Anda di halaman 1dari 2

Imperialisme Gaya dan Monopoli "Selera"

Oleh Muhammad Dudi Hari Saputra

Mahasiswa S2 UGM, Hubungan Internasional

pemuda itu begitu "biasa", wajah pun "biasa", penampilan "biasa" dan ketika mencoba peruntungan
memasuki tes penyanyi idola dalam sekejap, selera lagunya pun dianggap juri "biasa", terlepas selera juri
pria yang sering terkecoh paras cantik peserta wanita yang dianggapnya lebih "luar biasa" daripada
kualitas suara peserta yang "biasa", tapi saya tak ingin membahas keprofesionalitasan juri yang runtuh
dihadapan paras wanita cantik itu, tapi lebih kepada pria "biasa" yang saya anggap fenomena "luar
biasa".

pria biasa itu menyanyikan sebuah lagu yang biasa-biasa saja, lagu anang "separuh jiwaku pergi", saya
sempat terhenyak ketika ditanya, apa pekerjaanmu: kerja jualan buah, lalu apalagi lagu yang kamu
ketahui: saya taunya itu saja, jawab penjual buah itu.

ini sama halnya membuat saya terhenyak ketika kebanyakan pengamen menyanyikan lagu Iwan Fals,
atau pemuda desa, pemuda pinggiran dan kelas menengah kebawah lebih suka menyanyikan lagu-lagu
Rhoma Irama.

kita bisa saja berkata lirih dan nyinyir: huh, selera rendahan, terlalu biasa, coba kamu tahu nggak
penyanyi luar negeri siapa saja ?

mereka menjawabnya: yah saya tidak tahu mas, lalu respon kita: huh payah kamu, belajar banyak lagi
lagu-lagu barat ya, supaya kualitas suara kamu meningkat.

Stuart Hall didalam buku Culture, Media dan language menganggap objek atau teks-teks kebudayaan
(seperti televisi, film, musik, dsb.) mengandung didalamnya pesan-pesan (encoded message) yang
membentuk wacana bermakna.

adalah makna-makna (decoded meaning) inilah yang mempunyai efek, mempengaruhi, menghibur,
mengarahkan atau mempersuasi, dengan berbagai konsekuensi konseptual, kognitif, emosional,
ideologis atau tingkah laku komplek dibaliknya (Stuart Hall: 1987).

selera musik dan "gaya" yang berkembang dimasyarakat merupakan representasi dari kehidupan
masyarakat itu sendiri, masyarakat biasa berselera pada musik-musik biasa yang bersenandung lirih
tentang cinta, para pejuang-aktifis berselera pada musik Iwan Fals atau Franky Sahilatua yang
menyuarakan kondisi sosial dari lirik-lirik lagu nya, dan lagu-lagu Rhoma Irama merupakan representasi
dari masyarakat pinggiran, masyarakat kelas menengah-bawah.

sehingga meminta masyakarat merubah selera musik mereka, sama saja meminta mereka merubah diri
mereka, pengetahuan mereka dan kehidupan mereka, bagi juri mungkin menganggap Rihanna adalah
Idola, tapi bagi mereka masyarakat pinggiran tak akan pernah mengerti siapa itu Rihanna, jenis musik
apa yang dibawakannya, dan apa makna lirik-lirik lagunya yang berbahasa asing itu.

bagi mereka Rhoma Irama lah idola, tema tentang judi, pemuda-pemudi dan begadang merupakan
representasi kehidupan sehari-sehari mereka, bagi mereka Iwan Fals lah idola, lagu belum ada judul,
ambulan zig-zag, sore tugu pancoran adalah representasi kehidupan mereka yang tertutupi oleh
gemerlapnya kota , keterasingan desa dan tulinya penguasa.

perspektif cultural studies memandang adanya "pemaksaan selera" karena kuatnya pandangan
modernisme yang berupaya menyatukan umat manusia melalui universalisme nilai-nilai dan gaya-gaya
yang diciptakan; namun sekaligus melecehkan, dan bahkan menghancurkan nilai-nilai etnisitas, kelas,
nasionalitas, agama dan ideologi (Marshal Berman: 1982).

pendekatan modernis menganggap gaya sebagai satu semangat zaman (zeitgeist) yang universal, yang
melingkupi segala tempat yang berbeda, kebudayaan yang berbeda dan segala bentuk kehidupan sosial
yang berbeda, wacana ini semacam "imperialisme" dalam gaya (Yasraf Amir Piliang: 2012).

David Harvey menganggap adanya bentuk penyeragaman selera ini tak bisa lepas dari peranan
komersialisasi yang membentuk selera pasar (konsumerisme) yang bertujuan untuk menjadikan musik
sebagai komoditas dagang (komodifikasi), sehingga ada nya penyeragaman ini membentuk monopoli
"selera" agar pihak industri musik selalu mendapatkan keuntungan yang besar.

dan cerdasnya, industri musik selalu pintar mencari celah untuk membuat para "rebel" atau
pemberontak musik ini akhirnya juga tercempelung kedalam godaan musik sebagai barang dagang yang
tentu bermanfaat untuk pendapatan musisi, walau tak sebanyak yang didapat industri musik besar
(David Harvey: 2012)

sehingga, jangan heran jika sang tokoh musisi rakyat akhirnya saat ini hanya sibuk dagang kopi atau
menjadi politisi.

Anda mungkin juga menyukai