Anda di halaman 1dari 7

Analisis Relasi Ekonomi-Politik Terrorisme Global

Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra, MA.

Abstract
This paper aims to analyze the political-economy relations regarding global terrorism, especially in
terms of proxy war among regional power and super power countries. Firstly, this paper describes
terrorism generally and theoretically. Secondly, it explains global terrorism situation in Middle-
East (especially: Syria). Thirdly, it analyzes and concludes global terrorism in the context
geopolitics and political-economy that affects the domestic politic policy and regional supremacy
between regional and super power countries in Middle East.
Keywords: Middle-East, Political-Economy, Proxy War, Supremacy, Terrorism.

A. Pembuka
Pada hari Jumat malam, 13 November 2015, Paris berduka. Sedikitnya 127 orang
tewas dalam serangan bersenjata dan bom yang terjadi di kota itu. Serangan yang paling fatal
terjadi di sebuah konser musik setelah sejumlah orang bersenjata menembak kerumunan.
Korban lainnya tewas dalam sejumlah ledakan dekat Stade de France dan penembakan di
restoran di pusat kota. ISIS telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Presiden Hollande juga telah menyebut ISIS sebagai kelompok yang melakukan perang
terhadap Perancis.
Dunia sontak menyatakan berkabung atas tragedi Paris dan menyatakan penolakan
terhadap terorisme. Diskusi tentang terorisme pun kembali mengemuka. Berbagai analisis
telah dikemukan dalam hal ini.
Dalam buku panduan yang diterbitkan United States Institute of Peace, yang berjudul
Teaching Guide on International Terrorism, disebutkan empat definisi terorisme, yaitu:
The calculated use of violence or the threat of violence to inculcate fear; intended
to coerce or to intimidate governments or societies in the pursuit of goals that are
generally political, religious, or ideological. (U.S. Department of Defense)
Terrorism constitutes the illegitimate use of force to achieve a political objective
when innocent people are targeted. (Walter Laqueur)
Terrorism is defined here as the recurrent use or threatened use of politically
motivated and clandestinely organised violence, by a group whose aim is to

1
influence a psychological target in order to make it behave in a way which the group
desires. (C. J. M. Drake)
The unlawful use of force or violence against persons or property to intimidate or
coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance
of political or social objectives. (FBI)
Pada intinya, terorisme adalah penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan politik
dan ideologis. Berbeda dengan pembunuhan biasa, pelaku teror tidak membunuh korban
dengan tujuan personal (karena kebencian atau dendam pribadi, misalnya) melainkan untuk
memunculkan ketakutan di tengah masyarakat di mana kejadian teror itu berlangsung, demi
tercapainya tujuan politik atau ideologis kelompok teror tersebut.
Bom Paris telah dinyatakan sebagai aksi teror yang dilakukan oleh ISIS. Karena itu,
dalam menganalisisnya, kita perlu kembali merunut konflik Suriah, karena ISIS lahir di
tengah konflik negara tersebut.

B. Perkembangan Jihad di Suriah


Pemberontakan di Suriah pada awalnya dianalisis sebagai bagian dari Arab Spring
yang membawa gelombang demokratisasi di negara-negara Arab yang terlalu lama hidup di
bawah rezim yang otoriter dan tidak demokratis. Meskipun awalnya terlihat ditutup-tutupi
oleh media mainstream, banyak di antara pemberontak Suriah yang berjuang dengan
membawa bendera Al Qaida dan melakukan aksi-aksi teror khas Al Qaida. Akhirnya,
deklarasi dari Jabhah Al Nusrah dan beberapa kelompok jihad untuk mendirikan khilafah (20
November 2012) menunjukkan jati diri pemberontak Suriah, yang ternyata perpanjangan
tangan Al Qaida. Sebulan setelah deklarasi itu, AS menyatakan bahwa JN adalah organisasi
teroris yang merupakan cabang Al Qaida Irak (Sulaeman, 2013).
Jones (2013) telah memprediksikan bahwa ada tiga perkembangan di Suriah yang
memiliki implikasi jangka panjang. Pertama, Suriah berkontribusi pada peningkatan
ekstrimisme para alumni jihad Afghanistan pada tahun 1980-an. Seruan-seruan jihadis
Afghanistan saat melawan Soviet, kini bergema kembali di Suriah. Pada Juni 2013, sebagian
ulama di Mesir bahwa mengeluarkan fatwa kewajiban kaum Muslim untuk mendukung jihad
di Suriah. Kedua, bangkitnya ekstrimisme ini membuat perdamaian dan stabilitas di Suriah
sulit untuk diraih kembali, setidaknya dalam beberapa tahun mendatang. Jikapun Assad
tumbang, aktor-aktor sub-state yang mendapatkan bantuan keuangan dan senjata dari pihak-

2
pihak asing akan saling berkompetisi untuk menguasai Suriah. Ketiga, sebagian dari
ekstrimis itu akan memperluas zona perangnya di Timur Tengah, Afrika Utara, dan bahkan
Barat.
Prediksi Jones telah menjadi kenyataan secara mengerikan. Pada 2014, ISIS terbentuk
dan melakukan aksi-aksi teror yang jauh lebih sadis dan brutal dibanding Al Qaida. ISIS
merupakan sempalan dari Al Qaida yang menolak patuh pada pimpinan Al Qaida Irak,
Zarqawi. Mereka merekrut jihadis dan simpatisan dari berbagai negara di dunia, termasuk
negeri-negeri Barat. Bahkan kini gerakan terrorisme itu sudah masuk ke Eropa sedemikian
rupa dan merenggut nyawa warga Eropa.
Relawan asing terbesar ISIS berasal dari Perancis yang terdoktrin Islam radikal atau
menurut klaim sebagian pihakpengungsi dari Timur Tengah yang mendapatkan suaka di
Perancis dan kemudian menyebarkan paham radikalnya di negeri Napoleon itu. Bahkan
otoritas Perancis pun sebenarnya memiliki andil kesalahan dengan membiarkan oknum-
oknum radikal itu bergabung dengan ISIS dan pergi berjihad ke Suriah, karena Perancis
memang berkepentingan dengan penggulingan Presiden Suriah, Bashar Al-Assad. Namun,
hingga kini, Assad tidak jatuh dan kerjasamanya dengan Rusia, Iran, dan Hizbullah justru
berbalik menyudutkan gerakan ISIS. Para relawan itu kemudian memilih pulang kembali ke
Eropa dan menyebarkan sel jaringan teroris di benua tersebut.

C. Relasi Kepentingan Geopolitik Terrorisme di Timur Tengah dan Kesimpulan


Bila kita merujuk pada Teaching Guide on International Terrorism, ada beberapa
faktor yang mendorong suatu kelompok melakukan aksi teror, yaitu psikologis, ideologis,
dan strategis. Faktor psikologis adalah ketika seseorang atau kelompok melakukan aksi teror
semata-mata karena sebab personal berdasarkan kondisi psikologis mereka. Motivasi mereka
tidak lebih dari kebencian atau keinginan untuk berkuasa. Faktor ideologis adalah ketika aksi
teror didasarkan oleh keyakinan, nilai, atau tujuan suatu kelompok. Idelogi ini bisa berupa
agama atau filosofi. Sementara faktor politik adalah ketika aksi teror dimaksudkan sebagai
upaya perlawanan politis atau upaya mencari perhatian pemerintah agar tuntutan-tuntutan
mereka dipenuhi.
Bom Paris 13/11/2015 tentu bisa dipastikan terkait dengan ideologi ISIS yang ingin
mendirikan negara Islam berbasis teologi Wahabisme yang menghalalkan darah orang-orang
di luar kelompok mereka. Namun, penulis ingin mengeksplorasinya lebih jauh dengan

3
menggunakan perspektif ekonomi-politik.
Dalam pandangan akademik geopolitik dan Ekonomi-Politik, kita melihat bahwa
kejadian ledakan bom dan aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini, baik di negara-negara Timur
Tengah, Afrika, maupun Perancis dan Belgia, dilakukan oleh kelompok-kelompok yang
berideologi sama, meskipun namanya berbeda-beda, bisa ISIS, Jabhat Al-Nusra, Ahrar al
Shams, atau Boko Haram. Bila kita merunut lagi aliran dana kelompok-kelompok radikal ini,
kita akan mendapati bahwa kelompok-kelompok itu selalu lahir dari kepentingan proxy war
negara-negara Barat (AS, NATO, Israel) berasaskan kebijakan intervensionis dan gun-boat
diplomacy (diplomasi kekerasan), baik itu untuk membendung pengaruh negara besar lain,
maupun untuk mengganti rezim berkuasa yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Misalnya, kita tahu bahwa Al-Qaeda dan Osama bin Laden besar di Afghanistan
berkat peranan AS pada era 80-an (dan hal ini sudah diakui mantan Menlu AS Hillary
Clinton dan beberapa mantan pejabat AS lainnya). AS secara masif mendanai dan mensuplai
senjata-senjata canggih kepada Al Qaida dan Taliban dengan tujuan menghalau dan
mengalahkan dominasi Uni Sovyet di Asia Selatan dan Tengah saat itu. Begitu pula ISIS,
lahir dari proses yang sama, dan besar berkat bantuan secara tidak langsung dari negara-
negara intervensionis ini.
Tujuannya pun bisa kita baca, yaitu untuk menjatuhkan rezim Bashar Al-Assad yang
selama ini selalu menolak dana dari IMF, WB, dsb. Apalagi, fakta menunjukkan bahwa
upaya penggulingan Assad dimulai tak lama setelah Suriah menandatangani perjanjian
dengan Irak dan Iran untuk membangun pipa gas dari kedua negara itu, melewati Suriah
(Mediterrania), dan terus ke pasar Eropa. Pendukung jalur ini adalah Rusia dan China. Jalur
ini mengancam jalur pipa gas Nabuccoyang didukung Baratyang menyalurkan gas dari
Timur Tengah dan Laut Kaspia, melewati Turki, hingga ke pasar Eropa (Sulaeman, 2013).
Selain itu, faktor Israel juga tidak bisa dilupakan. Rezim Assad tidak pernah mau
berdamai dengan Israel, bahkan memberikan dukungan dan perlindungan kepada musuh
bebuyutan Israel, Hamas; serta bersahabat baik dengan Iran (berserta subordinatnya,
Hezbollah). Faktor Rusia juga penting karena AS berkepentingan menghalau pengaruh Rusia
yang memiliki pelabuhan kapal dan lapangan udara militer di Tartus dan Latakia.
Tipikal pola gerakan ini sebenarnya juga menimpa Libya, dimana organisasi teroris
digunakan oleh negara-negara Barat ini untuk menjatuhkan rezim Qaddafi yang mereka
anggap tidak sejalan lagi dengan agenda mereka.

4
Mungkin, timbul pertanyaan: mengapa Perancis?
Dalam statemennya, Presiden Perancis Francoise Hollande menyebut bahwa Perancis
tengah diperangi oleh ISIS. Ini tentu pernyataan yang ahistroris dan hipokrit mengingat ISIS
justru tumbuh besar berkat kebijakan intervensionis dan pendanaan besar dari Perancis
(bersama Inggris, AS, dan negara-negara Teluk). Karena itu muncul pertanyaan, mengapa
ISIS justru menyerang induk-nya sendiri?
Kelompok ISIS mengklaim bahwa serangan mereka adalah balasan atas keikutsertaan
Perancis dalam pasukan koalisi AS untuk menumpas mereka. Padahal faktanya, serangan
koalisi AS bak macan ompong, sekedar membatasi atau mengontrol (containtment), dan
pencitraan. Itulah sebabnya, meski serangan koalisi sudah terjadi semenjak setahun lalu tidak
ada dampak kehancuran apa-apa bagi ISIS. Bahkan wilayah kekuasaan mereka bertambah
luas ke Idlib, Aleppo, Palmyra, bahkan Mosul di Irak.
Atas dasar ini, ada dua analisis yang bisa dikemukakan, yaitu false flag dan pre-text.
False flag adalah upaya melakukan perang tipuan, yang tujuannya untuk mendesak PBB agar
menyetujui kebijakan no-fly zone di Suriah atau bahkan menyerang langsung negara itu
dengan menggunakan pasukan NATO. Kemungkinan kedua adalah bom Paris menjadi
agenda pre-text atau dalil bagi kebijakan anti-asing yang ingin diberlakukan oleh Hollande.
Skenario pertama (false flag) hingga artikel ini ditulis (Januari 2016), masih belum
terbukti. Mungkin karena Suriah memang bukan Libya yang dengan mudah diserbu oleh
NATO. Di Libya, tidak ada aktor besar lain yang mengawal Qaddafi, sementara di Suriah ada
kekuatan multi-polar lain yang menjaga Assad, yaitu Rusia, Iran, bahkan Tiongkok yang
sudah menempatkan kapal perangnya sejak Juni 2015 di laut Mediterania. Sementara dugaan
kedua (pre-text) telah terbukti dengan ditutupnya setiap perbatasan sehingga imigran asing
tidak bisa masuk lagi. Dengan memanfaatkan ketakutan yang amat besar dari warga Perancis
atas aksi teror, Hollande telah melakukan agenda kelompok kanan yang menolak imigran
asing dan menyudutkan kelompok kiri yang membuka para imigran asing untuk masuk.

5
D. Kesimpulan
Dalam setiap buku hubungan internasional, hampir semua pengamat menjadikan
peristiwa 11 September 2001 sebagai episentrum yang menyebabkan berubahnya konstelasi
global secara drastis, terutama hubungan antara Barat dan Timur (khususnya: Islam).
Dan saya pikir, membuat peristiwa 9/11 sebagai momentum penting diawal abad 21
hanya menggeser isu utama yang berkaitan dengan persaingan ekonomi dan politik dalam
bingkai geografi (geopolitik dan geostrategis) (Harsawaskita: 2007) menuju konflik identitas
(peradaban) (Huntington: 1993).
Sebenarnya ini hanya gaya lama dengan cara baru, yaitu dengan menciptakan konflik
identitas, maka pembenaran bagi penguasaan sumber daya ekonomi akan lebih mudah,
karena menggunakan peradaban sentimen kultural, di mana manusia sebagaimana kritik
Nietzsche: manusia cenderung gila jika sudah berkelompok. Sehingga akan membuat
skenario perampokan kekayaan alam terjustifikasi, seolah-olah ini adalah bagian dari
tindakan keras terhadap peradaban lain (Islam) yang mereka anggap "buruk".
Mengamati fenomena ini harus secara holistik, yaitu juga memandang masalah
ekonomi, tetapi jika kita melihat aktivitas terorisme yang juga terjadi di Eropa, sedangkan
sebagian besar warganya sejahtera dan salah satu figur utama pelaku teroris seperti Osama
bin Laden sendiri memiliki latar belakang keluarga kaya; dengan sendirinya akan membantah
ekonomi sebagai satu-satunya dasar dan penyebab aksi terorisme.
Dalam hubungan internasional, ada banyak motif untuk merangsang kekerasan
langsung, seperti aspek struktural dan kultural. Dan dalam konteks terorisme di Timur
Tengah dan diberbagai belahan bumi lain, maka akan didapati dua variabel yang koheren dan
kohesif, yaitu isu ekonomi-politik dan masalah ideologi.
Kita dapat mengatakan tidak semua Muslim adalah buruk, tapi tidak sedikit umat
muslim yang masih terjebak pada perasaan kebencian dan xenophobia terhadapan identitas
(peradaban) diluar mereka, bahkan kita bisa melihat ini dalam konteks pemilihan gubernur di
Jakarta.
Dan faktor ekonomi hanya akan menjadi dasar pertimbangan utama bagi Eropa yang
percaya dasar struktur masyarakat mereka adalah modal. Tapi, sebagian besar teroris
sekarang adalah Muslim, dengan demikian kita dapat memisahkan mereka menjadi dua aktor
utama, pertama adalah pelaku atau boneka; pelaku/boneka adalah Muslim tulus tapi naif,
yang berpikir perjuangan mereka dalam nama Allah, dan kedua adalah aktor intelektual,

6
seseorang yang benar-benar paham motif di balik tragedi terorisme, kita menyebutnya
sebagai konflik geopolitik.

Referensi:
Jones, Seth G. 2013. Syrias Growing Jihad, Survival: Global Politics and Strategy, 55:4, 53-
72.

Sulaeman, Dina Y. 2013. Prahara Suriah. Jakarta: IIMaN

Teaching Guide on International Terrorism (United States Institute of Peace),


http://www.usip.org/sites/default/files/terrorism.pdf

Anda mungkin juga menyukai