Anda di halaman 1dari 49

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kusta yang juga dikenal dengan lepra atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi

yang disebabkan oleh Micobacterium leprae. Kusta dapat mengenai segala usia, pria maupun

wanita, bahkan dapat mengenai bayi.(1) Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun Sebelum

Masehi (SM) dan masih kita temukan sampai saat ini. Penyakit ini dapat menimbulkan masalah

yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis karena dapat menimbulkan kecacatan, namun

sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.(2)

Pada 1991, World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi

kusta 2012, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Indonesia

sudah mencapai eliminasi kusta tersebut pada 2012, namun berdasarkan laporan jumlah

penderita yang tercatat tidak menunjukkan adanya penurunan yang bermakna. Kondisi ini juga

terjadi pada negara-negara lain di dunia, sehingga pada 2006 The International Federation of

Anti-Leprosy Associations (ILEP) dan World Health Organization (WHO) mengeluarkan strategi

global untuk menurunkan beban penyakit dan kesinambungan pemberantasan penyakit kusta

(2006-2010). Perkembangan 10 tahun terakhir ini tetap memperlihatkan jumlah yang bertambah

dalam penemuan kasus baru. Oleh karena itu sebagai upaya global, WHO yang didukung ILEP

mengeluarkan Enhanced Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden due to

Leprosy (2011-2015). Berpedoman pada panduan WHO ini serta mensinkronkan dengan

Rencana Strategi Kementrian Kesehatan untuk tahun 2010-2014, maka disusunlah kebijakan

nasional pengendalian kusta di Indonesia.(2)


Kebijakan nasional pengendalian kusta di Indonesia dilaksanakan di daerah endemik

rendah (PR <1/10.000 penduduk) dan daerah endemik tinggi (PR >1/10.000 penduduk). Program

pengendalian tersebut mengatur tentang kebijakan, strategi, kegiatan pokok sampai pada sistem

rujukan pelayanan kesehatan. Pada kenyataannya belum semua kegiatan pokok dilaksanakan,

salah satunya yaitu penemuan kasus baru secara aktif. Hal ini terjadi karena minimnya

pengetahuan tentang kusta sehingga selain ditakuti oleh masyarakat, kusta juga masih ditakuti

oleh beberapa petugas kesehatan. Padahal jika penemuan kasus secara aktif ini dilakukan dengan

baik maka jumlah penderita kusta dapat tercatat dengan baik dan bisa segera diobati sehingga

jumlah kasus kusta di Indonesia dapat berkurang.(2)

Data WHO yang dilaporkan oleh 102 negara di dunia pada September 2015, angka

penemuan kasus baru sebanyak 213.899 kasus. Wilayah Asia Tenggara menjadi wilayah dengan

angka penemuan kasus baru kusta tertinggi sebesar 154.834 kasus. Penemuan kasus baru di

Indonesia merupakan urutan ketiga dunia sebesar 17.025 kasus di bawah India sebesar 125.785

kasus dan Brazil sebesar 31.064 kasus.(3) Secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan

penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya sebanyak 4.807 kasus pada

2012, dengan rata-rata penemuan penderita per tahun antara 4.000-5.000 orang. Hasil penelitian

dari Dzikrina (2013), hal ini dikarenakan keterlambatan penemuan kasus baru, kepadatan

penduduk yang meningkat sehingga tingginya transmisi penularan di antara kontak serumah,

tetangga dan sosial, serta rendahnya persentase rumah sehat.(4,5)

Dari segi persebaran, ada 14 provinsi dengan tingkat penemuan kasus baru lebih dari 10

per 100.000 penduduk pada 2009, diantaranya Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara

Timur, Maluku dan Papua. Sejak 2010-2012, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah

menjadi daerah endemik rendah kasus kusta, sebab angka penemuan kasus baru kurang dari 10
per 100.000 penduduk.(6) Belum semua kasus di Provinsi NTT dilaporkan secara baik. Jumlah

penderita yang tercatat sampai tanggal 31 Desember 2013 sebanyak 444 orang yang tersebar di

14 dari 22 Kabupeten/Kota.(7) Kabupaten Kupang menempati urutan kedua dengan kasus kusta

terbanyak setelah Flores Timur. Di Kabupaten Kupang pada 2013 terdapat 79 penderita kusta

yang tersebar di 12 puskesmas atau Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang ada dengan tipe

Multibasiler (MB) sebanyak 75 orang dan tipe Pausibasiler (PB) sebanyak empat orang.(8)

Tipe MB merupakan tipe kusta yang paling sering ditemui di berbagai tempat. Selain itu

tipe MB juga merupakan tipe kusta yang dapat menular, namun sampai saat ini belum diketahui

secara pasti bagaimana cara penularannya. Beberapa teori menyebutkan bahwa penularan dapat

melalui saluran pernapasan dan kontak kulit secara langsung, namun tidak bisa dipungkiri bahwa

faktor risiko mempunyai peran penting dalam terjadinya suatu penyakit termasuk penyakit kusta,

diantaranya adalah faktor lingkungan dan kebersihan perorangan.(2)

Penyakit Kusta ini dapat menular dari seseorang yang menderita kusta ke orang yang sehat

dengan kontak langsung dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu penulis melakukan

kajian masalah pasien kusta beserta keluarga dan lingkungannya.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana profil keluarga pasien kusta ?

b. Bagaimana status kesehatan setiap anggota keluarga pasien kusta ?

c. Bagaimana keadaan lingkungan keluarga pasien dengan kusta ?

d. Bagaimana peran keluarga dalam kesembuhan pasien kusta ?


1.3 Tujuan

a. Mengenal profil keluarga pasien kusta.

b. Mengidentifikasi status kesehatan setiap anggota keluarga pasien kusta.

c. Mengidentifikasi keadaan lingkungan keluarga pasien dengan kusta.

d. Melibatkan peran keluarga dalam upaya kesembuhan pasien kusta.

1.4 Manfaat

a. Keluarga dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit kusta atau

lepra, mengenali gejala-gejala yang timbul akibat dari penyakit kusta.

b. Keluarga dapat mengetahui dan dapat mencegah terjadinya penyakit kusta.

c. Dokter muda dapat menambah wawasan tentang penyakit kusta dan pendekatan yang dapat

dilakukan pada keluarga dalam upaya menanganinya.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kusta
2.1.1. Definisi Kusta
Kata kusta berasal dari bahasa India Kustha yang sudah dikenal sejak 1400 SM.(2)

Kusta atau lepra atau morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya

adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain

kecuali susunan saraf pusat.(9) Selain menyebabkan kecacatan secara fisik, kusta juga dapat

menimbulkan masalah lain seperti masalah sosial, ekonomi, budaya dan psikologis.(2)

2.1.2. Etiologi Kusta


Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae (M. leprae) yang ditemukan oleh

Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 di Norwegia.(2) Sampai saat ini M. leprae belum

dapat dibiakkan dalam media buatan. M. leprae merupakan kuman berbentuk batang dengan

ukuran 3-8 m x 0,5 m, hidup dalam sel, bersifat tahan asam dan alkohol serta gram positif

dengan sitoplasma yang mengandung DNA dan RNA. DNA Plasmid M.

leprae dapat menginfeksi sel saraf manusia. Plasmid ini dapat hidup terpisah dari kromosom

bakteri dan tubuh bakteri itu sendiri ketika menginvasi sel tubuh manusia. Bakteri ini biasanya

hidup berkelompok dan ada yang tersebar menyendiri. Terdapat dua lapisan yaitu lapisan dalam

(padat) mengandung peptidoglikan dan lapisan luar (transparan) mengandung lipopolisakarida

dan kompleks protein lipopolisakarida.(12)

2.1.3. Masa Inkubasi


Masa inkubasi M. leprae sangat bervariasi antara 40 hari-40 tahun, umumnya beberapa

tahun, rata-rata 3-5 tahun. Waktu pembelahannya sangat lama yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh
manusia, M. leprae dapat bertahan sampai sembilan hari bergantung dari suhu dan cuaca.

Pertumbuhan optimalnya yang sudah pernah dilakukan percobaan pada tikus yaitu pada suhu 27-

30C.(12)

2.1.4. Sumber dan Cara Penularan


Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan

yaitu penderita kusta tipe lepromatosa (multibasiler) yang belum mendapat pengobatan,

walaupun kuman kusta dapat hidup pada hewan armadillo, simpanse dan telapak kaki tikus yang

sudah diambil timus dan dilumpuhkan kekebalan selulernya. Penularan terjadi apabila M. leprae

yang utuh (solid) keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain melalui

beberapa cara yaitu dengan kontak kulit secara langsung yang erat, lama dan terus menerus

melalui kulit yang lecet atau luka dan melalui saluran pernapasan dimana permukaan mukosa

nasal penderita mengandung banyak sekali kuman yang mudah terbawa keluar lewat tetesan-

tetesan kecil udara pernapasan (droplet infection).(2,12,22)

Penularan M. leprae sampai timbulnya penyakit kusta bukanlah proses yang mudah dan

tidak perlu ditakuti. Penularan sampai menjadi sakit tergantung dari beberapa faktor antara

lain(2,12) :

a. Faktor Sumber Penularan

Penderita kusta yang dapat menularkan adalah penderita kusta dengan tipe MB atau

disebut juga tipe basah dengan cara penularan langsung melalui kulit dan saluran pernapasan.

Jika penderita tersebut sudah menjalani pengobatan maka ia tidak dapat menularkan kepada

orang lain.

b. Faktor Kuman Kusta

Hanya kuman Kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.

c. Faktor Daya Tahan Tubuh


Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita karena

adanya imunitas seluler. Pada kusta tipe PB, kemampuan sistem imunitas seluler penderita

tinggi, sehingga ketika M. leprae masuk dan menginfeksi maka makrofag langsung

memfagositosisnya. Namun setelah memfagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel

epiteloid yang tidak bergerak dan kadang bersatu menjadi sel daltia langhans dan merusak

jaringan serta saraf yang ada disekitarnya.

Pada kusta tipe MB, terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler, sehingga makrofag

tidak mampu untuk memfagositosis kuman. Akibatnya kuman dapat bermultiplikasi dengan

bebas dan merusak jaringan sekitar dengan sel schwann sebagai target utama. Karena sel

schwann tidak memiliki kemampuan untuk memfagositosis maka sangan mudah terjadi

kerusakan dan mengakibatkan fungsinya untuk memelihara akson menjadi gagal dan

akibatnya terjadi kerusakan saraf.

Jadi sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kuman kusta, hanya sebagian kecil

(5%) yang dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, hanya 30% yang akan menjadi sakit

dan 70% akan sembuh sendiri.

2.1.5. Diagnosis dan Klasifikasi Kusta


2.1.5.1. Diagnosis Kusta
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari satu dari tanda-tanda utama atau

cardinal sign, yaitu(2,12) :

a. Lesi mati rasa

Lesi dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous),

mendatar (makula) atau meninggi (plak) yang bersifat kurang rasa (hypoanastesi) atau mati

rasa (anastesi).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf akibat peradangan kronis

saraf tepi. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:

1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa terhadap rasa raba, suhu dan nyeri.

2. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)

3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak, edema, pertumbuhan rambut yang

terganggu dan tidak berkeringat.

c. Adanya Basil Tahan Asam (BTA) positif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit dan cuping

telinga.

2.1.5.2. Klasifikasi Kusta


Kusta diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu manifestasi klinis seperti jumlah

lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu dan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu

skin smear BTA positif atau negatif. Tujuan dari klasifikasi ini untuk membantu menentukan

jenis dan lamanya pengobatan penyakit dan menentukan waktu penderita dinyatakan RFT.(2)

Ada beberapa klasifikasi kusta yang cukup menyulitkan. Sebagian besar klasifikasi ini

didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Beberapa

klasifikasi yang dikenal yaitu klasifikasi Madrid (1953), Ridley dan Jopling (1962), serta

klasifikasi menurut WHO.(2)

Dari semua klasifikasi yang ada, yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis

adalah klasifikasi dari WHO. Pada 1981, WHO membagi kusta menjadi Pausibasilar (PB) dan

Multibasilar (MB) untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Pada 1987, PB adalah kusta

dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit. Jika pada pemeriksaan terdapat

tipe-tipe PB namun tes BTA positif maka langsung dimasukkan ke tipe MB, tetapi karena

pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan maka pada 1995 WHO

menyederhanakan tipe kusta menurut hitung lesi Kusta dan jumlah saraf yang terkena.(12) Pada
1997, WHO Expert Comettee menganjurkan klasifikasi kusta menjadi PB lesi tunggal, PB lesi 2-

5 dan MB.(2)
Tabel 2.1.5. Klasifikasi Kusta(2)
Klasifikasi kusta menurut Depkes RI dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Kelainan Kulit dan
Hasil Pemeriksaan PB MB
Bakteriologis
1. Bercak (Makula)
a. Jumlah 1 (tunggal), 2 5 >5
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil

c. Distribusi Unilateral/bilateral, Bilateral, simetris


asimetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Anastesi pada bercak Selalu ada dan jelas Biasanya tidak ada. Jika
ada, biasanya terjadi pada
yang sudah lanjut.
g. Kehilangan Bercak tidak berkeringat, Bercak masih berkeringat,
kemampuan ada bulu rontok pada tidak ada bulu rontok
berkeringat, bulu bercak
rontok pada bercak

2. Infiltrat :
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang tidak ada
b. Membrana mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang tidak ada
(hidung tersumbat,
pendarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri khusus Central Healing 1. Punched out lession*
(penyembuhan di tengah) 2. Madarosis
3. Ginekomastia
4. Hidung pelana
5. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut,
asimetris biasanya lebih dari satu dan
simetris
6. Deformitas (cacat) Asimetris, terjadi dini Terjadi pada stadium lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif
*) Lesi berbentuk seperti kue donat
Klasifikasi kusta menurut WHO dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tipe PB Tipe MB
Lesi kulit - 1-5 lesi - >5 lesi
(makula datar, - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi lebih
papul yang - Distribusi tidak simetris simetris
meninggi, nodus) - Hilangnya sensasi yang jelas - Hilangnya sensasi
Kerusakan saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang
(menyebabkan - Hilangnya sensasi yang jelas saraf
hilangnya - Hilang sensasi yang
sensasi/ kurang jelas
kelemahan otot
yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
Catatan: setiap penderita dengan hasil bakterioskopik positif tanpa melihat gambaran klinisnya
langsung diobati dengan rejimen MDT WHO untuk MB.

Skema 2.1.5. Alur Diagnosis dan Klasifikasi Kusta.(2)


Kesimpulan dari diagnosis dan klasifikasi kusta dapat dilihat pada skema berikut.

Tanda utama (Cardinal sign)

Ada Ragu Tidak ada

ada
Kusta Tersangka Bukan kusta

Jumlah bercak,
penebalan saraf dan BTA Observasi
gangguan fungsi, 3-6 bulan
BTA

Ada Tanda utama


Bercak 1-5 Bercak >5
Saraf 1 Saraf >1 Rujuk
BTA (-) BTA (+)
Tidak Ragu
ada
PB MB
2.1.6. Penatalaksanaan Kusta
Tujuan dari pengobatan penderita kusta adalah untuk menyembuhkan dan mencegah dari

kecacatan. Pada penderita yang sudah mengalami kecacatan, maka pengobatan dapat mencegah

kecacatan yang lebih lanjut. Selain itu pengobatan juga dapat dilakukan untuk memutuskan mata

rantai penularan.(2)

2.1.6.1. Penggunaan Obat


a. Sediaan Obat Anti Kusta

1. DDS/Dapsone (Diamino Diphenyl Sulfone)

DDS mulai dipakai sejak 1948 dan Indonesia menggunakannya pada tahun

1952 sebagai monoterapi. Berupa tablet berwarna putih yang mempunyai sifat

bakteriostatik, yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman Kusta.

Dosis dewasa 100mg/hari, dosis anak usia 10-14 tahun 50mg/hari. Anak usia

dibawah 10 tahun, dosis disesuaikan dengan berat badan anak.(2)

2. Clofazimine atau lampren (B663)

Klofazimin digunakan sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil.(9) Berupa

kapsul warna coklat yang juga bersifat bakteriostatik dan menekan reaksi sebagai

anti inflamasi. Klofazimin ini digunakan dalam pengobatan kombinasi (MDT).(2)

3. Rifampicin

Rifampicin digunakan sejak 1970 sebagai obat kusta yang sebelumnya

digunakan juga sebagai obat antituberkulosis (anti TB).(9) Berbentuk kapsul atau

tablet yang bersifat bakteriosid kuat, yaitu mematikan kuman kusta secara cepat,

99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian. Rifampicin juga digunakan

dalam pengobatan kombinasi MDT.(2)

b. Regimen Pengobatan Multy Drug Therapy (MDT)


Sejak tahun 1981 Indonesia mulai menggunakan MDT untuk pengobatan kusta

sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. MDT adalah kombinasi dua atau

lebih obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampicin yang sifatnya

bakteriosid kuat dengan obat anti kusta lain yang bersifat bakteriostatik.(2)

Regimen pengobatan MDT adalah sebagai berikut :

1. Tipe PB

Untuk dewasa, pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan

petugas): dua kapsul rifampicin 300mg dan satu tablet dapsone atau DDS 100mg.

Selanjutnya hari ke 2-28: satu tablet dapsone/DDS 100mg. Satu blister untuk satu

bulan, pengobatan enam blister diselesaikan dalam waktu 6-9 bulan. Setelah selesai

minum enam blister maka dinyatakan Release From Treatment (RFT) atau berhenti

minum obat kusta, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.

2. Tipe MB

Untuk dewasa, pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan

petugas): dua kapsul rifampicin 300mg, tiga tablet lamprene 100mg, satu tablet

dapsone/DDS 100mg.

Pengobatan hari ke 2-28: satu tablet Lamprene 50mg dan satu tablet Dapsone

100mg. Pengobatan 12 blister dan diselesaikan dalam waktu 12-18 bulan. Sesudah

minum 12 blister dinyatakan RFT.

3. Dosis MDT Menurut Usia

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.

Untuk dosis anak di bawah 10 tahun disesuaikan dengan berat badan :

i. DDS: 1-2mg/kg BB
ii. Rifampisin: 10-15mg/kg BB

iii. Clofazimine: 1mg/kg BB

Jika penderita sudah menyelesaikan pengobatannya dan dinyatakan RFT, maka akan

dilakukan pengamatan secara pasif dengan pemeriksaan klinis dan bakterioskopik minimal setiap

tahun dalam jangka waktu dua tahun untuk tipe PB dan lima tahun untuk tipe MB.(2,9)

2.1.6.2. Perawatan Diri


Sangat penting bagi penderita kusta untuk melakukan perawatan diri agar bakteri tidak

dapat menginfeksi lagi. Perawatan diri juga berguna untuk penderita yang telah mengalami

kecacatan untuk mencegah cacat bertambah berat. Perawatan diri yang dapat dilakukan adalah:

a. Menghindari luka atau lecet sekecil apapun pada tangan dan kaki yang mati rasa

dengan menghindari benda tajam, panas, gesekan dari alat kerja atau alas kaki yang

digunakan. Caranya dengan menggunakan sepatu khusus untuk penderita kusta dan

jika memungkinkan menggunakan sarung tangan yang tebal setiap kali bekerja. Sebab

luka yang terbuka sangat memudahkan bakteri untuk masuk dan menyerang penderita

kembali.

b. Merendam tangan dan kaki selama 20 menit setiap hari dalam air dingin, menggosok

bagian kulit yang tebal kemudian langsung mengolesi dengan minyak kelapa atau

minyak lain untuk menjaga kelembaban kulit sebab kulit yang kering akan

mengakibatkan luka-luka kecil kemudian terinfeksi.(2)

2.1.6.3. Perawatan Lingkungan


M. leprae mampu hidup diluar tubuh penderita selama 1-9 hari bergantung dari suhu dan

cuaca. Kuman ini tidak mampu hidup di suhu panas. Oleh karena itu sangat penting untuk

dilakukan perawatan lingkungan tempat tinggal penderita dengan memperhatikan kondisi fisik

rumah seperti suhu, kelembaban, pencahayaan dan kebersihan lantai rumah.(2)


2.1.7. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang

merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair respons) atau reaksi antigen-antibodi (humoral

respons) yang merugikan penderita karena jika mengenai saraf tepi dapat menimbulkan

kecacatan. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama atau setelah pengobatan. Penyebabnya

belum diketahui secara pasti, diduga akibat penderita berada dalam kondisi stress fisik, mental

dan penggunaan obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh. Ditinjau dari proses terjadinya,

reaksi kusta dibagi menjadi reaksi tipe satu dan tipe dua. Gejala dari reaksi ini sangat khas yaitu

merah, panas, bengkak, nyeri, disertai gangguan fungsi saraf.(2)

2.1.8. Cacat Kusta


Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan

akibat penyakit kusta dapat terjadi melalui dua proses, yaitu infiltrasi langsung M. leprae ke

susunan saraf tepi dan organ seperti mata, serta melalui reaksi kusta. Tingkat cacat di Indonesia

menurut WHO adalah cacat tingkat nol yang berarti tidak ada cacat, cacat tingkat satu dimana

terdapat kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba, kelemahan otot

dan cacat tingkat dua yaitu cacat yang terlihat seperti ulkus, lagopthalmus, uveitis.(2)

2.1.9. Pencegahan Penyakit Kusta


Kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada

obat penyembuh kusta dan mereka datang ke puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting

sekali agar petugas kesehatan memberikan materi penyuluhan kusta kepada setiap orang. Materi

penyuluhan berisikan pengajaran bahwa(13):

a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta.

b. Sekurang-kurangnya 80% dari semua orang tidak mungkin terkena kusta.


c. Enam dari tujuh kasus kusta tidak menular pada orang lain.

d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira enam bulan secara

teratur.

e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik.

f. Biarkan sinar matahari langsung masuk ke dalam rumah agar kuman kusta tidak dapat

berkembang biak.

2.2. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Penyakit Kusta


Faktor risiko adalah keadaan yang dapat mempengaruhi perkembangan suatu penyakit

atau status kesehatan tertentu. Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia

adalah agen penyakit (agent), pejamu (host) dan lingkungan (environment).(15)

2.2.1. Faktor Agen Penyakit


Ada lima jenis agen penyebab suatu penyakit, yaitu agen biologis, nutrisi, fisik, kimia dan

mekanis.(15) Agen penyebab penyakit kusta termasuk dalam agen biologis, yaitu bakteri M.

leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf

pusat.(12)

2.2.2. Faktor Pejamu (Host)


Peran manusia sangat kompleks dalam proses terjadinya suatu penyakit dan sangat

bergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing individu, yaitu:

a. Usia

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut usia berdasarkan

prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit

sangat sulit diketahui. Dengan kata lain, kejadian penyakit sering terkait usia pada saat

ditemukan daripada saat timbulnya penyakit. Kusta dapat menyerang smeua usia, anak-anak
lebih rentan dibandingkan orang dewasa, namun frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok

usia muda atau produktif yang berkisar antara 25-35 tahun.(2)

b. Jenis Kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan laporan, sebagian

besar negara di dunia kecuali di beberapa negara seperti Afrika menunjukkan bahwa laki-laki

lebih banyak terserang daripada perempuan. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan

kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti penyakit menular lainnya,

laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko sebagai akibat gaya hidup.(2)

c. Etnik atau Suku

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi yang dapat dilihat

dari faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi

lingkungannya, ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.(2)

d. Daya Tahan Tubuh

Apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit

bermacam-macam penyakit termasuk kusta. Meskipun penularannya lama namun bila

seseorang terpapar kuman penyakit ketika imunitasnya menurun maka ia mudah terinfeksi.

Misalnya pada penderita kurang gizi atau malnutrisi berat, infeksi penyakit lain, habis sakit

lama dan sebagainya.(15)

e. Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada

negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta

sangat cepat menurun bahkan hilang. Penderita kusta yang merupakan pendatang di negara

tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.(2)
f. Personal Hygiene (Kebersihan Perorangan)

Kebersihan perorangan adalah cara merawat diri manusia untuk memelihara kesehatan

mereka. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan dan dipelihara demi

kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan dalam kehidupan.(23,24) Kebersihan

perorangan meliputi:

i. Kebersihan kulit

Kebersihan kulit merupakan cerminan kesehatan yang memberi kesan dari

luar bahwa seseorang itu sehat. Kebersihan kulit berkaitan erat dengan penyakit

kulit. Perilaku sehari-hari yang sangat mempengaruhi kebersihan kulit misalnya

mandi menggunakan sabun, memakai pakaian bersih dan tidak menggunakan

handuk atau pakaian orang lain.(23,24) Cara-cara untuk menjaga kebersihan kulit

sebagai berikut:

1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik pribadi seperti sabun,

sikat gigi, handuk dan pakaian.

2. Mandi minimal dua kali sehari menggunakan sabun mandi. Sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Job et al yang diduga bahwa M. leprae dapat

masuk dari kelenjar keringat, maka menjaga kebersihan kulit sangatlah penting.

3. Menjaga kebersihan pakaian seperti mengganti baju minimal dua kali sehari,

mencuci pakaian yang kotor menggunakan sabun atau detergen, tidak

meletakkan pakaian kotor dalam satu tempat dengan pakaian orang lain, tidak

mencuci bersamaan atau dijadikan satu dengan pakaian orang lain, menjemur

pakaian dibawah sinar matahari.


4. Mengonsumsi makanan bergizi untuk menjaga kesehatan kulit yaitu sayur dan

buah yang cukup.

ii. Kebersihan rambut

Rambut yang tidak dibersihkan akan menjadi kotor, berminyak dan berdebu,

sehingga akan mempengaruhi kulit kepala menjadi tidak sehat. Dalam memelihara

kebersihan rambut dan kulit kepala dapat dilakukan dengan mencuci rambut

minimal dua kali seminggu menggunakan shampoo atau bahan pencuci rambut

lainnya dan menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut pribadi seperti sisir yang

tidak digunakan secara bersama.(23,24)

iii. Kebersihan gigi

Cara untuk memelihara kebersihan dan kesehatan gigi adalah dengan menggosok

gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap habis makan dan sebelum tidur,

menggunakan sikat gigi pribadi dan menggantinya minimal dua kali sebulan,

menghindari makanan yang dapat merusak gigi seperti makanan dengan kadar

manis dan asam yang tinggi, serta memeriksa gigi secara teratur ke dokter atau

puskesmas minimal satu kali dalam tiga bulan.(23,24)

iv. Kebersihan telinga

Hal yang perlu diperhatikan dalam kebersihan telinga adalah perlunya

membersihkan telinga secara teratur minimal dua kali seminggu dan tidak

membersihkannya dengan benda tajam.(23,24)

v. Kebersihan tangan, kaki dan kuku

Kuku dan tangan yang kotor dapat menimbulkan bahaya kontaminasi dan

menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Untuk menghindari hal tersebut maka


perlu dilakukan cuci tangan sebelum maupun sesudah makan, setelah buang air

besar menggunakan sabun dan air bersih dengan cara yang baik dan benar,

memotong kuku minimal satu kali seminggu dan mencuci kaki sebelum tidur.(23,24)

Penularan penyakit kusta belum diketahui secara pasti, tetapi menurut sebagian ahli

melalui saluran pernafasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat), kuman mencapai

permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat dan diduga melalui air susu ibu.(18)

g. Pendidikan

Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut menentukan

pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan

sosial.(16,17) Dengan pendidikan yang cukup dan pengetahuan yang baik tentang kesehatan,

termasuk penyakit menular seperti halnya kusta, masyarakat diharapkan dapat secara aktif

turut serta mencegah terjadinya penyakit menular, sehingga tingkat kejadian penyakit menular

dapat berkurang dan usaha kesehatan dapat berhasil dengan baik.(16,19)

h. Pekerjaan

Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang

termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari penghasilan dengan

bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya cacat pada

kusta.(10) Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire (1996), membagi responden dalam

dua kategori, yaitu mereka yang bekerja secara manual worker dan non manual worker.

Diperoleh hasil, 64% pada manual worker mengalami 41 kecacatan sekunder. Hal ini

disebabkan karena Nepal adalah negara pertanian, banyak yang bekerja sebagai petani. Selain

itu karena penderita kusta lebih suka menyendiri sehingga kegiatan sehari-hari juga dilakukan

sendiri.
2.2.3. Faktor Lingkungan (Environment)
a. Suhu

Suhu di dalam ruangan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan,

perbanyakan dan daya tahan dari bakteri dan virus. Kuman kusta (M. leprae) dapat

hidup di daerah tropis atau bahkan pada suhu diatas 30C dengan suhu optimum

37C.(2) Suhu ideal di dalam rumah berkisar antara 18C-30C.(27)

b. Kelembaban

Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung

menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. M.

leprae hidup diluar hospes dengan temperatur dan kelembaban yang bervariasi. M.

leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari pada kelembaban 70,9% atau lebih panjang pada

kelembaban 7090%.(2,10) Cuaca yang panas atau berawan dan hujan menyebabkan

udara kaya dengan uap air sehingga kelembaban semakin tinggi di udara. Kelembaban

normal berkisar antara 40%-70%.

c. Ventilasi

Keberadaan ventilasi dalam keadaan terbuka pada siang hari merupakan salah

satu syarat yang menentukan kualitas udara agar tidak pengap dan lembab yang

menyebabkan berpotensi hidupnya mikroorganisme. Mikroorganisme di udara

merupakan unsur pencemaran sebagai penyebab gejala berbagai penyakit antara lain

penyakit kulit. Mikroorganisme dapat berada di udara melalui berbagai cara terutama

dari debu yang berterbangan. Ruangan yang kotor akan berisi udara yang banyak

mengandung mikroorganisme. Agar pertukaran udara dalam ruangan berjalan dengan

baik, perlu dibuat ventilasi silang. Selain fungsi ventilasi berpengaruh terhadap
kualitas udara agar tidak pengap dan lembab juga pengaturan sinar ultraviolet yang

masuk ke dalam ruangan dapat membunuh kuman termasuk M. leprae.

d. Pencahayaan

Pencahayaan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Semua cahaya

pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya

tersebut.(26) Pada siang hari pencahayaan yang ideal adalah sinar matahari. Paparan

sinar matahari selama lima menit dapat membunuh M. leprae. Bakteri ini tahan hidup

pada tempat gelap, sehingga perkembangan bakteri lebih banyak dirumah yang gelap.

Sedangkan pada malam hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik.(21)

e. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah

anggota keluarga penghuni tersebut. Menurut Depkes RI, kepadatan hunian dikatakan

memenuhi standar apabila ada dua orang per 8m2 dan kepadatan tinggi lebih dari dua

orang per 8m2, dengan ketentuan bahwa anak dibawah usia satu tahun tidak dihitung

dan usia 1-10 tahun dihitung setengah.(27)

f. Jenis Lantai Rumah

Jenis lantai dengan plester yang retak atau berdebu berpotensi terhadap

keberadaan bakteri. M. leprae mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat

ditemukan pada tanah atau debu.(10) M. leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46

hari ditunjang dengan lingkungan yang gelap dan lembab .(22)


BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Profil Keluarga dan Status Kesehatan Keluarga

Anggota keluarga pasien berjumlah 5 orang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 3 orang anak

1. Nama : Tn. EA

Usia : 58 tahun

Status dalam keluarga : Ayah - Kepala Keluarga

Pekerjaan : tidak bekerja (sakit)

Pendidikan Terakhir : SD

Agama : Kristen Protestan

Keadaaan Umum dan TTV : Pemeriksaan tanggal 10 September 2016

Pasien mengalami penurunan penglihatan sejak kurang 5 tahun yang lalu dan sudah

pernah melakukan pemeriksaan dengan diagnose katarak. Pasien sudah menjalani operasi

katarak pada kedua matanya. Kemudian beberapa tahun akhir ini pasien mengalami

kesusahan dalam melihat sehingga menganggu aktivitas pasien. Tetapi pasien tidak

melakukan pemeriksaan lebih lanjut di fasilatas kesehatan terdekat. Pemeriksaan

Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 86 kali/menit, Frekuensi napas 21 kali/menit, Suhu

36,80C.

2. Nama : Ny. YAM

Usia : 56 tahun

Status dalam keluarga : Pasien (istri)

Pekerjaan : IRT

Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Kristen Protestan

Keadaaan Umum dan TTV : Pemeriksaan tanggal 29 Agustus 2016 di puskesmas

Oepoi pada saat pasien melakukan pemeriksaan dan pengambilan obat.

3. Nama : Ny. FAP

Usia : 26 tahun

Status dalam keluarga : anak kandung II

Pekerjaan : IRT

Pendidikan Terakhir : SMP

Agama : Kristen Protestan

Keadaaan Umum dan TTV : Pemeriksaan tanggal 16 September 2016

Tidak ada keluhan. Pemeriksaan Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 84 kali/menit,

Frekuensi napas 22 kali/menit, Suhu 36,40C.

4. Nama : Nn. Linda Ambi

Usia : 24 tahun

Status dalam keluarga : anak kandung III

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan Terakhir : SMK

Agama : Kristen Protestan

Tidak ada keluhan. Pemeriksaan Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 86 kali/menit,

Frekuensi napas 22 kali/menit, Suhu 36,50C.

5. Nama : An. YA

Usia : 16 thn

Status dalam keluarga : anak kandung IV


Pekerjaan : Pelajar (berhenti sekolah karena sakit)

Pendidikan Terakhir : SD

Agama : Kristen Protestan

Keadaaan Umum dan TTV : Pemeriksaan tanggal 16 September 2016

Pasien menderita penyakit yang sama dengan ibunya yaitu kusta. Pasien sudah menderita

sejak tahun 2013. Pasien sudah mengikuti pengobatan dan sudah di evaluasi kembali dan

hasilnya negative. Pasien tidak melanjutkan sekolahnya karena ia merasa malu dengan

keadaan fisiknya yang tidak baik. Sehingga pasien hanya menghabiskan waktunya

dengan bermain bersama teman-temannya saja. Pemeriksaan Tekanan darah 110/80

mmHg, Nadi 82 kali/menit, Frekuensi napas 20 kali/menit, Suhu 36,70C.


2. Peta Genogram

1958 1958

1988 1990 1992 2000

Keterangan: : : Laki-laki

: Perempuan ? : Tidak ingat

: Pasien

Gambar 2.1 Genogram


2.3 Status Kesehatan Pasien

A. Identitas

Nama : Ny. YAM

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 58 tahun

Status dalam keluarga : istri (pasien)

Agama : Kristen Protestan

Suku : Rote

Alamat : Jln. Soverdi RT 22 / RW 06, TDM IV

B. Anamnesa

Anamnesa dilakukan secara autoamnesis pada pasien pada tanggal 29 Agustus 2016 dan 16

September 2016

Keluhan Utama :

Bercak merah yang timbul pada wajah kemudian menyebar ke tangan dan kaki yang timbul

sejak tahun 2011.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Bercak kemerahan muncul pertama kali pada bagian wajah yang kemudian menyebar ke
tangan dan kaki pasien. Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa gatal ataupun nyeri pada bercak-
bercak kemerahan tersebut. Sebagian dari bercak-bercak kemerahan tersebut lama-kelamaan
bagian tepinya mulai memutih tanpa diberikan pengobatan apapun. Kemudian pasien merasakan
adanya bengkak pada kedua telinganya, lalu pasien melakukan pemeriksaan di puskesmas oepoi
lalu pasien di rujuk ke poli Kulit dan Kelamin RSUD Prof. W.Z.Johannes untuk dilakukan
pemeriksaan. Menurut pasien setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil pisitif dan pasien
mulai diberikan pengobatan. Keluhan akhir-akhir ini pasien merasakan alis matanya rontok.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien menyangkal adanya

riwayat alergi, baik pada makanan ataupun obat-obatan.

Riwayat Kontak dengan Pasien Kusta:

Menurut pasien ia tidak pernah kontak langsung dengan orang yang memiliki gejala yang

sama seperti dirinya.

Riwayat Pekerjaan :

Pasien saat ini bekerja sebagai pedagang sayur keliling dari rumah ke rumah.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak memiliki riwayat sakit berat sebelumnya.

Riwayat Keluarga :

Hubungan Umur Jenis Kelamin Keadaan Kesehatan Penyebab


Meninggal
Suami 56 L Sakit -
Anak I 30 P Sakit (Kusta) -
Anak II 26 P Sehat -
Anak III 24 P Sehat -
Anak IV 16 L Sakit (kusta) -

C. PemeriksaanFisik

Keadaan umum : tampak sakit ringan

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Frekuensi nadi : 86 kali/menit

Frekuensi pernapasan : 23 kali/menit

Suhu : 36,90C

Berat badan : 51,7 Kg

Tinggi badan : 150 cm


IMT : 22,9 Kg/m2

Status Gizi : Normal

Kepala Deformitas (-), alis mata rontok

Rambut tampak tebal, warna rambut : hitam agak putih, lurus,


Rambut
dan tidak mudah rontok, turgor kulit baik.

Kulit tampak kering, Sianosis (-), Ikterik (-), Pucat (-), xerosis

Kulit (-), lesi hyperkeratosis (-), lesi hipopigmentasi pada wajah ,

tangan dan kaki

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor


Mata
3mm/3mm, reflex cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)

Hidung Deviasi septum (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-).

Telinga Deformitas (-/-)Aurikula tampak normal, Ottore (-/-)

Mukosa bibir tampak kering, sianosis(-),plak putih (-), atrofi


Mulut
papil lidah (-)

Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-/-) Pembesaran kelenjar


tiroid (-), penggunaan otot bantu napas (-)

Pulmo

Inspeksi Gerak dada simetris, scar (-), deformitas (-), Massa (-)

Palpasi Vocal Fremitus simetris, nyeritekan (-)

Perkusi Sonor (+/+)

Asukultasi Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Cor

Inspeksi Ichtus Cordis terlihat pada ICS IV linea midclavicularis

sinistra

Palpasi Ichtus cordis teraba pada ICS IV linea midclavicularis sinistra

Auskultasi BJ I,II tunggal reguler, Murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi Kesan datar, venektasi (-), scar (-)

Auskultasi Bising usus (+) kesan normal

Palpasi Supel, nyeri tekan (-), Hepar tidak teraba di bawah arcus costa,

lien tidak teraba (scuffner 0). Ballotement (-).

Perkusi Timpani pada seluruh regio abdomen

Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan

Inspeksi

Palpasi
Ekstremitas

Gambar 2.2 Tangan Pasien

Tampak hipopigmentasi pada kedua tangan, sianosis (-),


Inspeksi
rubor (-), pucat (-), hambatan gerak (-).

teraba hangat

diberikan rangsangan nyeri pada bagian hipopigmentasi


Palpasi
tidak terasa nyeri

Gambar 2.2 Kaki Pasien

Superior Inferior

Edema -/- +/-

Sianosis -/- -/-

Akral Hangat Hangat


CRT < 2 detik < 2 detik

D. Keadaan Lingkungan

1. Keadaan Lingkungan Fisik

Lingkungan Fisik
1. Rumah yang ditempati merupakan milik pasien. Status
kepemilikan tanah merupakan tanah pribadi yang didapat oleh
pasien. Luas bidang tanah sebesar 25 m2 dengan luas bangunan
sebesar 15m2. Rumah pasien berada dibelakang rumah Suverdi
RT22/RW06 Kel TDM 4. Akses jalan kerumah pasien dapat
dilalui menggunakan kendaran roda dua maupun roda empat.
Gambar3.6 Rumah tampak depan

Gambar 3.7 Rumah tampak belakang


Gambar 3.8 Rumah tampak samping kiri

Gambar 3.9 Rumah tampak samping kanan

Pasien tinggal di rumah permanen yang terdiri dari :


a. 2 kamar tidur dengan ukuran 3 m x 3 m, yang berisi :
- 3 lemari pakaian
- 2 tempat tidur busa
- 1 set kelambu
Kamar tidur ini ditempati oleh 7 orang yaitu pasien
,suaminya, ketiga orang anaknya beserta seorang mantu
dan cucu laki-laki.
Gambar 3.10 Kondisi kamar tidur
b. 1 ruang keluarga yang berisi :
- 3 kursi plastik
- 1 unit kulkas
- 1 meja plastik
Ruang keluarga ini dipakai sebagai tempat untuk
berkumpul bersama keluarga dan tempat makan
keluarga

Gambar 3.11 Ruang keluarga


c. 1 ruang tamu yang berisi
- 3 tempat duduk sofa
- 1 meja

Gambar 2.12 Ruang tamu


d. 1 Dapur yang berisi
- 1 kompor minyak tanah
- Tungku perapian
- Rak piring
- Perlengakapan memasak dan makan
Dapur terletak disamping rumah dan masih satu
bangunan.. Disini terdapat tungku kayu bakar dan tidak
memiliki ventilasi yang memadai.

Gambar 3.13 Dapur


e. 1 Kamar Mandi yang berisi
- Jamban
Kamar mandi ini terpisah dengan rumah utama, terdapat
di belakang rumah dan berdinding dengan seng sebagai
atapnya.

Gambar 2.15 Kondisi kamar mandi

3.5 Identifikasi masalah keluarga


a. Masalah dalam organisasi keluarga
Pasien memiliki status perkawinan yang sah sampai saat ini, tetapi suami pasien mengalami
kebutaan karena katarak, meskipun sudah dioperasi tetapi tidak mengalami perbaikan dan
tidak mendapat penanangan lebih lanjut. Sehingga, pasien harus menjadi tulang punggung
rumah tangga pasien memiliki 4 orang anak dan ada dua anaknya mengalami penyakit yang
sama.
b. Masalah dalam fungsi biologis
Pasien tidak memiliki penyakit keturunan.
c. Masalah dalam fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan
Pasien merupakan tulang punggung keluarga yang bekerja sehari hari sebagai penjual sayur-
sayuran keliling disekitar lingkungan rumah. Penghasilan pasien sehari berkisar Rp 50.0000
Rp 80.000.
d. Masalah pendidikan dan perilaku hidup sehat
Pasien tidak tamat SD sehingga periaku hidup sehat mengenai pencegahan kontak dengan
orang lain tidak tertanggulangi sehingga terkena pada kedua anaknya.
e. Masalah lingkungan :

Keadaan Lingkungan Sosial Ekonomi


Tabel 3.3. Keadaan Lingkungan Sosial Ekonomi
No. Lingkungan Sosial Ekonomi Keadaan
1 Status Kepemilikan Rumah Rumah yang ditempati merupakan milik pribadi
pasien.
2 Fasilitas dan Kepemilikan Barang dan fasilitas dalam rumah merupakan milik
barang rumah tangga pribadi pasien dan keluarganya.
Terdapat tempat tidur kayu dan 1 buah lemari
pakaian, perlengkapan dapur.

3.5. Diagnosa
a. Klinis : Penyakit Kusta
b. Diagnosa Komunitas
Diagnosis komunitas, sering juga disebut public health assessment, adalah suatu kegiatan
untuk menentukan masalah yang terdapat dalam komunitas melalui suatu studi. Diagnosis komunitas
adalah suatu komponen penting dalam perencanaan program kesehatan. Kegiatan ini menilai dan
menghubungkan masalah, kebutuhan, keinginan, dan fasilitas yang ada dalam komunitas. Dari
hubungan keempat hal tersebut, dipikirkan suatu solusi atau intervensi untuk pemecahan masalah
yang ada dalam komunitas tersebut.
Kata diagnosis digunakan karena pada dasarnya proses diagnosis komunitas didasarkan
pada prinsip-prinsip diagnosis klinis; perbedaannya adalah bahwa diagnosis komunitas diaplikasikan
pada komunitas dalam peran dokter yang lebih luas, sedangkan diagnosis klinis diaplikasikan pada
tingkat yang lebih personal.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melaksanakan diagnosis komunitas adalah
sebagai berikut:
1. Komunitas :
Keluarga YAM bertempat tinggal di kompleks perumahan tuak daun merah (TDM) , kupang,
Nusa Tenggara Timur
2. Masalah komunitas
a. Pengetahuan keluarga yang kurang mengenai penyakit kusta, penyebaran dan
pencegahannya
b. Pasien menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya menderita kebutaan.
c. Kondisi ekonomi yang rendah membuat keluarga tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan gizi
d. Dalam keluarga ini ada 3 orang yang menderita penyakit kusta yaitu pasien dan kedua
anaknya.
e. Kondisi rumah pasien yang dapat dikategorikan termasuk rumah yang tidak layak dihuni.
3. Prioritas masalah
Tabel 3.6. Matriks USG

Kriteria Masalah a Masalah b Masalah c Masalah d Masalah e

Tingkat urgensi (U) 5 4 3 5 3

Tingkat Keseriusan (S) 4 5 3 4 4

Tingkat perkembangan /
4 3 3 4 4
Growth (G)

TOTAL (Nilai UxSxG) 80 60 27 80 48

Urutan Prioritas Masalah 1 2 4 1 3

4. Intervensi
Edukasi yang diberikan mencakup:
a. Edukasi kepada keluarga mengenai penyebab penyakit kusta yaitu kuman lepra yang dapat
berkembang biak di lingkungan rumah yang tidak baik.
b. Edukasi kepada keluarga mengenai cara penularan penyakit lepra yaitu melalui kontak
langsung dengan penderita kusta dalam jangka waktu yang lama.
c. Edukasi kepada keluarga mengenai pencegahan penyakit lepra.
d. Penjelasan pentingnya melakukan control selama pengobatan secara rutin di puskesmas
oepoi
e. Edukasi tentang pentingnya status gizi yang baik agar mengurangi penularan penyakit.
5. Evaluasi
Saat ini pasien dalam masa pengobatan di puskesmas oepoi. Pasien rutin melakukan
pemeriksaan dan pengambilan obat di puskesmas oepoi. Untuk saat ini pasien menjelaskan
bahwa gejala yang ada sudah mulai berkurang dan semakin membaik. Pasien masih dapat
melakukan pekerjaannya yaitu sebagai pedagang sayur keliling dari rumah ke rumah. Dan kedua
anaknya juga sudah selesai melakukan pengobatan.
BAB 4
PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Kusta yang juga dikenal dengan lepra atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi

yang disebabkan oleh Micobacterium leprae. Kusta dapat mengenai segala usia, pria maupun

wanita, bahkan dapat mengenai bayi.(1) Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun Sebelum

Masehi (SM) dan masih kita temukan sampai saat ini. Penyakit ini dapat menimbulkan masalah

yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis karena dapat menimbulkan kecacatan, namun

sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.(2)

Data WHO yang dilaporkan oleh 102 negara di dunia pada September 2015, angka

penemuan kasus baru sebanyak 213.899 kasus. Wilayah Asia Tenggara menjadi wilayah dengan

angka penemuan kasus baru kusta tertinggi sebesar 154.834 kasus. Penemuan kasus baru di

Indonesia merupakan urutan ketiga dunia sebesar 17.025 kasus di bawah India sebesar 125.785

kasus dan Brazil sebesar 31.064 kasus.(3) Secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan

penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya sebanyak 4.807 kasus pada

2012, dengan rata-rata penemuan penderita per tahun antara 4.000-5.000 orang.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah menjadi daerah endemik rendah kasus kusta,

sebab angka penemuan kasus baru kurang dari 10 per 100.000 penduduk.(6) Belum semua kasus

di Provinsi NTT dilaporkan secara baik. Jumlah penderita yang tercatat sampai tanggal 31

Desember 2013 sebanyak 444 orang yang tersebar di 14 dari 22 Kabupeten/Kota.(7) Kabupaten

Kupang menempati urutan kedua dengan kasus kusta terbanyak setelah Flores Timur. Di

Kabupaten Kupang pada 2013 terdapat 79 penderita kusta yang tersebar di 12 puskesmas atau

Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang ada dengan tipe Multibasiler (MB) sebanyak 75 orang

dan tipe Pausibasiler (PB) sebanyak empat orang.(8)


Tipe MB merupakan tipe kusta yang paling sering ditemui di berbagai tempat. Selain itu

tipe MB juga merupakan tipe kusta yang dapat menular, namun sampai saat ini belum diketahui

secara pasti bagaimana cara penularannya. Beberapa teori menyebutkan bahwa penularan dapat

melalui saluran pernapasan dan kontak kulit secara langsung, namun tidak bisa dipungkiri bahwa

faktor risiko mempunyai peran penting dalam terjadinya suatu penyakit termasuk penyakit kusta,

diantaranya adalah faktor lingkungan dan kebersihan perorangan.(2)

Pasien YAM datang ke Puskesmas Oepoi untuk melakukan pemeriksaan dan

pengambilan obat MDT. Pasien sedang dalam pengobatan penyakit kusta. Pada anamnesis

didapatkan bahwa pasien telah menderita penyakit kusta selama 5 tahun dan sudah menjalani

pengobatan. Gejala awal pasien adalah timbulnya bintik-bintik merah pada wajahnya yang

kemudian menyebar ke tangan dan kaki. Bintik merah ini tidak terasa gatal dan tidak terasa

nyeri. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya benjolan pada kedua telinganya, serta gejala

ini disertai dengan demam. Akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di

puskesmas Oepoi setelah itu pasien di rujuk ke Poli Kulit RSUD Prof. Dr. W.Z.Johannes Kupang

untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Menurut pasien pemeriksaan yang dilakukan adalah

pengambilan sampel pada telinganya dan dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil positif

menderita penyakit kusta. Lalu di mulai pengobatan penyakit kusta.

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari satu dari tanda-tanda utama atau

cardinal sign, yaitu(2,12) :

d. Lesi mati rasa

Lesi dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous),

mendatar (makula) atau meninggi (plak) yang bersifat kurang rasa (hypoanastesi) atau mati

rasa (anastesi).
e. Penebalan saraf tepi yang disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf akibat peradangan kronis

saraf tepi. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:

4. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa terhadap rasa raba, suhu dan nyeri.

5. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)

6. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak, edema, pertumbuhan rambut yang

terganggu dan tidak berkeringat.

f. Adanya Basil Tahan Asam (BTA) positif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit dan cuping

telinga.

Pada pasien ini sudah didapatkan beberapa tanda dan gejala yang ada serta telah

didukung dengan pemeriksaan kerokan jaringan kulit dan cuping telinga yang hasilnya positif.

Pada penderita yang sudah mengalami kecacatan, maka pengobatan dapat

mencegah kecacatan yang lebih lanjut. Selain itu pengobatan juga dapat dilakukan

untuk memutuskan mata rantai penularan.(2) Sejak tahun 1981 Indonesia mulai

menggunakan MDT untuk pengobatan kusta sesuai dengan yang direkomendasikan

oleh WHO. MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya

harus terdiri atas Rifampicin yang sifatnya bakteriosid kuat dengan obat anti kusta lain

yang bersifat bakteriostatik.(2)

Regimen pengobatan MDT adalah sebagai berikut :

4. Tipe PB

Untuk dewasa, pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan

petugas): dua kapsul rifampicin 300mg dan satu tablet dapsone atau DDS 100mg.

Selanjutnya hari ke 2-28: satu tablet dapsone/DDS 100mg. Satu blister untuk satu

bulan, pengobatan enam blister diselesaikan dalam waktu 6-9 bulan. Setelah selesai
minum enam blister maka dinyatakan Release From Treatment (RFT) atau berhenti

minum obat kusta, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.

5. Tipe MB

Untuk dewasa, pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan

petugas): dua kapsul rifampicin 300mg, tiga tablet lamprene 100mg, satu tablet

dapsone/DDS 100mg.

Pengobatan hari ke 2-28: satu tablet Lamprene 50mg dan satu tablet Dapsone

100mg. Pengobatan 12 blister dan diselesaikan dalam waktu 12-18 bulan. Sesudah

minum 12 blister dinyatakan RFT.

6. Dosis MDT Menurut Usia

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.

Untuk dosis anak di bawah 10 tahun disesuaikan dengan berat badan :

iv. DDS: 1-2mg/kg BB

v. Rifampisin: 10-15mg/kg BB

vi. Clofazimine: 1mg/kg BB

Jika penderita sudah menyelesaikan pengobatannya dan dinyatakan RFT, maka akan

dilakukan pengamatan secara pasif dengan pemeriksaan klinis dan bakterioskopik minimal setiap

tahun dalam jangka waktu dua tahun untuk tipe PB dan lima tahun untuk tipe MB.(2,9)

Pasien ini sudah melakukan pengobatan selama 5 tahun , dengan adanya pengobatan ini

pasien mengatakan bahwa beberapa gejala yang dirasakan pada saat awal sudah mengalami

beberapa perubahan.
Selain itu pengobatan juga dapat dilakukan untuk memutuskan mata rantai penularan.(2)

selain itu dapat dilakukan kebersihan diri dan lingkungan, yaitu :

1. Perawatan Diri
Sangat penting bagi penderita kusta untuk melakukan perawatan diri agar bakteri tidak

dapat menginfeksi lagi. Perawatan diri juga berguna untuk penderita yang telah mengalami

kecacatan untuk mencegah cacat bertambah berat. Perawatan diri yang dapat dilakukan adalah:

c. Menghindari luka atau lecet sekecil apapun pada tangan dan kaki yang mati rasa

dengan menghindari benda tajam, panas, gesekan dari alat kerja atau alas kaki yang

digunakan. Caranya dengan menggunakan sepatu khusus untuk penderita kusta dan

jika memungkinkan menggunakan sarung tangan yang tebal setiap kali bekerja. Sebab

luka yang terbuka sangat memudahkan bakteri untuk masuk dan menyerang penderita

kembali.

d. Merendam tangan dan kaki selama 20 menit setiap hari dalam air dingin, menggosok

bagian kulit yang tebal kemudian langsung mengolesi dengan minyak kelapa atau

minyak lain untuk menjaga kelembaban kulit sebab kulit yang kering akan

mengakibatkan luka-luka kecil kemudian terinfeksi.(2)

2. Perawatan Lingkungan
M. leprae mampu hidup diluar tubuh penderita selama 1-9 hari bergantung dari suhu dan

cuaca. Kuman ini tidak mampu hidup di suhu panas. Oleh karena itu sangat penting untuk

dilakukan perawatan lingkungan tempat tinggal penderita dengan memperhatikan kondisi fisik

rumah seperti suhu, kelembaban, pencahayaan dan kebersihan lantai rumah.(2)

Pada kunjungan rumah dilakukan wawancara dengan


BAB 5
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Setelah mempelajari dan melakukan kunjungan rumah pada pasien dalam kasus ini, maka
dapat disimpulkan :
1. Ny. YAM usia 58 tahun mengalami Lepra karena faktor keluarga dan karena faktor ekonomi,
beliau kemungkinan tertular dari anaknya yang juga pengidap lepra dan karena faktor
ekonomi yang kurang serta personal hygiene yang kurang dapat memudahkan penularan
penyakit ini
2. Suami pasien dalam keadaan sakit, diakui sudah sejak lima tahun terakhir , saumi pasien
mengeluhkan penurunan dalam penglihatannya dan tidak dapat bekerja sehingga hal ini
membuat pasien dijadikan sebagai tumpuan tulang punggung pekerjaan
3. Pemecahan masalah komunitas yang dapat dipilih adalah diberikan edukasi mengenai
penyakit lepra serta pengobatan dan pencegahannya , membantu untuk mengupayakan
jaminan kesehatan bagi pasien, serta mengusahakan pengobatan untuk pasien.
4. Anggota keluarga pasien telah aktif berperan dalam penyembuhan penyakit pasien dengan
membantu mengontrol dan membawa pasien ke fasilitas kesehatan secara teratur.

5.2. Saran
1. Bagi pasien
Kontrol dan konsumsi obat terus dengan berkunjung ke pusat pelayanan kesehatan
pertama untuk melihat perkembangan penyakit dan pengobatan pasien.
2. Bagi keluarga pasien
Keluarga Ny. YAM agar lebih memperhatikan kesehatan pasien serta mengupayakan
pengobatan bagi pasien .
3. Bagi tenaga kesehatan
Pelaksanaan promosi kesehatan tentang lepra harus lebih giat dilakukan.
4. Bagi masyarakat
Masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan Puskesmas dengan baik dan
pengobatan yang dilakukan pada anggota keluarga dapat didukung oleh seluruh anggota
keluarga dan mencegah hal yang sama menimpa anggota keluarga yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. T. Mary, N. June, Almond Team. Bagaimana Mendiagnosis dan Mengobati Lepra. London:
The International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP); 2002.

2. Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2012.

3. Weekly Epidemiological Record. World Health Organization. 2015. Diakses tanggal 23


September 2015 Jam 13:30:37. Sumber: http://www.who.int/wer/2015/wer9036.pdf?ua=1

4. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012.

5. Dzikrina AM, Purnami SW. Pemodelan Angka Prevalensi Kusta dan Faktor- Faktor yang
Mempengaruhi di Jawa Timur dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression
(GWR). Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 2, No.2; 2013

6. Pemerintah Daerah Provinsi NTT. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun
2012.

7. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta di
Nusa Tenggara Timur tahun 2013.

8. Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang. Register Kohort Penderita Kusta Tipe PB dan MB.
Subdit Kusta dan Frambusia Kupang tahun 2013.

9. Enis Gancar Raharjati. Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Kusta (Morbus
Hansen) pada Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang. Skripsi
2009. Diakses tanggal 1 Februari 2014 jam 13:25:14. Sumber:
http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=3706

10. Dwina Rismawati. Hubungan Antara Sanitasi Rumah dan Personal Hygiene dengan
Kejadian Kusta Multibasiler di Semarang. Skripsi 2012. Diakses tanggal 5 Mei 2014 jam
20:12:10. Sumber: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph.

11. Analisis Faktor Risiko Kejadian Kusta (Studi Kasus di Rumah Sakit Kusta Donorojo
Jepara). Skripsi 2008. Diakses tanggal 1 Juni 2014 jam 19:39:12. Sumber:
http://lib.unnes.ac.id/2587/
12. A. Kosasih, W. I Made, D. S. Emmy, M. L. Sri. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
edisi 6, pp. 73-88. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013.

13. Zulkifli. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara: USU digital library; 2003. Di akses tanggal 30 April 2014 jam
05:38:21. Sumber: http://ebookread.org/ebook/q/pdf/penyakit-menular.library.usu.ac.id.
14. Budi Susanto. Hubungan Faktor Kepadatan hunian, Perilaku kesehatan dan Sosial Ekonomi
Dengan Penderita Penyakit Kusta di Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan. Skripsi 2011.
Diakses tanggal 30 April 2014 jam 13:34:20. Sumber:
http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimus-gdl-budisantos-
6052&PHPSESSID=1e67af6fa4bdd962b254ed311c991538&newlang=english

15. Chandra Budiman. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2008.

16. Winarsih et.al. Analisis Spasial Faktor Risiko Kejadian Penyakit Kusta Di Kabupaten
Jepara. Skripsi 2011.

17. Budiono, Pengantar Epidemiologi, Semarang: FKM UNDIP.1997

18. Mansjoer Arief. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid 1. Jakarta: Media Aescaliptus
FKUI; 2008.

19. Indan Entjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Citra Aditya Bakti 2000.

20. Mukono H. J. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University
Press; 2011.

21. Yunita Uli Lubis. Analisis Kualitas Air Sungai dan Perilaku Pengguna serta Kaitannya dengan
Keluhan Kesehatan Kulit pada Masyarakat di Sekitar Sungai Babura Kecamatan Medan Baru
tahun 2012. Skripsi 2012. Diakses tanggal 30 April 2014 jam 05:35:15. Sumber:
http://repository.usu.ac.id/.

22. Amiruddin Dali. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya: Penerbit Brilian
Internasional; 2012

23. Yohana Margyati Nela Kean. Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies pada
Penghuni Panti Asuhan Katholik Yayasan Sonaf Maneka Kelurahan Lasiana Kota Kupang.
Skripsi 2012.
24. Potter, Perry. Fundamental Keperawatan (Konsep, Proses dan Praktek), edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.

25. Soekidjo Notoatmodjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.

26. Suardi. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Kusta di Kabupaten
Biak Numfor. Skripsi 2012. Diakses tanggal 4 Mei 2014 jam 22:06:34. Sumber:
http://eprints.undip.ac.id/42543/

27. Junias MS. Buku Ajar Kesehatan Lingkungan Permukiman. Kupang: Undana Press; 2013.

28. Website Resmi Kabupaten Kupang. Profil Kabupaten Kupang. Diakses tanggal 13 Agustus
2015 jam 12:48:07. Sumber: http://kab-kupang.go.id/kupang2010/2010/?page_id=12.
29. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan
Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Kupang tahun 2013.

30. Kemenkes RI. Pusat Data dan Informasi Jumlah dan Kondisi Puskesmas Menurut
Kabupaten/Kota di Indonesia sampai Juni 2014.

31. Argiyanti D. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Penyakit Kusta di Wilayah Kerja
Puskesmas Kabunan Kabupaten Pemalang. Skripsi 2014. Diakses tanggal 13 Agustus 2015 jam
13:13:57. Sumber: http://eprints.ums.ac.id/27725/35/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf

32. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 4th ed. Jakarta: Sagung
Seto; 2011.

33. Patmawati. Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penderita Kusta di Kabupaten Polewali
Mandar. Skripsi 2014. Diakses tanggal 20 November 2015 jam 09:59:23. Sumber: Buletin
Penelitian Kesehatan. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/4348

Anda mungkin juga menyukai