Anda di halaman 1dari 20

Penanganan Penyakit Tuberculosis Paru dengan Pendekatan Kedokteran

Keluarga

Lutfi Karimah
102011359
Kampus II Ukrida Fakultas Kedokteran
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Alamat e-mail: lutfi_karimah@yahoo.com

Abstrak

Menurut WHO tahun 2013, prevalensi TB di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India
dan China yaitu hampir 700 ribu kasus, angka kematian masih 27/100 ribu penduduk. Tempat
tinggal sebagian besar penderita TB paru belum memenuhi kriteria rumah sehat baik dari sisi
kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, dan kelembapan. Hampir semua penderita TBC
memiliki pengetahuan yang baik namun berperilaku buruk, seperti tidak menutup mulut saat
batuk. Peran petugas kesehatan (koordinator TB paru) masih terbatas dalam melaksanakan
pengobatan, penyuluhan, dan belum melakukan pencarian kasus baru secara aktif. Dalam
makalah ini akan membahas tentang pengaruh pendidikan terhadap perubahan pengetahuan dan
perilaku dalam pencegahan penularan penyakit TB pada penderita TB.

Kata kunci : peran puskesmas, pendidikan kesehatan, penderita TB

Abstract

According to WHO report in 2013, the prevalence of TB in Indonesia ranks third after India and
China was nearly 700 thousand cases, the mortality rate was 27/100 thousands inhabitants..
Most TB patients have not healthy home, both in recidential density, lighting, ventilation and
humidty. Almost all patients with pulmonary tuberculosis have pretty good knowledge, but some
of them have bad behaviour, which does not cover the mouth when coughing. The role of health
workers (coordinator of pulmonary tuberculosis) was still limited of treatment, counseling, and
did not make an active search of new cases. The conclusion, determinant factors of TB in rural
areas were knowledge, education and house condition.
Pendahuluan

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah.
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosa. Penularan kuman terjadi melalui udara ketika seseorang yang
menderita TBC sedang batuk, bersin, atau membuang dahak sembarangan. Seseorang penderita
TBC akan mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, batuk, produksi sputum
mukopurulen atau disertai darah, Wheezing (mengi), keringat banyak malam hari dan
kedinginan.1

Program pemberantasan dan penanggulangan masalah Tuberkulosis telah dilakukan,


pemerintah telah berupaya keras memenuhi sarana dan prasarana, seperti sarana diagnosa, sarana
pengobatan, dan sarana pengawasan serta pengendalian pengobatan. Sejak tahun 1994 Indonesia
mulai melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, shortcourse).

Riwayat Penyakit

Etiologi

Penyakit TB (Tuberculosis) adalah penyakit infeksius yang menular dimana disebabkan


oleh Mycrobacterium tuberculocis. Mycrobacterium tuberculocis berbentuk batang, berukuran
panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam sehingga
disebut dengan Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan
lipid yang membuat lebih tahan asam sehingga dapat hidup bertahun-tahun.1

Penyebaran Bakteri TBC

Penderita Tuberculosis dengan BTA positif merupakan sumber terjadinya penularan.


Ketika batuk, bersin dan buang dahak sembarangan, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernafasan, maka orang tersebut akan terinfeksi. Selama kuman tersebut masuk dalam tubuh
melalui saluran pernafasan, kuman dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya.1
Gambar 1. Penyebaran Bakteri TBC

Penegakan Diagnosis

Anamnesis

Penemuan pasien TBC adalah melalui cara passive case finding, penemuan ini adalah di
mana penderita TB datang ke Puskesmas dan menunjukkan gejala-gejala yang mendukung
seperti:

Gejala utama: Batuk terus menerus selama 2 hingga 3 minggu


Gejala tambahan: sesak napas, limfadenopati, kelainan rontgen toraks atau gangguan
GIT
Efek sistemik yang timbul pula meliputi demam subfebris selama 1 bulan atau lebih,
keringat malam, anoreksia atau penurunan berat badan.

Setelah mengetahui pasien menderita TBC, dapat dilakukan case finding aktif dengan
kunjungan rumah untuk dilihat apakah adanya penyebaran TBC dirumahnya atau tidak. Selain
itu case finding aktif juga dapat dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan dengan
masyarakat untuk menjelaskan tanda-tanda penyakit dan cara-cara pengobatannya
(penyuluhan).2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu tubuh yang subfebris, badan kurus atau berat
badan menurun. Pemeriksaan fisik sering tidak diperoleh hasil yang memuaskan terutama
apabila sarang penyakit terletak di dalam akan sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat agak luas mungkin ditemukan perkusi yang redup dan auskultasi suara
bronkhial dan suara tambahan ronkhi basah kasar yang nyaring. Dalam penampilan klinis, TB
paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkan adanya kelainan
radiologis thorax pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin positif.

Pemeriksaan Penunjang
Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru. Pada awal penyakit saat lesi masih
menyerupai sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti awan dan dengan
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas tegas.

Gambar 2. Hasil Rontgen Thorax

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada darah, sputum dan tes tuberkulin.
Darah
Pemeriksaan tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada TB paru akan didapatkan leukosit
meninggi, jumlah limfosit masih normal dan LED mulai meningkat.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting untuk menemukan kuman BTA dan menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang telah diberikan. Cara menegakkan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan
pengumpulan spesimen dahak dalam 2 hari kunjungan yang berturutan yaitu dahak
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) yaitu seperti berikut:
S (sewaktu): dahak yang dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Suspek akan membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pada hari kedua pada saat dia pulang.
P (pagi): pada pagi hari kedua dahak dikumpulkan segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan kepada petugas di UPK.
S (sewaktu): pada hari kedua di UPK, dahak dikumpulkan saat menyerahkan
dahak pagi.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila paling tidak ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Penderita TB BTA (batang tahan asam) positif adalah apabila minimal
pada sputum SPS hasilnya 2 dari tiga sedian adalah BTA positif.
Tes tuberkulin
Pemeriksaan ini dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama
pada anak-anak (balita). Tes ini dilakukan dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin secara
intrakutan. Tes ini hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah terinfeksi
kuman TB atau mendapat vaksinasi BCG. Tes tuberkulin (mantaoux) dinyatakan posotif
apabila diperoleh indurasi 10 mm setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan.2

Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan oleh pasien TB dapat bervariasi atau terkadang ditemukan
banyak pasien dengan TB paru tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang biasa ditemukan pada
pasien dengan TB paru adalah diantaranya demam, batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas,
nyeri dada, malaise.
Penyakit TB merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering
ditemukan yang dapat berupa anorexia (tidak nafsu makan), berat badan yang menurun, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur.2
Epidemiologi
Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 583.000 penderita TB paru baru yang muncul
setiap tahunnya dan 140.000 diantaranya meninggal dunia karena penyakit ini setiap tahunnya.
Di propinsi DKI Jakarta pada tahun 2003 angka kesembuhan TB masih di bawah target nasional
(<85%). Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat sekitar 4.021 kasus TB paru (BTA Positif) pada
tahun 2002. Para penderita ini sebenarnya pernah menerima pengobatan dari puskesmas, rumah
sakit, dan pusat pengobatan lain di Jakarta, akan tetapi baru sekitar 71% yang berhasil
disembuhkan.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI
tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian, menurut SKRT tahun 1980 TB
menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992 TB menempati urutan nomor 2 sesudah
penyakit sistem sirkulasi. Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3
dari seluruh kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia. Dari hasil survey prevalensi TB yang dilakukan di 15 propinsi
tahun 1979-1982 menunjukkan berbagai variasi prevalensi tiap-tiap propinsi.2
Cara Penularan

Penularan TB dikenal melalui udara, terutama pada udara tertutup seperti udara dalam
rumah yang pengap dan lembab. Prosesnya tentu tidak secara langsung, menghirup udara
bercampur bakteri TB lalu terinfeksi, lalu menderita TB. Masih banyak variabel yang berperan
dalam timbulnya kejadian TB pada seseorang, meski orang tersebut menghirup udara yang
mengandung kuman.

Sumber penularan adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita TB batuk,
berbicara atau bersin, maka ribuan bakteri TB akan berhamburan bersama droplet nafas
penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB aktif dan luka terbuka pada parunya.
Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
serta patogenesitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang menghirup udara yang
mengandung kuman tersebut. Kuman TB sangat sensitif terhadap cahaya ultra violet. Cahaya
matahari sangat berperan dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi
rumah sangat penting dalam manajemen TB berbasis keluarga atau lingkungan.
Aspek Penularan

- Periode Prepatogenesis

a. Faktor Agent (Mycobacterium Tuberculosis)


Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap
disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang
kering untuk jangka waktu yang lama. Pada Host, daya infeksi dan
kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi.
Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan
kondisi Host. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia yang
terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak
langsung.
b. Faktor Lingkungan
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian
yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya
pun berpola tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-
ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang
mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan
dan tekanan ekonomi serta tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang
TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemiologi
penyakit ini.
c. Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3
puncak kejadian dan kematian :
- Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
- Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan
pada wanita
- Puncak sedang pada usia lanjut.
Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam
infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi,
kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku
sebagai mekanisme pertahanan umum juga penting. Imunitas spesifik
dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun
sulit untuk dievaluasi.
- Periode Patogenesis (Interaksi Host-Agent)
Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi dan
pencernaan Host. Basil TB yang masuk ke dalam paru melalui bronkhus secara langsung
dan pada manusia yang pertama kali dimasuki disebut primary infection. Infeksi pertama
(primer) terjadi ketika seseorang pertama kali dimasuki basil atau kuman TB umumnya
tidak terlihat gejalanya. Dan sebagian besar orang, berhasil menahan serangan kuman
tersebut dengan cara melakukan isolasi dengan cara dimakan macrophages, dan
dikumpulkan pada kelenjar regional disekitar hilus paru. Infeksi dimulai saat kuman TB
berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang menyebabkan
peradangan di dalam paru. Oleh sebab itu, kemudian disebut sebagai kompleks primer.
Pada saat terjadi infeksi, kuman masuk hingga pembentukan kompleks primer sekitar 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat diketahui dengan reaksi positif pada tes tuberkulin.
Biasanya hal tersebut terjadi pada masa kanak-kanak dibawah umur 1 tahun.
Apabila gagal melakukan containment kuman, maka kuman TB masuk melalui aliran
darah dan berkembang, maka timbulah peristiwa klinik yang disebut TB milier. Bahkan
kuman bisa dibawa aliran darah ke selaput otak yang disebut meningitis radang selaput
otak. Sebagian besar dari kuman TB yang beredar dan masuk ke dalam paru orang-orang
yang tertular mengalami fase atau menjadi dormant dan muncul bila kondisi tubuh
mengalami penurunan kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS. TB secara
teoritis menyerang berbagai organ, namun terutama menyerang organ paru. Sedangkan
pada paru-paru tempat yang paling disukai atau tempat yang sering terkena
adalah apical pasterior. Hal ini disebabkan karena Mycrobacterium tubercolocis bersifat
aerobik, sedangkan pada daerah tersebut adalah bagian paru-paru yang banyak memiliki
oksigen.3
Gambar 3. Penularan Kuman TBC

Pendekatan Kedokter keluarga

Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan primer
yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koordinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan diberikan
kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.4,5

Sistem pelayanan dokter keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari Sistem


Kesehatan Nasional (SKN) yang perlu diatur dalam Undang-undang. Disinilah sesungguhnya
tumbuh kembangnya "the five stars doctors", sebagai "the agent of change", yang
berkemampuan dan berfungsi sebagai "care provider" (sebagai bagian dari kelurga, sebagai
pelaksana pealyanan kedokteran komprehensif, terpadu, berkesinambungan, pada pelayanan
dokter tingkat pertama; sebagai pelapis menuju ke pelayanan kedokteran tingkat kedua), sebagai
"decicion maker" (sebagai penentu pada setiap tindakan kedokteran, dengan memperhatikan
semua kondisi yang ikut mempengaruhinya), sebagai "communicator" (sebagai pendidik,
penyuluh, teman, mediator dan sebagai penasehat keluarga dalam banyak hal dan masalah: gizi,
narkoba, keluarga berencana, seks, HIV, AIDS, sters, kebersihan, pola hidup sehat, olah raga,
olah jiwa, kesehatan lingkungan), sebagai "community leader" (membantu mengambil keputusan
dalan ikhwal kemasyarakatan, utamanya kesehatan dan kedokteran keluarga, sebagai pemantau,
penelaah ikhwal kesehatan dan kedokteran keluarga), dan sebagai "manager" (berkemampuan
untuk berkolaborasi dalam kemitraan, dalam ikhwal penanganan kesehatan dan kedokteran
keluarga).4,5

Five star doctor merupakan profil dokter ideal yang memiliki kemampuan untuk
melakukan serangkaian pelayanan kesehatan untuk memenuhi kualitas, kebutuhan, efektifitas
biaya, dan persamaan dalam dunia kesehatan. WHO menerapkan batasan bahwa dokter masa
depan wajib memenuhi kriteria lima kualitas seorang dokter, yaitu:

1. Care provider
Dalam memberikan pelayanan medis, seorang dokter hendaknya:
a. Memperlakukan pasien secara holistic
b. Memandang Individu sebagai bagian integral dari keluarga dan komunitas.
c. Memberikan pelayanan yang bermutu, menyeluruh, berkelanjutan dan
manusiawi.
d. Dilandasi hubungan jangka panjang dan saling percaya.
2. Decision maker
Seorang dokter diharapkan memiliki:
a. Kemampuan memilih teknologi
b. Penerapan teknologi penunjang secara etik
c. Cost Effectiveness
3. Communicator
Seorang dokter, dimanapun ia berada dan bertugas, hendaknya:
a. Mampu mempromosikan gaya hidup sehat.
b. Mampu memberikan penjelasan dan edukasi yang efektif.
c. Mampu memberdayakan individu dan kelompok untuk dapat tetap sehat.
4. Community leader
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang dokter hendaknya:
a. Dapat menempatkan dirinya sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.
b. Mampu menemukan kebutuhan kesehatan bersama individu serta masyarakat.
c. Mampu melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
5. Manager
Dalam hal manajerial, seorang dokter hendaknya:
a. Mampu bekerja sama secara harmonis dengan individu dan organisasi di luar
dan di dalam lingkup pelayanan kesehatan, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan pasien dan komunitas.
b. Mampu memanfaatkan data-data kesehatan secara tepat dan berhasil guna.
Prinsip Dokter Keluarga

a) Dokter sebagai kontak pertama (fist contact / primary care)


Dokter keluarga adalah pemberi layanan kesehatan (provider) yang pertama kali
ditemui pasien atau klien dalam masalah kesehatannya
b) Layanan bersifat pribadi (personal care)
Dokter keluarga memberikan layanan yang bersifat pribadi dengan
mempertimbangkan pasien sebagai bagian dari keluarga
c) Pelayanan paripurna (comprehensive)
Dokter keluarga memberikan pelayanan menyeluruh yang memadukan promosi
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi dengan aspek fisik,
psikologis dan social budaya (memberikan promotif dan pencegahan terhadap
penularan kasus TB, juga mengobati/memperbaiki keadaaan klinis pasien dan
mempertimbangkan kepatuhan pasien dalam meminum obat (OAT) karena pengobatan
OAT membutuhkan waktu yang lama, yaitu 6 bulan)
d) Pelayanan berkesinambungan (continuous care)
Pelayanan dokter keluarga berpusat pada orangnya (patient centered) bukan pada
penyakitnya (disease centered)
e) Mengutamakan pencegahan (prevention first)
Karena berangkat dari paradigma sehat, maka upaya pencegahan dokter keluarga
dilakukan sedini mungkin
f) Koordinasi
Dalam upaya mengenai masalah pasien, dokter keluarga perlu berkonsultasi
dengan disiplin ilmu lainnya
g) Kolaborasi
Bila pasien membutuhkan pelayanan yang berada diluar kompetensinya, dokter
keluarga bekerja sama dan mendelegasikan pengolaan pasiennya pada pihak yang
berkompeten
h) Family oriented
Dalam mengatasi masalah, dokter keluarga harus mempertimbangkan konteks
keluarga dampak kondisi pasien terhadap keluarga dan sebaliknya (menggali lebih
dalam tentang keluarga pasien, karena TB dapat menular dengan mudah. Dengan
demikian, anggota keluarga yang lain dapat terhindar dari TB. Selain itu, juga menggali
lebih dalam mengenai masalah kesehatan lainnya seperti status gizi atau penyakit
lainnya)
i) Community oriented
Dokter keluarga dalam mengatasi masalah pasien haruslah tetap memperhatikan
dampak pasien terhadap komunitas dan sebaliknya (memperhatikan dampak penyakit
pasien (TB), karena TB dapat menular dengan mudah, dengan demikian anggota
masyarakat lainnya dapat terhindar dari TB. Hal ini dapat dilakukan melalui usaha
promotif dan preventive, serta diagnosis dini jika ada warga yang terkena tanda tanda
TB).6

Program Pemberantasan

Program penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada strategi DOTS yang
direkomendasikan oleh WHO, dan terbukti dapat memutus rantai penularan TBC. Hal yang
paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat. Pasien TB biasanya telah
menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan, sehingga merasa sembuh dan
tidak menlanjutkan pengoabatan. Nilai sossial dan budaya serta pengertian yang kurang
mengenai TB dari pasien serta keluarnya tidak menunjang keteraturan pasien untuk menelan
obat. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan DOTS. 7,8

Terdapat lima komponen utama strategi DOTS.

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana


2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA dalam dahak.
3. Terjaminnya persediaan obat antituberkulosis (OAT).
4. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pednek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan mengevaluasi program
penanggulangan TBC.

Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa, khususnya pada butit
dua dan lima. Butir dua menyatakan diagnosis TB dengan pmeriksaan sputum secar
miskroskopis, yang pada anak sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya,untuk diagnosis TB anak
digunakan uji tuberkulin. Butir lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan
dan pelaporan gdibuat untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada. Oleh sebab itu,
diperlukan format khusus untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah yang saat ini sedang dalam
proses penyusunan.

1. Tujuan
Tujuan umum :
Memutus rantai penularan sehingga penyakit tuberculosis diharapkan bukan lagi menjadi
masalah kesehatan.
Tujuan khusus:
a. Cakupan penemuan kasus BTA(+) sebesar 70%
b. Kesembuhan minimal 85%
c. Mencegah multidrug resistance (MDR).
2. Sasaran
Masyarakat tersangka TBC berusia >15 tahun.
3. Kegiatan dan langkah-langkah
a. Penemuan penderita
Penemuan penderita tersangka tuberculosis paru dilaksanakan secara aktif (Active
Case Finding/ACF) dan pasif (Passive Case Finding/PCF):
1. Aktif
Mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan tentang
tanda-tanda penyakit dan cara pengobatannya. Kader kesehatan/posyandu,
kader Dasa Wisma dan kader lainnya diharapkan dapat membantu
menemukan penderita.
Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas Puskesmas (perkesmas)
terutama dengan adanya Bidan Desa diharapkan penemuan penderita
secara aktif dapat ditingkatkan.7,9
2. Pasif
Penderita yang secara sukarela berkunjung ke Puskesmas,Rs dan BP4(balai
pemberantasan penyakit paru-paru). Kriteria tersangka penderita : telah berumur
lebih dari 15 tahun dengna salah satu gejala sebagai berikut :
Batuk lebih dari 4 minggu
Batuk berdarah
Nyeri dada
Sesak nafas
b. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menegakkan diagnosa TB paru Laboratorium Puskesmas diharapkan
memeriksan sputum(dahak) secara mikroskopos.
Pengambilan Sputum dilakukan dengan 3 cara :
1. Over night Sputum : dahak dikumpulkan sepanjang malam
2. Early morning sputum : pengambilan dahak pada pagi hari sebelum : berkumur,
minum, makan merokok dll.
3. Spot sputum : pengambilan dahak sewaktu terjadi batuk di Puskesmas.

Pemeriksaan sputum dilakukan 3 kali untuk setiap tersangka dan setiap dahak yang
diambil dibuat 3 sediaan. Pada pemeriksaan mikroskop setiap sedian harus diperiksa
100 lapangan pandangan. Penderita TB paru menular apabila dalam 3 kali
pemeriksaan dahak, paling sedikit memberikan 1 kali hasil pemeriksaan BTA+.
Penderita inilah yang akan diberikan pengobatan melalui program P2TB paru.9

c. Pengobatan penderita (case holding)


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
1. Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB
BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.7-9

Pencegahan TB paru

Agar orang yang sehat tidak tertular penyakit TBC, ada dua jalan, yaitu tindakan dari
orang yang sehat dan tindakan dari penderita TBC itu sendiri. Berkaitan dengan perjalanan
alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari TBC, maka tahapan pencegahan yang
dapat dilakukan antara lain :

Usahakanlah penderita TBC tidak membuang ludah, batuk dan bersin di sembarang
tempat. Ada baiknya dilakukan di tempat yang terkena sinar matahari langsung. Jadi, seperti
yang dikatakan di atas, kamar penderita TBC harus mendapatkan sinar matahari langsung. Sinar
matahari akan membunuh bakteri-bakteri TBC yang tersebar.

1. Pencegahan Primer

Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun
hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC yang meliputi :

Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada daerah
dengan angka kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan nilai
proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan lingkungan. Imunisasi
BCG diberikan pada usia sebelum 2bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk
anak 0,10 ml , diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG
diberikan pada usia >3 bulan , sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
Insiden TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang
digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin,dan intensitas pemaparan
infeksi.imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, pada
anak. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa Negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak Negara lain termasuk Indonesia. Efek samping yang sering
ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis dengan insiden 0,1-1%
Chemoprophylaxis. Terdapat dua macam kemoprofilaksis yaitu kemoprofilaksis prier dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadi
infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi
menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg
dengan dosis tunggal. Diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutam
dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (tuberkuluin negatif). Obat diberikan
selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin
ulang. Jika tetap negative, profilkasis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi
tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Kemoprofilaksis sekunder
diberikan pada anak yang telah terinfeksi , tetapi belum sakit, ditandai dengan uji
tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal.
Ada baiknya bagi seorang yang sehat menghindari kontak bicara pada jarak yang dekat
dengan penderita TBC. Atau Anda bisa menggunakan masker, namun hal ini masih tetap
rentan. Bila penderita TBC batuk atau bersin, sebaiknya orang yang sehat menutup
mulut.
Jemur tempat tidur penderita TBC di panas matahari langsung, ini untuk menghindari
hidupnya bakteri di tempat tidur tersebut. Pada bayi, jangan pernah melewatkan
imunisasi BCG, ini penting untuk mencegah dari terserangnya penyakit TBC di
kemudian hari.
Dari semua hal-hal diatas, daya tahan tubuh orang yang sehat sangat berperan dalam
mencegah penularan TBC. yang harus dilakukan untuk memiliki daya tahan tubuh yang
kuat adalah adalah rajin berolahraga, konsumsi cukup makanan yang seimbang, terapkan
pola hidup sehat seperti tidur yang cukup dan tidak merokok .7-9
2. Pencegahan Sekunder

Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan. Selain itu, pengetahuan
tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling
efektif.

Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan
imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan dengan
membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi
epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap
epidemi TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus
dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis.7,8

3. Pencegahan Tersier

Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan


diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis,
rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi
pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan
penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan
perlunya rehabilitasi.

Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan
pengetahuan tentang TBC, yaitu dengan cara perkembangan media, metode solusi problem
keresistenan obat, perkembangan obat Bakterisidal baru, kesempurnaan perlindungan dan
efektifitas vaksin, pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel, studi
lain yang intensif, dan perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang
terkontrol.7,8

Promosi Kesehatan
Promosi Kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri, sertamengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.

Strategi Promosi Pengendalian TB, adalah Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
(AKMS). Mobilisasi Sosial sebagai ujung tombak, yang didukung oleh Komunikasi dan
Advokasi. Masing-masing strategi harus diintegrasikan semangat dan dukungan kemitraan
dengan berbagai stakeholder. Kesemuanya diarahkan agar masyarakat mampu mempraktikkan
perilaku pencegahan dan pengobatan TB.

1. Advokasi, yakni upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari seluruh pemangku kebijakan.
Advokasi diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung upaya
pengendalian TB. Kebijakan yang dimaksud disini dapat mencakup peraturan
perundang-undangan di tingkat nasional maupun kebijakan daerah seperti Peraturan
Daerah (PERDA), Surat Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan
lain sebagainya. Strategi advokasi sekaligus menjawab isu strategis tentang kurangnya
dukungan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait di daerah dalam
Pengendalian TB.
2. Komunikasi, merupakan upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong masyarakat dan petugas kesehatan agar bersedia bersama-sama
menanggulangi penularan TB. Lingkungan sosial yang mendukung dapat diartikan
sebagai :
a. Adanya dukungan positif dari masyarakat terhadap persepsi bahwa TB bukan
penyakit keturunan atau kena guna-guna.
b. Adanya dukungan keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat bagi pasien TB agar
berobat sampai tuntas.
c. Adanya dukungan positif masyarakat terhadap perilaku pencegahan penularan TB.
d. Adanya kampanye STOP TB.
Strategi komunikasi sekaligus menjawab isu strategis tentang kurangnya
pemahaman masyarakat dalam pencegahan dan pencarian pengobatan TB, kurangnya
kerjasama antar lintas program, sektor serta mitra terkait dalam Pengendalian TB dan
kurangnya akses dan informasi bagi masyarakat tentang TB.
3. Mobilisasi Sosial, adalah proses pemberian informasi secara terus menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran,
agar memiliki pengetahuan, sikap dan mempraktikkan perilaku yang diharapkan.
Mobilisasi Sosial juga merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk
menumbuhkan kesadaran, kemauan, kemampuan masyarakat dalam pengendalian TB.
Melalui kegiatan ini, masyarakat diharapkan ekspansi dan akselarasi DOTS terwujud.
Sasaran utama dari pemberdayaan dalam konteks Pengendalian TB adalah pasien TB
dan keluarga. Dalam mobilisasi sosial diperlukan kemitraan untuk menjalin jejaring
kerja serta kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjalankan program yang
terintegrasi dan koordinatif dalam setiap komponen program yang ditentukan melalui
Stop TB Partnership.
Strategi mobilisasi sosial untuk menjawab isu strategis tentang kurangnya
pemahaman masyarakat dalam pencegahan dan pencarian pengobatan TB, kurangnya
kerjasama antar lintas program, sektor serta mitra terkait dalam Pengendalian TB serta
kurangnya akses dan informasi bagi masyarakat tentang TB.10
Daftar Pustaka

1. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas; 2005.P.33-2.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi
5. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.P.2230-9.
3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2006.P.234-8.
4. Adi Heru S. Yasmin Asih. KADER kesehatan masyarakat / alih bahasa. Jakarta : EGC,
1995. hal 56
5. Budiman Chandra. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas / penulis, Budiman
Chandra ; editor penyelaras, Husny Muttaqin, Windriya Kerta Nirmala. Jakarta : EGC,
2009.
6. Soetono, Sadikin, & Zanilda. Membangun praktek dokter keluarga mandiri. Jakarta:
Pengurus Besar IDI; 2006.P.87-92.
7. Widoyono.Penyakit Tropis,Epidemiologi,Penularan,Pencegahan&Pemberantasan.
Jakarta: Penerbit Erlangga;2008.h.1-21.
8. Rahajoe N Nastiti,Basir Darfioes, MS Makmuri, Kartasasmita CB.Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak.ed 2.Jakarta:UKK Respirologi PP IDAI;2007.3-5,25-41,53-7,63-5.
9. Waloejono K .Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja di Puskesmas.Magelang:Balai
Pelatihan Kesehatan;2000.120-3.
10. Rencana Operasional Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Tuberkulosis oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Promosi Kesehatan. Jakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai