi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari sekedar imitatif. Teori belajar
observasi memposisikan peserta didik sebagai pengamat terhadap model maupun
setting pembelajaran. Peserta didik sebagai pengamat tidak sekadar meniru apa yang
diamatinya. Menurut teori belajar sosisal yang dikemukakan oleh Bandura (Gredrel,
1994: 370), hal yang sangat penting dalam pembelajaran observasi adalah: (1)
kemampuan individu untuk mengambil sari informasi dari tingkah laku orang lain;
dan (2) memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil untuk melaksanakan
tingkah laku tersebut.
Teori belajar sosial Albert Bandura sebenarnya terintegrasi dalam teori
belajar imitatif dan observasi, yang sebenarnya mendasarkan eksperimen belajar
yang dilakukan dari teori belajar behavioristik. Faktor-faktor yang berproses dalam
belajar observasi adalah:
1. Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
2. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
3. Reproduksi motori, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, dan
keakuratan umpan balik.
4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Selain itu, juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan
mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan, diperoleh dnegan cara
mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik,
kemudian melakukannya.
2. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
3. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut
disukai dan dihargai, dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, belajar sosial (juga dikenal
sebagai belajar observasional atau belajar vicarious atau belajar dari model) adalah
proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari pengamatan, penguasaan dan, dalam
kasus proses belajar imitasi, peniruan perilaku orang lain. Jenis belajar ini banyak
diasosiasikan dengan penelitian Albert Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Di
dalamnya ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain
melalui pengamatan terhadap orang tersebut. Penelitian lebih lanjut menunjukkan
adanya hubungan antara belajar sosial dengan belajar melalui pengkondisian klasik
dan operant.
Banyak yang secara salah menyamakan belajar observasional dengan
belajar melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda dalam arti bahwa belajar
observasional mengarah pada perubahan perilaku akibat mengamati model. Ini tidak
selalu berarti bahwa perilaku yang ditunjukkan orang lain diduplikasi. Bisa saja si
pengamat justru melakukan sesuatu yang sebaliknya dari yang dilakukan model
karena ia telah mempelajari konsekuensi dari perilaku tersebut pada si model. Dalam
hal ini adalah belajar untuk tidak melakukan sesuatu dan ini berarti terjadi belajar
observasional tanpa adanya imitasi.
Teori belajar sosial menurut bandura erat kaitannya dengan perilaku peserta
didik yang terbentuk dari hubungan antara pembelajar dengan lingkungannya.
Menurut pandangan faham belajar sosial, tingkah laku dan lingkungan dapat diubah,
dan tidak satu pun merupakan penentu utama dari terjadinya perubahan tingkah laku.
Pemerolehan tingkah laku kompleks tidak dapat diterangkan dengan hubungan dua
arah antara lingkungan dan individu. Bandura mengajukan hubungan segitiga yang
saling berkaitan. Berikut visualisasinya:

Ekspektasi dan nilai Ciri-ciri fisik seperti


mempengaruhi tingkah laku P tampakan yang menarik,
suku bangsa, perawakan,
Tingkah laku jenis kelamin, dan
sering dinilai atribut sosial
tanpa mengaktifkan reaksi
memperhatika lingkungan yang
n balikan dari berlainan
lingkungan, Perlakuan
dengan begitu sosial yang
mengubah berbeda,
kesan pribadi mempengar
uhi konsepsi
diri pribadi
individu

T L

Tingkah laku Kontigensi yang diaktifkan


mengaktifkan kontigensi dapat mengubah intensitas
lingkungan atau arah kegiatan

Gambar 3. Hubungan segitiga (model deterministic resipkoral) oleh Albert Bandura:


antara faktor pribadi (P) faktor lingkungan (L) faktor tingkah laku (Gredler, 1994:
378).
4. Teori Kultural Edward Burnett Tylor.
Antropologi sosial dan antropologi budaya bertumpu dan berpedoman
kepada masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu antropologi mencoba
menguraikan hubungan antara berbagai aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan
sebagai wujud makhluk sosial. Walaupun dikalangan antropologis terdapat minat
yang bermacam-macam tetapi semua antropologis mempunyai kecenderungan yang
sama, yaitu keinginan untuk memahami hubungan manusia dalam masyarakat.
Pendidikan sebagai salah satu wujud hubungan manusia dalam masyarakat memiliki
keterjaitan dengan antropologi. Ini artinya antropologi turut menyumbang
tersusunnya teori belajar kultural.
E.B Tylor merupakan seorang antropolog yang berasal dari Inggris. Tylor
tidak mengemukakan devinisi belajar kultural, tetapi memberikan teori mengenai
budaya. Teori budaya sebagai bagian dalam teori belajar kultural perlu dibahas
karena substansi budaya merupakan salah satu pijakan teori belajar kultural. Tylor
telah menulis tentang berbagai macam masalah, tetapi yang terpenting ialah teori
tentang budaya yang diartikan oleh Tylor pada tahun 1871. Karena teorinya itu
maka Tylor terus diingat dalam sejarah perkembangan antropologi. Teori itu
berbunyi: "Budaya dalam arti kata etnografis yang luas, ialah gagasan keseluruhan
yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, tata susila, adat, dan tingkah laku
yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sehingga teori awal yang
dibuat oleh Tylor terhadap budaya masih dianggap penting oleh kalangan
antropologis.
E.B. Tylor menganut cara berpikir evolusionisme. Beliau berpendapat
bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa yang
disebabkan oleh dua hal yaitu perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal
yang hidup dengan hal-hal yang mati, dan peristiwa mimpi. Pada saat tidur atau
pikiran melayang hubungan jiwa dan raga akan tetap ada. Tetapi jika manusia mati
hubungan jiwa dan raga akan terputus. Jiwa yang terputus dari raga akan bebas
mengisi alam yang akan menjadi makhluk halus yang akan hidup berdampingan
dengan manusia, ditempatkan pada posisi yang penting yaitu dijadikan obyek
penghormatan dan penyembahan. E.B Tylor juga berpendirian bahwa bentuk religi
paling tua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari
jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya.
Penyembahan terhadap makhluk halus menurut E.B Tylor disebut sebagai animisme
yang pada akhirnya merupakan bentuk religi tertua. Makhluk halus penghuni alam
sering disebut sebagai Dewa. Semua Dewa pada hakekatnya merupakan penjelmaan
dari satu dewa yang tertinggi. Dewa memiliki tingkatan dan tingkat tertinggi para
dewa menurut keyakinan terhadap satu Dewa atau Tuhan dan akan timbul religi yang
bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.
Teori yang lain tentang kebudayaan, E.B Tylor beranggapan bahwa
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Keberadaan
sistem religi ternyata mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya.
Akulturasi dan asimilasi antara sistem religi dan kebudayaan dalam lingkup
masyarakat pun menjadikan corak pendidikan yang beragam. Teori belajar kultural
senantiasa mengambil bentuk aplikasi yang disesuaikan dengan keduannya.

C. Prinsip-Prinsip Teori Revolusi Sosio-kultural


Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan
kognitif sesuai dengan revolusi sosio-kultural dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu
hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development), zona perkembangan
proksimal (zona of proximal development), dan mediasi.
1) Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang
melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan intrapsikologis atau
intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai
faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan
kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan
yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses
sosial tersebut.
2) Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal development) ke dalam
dua tingkat. Pertama, tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri
(intramental). Kedua, tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan
orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten
(intermental). Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan
proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang
yang masih berada dalam proses pematangan (Tudge 1994).
3) Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi
dimediasikan dengan alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Dalam kegiatan pembelajaran, anak dibimbing oleh orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih kompeten untuk memahami alat-alat semiotik ini. Anak mengalami proses internalisasi
yang selanjutnya alat-alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih
lanjut pada diri anak. Mekanisme hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan fungsi-
fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik, artinya tanda-tanda atau lambing-lambang
beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara
rasionalitas sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya
proses mental.

D. Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kultural.


Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural tidak bisa dilakukan
dengan mengeralisasikannya begitu saja. Di bagian awal telah disebutkan bahwa teori belajar
kultural hanya mampu didevinisikan dan dijelaskan dneagn mengunakan berbagai
pendekatan teori belajar yang lain, terutama konstruktivisme dan sosio-kultural.
Mengidentivikasi kelebihan dan kelemahan teori belajar kultural dipandang dari perspektif
pendekatan tertentu. Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan, antara
lain:
1. Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan
proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
daripada tingkat perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental.
4. Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif
yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk
tugas-tugas atau pemecahan masalah.
5. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan
kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara
bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Keuntungan sebagaimana telah dideskripsikan di atas akan memberikan implikasi positif
bagi peserta didik, antara lain:
1. Mendorong peserta didik untuk berfikir dalam proses membina pengetahuan baru.
Siswa berfikir untuk menyelesaikan masalah, menemukan ide dan membuat
keputusan.
2. Peserta didik akan memiliki pemahaman, kerana terlibat secara langsung dalam
membina pengetahuan baru. Peserta didik akan lebih faham dan dapat
mengapliksikannya dalam semua situasi.
3. Memiliki ingatan yang kuat terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan dan
pengalaman, kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat
lebih lama tentang semua konsep. Siswa melalui pendekatan ini membina sendiri
pemahamannya.
4. Memiliki efikasi diri yang tinggi, yakni memiliki keyakinan bahwa dirinya dan
orang lain yang terlibat dalam interaksi belajar akan mampu mengatasi permasalahan
dalam pembelajaran.
5. Memiliki kemahiran sosial yang diperoleh melalui interaksi dengan rekan dan guru
dalam membina pengetahuan baru.
6. Pembelajaran berlangsung menyenangkan, kerana peserta didik terlibat secara aktif
dan berkelanjutan.
Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-
proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber
belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung.

E. Aplikasi Teori Belajar Kultural.


Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada tiga jenis pendidikan yaitu:
1. Pendidikan informal (keluarga).
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali melihat,
memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu
perkembangan perilaku masing-masing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga
yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga
beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan
dalam keluarga dan sebagainya.
2. Pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk memberikan
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini
diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial
masyarakatnya.
3. Pendidikan formal.
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi antara
lain:
a. Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan
sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP,
Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan
Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan
kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan,
ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural
masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata
pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan kewarganegaraan,
pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
b. Peserta didik.
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung
ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan
sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami pembelajaran secara
langsung. Selain itu pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk
berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya. Pencapaiannya sesuai
standar kompetensi yang telah ditetapkan.
c. Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih
berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer
pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam
pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu
perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri.
Aplikasi belajar kultural berdasarkan jenis model pembelajaran yang dipakai,
harus memenuhi prinsip-prinsip metodis konstruktivisme, yang melibatkan perananan
aspek lingkungan sosial maupun aspek lingkungan alam. Menurut Knuth &
Cunningham, dikatakan bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis
hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan
konstruksi pengetahuan.
b. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata.
c. Pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai.
d. Memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran.
e. Pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan sosial peserta
didik.
f. Pembelajaran menggunakan barbagai sarana.
g. Melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan
peserta didik.
Lebih jauh lagi, dalam proses pembelajaran yang relevan dengan aplikasi teori
belajar kultural, harus diciptakan suasana belajar yang memungkinkan terjadinya
interaksi sosial. Teori belajar konstruktivisme, teori belajar ko-konstruktivisme, teori
belajar sosial, dan teori belajar sosio kutural atau teori belajar revolusi-sosio kultural,
merupakan jiwa dari pengembangan pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Ini
berarti secara umum aplikasi teori belajar sejalan dengan model belajar PAKEM. Dalam
model PAKEM, guru dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang dapat
melibatkan siswa melalui pembelajaran partisipatif, aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Tujuannya agar siswa dapat menciptakan, membuat karya, gagasan,
pendapat, ide atas hasil penemuannya dan usahanya sendiri, bukan dari gurunya
(Rusman, 2012: 323).
Pengembangan pembelajaran dalam hal ini adalah aplikasi pembelajaran di
sekolah yang menggunakan berbagai pendekatan atau model pembelajaran yang
memenuhi prinsip teori-teori tersebut. Berikut ini adalah beberapa model pembelajaran
yang bisa dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran yang diampunya:
1. Model belajar inquiri dan discovering.
Dalam kedua model pembelajaran tersebut, siswa mencari, menemukan,
mengelolah, dan mengkonstruksi serta menstransformasikan informasi yang
diperolehnya guna menjadi sebuah pengetahuan yang bermakna. Model ini mampu
mengefektifkan peran siswa sendiri dalam mengkonstruksi dan mentrasformasikan
informasi guna membentuk pengetahuan yang baru. Siswa juga diberi kesempatan
untuk merefleksikan pengetahuan yang dikonstruksi dan ditransformasikannya dan
membacanya secara baru sebagai suatu pengetahuan yang berarti.
2. Guidence to independent learning (Bimbingan menuju pada kemandirian belajar).
Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar
bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan
yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan
masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
3. Cooperative learning.
Ide dasarnya adalah pembelajaran dilakukan dengan kerjasama antara
peserta didik. Kerjasama sebagai wujud interaksi sosial untuk memperoleh
pengetahuan, memecahkan masalah, berdiskusi, mereflerksi secara bersama-sama.
Gagasan tentang kelompok kerja kreatif diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh
teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak
tertinggal dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya
melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa
dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan
scaffolding yang sesuai.
Selain model pembelajaran di atas, masih banyak model pembelajaran lain yang bisa
dikembangkan guru, antara lain model simulasi, role play, eksperiment learning, Web-Based
Education atau juga disebut e-learning, dan sebagainya, dengan syarat memenuhi prinsip-
prinsip dalam teori belajar kultural.

F. Perluasan Konsepsi Teori Belajar Kultural Dikaitkan dengan Pembelajaran Berbasis


Budaya.
Koentjoroningrat menyatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta,
karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut
(Sujarwa, 2010: 28). Budaya bisa diikuti secara menyeluruh oleh warga masyarakat
(universe), atau hanya diikuti oleh suatu kelompok secara khusus (speciality). Ini sama
halnya dengan bahwa budaya dapat dilihat dari wilayah berlakunya, yakni budaya dalam
lingkup makro, dan budaya dalam lingkup mikro.
Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses
pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya
sebagai bagian yang fundamental (mendasar dan penting) bagi pendidikan, ekspresi dan
komunikasi suatu gagasan, dan perkembangan pengetahuan. Budaya merupakan alat yang
sangat baik untuk memotivasi siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara
kooperatif, dan mempersepsikan keterkaitan antara berbagai mata pelajaran. Dalam
pembelajaran berbasis budaya, budaya yang diintegrasikan menjadi alat bagi proses belajar.
Pembelajaran berbasis budaya sebagai strategi pembelajaran mendorong terjadinya proses
imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar budaya.
Dengan demikian, proses pembelajaran berbasis budaya bukans sekadar mentransfer
atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya kepada siswa, tetapi menggunakan
budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus batas imajinasi dan
kreativitas, untuk mencapai pemahaman yang mendalam tentang mata pelajaran yang
dipelajarinya. Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam, antara
lain:
1. Belajar tentang Budaya.
Belajar tentang budaya artinya menempatkan budaya sebagai bidang ilmu.
Proses belajar tentang budaya, sudah cukup dikenal selama ini, misalnya dalam mata
pelajaran kesenian dan kerajinan tangan, seni dan sastra, seni suara, melukis/
menggambar, seni musik, seni drama, tari dan lain-lain. Budaya dipelajari dalam satu
mata pelajaran khusus, tentang budaya dan untuk budaya. Mata pelajaran tersebut
tidak terintegrasi dengan mata pelajaran lain, dan tidak berhubungan satu sama lain.
2. Belajar dengan Budaya
Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau
metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu. Belajar dengan budaya
meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Misalnya: siswa diminta
guru untuk membuat laporan mengenai kehidupan masyarakat suku yang terisolasi
dari dun ia luar. Guru memanfaatkan peranan media massa, dalam hal ini program
televisi Etnic Runaway yang harus ditonton siswa dan siswa harus membuat laporan
tertulis dari acara tersebut. Contoh lain, guru mempergunakan berbagai bentuk dan
ukuran gong untuk memperkenalkan konsep bunyi, gelombang bunyi, dan gema dalam
pelajaran fisika.
3. Belajar melalui Budaya.
Merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan
pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran
melalui ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu
bentuk multiple representation of learning assessment atau bentuk penilaian
pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya, siswa tidak perlu mengerjakan tes
untuk menjelaskan tentang proses pembuatan kebijakan (dalam mata pelajaran PKn),
tetapi siswa dapat membuat poster, membuat karikatur, lagu ataupun puisi yang
melukiskan proses pembuatan kebijakan. Dengan menganalisis produk budaya yang
diwujudkan, guru dapat menilai sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam
topik proses fotosintesis, dan bagaimana siswa menjiwai topik tersebut. Belajar
melalui budaya memungkinkan siswa untuk memperlihatkan kedalaman
pemikirannya, penjiwaannya terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari dalam suatu
mata pelajaran, serta imajinasi kreatifnya dalam mengekspresikan pemahamannya.
Pembelajaran berbasis budaya merupakan perluasan konsepsi teori belajar kultural
karena telah menempatkan budaya dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Disampaing telah memenuhi penanaman nilai-nilai universal
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Pendidikan merupakan
proses untuk merubah tingkah laku ke arah yang positif, sehingga pendidikan yang terbaik
adalah pendidikan yang tidak hanya berfokus pada penguasaan kognisi, tetapi juga afeksi dan
psikomotor peserta didik.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal harus lebih mengaplikasikan teori
pembelajaran kultural dengan berbagai model pembelajaran yang memenuhi kriteriumnya
dan dengan memberikan porsi bagi peranan budaya di dalamnya. Dengan demikian,
penyelenggaraan pendidikan yang modern dapat tetap tercapai, pewarisan budaya bangsa
dapat terlaksana, dan pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kebangsaan
Pancasila dapat diraih.
PERTANYAAN
1. Bagaimana peran budaya dalam teori ini ?
Partisipasi dengan dan melalui beragam bentuk perwujudan budaya memberikan kebebasan
bagi siswa untuk belajar dan menggali prinsip-prinsip dalam suatu mata pelajaran,
menemukan hal-hal yang bermakna di sekelilingnya, dan mendorongnya untuk membuka dan
menemukan hal-hal yang baru di dunia baru.
2. mengapa model belajar inquiri dan discovering baik bila di aplikasikan ke dunia
pendidikan?
Model ini mampu mengefektifkan peran siswa sendiri dalam mengkonstruksi dan
mentrasformasikan informasi guna membentuk pengetahuan yang baru. Siswa juga diberi
kesempatan untuk merefleksikan pengetahuan yang dikonstruksi dan ditransformasikannya
dan membacanya secara baru sebagai suatu pengetahuan yang berarti.
3. Mengapa kultur budaya ini erat kaitannya dengan pendidikan ?
Kebudayaan sebagai hasil pola hubungan dan interaksi masyarakat yang telah disepakati,
dianut, dijalankan, dipertahankan, dan berlangsung secara kontinyu, oleh kelompok
masyarakat tertentu, memiliki pengaruh signifikan terhadap corak pendidikan dan
keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan.

SUMBER
Anwar, Kasful & Hendra Harmi, 2011, Perencanaan Sistem Pembelajaran Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Bandung: ALFABETA
Gredler. Belajar dan Membelajarkan (Seri Pustaka teknologi Pendidikan Nomor 11). Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Rusman. Seri Managemen Sekolah Bermutu, Model-model Pembelajaran (Mengembangkan
Profesionalisme Guru). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Sujarwa. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Manusia dan Fenomena Sosial Budaya).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Munif Chatib. Sekolahnya Manusia (Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia).
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2012.

Anda mungkin juga menyukai