Keluarga
Lutfi Karimah
102011359
Kampus II Ukrida Fakultas Kedokteran
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Alamat e-mail: lutfi_karimah@yahoo.com
Abstrak
Menurut WHO tahun 2013, prevalensi TB di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India
dan China yaitu hampir 700 ribu kasus, angka kematian masih 27/100 ribu penduduk. Tempat
tinggal sebagian besar penderita TB paru belum memenuhi kriteria rumah sehat baik dari sisi
kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, dan kelembapan. Hampir semua penderita TBC
memiliki pengetahuan yang baik namun berperilaku buruk, seperti tidak menutup mulut saat
batuk. Peran petugas kesehatan (koordinator TB paru) masih terbatas dalam melaksanakan
pengobatan, penyuluhan, dan belum melakukan pencarian kasus baru secara aktif. Dalam
makalah ini akan membahas tentang pengaruh pendidikan terhadap perubahan pengetahuan dan
perilaku dalam pencegahan penularan penyakit TB pada penderita TB.
Abstract
According to WHO report in 2013, the prevalence of TB in Indonesia ranks third after India and
China was nearly 700 thousand cases, the mortality rate was 27/100 thousands inhabitants..
Most TB patients have not healthy home, both in recidential density, lighting, ventilation and
humidty. Almost all patients with pulmonary tuberculosis have pretty good knowledge, but some
of them have bad behaviour, which does not cover the mouth when coughing. The role of health
workers (coordinator of pulmonary tuberculosis) was still limited of treatment, counseling, and
did not make an active search of new cases. The conclusion, determinant factors of TB in rural
areas were knowledge, education and house condition.
Pendahuluan
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah.
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosa. Penularan kuman terjadi melalui udara ketika seseorang yang
menderita TBC sedang batuk, bersin, atau membuang dahak sembarangan. Seseorang penderita
TBC akan mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, batuk, produksi sputum
mukopurulen atau disertai darah, Wheezing (mengi), keringat banyak malam hari dan
kedinginan.1
Riwayat Penyakit
Etiologi
Penegakan Diagnosis
Anamnesis
Penemuan pasien TBC adalah melalui cara passive case finding, penemuan ini adalah di
mana penderita TB datang ke Puskesmas dan menunjukkan gejala-gejala yang mendukung
seperti:
Setelah mengetahui pasien menderita TBC, dapat dilakukan case finding aktif dengan
kunjungan rumah untuk dilihat apakah adanya penyebaran TBC dirumahnya atau tidak. Selain
itu case finding aktif juga dapat dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan dengan
masyarakat untuk menjelaskan tanda-tanda penyakit dan cara-cara pengobatannya
(penyuluhan).2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu tubuh yang subfebris, badan kurus atau berat
badan menurun. Pemeriksaan fisik sering tidak diperoleh hasil yang memuaskan terutama
apabila sarang penyakit terletak di dalam akan sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat agak luas mungkin ditemukan perkusi yang redup dan auskultasi suara
bronkhial dan suara tambahan ronkhi basah kasar yang nyaring. Dalam penampilan klinis, TB
paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkan adanya kelainan
radiologis thorax pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin positif.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru. Pada awal penyakit saat lesi masih
menyerupai sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti awan dan dengan
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas tegas.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada darah, sputum dan tes tuberkulin.
Darah
Pemeriksaan tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada TB paru akan didapatkan leukosit
meninggi, jumlah limfosit masih normal dan LED mulai meningkat.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting untuk menemukan kuman BTA dan menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang telah diberikan. Cara menegakkan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan
pengumpulan spesimen dahak dalam 2 hari kunjungan yang berturutan yaitu dahak
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) yaitu seperti berikut:
S (sewaktu): dahak yang dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Suspek akan membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pada hari kedua pada saat dia pulang.
P (pagi): pada pagi hari kedua dahak dikumpulkan segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan kepada petugas di UPK.
S (sewaktu): pada hari kedua di UPK, dahak dikumpulkan saat menyerahkan
dahak pagi.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila paling tidak ditemukan 3 batang kuman BTA
pada satu sediaan. Penderita TB BTA (batang tahan asam) positif adalah apabila minimal
pada sputum SPS hasilnya 2 dari tiga sedian adalah BTA positif.
Tes tuberkulin
Pemeriksaan ini dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama
pada anak-anak (balita). Tes ini dilakukan dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin secara
intrakutan. Tes ini hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah terinfeksi
kuman TB atau mendapat vaksinasi BCG. Tes tuberkulin (mantaoux) dinyatakan posotif
apabila diperoleh indurasi 10 mm setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan.2
Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan oleh pasien TB dapat bervariasi atau terkadang ditemukan
banyak pasien dengan TB paru tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang biasa ditemukan pada
pasien dengan TB paru adalah diantaranya demam, batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas,
nyeri dada, malaise.
Penyakit TB merupakan penyakit radang yang menahun sehingga gejala malaise sering
ditemukan yang dapat berupa anorexia (tidak nafsu makan), berat badan yang menurun, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur.2
Epidemiologi
Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 583.000 penderita TB paru baru yang muncul
setiap tahunnya dan 140.000 diantaranya meninggal dunia karena penyakit ini setiap tahunnya.
Di propinsi DKI Jakarta pada tahun 2003 angka kesembuhan TB masih di bawah target nasional
(<85%). Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat sekitar 4.021 kasus TB paru (BTA Positif) pada
tahun 2002. Para penderita ini sebenarnya pernah menerima pengobatan dari puskesmas, rumah
sakit, dan pusat pengobatan lain di Jakarta, akan tetapi baru sekitar 71% yang berhasil
disembuhkan.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI
tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian, menurut SKRT tahun 1980 TB
menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992 TB menempati urutan nomor 2 sesudah
penyakit sistem sirkulasi. Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3
dari seluruh kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia. Dari hasil survey prevalensi TB yang dilakukan di 15 propinsi
tahun 1979-1982 menunjukkan berbagai variasi prevalensi tiap-tiap propinsi.2
Cara Penularan
Penularan TB dikenal melalui udara, terutama pada udara tertutup seperti udara dalam
rumah yang pengap dan lembab. Prosesnya tentu tidak secara langsung, menghirup udara
bercampur bakteri TB lalu terinfeksi, lalu menderita TB. Masih banyak variabel yang berperan
dalam timbulnya kejadian TB pada seseorang, meski orang tersebut menghirup udara yang
mengandung kuman.
Sumber penularan adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita TB batuk,
berbicara atau bersin, maka ribuan bakteri TB akan berhamburan bersama droplet nafas
penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB aktif dan luka terbuka pada parunya.
Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
serta patogenesitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang menghirup udara yang
mengandung kuman tersebut. Kuman TB sangat sensitif terhadap cahaya ultra violet. Cahaya
matahari sangat berperan dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi
rumah sangat penting dalam manajemen TB berbasis keluarga atau lingkungan.
Aspek Penularan
- Periode Prepatogenesis
Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan primer
yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koordinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan diberikan
kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.4,5
Five star doctor merupakan profil dokter ideal yang memiliki kemampuan untuk
melakukan serangkaian pelayanan kesehatan untuk memenuhi kualitas, kebutuhan, efektifitas
biaya, dan persamaan dalam dunia kesehatan. WHO menerapkan batasan bahwa dokter masa
depan wajib memenuhi kriteria lima kualitas seorang dokter, yaitu:
1. Care provider
Dalam memberikan pelayanan medis, seorang dokter hendaknya:
a. Memperlakukan pasien secara holistic
b. Memandang Individu sebagai bagian integral dari keluarga dan komunitas.
c. Memberikan pelayanan yang bermutu, menyeluruh, berkelanjutan dan
manusiawi.
d. Dilandasi hubungan jangka panjang dan saling percaya.
2. Decision maker
Seorang dokter diharapkan memiliki:
a. Kemampuan memilih teknologi
b. Penerapan teknologi penunjang secara etik
c. Cost Effectiveness
3. Communicator
Seorang dokter, dimanapun ia berada dan bertugas, hendaknya:
a. Mampu mempromosikan gaya hidup sehat.
b. Mampu memberikan penjelasan dan edukasi yang efektif.
c. Mampu memberdayakan individu dan kelompok untuk dapat tetap sehat.
4. Community leader
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang dokter hendaknya:
a. Dapat menempatkan dirinya sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat.
b. Mampu menemukan kebutuhan kesehatan bersama individu serta masyarakat.
c. Mampu melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
5. Manager
Dalam hal manajerial, seorang dokter hendaknya:
a. Mampu bekerja sama secara harmonis dengan individu dan organisasi di luar
dan di dalam lingkup pelayanan kesehatan, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan pasien dan komunitas.
b. Mampu memanfaatkan data-data kesehatan secara tepat dan berhasil guna.
Prinsip Dokter Keluarga
Program Pemberantasan
Program penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada strategi DOTS yang
direkomendasikan oleh WHO, dan terbukti dapat memutus rantai penularan TBC. Hal yang
paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat. Pasien TB biasanya telah
menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan, sehingga merasa sembuh dan
tidak menlanjutkan pengoabatan. Nilai sossial dan budaya serta pengertian yang kurang
mengenai TB dari pasien serta keluarnya tidak menunjang keteraturan pasien untuk menelan
obat. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan DOTS. 7,8
Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa, khususnya pada butit
dua dan lima. Butir dua menyatakan diagnosis TB dengan pmeriksaan sputum secar
miskroskopis, yang pada anak sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya,untuk diagnosis TB anak
digunakan uji tuberkulin. Butir lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan
dan pelaporan gdibuat untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada. Oleh sebab itu,
diperlukan format khusus untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah yang saat ini sedang dalam
proses penyusunan.
1. Tujuan
Tujuan umum :
Memutus rantai penularan sehingga penyakit tuberculosis diharapkan bukan lagi menjadi
masalah kesehatan.
Tujuan khusus:
a. Cakupan penemuan kasus BTA(+) sebesar 70%
b. Kesembuhan minimal 85%
c. Mencegah multidrug resistance (MDR).
2. Sasaran
Masyarakat tersangka TBC berusia >15 tahun.
3. Kegiatan dan langkah-langkah
a. Penemuan penderita
Penemuan penderita tersangka tuberculosis paru dilaksanakan secara aktif (Active
Case Finding/ACF) dan pasif (Passive Case Finding/PCF):
1. Aktif
Mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan tentang
tanda-tanda penyakit dan cara pengobatannya. Kader kesehatan/posyandu,
kader Dasa Wisma dan kader lainnya diharapkan dapat membantu
menemukan penderita.
Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas Puskesmas (perkesmas)
terutama dengan adanya Bidan Desa diharapkan penemuan penderita
secara aktif dapat ditingkatkan.7,9
2. Pasif
Penderita yang secara sukarela berkunjung ke Puskesmas,Rs dan BP4(balai
pemberantasan penyakit paru-paru). Kriteria tersangka penderita : telah berumur
lebih dari 15 tahun dengna salah satu gejala sebagai berikut :
Batuk lebih dari 4 minggu
Batuk berdarah
Nyeri dada
Sesak nafas
b. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menegakkan diagnosa TB paru Laboratorium Puskesmas diharapkan
memeriksan sputum(dahak) secara mikroskopos.
Pengambilan Sputum dilakukan dengan 3 cara :
1. Over night Sputum : dahak dikumpulkan sepanjang malam
2. Early morning sputum : pengambilan dahak pada pagi hari sebelum : berkumur,
minum, makan merokok dll.
3. Spot sputum : pengambilan dahak sewaktu terjadi batuk di Puskesmas.
Pemeriksaan sputum dilakukan 3 kali untuk setiap tersangka dan setiap dahak yang
diambil dibuat 3 sediaan. Pada pemeriksaan mikroskop setiap sedian harus diperiksa
100 lapangan pandangan. Penderita TB paru menular apabila dalam 3 kali
pemeriksaan dahak, paling sedikit memberikan 1 kali hasil pemeriksaan BTA+.
Penderita inilah yang akan diberikan pengobatan melalui program P2TB paru.9
Pencegahan TB paru
Agar orang yang sehat tidak tertular penyakit TBC, ada dua jalan, yaitu tindakan dari
orang yang sehat dan tindakan dari penderita TBC itu sendiri. Berkaitan dengan perjalanan
alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari TBC, maka tahapan pencegahan yang
dapat dilakukan antara lain :
Usahakanlah penderita TBC tidak membuang ludah, batuk dan bersin di sembarang
tempat. Ada baiknya dilakukan di tempat yang terkena sinar matahari langsung. Jadi, seperti
yang dikatakan di atas, kamar penderita TBC harus mendapatkan sinar matahari langsung. Sinar
matahari akan membunuh bakteri-bakteri TBC yang tersebar.
1. Pencegahan Primer
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun
hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC yang meliputi :
Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada daerah
dengan angka kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan nilai
proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan lingkungan. Imunisasi
BCG diberikan pada usia sebelum 2bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk
anak 0,10 ml , diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG
diberikan pada usia >3 bulan , sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
Insiden TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang
digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin,dan intensitas pemaparan
infeksi.imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, pada
anak. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa Negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak Negara lain termasuk Indonesia. Efek samping yang sering
ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis dengan insiden 0,1-1%
Chemoprophylaxis. Terdapat dua macam kemoprofilaksis yaitu kemoprofilaksis prier dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadi
infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi
menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg
dengan dosis tunggal. Diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutam
dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (tuberkuluin negatif). Obat diberikan
selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin
ulang. Jika tetap negative, profilkasis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi
tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Kemoprofilaksis sekunder
diberikan pada anak yang telah terinfeksi , tetapi belum sakit, ditandai dengan uji
tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal.
Ada baiknya bagi seorang yang sehat menghindari kontak bicara pada jarak yang dekat
dengan penderita TBC. Atau Anda bisa menggunakan masker, namun hal ini masih tetap
rentan. Bila penderita TBC batuk atau bersin, sebaiknya orang yang sehat menutup
mulut.
Jemur tempat tidur penderita TBC di panas matahari langsung, ini untuk menghindari
hidupnya bakteri di tempat tidur tersebut. Pada bayi, jangan pernah melewatkan
imunisasi BCG, ini penting untuk mencegah dari terserangnya penyakit TBC di
kemudian hari.
Dari semua hal-hal diatas, daya tahan tubuh orang yang sehat sangat berperan dalam
mencegah penularan TBC. yang harus dilakukan untuk memiliki daya tahan tubuh yang
kuat adalah adalah rajin berolahraga, konsumsi cukup makanan yang seimbang, terapkan
pola hidup sehat seperti tidur yang cukup dan tidak merokok .7-9
2. Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan. Selain itu, pengetahuan
tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling
efektif.
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan
imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan dengan
membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi
epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap
epidemi TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi kasus baru harus
dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis.7,8
3. Pencegahan Tersier
Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan
pengetahuan tentang TBC, yaitu dengan cara perkembangan media, metode solusi problem
keresistenan obat, perkembangan obat Bakterisidal baru, kesempurnaan perlindungan dan
efektifitas vaksin, pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel, studi
lain yang intensif, dan perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC yang
terkontrol.7,8
Promosi Kesehatan
Promosi Kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri, sertamengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Strategi Promosi Pengendalian TB, adalah Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
(AKMS). Mobilisasi Sosial sebagai ujung tombak, yang didukung oleh Komunikasi dan
Advokasi. Masing-masing strategi harus diintegrasikan semangat dan dukungan kemitraan
dengan berbagai stakeholder. Kesemuanya diarahkan agar masyarakat mampu mempraktikkan
perilaku pencegahan dan pengobatan TB.
1. Advokasi, yakni upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari seluruh pemangku kebijakan.
Advokasi diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung upaya
pengendalian TB. Kebijakan yang dimaksud disini dapat mencakup peraturan
perundang-undangan di tingkat nasional maupun kebijakan daerah seperti Peraturan
Daerah (PERDA), Surat Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan
lain sebagainya. Strategi advokasi sekaligus menjawab isu strategis tentang kurangnya
dukungan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait di daerah dalam
Pengendalian TB.
2. Komunikasi, merupakan upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong masyarakat dan petugas kesehatan agar bersedia bersama-sama
menanggulangi penularan TB. Lingkungan sosial yang mendukung dapat diartikan
sebagai :
a. Adanya dukungan positif dari masyarakat terhadap persepsi bahwa TB bukan
penyakit keturunan atau kena guna-guna.
b. Adanya dukungan keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat bagi pasien TB agar
berobat sampai tuntas.
c. Adanya dukungan positif masyarakat terhadap perilaku pencegahan penularan TB.
d. Adanya kampanye STOP TB.
Strategi komunikasi sekaligus menjawab isu strategis tentang kurangnya
pemahaman masyarakat dalam pencegahan dan pencarian pengobatan TB, kurangnya
kerjasama antar lintas program, sektor serta mitra terkait dalam Pengendalian TB dan
kurangnya akses dan informasi bagi masyarakat tentang TB.
3. Mobilisasi Sosial, adalah proses pemberian informasi secara terus menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran,
agar memiliki pengetahuan, sikap dan mempraktikkan perilaku yang diharapkan.
Mobilisasi Sosial juga merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk
menumbuhkan kesadaran, kemauan, kemampuan masyarakat dalam pengendalian TB.
Melalui kegiatan ini, masyarakat diharapkan ekspansi dan akselarasi DOTS terwujud.
Sasaran utama dari pemberdayaan dalam konteks Pengendalian TB adalah pasien TB
dan keluarga. Dalam mobilisasi sosial diperlukan kemitraan untuk menjalin jejaring
kerja serta kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjalankan program yang
terintegrasi dan koordinatif dalam setiap komponen program yang ditentukan melalui
Stop TB Partnership.
Strategi mobilisasi sosial untuk menjawab isu strategis tentang kurangnya
pemahaman masyarakat dalam pencegahan dan pencarian pengobatan TB, kurangnya
kerjasama antar lintas program, sektor serta mitra terkait dalam Pengendalian TB serta
kurangnya akses dan informasi bagi masyarakat tentang TB.10
Daftar Pustaka
1. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas; 2005.P.33-2.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi
5. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.P.2230-9.
3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2006.P.234-8.
4. Adi Heru S. Yasmin Asih. KADER kesehatan masyarakat / alih bahasa. Jakarta : EGC,
1995. hal 56
5. Budiman Chandra. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas / penulis, Budiman
Chandra ; editor penyelaras, Husny Muttaqin, Windriya Kerta Nirmala. Jakarta : EGC,
2009.
6. Soetono, Sadikin, & Zanilda. Membangun praktek dokter keluarga mandiri. Jakarta:
Pengurus Besar IDI; 2006.P.87-92.
7. Widoyono.Penyakit Tropis,Epidemiologi,Penularan,Pencegahan&Pemberantasan.
Jakarta: Penerbit Erlangga;2008.h.1-21.
8. Rahajoe N Nastiti,Basir Darfioes, MS Makmuri, Kartasasmita CB.Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak.ed 2.Jakarta:UKK Respirologi PP IDAI;2007.3-5,25-41,53-7,63-5.
9. Waloejono K .Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja di Puskesmas.Magelang:Balai
Pelatihan Kesehatan;2000.120-3.
10. Rencana Operasional Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Tuberkulosis oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Promosi Kesehatan. Jakarta, 2010.