PENDAHULUAN
yang disebabkan oleh Micobacterium leprae. Kusta dapat mengenai segala usia, pria maupun
wanita, bahkan dapat mengenai bayi.(1) Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun Sebelum
Masehi (SM) dan masih kita temukan sampai saat ini. Penyakit ini dapat menimbulkan masalah
yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis karena dapat menimbulkan kecacatan, namun
Pada 1991, World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi
kusta 2012, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Indonesia
sudah mencapai eliminasi kusta tersebut pada 2012, namun berdasarkan laporan jumlah
penderita yang tercatat tidak menunjukkan adanya penurunan yang bermakna. Kondisi ini juga
terjadi pada negara-negara lain di dunia, sehingga pada 2006 The International Federation of
Anti-Leprosy Associations (ILEP) dan World Health Organization (WHO) mengeluarkan strategi
global untuk menurunkan beban penyakit dan kesinambungan pemberantasan penyakit kusta
(2006-2010). Perkembangan 10 tahun terakhir ini tetap memperlihatkan jumlah yang bertambah
dalam penemuan kasus baru. Oleh karena itu sebagai upaya global, WHO yang didukung ILEP
mengeluarkan Enhanced Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden due to
Leprosy (2011-2015). Berpedoman pada panduan WHO ini serta mensinkronkan dengan
Rencana Strategi Kementrian Kesehatan untuk tahun 2010-2014, maka disusunlah kebijakan
rendah (PR <1/10.000 penduduk) dan daerah endemik tinggi (PR >1/10.000 penduduk). Program
pengendalian tersebut mengatur tentang kebijakan, strategi, kegiatan pokok sampai pada sistem
rujukan pelayanan kesehatan. Pada kenyataannya belum semua kegiatan pokok dilaksanakan,
salah satunya yaitu penemuan kasus baru secara aktif. Hal ini terjadi karena minimnya
pengetahuan tentang kusta sehingga selain ditakuti oleh masyarakat, kusta juga masih ditakuti
oleh beberapa petugas kesehatan. Padahal jika penemuan kasus secara aktif ini dilakukan dengan
baik maka jumlah penderita kusta dapat tercatat dengan baik dan bisa segera diobati sehingga
Data WHO yang dilaporkan oleh 102 negara di dunia pada September 2015, angka
penemuan kasus baru sebanyak 213.899 kasus. Wilayah Asia Tenggara menjadi wilayah dengan
angka penemuan kasus baru kusta tertinggi sebesar 154.834 kasus. Penemuan kasus baru di
Indonesia merupakan urutan ketiga dunia sebesar 17.025 kasus di bawah India sebesar 125.785
kasus dan Brazil sebesar 31.064 kasus.(3) Secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan
penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya sebanyak 4.807 kasus pada
2012, dengan rata-rata penemuan penderita per tahun antara 4.000-5.000 orang. Hasil penelitian
dari Dzikrina (2013), hal ini dikarenakan keterlambatan penemuan kasus baru, kepadatan
penduduk yang meningkat sehingga tingginya transmisi penularan di antara kontak serumah,
Dari segi persebaran, ada 14 provinsi dengan tingkat penemuan kasus baru lebih dari 10
per 100.000 penduduk pada 2009, diantaranya Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara
Timur, Maluku dan Papua. Sejak 2010-2012, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah
menjadi daerah endemik rendah kasus kusta, sebab angka penemuan kasus baru kurang dari 10
per 100.000 penduduk.(6) Belum semua kasus di Provinsi NTT dilaporkan secara baik. Jumlah
penderita yang tercatat sampai tanggal 31 Desember 2013 sebanyak 444 orang yang tersebar di
14 dari 22 Kabupeten/Kota.(7) Kabupaten Kupang menempati urutan kedua dengan kasus kusta
terbanyak setelah Flores Timur. Di Kabupaten Kupang pada 2013 terdapat 79 penderita kusta
yang tersebar di 12 puskesmas atau Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang ada dengan tipe
Multibasiler (MB) sebanyak 75 orang dan tipe Pausibasiler (PB) sebanyak empat orang.(8)
Tipe MB merupakan tipe kusta yang paling sering ditemui di berbagai tempat. Selain itu
tipe MB juga merupakan tipe kusta yang dapat menular, namun sampai saat ini belum diketahui
secara pasti bagaimana cara penularannya. Beberapa teori menyebutkan bahwa penularan dapat
melalui saluran pernapasan dan kontak kulit secara langsung, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
faktor risiko mempunyai peran penting dalam terjadinya suatu penyakit termasuk penyakit kusta,
Penyakit Kusta ini dapat menular dari seseorang yang menderita kusta ke orang yang sehat
dengan kontak langsung dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu penulis melakukan
1.4 Manfaat
a. Keluarga dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit kusta atau
c. Dokter muda dapat menambah wawasan tentang penyakit kusta dan pendekatan yang dapat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta
2.1.1. Definisi Kusta
Kata kusta berasal dari bahasa India Kustha yang sudah dikenal sejak 1400 SM.(2)
Kusta atau lepra atau morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya
adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat.(9) Selain menyebabkan kecacatan secara fisik, kusta juga dapat
menimbulkan masalah lain seperti masalah sosial, ekonomi, budaya dan psikologis.(2)
Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 di Norwegia.(2) Sampai saat ini M. leprae belum
dapat dibiakkan dalam media buatan. M. leprae merupakan kuman berbentuk batang dengan
ukuran 3-8 m x 0,5 m, hidup dalam sel, bersifat tahan asam dan alkohol serta gram positif
leprae dapat menginfeksi sel saraf manusia. Plasmid ini dapat hidup terpisah dari kromosom
bakteri dan tubuh bakteri itu sendiri ketika menginvasi sel tubuh manusia. Bakteri ini biasanya
hidup berkelompok dan ada yang tersebar menyendiri. Terdapat dua lapisan yaitu lapisan dalam
tahun, rata-rata 3-5 tahun. Waktu pembelahannya sangat lama yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh
manusia, M. leprae dapat bertahan sampai sembilan hari bergantung dari suhu dan cuaca.
Pertumbuhan optimalnya yang sudah pernah dilakukan percobaan pada tikus yaitu pada suhu 27-
30C.(12)
yaitu penderita kusta tipe lepromatosa (multibasiler) yang belum mendapat pengobatan,
walaupun kuman kusta dapat hidup pada hewan armadillo, simpanse dan telapak kaki tikus yang
sudah diambil timus dan dilumpuhkan kekebalan selulernya. Penularan terjadi apabila M. leprae
yang utuh (solid) keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain melalui
beberapa cara yaitu dengan kontak kulit secara langsung yang erat, lama dan terus menerus
melalui kulit yang lecet atau luka dan melalui saluran pernapasan dimana permukaan mukosa
nasal penderita mengandung banyak sekali kuman yang mudah terbawa keluar lewat tetesan-
Penularan M. leprae sampai timbulnya penyakit kusta bukanlah proses yang mudah dan
tidak perlu ditakuti. Penularan sampai menjadi sakit tergantung dari beberapa faktor antara
lain(2,12) :
Penderita kusta yang dapat menularkan adalah penderita kusta dengan tipe MB atau
disebut juga tipe basah dengan cara penularan langsung melalui kulit dan saluran pernapasan.
Jika penderita tersebut sudah menjalani pengobatan maka ia tidak dapat menularkan kepada
orang lain.
Hanya kuman Kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
adanya imunitas seluler. Pada kusta tipe PB, kemampuan sistem imunitas seluler penderita
tinggi, sehingga ketika M. leprae masuk dan menginfeksi maka makrofag langsung
epiteloid yang tidak bergerak dan kadang bersatu menjadi sel daltia langhans dan merusak
Pada kusta tipe MB, terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler, sehingga makrofag
tidak mampu untuk memfagositosis kuman. Akibatnya kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas dan merusak jaringan sekitar dengan sel schwann sebagai target utama. Karena sel
schwann tidak memiliki kemampuan untuk memfagositosis maka sangan mudah terjadi
kerusakan dan mengakibatkan fungsinya untuk memelihara akson menjadi gagal dan
Jadi sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kuman kusta, hanya sebagian kecil
(5%) yang dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, hanya 30% yang akan menjadi sakit
mendatar (makula) atau meninggi (plak) yang bersifat kurang rasa (hypoanastesi) atau mati
rasa (anastesi).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf akibat peradangan kronis
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa terhadap rasa raba, suhu dan nyeri.
3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak, edema, pertumbuhan rambut yang
c. Adanya Basil Tahan Asam (BTA) positif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit dan cuping
telinga.
lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu dan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu
skin smear BTA positif atau negatif. Tujuan dari klasifikasi ini untuk membantu menentukan
jenis dan lamanya pengobatan penyakit dan menentukan waktu penderita dinyatakan RFT.(2)
Ada beberapa klasifikasi kusta yang cukup menyulitkan. Sebagian besar klasifikasi ini
didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Beberapa
klasifikasi yang dikenal yaitu klasifikasi Madrid (1953), Ridley dan Jopling (1962), serta
Dari semua klasifikasi yang ada, yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis
adalah klasifikasi dari WHO. Pada 1981, WHO membagi kusta menjadi Pausibasilar (PB) dan
Multibasilar (MB) untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Pada 1987, PB adalah kusta
dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit. Jika pada pemeriksaan terdapat
tipe-tipe PB namun tes BTA positif maka langsung dimasukkan ke tipe MB, tetapi karena
pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan maka pada 1995 WHO
menyederhanakan tipe kusta menurut hitung lesi Kusta dan jumlah saraf yang terkena.(12) Pada
1997, WHO Expert Comettee menganjurkan klasifikasi kusta menjadi PB lesi tunggal, PB lesi 2-
5 dan MB.(2)
Tabel 2.1.5. Klasifikasi Kusta(2)
Klasifikasi kusta menurut Depkes RI dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Kelainan Kulit dan
Hasil Pemeriksaan PB MB
Bakteriologis
1. Bercak (Makula)
a. Jumlah 1 (tunggal), 2 5 >5
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
2. Infiltrat :
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang tidak ada
b. Membrana mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang tidak ada
(hidung tersumbat,
pendarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri khusus Central Healing 1. Punched out lession*
(penyembuhan di tengah) 2. Madarosis
3. Ginekomastia
4. Hidung pelana
5. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut,
asimetris biasanya lebih dari satu dan
simetris
6. Deformitas (cacat) Asimetris, terjadi dini Terjadi pada stadium lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif
*) Lesi berbentuk seperti kue donat
Klasifikasi kusta menurut WHO dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tipe PB Tipe MB
Lesi kulit - 1-5 lesi - >5 lesi
(makula datar, - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi lebih
papul yang - Distribusi tidak simetris simetris
meninggi, nodus) - Hilangnya sensasi yang jelas - Hilangnya sensasi
Kerusakan saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang
(menyebabkan - Hilangnya sensasi yang jelas saraf
hilangnya - Hilang sensasi yang
sensasi/ kurang jelas
kelemahan otot
yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
Catatan: setiap penderita dengan hasil bakterioskopik positif tanpa melihat gambaran klinisnya
langsung diobati dengan rejimen MDT WHO untuk MB.
ada
Kusta Tersangka Bukan kusta
Jumlah bercak,
penebalan saraf dan BTA Observasi
gangguan fungsi, 3-6 bulan
BTA
kecacatan. Pada penderita yang sudah mengalami kecacatan, maka pengobatan dapat mencegah
kecacatan yang lebih lanjut. Selain itu pengobatan juga dapat dilakukan untuk memutuskan mata
rantai penularan.(2)
DDS mulai dipakai sejak 1948 dan Indonesia menggunakannya pada tahun
1952 sebagai monoterapi. Berupa tablet berwarna putih yang mempunyai sifat
Dosis dewasa 100mg/hari, dosis anak usia 10-14 tahun 50mg/hari. Anak usia
kapsul warna coklat yang juga bersifat bakteriostatik dan menekan reaksi sebagai
3. Rifampicin
digunakan juga sebagai obat antituberkulosis (anti TB).(9) Berbentuk kapsul atau
tablet yang bersifat bakteriosid kuat, yaitu mematikan kuman kusta secara cepat,
99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian. Rifampicin juga digunakan
sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. MDT adalah kombinasi dua atau
lebih obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampicin yang sifatnya
bakteriosid kuat dengan obat anti kusta lain yang bersifat bakteriostatik.(2)
1. Tipe PB
petugas): dua kapsul rifampicin 300mg dan satu tablet dapsone atau DDS 100mg.
Selanjutnya hari ke 2-28: satu tablet dapsone/DDS 100mg. Satu blister untuk satu
bulan, pengobatan enam blister diselesaikan dalam waktu 6-9 bulan. Setelah selesai
minum enam blister maka dinyatakan Release From Treatment (RFT) atau berhenti
2. Tipe MB
petugas): dua kapsul rifampicin 300mg, tiga tablet lamprene 100mg, satu tablet
dapsone/DDS 100mg.
Pengobatan hari ke 2-28: satu tablet Lamprene 50mg dan satu tablet Dapsone
100mg. Pengobatan 12 blister dan diselesaikan dalam waktu 12-18 bulan. Sesudah
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
i. DDS: 1-2mg/kg BB
ii. Rifampisin: 10-15mg/kg BB
Jika penderita sudah menyelesaikan pengobatannya dan dinyatakan RFT, maka akan
dilakukan pengamatan secara pasif dengan pemeriksaan klinis dan bakterioskopik minimal setiap
tahun dalam jangka waktu dua tahun untuk tipe PB dan lima tahun untuk tipe MB.(2,9)
dapat menginfeksi lagi. Perawatan diri juga berguna untuk penderita yang telah mengalami
kecacatan untuk mencegah cacat bertambah berat. Perawatan diri yang dapat dilakukan adalah:
a. Menghindari luka atau lecet sekecil apapun pada tangan dan kaki yang mati rasa
dengan menghindari benda tajam, panas, gesekan dari alat kerja atau alas kaki yang
digunakan. Caranya dengan menggunakan sepatu khusus untuk penderita kusta dan
jika memungkinkan menggunakan sarung tangan yang tebal setiap kali bekerja. Sebab
luka yang terbuka sangat memudahkan bakteri untuk masuk dan menyerang penderita
kembali.
b. Merendam tangan dan kaki selama 20 menit setiap hari dalam air dingin, menggosok
bagian kulit yang tebal kemudian langsung mengolesi dengan minyak kelapa atau
minyak lain untuk menjaga kelembaban kulit sebab kulit yang kering akan
cuaca. Kuman ini tidak mampu hidup di suhu panas. Oleh karena itu sangat penting untuk
dilakukan perawatan lingkungan tempat tinggal penderita dengan memperhatikan kondisi fisik
merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair respons) atau reaksi antigen-antibodi (humoral
respons) yang merugikan penderita karena jika mengenai saraf tepi dapat menimbulkan
kecacatan. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan. Penyebabnya
belum diketahui secara pasti, diduga akibat penderita berada dalam kondisi stress fisik, mental
dan penggunaan obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh. Ditinjau dari proses terjadinya,
reaksi kusta dibagi menjadi reaksi tipe satu dan tipe dua. Gejala dari reaksi ini sangat khas yaitu
akibat penyakit kusta dapat terjadi melalui dua proses, yaitu infiltrasi langsung M. leprae ke
susunan saraf tepi dan organ seperti mata, serta melalui reaksi kusta. Tingkat cacat di Indonesia
menurut WHO adalah cacat tingkat nol yang berarti tidak ada cacat, cacat tingkat satu dimana
terdapat kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba, kelemahan otot
dan cacat tingkat dua yaitu cacat yang terlihat seperti ulkus, lagopthalmus, uveitis.(2)
obat penyembuh kusta dan mereka datang ke puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting
sekali agar petugas kesehatan memberikan materi penyuluhan kusta kepada setiap orang. Materi
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira enam bulan secara
teratur.
e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik.
f. Biarkan sinar matahari langsung masuk ke dalam rumah agar kuman kusta tidak dapat
berkembang biak.
atau status kesehatan tertentu. Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia
mekanis.(15) Agen penyebab penyakit kusta termasuk dalam agen biologis, yaitu bakteri M.
leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf
pusat.(12)
a. Usia
prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit
sangat sulit diketahui. Dengan kata lain, kejadian penyakit sering terkait usia pada saat
ditemukan daripada saat timbulnya penyakit. Kusta dapat menyerang smeua usia, anak-anak
lebih rentan dibandingkan orang dewasa, namun frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok
b. Jenis Kelamin
besar negara di dunia kecuali di beberapa negara seperti Afrika menunjukkan bahwa laki-laki
lebih banyak terserang daripada perempuan. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan
kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti penyakit menular lainnya,
laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat gaya hidup.(2)
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi yang dapat dilihat
dari faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
Apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit
seseorang terpapar kuman penyakit ketika imunitasnya menurun maka ia mudah terinfeksi.
Misalnya pada penderita kurang gizi atau malnutrisi berat, infeksi penyakit lain, habis sakit
e. Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada
negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta
sangat cepat menurun bahkan hilang. Penderita kusta yang merupakan pendatang di negara
tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.(2)
f. Personal Hygiene (Kebersihan Perorangan)
Kebersihan perorangan adalah cara merawat diri manusia untuk memelihara kesehatan
mereka. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan dan dipelihara demi
perorangan meliputi:
i. Kebersihan kulit
luar bahwa seseorang itu sehat. Kebersihan kulit berkaitan erat dengan penyakit
handuk atau pakaian orang lain.(23,24) Cara-cara untuk menjaga kebersihan kulit
sebagai berikut:
2. Mandi minimal dua kali sehari menggunakan sabun mandi. Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Job et al yang diduga bahwa M. leprae dapat
masuk dari kelenjar keringat, maka menjaga kebersihan kulit sangatlah penting.
3. Menjaga kebersihan pakaian seperti mengganti baju minimal dua kali sehari,
meletakkan pakaian kotor dalam satu tempat dengan pakaian orang lain, tidak
mencuci bersamaan atau dijadikan satu dengan pakaian orang lain, menjemur
Rambut yang tidak dibersihkan akan menjadi kotor, berminyak dan berdebu,
sehingga akan mempengaruhi kulit kepala menjadi tidak sehat. Dalam memelihara
kebersihan rambut dan kulit kepala dapat dilakukan dengan mencuci rambut
minimal dua kali seminggu menggunakan shampoo atau bahan pencuci rambut
lainnya dan menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut pribadi seperti sisir yang
Cara untuk memelihara kebersihan dan kesehatan gigi adalah dengan menggosok
gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap habis makan dan sebelum tidur,
menggunakan sikat gigi pribadi dan menggantinya minimal dua kali sebulan,
menghindari makanan yang dapat merusak gigi seperti makanan dengan kadar
manis dan asam yang tinggi, serta memeriksa gigi secara teratur ke dokter atau
membersihkan telinga secara teratur minimal dua kali seminggu dan tidak
Kuku dan tangan yang kotor dapat menimbulkan bahaya kontaminasi dan
besar menggunakan sabun dan air bersih dengan cara yang baik dan benar,
memotong kuku minimal satu kali seminggu dan mencuci kaki sebelum tidur.(23,24)
Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi menurut sebagian ahli
melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat), kuman mencapai
permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat dan diduga melalui air susu ibu.(18)
g. Pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut menentukan
pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan
sosial.(16,17) Dengan pendidikan yang cukup dan pengetahuan yang baik tentang kesehatan,
termasuk penyakit menular seperti halnya kusta, masyarakat diharapkan dapat secara aktif
turut serta mencegah terjadinya penyakit menular, sehingga tingkat kejadian penyakit menular
h. Pekerjaan
Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang
bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya cacat pada
kusta.(10) Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire (1996), membagi responden dalam
dua kategori, yaitu mereka yang bekerja secara manual worker dan non manual worker.
Diperoleh hasil, 64% pada manual worker mengalami 41 kecacatan sekunder. Hal ini
disebabkan karena Nepal adalah negara pertanian, banyak yang bekerja sebagai petani. Selain
itu karena penderita kusta lebih suka menyendiri sehingga kegiatan sehari-hari juga dilakukan
sendiri.
2.2.3. Faktor Lingkungan (Environment)
a. Suhu
perbanyakan dan daya tahan dari bakteri dan virus. Kuman kusta (M. leprae) dapat
hidup di daerah tropis atau bahkan pada suhu diatas 30C dengan suhu optimum
b. Kelembaban
leprae hidup diluar hospes dengan temperatur dan kelembaban yang bervariasi. M.
leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari pada kelembaban 70,9% atau lebih panjang pada
kelembaban 7090%.(2,10) Cuaca yang panas atau berawan dan hujan menyebabkan
udara kaya dengan uap air sehingga kelembaban semakin tinggi di udara. Kelembaban
c. Ventilasi
Keberadaan ventilasi dalam keadaan terbuka pada siang hari merupakan salah
satu syarat yang menentukan kualitas udara agar tidak pengap dan lembab yang
merupakan unsur pencemaran sebagai penyebab gejala berbagai penyakit antara lain
penyakit kulit. Mikroorganisme dapat berada di udara melalui berbagai cara terutama
dari debu yang berterbangan. Ruangan yang kotor akan berisi udara yang banyak
baik, perlu dibuat ventilasi silang. Selain fungsi ventilasi berpengaruh terhadap
kualitas udara agar tidak pengap dan lembab juga pengaturan sinar ultraviolet yang
d. Pencahayaan
Pencahayaan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Semua cahaya
pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya
tersebut.(26) Pada siang hari pencahayaan yang ideal adalah sinar matahari. Paparan
sinar matahari selama lima menit dapat membunuh M. leprae. Bakteri ini tahan hidup
pada tempat gelap, sehingga perkembangan bakteri lebih banyak dirumah yang gelap.
Sedangkan pada malam hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik.(21)
e. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah
anggota keluarga penghuni tersebut. Menurut Depkes RI, kepadatan hunian dikatakan
memenuhi standar apabila ada dua orang per 8m2 dan kepadatan tinggi lebih dari dua
orang per 8m2, dengan ketentuan bahwa anak dibawah usia satu tahun tidak dihitung
Jenis lantai dengan plester yang retak atau berdebu berpotensi terhadap
keberadaan bakteri. M. leprae mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat
ditemukan pada tanah atau debu.(10) M. leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46
LAPORAN KASUS
Anggota keluarga pasien berjumlah 5 orang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 3 orang anak
1. Nama : Tn. EA
Usia : 58 tahun
Pendidikan Terakhir : SD
Pasien mengalami penurunan penglihatan sejak kurang 5 tahun yang lalu dan sudah
pernah melakukan pemeriksaan dengan diagnose katarak. Pasien sudah menjalani operasi
katarak pada kedua matanya. Kemudian beberapa tahun akhir ini pasien mengalami
kesusahan dalam melihat sehingga menganggu aktivitas pasien. Tetapi pasien tidak
Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 86 kali/menit, Frekuensi napas 21 kali/menit, Suhu
36,80C.
Usia : 56 tahun
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Kristen Protestan
Usia : 26 tahun
Pekerjaan : IRT
Tidak ada keluhan. Pemeriksaan Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 84 kali/menit,
Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Tidak ada keluhan. Pemeriksaan Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 86 kali/menit,
5. Nama : An. YA
Usia : 16 thn
Pendidikan Terakhir : SD
Pasien menderita penyakit yang sama dengan ibunya yaitu kusta. Pasien sudah menderita
sejak tahun 2013. Pasien sudah mengikuti pengobatan dan sudah di evaluasi kembali dan
hasilnya negative. Pasien tidak melanjutkan sekolahnya karena ia merasa malu dengan
keadaan fisiknya yang tidak baik. Sehingga pasien hanya menghabiskan waktunya
1958 1958
Keterangan: : : Laki-laki
: Pasien
A. Identitas
Usia : 58 tahun
Suku : Rote
B. Anamnesa
Anamnesa dilakukan secara autoamnesis pada pasien pada tanggal 29 Agustus 2016 dan 16
September 2016
Keluhan Utama :
Bercak merah yang timbul pada wajah kemudian menyebar ke tangan dan kaki yang timbul
Bercak kemerahan muncul pertama kali pada bagian wajah yang kemudian menyebar ke
tangan dan kaki pasien. Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa gatal ataupun nyeri pada bercak-
bercak kemerahan tersebut. Sebagian dari bercak-bercak kemerahan tersebut lama-kelamaan
bagian tepinya mulai memutih tanpa diberikan pengobatan apapun. Kemudian pasien merasakan
adanya bengkak pada kedua telinganya, lalu pasien melakukan pemeriksaan di puskesmas oepoi
lalu pasien di rujuk ke poli Kulit dan Kelamin RSUD Prof. W.Z.Johannes untuk dilakukan
pemeriksaan. Menurut pasien setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil pisitif dan pasien
mulai diberikan pengobatan. Keluhan akhir-akhir ini pasien merasakan alis matanya rontok.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien menyangkal adanya
Menurut pasien ia tidak pernah kontak langsung dengan orang yang memiliki gejala yang
Riwayat Pekerjaan :
Pasien saat ini bekerja sebagai pedagang sayur keliling dari rumah ke rumah.
Riwayat Keluarga :
C. PemeriksaanFisik
Suhu : 36,90C
Kulit tampak kering, Sianosis (-), Ikterik (-), Pucat (-), xerosis
Pulmo
Inspeksi Gerak dada simetris, scar (-), deformitas (-), Massa (-)
Cor
sinistra
Abdomen
Palpasi Supel, nyeri tekan (-), Hepar tidak teraba di bawah arcus costa,
Inspeksi
Palpasi
Ekstremitas
teraba hangat
Superior Inferior
D. Keadaan Lingkungan
Lingkungan Fisik
1. Rumah yang ditempati merupakan milik pasien. Status
kepemilikan tanah merupakan tanah pribadi yang didapat oleh
pasien. Luas bidang tanah sebesar 25 m2 dengan luas bangunan
sebesar 15m2. Rumah pasien berada dibelakang rumah Suverdi
RT22/RW06 Kel TDM 4. Akses jalan kerumah pasien dapat
dilalui menggunakan kendaran roda dua maupun roda empat.
Gambar3.6 Rumah tampak depan
3.5. Diagnosa
a. Klinis : Penyakit Kusta
b. Diagnosa Komunitas
Diagnosis komunitas, sering juga disebut public health assessment, adalah suatu kegiatan
untuk menentukan masalah yang terdapat dalam komunitas melalui suatu studi. Diagnosis komunitas
adalah suatu komponen penting dalam perencanaan program kesehatan. Kegiatan ini menilai dan
menghubungkan masalah, kebutuhan, keinginan, dan fasilitas yang ada dalam komunitas. Dari
hubungan keempat hal tersebut, dipikirkan suatu solusi atau intervensi untuk pemecahan masalah
yang ada dalam komunitas tersebut.
Kata diagnosis digunakan karena pada dasarnya proses diagnosis komunitas didasarkan
pada prinsip-prinsip diagnosis klinis; perbedaannya adalah bahwa diagnosis komunitas diaplikasikan
pada komunitas dalam peran dokter yang lebih luas, sedangkan diagnosis klinis diaplikasikan pada
tingkat yang lebih personal.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melaksanakan diagnosis komunitas adalah
sebagai berikut:
1. Komunitas :
Keluarga YAM bertempat tinggal di kompleks perumahan tuak daun merah (TDM) , kupang,
Nusa Tenggara Timur
2. Masalah komunitas
a. Pengetahuan keluarga yang kurang mengenai penyakit kusta, penyebaran dan
pencegahannya
b. Pasien menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya menderita kebutaan.
c. Kondisi ekonomi yang rendah membuat keluarga tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan gizi
d. Dalam keluarga ini ada 3 orang yang menderita penyakit kusta yaitu pasien dan kedua
anaknya.
e. Kondisi rumah pasien yang dapat dikategorikan termasuk rumah yang tidak layak dihuni.
3. Prioritas masalah
Tabel 3.6. Matriks USG
Tingkat perkembangan /
4 3 3 4 4
Growth (G)
4. Intervensi
Edukasi yang diberikan mencakup:
a. Edukasi kepada keluarga mengenai penyebab penyakit kusta yaitu kuman lepra yang dapat
berkembang biak di lingkungan rumah yang tidak baik.
b. Edukasi kepada keluarga mengenai cara penularan penyakit lepra yaitu melalui kontak
langsung dengan penderita kusta dalam jangka waktu yang lama.
c. Edukasi kepada keluarga mengenai pencegahan penyakit lepra.
d. Penjelasan pentingnya melakukan control selama pengobatan secara rutin di puskesmas
oepoi
e. Edukasi tentang pentingnya status gizi yang baik agar mengurangi penularan penyakit.
5. Evaluasi
Saat ini pasien dalam masa pengobatan di puskesmas oepoi. Pasien rutin melakukan
pemeriksaan dan pengambilan obat di puskesmas oepoi. Untuk saat ini pasien menjelaskan
bahwa gejala yang ada sudah mulai berkurang dan semakin membaik. Pasien masih dapat
melakukan pekerjaannya yaitu sebagai pedagang sayur keliling dari rumah ke rumah. Dan kedua
anaknya juga sudah selesai melakukan pengobatan.
BAB 4
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Kusta yang juga dikenal dengan lepra atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi
yang disebabkan oleh Micobacterium leprae. Kusta dapat mengenai segala usia, pria maupun
wanita, bahkan dapat mengenai bayi.(1) Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun Sebelum
Masehi (SM) dan masih kita temukan sampai saat ini. Penyakit ini dapat menimbulkan masalah
yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis karena dapat menimbulkan kecacatan, namun
Data WHO yang dilaporkan oleh 102 negara di dunia pada September 2015, angka
penemuan kasus baru sebanyak 213.899 kasus. Wilayah Asia Tenggara menjadi wilayah dengan
angka penemuan kasus baru kusta tertinggi sebesar 154.834 kasus. Penemuan kasus baru di
Indonesia merupakan urutan ketiga dunia sebesar 17.025 kasus di bawah India sebesar 125.785
kasus dan Brazil sebesar 31.064 kasus.(3) Secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan
penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya sebanyak 4.807 kasus pada
2012, dengan rata-rata penemuan penderita per tahun antara 4.000-5.000 orang.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah menjadi daerah endemik rendah kasus kusta,
sebab angka penemuan kasus baru kurang dari 10 per 100.000 penduduk.(6) Belum semua kasus
di Provinsi NTT dilaporkan secara baik. Jumlah penderita yang tercatat sampai tanggal 31
Desember 2013 sebanyak 444 orang yang tersebar di 14 dari 22 Kabupeten/Kota.(7) Kabupaten
Kupang menempati urutan kedua dengan kasus kusta terbanyak setelah Flores Timur. Di
Kabupaten Kupang pada 2013 terdapat 79 penderita kusta yang tersebar di 12 puskesmas atau
Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang ada dengan tipe Multibasiler (MB) sebanyak 75 orang
tipe MB juga merupakan tipe kusta yang dapat menular, namun sampai saat ini belum diketahui
secara pasti bagaimana cara penularannya. Beberapa teori menyebutkan bahwa penularan dapat
melalui saluran pernapasan dan kontak kulit secara langsung, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
faktor risiko mempunyai peran penting dalam terjadinya suatu penyakit termasuk penyakit kusta,
pengambilan obat MDT. Pasien sedang dalam pengobatan penyakit kusta. Pada anamnesis
didapatkan bahwa pasien telah menderita penyakit kusta selama 5 tahun dan sudah menjalani
pengobatan. Gejala awal pasien adalah timbulnya bintik-bintik merah pada wajahnya yang
kemudian menyebar ke tangan dan kaki. Bintik merah ini tidak terasa gatal dan tidak terasa
nyeri. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya benjolan pada kedua telinganya, serta gejala
ini disertai dengan demam. Akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di
puskesmas Oepoi setelah itu pasien di rujuk ke Poli Kulit RSUD Prof. Dr. W.Z.Johannes Kupang
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Menurut pasien pemeriksaan yang dilakukan adalah
pengambilan sampel pada telinganya dan dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil positif
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari satu dari tanda-tanda utama atau
mendatar (makula) atau meninggi (plak) yang bersifat kurang rasa (hypoanastesi) atau mati
rasa (anastesi).
e. Penebalan saraf tepi yang disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf akibat peradangan kronis
4. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa terhadap rasa raba, suhu dan nyeri.
6. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak, edema, pertumbuhan rambut yang
f. Adanya Basil Tahan Asam (BTA) positif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit dan cuping
telinga.
Pada pasien ini sudah didapatkan beberapa tanda dan gejala yang ada serta telah
didukung dengan pemeriksaan kerokan jaringan kulit dan cuping telinga yang hasilnya positif.
mencegah kecacatan yang lebih lanjut. Selain itu pengobatan juga dapat dilakukan
untuk memutuskan mata rantai penularan.(2) Sejak tahun 1981 Indonesia mulai
oleh WHO. MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya
harus terdiri atas Rifampicin yang sifatnya bakteriosid kuat dengan obat anti kusta lain
4. Tipe PB
petugas): dua kapsul rifampicin 300mg dan satu tablet dapsone atau DDS 100mg.
Selanjutnya hari ke 2-28: satu tablet dapsone/DDS 100mg. Satu blister untuk satu
bulan, pengobatan enam blister diselesaikan dalam waktu 6-9 bulan. Setelah selesai
minum enam blister maka dinyatakan Release From Treatment (RFT) atau berhenti
5. Tipe MB
petugas): dua kapsul rifampicin 300mg, tiga tablet lamprene 100mg, satu tablet
dapsone/DDS 100mg.
Pengobatan hari ke 2-28: satu tablet Lamprene 50mg dan satu tablet Dapsone
100mg. Pengobatan 12 blister dan diselesaikan dalam waktu 12-18 bulan. Sesudah
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
v. Rifampisin: 10-15mg/kg BB
Jika penderita sudah menyelesaikan pengobatannya dan dinyatakan RFT, maka akan
dilakukan pengamatan secara pasif dengan pemeriksaan klinis dan bakterioskopik minimal setiap
tahun dalam jangka waktu dua tahun untuk tipe PB dan lima tahun untuk tipe MB.(2,9)
Pasien ini sudah melakukan pengobatan selama 5 tahun , dengan adanya pengobatan ini
pasien mengatakan bahwa beberapa gejala yang dirasakan pada saat awal sudah mengalami
beberapa perubahan.
Selain itu pengobatan juga dapat dilakukan untuk memutuskan mata rantai penularan.(2)
1. Perawatan Diri
Sangat penting bagi penderita kusta untuk melakukan perawatan diri agar bakteri tidak
dapat menginfeksi lagi. Perawatan diri juga berguna untuk penderita yang telah mengalami
kecacatan untuk mencegah cacat bertambah berat. Perawatan diri yang dapat dilakukan adalah:
c. Menghindari luka atau lecet sekecil apapun pada tangan dan kaki yang mati rasa
dengan menghindari benda tajam, panas, gesekan dari alat kerja atau alas kaki yang
digunakan. Caranya dengan menggunakan sepatu khusus untuk penderita kusta dan
jika memungkinkan menggunakan sarung tangan yang tebal setiap kali bekerja. Sebab
luka yang terbuka sangat memudahkan bakteri untuk masuk dan menyerang penderita
kembali.
d. Merendam tangan dan kaki selama 20 menit setiap hari dalam air dingin, menggosok
bagian kulit yang tebal kemudian langsung mengolesi dengan minyak kelapa atau
minyak lain untuk menjaga kelembaban kulit sebab kulit yang kering akan
2. Perawatan Lingkungan
M. leprae mampu hidup diluar tubuh penderita selama 1-9 hari bergantung dari suhu dan
cuaca. Kuman ini tidak mampu hidup di suhu panas. Oleh karena itu sangat penting untuk
dilakukan perawatan lingkungan tempat tinggal penderita dengan memperhatikan kondisi fisik
5.1. Kesimpulan
Setelah mempelajari dan melakukan kunjungan rumah pada pasien dalam kasus ini, maka
dapat disimpulkan :
1. Ny. YAM usia 58 tahun mengalami Lepra karena faktor keluarga dan karena faktor ekonomi,
beliau kemungkinan tertular dari anaknya yang juga pengidap lepra dan karena faktor
ekonomi yang kurang serta personal hygiene yang kurang dapat memudahkan penularan
penyakit ini
2. Suami pasien dalam keadaan sakit, diakui sudah sejak lima tahun terakhir , saumi pasien
mengeluhkan penurunan dalam penglihatannya dan tidak dapat bekerja sehingga hal ini
membuat pasien dijadikan sebagai tumpuan tulang punggung pekerjaan
3. Pemecahan masalah komunitas yang dapat dipilih adalah diberikan edukasi mengenai
penyakit lepra serta pengobatan dan pencegahannya , membantu untuk mengupayakan
jaminan kesehatan bagi pasien, serta mengusahakan pengobatan untuk pasien.
4. Anggota keluarga pasien telah aktif berperan dalam penyembuhan penyakit pasien dengan
membantu mengontrol dan membawa pasien ke fasilitas kesehatan secara teratur.
5.2. Saran
1. Bagi pasien
Kontrol dan konsumsi obat terus dengan berkunjung ke pusat pelayanan kesehatan
pertama untuk melihat perkembangan penyakit dan pengobatan pasien.
2. Bagi keluarga pasien
Keluarga Ny. YAM agar lebih memperhatikan kesehatan pasien serta mengupayakan
pengobatan bagi pasien .
3. Bagi tenaga kesehatan
Pelaksanaan promosi kesehatan tentang lepra harus lebih giat dilakukan.
4. Bagi masyarakat
Masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan Puskesmas dengan baik dan
pengobatan yang dilakukan pada anggota keluarga dapat didukung oleh seluruh anggota
keluarga dan mencegah hal yang sama menimpa anggota keluarga yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. T. Mary, N. June, Almond Team. Bagaimana Mendiagnosis dan Mengobati Lepra. London:
The International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP); 2002.
2. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2012.
5. Dzikrina AM, Purnami SW. Pemodelan Angka Prevalensi Kusta dan Faktor- Faktor yang
Mempengaruhi di Jawa Timur dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression
(GWR). Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 2, No.2; 2013
6. Pemerintah Daerah Provinsi NTT. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun
2012.
7. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta di
Nusa Tenggara Timur tahun 2013.
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang. Register Kohort Penderita Kusta Tipe PB dan MB.
Subdit Kusta dan Frambusia Kupang tahun 2013.
9. Enis Gancar Raharjati. Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Kusta (Morbus
Hansen) pada Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang. Skripsi
2009. Diakses tanggal 1 Februari 2014 jam 13:25:14. Sumber:
http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=3706
10. Dwina Rismawati. Hubungan Antara Sanitasi Rumah dan Personal Hygiene dengan
Kejadian Kusta Multibasiler di Semarang. Skripsi 2012. Diakses tanggal 5 Mei 2014 jam
20:12:10. Sumber: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph.
11. Analisis Faktor Risiko Kejadian Kusta (Studi Kasus di Rumah Sakit Kusta Donorojo
Jepara). Skripsi 2008. Diakses tanggal 1 Juni 2014 jam 19:39:12. Sumber:
http://lib.unnes.ac.id/2587/
12. A. Kosasih, W. I Made, D. S. Emmy, M. L. Sri. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
edisi 6, pp. 73-88. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013.
13. Zulkifli. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara: USU digital library; 2003. Di akses tanggal 30 April 2014 jam
05:38:21. Sumber: http://ebookread.org/ebook/q/pdf/penyakit-menular.library.usu.ac.id.
14. Budi Susanto. Hubungan Faktor Kepadatan hunian, Perilaku kesehatan dan Sosial Ekonomi
Dengan Penderita Penyakit Kusta di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. Skripsi 2011.
Diakses tanggal 30 April 2014 jam 13:34:20. Sumber:
http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimus-gdl-budisantos-
6052&PHPSESSID=1e67af6fa4bdd962b254ed311c991538&newlang=english
15. Chandra Budiman. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2008.
16. Winarsih et.al. Analisis Spasial Faktor Risiko Kejadian Penyakit Kusta Di Kabupaten
Jepara. Skripsi 2011.
18. Mansjoer Arief. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid 1. Jakarta: Media Aescaliptus
FKUI; 2008.
19. Indan Entjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Citra Aditya Bakti 2000.
20. Mukono H. J. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University
Press; 2011.
21. Yunita Uli Lubis. Analisis Kualitas Air Sungai dan Perilaku Pengguna serta Kaitannya dengan
Keluhan Kesehatan Kulit pada Masyarakat di Sekitar Sungai Babura Kecamatan Medan Baru
tahun 2012. Skripsi 2012. Diakses tanggal 30 April 2014 jam 05:35:15. Sumber:
http://repository.usu.ac.id/.
22. Amiruddin Dali. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya: Penerbit Brilian
Internasional; 2012
23. Yohana Margyati Nela Kean. Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies pada
Penghuni Panti Asuhan Katholik Yayasan Sonaf Maneka Kelurahan Lasiana Kota Kupang.
Skripsi 2012.
24. Potter, Perry. Fundamental Keperawatan (Konsep, Proses dan Praktek), edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.
25. Soekidjo Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
26. Suardi. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Kusta di Kabupaten
Biak Numfor. Skripsi 2012. Diakses tanggal 4 Mei 2014 jam 22:06:34. Sumber:
http://eprints.undip.ac.id/42543/
27. Junias MS. Buku Ajar Kesehatan Lingkungan Permukiman. Kupang: Undana Press; 2013.
28. Website Resmi Kabupaten Kupang. Profil Kabupaten Kupang. Diakses tanggal 13 Agustus
2015 jam 12:48:07. Sumber: http://kab-kupang.go.id/kupang2010/2010/?page_id=12.
29. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan
Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Kupang tahun 2013.
30. Kemenkes RI. Pusat Data dan Informasi Jumlah dan Kondisi Puskesmas Menurut
Kabupaten/Kota di Indonesia sampai Juni 2014.
31. Argiyanti D. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Penyakit Kusta di Wilayah Kerja
Puskesmas Kabunan Kabupaten Pemalang. Skripsi 2014. Diakses tanggal 13 Agustus 2015 jam
13:13:57. Sumber: http://eprints.ums.ac.id/27725/35/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf
32. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 4th ed. Jakarta: Sagung
Seto; 2011.
33. Patmawati. Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penderita Kusta di Kabupaten Polewali
Mandar. Skripsi 2014. Diakses tanggal 20 November 2015 jam 09:59:23. Sumber: Buletin
Penelitian Kesehatan. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/4348