Anda di halaman 1dari 126

1

Vol. 6, No.1, Juni 2013 ISSN : 0216-9991

JURNAL
2

Pengelola Jurnal Perspektif Pendidikan

Pelindung :
Drs. H. Aidil Fitri Syah, M.M.

Penanggungjawab :
Drs. J. Albert Barus, M.Pd.

Dewan Editor :
Ansuri Naib, S.Ip.,M.M. (STKIP PGRI Lubuklinggau)
Noermanzah, M.Pd. (STKIP PGRI Lubuklinggau)
Edy Sutriono, M.Pd. (STKIP PGRI Lubuklinggau)

Mitra Bestari :
Prof. Dr. Rambat Nur Sasongko (Universitas Bengkulu)
Dr. Yosef Barus, M.A. (Universitas Sriwijaya)

Pemimpin Redaksi :
Hartoyo, M.Pd.

Sekretaris Redaksi :
Noermanzah, M.Pd.

Staf Redaksi :
Dra. Y. Satinem, M.Pd.
Drs. Rudi Erwandi, M.Pd.
Leo Charly, M.Pd.
Viktor Pandra, M.Pd.

Jurnal Perspektif Pendidikan merupakan media publikasi hasil penelitian dan karya ilmiah di
bidang pendidikan yang terbit dengan
ISSN : 0216-9991, terbit 2 (dua) kali pertahun
Diterbitkan oleh Unit Penerbitan STKIP Lubuklinggau

Alamat Redaksi : Jln. Mayor Toha Kelurahan Air Kuti Lubuklinggau


Telp. (0733) 452432 email: jurnalperspektif@ymail.com
laman: http://www.stkip-pgri-llg.ac.id
3

JURNAL
4

KATA PENGANTAR

Tim redaksi mengucapkan puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
terbitnya kembali Jurnal Perspektif Pendidikan STKIP PGRI Lubuklinggau Edisi ke-6 Juni
2013. Jurnal ini merupakan kumpulan artikel hasil penelitian dan makalah tinjauan pustaka
dosen STKIP PGRI Lubuklinggau.
Beberapa tujuan jurnal Perpektif Pendidikan adalah sebagai ajang untuk
meningkatkan profesionalisme dosen dalam menulis karya tulis ilmiah, memberikan solusi
terbaik dalam mengatasi permasalahan pendidikan bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Fisika,
Matematika, Biologi, dan Sejarah, serta mempublikasikan hasil penelitian kepada
masyarakat ilmuan pada umumnya dan pemerhati pendidikan pada khususnya.
Jurnal Perspektif Pendidikan mempublikasikan hasil penelitian dan makalah tinjauan
pustaka dengan tema seputar Pendidikan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, fisika,
Matematika, Biologi, dan Sejarah. Publikasi jurnal Perspektif Pendidikan diupayakan
secara rutin dilakukan dua kali dalam setahun.
Berkenaan dengan editing yang dilakukan, tim editor hanya merevisi seputar bahasa dan
format penulisan. Sementara, isi artikel tanggung jawab peneliti/penulis. Hal ini dikarenakan
peneliti/penulis yang memiliki data penunjang tentang tingkat keilmiahan karyanya tersebut.
Semoga jurnal Perspektif Pendidikan memberikan inspirasi baru dalam dunia
pendidikan. Untuk selanjutnya, tim redaksi menerima kritik dan saran dari penulis atau
pembaca, guna perbaikan hasil publikasi hasil penelitian dan makalah ini pada edisi
berikutnya.

Lubuklinggau, Juni 2013

Tim Redaksi
5

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

1. Pengaruh Pemberian Jus Myrmeleon sp terhadap Kadar Trigliserida Mus Musculus

Swiss Webster Jantan

Dian Samitra, Zico Fakhrur Rozi, dan Sanjaya.............................................................. 1

2. Uji Potensi Jus Larva Myrmeleon sp terhadap Kadar Gula Darah Mus Musculus

Swiss Webster Jantan

Zico Fakhrur Rozi, Dian Samitra, dan Joko Wiryono.................................................. 16

3. Pengaruh Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia terhadap Sikap Patriotisme

Siswa Kelas XI SMA PGRI 1 Lubuklinggau

Yeni Asmara .................................................................................................................. 30

4. Pengaruh Model Missouri Mathematics Project terhadap Hasil Belajar Matematika

Siswa Kelas X SMAN 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013

Fikhi Fasya Fadilah, Sukasno, dan Leo Charli .......................................................... 42

5. Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara Model Kooperatif Tipe Two Stay

Two Stray dan Make A Match pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Lubuklinggau

Tahun Pelajaran 2012/2013

Erlesy Rizkianti, Sukasno, dan Dodik Mulyono .......................................................... 54

6. Efektivitas Penggunaan Macromedia Flash dalam Pembelajaran Matematika Siswa

Kelas XI IPS MAN 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013

Tira Permata Sari, Sukasno, Drajat Friansah ............................................................. 63

7. Bahasa Baku dan Sikap terhadap Bahasa Baku (Tinjauan Teoritis dan Deskriptif

terhadap Problematika Pembakuan Bahasa Indonesia)


6

Tri Astuti ...................................................................................................................... 77

8. Desain Eksperimental dalam Penelitian Pendidikan

M. Syahrun Effendi....................................................................................................... 87

9. Membangun Karakter melalui Trilogi dan Tripusat Pendidikan

Nurhayati...................................................................................................................... 103

10. Perkembangan Budaya pada Masyarakat Adat di Kota Lubuklinggau dan

Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan

Suwandi ......................................................................................................................... 111

FORMAT PENULISAN NASKAH ................................................................................... 117


7

Pengaruh Pemberian Jus Myrmeleon sp terhadap Kadar Trigliserida


Mus Musculus Swiss Webster Jantan
Oleh: Dian Samitra1, Zico Fakhrur Rozi2, Sanjaya3
(dian.samitra@gmail.com)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jus larva undur-undur (Myrmeleon sp) terhadap
kadar trigliserida dalam darah mencit (Mus musculus) Swiss Webster jantan. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak lengkap. Pengukuran kadar trigliserida darah dilakukan sebanyak dua
kali sesudah perlakuan dan setelah masa pemulihan. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova
satu faktor. Dari hasil penelitian didapatkan jumlah rata-rata kadar trigliserida dalam darah mencit
yang diberi Jus larva Myrmeleon sp : (P0) kontrol: 113,80 mg/dL, (P1) 89,40 mg/dL, (P2): 72,80
mg/dL, (P3): 60,00 mg/dL. Data hasil penelitian setelah masa pemulihan didapatkan jumlah rata-rata
kadar trigliserida dalam darah mencit (P0) kontrol ; 107,00 mg/dL, kelompok perlakuan 1 (P1) ; 96,40
mg/dL, kelompok perlakuan 2 (P2) ; 85,80 mg/dL, kelompok perlakuan 3 (P3) ; 83,40 mg/dL. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian Jus larva Myrmeleon sp kepada mencit
menunjukkan pengaruh yang nyata menurunkan kadar trigliserida dalam darah mencit dan setelah
masa pemulihankadar trigliserida darah mencit tidak kembali normal tetapi menunjukkan kenaikan.

Kata kunci: Jus larva Myrmeleon sp, Trigliserida.

A. Pendahuluan
Kesehatan merupakan prioritas utama dalam kehidupan, karena dengan kondisi manusia
dapat beraktivitas dalam rangka menjalankan tugas bagi dirinya dan orang lain (Rahayu,
2005:86). Pola makan penduduk dunia secara global telah berubah seriring dengan
perkembangan zaman yang menyebabkan majunya teknologi pengolahan makanan dan
meningkatnya kesejahteraan hidup. Perubahan ini membawa dampak meningkatnya
kecendrungan untuk mengkonsumsi makanan berkolesterol tinggi yang dapat menyebabkan
gangguan metabolisme lemak (Prakoso, 2006).
Makanan yang mengandung banyak lipid menyebabkan timbulnya beberapa penyakit,
seperti hipertensi dan hiperkolesterol yang dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner
(PJK) (Widyaningsih, 2011:56). Selain itu penyebab terjadinya penyakit kardiovaskular
adalah adanya perubahan pola makan, dimana kecenderungan masyarakat modern
mengkonsumsi makanan yang cepat saji. Makanan cepat saji ini biasanya kita jumpai
dalam bentuk gorengan (Fajrin, 2011:63). Di Indonesia angka kejadian penyakit
kardiovaskular menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Penyakit kardiovaskular
mengalami kenaikan yang cukup pesat dan merupakan penyebab kematian nomor satu di
kawasan Asia Pasifik (Fajrin, 2011:63).
Hiperlipidemia merupakan penyakit yang banyak terjadi saat ini. Ada hubungan erat
antara hiperlipidemia dengan peningkatan resiko jantung koroner. Berdasarkan penelitian

1&2
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Lubuklinggau
3
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Lubuklinggau
8

para ahli menegaskan bahwa peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (Soeharto, 2004:52-54). Hipertrigliseridemia
adalah bentuk umum dari dislipidemia (Hiperlipidemia) yang sering dikaitkan dengan
penyakit kardiovaskular (Baiduri, dkk., 2011:5).
Trigliserida tinggi berkontribusi dalam pengerasan pembuluh darah, yang meningkatkan
risiko serangan jantung dan stroke. Trigliserida tidak bisa diturunkan dalam semalam, dan
biasanya disebabkan oleh beberapa faktor seperti obesitas, konsumsi alkohol yang berlebihan,
atau diabetes yang tidak dikelola dengan baik. Namun, pola makan dan kebiasaan makan
yang sehat dapat membantu menurunkan kadar trigliserida (Wardayati, 2012). Penyakit
jantung disebabkan oleh aterosklerosis, yaitu proses pengerasan dinding pembuluh darah.
Akibat proses ini, saluran pembuluh darah khususnya pembuluh darah koroner, menjadi
sempit dan menghalangi aliran darah didalamnya (Agustini, dkk., 2006:60-64).
Arteriosklerosis sebagai gangguan pada pembuluh darah koroner merupakan akibat
penumpukan plak lipid dalam dinding arteri (Tsalissavirna, dkk., 2006:80).
Kebanyakan orang sakit, biasanya yang paling banyak dipilih adalah penggunaan
pengobatan medis yang menggunakan bahan-bahan kimia (obat sintesis) (Rahayu, 2005:1).
Walaupun efektif, tetapi obat-obatan tersebut masih telalu mahal bagi sebagian orang dan
memiliki efek samping (Dinayanti, 2010:4). Obat-obatan sintetis mahal karena bahan
bakunya masih diimpor. Pada masa kondisi perekonomian semakin menurun dan daya beli
semakin melemah harga obat-obatan tersebut terasa sangat mahal. Selama ini, obat-obatan
penurun trigliserdia terbukti efektif menurunkan kadar trigliserida seperti statin dan asam
nikotinat, tetapi menimbulkan efek samping (Baiduri, dkk., 2011:5). Oleh karena itu perlu
senyawa alternatif dalam upaya mencegah dan mengatasi kardiovaskuler, antara lain
menggunakan bahan tradisional yang menggunakan tumbuhan dan binatang dimana harganya
lebih terjangkau dan efek samping yang diberikan sedikit contohnya bawang putih dan
temulawak.
Saat ini Myrmeleon sp atau larva undur-undur merupakan salah satu obat alami
(alternatif) yang banyak manfaatnya antara lain: sebagai antidiabetik dan sebagai obat
malaria karena larva Myrmeleon sp memiliki kandungan zat sulfonylurea. J. Mukai, dkk
(2007), dari Akita University Hospital mengadakan penelitian, dimana hasil penelitiannya
mengungkapkan bahwa zat antidiabetik (glycemic) mampu menurunkan kadar kolesterol.
Hasil penelitian Wilding JP, dkk (2007), mengungkapkan bahwa sulfonyulurea dapat
menurunkan kadar trigliserida dalam darah.
9

Sampai saat ini belum ada penelitian yang lengkap mengenai pengaruh larva undur-
undur terhadap trigliserida di dalam darah. Sehingga untuk itu, sangat menarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh larva undur-undur terhadap kadar trigliserida di
dalam darah. Pada penelitian ini digunakan hewan uji yaitu mencit (M. musculus) jantan, hal
tersebut didasarkan karena mencit merupakan mamalia yang memiliki kedekatan anatomis
dan fisiologis dengan manusia serta mudah dalam pengadaanya jika dibandingkan hewan
mamalia yang lainnya dan juga pada mencit jantan sistem hormonalnya stabil.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah (1) bagaimana pengaruh jus larva undur-undur terhadap kadar
trigliserida darah Mencit (M. musculus) jantan? dan (2) bagaimana kadar trigliserida darah
Mencit (M. musculus) setelah masa pemulihan?.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jus larva larva undur-undur
terhadap kadar trigliserida dalam darah mencit (M. musculus) jantan dan kadar trigliserida
darah Mencit (M. musculus) setelah masa pemulihan. Kemudian hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan nilai guna atau manfaat dari aspek ilmu pengetahuan dibidang
farmakologi dan fisiologi hewan dan dapat menjadi informasi serta pemahaman mengenai
larva undur-undur, sebagai salah satu alternatif pengobatan bahan alami dan sebagai data
awal untuk melanjutkan penelitian selanjutnya.

B. Landasan Teori
1. Undur-Undur
Berdasarkan ciri sayap dan alat mulutnya saat telah dewasa, binatang ini merupakan ordo
Neuroptera dan dari famili Myrmeleontidae. Ordo Neuroptera adalah serangga bersayap jala,
ciri serangga ini adalah mulut menggigit, dan mempunyai dua pasang sayap yang urat-
uratnya berbentuk seperti jala (Divisi Penulisan dan Multimedia, 2007).
Larva undur-undur juga bisa digunakan sebagai obat alternatif mengatasi kolsesterol.
Binatang kecil biasa dijumpai di sekitar rumah berhalaman pasir itu ampuh menurunkan gula
darah. Undur-undur mempunyai nama latin Myrmeleon sp. Berdasarkan penelitian diketuai
Tyas Kurniasih dari Universitas Gadjah Mada Jogjakarta berjudul Kajian Potensi Undur -
Undur Darat (Myrmeleon sp) 2006, binatang ini mengandung zat sulfonylurea (Kurniasih,
dkk., 2006). Sulfonylurea bekerja untuk meningkatkan hormon insulin yang dihasilkan oleh
sel beta di dalam pankreas (Divisi Penulisan dan Multimedia, 2007)
Hasil penelitian Wilding, JP (2007) dan Mukai J (2008), bahwa zat sulfonylurea mampu
menurunkan kadar trigliserida dalam darah manusia. Saat ini sulfonylurea tidak hanya
10

ditemukan sebagai bahan alam saja, tetapi juga disintesis menjadi obat antidiabetes yang
beredar di pasaran.
2. Lemak, Trigliserida dan Hiperlipidemia
Lemak atau lipid tidak sama dengan minyak. Orang menyebut lemak secara khusus bagi
minyak nabati atau hewani yang berwujud padat pada suhu ruang. Lemak juga biasanya
disebutnya kepada berbagai minyak yang dihasilkan oleh hewan, lepas dari wujudnya yang
padat maupun cair 1 gram lemak menghasilkan 39.06 kjoule atau 9,3 kkal (Stryer, 2000).
Lemak memilliki banyak turunan atau bentuk dan salah satunya adalah trigliserida.
Trigliserida dalam usus halus akan diserap ke dalam enterosit mukosa usus halus
sebagai asam lemak bebas. Di dalam usus halus asam lemak bebas akan dirubah lagi
menjadi trigliserida. Trigliserida yang disintesis di hati dan disekresi ke dalam sirkulasi
sebagai VLDL (Kwiterovitch, dkk., 2004).
Pada penderita diabetes militus, fungsi hormon insulin akan menyebabkan pula
gangguan metabolisme lemak, yang ditandai dengan meningkatnya kadar beberapa zat
turunan lemak seperti trigliserida dan kolesterol. Peningkatan trigliserida dan kolesterol
merupakan akibat penurunan pemecahan lemak yang terjadi karena aktivitas enzim-enzim
pemecah lemak yang kerjanya dipengaruhi insulin (Fatmawati, 2008).
Hiperlipidemia adalah suatu kondisi dimana kadar lipid darah melebihi jumlah normal.
Hiperlipidemia disebut juga peningkatan lemak dalam darah dan karena sering disertai
beberapa fraksi lipoprotein, sehingga disebut juga hiperlipoprotein. Hiperlepidemik dibagi
menjadi dua yaitu: hiperkolesterolemi dan hipertrigliserida (Kumalasari, 2005).
Siswandono dan Soekardjo (1995) dalam Kumalasari (2005) menyatakan, pengobatan
hiperlipidemia lebih baik ditekan pada diet rendah lemak dan kolesterol, karena banyak kasus
diet termasuk akan menurunkan berat badan dan dapat mengontrol semua hiperlipidemia,
obat antilipidemik diberikan hanya sebagai penunjang pengobatan. Mekanisme obat
antilipidemik antara lain:
a) Menghambat biosentesis kolesterol dan prekrsuor.
b) Menurunkan kadar trigliserida dan menghambat mobilisasi lemak dengan cara:
menghambat aktivitas enzim trigliserida lipase sehingga menurunkan kecepatan
hidrolisis trigliserida, memblok kerja hormon pelepas asam lemak bebas,
menghambat pengikatan asam lemak bebas pada albumin.
c) Menurunkan tingkat -lipopotein dan pra -lipopotein.
d) Menghilangkan lemak
e) Mempercepak ekstrak lipid dan menghambat penyerapan kolesterol.
11

3. Mencit (Mus musculus)


Mencit laboratorium merupakan hewan yang sejenis dengan mencit liar atau mencit
rumah yang tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di dalam rumah atau gedung-
gedung yang tidak dihuni manusia sepanjang ada makanan dan tempat untuk berlindung
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Mencit merupakan vertebrata dari kelas mamalia, ordo
rodentia dan famili Muridae (Priambodo 1995).
Mencit liar makan segala makanan (omnivora) dan mau mencoba makanan apapun yang
tersedia termasuk makanan yang tidak biasa dimakan. Mencit liar dapat dengan mudah
memanjat dinding batu bata, masuk lubang yang kecil dan liang di dinding maupun celah-
celah atap (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Menurut Malole dan Promono (1989) mencit hidup di berbagai daerah mulai dari iklim
dingin, sedang maupun panas dan dapat hidup dalam kandang atau hidup bebas sebagai
hewan liar. Mencit liar lebih suka suhu lingkungan yang tinggi namun dapat beradaptasi
sedikit lebih pucat, mata berwarna hitam dan kulit berpigmen.
Tikus putih atau mencit biasa digunakan dalam percobaan laboratorium karena mudah
dikembangbiakkan dan mudah dalam perawatannya, juga memiliki anatomi fisiologi dari
organ-organ hewan tersebut yang sistematis kerjanya hampir sama dengan fungsional
anatomi organ manusia, sehingga uji yang dicobakan pada tikus putih yang menyangkut
struktur fisiologi anatomi dan hasil selanjutnya dapat diaplikasikan pada manusia (Novita,
2012).
Mencit tersebut diperoleh dari peternakan hewan laboratorium yang digunakan dalam
penelitian biomedis, pengujian dan media pendidikan. Setelah selesai penelitian mencit
dibunuh secara manusiawi dan sebelumnya dilakukan anestesi terlebih dahulu. Hewan
dibunuh dengan cara mendislokasi leher (Suzana, dkk., 2007; 44-49)

C. Metodologi Penelitian
1. Alat dan Bahan
Peralatan digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit, nampan plastik, botol
minuman, timbangan analitik, timbangan OHAUS, gunting, trigliserida meter, strip
trigliserida, pisau, alu dan lumpang, kertas tissue, alat gavage, suntikan 10 ml, pipet tetes,
mikroskop binokular dan kamera digital.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva undur-undur (Myrmeleon
sp), mencit (M. musculus) Swiss Webster jantan, pakan mencit, aquadest, sekam padi,
Lowvastatin, betadine dan alkohol.
12

2. Cara Kerja
Cara kerja terdiri dari beberapa tahapan diantaranya adalah: a) Penanganan Sampel dan
Penyediaan Hewan Uji, b) Penentuan dosis, c) Pengelompokan hewan uji, d) Pemberian
Perlakuan e) Pengambilan Darah dan Perhitungan Kadar trigliserida darah.
a. Penyediaan Mencit (M. musculus) Jantan
Mencit (M. musculus) Swiss Webster jantan didatangkan dari peternak mencit yang ada
di Bengkulu. Kandang mencit dibuat dari nampan plastik ya-ng diberi sekam padi sebagai
alas dan ditutup dengan kawat ram, kemudian nampan tersebut disusun pada rak yang
tersedia di dalam Kebun Biologi, FKIP, Universitas Bengkulu.
b. Pembuatan Jus Larva undur-undur
Larva undur-undur diambil dari kawasan kota Lubuklinggau. Selanjutnya dengan
menggunakan pelarut aquadest larva tersebut digerus menggunakan alu dan lumpang hingga
menjadi halus sehingga didapatkan jusnya.
c. Konversi Dosis
Sampai sejauh ini belum ditemukan literatur mengenai dosis efektif sulfonylurea yang
digunakan untuk mencit. Selain itu konsentrasi sulfonylurea yang terdapat dalam larva larva
undur-undur juga belum diketahui. Berdasarkan kebiasaan masyarakat penggunaan larva
larva undur-undur sebagai obat adalah 5 ekor untuk sekali konsumsi bagi orang dewasa
dengan berat rata-rata 50 kg. Mencit yang akan digunakan berumur 7 minggu dengan berat
rata-rata 30 g. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan berat 5 ekor larva
larva undur-undur adalah 0,1332 g. Untuk itu agar didapat berat jus larva larva undur-undur
yang akan diberikan pada mencit secara gavage dikonversikan sebagai berikut:
Berat jus yang akan diberikan:
1. Dosis efektif manusia
1000
0,1332 = 0,0026
50000
2. Dosis efektif mencit 0,0026 g/kg berat badan
30
0,0026 = 0,000078 g Jus Undur undur
1000
3. Dosis efektif 0,0039 g/kg berat badan
30
0,0039 = 0,000117 g Jus Undur undur
1000
4. Dosis efektif 0,0013 g/kg berat badan
30
0,0013 = 0,000039 g Jus Undur undur
1000
13

Untuk stok solutionnya,


0,00078
Dosis Perlakuan I : 0,1332
x 50 ml = 0,03 ml
0,000177
Dosis Perlakuan II: 0,1332
x 50 ml = 0,04 ml
0,000039
Dosis Perlakuan III: 0,1332
x 50 ml = 0,015 ml

d. Pengelompokan Hewan Uji


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sampel berjumlah 20
ekor mencit jantan (Mus musculus) Swiis Webster yang berumur 8-10 minggu dengan berat
antara 20,9 - 30 g. Mencit dikelompokan secara acak menjadi 4 kelompok yaitu kelompok
kontrol (P0) yang hanya diberi aquadest, kelompok perlakuan satu diberikan jus larva undur-
undur (P1) dengan dosis 0,0013 g/kg berat badan dan kelompok perlakuan dua (P2) yang
digavage dengan jus larva undur-undur dengan dosis 0,0026 g/kg berat badan, kelompok tiga
(P3) yang digavage dengan jus larva undur-undur dengan dosis 0,0039 g/kg berat badan
dengan masing-masing kelompok 5 kali pengulangan. Untuk lebih jelasnya dikelompokan
secara acak seperti pada table 2.
Tabel 2. Pengelompokan M. Musculus Berdasarkan Pengulangan
dan Dosis Perlakuan

Dosis jus Larva undur-undur (g/kg


Kelompok Jumlah Ulangan
berat badan)
1 (P0) 0 5
2 (P1) 0,0013 5
3 (P2) 0,0026 5
4 (P3) 0,0039 5

e. Pemberian Perlakuan
Perlakuan dilakukan degan metode gavage pada mencit yang sudah dikelompokan secara
acak berdasarkan dosis perkelompok. Perlakuan dilakukan dengan 2 kali gavage, dimana
rentang waktu antara gavage pertama dan kedua adalah 24 jam. Pengamatan akan dilakukan,
1 hari setelah perlakuan. Setiap akan dilakukan gavage, berat badan mencit ditimbang untuk
mengetahui berapa jus larva undur-undur yang harus diberikan. Berat badan mencit
ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik sehingga diketahui berat badan mencit
sebelum diberi perlakuan.
14

f. Pengambilan Darah
Dalam perhitungan kadar trigileserida dalam darah, dilakukan pengambilan sample darah
yang diambil dalam jumlah sedikit, darah diambil dari ekor mencit dengan cara ekor mencit
dipotong.
g. Perhitungan Kadar Trigliserida dalam Darah
Perhitungan kadar trigliserida dilakukan sebanyak 2 tahapan, tahap pertama setelah
pemberian jus undur-undur dan tahap kedua setelah masa pemulihan yaitu 30 hari setelah
tahap pertama. Perhitungan kadar trigliserida darah dilakukan dengan cara darah yang
diambil dari ekor mencit diteteskan pada strip, dimana strip telah dimasukan terlebih dahulu
ke dalam trigliserida meter.
h. Analisa Data
Hasil pengukuran kadar trigliserida yang telah diperoleh trigliserida yang diperoleh
dihitung kadar rata-ratanya pada masing-masing kelompok perlakuan, kemudian dianalisis
dengan menggunakan Anova Satu Faktor.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Hasil Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh Jus larva undur-undur
(Myrmeleon sp) terhadap kadar trigliserida dalam darah mencit (Mus musculus), diperoleh
hasil sebagai berikut:
a. Penentuan Kadar Trigliserida dalam Darah Mus Musculus dengan Pemberian Jus Larva
Myrmeleon sp
Pengukuran kadar trigliserida mencit dilakukan dengan 2 tahap: tahap pertama, yaitu
tahap pemberian Jus larva undur-undur dan tahap kedua, yaitu tahap pemulihan (tanpa
pemberian Jus larva undur-undur). Data mengenai kadar trigliserida dalam darah mencit yang
telah diberi perlakuan dengan pemberian Jus larva undur-undur (Myrmeleon sp) dan
dianalisis dengan anova satu faktor. Untuk mengetahui pengaruh Jus larva undur-undur
terhadap trigliserida darah mencit maka ditampilkan tabel di bawah ini:
Tabel 3. Hasil Rata-Rata Pengukuran Kadar Trigliserida Mus musculus
setelah Diberi Jus Larva Myrmeleon sp
Kelompok Jumlah Rata-rata Kadar Trigliserida Notasi
No. n
Perlakuan (mg/dL) SD 0,05
1 Kontrol 5 113,80 3,63 d
2 Perlakuan 1 5 89,40 4,98 c
15

3 Perlakuan 2 5 72,80 5,02 b


4 Perlakuan 3 5 60,00 7,55 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang terdapat
perbedaan kadar trigliserida yang signifikan menurut uji BNT
Hasil pengukuran kadar trigliserida dalam darah mencit kontrol (P0) sebesar 113,80
mg/dL, kadar trigliserida dalam darah mencit yang diberi Jus larva Myrmeleon sp dengan
dosis 0,0013 g (P1) sebesar 89,40 mg/dL, kadar trigliserida dalam darah mencit yang diberi
Jus larva Myrmeleon sp dengan dosis 0,0026 g (P2) sebesar 72,80 mg/dL, kadar trigliserida
dalam darah mencit yang diberi Jus larva Myrmeleon sp dengan dosis 0,0039 g (P3) sebesar
60,00 mg/dL.
Berdasarkan analisis varian (Anova Satu Faktor) kadar trigliserida dari setiap perlakuan
menunjukan hasil yang signifikan dengan F Hitung sebesar 89,77 lebih besar dari F Tabel
yaitu 3,24. Hal ini berarti bahwa pemberian Jus larva undur-undur (Myrmelon sp) dengan
cara digavage dengan dosis yang berbeda P0 (0 g), P1 (0,0013 g), P2 (0,0026 g) dan P3
(0,0039 g) telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar trigliserida darah mencit.
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji lanjut BNT, dapat diketahui bahwa
kadar trigliserida setelah perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap
kelompok perlakuan. Pengaruh pemberian Jus larva Myrmeleon sp terhdap kadar trgliserida
dalam darah mencit mempunyai pengaruh yang berbeda, pada setiap perlakuan yang
diberikan dosis berbeda. Untuk melihat jumlah rata-rata kadar trigliserida dalam darah mencit
setelah pemberian Jus larva undur-undur dapat dilihat pada gambar 1.
Dari gambar 1 terlihat bahwa semakin besar dosis Jus larva Myrmeleon sp yang
diberikan kepada mencit semakin rendah kadar trigliserida dalam darah mencit. Penurunan
yang sangat drastis atau ekstrim ditunjukan pada kelompok perlakuan tiga (P3) yang diberi
dosis Jus larva Myrmeleon sp sebesar 0,0039 g.
120
Kadar Trigliserida

100 113.8
80 89.4
(mg/dL)

60 72.8
60
40
20
0
P0(0) P1(0,0013) P2(0,0026) P3(0,0039)
Perlakuan (g)
Gambar 1. Grafik Jumlah Rata-Rata Kadar Trigliserida dalam Darah Mencit yang
Diberikan Jus Larva Myrmeleon sp
16

Dari data hasil penelitian terlihat bahwa pemberian Jus larva undur-undur (Myrmeleon
sp) dengan cara digavage dengan dosis yang berbeda P0 (0 g), P1 (0,0013 g), P2 (0,0026 g)
dan P3 (0,0039 g), mempengaruhi homeostatis tubuh dengan menyebabkan kadar trigliserida
dalam darah mencit menurun. Namun, berdasarkan analisis Uji lanjut BNT penurunan kadar
trigliserida sangat ekstrim terjadi pada mencit yang diberi perlakuan dengan dosis Jus larva
Myrmeleon sp sebesar 0,0039 g dimana kadar trigliserida dalam darah mencit sebesar 60
mg/dL.

b. Penentuan Kadar Trigliserida dalam Darah Mus musulus Setelah Masa Pemulihan
Data kadar trigliserida mencit setelah masa pemulihan (tahap kedua) dianalisis dengan
anova satu faktor. Data hasil pengukuran kadar trigliserida dalam darah mencit setelah masa
pemulihan disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan hasil analisis varian pada tahap perlakuan kedua, yaitu tanpa pemberian Jus
larva undur-undur menunjukan signifikasi dengan F hitung sebesar 15,90 lebih besar daripada
F Tabel sebesar 3,24. Hal ini menunjukan bahwa setelah masa pemulihan kadar trigliserida
dalam darah mencit tetap rendah. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji
lanjut BNT, bahwa tahap penelitian kedua yaitu masa pemulihan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan. Tetapi, jika kita membandingkan
kelompok kontrol (P0) dengan kelompok perlakuan lain, telah menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata, begitu juga apabila kita membandingkan kelompok perlakuan 1
dengan dosis 0,0013 g (P1) dengan kelompok perlakuan lainnya telah menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Tabel 4. Hasil Rata-Rata Pengukuran Kadar Trigliserida Mus musculus
setelah Pemulihan
Kelompok Jumlah Rata-rata Kadar Notasi
No. n
Perlakuan Trigliserida (mg/dL) SD 0,05
1 Kontrol 5 107,00 6,40 c

2 Perlakuan 1 5 96,40 8,44 b

3 Perlakuan 2 5 85,80 3,89 a

4 Perlakuan 3 5 83,40 4,45 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang terdapat
perbedaan kadar trigliserida yang signifikan menurut uji BNT
17

Kadar trigliserida dalam darah tetap rendah setelah masa pemulihan, diasumsikan karena
mencit tidak mengalami krisis energi, sehingga epinefrin tidak masuk ke sel adiposa dan sel
hati untuk memecah trigliserida menjadi energi.
Pada Gambar 2. terlihat bahwa kadar trigliserida dalam darah setelah masa pemulihan
mengalami kenaikan. Adanya masa pemulihan selama 30 hari, yaitu tidak diberikannya Jus
larva Myrmeleon sp kepada mencit, membuat kadar trigliserida pada mencit mengalami
kenaikan.
120
113.8 Diberi ekstrak
Kadar Trigliserida (mg/dl)

Pemulihan
100 89.4

80 72.8
60
60
107
96.4
40 85.8 83.4

20

0
P0 (0) P1(0,0013) P2(0,0026) P3(0,0039)

Perlakuan (g)

Gambar 2. Grafik Rata-Rata Kadar Trigliserida Darah Mencit setelah Diberi


Jus Larva Myrmeleon sp dan Jumlah Rata-Rata Kadar Trigliserida
dalam Darah Mencit setelah Masa pemulihan

2. Pembahasan
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit (M. Musculus) swiss
webster jantan. Alasan penelitian menggunakan mencit karena mencit secara fisiologi hampir
mendekati fisiologi manusia dan dengan berat antara 25-30 gram mencit mudah dipegang dan
dikendalikan oleh penelti.
Dari hasil penelitian ini didapat bahwa larva undur-undur dapat digunakan untuk
menurunkan kadar trigliserida darah. Penurunan kadar trigliserida pada mencit diasumsikan
karena pengaruh zat sulfonylurea yang ada dalam larva undur-undur. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Wilding, JP (2007:194) dan Mukai (2008:1747-1756), bahwa
zat sulfonylurea mampu menurunkan kadar trigliserida dalam darah manusia. Dari hasil
penelitian Ziaee, dkk (2012:16) menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar trigliserida serum
kelompok mencit yang diberi pelakuan metformin (senyawa turunan sulfonylurea).
Sampai saat ini belum ditemukan teori dan hasil penelitian yang menyebutkan dan
membahas secara jelas keterkaitan antara sulfonylurea dan kadar trigliserida. Sehingga
18

peneliti hanya mengasumsikan proses penurunan kadar trigliserida terkait dengan jumlah
insulin yang meningkat dalam tubuh mencit hal ini karena Zat sulfonylurea sebagai zat
antidiabetic karena sulfonylurea mampu mengaktifkan sel beta pankreas untuk lebih banyak
mensekresikan insulin. Insulin merupakan hormon yang memilki beberapa efek terhadap
metabolisme tiga bahan utama dari pangan, insulin juga meregulasi asam lemak, Trigliserida
dan kolesterol (Chauduri, dkk., 2011: 265). Insulin sangat berberperan terhadap sintesis dan
penyimpanan lemak (Astari, 2012). Insulin juga merupakan inhibitor kuat dalam proses
lipolisis dalam hati serta jaringan adiposa, selain itu insulin juga menghambat kerja aktivitas
kerja enzim lipase sensitive hormon (Astari, 2012).
Penurunan kadar trigliserida pada mencit diasumsikan, insulin yang masuk ke dalam sel
adiposa sehingga pemecahan trigliserida dalam sel adiposa (lipolisis) terhambat. Selain itu,
penurunan kadar trigliserida juga dikarenakan tidak terjadinya tidak terjadi sintesis alfa
gliserol fosfat di dalam hati, alfa gliserol fosfat inilah merupakan prekrusor untuk
mensintesis trigliserida, sehingga tanpa adanya alfa gliserol fosfat mengakibatkan proses
sintesis trigliserida dalam hati tidak terjadi dan akhirnya kadar trigliserida dalam tubuh
menjadi rendah.
Dari hasil penelitian tahap kedua diperoleh bahwa terjadi kenaikan kadar trigliserida.
Kenaikan kadar trigliserida pada mencit setelah masa pemulihan tidak mendekati kadar
trigliserida pada mencit kontrol (P0). Naiknya kadar trigliserida dalam darah mencit
dikarenakan tubuh mencit telah mampu mempertahankan homeostatis tubuh yaitu tubuh telah
mampu mensintesis alfa gliserol fosfat, dengan adanya pembentukan alfa gliserol fosfat di
hati mengakibatkan terjadinya pembentukan trigliserida, sehingga kadar trigliserida dalam
darah akan ikut mengalami kenaikan. Alfa gliserol fosfat atau gliserol 3-fosfat sangat
dibutuhkan dalam sintesis trigliserida sehingga apabila gliserol 3-fosfat terdapat di dalam
tubuh dalam jumlah yang mencukupi, proses sintesis trigliserida akan berjalan (Nugroho,
2009).

E. Kesimpulan
Pemberian jus larva Myrmeleon sp kepada mencit menunjukkan pengaruh yang nyata
menurunkan kadar trigliserida dalam darah mencit, dan setelah masa pemulihan kadar
trigliserida darah mencit tidak kembali normal tetapi menunjukkan kenaikan. Saat pemakaian
larva Myrmeleon sp atau jus larva Myrmeleon sp sebaiknya pengguna harus berhati-hati
karena dosis yang berlebihan mempunyai kecenderungan menyebabkan kadar trigliserida
19

dalam darah akan sangat turun. sJumlah larva Myrmeleon sp yang dikonsumsi untuk
menurunkan kadar trigliserida adalah 3 ekor larva undur-undur dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

Agsutini, Kurnia, Azizahwati dan Shanti Marlina. 2006. Pengaruh Lama Pemberian Formula
Ekstrak Buah Labu Siam (Sechium edule) Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Total
dan Trigliserida. Jurnal Bahan Alam Indonesia. Vol. 6, No.2.

Astari, Citra Anindya. 2012. Pengaruh Pare dan Lidah Buaya Terhadap Kadar Trigliserida
Darah Sebagai Terapai Herbal DM Pada Tikus yang telah Diinduksi Aloksan.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewFile/3897/2890. Diakses 24 Mei 2013,
Pukul 17.56 WIB.

Baiduri, Intan dan Hesti Murwani. 2011. Pengaruh Pemberian Yoghurt Kedelai Hitam (Black
Soyghurt) terhadap Kadar Trigliserida Serum Pada Tikus Hipertrigliseridemia. [Artikel
Penelitian]. http://eprints.undip.ac.id/35871/1/409_Intan_Baiduri_G2C007039.pdf.
Diakses 19 Mei 2013, Pukul 16.30 WIB.

Chauduri, Ajay, dkk. 2011. Comparing the effect of insulin glargine and thiazolidinediones
on plasma lipids in type 2 diabetes: a patient-level pooled analysis. Diabetes/
Metabolism Research and Reviews. http://wileyonlinelibrary.com. Diakses 24 Mei
2013, Pukul 16.45 WIB.

Dinayanti, Tezza dan Kusmiyati DK. 2010. Pengaruh Pemberian Seduhan Kelopak Kering
Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa) terhadap Kadar Kolesterol Total Serum Tikus
Sprague-Dawley Hiperkolesterolemik. Universitas
Diponegoro.http://eprints.undip.ac.id/23791/1/Tezza_D.pdf. Diakses 19 Mei, Pukul
11.58 WIB.

Divisi Penulisan dan Multimedia. 2007. Mengenai Undur-Undur. Mojokerto: Pusat


Pendidikan Lingkungan Hidup.

Fajrin, Fifteen Aprila. 2010. Aktivitas Ekstrak Etanol Ketan Hitam Untuk Menurunkan
Kadar Kolesterol. Jurnal Farmasi Indonesia. Vol. 5, No.2.

Fatmawati, Emi. 2008. Pengaruh Lama Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis
paniculata Ness.) Terhadap Kadar Kolesterol, LDL (Low Density Lipoprotein), HDL
(High Density Lipoprotein) dan Trigliserida Darah Tikus (Rattus norvegicus) Diabetes.
http://www.lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/03520033-emi-fatmawati.pdf
Diakses 18 Mei 2013.

JP. Wilding, dkk. 2007. Tesaglitazar, as add-on Therapy to Sulphonylurea, Dose-


dependently Improves Glucose and Lipid Abnormalities in Patients with Type 2
Diabetes Diab Vasc Dis Res. http://www.ncbi.nlm-.nih.gov/sites. Diakses 18 Oktober
2012 Pukul 20.15 WIB
20

Kumalasari, N.D. 2005. Pengaruh Berbagai Dosis Filtrat Daun Putri Malu (Mimosa pudica)
terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus (Rattus norvegicus) [Skripsi]. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang.

Kurniasih, Tyas, dkk. 2010. Uji potensi Undur-undur Darat (Myrmeleon sp) sebagai
Antidiabetes.http://directory.umm.ac.id/penelitian/PKMI/pdf/KAJIAN%20POTENSI%
20UNDUR.pdf. Diakses 18 Oktober 2012 Pukul 08.15 WIB.

Kwiterovitch PO, Virgil DG, Garreth ES, Otvos J, Driggers R, Blakemore K. 2004.
Lipoprotein heterogeneity at birth: influence on gestational age and race of
lipoprotein subclasses and Lp(a) lipoprotein. Ethnicity and Disease 14: 351-359.

Malole, M. B. M. dan C. S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan


Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Mukai, Junichi dkk. 2008. Lipids Behavior and Adverse Effects for Oral Antidiabetic Agents
in Patients With Type 2 Diabetes Treated with Sulfonylureas Alone Based on
Systematic Review Diabetes Care. http://www.ncbi.nlm-.nih.gov/sites. Diakses 18
Oktober 2012 Pukul 20.20 WIB.

Novita S Tutik. 2012 Pengaruh Pemberian Ekstrak Brotowali (Tinospora Crispa, L.)
Terhadap Perkembangan Folikel Ovarium Tikus Putih (Rattus Norvegicus, L.). Thesis
Universitas Negeri Yogyakarta. http://eprints.uny.ac.id/8322/2/bab%201._
08308144012.pdf. Diakses 15 Mei 17.00 WIB.

Nugroho, Heru S.W. 2008 Metabolisme Lipid. http://www.heruswn.weebly.com . Diakses


18 Oktober 2012.

Prakoso, Zulkarnain dan Endang Sri Sunarsih. 2010. Pengaruh Pemberian Vitamin C
Terhadap Kadar LDL dan HDL Kolesterol Serum Tikus Wistar Jantan Hiperlipidemia
Setelah Perlakuan Jus Lidah Buaya (Aloe vera Linn).
http://eprints.undip.ac.id/20393/1/Zulkarnain.pdf. Diakses 23 Mei 2013, Pukul 17.53
WIB.

Priambodo, S. 1995. Pengendalian Tikus Terpadu. Seri PHT. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rahayu, Tuti. 2005. Kadar Kolesterol Darah Tikus Putih (Rattus norvegincus L) Setelah
Pemberian Cairan Kombucha Per-Oral. jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. Vol. 6,
No. 2.

Smith, J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan


Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
21

Soeharto, I., 2004, Serangan jantung dan Stroke, Hubungan dengan Lemak Kolesterol, Edisi
ke-2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Stryer, Lubert. 2000. Biokimia Vol. 2 Edisi 4. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran.

Suzana, Dewi, dkk. 2007. Pemanfaatan Spirulina platensis sebagai Suplemen Protein Sel
Tunggal (PST) Mencit (Mus musculus) . Makara, Kesehatan, VOL. 11, NO. 1,

Tsalissavirna, Iva, Djoko Wahono dan Dian Handayani. 2006. Pengaruh Pemberian Diet
Tinggi Karbohidrat Dibandingkan Diet Tinggi Lemak Terhadap Kadar Trigliserida dan
HDL Darah. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol. XXII, No. 2.

Widyaningsih, Wahyu. 2011. Efek Ekstrak Etanol Rimpang Temugiring (Curcuma heyneana
Val.) terhadap Kadar Trigliserida. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. Vol. 1, No. 1.

Ziae, Amir, dkk. 2012. Effect of Metformin and Pioglitazone Treatment on Cardiovascular
Risk Profile in Polycystic Ovary Syndrome. Acta Mediciana Indonesiana- The
Indonesian Journal of Internal Medicine. Vol. 44, No. 1.
22

Uji Potensi Jus Larva Myrmeleon sp terhadap Kadar Gula Darah Mus
Musculus Swiss Webster Jantan

Oleh: Zico Fakhrur Rozi1, Dian Samitra2 dan Joko Wiryono3


(Email: zico.fakhrurrozi@gmamil.com)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jus larva Myrmeleon sp terhadap penurunan kadar
Glukosa dalam darah Mus musculus Swiss Webster jantan. Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan anova satu faktor. Dari hasil
penelitian diketahui jumlah rata-rata kadar gula dalam darah mencit yang diberi jus larva Myrmeleon
sp : (P0) kontrol ; 98,6, (P1) Perlakuan diberi jus larva Myrmeleon spdengan dosis 0,0013 ml ; 80,4
mg/dL, (P2) Perlakuan diberi jus larva Myrmeleon sp dengan dosis 0,0026 ml ; 77,8 mg/dL, (P3)
Perlakuan diberi jus larva Myrmeleon sp dengan dosis 0,0039 ml; 76,4 mg/dL. Sedangkan data hasil
penelitian setelah masa pemulihan didapatkan jumlah rata-rata kadar gula dalam darah mencit (P0)
kontrol ; 108,4 mg/dl, Kelompok perlakuan 1 (P1) ; 99,8 mg/dL, kelompok perlakuan 2 (P2) ; 101,2
mg/dL, kelompok perlakuan 3 (P3) ; 118,2 mg/dL. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pemberian jus larva Myrmeleon sp pada Mus musculus menunjukkan pengaruh yang nyata pada kadar
gula dalam darah Mus musculus dan setelah masa pemulihan kadar gula darah Mus musculus kembali
normal.

Kata kunci : Jus Larva Myrmeleon sp, Glukosa, Mus musculus.

A. Pendahuluan
Setiap manusia pada hakekatnya mengharapkan hidup sehat dan sejahtera lahir dan batin.
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping kebutuhan akan
sandang, pangan, papan dan pendidikan, karena hanya dengan kondisi kesehatan yang baik
serta tubuh yang prima manusia dapat melaksanakan proses kehidupan untuk tumbuh dan
berkembang menjalankan segala aktivitas hidupnya.
Penggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung meningkat,
terlebih dengan adanya isu back to nature serta kesulitan ekonomi yang mengakibatkan
turunnya daya beli masyarakat. Obat tradisional dan tanaman obat banyak digunakan
masyarakat menengah kebawah terutama dalam upaya preventif, promotif dan rehabilitatif.
Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa penggunaan tanaman obat atau obat
tradisional relatif lebih aman dibandingkan obat sintesis. Walaupun demikian bukan berarti
tanaman obat atau obat tradisional tidak memiliki efek samping yang dapat merugikan. Agar
penggunaannya optimal, perlu diketahui informasi yang memadai tentang kelebihan dan
kelemahan serta kemungkinan penyalahgunaan obat tradisional dan tanaman obat. Dengan
informasi yang cukup diharapkan masyarakat lebih cermat untuk memilih dan menggunakan
suatu produk obat tradisional. Penggunaan obat tradisional merupakan salah satu program
pelayanan kesehatan dasar dan juga merupakan salah satu alternatif untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasar pengobatan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar pengobatan tersebut

1&2
Dosen Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Lubuklinggau
3
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Lubuklinggau
23

maka perlu dilakukan upaya penelitian, pengujian, dan pengembangan khasiat, serta
keamanan`dalam mengkonsumsinya (Inawati, 2006: 71).
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme
dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai
kebutuhan tubuh. Keadaan hiperglikemik yang terus menerus dapat mengindikasikan
terjadinya diabetes mellitus (Tyas, 2009: 219). Sumber lain menyatakan bahwa Diabetes
melitus adalah suatu penyakit hiperglikemia yang bercirikan kekurangan insulin secara
mutlak atau penurunan kepekaan sel terhadap insulin (Adnyana, 2004: 2).
Berbagai macam obat diabetes telah di sintesis seperti golongan sulfonilurea, biguanida,
thiazolidinedion, dan meglitinida. Berbagai kendala terjadi pada obat sintesis yang memberi
efek samping dan biaya yang lebih besar dalam menghasilkan obat-obat tersebut. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa Myrmeleon Sp mengandung sulfonilurea dan merupakan agen
antidiabetik yang dikembangkan para ahli sebagai obat diabetes. Selain tripang emas,
Myrmeleon Sp juga bisa digunakan sebagai obat alternatif mengatasi diabetes. Berdasarkan
penelitian diketuai Tyas Kurniasih dari Universitas Gadjah Mada Jogjakarta berjudul Kajian
Potensi Undur-Undur Darat (Myrmeleon Sp) binatang ini mengandung zat sulfonylurea.
Bryan (2004:1) menyatakan bahwa sulfonilurea berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar
glukosa darah. Dari uraian diatas maka sangat menarik bila dilakukan penelitian lanjutan
mengenai Kadar Glukosa Darah dengan menggunakan dosis Myrmeleon sp yang berbeda.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan pokok yang
dapat dirumuskan adalah bagaimana potensi dari jus larva Myrmeleon sp terhadap penurunan
Kadar Gula Darah Mus Musculus jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana potensi jus larva Myrmeleon sp terhadap penurunan kadar gula darah Mus
musculus swiss webster jantan. Penelitian ini juga dapat memberi informasi tentang potensi
jus larva Myrmeleon sp sebagai salah satu obat alternatif dengan berbahan dasar alam
(hewani).

B. Metodologi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2013, yang bertempat di
STKIP PGRI Lubuklinggau dan Kebun Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Bengkulu. Peralatan yang digunakan dalam penelitian inianatara lain adalah
kandang mencit, nampan plastik, sekam padi, botol minuman, timbangan analitik, Glukosa
Meter, pisau, alu dan lumpang, kamera digital, kertas tissu, Alat gavage, suntikan 10 ml,
24

pipet tetes. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini: Larva Myrmeleon Sp (Jus), M.
musculus jantan, pakan ternak, aquadest, alkohol 70%, cawan petri. Tahapan cara kerja pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penyediaan Mencit (M. musculus) Jantan
Mencit (M. musculus) jantan di datangkan dari peternak mencit yang ada di Bengkulu.
Kandang mencit akan dibuat dari nampan plastik yang diberi sekam padi sebagai alas dan
ditutup dengan ram kawat, kemudian nampan tersebut disusun pada rak yang tersedia di
dalam Kebun Biologi FKIP Universitas Bengkulu.
2. Penanganan Jus Larva Myrmeleon Sp
Larva Myrmeleon Sp didatangkan dari sekitar kawasan STKIP-PGRI Lubuklinggau.
Selanjutnya, larva Myrmeleon Sp tersebut digerus dengan menggunakan pelarut aquades
sehingga menjadi halus dan didapatkan Jus larva Myrmeleon Sp.
3. Konversi Dosis
Sampai sejauh ini belum ditemukan literatur mengenai dosis efektif Sulfonylurea yang
digunakan untuk larva Myrmeleon sp. Selain itu, konsentrasi Sulfonylurea yang terdapat
dalam undur-undur juga belum diketahui. Berdasarkan kebiasaan masyarakat penggunaan
larva Myrmeleon sp sebagai obat adalah 5 ekor untuk sekali konsumsi bagi orang dewasa
dengan berat rata-rata 50 kg. Mencit yang akan digunakan berumur 7 minggu dengan berat
rata-rata 30 g. Berdasarkan penelitiaan pendahuluan yang telah dilakukan berat 5 ekor Larva
Myrmeleon Sp adalah 0,1332 g. Untuk itu, agar didapat berat Jus larva Myrmeleon Sp yang
akan diberikan pada mencit secara gavage dikonversikan sebagai berikut:
Berat Jus yang akan diberikan:
a. Dosis efektif manusia
1000
0,1332 = 0,0026
50000
b. Dosis efektif mencit 0,0026 g/kg berat badan
30
0,0026 = 0,000078 g Jus Undur undur
1000
c. Dosis efektif 0,0039 g/kg berat badan
30
0,0039 = 0,000117 g Jus Undur undur
1000
d. Dosis efektif 0,0013 g/kg berat badan
30
0,0013 = 0,000039 g Jus Undur undur
1000
25

Untuk stok solutionnya,


0,00078
Dosis I : x 50 ml = 0,03 ml
0,1332
0,000177
Dosis II : x 50 ml = 0,04 ml
0,1332
0,000039
Dosis III : x 50 ml = 0,015 ml
0,1332

4. Pengelompokan Hewan Uji


Dalam penelitian ini hewan yang diberi perlakuan adalah Mus musculus jantan berumur
8-10 minggu dengan berat antara 20,9 - 30 g. M.musculus dikelompokkan secara acak
menjadi 4 kelompok yaitu kelompok pertama atau kontrol (P0) yang hanya diberi aquadest,
kelompok perlakuan dua diberikan jus larva Myrmeleon Sp (P1) dengan dosis 0,0013 g/kgbb,
kelompok tiga (P2) yang digavage dengan jus larva Myrmeleon Sp dengan dosis 0,0026
g/kgbb dan kelompok empat (P3) yang digavage dengan jus larva Myrmeleon sp dengan
dosis 0,0039 g/kgBb dengan masing-masing kelompok 5 kali pengulangan. Untuk lebih
jelasnya dikelompokkan secara acak seperti pada tabel berikut.
Tabel. 1 Pengelompokan M. Musculus Berdasarkan Pengulangan dan Dosis Perlakuan
Dosis Efektif Jus Larva
Kelompok Jumlah Ulangan
Myrmeleon Sp (g/kgBb)
1 (P0) 0 5
2 (P1) 0,0013 5
3 (P2) 0,0026 5
4 (P3) 0,0039 5

5. Pemberian Perlakuan
Perlakuan dilakukan degan metode gavage pada Mus musculus yang sudah
dikelompokkan secara acak berdasarkan dosis perkelompok. Untuk kelompok kontrol hanya
diberi akuades. Perlakuan dilakukan dengan 1 kali gavage selama rentang waktu 24 jam.
Setiap akan dilakukan gavage, berat badan hewan uji ditimbang untuk mengetahui berapa
dosis Jus yang harus diberikan (Rumanta, 1994). Berat badan mencit ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik sehingga diketahui berat badan mencit sebelum pemberian
perlakuan. Dalam perhitungan kadar glukosa darah, pengambilan sampel darah dilakukan
dalam jumlah yang sedikit, maka darah diambil dari ekor hewan uji.
6. Perhitungan Kadar Glukosa
Glukosa darah dihitung dengan menggunakan alat yang disebut glukotes. Darah diambil
pada mencit dengan jumlah sangat sedikit sehinggga tidat perlu membunuh mencit tersebut.
Darah diambil di bagian ekor mencit, kemudian diteteskan pada strip yang terdapat glukotes.
26

Setelah itu, glukotes akan memperlihatkan seberapa besar jumlah kadar glukosa yang terdapat
dalam darah hewan uji tersebut. Data yang didapatkan dianalisis dengan anova satu faktor.

C. Landasan Teori
1. Mymeleon sp
Myrmeleon sp adalah kelompok binatang holometabola yaitu serangga yang mengalami
metamorfosis sempurna. Tahapan dari daur serangga yang mengalami metamorfosis
sempurna adalah telur, larva, pupa, dan imago. Larva adalah hewan muda yang bentuk dan
sifatnya berbeda dengan dewasa. Pupa adalah kepompong yang mana pada saat itu serangga
tidak melakukan kegiatan, pada saat itu pula terjadi penyempurnaan dan pembentukan organ.
Imago adalah fase dewasa atau fase perkembangbiakan. Berdasarkan ciri sayap dan alat
mulutnya, binatang ini merupakan ordo Neuroptera. Ordo Neuroptera adalah serangga
bersayap jala. Ciri serangga ini adalah mulut menggigit dan mempunyai dua pasang sayap
yang urat-uratnya berbentuk seperti jala (Bachtiar, 2007)

Gambar 1. Larva Myrmeleon Sp (Sumber: Pelegrin, 2002: http://bugguide.net


/node/view/254992/bgimage)
Myrmeleon sp termasuk binatang pemangsa dan membuat sarangnya di tanah yang
kering dan cukup mendapat cahaya. Sarang yang berbentuk tirus atau kerucut itu juga
berfungsi sebagai perangkap. Sarang Myrmeleon Sp sering dijumpai diketeduhan atap rumah
atau di bawah lantai rumah yang tinggi. Larva dari Myrmeleon sp mirip sebuah kantung yang
berbuku-buku dan memiliki rahang melengkung yang sangat besar. Myrmeleon sp membuat
lubang dalam tanah pasir yang gembur dengan gerakan spiral ekornya. Tanah yang terlepas
dibuang keluar lubang dengan kepalanya. Pada dasar lubang tersembunyi, rahangnya siap
menangkap serangga kecil yang terperangkap dan menjadi mangsanya. Berikut gambar
habitat Myrmeleon sp.
27

Gambar 2. Habitat Myrmeleon sp (Sumber: Dokumen Pribadi, 2010)


Myrmeleon Sp (undur-undur) diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Neuroptera
Superfamili : Myrmeleontoidea
Famili : Myrmeleontidae
Genus : Myrmeleon
Species : Myrmeleon sp

2. Mus Musculus
Mus musculus secara morfologi mempunyai bentuk badan silindris dengan warna tubuh
putih atau kelabu, badanya ditutupi oleh rambut dengan tekstur yang lembut dan halus. Bobot
tubuh berkisar 8-30 g dan hidung berbentuk kerucut. Bila dibandingkan dengan hewan
menyusu lainnya, M.musculus memiliki daya reproduksi yang lebih tinggi.
M.musculus termasuk hewan menyusui yang mempunyai peranan penting dalam
kehidupan manusia, terutama dalam penggunaan sebagai hewan percobaan di laboratorium.
Mencit diklasifikasikan sebagai berikut:
Dunia : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Bangsa : Rodentia
Suku : Muridae
Anak Suku : Murinae
Marga : Mus
Jenis : Mus musculus (Jasin, 1989)

M.musculus termasuk rondensia pemanjat, kadang-kadang menggali lobang, dan


menggigit. Hewan ini termasuk ke dalam hewan nokturnal yang aktif pada malam hari.
Mencit merupakan hewan yang mempunyai daya reproduksi tinggi terutama bila
dibandingkan dengan hewan menyusui lainnya. Dengan faktor penunjang sebagai berikut:
kematangan seksual antara 2-3 bulan, masa kebuntingan singkat yaitu antara 21-23 hari,
28

terjadinya post portum estrus (timbulnya birahi segera antara 24-28 jam) setelah melahirkan,
dapat melahirkan sepanjang tahun tanpa musim kawin, melahirkan keturunan dalam jumlah
yang banyak yaitu 3-12 ekor dengan rata-rata 6 ekor perkelahiran, dan untuk jenis tikus
jantan selalu dalam kondisi siap kawin. M.musculus mempunyai ciri dengan tekstur rambut
lembut dan halus, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan putih, habitat
di rumah, gudang dan sawah, bobot tubuh 8-30 gram, dan jumlah puting susu 5. Mencit
memiliki sistem kawin poligami. Penemuan terbaru, lagu ultrasonik dihasilkan oleh tikus
jantan, saat terkena feromon seks perempuan, menunjukkan bahwa perilaku ini mungkin
terlibat dalam pemilihan pasangan (Holy, 2005).

3. Sulfonilurea
Sulfonylurea merupakan turunan dari obat antidiabetes yang biasanya digunakan dalam
pengobatan diabetes militus tipe 2, sulfonylurea bekerja untuk meningkatkan produksi
hormon insulin yang dihasilkan oleh sel beta di dalam pankreas. Berikut gambar struktur
kimia sulfonylurea.

Gambar 3. Struktur Kimia Sulfonylurea (Bryan, 2004)


Saat ini Sulfonylurea tidak hanya ditemukan sebagai bahan alam saja, tetapi juga
disintesis menjadi obat antidiabetes yang beredar di pasaran. Pabrik obat-obatan telah
membuat obat Sulfonylurea sintesis menjadi dua generasi antara lain: generasi pertama,
yaitu: Acetohexamide, Chlorpropamide, Tolbutamide, dan Tolazamide. Generasi kedua yaitu,
Glipi-zide, Gliclazide, Glibenclamide, Gliquidone, dan Glyclopyrami. Generasi ketiga, yaitu:
Glimepiride (Permana, 2007). Glibenclamid adalah obat antidiabetes yang cukup kuat
menurunkan kadar glukosa darah, pada dosis yang tinggi bisa menyebabkan hipoglikemia.
Obat ini di pasaran dikenal dengan nama dagang Daonil atau Euglucon, masih ada lagi
buatan lokal, seperti Glimel, Renabetic, Prodiamel (J. Mukai dkk., 2008).

4. Diabetes Militus
Diabetes Mellitus merupakan proses yang berlanjut dari keadaan normoglikemia (kadar
gula darah normal) menjadi hiperglikemia (peningkatan gula darah). Hiperglikemia kronik
nantinya dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang dan gangguan fungsi organ-organ,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Diabetes mellitus adalah penyakit
29

kronis yang membutuhkan perawatan medis seumur hidup dan penyesuaian gaya hidup
(Ayele, 2012).
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang juga dikenal sebagai penyakit kencing manis atau
penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar
gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana
organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Insulin
adalah salah satu hormon yang diproduksi oleh pankreas yang bertanggung jawab untuk
mengontrol jumlah/kadar gula dalam darah dan insulin dibutuhkan untuk merubah
(memproses) karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi yang diperlukan tubuh manusia.
Selain itu, hormon insulin berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah.
Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis
yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, yang mana peningkatan kadar
gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing
manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering dilebung atau diperebutkan
semut.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai Uji Potensi Jus Larva Myrmeleon Sp
terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Mus Musculus Swiss Webster Jantan diperoleh
hasil sebagai berikut:
a. Penentuan Kadar Gula Darah Mus musculus setelah Pemberian Jus larva Myrmeleon sp
Pengukuran kadar gula darah Mus musculus dilakukan dengan 2 tahap: pertama pada
saat pemberian perlakuan dengan jus larva Myrmeleon sp dan kedua pada saat pemulihan
setelah pemberian jus larva Myrmeleon sp (Recovery). Data mengenai kadar gula darah Mus
musculus yang telah diberi perlakuan dengan pemberian jus larva Myrmeleon sp (tahap 1),
dianalisis dengan anova satu faktor. Jika data yang telah dianalisis menunjukkan hasil yang
signifikan, maka akan dilakukan uji lanjut yaitu Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Untuk
mengetahui pengaruh jus larva Myrmeleon sp terhadap kadar gula darah darah mencit maka
ditampilkan tabel berikut.
30

Tabel 3. Rata-rata Pengukuran Kadar Gula Darah Mus Musculus setelah Diberi
Perlakuan Jus larva Myrmeleon sp
Kelompok Perlakuan Rata-rata Kadar Gula
No. n Notasi
Mencit Darah(mg/dl) SD
1 P0 (Kontrol) 5 98,6 11,41 b
2 P1 (0,0013 g) 5 80,4 19,70 a
3 P2 (0,0026 g) 5 77,8 13,74 a
4 P3 (0,0039 g) 5 76, 49,15 a
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang huruf yang sama menujukkan data
yang berbeda, tetapi tidak nyata
Hasil rata-rata pengukuran kadar gula darah mencit kontrol (P0) sebesar 98,6 mg/dL,
kadar gula mencit dengan perlakuan jus larva Myrmeleon sp dengan dosis 0,0013 g (P1)
adalah 80,4 mg/dl, kadar gula darah mencit dengan perlakuan jus larva Myrmeleon sp
dengan dosis 0,0026 g (P2) adalah 77,8 mg/dl, kadar gula darah mencit dengan perlakuan jus
larva Myrmeleon sp dengan dosis 0,0039 g (P3) adalah 76,4 mg/dl.
Berdasarkan analisis varian (Anova satu faktor) jumlah kadar gula darah dari setiap
kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang signifikan dengan ( = 0,05), F Hitung sebesar
3,28 > F Tabel sebesar 3,24. Hal ini menujukkan bahwa pemberian jus larva Myrmeleon sp
dengan dosis 0,0013 g (P1), 0,0026 g (P2), dan 0,0039 g (P3) telah memberikan pengaruh
yang nyata terhadap penurunan jumlah kadar gula darah mencit tersebut. Berdasarkan hasil
analisis data dengan menggunakan uji lanjut BNT, dapat diketahui bahwa kadar gula setelah
perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata menurunkan kadar gula darah mencit.
Pengaruh pemberian jus larva Myrmeleon sp terhadap kadar gula dalam darah adalah semakin
besar dosis yang diberikan, maka semakin kecil kadar gula darah pada mencit.
Dari data hasil penelitian tahap 1 dapat dilihat bahwa pemberian jus larva Myrmeleon sp
dengan dosis 0,0013 g (P1), dosis 0,0026 g (P2), dan dosis 0,0039 g (P3), mempengaruhi
homeostatis kadar gula darah dalam tubuh mencit yang menyebabkan penurunan kadar gula
darah. Terganggunya homeositatis tersebut diasumikan karena zat Sulfonilurea yang terdapat
pada jus larva Myrmeleon sp yang mempengaruhi homeostatis kadar gula darah di dalam
tubuh sehingga menyebabkan penurunan kadar gula darah mencit. Hal ini terjadi karena zat
Sufonilurea menstimulasi sel-sel beta dalam pankreas untuk memproduksi lebih banyak
insulin (Proks et. al, 2002:1). Sumber lain mengatakan bahwa Sulfonilurea menurunkan
kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi insulin (Arifin, 2010:17).
Setelah glukosa diserap oleh usus, glukosa bercampur dengan darah dan menjadi glukosa
darah. Dalam keadaan normal, insulin akan langsung disekresikan oleh pankreas untuk
mengubah gula darah menjadi gula otot (glikogen), akan tetapi pada Diabetes melitus tipe 2
31

kerja insulin terganggu, hal inilah yang menjadi penyebab kurang optimalnya sekresi insulin
dari pankreas.
Sulfonylurea yang terdapat pada jus larva Myrmeleon sp masuk melalui sistem
pencernaan, sedangkan absorbsinya terjadi pada usus halus. Setelah itu, sulfonylurea masuk
ke dalam sistem peredaran darah, kemudian menempel pada reseptor di kelenjar pankereas.
Reseptor target dari sulfonylurea adalah sel alfa dan sel beta yang terdapat pada kelenjar
pankreas. Setelah masuk ke sel beta, sulfonylurea menstimulasi sel beta untuk melepaskan
persediaan insulin yang tersimpan dalam granula insulin. Di dalam sel beta sulfonylurea
meningkatkan ion Ca2+ intraseluler. Kondisi inilah yang dapat memicu pelepasan insulin
yang tersimpan pada granula sel beta sehingga menyebabkan keluarnya insulin dari granula.
Sekresi insulin yang tersimpan di granula disebut dengan sekresi pada fase pertama yang
terjadi pada 3-10 menit pertama.
Pada fase kedua , sekresi insulin terjadi 20 menit setelah skresi fase pertama terjadi. Pada
fase ini insulin yang disekresikan merupakan hasil dari produksi langsung insulin oleh sel
beta. Pada fase ini sulfonylurea menimbulkan rangsangan pada saraf parasimpatis pada
pankreas yang menstimulasi produksi insulin oleh sel beta.
Menurut Syahputra (2003:1) kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan
sebuah reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel sasaran. Kerja hormon insulin
yang beragam (Gambar 1) dapat terjadi dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit
(kerja pengangkutan, fosforilasi protein, aktivasi dan inhibisi enzim, sintesis RNA) atau
sesudah beberapa jam (kerja sintesis protein serta DNA dan pertumbuhan sel). Efek utama
insulin adalah merangsang pengambilan dan penggunaan glukosa oleh sel-sel jaringan dan
penyimpanan glukosa sebagai glikogen dalam hati dan otot-otot. Akibatnya kadar glukosa
darah turun. Sacara faali, bila kadar glukosa darah telah turun ke tingkat yang normal,
pengeluaran insulin secara otomatis akan dihentikan dan efeknya akan segera berhenti.
Selanjutnya penurunan kadar glukosa darah ini akan merangsang pengeluaran hormon-
hormon lain yang efeknya berlawanan sebagai kompensasi (glukagon dari pankreas) dan
semua akan membantu mempertahankan kadar glukosa pada tingkat yang normal.
Pada penelitian tahap 1 dapat diketahui bahwa dosis 0,0013 g sudah menurunkan kadar
glukosa darah pada mencit. Dari data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dosis efektif
untuk menurunkan kadar glukosa darah pada mencit adalah dosis 0,0013 g yang diberikan
pada mencit perlakuan kelompok pertama.
Penurunan kadar glukosa yang terlalu rendah juga berdampak negatif bagi tubuh dengan
kadar gula darah lebih rendah dari kadar gula darah normal yaitu < 70mg/dl (Hipoglikemia).
32

Hipoglikemia dapat terjadi akibat pankreas terlalu banyak mensekresikan insulin, pola makan
yang tidak teratur dan kegiatan jasmani yang berlebihan. Jika hipoglikemia tidak segera
diatasi maka dapat menimbulkan kejang atau pingsan. Kadar gula darah rendah juga dapat
menimbulkan sakit kepala, gemetar, kepala pening, lapar, kulit dingin atau lembab, denyut
jantung cepat dan gelisah. Hal ini sebagai akibat dari kurangnya asupan glukosa bagi otak yang
diperlukan untuk pembentukan energi sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Hambatan utama dalam mencapai hasil yang baik dalam pengelolaan DMT2 adalah
kompleksnya patofisiologi DMT2, keterbatasan pengobatan, dan kepatuhan yang buruk dari
penderita. Salah satu keterbatasan tersebut adalah adanya patofisiologi DMT2 sangat
komplek, yaitu adanya kegagalan sekresi insulin dan resistensi insulin yang mendasar
kelainan selanjutnya. Apabila kedua keadaan tersebut terjadi pada saat bersama dan timbul
secara simultan menyebabkan hiperglikemia yang manifest sebagai DMT2 (Permana,
2008:7).

b. Penentuan Kadar Gula Darah Mus Musculus pada Tahap Pemulihan


Data kadar gula darah mencit pada tahap pemulihan (tahap kedua) dianalisis dengan
anova satu faktor. Data hasil pengukuran kadar gula dalam darah mencit setelah masa
pemulihan disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kadar Gula Darah (Recovery/Pemulihan) Mus Muculus
Setelah Pemberian Jus larva Myrmeleon sp
Kelompok Perlakuan Rata-rata Kadar Gula
No N
Mencit Darah SD
1 P0 (Kontrol) 5 108,4 16,727
2 P1 (0,0013 g) 5 99,8 15,514
3 P2 (0,0026 g) 5 101,2 28,296
4 P3 (0,0039 g) 5 118,2 10,014
Keterangan: hasil rata-rata pengkuran kadar gula darah (recovery/pemulihan)
Hasil pengukuran rata-rata kadar gula darah pada tahap pemulihan (Recovery) mencit
kontrol (P0) sebesar 108,4 mg/dL, kadar gula darah mencit pada tahap pemulihan (Recovery)
setelah pemberian ekstrak Undur-undur dengan dosis 0,0013 g (P1) adalah 99,8 mg/dl, kadar
gula mencit pada tahap pemulihan (Recovery) setelah ekstrak undur-undur dengan 0,0026 g
(P2) adalah 101,2 mg/dl, kadar gula mencit pada tahap pemulihan (Recovery) setelah
pemberian ekstrak undur-undur dengan dosis 0,0039 g (P3) adalah 118,2 mg/dl. Hasil
pengukuran jumlah rata-rata kadar gula darah mencit ini menunjukkan bahwa pada tahap
33

pemulihan (recovery) setelah pemberian ekstrak undur-undur tidak mempengaruhi kadar


gula darah mencit.
Berdasarkan Analisis Varian (Anova Satu Faktor) jumlah kadar gula darah dari setiap
kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang tidak signifikan dengan F Hitung sebesar
1,025 lebih kecil dari F Tabel sebesar 3,24. Hal ini berarti bahwa pada masa pemulihan
setelah pemberian ekstrak undur-undur, kadar gula darah mencit jantan dengan kelompok
perlakuan yang berbeda yaitu dosis 0,0013 g (P1), dosis 0,0026 g (P2), dan dosis 0,0039 g
(P3) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah kadar gula darah mencit
tersebut. Untuk melihat jumlah rata-rata kadar gula darah mencit dapat digambarkan pada
grafik di bawah ini.

120
Kadar Glukosa Darah(mg/dl)

115

110

105 118.2
100 108.4
95 99.8 101.2

90
(P0/kontrol) (P1/0,0013g) (P2/0,0026g) (P3/0,0039g)
Perlakuan
Gambar 8. Grafik Rata-rata Kadar Gula Darah (Recovery/Pemulihan)
Mencit Jantan Pada Masing-masing Perlakuan setelah
Pemberian Ekstrak Undur-undur

Hasil penelitian tahap 2, yaitu pada tahap pemulihan (Recovery) dapat dilihat hasilnya
pada grafik pada halaman sebelumnya, grafik tersebut menunjukkan bahwa (P1), (P2), (P3),
dan kontrol (P0) menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Pada tahap 1 kadar gula darah pada
mencit cenderung mengalami penurunan, sedangkan pada tahap 2 (recovery) kadar gula
darah mencit kembali normal. Keadaan ini diasumsikan bahwa selang waktu 4 minggu
(recovery) setelah pemberian ekstrak undur-undur mempengaruhi homeositas kadar gula
dalam darah mencit, sehingga menyebabkan kadar gula darah mencit yang diberi perlakuan
mengalami peningkatan/kembali pada keadaan normal. Adanya paruh eliminasi selama 30
hari setelah pemberian ekstrak undur-undur menyebabkan hilangnya pengaruh Sulfonylurea
34

dalam darah. Sulfonilurea akan termetabolis oleh metabolisme enzim hati (sitokrom)
sehingga terjadi pembersihan Sulfonylurea yang terdapat di dalam tubuh.
Aktifnya hormon adrenalin (epineprin) dan glukagon yang dihasilkan oleh pankreas
menyebabkan peningkatan kadar gula darah dalam tubuh. Glukagon adalah hormon yang
dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa
dari cadangan karbohidrat di dalam hati.

E. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemberian ekstrak Myrmeleon sp kepada mencit menunjukkan pengaruh yang nyata
pada kadar glukosa darah mencit.
2. Setelah masa pemulihan (Recovery) kadar glukosa darah mencit kembali normal.
Saat pemakaian larva Myrmeleon sp atau jus larva Myrmeleon sp pengguna harus
berhati-hati karena dosis yang berlebihan dapat menyebabkan hipoglikemik. Disarankan bagi
penderita Dibetes Melitus tipe 2 dengan rata-rata berat badan 50kg sebaiknya mengkonsumsi
larva Mymeleon sp dengan dosis 0,0013 g Mymeleon sp /kg berat badan atau setara dengan 3
ekor larva Mymeleon sp.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana I Ketut, dkk. 2004. Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Buah Mengkudu
(Morinda citrifolia L.). Bandung: Acta Pharmaceutica Indonesia, Vol. XXIX, No. 2,
2004 - 43.

Arifin Augusta L. 2010. Panduan Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkini. Bandung:
FakultasKedokteran UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin.

Bryan Joseph, Lidia Aguiliar. 2004. Sulfonylurea Receptors, Adenosine triphosphate


Sensitive Potassium Channels, and Insulin Secretion . Philadelphi:
Lippincott Williams & Wilkins

Inawati, Syamsudin, Hendiq Winarno. 2006. Pengaruh Ekstrak Daun Inai (Lawsonia inermis
Linn.) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa, Kolesterol Total dan Trigliserida Darah
Mencit yang Diinduksi Aloksan. Jakarta: Jurnal Kimia Indonesia Vol 1 (2), 2006, h. 71-
77

Tyas Eva Utami, Rizka Fitrianti, Mahriani, Susantin Fajariyah. 2009. Efek Kondisi
Hiperglikemik terhadap Struktur Ovarium dan Siklus Estrus Mencit (Mus musculus L).
Jember: Universitas Jember. Jurnal ILMU DASAR, Vol. 10 No. 2, Juli 2009 : 219-224
35

Permana Hikmat. 2008. Sulfonylurea sebagai Pilar Penatalakasanaan Diabetes Mellitus Tipe
2 dalam pencegahan Komplikasi Penyakit kardiovaskuler. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran.

Proks Peter, Frank Reimann, Nick Hijau , Fiona Gribble dan Frances Ashcroft. 2002.
Sulfonylurea Stimulasi Insulin Sekresi. Inggris: University Laboratory of Physiology.
Jurnal: 10.2337/diabetes.51.2007.S368 Diabetes Desember 2002 vol. 51 no. suppl
3 S368-S376.

Syahputra. 2003. Diabetik Ketoacidosis. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Universitas


Sumatera Utara.
36

Pengaruh Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia terhadap


Sikap Patriotisme Siswa Kelas XI SMA PGRI 1 Lubuklinggau

Oleh Yeni Asmara1


(yeni_asmara@ymail.com)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menjelaskan pengaruh pengajaran Sejarah Nasional Indonesia terhadap sikap
patriotism siswa kelas XI SMA PGRI 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2009/2010. Sampel dalam
penelitian ini adalah siswa SMA PGRI 1 Lubuklinggau yang berjumlah 40 orang siswa. Teknik
Pengumpulan data menggunakan teknik angket dan wawancara. Sedangkan analisis datanya
menggunakan rumus product moment. Hasil orientasi sementara menunjukkan bahwa pembelajaran
sejarah belum kondusif untuk memberikan pengaruh terhadap sikap patriotisme siswa. Lemahnya
kesadaran sejarah di kalangan siswa SMU tersebut, tentu saja disebabkan oleh berbagai faktor yang
menyangkut; substansi, pendekatan, maupun strategi pembelajaran yang kurang menunjang. Dari hasil
penghitungan menggunakan product moment menunjukkan bahwa thitung 0,136 < ttabel 0,316. Dengan
demikian, tidak ada pengaruh pengajaran sejarah nasional terhadap sikap patriotisme di SMA PGRI 1
Lubuklinggau.

Kata kunci : Pengaruh, Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia, Sikap Patriotisme.

A. Pendahuluan
Pengajaran sejarah merupakan bagian dari gambaran masa lalu yang dibawa oleh guru-
guru Sejarah ke dalam kelas, namun tidak semua peristiwa masa lalu dapat diajarkan kepada
peserta didik. Hanya peristiwa-peristiwa yang memiliki makna dan arti bagi kehidupan
manusia atau peristiwa yang ikut menentukan sejarah umat manusia yang diajarkan kepada
peserta didik. Pengajaran sejarah menjadi penting dikarenakan adanya keterbatasan manusia
dalam mengamati, membuktikan dan menginterpretasikan masa lalu serta kejadian masa
lampau mengandung kekomplekan atau multidimensi.
Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran sejarah dengan mengunakan media pengajaran
yang sesuai untuk mengembangkan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa dan dapat
menimbulkan atau membangkitkan motivasi belajar yang pada akhirnya siswa akan
memperoleh kemampuan dalam mengambil makna dari suatu peristiwa sejarah yang
dipelajari dan dapat dijadikan pedoman dalam berbuat dan bertindak untuk masa sekarang
dan yang akan datang.
Esensi pengajaran sejarah adalah menerangkan bagaimana sesuatu itu bisa terjadi
sehingga guru sejarah dituntut mempunyai kemampuan menjelaskan peristiwa sejarah
tersebut dengan menggunakan salah satu media pengajaran sejarah. Hal ini berkaitan dengan

1
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Lubuklinggau
37

fungsi genetis dari pengetahuan sejarah. Pengetahuan sejarah juga berfungsi agar generasi
berikutnya dapat mengambil manfaat dibalik peristiwa sejarah tersebut, sehingga guru
dituntut mempunyai kemampuan dalam merekonstruksikan peristiwa sejarah dihadapan siswa
melalui rekamanrekaman sejarah sehingga pelajaran sejarah akan lebih menarik bagi siswa.
Pengajaran sejarah berfungsi untuk menanamkan pemahaman tentang adanya keterkaitan
antara perkembangan masyarakat masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang,
seperti menumbuhkan rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air serta memperluas wawasan
hubungan antar bangsa di dunia. Sehingga dalam memberikan materi sejarah, hendaknya
guru sejarah tidak menekankan pada proses menghapal tetapi guru menekankan mengenai
pemahaman materinya, karena peristiwa sejarah tidak bisa dipahami hanya dengan
menghapal tetapi peristiwa sejarah dapat dipahami dengan cara menelaah sebab akibat
terjadinya peristiwa tersebut.
Pengajaran sejarah selain dapat memberikan identitas bangsa juga dapat dipergunakan
untuk melatih warga negara yang setia kepada tanah airnya seperti menimbulkan rasa bangga
pada pahlawan dengan melalui berbagai peristiwa sejarah. Oleh karena itu penting sekali bagi
generasi muda untuk lebih mengenal peristiwa masa lampau bangsanya. Dengan demikian
maka pengajaran sejarah sangat berpengaruh terhadap nasionalisme atau patriotisme siswa,
sehingga guru sebagai ujung tombak dalam pengajaran diharapkan dapat memberikan
motivasi dan semangat siswa dalam mengisi perjuangan dan pembangunan di Indonesia.
Melihat pentingnya pengajaran sejarah Nasional Indoesia, Sartono Kartodirdjo (1989:20)
menyatakan bahwa Sejarah Nasional Indonesia mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi
genetis dan didaktis. Fungsi genetis menerangkan bagaimana sesuatu bisa terjadi sedangkan
fungsi didaktis agar pengetahuan sejarah dapat diambil maknanya bagi generasi muda dalam
bertindak dan melangkah baik dimasa sekarang maupun masa yang akan datang. Berkaitan
dengan hal tersebut maka dalam pengajaran sejarah perlu dikedepankan nilai nilai
patriotisme dan nasionalisme pada siswa.
Mengenai pelajaran sejarah di sekolah, Sartono Kartodirdjo (1989:20) melihatnya terdiri
dari lima fungsi yaitu : (a) membangkitkan perhatian dan minat sejarah tanah air kepada
siswa (b) memberikan inspirasi kepada siswa melalui cerita-cerita sejarah (c) memupuk alam
pikiran siswa ke arah sejarah (d) memberi pola pikir ke arah yang rasional dan kritis pada
siswa (e) mengembangkan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Pada hakekatnya tujuan pragmatis pelajaran sejarah mencakup beberapa sasaran yaitu
pendidikan nasional dan sasaran pembangunan nasional. Sebagai sarana pendidikan,
pelajaran sejarah harus disusun menurut ukuran nilai dan makna yang relevan dengan tujuan
38

pendidikan nasional ditinjau dari segi normatif edukatifnya. Sedangkan tujuan pengajaran
sejarah nasional secara umum adalah membentuk warga negara yang baik, menyadarkan
siswa mengenal jati diri bangsanya dan memberikan persepektif sejarah. Kemudian tujuan
khusus pengajaran sejarah nasional ada tiga bagianb yaitu (a) mengajarkan konsep (b)
mengajarkan keterampilan intelektual (c)dan memberikan informasi sejarah kepada siswa (
Gruning, 1978 :17 ).
Selain itu, Meulen (1987:83) mengungkapkan bahwa pengajaran Sejarah Nasional
Indonesia bertujuan untuk membangun kepribadian dan sikap mental siswa, membangkitkan
kesadaran siswa dalam mencapai cita-cita dalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, serta ingin menjadikan manusia yang jujur dan bijaksana pada diri siswa.
Berkaitan dengan uraian di atas, yang menjelaskan berbagai macam tujuan dari
pengajaran sejarah nasional maka, guru sejarah diharapkan dapat memberikan makna atau
nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah tersebut seperti nilai patriotisme dan
nasionalisme karena pengajaran sejarah dapat memberikan manfaat positif untuk mencegah
disintegrasi bangsa.
Pengajaran sejarah memiliki peran yang penting dalam memberikan sumbangan terhadap
proses pembangunan di segala bidang kehidupan (Suryo,1991:12). Dalam kaitan ini, proses
pewarisan nilai-nilai sejarah dari generasi satu ke generasi berikutnya merupakan hal yang
mutlak bagi suatu bangsa agar tidak kehilangan identitas dirinya seiring dengan proses
pembangunan bangsanya. Siswa sebagai generasi muda sangat perlu memiliki kesadaran
sejarah yang memadai untuk dapat memahami identitas bangsanya. Salah satu wadah dalam
upaya menumbuhkan kesadaran sejarah tersebut dapat dilakukan dengan pengajaran Sejarah
Nasional yang diharapkan dapat menumbuhkan sikap patriotisme dan nasionalisme.
Penelitian ini bertolak dari kerisauan penulis terhadap fenomena menguatnya disintegrasi
bangsa di berbagai wilayah Indonesia, yang dikhawatirkan telah meluas di kalangan siswa
SMA. Karena itulah penulis tertarik untuk meneliti adakah pengaruh pengajaran Sejarah
Nasional Indonesia terhadap sikap patriotisme pada siswa kelas XI SMA PGRI 1
Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2009/2010 ?

B. Landasan Teori
1. Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia
Pengajaran sebagai istilah dari kata Instruction Teaching yang diartikan sebagai proses
belajar mengajar (Rohani dan Ahmadi, 1995:63). Belajar merupakan usaha sadar yang
direncanakan melalui proses perubahan tingkah laku. Menurut Mohammad Ali (1999:15)
39

pengajaran merupakan proses, perbuatan, cara mengajar, ataupun mengajarkan. Sedangkan


menurut Ibrahim (1995:63) pengajaran merupakan suatu sistem, yang mana dalam sistem ini
ada seperangkat unsur dalam susunan yang saling berhubungan dan saling ketergantungan
satu sama lainnya dalam melaksanakan aktivitas guna menuju ketercapainya tujuan seperti
yang telah ditetapkan. Unsur atau komponen yang terdapat dalam sistem pengajaran tersebut
di antaranya adalah siswa, guru, kurikulum, sumber materi, media, gedung serta lingkungan.
Semua komponen tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Sedangkan pengertian sejarah dijelaskan oleh Gazalba (1966:11) bahwa sejarah adalah
gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai mahluk sosial yang disusun
secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa lalu dengan penafsiran dan penjelasan
yang memberikan pengertian, dan pemahaman tentang apa yang telah berlaku. Definsi lain
yang menjelaskan tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantana (1987:82)
sejarah adalah gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang dialami manusia,
disusun secara ilmiah meliputi urutan waktu tafsiran dan analisis kritis sehingga mudah
dimengerti dan dipahami. Kemudian, definisi sejarah yang lebih tegas lagi dikemukakan
Sjamsuddin dan Ismaun (1996:47) sejarah berarti cerita atau kejadian yang benar-benar sudah
terjadi atau berlangsung pada waktu yang lalu yang telah diteliti penulis sejarah dari masa ke
masa.
Dari pengertian sejarah di atas jelaslah bahwa unsur-unsur yang terdapat pada sejarah
adalah manusia, peristiwa, masa lalu, catatan atau rekaman peristiwa, tempat atau ruang
kejadian dan kronologis, kegiatan interpretasi dari suatu peristiwa masa lampau secara
ilmiah. Sehingga penampilan sejarah di dalam kelas bukan suatu rentetan cerita sejarah yang
menampilkan angka tahun, tempat kejadian ataupun pelaku sejarah saja, melainkan suatu
cerita yang telah disusun berdasarkan kegiatan ilmiah.
Penggunaan sejarah sebagai sarana pendidikan berarti sejarah dijadikan sebagai salah
satu bidang studi dalam proses pendidikan. Dengan demikian, sebagai suatu bidang studi
pengajaran sejarah harus dapat mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Oleh karena itu sehubungan aspek makna yang merupakan bagian dari aspek kognitif, maka
pengajaran sejarah bukanlah sekadar menyajikan fakta-fakta belaka, melainkan harus
mengaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejarah Nasional Indonesia pada dasarnya adalah bagian integral dalam kurikulum
pendidikan sejarah. Materi pengajaran sejarah yang bersumber dari kurikulum harus
memenuhi standar buku yang ditetapkan. Dalam hal ini Olivia (1982:25) mengatakan bahwa
kurikulum merupakan sesuatu yang disusun, direncanakan, diterapkan, dan dievaluasi. Dalam
40

proses di atas, maka kurikulum berkembang sejalan dengan usaha yang terus menerus untuk
menemukan alat atau cara yang baru, efisien, dan lebih baik dalam menyempurnakan
pelaksanaanya.
Dari pengertian di atas, maka materi pengajaran sejarah bukan merupakan barang jadi
yang bersifat statis, melainkan sesuatu yang bersifat dinamis dan terbuka terhadap
perkembangan yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran sejarah yang
menampilkan sejarah sebagaimana adanya dan tidak diikuti dengan proses pengolahan materi
yang memadai serta tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuan berpikirnya akan mengakibatkan siswa tidak memilili kemampuan dalam
memahami sejarah bangsanya sendiri.
Berkaitan dengan pengajaran sejarah nasional, maka guru dituntut memiliki pengetahuan
secara luas karena cakupan materi yang diajarkan adalah secara nasional yang bersinggungan
satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang diharapkan menjadi simpul-simpul perekat
persatuan bangsa dan menjadi penumbuh kebudayaan nasional. Seperti yang diungkapkan
oleh Isjoni (2007:40) bahwa fungsi sejarah nasional adalah sebagai penumbuh kebudayaan
nasional. Lewat pengetahuan sejarah muncul kesadaran sejarah dan kesadaran nasional.
Berkaitan dengan hal di atas menurut Abdullah (1996:10) Sejarah Nasional Indonesia
dari sudut pengisahan dapat dibagi dalam tiga corak pengisahan, yaitu: 1) romantik,
2) heroik, dan 3) patriotik. Pembelajaran sejarah dalam kaitannya dengan integrasi nasional
dan jati diri bangsa hendaknya ditekankan bahwa komunitas bangsa yang terdiri atas kesatuan
suku bangsa dan kesatuan etnis tidak tumbuh sendiri, tetapi terbentuk melalui proses sejarah
yang panjang. Jati diri bangsa merupakan hasil terjadinya proses pematangan integrasi
nasional.
Sejarah Nasional Indonesia dapat mengembangkan tentang warisan kebudayaan, hal ini
karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Oleh sebab itu, melalui
pengajaran sejarah nasional diharapkan warisan-warisan kebudayaan tersebut dapat tergali
dan diketahui oleh generasi muda sehingga tidak menimbulkan kesan streotip terhadap
daerah lain.
2. Sikap Patriotisme
Pengajaran sejarah yang bertujuan demikian, sebagaimana diuraikan oleh Taufik
Abdullah (1996 : 10) bahwa sejarah sebaiknya berangkat dari pemahaman wacana intelektual
yang kritis dan rasional. Ia bukan wacana yang menggunakan ilustrasi dengan kisah yang
bersumber pada masa lalu. Sehingga sebagai bahan pengajaran sejarah tidak kering dan
monoton, akan tetapi sebaliknya sebagai bahan pengajaran yang menarik bagi siswa karena
41

sejarah memberikan informasi berharga. Sebagaiman diungkapkan oleh Ansker Smith (1997:
474) bahwa sangat beralasan apabila sejarah dipergunakan sebagai bahan pengajaran karena
ia menuntut ajaran-ajaran yang dapat dipetik sebagai pengetahuan tentang masa silam.
Sebagai kajian, ia perlu memberikan pemahaman secara jernih dan mendalam terhadap masa
silam. Sehingga pengajaran sejarah diharapkan dapat memunculkan suatu pemikiran yang
rasional yang menghubungkan peristiwa-peristiwa masa lalu dengan realitas masa sekarang
dan perspektif masa depan. Sehingga kesinambungan sejarah sebagai suatu kontinuitas dalam
peristiwa tetap terjaga.
Materi mengenai Sejarah Nasional Indonesia memuat nilai-nilai patriotisme. Agar dalam
diri siswa tumbuh sikap patriotisme, maka peranan guru sangat diperlukan. Guru sejarah
dituntut untuk dapat memberi pengarahan sekaligus pengertian pada siswa mengenai nilai-
nilai yang terkandung dalam pengajaran sejarah, sehingga dalam diri siswa tumbuh semangat
cinta tanah air, semangat persatuan dan kesatuan serta semangat rela berkorban demi bangsa
dan negara.
Sikap pada dasarnya adalah suatu respon evaluatif. Respon akan hanya timbul apabila
individu dihadapkan pada stimulans yang dihadapi adanya reaksi individual (Sumaryono,
1993:54). Dengan demikian, sikap merupakan produk dari sosialisasi yang mana seorang
bereaksi dengan rangsangan yang diterimanya. Sikap dipandang sebagai hasil belajar atau
hasil perkembangan terhadap sesuatu yang diwariskan.

C. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif.
Metode deskriptif kuantitatif diartikan sebagai suatu metode yang mendeskripsikan suatu
fenomena-fenomena dengan angka statistik. Sedangkan teknik pengumpulan datanya
menggunakan teknik angket. Angket yang diberikan terdiri dari dua bentuk yaitu angket
untuk tanggapan siswa terhadap sejarah dan angket untuk mengetahui pengaruh pengajaran
Sejarah Nasional Indonesia terhadap sikap patriotisme. Untuk menentukan skor pengaruh
pengajaran sejarah terhadap sikap patriotisme diberikan alternatif jawaban sangat setuju,
setuju, dan tidak setuju. Responden yang menjawab setuju memperoleh skor 3, setuju
skornya 2, dan tidak setuju skornya 1. Hasil dari jawaban responden selanjutnya akan
ditabulasikan dalam analisis product moment.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA PGRI 1 Lubuklinggau
yang berjumlah 121 siswa. Sedangkan sampel yang dipilih dalam penelitian ini berjumlah 40
siswa yang diambil secara acak (random).
42

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Tanggapan Siswa terhadap Pembelajaran Sejarah Nasional
Untuk mengetahui minat siswa terhadap belajar Sejarah Nasional akan diujikan beberapa
angket, dengan tujuan agar diketahui tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran sejarah
di SMA PGRI 1 Lubuklinggau. Berikut hasil tanggapan siswa terhadap pembelajaran Sejarah
Nasional.
Tabel 1. Tanggapan Siswa terhadap Pembelajaran Sejarah Nasional
Persentase Jawaban Siswa
No Pertanyaan
Ya Tidak Tidak tahu
1 Apakah Anda menyenangi pelajaran Sejarah ? 50.0 37,5 12,5
2 Apakah Anda tertarik ketika guru menerangkan materi 25,0 50,0 25,0
Sejarah Nasional ?
3 Apakah belajar Sejarah itu membosankan ? 37,5 50,0 12,5
4 Apakah kamu memahami materi Sejarah Nasioanal? 25,0 37,5 25,0
5 Apakah kamu sering bertanya kepada guru sejarah 37,5 50,0 12,0
mengenai materi Sejarah Nasional?
6 Apakah Anda puas jawaban yang diberikan oleh guru 12,5 62,5 25,0
terhAdap pertanyaan yang diungkapkan?
7 Apakah Anda suka metode mengajar yang dilakukan 25,0 62,5 12,5
oleh guru dalam menyampaikan materi?
8 Dalam menyampaikan materi pelajaran, apakah guru 12,5 75,0 12,5
sejarah menggunakan metode yang bervariasi?
9 Apakah kamu sering diberikan tugas oleh guru sejarah 25,0 62,5 12,5
setelah menyampaikan materi?
10 Apakah kamu sering dan senang mengerjakan tugas 25,0 62,5 12,5
dari guru sejarah?
Rata-rata 31,25 51,25 16,25
Keterangan: N = 40 siswa
Dari tabel 1 di atas secara umum dapat diketahui bahwa tanggapan siswa kurang baik
terhadap pembelajaran Sejarah. Item soal pertama pada pada umumnya siswa sangat
menyenangi pelajaran Sejarah. Pada item pertanyaan kedua ketika ditanyakan mengenai guru
yang mengajar Sejarah, maka respon siswa kurang baik hal ini dibuktikan dengan 50 persen
siswa menjawab tidak menarik. Dari hasil angket dapat diketahui mengenai kendala tersebut
di antaranya adalah guru sejarah kurang memahami materi sejarah nasional. Selain itu,
penjelasan guru sejarah tidak dimengerti oleh siswa, karena kebanyakan menghapal. Hal ini
sesuai dengan jawaban siswa pada item pertanyaan ketiga dan keempat yang menganggap
pelajaran Sejarah adalah pelajaran yang membosankan atau pelajaran yang menghapal.
Namun, bila dihubungkan dengan item pertanyaan satu maka kecederungan yang
menyebabkan pelajaran Sejarah tersebut membosankan karena guru sejarah itu sendiri. Jadi,
persoalan mengenai pelajaran Sejarah tidak menarik bagi siswa bukanlah persoalan pada diri
siswa senang atau tidak mengenai materi, persoalan tersebut menyangkut guru sejarah yang
43

mengajarkan materi sejarah itu sendiri. Guru sejarah cenderung monoton sehingga siswa
tidak menyukai pelajaran Sejarah.
Pada item pertanyaan kelima dan keenam mengenai keaktifan siswa dan jawaban guru.
Pada umumnya siswa jarang sekali bertanya kepada guru. Selain itu, bila bertanya jawaban
yang diberikan oleh guru kurang memuaskan siswa. Mungkin karena faktor inilah maka
siswa jarang sekali bertanya. Kemudian, materi yang diajarkan oleh guru tidak dimengerti
oleh siswa karena guru sejarah hanya bercerita saja tidak jelas aspek persoalan atau inti
materi yang diajarkan. Di sinilah persoalannya bahwa siswa tidak diajak berpikir kritis dalam
menganalisis suatu peristiwa, sehingga siswa tidak dilibatkan dan pembelajaran Sejarah
cenderung satu arah.
Pada item pertanyaan ketujuh dan delapan mengenai kemampuan guru dalam memilih
metode pembelajaran. Pada umumnya siswa menganggap guru tidak mempunyai variasi
dalam mengajar, hanya metode ceramah saja yang digunakan. Kemungkinan faktor inilah
yang menyebabkan siswa merasa bosan dalam belajar dan pembelajaran dianggap monoton
dan tidak menarik. Maka harus dicari alternatif lain untuk meningkatkan minat belajar
Sejarah pada siswa diantaranya adalah menggunakan metode mengajar yang tepat sesuai
dengan materi yang diajarkan.
Selanjutnya, pada pertanyaan kesembilan dan sepuluh mengenai pemberian tugas pada
akhir pembelajaran. Menurut siswa guru sering memberikan tugas pada setiap akhir
pelajaran, namun pada umumnya tugas tersebut berbentuk pekerjaan rumah sehingga siswa
dalam mengerjakan tugas tersebut hanya menyalin dari temannya telah selesai membuat
tugas.

2. Pengaruh Pengajaran Sejarah Nasional terhadap Sikap Patriotisme Siswa


Dari hasil angket yang diberikan kepada siswa, maka diperoleh data-data yang kemudian
dimasukkan dalam tabel product moment sebagai berikut :
Tabel 2. Analisis Angket Pengaruh Pengajaran Sejarah Nasional
terhadap Sikap Patriotisme Siswa
Siswa/N X Y X2 Y2 X.Y
1-40 932 930 21988 21831 21712

N . xy x y
Rxy
N . x N . y
=
2
{ x}2 2
{ y}2
44

40. 21712 (932). (930)


Rxy =
40. 21988 {932}2 . 21831 {930}2 )
868480 866760
Rxy =
(879520 868624). (21831 864900)
1720
Rxy =
10896. 843069

Rxy 1720
=
91860

Rxy = 0,018

Rxy = 0,136

Dari hasil angket yang diberikan kepada siswa maka didapat data-data thitung adalah
0,136. Interpretasi menggunakan tabel r df = N-nr adalah 40-2 = 38 dengan taraf signifikan
5% maka hasil uji pada product moment tersebut bila dikonversikan dalam rtabel didapat rhitung
0,136 < ttabel 0,316. Dengan demikian, apabila r hitung lebih kecil dibandingkan dengan t
tabel maka dapat dinyatakan bahwa pengajarah Sejarah Nasional Indonesia tidak mempunyai
pengaruh terhadap sikap patriotism siswa.
Dengan demikian, dari penghitungan prouduct moment tersebut menunjukkan adanya
korelasi terhadap angket mengenai tanggapan siswa terhadap pembelajaran Sejarah yang
menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Tampaknya pengajaran Sejarah Nasional yang
dilaksanakan memberi kesan yang kuat hanya bersifat kognitif dan cenderung bersifat
hafalan. Pendidikan Sejarah dilakukan secara terisolasi dari kenyataan kekinian. Dalam hal
ini setidaknya ada empat komponen yang saling berkait yang menjadi penyebab mengapa
pengajaran sejarah nasional tersebut tidak atau kurang efektif. Pertama, adalah komponen
tenaga pengajar Sejarah yang pada umumnya miskin wawasan kesejarahan. Salah satu
penyebab utama dari kemiskinan wawasan ini adalah kemalasan intelektual untuk menggali
sumber sejarah, baik yang berupa benda-benda, dokumen, maupun literatur, Pengajar sejarah
harus kaya informasi, tidak saja tentang masa lampau yang sarat dengan berbagai tafsiran,
tetapi juga tentang masa kini yang penuh dinamika dan serba kemungkinan, konstruktif
maupun destruktif. Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu merangsang dan
mengembangkan daya imajinasi peserta didik sedemikian rupa hingga cerita sejarah yang
disajikan, dirasakan senantiasa menantang rasa ingin tahu, karena sejarah adalah panorama
kehidupan yang penuh warna.
45

Kedua, adalah komponen peserta didik . Sikap maupun persepsi yang kurang positif
peserta didik terhadap pengajaran Sejarah, akan sangat berpengaruh terhadap hasil tujuan
pembelajaran. Tidak sedikit peserta didik yang hanya mengejar nilai dan popularitas, untuk
kegunaan sesaat. Padahal substansi yang sesungguhnya adalah khasanah keilmuan yang ia
pelajari untuk dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, shingga nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dapat diinternalisasikan. Ketiga, adalah metode pengajaran
Sejarah yang pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik. Untuk
melibatkan subjek-didik dalam tataran intelektual dan emosional dalam pengajaran sejarah
adalah barang tentu bukan zamannya lagi dengan menggunakan metode cerita yang
diselimuti oleh pelbagai peristiwa mistis dan supranatural. Kalau metode itu yang digunakan
justru bertentangan dengan tujuan pengajaran sejarah itu sendiri. Memang dengan
menggunakan metode yang demikian peserta didik banyak yang tertarik, tetapai metode itu
justru tidak menjadikan dirinya sebagai sosok manusia yang menyejarah, karena menganggap
bahwa pelbagai pengaruh sejarah berada di luar dirinya.
Keempat, adalah komponen buku-buku Sejarah dan media pengajaran Sejarah. Untuk
Sejarah Indonesia, telah ada sejarah nasional yang jumlahnya enam jilid. Buku itu sebenarnya
dapat menolong, sekalipun di sana sini masih ada celahnya yang perlu dilengkapi dengan
sumber-sumber lain. Akan tetapi, pendekatan yang terlalu Indonesia-sentris seperti yang
terdapat dalam buku sejarah nasional itu, harus disikapi secara hati-hati. Pendekatan itu dapat
menimbulkan kecenderungan memberhalalkan masa lampau suatu bangsa, apalagi bila
anyaman masa lampau itu sarat oleh mitos yang bisa saja melumpuhkan daya kritis peserta
didik. Sebenarnya buku-buku teks lainnya telah bermunculan, tetapi hampir-hampir tidak ada
yang menggunakan pendekatan moral-saintifik terhadap perjalanan sejarah bangsa. Dalam
pada itu, literature tentang sejarah umum masih amat sedikit, padahal fungsinya sangat
penting. Sejarah nasional khususnya dianggap mempunyai nilai didaktif-edukatif bagi
pembentukan jati diri bangsa dan pemersatu berdasarkan atas pengalaman kolektif bernegara
dan berbangsa.
Dari analisis tersebut dapatlah dibuktikan bahwa pengajaran Sejarah selama ini
kecenderungannya hanya dilakukan dengan pola tradionalis tidak mengimbangi dengan
kemajuan zaman sehingga pembelajaran Sejarah yang dilakukan di sekolah belum mencapai
tujuan yang sebenarnya sesuai dengan fungsi Sejarah Nasional adalah sebagai penumbuh
kebudayaan nasional dan dapat menimbulkan kesadaran sejarah dan kesadaran nasional Isjoni
(2007:40).
46

E. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan penghitungan pengaruh pengajaran Sejarah Nasional Indonesia
terhadap sikap patriotisme diperoleh r hitung yaitu 0,136 sedangakan harga r tabel adalah 0,
316. Dengan memperhatikan interpretasi dari product moment apabila r hitung lebih kecil
dibandingkan dengan r tabel maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh
antara pengajaran Sejarah Nasional Indonesia terhadap sikap patriotisme. Akan tetapi, setelah
diinterpretasi hasil angket menunjukkan bahwa siswa SMA PGRI 1 Lubuklinggau tidak
tertarik dengan pembelajaran Sejarah Nasional. Penyebab siswa tidak tertarik untuk belajar
Sejarah adalah karena faktor guru Sejarah yang kurang profesional dalam mengajar. Di
antaranya dibuktikan dengan hasil angket, yaitu guru kurang kreatif dalam menyampaikan
materi pelajaran khusunya dalam menggunakan variasi metode mengajar, sehingga pelajaran
sejarah yang tadinya disenangi siswa kini pelajaran tersebut dianggap sebagai pelajaran yang
membosankan, monoton dan hanya menekankan pada kegiatan menghafal saja dan belum
menyentuh pada aspek pemahaman apalagi berpikir kritis dalam mencari hubungan sebab
akibat dari suatu peristiwa sejarah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik.1996. Di Sekitar Pengajaran Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Ali, Mohammad.1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : Bhatara.

Gazalba, Sidi.1966. Pengertian Ilmu Sejarah. Jakarta: Bhatara.

Gruning, D. 1978. The Teching of History. London: Croom Helm.

Hugiono dan Poerwantana.1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bina Aksara.

Ibrahim, Bakadal.1995. Supervisi Pengajaran Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bina Aksara.

Isjoni.2007. Pembelajaran Sejarah Pada Satuan Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Kartodirdjo, Sartono. 1989. Identitas Nasional dan Pembangunan Bangsa. Yogyakarta:


Gadjah Mada Press.

Meulen, Vander.1987. Serba Serbi Pengajaran Sejarah. Yogyakarta : Kanisius.

Olivia, Peter F.1982. Developing The Curriculum. Boston : Brown and Company.

Rohani, Ahmad dan Abu Ahmadi. 1995. Pengelolaan Pengajaran Sejarah. Semarang:
Rineka Cipta.
47

Sjamsuddin dan Ismaun.1996. Paradigma Pendidikan Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Sukardi. 2004. Hubungan antara Sikap terhadap Nilai Sosio Budaya dan Wawasan
Kebangsaan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah. Laporan Hasil
Penelitian. Palembang: Universitas PGRI Palembang [Tidak dipublikasikan].

Sumaryono, E.1993. Hermeneutik Sebuah Metode Fungsi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Suryo, Joko.1991. Pengajaran Sejarah Globalisasi Kehidupan. Dalam Historiska N0. 5


Tahun VI. Surakarta : PPs UNJ.
48

Pengaruh Model Missouri Mathematics Project terhadap Hasil Belajar


Matematika Siswa Kelas X SMAN 1 Lubuklinggau
Tahun Pelajaran 2012/2013
Oleh: Fikhi Fasya Fadilah1, Sukasno2, Leo Charli3

ABSTRACT

The title of this research is The Effect of Missouri Mathematics Project Model to the Tenth Year
Students Mathematics Result of SMAN 1 Lubuklinggau in the Academic Year of 2012/2013. The
problem of this research was whether there was significant effect of Missouri Mathematics Project
Model to the tenth year students mathematic result of SMAN 1 Lubuklinggau in the academic year of
2012/2013? The writer used True-experimental method that have done with group control. The
population of this research was all of the tenth students of SMAN 1 Lubuklinggau in the academic
year of 2012/2013 and the samples were the X 4 as the experiment class and X 6 as the control class
that were taken through random sampling. The data were collected through test technique. To analyze
the data, the writer used t-test with polled varians and t-test with separated varians. Based on the result
of the data analysis with 95% significant level, it found that was 5,14 > was 1,69, so it
means that there was significant effect of Missouri Mathematics Project model to the tenth year
students mathematics result of SMAN 1 Lubuklinggau in the academic year of 2012/2013. Average
student learning outcomes the experiment class of 83,39 and the control class of 76,05.

Keyword: Missouri Mathematics Project, Students Result.

A. Pendahuluan
Pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan siswa
dengan siswa dalam perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa
yang bersangkutan (Tim MKPBM UPI, 2001:9). Dari pendapat tersebut diperoleh pengertian
pembelajaran matematika adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan
siswa dengan siswa dalam perubahan sikap dan pola pikir dalam matematika. Tujuan
pembelajaran dapat tercapai dengan baik jika hasil belajar sesuai standar yang diharapkan
dalam proses pembelajaran. Hasil belajar menurut Bloom (dalam Suprijono, 2009:6)
mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga hasil belajar matematika
pun harus mencapai ketiga aspek kemampuan tersebut. Akan tetapi, faktanya menurut Surya
(2010:1), sampai saat ini masih banyak ditemui kesulitan siswa untuk mempelajari
matematika dan masih rendahnya hasil belajar matematika.
Fakta yang juga peneliti temukan mengenai hasil belajar matematika di SMAN 1
Lubuklinggau melalui wawancara dengan guru mata pelajaran Matematika, diperoleh
informasi bahwa dari total siswa kelas X SMAN 1 Lubuklinggau sebanyak 239 siswa, nilai
rata-rata siswa pada Ujian Tengah Semester (UTS) Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013
sebesar 63,59 padahal kriteria ketuntasan minimal-nya (KKM) adalah 70. Dari 239 siswa,

1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Lubuklinggau
2&3
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Lubuklinggau
49

hanya 115 siswa atau 48,117% siswa yang dinyatakan tuntas dan 124 siswa atau 51,883%
siswa belum tuntas. Berhasil tidaknya siswa dalam pelajaran Matematika di sekolah dapat
diukur dari hasil belajar siswa melalui pemahaman, penguasaan, dan penggunaan konsep-
konsep matematika secara benar.
Salah satu cara untuk menyelesaikan masalah di atas adalah dengan menerapkan Model
Pembelajaran Missouri Mathematics Project. The Missouri Mathematics Project is a
program desaigned to help teacher effectively used practices that had been identified from
earlier correlational research to be characteristic of teachers whose students made
outstanding gains in achievement (Good & Grouws, 1979 dalam Slavin, Cyntia, 2007:31).
Pendapat Good & Grouws ini menyatakan bahwa Model Missouri Mathematics Project
merupakan suatu program yang didesain untuk membantu guru dalam hal efektivitas
penggunaan latihan-latihan agar siswa mencapai peningkatan yang luar biasa. Adapun
kelebihan dari model ini adalah banyak materi yang bisa tersampaikan serta siswa banyak
melakukan latihan sehingga mudah terampil dengan beragam soal.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pentingnya dilakukan penelitian dengan
judul Pengaruh Model Missouri Mathematics Project terhadap Hasil Belajar Matematika
Siswa Kelas X SMAN 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013. Rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah Apakah ada pengaruh yang signifikan Model Missouri
Mathematics Project terhadap hasil belajar matematika siswa kelas X SMAN 1 Lubuklinggau
Tahun Pelajaran 2012/2013? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model
Missouri Mathematics Project terhadap hasil belajar matematika siswa kelas X SMAN 1
Lubuklinggau tahun pelajaran 2012/2013.
Materi yang dibahas dalam penelitian ini mengenai Trigonometri (Aturan Sinus, aturan
Kosinus dan Luas Segitiga). Hasil belajar dalam penelitian ini adalah hasil belajar kognitif
matematika siswa kelas X SMAN 1 Lubuklinggau tahun pelajaran 2012/2013 pada materi
Trigonometri.

B. Landasan Teori
1. Pembelajaran dengan Latihan-Latihan
Keuntungan pembelajaran dengan latihan menurut Smaldino (2011:33):
a. Umpan balik untuk memperbaiki (corrective feedback). Para siswa mendapatkan
umpan balik sebagai tindak perbaikan atas respons mereka.
50

b. Memisah-misahkan informasi. Informasi disajikan dalam potongan kecil yang


memberikan kesempatan kepada siswa untuk menelaah kembali bahan-bahan pelajaran
dalam potongan kecil.
Evertson, Anderson, dan Brophy (1978) dalam Good dan Grouws (1979:44) menemukan
indikasi bahwa guru yang sukses itu harus melakukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Menekankan pada diskusi kelas dan latihan serta menghabiskan sedikit waktu pada
teknik individu.
b. Lebih beorientasi pada tugas.
c. Lebih aktif (lebih banyak berinteraksi dengan siswa).
Roseshine (2012: 16-18) mengemukakan bahwa:
Guru yang efektif itu menghabiskan lebih banyak waktunya pada membimbing siswa
dalam latihan-latihan di pelajarannya. Tidaklah mudah bagi guru untuk memberikan
materi yang baru kepada siswa karena materi tersebut akan dilupakan oleh siswa
kecuali kalau ada latihan-latihan yang cukup. Penemuan penting dari penelitian bahwa
siswa membutuhkan banyak waktu untuk mengulang, elaborasi dan menyimpulkan
materi (pelajaran) baru dan menyimpan materi ini didalam ingatan jangka panjang
mereka. Ketika ada latihan-latihan yang cukup, siswa dapat untuk mengingat kembali
materi-materi dengan mudah. Cara terbaik untuk menjadi ahli adalah melalui latihan-
latihan, the more the practice, the better the performace. Latihan-latihan memberikan
siswa review dan elaborasi tambahan untuk memperjelas materi. Ini dibutuhkan untuk
memperjelas penggunaan fakta-fakta, konsep-konsep serta operasi-operasi yang harus
digunakan dalam pelajaran selanjutnya.

2. Model Missouri Mathematics Project


Good & Grouws (1979 dalam Slavin, Cyntia, 2007:31) mengemukakan bahwa Model
Missouri Mathematics Project sebagai The Missouri Mathematics Project is a program
desaigned to help teacher effectively used practices that had been identified from earlier
correlational research to be characteristic of teachers whose students made outstanding
gains in achievement. Pernyataan Good & Grouws ini menjelaskan bahwa Model Missouri
Mathematics Project merupakan suatu program yang didesain untuk membantu guru dalam
hal efektivitas penggunaan latihan-latihan agar siswa mencapai peningkatan yang luar biasa.
Rosenshine (2012:13-14) mengemukakan bahwa guru yang efektif itu tidak akan
membanjiri siswanya dengan pemberian materi yang banyak pada satu waktu, tetapi hanya
memberikan sedikit demi sedikit materi dan membantu siswanya dalam latihan-latihan soal
di materi tersebut. Hal ini mewakili dari usaha pembagian kerja memori siswa.
Menurut Slavin, Cyntia (2007:31) Missouri Mathematics Project, the intervention
focuses on teaching teachers to engage in active teaching with lively explanations, and a
focus on meaning, moderate amounts of well-manage seatwork, daily review with mental
51

mathematics exercises, frequent assessments and a rapid pace of instruction. Menurut


Krismanto (2003:11), MMP merupakan salah satu model yang terstruktur seperti halnya
Struktur Pengajaran Matematika (SPM).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Model MMP
adalah model pembelajaran yang didesain secara terstruktur yang memfokuskan diri pada
pembelajaran aktif dan latihan-latihan agar siswa mencapai peningkatan yang luar biasa.
Langkah-langkah pembelajaran Model Missouri Mathematics Project menurut
Krismanto (2003:11), yaitu:
Langkah I : Review
Guru dan siswa meninjau ulang apa yang telah tercakup pada pelajaran yang lalu (10
menit). Yang ditinjau adalah PR, mencongak atau memberi prakiraan.
Langkah II : Pengembangan
Guru menyajikan ide baru dan perluasan konsep matematika terdahulu. Penjelasan
dan diskusi interaktif antara guru-siswa harus disajikan termasuk demonstrasi kongkrit
yang sifatnya piktorial atau simbolik. Guru merekomendasikan 50% waktu pelajaran
untuk pengembangan yang dikombinasikan dengan kontrol latihan.
Langkah III : Kerja Kooperaif
Siswa diminta merespon satu rangkaian soal sambil guru mengamati kalau-kalau
terjadi miskonsepsi. Guru harus memasukkan rincian khusus tanggung jawab kelompok
dan ganjaran individual berdasarkan pencapaian materi yang dipelajari. Siswa bekerja
sendiri atau dalam kelompok belajar kooperatif.
Langkah IV : Seat Work / Kerja Mandiri
Bentuk latihan / perluasan mempelajari konsep yang disajikan guru pada langkah 2
(pengembangan). Alokasi waktu 15 menit.
Langkah V : Penugasan / Pekerjaan Rumah
Langkah-langkah pembelajaran Model Missouri Mathematics Project menurut
Shadiq (2009:21), yaitu :
a. Pendahuluan atau Review
1) Membahas Pekerjaan rumah (PR)
2) Meninjau ulang pelajaran lalu yang berkait dengan materi baru.
3) Membangkitkan motivasi.
b. Pengembangan
1) Penyajian ide baru sebagai perluasan konsep matematika terdahulu.
2) Penjelasan, diskusi demonstrasi dengan contoh konkret yang sifatnya
pictorial dan simbolik.
c. Latihan dengan Bimbingan Guru
1) Siswa merespon soal.
52

2) Guru mengamati
3) Belajar Kooperatif
d. Kerja Mandiri
Siswa bekerja sendiri untuk latihan atau perluasan konsep pada langkah 2.
e. Penutup
1) Siswa membuat rangkuman pelajaran, membuat renungan tentang hal-
hal baik yang sudah dilakukan serta hal-hal yang kurang baik harus
dihilangkan.
2) Memberi tugas PR.

Langkah-langkah pembelajaran Model Missouri Mathematics Project menurut Good &


Grouws (1979:42), yaitu :
a. Daily Review (First eight minutes except Mondays).
1) Review the concepts and skills associated with the homework.
2) Collect and deal with homework assignments.
3) Ask several mental computation exercises.
b. Development (about 20 minutes)
1) Briefly focus on prerequisite skills and concepts.
2) Focus on meaning and promoting student understanding by using lievely
explanations, demonstrations, process explanations,illustration and so on.
3) Assess student comprehension.
(a) Using process / product questions (active interaction).
(b) Using kontrolled practice.
4) Repeat and elaborate on the meaning portion as necessary.
c. Seatwork (about 18 minutes)
1) Provide uninterrupted successful practice.
2) Momentum keep the ball rolling get everyone involved, then sustain
involvement.
3) Alerting let students know their work will be checked at the end of period.
4) Accountability check the students work.
d. Homework assignment:
1) Assign on regular basis at the end of each maths class except Fridays.
2) Should involve about 15 minutes of work to be done at home.
3) Should include one or two review problems.
e. Special reviews :
1) Weekly review / maintenance :
(a) Conduct during the first 20 minutes on each Mondays.
(b) Focus on skills and concepts covered during the previous week.
2) Monthly review :
(a) Conduct every fourth Monday
(b) Focus on skills and concepts covered since the last monthly review.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat dikombinasikan langkah-


langkah pembelajaran model Missouri Mathematics Project yang dilakukan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
53

a. Pendahuluan atau Review


Guru dan siswa membahas PR dan meninjau ulang pelajaran yang telah lalu yang
berkaitan dengan materi hari ini serta guru membangkitkan motivasi siswa.
b. Pengembangan
Penyajian ide baru sebagai perluasan konsep matematika terdahulu. Siswa diberitahu
tujuan pelajaran. Penjelasan dan diskusi interaktif antara guru-siswa harus disajikan.
Guru merekomendasikan 50% waktu pelajaran untuk pengembangan. Pengembangan
akan lebih bijaksana bila dikombinasikan dengan kontrol latihan untuk meyakinkan
bahwa siswa mengikuti penyajian.
c. Latihan dengan Bimbingan Guru/Kerja Kooperatif
Siswa diminta merespon suatu rangkaian soal sambil guru mengamati kalau-kalau
terjadi miskonsepsi. Siswa bekerja sendiri atau dalam kelompok belajar kooperatif.
d. Seat Work atau Kerja Mandiri
Bentuk latihan soal/perluasan mempelajari konsep yang disajikan guru pada langkah 2
e. Penutup
1. Siswa membuat rangkuman pelajaran.
2. Memberi tugas PR (tugas tersebut membuat siswa harus menyediakan waktu paling
tidak 15 menit untuk dikerjakan di rumah).

C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah True Experimental Design dengan desain Pre-
Test and Post-Test Design. Populasinya adalah seluruh siswa kelas X SMAN 1
Lubuklinggau tahun pelajaran 2012/2013 yang terbagi dalam 6 kelas dengan jumlah 239
siswa dan pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak dan dengan cara pengundian.
Berdasarkan hasil pengundian terpilih kelas X 4 sebagai kelas eksperimen yang diberi
perlakuan model Missouri Mathematics Project dan kelas X 6 sebagai kelas kontrol yang
diberi perlakuan model konvensional.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik tes. Tes diberikan sebanyak dua
kali, yaitu pada awal pelajaran (pretest) dan akhir pelajaran (postest). Bentuk tes yang
digunakan adalah essay sebanyak delapan soal. Setelah data diperoleh, langkah berikutnya
menganalisis data dengan tahapan sebagai berikut: (1) menghitung nilai rata-rata dan
simpangan baku, (2) uji normalitas data, (3) uji homogenitas varians dan (4) uji hipotesis.
Apabila data tes akhir berdistribusi normal dan kedua varians homogen, maka untuk menguji
hipotesis penelitian menggunakan uji-t semu (t) dengan rumus :
54

1 2
=
12 22
+
1 2

Keterangan:

12 : varians kelas eksperimen


22 : varians kelas kontrol
1 : nilai rata-rata kelas eksperimen
2 : nilai rata-rata kelas kontrol
1 : jumlah siswa kelas eksperimen
2 : jumlah siswa kelas kontrol
1 1 + 2 2
Kriteria pengujian adalah terima Ho jika < 1 + 2

2 2
dengan 1 = 1 , 2 = 2 , 1 = 1 ,( 1 1) dan 1 = 1 ,( 2 1) . Peluang untuk
1 2

penggunaan daftar distribusi t ialah (1) sedangkan dk-nya masing-masing


(1 1) dan (2 1). (Sudjana, 2005 : 243)

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Hasil Penelitian
Pertemuan pertama dalam penelitian ini adalah pemberian tes awal yang berguna
untuk mengetahui kemampuan awal siswa pada materi pokok Trigonometri tentang Aturan
Sinus, Aturan Kosinus dan Luas Segitiga. Kemampuan awal siswa merupakan kemampuan
yang dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti pembelajaran Matematika dengan menggunakan
model Missouri Mathematics Project dan model Konvensional. Berdasarkan hasil
perhitungan data pretest, skor rata-rata kelas eksperimen sebesar 13,28 dan skor rata-rata
kelas kontrol sebesar 13,33. Jadi, secara deskriptif kemampuan awal kelas eksperimen
dengan model Missouri Mathematics Project dan konvensional terdapat perbedaan yang tidak
berarti.
Pada akhir penelitian dilakukan tes akhir yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan
akhir siswa. Berdasarkan hasil perhitungan data tes akhir dapat dilihat bahwa skor rata-rata
kelas eksperimen sebesar 50,92 dan skor rata-rata kelas kontrol sebesar 33,78. Jadi secara
deskriptif dapat dikatakan bahwa kemampuan akhir siswa yang diberi perlakuan model
Missouri Mathematics Project lebih tinggi dari pada model konvensional. Jika dibandingkan
55

dengan tes awal, maka terdapat peningkatan hasil belajar. Peningkatan skor rata-rata pada
kelas eksperimen dan kontrol berturut-turut sebesar 37,641 dan 20,456. Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas
kontrol.
Setelah perhitungan skor rata-rata dan simpangan baku dari tes awal dan tes akhir,
selanjutnya diadakan uji normalitas untuk mengetahui apakah data tersebut normal atau tidak.
Rumus yang digunakan adalah ujii kecocokan chi kuadrat ( 2 ) dengan taraf kepercayaan
2 2
= 0,05, jika < maka data dinyatakan berdistribusi normal. Hasil uji
normalitas tes awal dan tes akhir untuk kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Data Tes Awal dan Data Tes Akhir

2 2
Kelas dk Kesimpulan
Eksperimen
a. Tes Awal 4,76 6 12,6 Normal
b. Tes Akhir 3,09 6 12,6 Normal
Kontrol
a. Tes Awal 1,17 6 12,6 Normal
b. Tes Akhir 1,70 5 11,1 Normal

Tabel 1 menunjukkan bahwa data tes awal dan tes akhir untuk kedua kelas berdistribusi
normal pada taraf kepercayaan =0,05. Setelah diketahui bahwa data berdistribusi normal
maka dilanjutkan dengan pengujian homogenitas varians yang bertujuan untuk mengetahui
apakah varians sampel yang diambil dari kelas X 4 dan X 6 homogen (sama) atau tidak.
Hasil uji homogenitas varian tes awal dan tes akhir dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil Uji Homogenitas Varians Data Tes Awal dan Tes Akhir

Tes Kesimpulan
Tes Awal 1,624 1,71 Homogen

Tes Akhir 2,356 1,79 Tidak Homogen

Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa varian kedua kelompok untuk tes awal
adalah homogen sedangkan untuk tes akhir varian kedua kelompok tidak homogen.
Berdasarkan uji normalitas, dapat disimpulkan bahwa data tes awal dan tes akhir
berdistribusi normal dan uji varian untuk tes awal menyatakan bahwa varian kedua kelompok
homogen sedangkan untuk tes akhir varian kedua kelompok tidak homogen. Maka, untuk
56

menguji hipotesis pada tes awal digunakan rumus uji-t sedangkan untuk menguji hipotesis
pada tes akhir digunakan rumus uji-t semu.
Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis untuk data tes awal dan tes akhir dapat dilihat
pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Uji Hipotesis Tes Awal dan Tes Akhir

Tes Kesimpulan
<
Awal 0,13 1,675
terima Ho, tolak Ha
> ,
Akhir 5,14 1,682
Tolak Ho, terima Ha

Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil uji-t mengenai kemampuan awal siswa kelas
X-4 dan X-6 memiliki kemampuan awal yang sama karena
= 0,13 dan = 1,675, < sehingga Ho diterima. Dengan
demikian, tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan awal siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol.
Setelah diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan model Missouri Mathematics
Project pada kelas X-4 (kelas eksperimen) dan pembelajaran dengan model konvensional
pada kelas X-6 (kelas kontrol), terjadi peningkatan hasil belajar. Berdasarkan hasil
perhitungan uji-t semu mengenai kemampuan akhir siswa diperoleh = 5,14 dan nilai
= 1,69. Ini berarti > sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini
berarti rata-rata hasil belajar Matematika siswa kelas eksperimen secara signifikan lebih baik
dari rata-rata hasil belajar siswa kelas kontrol sehingga hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini dapat diterima kebenarannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan model Missouri Mathematics Project terhadap hasil belajar
Matematika siswa kelas X SMAN 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013.

2. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih empat minggu,
penggunaan model Missouri Mathematics Project dijadikan alternatif yang digunakan guru
dalam pembelajaran untuk melihat pengaruh model tersebut terhadap hasil belajar siswa.
Pada penelitian ini, peneliti mengajar pada kelas X-4 sebagai kelas eksperimen yang diberi
perlakuan model Missouri Mathematics Project, sedangkan kelas X-6 sebagai kelas kontrol
diberikan perlakuan model konvensional oleh guru mata pelajaran Matematika Kelas X
57

SMAN 1 Lubuklinggau. Jumlah sampel pada kelas eksperimen sebanyak 40 siswa dan
jumlah sampel pada kelas kontrol sebanyak 40 siswa.
Setelah diberikan pretes, sampel pada kelas eksperimen diberikan perlakuan dengan
model Missouri Mathematics Project sebanyak dua kali pertemuan. Pada setiap pertemuan
sampel menyelesaikan proyek-proyek Matematika secara berkelompok dan individu. Proyek
Matematika yang diselesaikan secara berkelompok adalah lembar kerja siswa yang
membimbing mereka melakukan pengembangan konsep materi secara mandiri di dalam
masing-masing kelompok. Sedangkan proyek Matematika yang dikerjakan secara individu
adalah lembar kerja siswa yang berisikan soal-soal yang menuntut siswa untuk mampu
menyelesaikan soal-soal tersebut secara mandiri.
Pada pertemuan pertama siswa mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran
Matematika dengan model Missouri Mathematics Project. Hal ini dapat dilihat dari siswa
dalam mengerjakan lembar kerja proyek kerja kooperatif (proyek kelompok). Lembar proyek
kelompok pada pertemuan pertama ini mengenai Penemuan Konsep Aturan Kosinus. Dari 8
kelompok yang terbentuk, hanya 4 kelompok yang mampu menyelesaikan proyek dengan
baik. Hal ini disebabkan karena model Missouri Mathematics Project masih bersifat baru dan
diperlukan penyesuaian terlebih dahulu. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah
siswa masih belum terbiasa dalam Menemukan Konsep-konsep Matematika secara mandiri.
Hambatan itu terjadi karena siswa belum terbiasa dengan pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik.
Kemudian, pada pertemuan selanjutnya siswa mulai tertarik dan berminat dalam
pembelajaran. Ini dapat terlihat di saat guru memberikan lembar kerja proyek kerja kooperatif
dan proyek kerja mandiri. Setiap kelompok proyek kerja kooperatif sudah mampu
menemukan konsep luas segitiga dan setiap siswa mampu menyelesaikan soal-soal mandiri
dengan baik. Hal ini menunjukkan siswa mulai senang mengikuti pembelajaran dengan
model Missouri Mathematics Project.
Berdasarkan uraian dari tes awal tersebut dapat disimpulkan bahwa baik kelas
eksperimen maupun kelas kontrol, mereka memiliki kemampuan awal yang relatif sama
khususnya dalam menjawab soal dan juga pemahaman yang hampir sama dalam mencerna
maksud soal. Tahapan ini dapat dijadikan sebagai patokan untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran terhadap hasil belajar siswa. Kedua kelas sampel diberikan perlakuan yang
berbeda agar dapat terlihat pengaruh treatmen. Kelas X 4 sebagai kelas eksperimen
melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model Missouri Mathematics Project dan
58

kelas X 6 sebagai kelas kontrol melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model


konvensional.
Berdasarkan uraian di atas, dari tes awal, pemberian treatmen yang berbeda serta tes
akhir yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat pengaruh model Missouri
Mathematics Project terhadap hasil belajar siswa dan didukung pendapat Rosenshine
(2012:16) yang menyatakan bahwa guru yang efektif itu menghabiskan lebih banyak
waktunya pada membimbing siswa dalam latihan-latihan di pelajarannya. Tidaklah mudah
bagi guru untuk memberikan materi yang baru kepada siswa karena materi tersebut akan
dilupakan oleh siswa kecuali kalau ada latihan-latihan yang cukup.
Kemudian, Rosenshine (2012:13-14) mengemukakan bahwa guru yang efektif itu tidak
akan membanjiri siswanya dengan pemberian materi yang banyak pada satu waktu tetapi
hanya memberikan sedikit demi sedikit materi dan membantu siswanya dalam latihan-
latihan soal di materi tersebut. Hal ini mewakili dari usaha pembagian kerja memori siswa.
Dalam latihan, para siswa dibimbing melewati serangkaian latihan praktis yang dirancang
untuk menyegarkan kembali atau meningkatkan penguasaan pengetahuan konten spesifik
atau sebuah keterampilan. Berdasarkan pendapat ahli yang telah dikemukakan, maka dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan model Missouri Mathematics Project
terhadap hasil belajar matematika siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Good & Grouws
(1979 dalam Slavin, Cyntia, 2007:31) bahwa Model Missouri Mathematics Project sebagai
The Missouri Mathematics Project is a program desaigned to help teacher effectively used
practices that had been identified from earlier correlational research to be characteristic of
teachers whose students made outstanding gains in achievement. Pernyataan Good &
Grouws ini menjelaskan bahwa Model Missouri Mathematics Project merupakan suatu
program yang didesain untuk membantu guru dalam hal efektivitas penggunaan latihan-
latihan agar siswa mencapai peningkatan yang luar biasa. Dalam hal ini siswa mampu
meningkatkan kemampuan hasil belajar Matematika setelah diberikan model Missouri
Mathematics Project.

D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
yang signifikan model Missouri Mathematics Project terhadap hasil belajar Matematika
siswa kelas X SMAN 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan hasil perhitungan uji-t semu mengenai kemampuan akhir siswa diperoleh
59

= 5,14 dan nilai = 1,69. Ini berarti > sehingga Ho ditolak dan
Ha diterima. Kemudian, rata-rata hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran
Matematika dengan model Missouri Mathematics Project sebesar 50,92 sedangkan rata-rata
hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model konvensional sebesar 33,78.

DAFTAR PUSTAKA

Good, T.L. & Grouws, D.A. 1979. Teaching and Mathematics Learning. Educational
Leadership. 39-45.

Krismanto. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika.
Yogyakarta: Depdiknas.

Roseshine, Barak. 2012. Principle of Instruction. United states of America : IAC Educational
Practices Series.

Shadiq, Fadjar. 2009. Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Depdiknas.

Slavin, R.E. dkk. 2007. Effective Programs in Elementary Mathematics: A Best-Evidence


Synthesis. U.S. : Department of Education.

Smaldino, Sharon E., Deborah L. Lowther., James D. Russell. 2011. Instructional


Technology and Media for Learning : Teknologi dan Media untuk Belajar, terj. Arif
Rahman. Jakarta: Kencana.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Surya, Edi. 2010. Visual Thinking dalam Memaksimalkan Pembelajaran Matematika


Siswa Dapat Membangun Karakter Bangsa. Online http://jurnal.upi.edu/abmas/
view/400/visual-thinking-dalam-memaksimalkan-pembelajaran-matematika-siswa-
dapat-membangun-karakter-bangsa-html. 2 Maret 2013 .

Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan


Pendidikan Matematika UPI.
60

Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara Model Kooperatif Tipe


Two Stay Two Stray dan Make A Match pada Siswa Kelas VII
SMP Negeri 4 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013

Oleh: Erlesy Rizkianti1, Sukasno2, Dodik Mulyono3

ABSTRACT

This research entitled Comparison of Mathematics Learning Outcomes between of Cooperative


Model Type Two Stay Two Stray and Make A Match in the Seventh Grade Students Junior High
School Number 4 Lubuklinggau in the academic Year of 2012/2013. The problem of this study was
the following student learning outcomes of learning mathematics through cooperative model of Two
Stay Two Stray significantly better learning outcomes than students who take mathematics learning
through cooperative models Make A Match?. Research methods used are purely the type of
comparative experiments. Its population is all students of the seventh grade students Junior High
School Number 4 Lubuklinggau in the accademic year of 2012/2013, as the sample is class VII.A
model of cooperative learning type Two Stay Two Stray and class VII.D given model of cooperative
learning type Make A Match. Data collected by test techniques. Data were analyzed using t-test. Based
on the results of the data analysis it can be concluded that learning outcomes of students who take
mathematics learning through cooperative model of Two Stay Two Stray significantly better learning
outcomes than students who take mathematics learning through cooperative models Make A Match.
Average student learning outcomes Two Stay Two Stray class of 83,39 and Make A Match of 76,05.

Keyword: Two Stay Two Stray, Make A Match, Math.

A. Pendahuluan
Mata pelajaran Matematika pada umumnya merupakan mata pelajaran yang ditakuti
siswa karena bagi mereka Matematika adalah pelajaran yang sulit. Pandangan siswa
mengenai mata pelajaran Matematika adalah mata pelajaran yang sulit harus segera diatasi
sehingga Matematika tidak lagi menjadi mata pelajaran yang sulit, tetapi menjadi mata
pelajaran yang mudah dan disenangi oleh siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran Matematika di SMPN 4
Lubuklinggau, penulis mendapatkan keterangan bahwa model yang digunakan dalam proses
pembelajaran khususnya mata pelajaran Matematika masih menggunakan model
konvensional dengan proses pembelajaran yang masih terpusat pada guru (teacher centered).
Guru menjelaskan materi pembelajaran, kemudian dilanjutkan dengan mencatat dan yang
terakhir memberikan soal latihan sedangkan siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh
guru. Hal ini dikarenakan guru belum menerapkan model pembelajaran yang dapat
meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar siswa.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMPN 4 lubuklinggau pada kelas VII,
diperoleh data nilai ulangan harian Matematika siswa yang tuntas sebanyak 95 siswa
(33,33%) dan siswa yang belum tuntas sebanyak 190 siswa (66,67%) dengan rata-rata nilai

1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Lubuklinggau
2&3
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Lubuklinggau
61

ulangan harian siswa pada pelajaran Matematika sebesar 60,11 sehingga harus mengikuti
remedial agar dapat mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), yang mana KKM yang
ditetapkan di SMPN 4 lubuklinggau sebesar 70.
Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti menerapkan model kooperatif tipe Two Stay
Two Stray dan model kooperatif tipe Make A Match. Menurut Lie (2008:61), model
kooperatif tipe Two Stay Two Stray adalah model pembelajaran yang memberi kesempatan
kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Menurut Lie
(2008:55), model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match adalah siswa mencari pasangan
sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah hasil belajar siswa yang mengikuti
pembelajaran matematika melalui model kooperatif tipe Two Stay Two Stray secara
signifikan lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran Matematika
melalui model kooperatif tipe Make A Match?
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang
mengikuti pembelajaran Matematika dengan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray dan
yang mengikuti pembelajaran Matematika dengan model kooperatif tipe Make A Match.
Kemudian, dengan adanya penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah (1) bagi siswa,
untuk meningkatkan aktivitas belajar, (2) bagi guru, sebagai masukan dan menambah
pengetahuan mengenai model pembelajaran, misalnya model kooperatif tipe Two Stay Two
Stray dan Make A Match untuk memperbaiki hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran
matematika, (3) bagi sekolah, untuk meningkatkan hasil belajar khususnya pada mata
pelajaran Matematika, dan (4) bagi peneliti, menambah pengalaman dan pengetahuan sebagai
calon guru.

B. Landasan Teori
1. Cooperative Learning
Roger, dkk 1992 (dalam Huda, 2011:29), menyatakan pembelajaran kooperatif
merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa
pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-
kelompok pembelajaran yang di dalamnya setiap pembelajar bertanggungjawab atas
pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota
yang lain. Menurut Nurulhayati (dalam Rusman, 2011:203), pembelajaran kooperatif adalah
62

strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk
saling berinteraksi.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif adalah dalam pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator, siswa belajar dalam
kelompok kecil dan saling membelajarkan antar siswa.
2. Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray
Menurut Huda (2011:140) model kooperatif tipe Two Stay Two Stray adalah model
pembelajaran yang memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagi hasil dan
informasi dengan kelompok lain. Menurut Lie (2007:61), pembelajaran kooperatif tipe Two
Stay Two Stray merupakan pembelajaran kooperatif yang efektif, yang melibatkan siswa
secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dalam penerapannya siswa dibentuk dalam
kelompok, yang mana satu kelompok terdiri dari empat orang. Dua orang dari setiap
kelompok tinggal di kelompoknya, sedangkan dua orang lainnya mencari informasi ke
kelompok lain dengan cara bertamu.
Model kooperatif tipe Two Stay Two Stray terdiri dari delapan langkah, yaitu: (1) guru
membentuk kelompok, (2) guru memberikan tugas pada setiap kelompok untuk didiskusikan
dan dikerjakan bersama, (3) siswa bekerja dalam kelompok berempat seperti biasa untuk
mengerjakan tugas, (4) setelah selesai, siswa yang ditugaskan sebagai tamu akan bertamu ke
semua kelompok, (5) kelompok tuan rumah menjelaskan hasil diskusi mereka kepada
tamunya, (6) siswa yang bertamu ke kelompok lain kembali ke kelompok masing-masing dan
berdiskusi kembali dengan kelompoknya mengenai apa yang mereka dapat dari
kunjungannya ke kelompok lain, (7) siswa membandingkan dan mencocokkan serta
membahas hasil pekerjaan mereka, dan (8) laporan kelompok.
3. Model Kooperatif Tipe Make A Match
Menurut Lie (2008:55), model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match adalah siswa
mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan. Model kooperatif tipe Make A Match terdiri dari tujuh langkah, yaitu:
(1) guru menyiapkan kartu soal dan kartu jawaban, (2) setiap siswa mendapat satu buah kartu,
(3) setiap siswa memikirkan soal atau jawaban dari kartu yang dipegang, (4) setiap siswa
mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (kartu soal ataupun
kartu jawaban) sebelum batas waktu tertentu, (5) siswa yang dapat mencocokkan kartunya
sebelum batas waktu diberi penghargaan dan siswa disuruh berdekatan dengan siswa yang
merupakan pasangan kartunya, (6) setelah satu babak, guru mengacak kartu soal dan kartu
63

jawaban lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, dan
(7) bersama-sama siswa, guru membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran.

C. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen murni dengan jenis
komparatif. Dalam penelitian ini digunakan dua kelas yaitu kelas yang diberi perlakuan
dengan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray dan kelas yang diberi perlakuan dengan
model kooperatif tipe Make A Match. Populasinya adalah siswa kelas VII SMP Negeri 4
Lubuklinggau dan sebagai sampel adalah siswa kelas VII.A yang diberi perlakuan dengan
model kooperatif tipe Two Stay Two Stray dan siswa kelas VII.D yang diberi perlakuan
dengan model kooperatif tipe Make A Match. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik tes berupa tes tertulis berbentuk uraian sebanyak enam
soal. Tes dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum (pre-test) dan
sesudah (post-test) materi yang diajarkan. Teknik analisis data dalam penelitian adalah uji-t,
karena data berdistribusi normal dan homogen, rumus yang digunakan adalah:

t
x1 x 2
dengan s 2
n1 1s12 n2 1s22 (Sugiyono, 2011: 138)
1 1 n1 n2 2
s
n1 n2

Keterangan :
x 1 = Rata-rata nilai siswa kelompok model Two Stay Two Stray

x 2 = Rata-rata nilai siswa kelompok model Make A Match


n1 = Jumlah siswa kelompok model Two Stay Two Stray

n 2 = Jumlah siswa kelompok model Make A Match


s2 = Simpangan baku gabungan
s12 = Simpangan baku siswa kelompok model Two Stay Two Stray

s 22 = Simpangan baku siswa kelompok model Make A Match

D. Hasi Penelitian dan Pembahasan


1. Hasil Penelitian
a. Hasil Pre-Test
Pada pertemuan pertama dilakukan pre-test yang dilaksanakan pada tanggal 11 April
2013, dari 40 siswa di kelas Two Stay Two Stray yang mengikuti pre-test hanya 37 siswa dan
dari 41 siswa di kelas Make A Match yang mengikuti pre-test hanya 35 siswa. Hal tersebut
64

dikarenakan, pada saat peneliti melaksanakan pre-test ada siswa yang tidak masuk sekolah.
Pelaksanaan pre-test ini berfungsi untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum
diberikan pembelajaran Matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe Two Stay
Two Stray dan model kooperatif tipe Make A Match. Soal yang digunakan berbentuk uraian
yang berjumlah enam soal. Berdasarkan hasil perhitungan, kemampuan awal siswa dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kemampuan Awal Siswa pada Kegiatan Pre-Test

Kelas VII.A Kelas VII.D


Indikator
(Two Stay Two Stray) (Make A Match)
Rata-rata 14,94 12,52
Nilai Tertinggi 35 29
Nilai Terendah 0,00 0,00
Siswa yang tuntas 0 (0%) 0 (0%)
Siswa yang tidak tuntas 37 orang (100%) 35 orang (100%)

Berdasarkan hasil perhitungan data pre-test pada kelas VII.A diperoleh


2 hitung 2,82 2 tabel 11,07 dan kelas VII.D 2 hitung 5,24 2 tabel 11,07 yang berarti data
berdistribusi normal. Varians kedua kelompok data adalah homogen yang terlihat dari hasil
perhitungan pre-test f hitung 1,07 f tabel 1,74 . Hasil uji-t mengenai pre-test secara signifikan

tidak terdapat perbedaan, karena t hitung 1,21 t tabel 1,67 sehingga H 0 diterima.

b. Hasil Post-Test
Post-test dilakukan untuk melihat hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran
Matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray dan Make A
Match. Dari hasil post test dapat diketahui adanya peningkatan hasil belajar siswa.
Post-test dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2013, dari 40 siswa di kelas Two Stay Two
Stray yang mengikuti post-test hanya 37 siswa dan dari 41 siswa dikelas Make A Match yang
mengikuti post-test hanya 35 siswa. Hal tersebut dikarenakan, pada saat pelaksanaan post-test
ada siswa yang tidak masuk sekolah. Soal tes yang digunakan berbentuk uraian yang terdiri
dari enam soal. Berdasarkan hasil perhitungan data post-test, kemampuan akhir siswa dapat
dilihat pada tabel 2.
65

Tabel 2. Kemampuan Akhir Siswa


Pada Kegiatan Post-Test

Kelas VII.A Kelas VII.D


Indikator
(Two Stay Two Stray) (Make A Match)
Rata-rata 83,39 76,05
Nilai Tertinggi 100 97
Nilai Terendah 62 62
Siswa yang tuntas 34 orang (91,89%) 28 orang (80,00%)
Siswa yang tidak tuntas 3 orang (8,10%) 7 orang (20%)

Berdasarkan hasil pre-test dan post-test dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai dan
ketuntasan belajar siswa kelas Two Stay Two Stray mengalami peningkatan sebesar 68,45
atau 91,89%, sedangkan rata-rata nilai dan ketuntasan belajar kelas Make A Match
mengalami peningkatan sebesar 63,53 dan 80,00%. Hal ini berarti, peningkatan hasil belajar
kelas Two Stay Two Stray lebih tinggi dibandingkan kelas Make A Match.
Hasil perhitungan data post-test pada kelas VII.A diperoleh 2 hitung 7,36 2 tabel 11,07

dan kelas VII.D 2 hitung 5,62 2 tabel 11,07 yang berarti data berdistribusi normal. Varians
kedua kelompok data adalah homogen yang terlihat dari hasil perhitungan post-test
f hitung 1,25 f tabel 11,07 . Hasil uji-t menunjukkan bahwa t hitung 2,92 t tabel 1,67 maka H 0

ditolak. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima
kebenarannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti
pembelajaran Matematika melalui model kooperatif tipe Two Stay Two Stray secara
signifikan lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran Matematika
melalui model kooperatif tipe Make A Match.

2. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 4 Lubuklinggau yang terdiri
dari kelas VII.A dan kelas VII.D, menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar yang
diperoleh siswa setelah materi diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe Two
Stay Two Stray di kelas VII.A dan model kooperatif tipe Make A Match di kelas VII.D. Hasil
belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray
secara signifikan lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model kooperatif tipe Make A Match.
Pada pertemuan pertama pembelajaran di kelas VII.A dengan menggunakan model
kooperatif tipe Two Stay Two Stray, peneliti mengalami sedikit hambatan. Pembelajaran yang
66

baru bagi guru dan siswa membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Pembagian kelompok
menimbulkan permasalahan karena siswa masih belum terbiasa belajar dalam kelompok,
siswa merasa kurang cocok dengan anggota kelompoknya, siswa yang bertugas sebagai tamu
merasa malu berkunjung ke kelompok lain untuk mencari informasi serta siswa yang bertugas
sebagai tuan rumah juga malu untuk menjelaskan hasil pekerjaan mereka kepada tamunya.
Pada pertemuan kedua, siswa sudah mulai bisa untuk bekerjasama dengan anggota
kelompoknya. Walaupun masih ada anggota kelompok yang belum bisa untuk bekerjasama.
Siswa juga sudah mulai bisa mencari informasi dari kelompok lain dan siswa yang bertugas
sebagai tuan rumah juga sudah mulai bisa menjelaskan kepada tamunya, walaupun belum
terlalu maksimal.
Pada pertemuan ketiga, siswa sudah bisa bekerjasama dengan seluruh anggota
kelompoknya. Mereka berdiskusi dan saling memberikan pendapat. Siswa yang bertugas
sebagai tamu sudah bisa mencari informasi dari kelompok lain dan yang bertugas sebagai
tuan rumah juga sudah bisa menjelaskan kepada tamunya mengenai hasil pekerjaan
kelompoknya.
Hambatan-hambatan yang sebelumnya muncul perlahan-lahan dapat berkurang dan dapat
diatasi karena siswa sudah mulai terbiasa belajar dalam kelompok, sudah bisa menyesuaikan
diri dengan anggota kelompoknya. Siswa juga sudah tidak merasa malu lagi untuk bertamu
ke kelompok lain dan menjelaskan hasil pekerjaan mereka kepada tamunya.
Pada pertemuan pertama pembelajaran di kelas VII.D dengan menggunakan model
kooperatif tipe Make A Match, peneliti juga mengalami sedikit hambatan. Model
pembelajaran kooperatif tipe Make A Match merupakan model pembelajaran mencari
pasangan kartu yang cocok dengan kartu yang dipegang. Siswa yang menemukan pasangan
kartu yang cocok dengan kartu yang dipegangnya hanya tiga pasang siswa. Hal tersebut
dikarenakan siswa belum terbiasa dengan model kooperatif tipe Make A Match dan siswa
juga belum terbiasa untuk bekerjasama dengan cepat, sehingga bagi mereka waktu yang
diberikan masih kurang. Kemudian, masih banyak siswa yang bermain-main dan malu karena
pada saat siswa menemukan pasangan kartu yang cocok dengan kartu yang dipegangnya dan
ternyata berpasangan dengan lawan jenisnya. Siswa yang dapat menemukan pasangan
kartunya tetapi pasangannya salah ada sepuluh pasang siswa dan yang tidak bisa menemukan
pasangan kartunya ada lima pasang siswa.
Pada pertemuan kedua, ada enam pasang siswa yang bisa menemukan pasangan kartu
yang cocok dengan kartu yang dipegangnya. Terjadinya peningkatan tersebut menandakan
bahwa siswa sudah mulai bisa untuk serius dalam proses pembelajaran. Pada pertemuan
67

ketiga, ada dua belas pasang siswa yang bisa menemukan pasangan kartu yang cocok dengan
kartu yang dipegangnya. Peningkatan proses pembelajaran semakin terlihat dengan
meningkatnya siswa yang dapat menemukan pasangan kartunya jika dibandingkan dengan
petemuan pertama. Siswa sudah bisa bekerjasama dan tidak malu-malu lagi mencari
pasangan kartu yang cocok dengan kartu yang dipegangnya.
Berdasarkan hasil analisis data hasil belajar siswa dan hasil penelitian yang relevan
dengan penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan menggunakan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray secara signifikan lebih baik
dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model
kooperatif tipe Make A Match. Rata-rata hasil belajar siswa kelas Two Stay Two Stray sebesar
83,39 dan kelas Make A Match sebesar 76,05. Hasil penelitian relevan pun menunjukkan
adanya peningkatan lebih baik hasil belajar siswa dengan menerapkan Two Stay Two Stray
dibandingkan penerapan model Make A Match seperti yang sudah dilakukan oleh Sumanjaya
(2012) dan Susilasari (2012). Hasil belajar Matematika tersebut yaitu, kelas dengan model
Two Stay Two Stray sebesar 70,74 dan kelas dengan menggunakan model Make A Match
sebesar 69,75. Hal ini dikarenakan dengan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray setiap
siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran dengan cara mencari informasi ke kelompok lain
dan membagi hasil dengan tamunya.

E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
siswa yang mengikuti pembelajaran Matematika dengan model kooperatif tipe Two Stay Two
Stray secara signifikan lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran
matematika dengan model kooperatif tipe Make A Match. Rata-rata hasil belajar siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray sebesar 83,39 dan
rata-rata hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model kooperatif tipe Make
A Match sebesar 76,05. Persentase jumlah siswa yang tuntas belajar untuk kelas Two Stay
Two Stray sebesar 91,89 % dan kelas Make A Match sebesar 80,00 %.
68

DAFTAR PUSTAKA

Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Model
Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lie, Anita. 2008. Coopertive Learning. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sumanjaya, Afri. 2012. Pengaruh Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray terhadap Hasil
Belajar Matematika Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Lubuklinggau. Skripsi tidak
diterbitkan. Lubuklinggau: Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam STKIP
PGRI Lubuklinggau.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Susilasari, Herlin. 2012. Pegaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match
terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X SMA Negeri 3 Lubuklinggau.
Skripsi tidak diterbitkan. Lubuklinggau: Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam STKIP PGRI Lubuklinggau.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.


69

Efektivitas Penggunaan Macromedia Flash dalam Pembelajaran Matematika


Siswa Kelas XI IPS MAN 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013

Oleh: Tira Permata Sari1, Sukasno2, Drajat Friansah3

ABSTRAK

This research entitled "Effectiveness of Using Macromedia Flash in Learning Mathematics Grade
Students XI IPS MAN 1 Lubuklinggau Academic Year of 2012/2013". The problems of this research
are: (1) whether the learning outcomes of students of class XI IPS MAN 1 Lubuklinggau academic
year of 2012/2013 after participating in learning mathematics using Macromedia Flash completed? (2)
how the response of students towards learning mathematics using Macromedia Flash? (3) how the
learning activities of students who take mathematics using Macromedia Flash? The research used a
form of quasi-experiment conducted in the absence of a comparison class design with pre-test and
post-test group. Its population is all students of class XI IPS MAN 1 Lubuklinggau academic Year of
2012/2013, which consists of 106 students and a sample is class XI IPS 3, amounting to 34 students.
Data collection was done by using tests and non-test in the form of questionnaires and observation.
Test data were analyzed using t-test at significance level = 0.05. Based on the data analysis it can be
concluded that the Macromedia Flash effective for use in teaching mathematics. Student learning
outcomes after participating in learning mathematics using Macromedia Flash significantly due to an
average value of 80.98 and the number of students who completed reaches 79.41%. Increasing student
activity at each meeting and the students gave a positive response.

Keyword: Macromedia Flash, Hasil Belajar, Matematika.

A. Pendahuluan
Berdasarkan Undang-Undang 14 Tahun 2005 (dalam Mukhtar dan Iskandar, 2010:7)
menyatakan bahwa guru adalah pendidikan yang profesional, profesi adalah pekerjaan
profesi sebagai pendidik harus memiliki keterampilan desain pembelajaran, selain dia harus
memfasilitasi dirinya dengan seperangkat pengalaman, keterampilan dan pengetahuan
tentang keguruan sesuai keilmuan yang ditekuninya. Mukhtar dan Iskandar (2010:11)
mengemukakan bahwa alat bantu bagi sebuah peristiwa pembelajaran sangat efektif bagi
pencapaian tujuan pembelajaran. Alat bantu ini dikenal dengan istilah media pembelajaran.
Para guru dituntut agar mampu menggunakan alat-alat yang disediakan di sekolah yang
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman (Arsyad, 2011:2). Guru profesional dituntut
mampu memilih dan menggunakan berbagai jenis media pembelajaran yang ada di sekitarnya
(Daryanto, 2011:3).
Materi pelajaran yang disampaikan dengan menggunakan media pembelajaran itu lebih
efektif daripada pembelajaran tanpa menggunakan media pembelajaran. Dengan penggunaan
media pembelajaran, diharapkan siswa lebih tertarik untuk mempelajari materi yang
disampaikan dengan gambaran yang nyata bukan konsep atau tulisan-tulisan saja.
Sesungguhnya apa yang kita lihat biasanya lebih mudah untuk kita cerna dan pahami secara

1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Lubuklinggau
2&3
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Lubuklinggau
70

cepat apabila menggunakan alat bantu dengan media sehingga siswa memperoleh
pengalaman yang kongkret dan proses pembelajaran juga akan menyenangkan.
Apabila dibandingkan dengan siswa kelas XI IPA, siswa kelas XI IPS lebih banyak
mengalami kesulitan dalam memahami materi Matematika. Siswa pada umumnya mengambil
jurusan IPS karena menghindari mata pelajaran Matematika yang dianggap sulit. Siswa kelas
XI IPS dalam proses pembelajaran lebih sering bermain-main dan tidak berkonsentrasi dalam
belajar. Hal ini sangat berpengaruh pada kemampuan siswa untuk menerima pelajaran yang
diberikan oleh guru. Penyajian materi yang kurang menarik menyebabkan siswa bosan dan
jenuh dalam proses pembelajaran sehingga aktivitas siswa saat belajar rendah.
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara peneliti di MAN 1 Lubuklinggau,
pembelajaran Matematika yang dilakukan di kelas XI IPS menggunakan pembelajaran
konvensional. Pada umumnya lebih didominasi oleh guru, guru menerangkan konsep di
depan kelas, kemudian diterapkan dalam contoh soal dan latihan-latihan. Siswa cenderung
pasif dan kurang berpartisipasi dalam pembelajaran. Guru cenderung hanya mengandalkan
sarana-sarana standar seperti buku-buku pegangan atau buku pengajaran. Banyak siswa yang
mendapat nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada pelajaran Matematika
kelas XI IPS yang ditetapkan sekolah tersebut yaitu 75 sehingga siswa harus mengikuti
program remedial. Hal ini dapat dilihat pada hasil ulangan harian siswa kelas XI IPS pada
mata pelajaran Matematika yang berjumlah 106 siswa, sebanyak 48,11% (51 orang) yang
belum mencapai KKM dan 51,89% (55 orang) yang sudah mencapai KKM. Dengan rata-rata
nilai ulangan hariannya adalah 52,20.
Sebagai upaya dalam mendukung penjelasan guru tersebut dan perbaikan proses
pembelajaran menjadi menyenangkan, maka penggunaan media pembelajaran perlu
dilakukan. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan adalah Macromedia Flash.
Menurut Wahyono (2006:1) Macromedia Flash adalah aplikasi yang digunakan untuk
melakukan desain dan membangun perangkat presentasi, publikasi, atau aplikasi lainnya yang
membutuhkan ketersediaan sarana interaksi dengan penggunanya. Penggunaan Macromedia
Flash diharapkan dapat membawa kita kepada situasi belajar yang mana learning with effort
akan dapat digantikan dengan learning with fun.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini,
sebagai berikut: (1) Apakah hasil belajar siswa kelas XI IPS MAN 1 Lubuklinggau tahun
pelajaran 2012/2013 setelah mengikuti pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia
Flash tuntas? (2) Bagaimana respons siswa terhadap pembelajaran Matematika menggunakan
71

Macromedia Flash?, dan (3) Bagaimana aktivitas siswa yang mengikuti pembelajaran
matematika menggunakan Macromedia Flash ?
Kemudian, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui apakah hasil belajar siswa
kelas XI IPS MAN 1 Lubuklinggau tahun pelajaran 2012/2013 setelah mengikuti
pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia Flash tuntas, dan (2) mendeskripsikan
renpons dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Matematika menggunakan
Macromedia Flash.

B. Landasan Teori
Gulo (dalam Sutrisno, 20 Februari 2013) mengemukakan bahwa respons adalah suatu
reaksi atau jawaban yang bergantung pada stimulus atau merupakan hasil dari stimulus
tersebut. Sedangkan Putra (20 Februari 2013) mengemukakan bahwa respon merupakan
keterangan atau pendapat seseorang terhadap sesuatu yang diketahui. Respons yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggapan para ahli media dan para ahli materi
terhadap media pembelajaran yang telah dibuat apakah layak untuk digunakan di sekolah atau
tidak, dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan Macromedia
Flash.
Macromedia Flash merupakan salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan
guru dalam pembelajaran matematika. Arsyad (2011:29) mengemukakan bahwa media
pembelajaran merupakan komponen instruksional yang meliputi pesan, orang, dan peralatan.
Sedangkan Nursyamsi (16 Desember 2012) mengemukakan bahwa media pembelajaran
adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan belajar sehingga dapat mendorong terjadinya
proses belajar yang disengaja, bertujuan, dan terkendali.
Selanjutnya, Arsyad (2011:25-27) juga mengemukakan bahwa manfaat praktis dari
penggunaan media pembelajaran di dalam proses pembelajaran yaitu:
1. Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat
memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar.
2. Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga
dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan
lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan
kemampuan dan minatnya.
3. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu.
72

4. Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang


peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka.
Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan guru adalah Macromedia Flash.
Menurut Kusrianto (2006:1), pada umumnya flash menyediakan sarana yang kita butuhkan
untuk membuat dan melahirkan sebuah rancangan halaman web yang kaya akan fasilitas
hingga pembuatan sebuah aplikasi yang tangguh. Program ini dilengkapi dengan tool-tool
yang mampu menghasilkan karya yang kreatif dan disempurnakan dengan tampilan interface
yang semakin memudahkan. Menurut Wahyono (2006:1) Macromedia Flash merupakan
aplikasi yang digunakan untuk melakukan desain dan membangun perangkat presentasi,
publikasi, atau aplikasi lainnya yang membutuhkan ketersediaan sarana interaksi dengan
penggunanya. Proyek yang dibangun dengan flash bisa terdiri atas teks, gambar, animasi
sederhana, video, atau efek-efek khusus lainnya.
Aplikasi Macromedia Flash ini diproduksi oleh Macromedia Corporation, sebuah
perusahaan pengembang perangkat lunak dalam bidang animasi, pengembangan sistem web
dan multimedia. Flash dikembangkan sejak tahun 1996, dan pada awalnya hanyalah
merupakan program animasi sederhana GIF Animation, tetapi sekarang sudah berkembang
menjadi aplikasi yang digunakan oleh hampir semua orang yang menekuni bidang desain dan
animasi berbasis komputer.
Emut (25 Januari 2013) mengemukakan bahwa media pembelajaran yang berbasis
komputer dengan menggunakan Macromedia Flash memiliki keunggulan, yaitu: (1) siswa
lebih paham terhadap materi yang dipelajari karena setiap materi disajikan simulasinya;
(2) siswa lebih semangat dalam belajar karena penyajian materi dilengkapi dengan
gambar, suara, dan video; serta (3) siswa dapat berinteraksi dengan media karena bersifat
interaktif dan menyenangkan.
Langkah-langkah pembelajaran matematika menggunakan Macromedia Flash yang
akan digunakan oleh peneliti dalam penelitiannya adalah :
1. Mempersiapkan perlengkapan presentasi di depan kelas.
2. Mengajak siswa ke ruang laboratorium komputer dan menempatkan siswa pada
komputer yang ada.
3. Memotivasi siswa agar tertarik dan fokus dalam kegiatan pembelajaran.
4. Menginstruksikan siswa untuk ikut dalam memainkan slide demi slide
5. Siswa melakukan latihan sendiri.
6. Melihat hasil latihan siswa dan memberikan umpan balik pada siswa.
73

Wikispaces (25 Januari 2013) mengemukakan bahwa aktivitas yang disertai dengan
perhatian intensif akan lebih sukses dan prestasinya pun akan lebih tinggi. Maka dari itu,
sebagai seorang guru harus selalu berusaha untuk menarik perhatian anak didiknya sehingga
mereka mempunyai minat terhadap pelajaran yang diajarkannya. Djamarah (2011:38-45)
juga mengemukakan bahwa beberapa aktivitas belajar adalah: (1) mendengarkan;
(2) memandang; (3) meraba, membau, dan mencicipi/mengecap; (4) menulis atau mencatat;
(5) membaca; (6) membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggarisbawahi; (7) mengamati
tabel-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan; (8) menyusun paper atau kertas kerja; (9)
mengingat; (10) berpikir; (11) latihan atau praktek. Indikator aktivitas yang diamati oleh
peneliti dalam penelitiannya adalah: (1) mencatat; (2) memperhatikan penjelasan; (3)
bertanya; (4) menjawab pertanyaan; (5) menanggapi pertanyaan; (6) mengerjakan soal; dan
(7) membuat kesimpulan.

C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan pertimbangan peneliti dengan
sengaja dan sistematik memberikan variabel berupa Macromedia Flash untuk diamati
peningkatannya terhadap hasil belajar Matematika siswa, respons, dan aktivitas siswa dalam
mengikuti pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia Flash. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment atau eksperimen semu. Desain
eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain Pre-test and Post-test Group.
Populasinya adalah siswa kelas XI IPS MAN 1 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013
dan sebagai sampel adalah siswa kelas XI IPS 3 yang diambil secara acak.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan tes, angket, dan observasi. Tes
digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat
yang dimiliki oleh siswa. Tes yang diberikan berbentuk uraian sebanyak lima soal yang
digunakan pada penelitian ini adalah angket evaluasi/validitas media pembelajaran dan
angket respons siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika menggunakan Macromedia
Flash. Data angket dianalisis dengan cara sebagai berikut:
SS = Sangat Setuju diberi skor 4
ST = Setuju diberi skor 3
TS = Tidak Setuju diberi skor 2
STS = Sangat Tidak Setuju diberi skor 1
74

Jumlah skor ideal kriterium untuk seluruh item


= skor tertinggi x jumlah responden x jumlah item
Jumlah skor jawaban
Tingkat kelayakan = x 100%
jumlah skor ideal seluruh item
(Sugiyono, 2012:135)
Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah observasi tertutup. Sukardi
(2003:79) juga mengemukakan bahwa pada observasi tertutup, mengambil data dari
responden, dan tidak diketahui responden yang bersangkutan. Model observasi tertutup ini,
pada umumnya untuk mengantisipasi agar reaksi responden dapat berlangsung secara wajar
dan tidak dibuat-buat, sehingga peneliti dapat memperoleh data yang diinginkan. Lembar
pengamatan yang digunakan oleh peneliti terdiri dari 7 deskriptor atau 7 item pengamatan.
Observasi ini dilakukan untuk mengumpulkan data tentang semua kegiatan atau aktivitas
siswa selama proses pembelajaran matematika menggunakan Macromedia Flash
berlangsung. Data observasi dianalisis sebagai berikut:
R
Np = x 100
SM
Keterangan :
Np : Nilai keaktifan
R : Skor mentah hasil observasi
SM : Skor maksimum ideal (Purwanto, 2010:102)
Dengan kriteria nilai keaktifan observasi sebagai berikut:
Interval Keterangan
80 100 Sangat Aktif
60 79 Aktif
40 59 Cukup Aktif
20 39 Kurang Aktif
0 19 Tidak Aktif
(Modifikasi dari Faiq, 20 Februari 2013)
Jika datanya berdistribusi normal dan simpangan baku populasinya tidak diketahui, maka
rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah uji t dengan rumus :
0
=

(Sugiyono, 2007:96)
Keterangan :
t : nilai t yang dihitung selanjutnya disebut t hitung
: rata-rata xi
75

0 : nilai yang dihipotesiskan (0 = 75)


s : simpangan baku
n : jumlah anggota sampel
Kriteria pengujiannya adalah jika t hitung t tabel maka Ha diterima dan H0 ditolak dan
jika t hitung < t tabel maka Ha ditolak dan H0 diterima dengan taraf signifikan yaitu = 0,05
dan dk = (n - 1).

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Hasil Penelitian
Pembelajaran matematika menggunakan Macromedia Flash dilakukan pada siswa kelas
XI IPS 3 MAN 1 Lubuklinggau dengan uraian materi pokok yaitu turunan fungsi.
Pelaksanaan penelitian dimulai dari pelaksanaan uji coba instrumen pada tanggal 23 Maret
2013. Dilanjutkan dengan pertemuan tatap muka yang dilakukan sebanyak lima kali
pertemuan, satu kali pemberian pre-test tanggal 28 Maret 2013, tiga kali proses pembelajaran
matematika menggunakan Macromedia Flash yaitu pada tanggal 4, 8, 11 April 2013, dan
satu kali pemberian post-test pada tanggal 22 April 2013.
a. Validitas Media
Media pembelajaran yang dibuat oleh peneliti dievaluasi oleh para ahli yang terdiri dari
enam orang ahli media dan dua orang ahli materi. Dari angket yang diberikan secara
keseluruhan para ahli menunjukkan penilaian yang positif. Berdasarkan hasil perhitungan,
rekapitulasi hasil tanggapan para ahli media terhadap angket evaluasi media pembelajaran
dapat dilihat pada tabel 1 dan rekapitulasi hasil tanggapan para ahli materi terhadap angket
evaluasi media pembelajaran dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Tanggapan Para Ahli Media terhadap
Media Macromedia Flash yang Disain
Pernyataan Banyaknya Skor Jumlah Skor Jawaban
Sangat Setuju (SS) 36 4 144
Setuju (S) 78 3 234
Tidak Setuju (TS) 6 2 12
Sangat Tidak Setuju (STS) 0 1 0
Total Jumlah Skor Jawaban 390

Jumlah Skor Ideal (kriterium) untuk seluruh item = 4 (skor tertinggi) x 6 (jumlah
responden) x 20 (jumlah item validitas ahli media) = 480
Total jumlah skor jawaban
Tingkat kelayakan = x100%
Jumlah skor ideal untuk seluruh item
76

390
Tingkat kelayakan = x 100%
480
Tingkat kelayakan = 81,25 %
Tabel 2. Tanggapan Para Ahli Materi terhadap
Media Macromedia Flash yang Disain
Pernyataan Banyaknya Skor Jumlah Skor Jawaban
Sangat Setuju (SS) 9 4 36
Setuju (S) 11 3 33
Tidak Setuju (TS) 4 2 8
Sangat Tidak Setuju (STS) 0 1 0
Total Jumlah Skor Jawaban 77

Jumlah Skor Ideal (kriterium) untuk seluruh item = 4 (skor tertinggi) x 2 (jumlah
responden) x 12 (jumlah item validitas ahli media) = 96
Total jumlah skor jawaban
Tingkat kelayakan = x 100 %
Jumlah skor ideal untuk seluruh item
77
Tingkat kelayakan = x 100 %
96
Tingkat kelayakan = 80,21 %
Tingkat kelayakan dari para ahli media dan para ahli materi mencapai kriteria yaitu
melebihi 80 % sehingga dapat disimpulkan bahwa media tersebut layak (valid) dan dapat
digunakan sebagai media pembelajaran di sekolah.

b. Kemampuan Matematika Siswa


Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh rekapitulasi hasil analisis kemampuan siswa
yang dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Analisis Kemampuan Matematika Siswa

Siswa yang Tuntas


No. Kelompok Rata-rata Nilai
Frekuensi %
1. Kemampuaan Awal 17,37 0 0
2. Kemampuan Akhir 80,98 27 79,41

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal siswa pada kelas
XI IPS 3 MAN 1 Lubuklinggau sebelum pelaksanaan pembelajaran matematika
menggunakan Macromedia Flash belum tuntas, karena belum ada siswa yang tuntas belajar
77

dengan rata-rata nilai sebesar 17,37. Sedangkan kemampuan akhir siswa setelah mengikuti
pembelajaran matematika menggunakan macromedia flash secara deskriptif sudah tuntas.
Jika dibandingkan dengan kemampuan awal maka rata-rata nilai yang diperoleh siswa
pada kemampuan akhir terdapat peningkatan sebesar 63,61. Tidak ada siswa yang tuntas pada
tes awal (pre-test) dan pada tes akhir (post-test) terdapat 27 orang (79,41%) siswa yang
tuntas. Hal ini menunjukkan terdapat peningkatan hasil belajar siswa setelah mengikuti
pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia Flash.
Berdasarkan hasil uji normalitas data, dapat dinyatakan bahwa data tes awal dan tes akhir
berdistribusi normal. Hal ini dikarenakan data berdistribusi normal dan simpangan baku
populasi tidak diketahui, maka untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil
perhitungan uji-t data tes akhir diperoleh thitung = 3,22, sedangkan nilai ttabel pada taraf
kepercayaan = 0,05 dan dk = 34 1 = 33 diperoleh ttabel = 1,70. Ternyata thitung > ttabel,
sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima kebenarannya. Hal ini
berarti hasil belajar siswa kelas XI IPS MAN 1 Lubuklinggau tahun pelajaran 2012/2013
setelah mengikuti pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia Flash secara
signifikan tuntas.

c. Hasil Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari observasi siswa kelas XI IPS
3. Observasi siswa yang diamati secara individu dengan observernya yaitu peneliti dan salah
satu observer lainnya. Observasi siswa terdiri atas tujuh indikator dan diamati sesuai periode
nya. Berdasarkan hasil perhitungan, rekapitulasi data hasil observasi siswa yang dilakukan
sebanyak tiga kali pertemuan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Data Observasi


Pertemuan I Pertemuan II Pertemuan III
Kategori Aktivitas Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(siswa) (siswa) (siswa)
Sangat Aktif 0 0,00 0 0,00 5 14,71
Aktif 0 0,00 3 8,82 17 50,00
Cukup Aktif 11 32,35 31 91,18 12 35,29
Kurang Aktif 23 67,65 0 0,00 0 0,00
78

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat disimpulkan bahwa pada pertemuan pertama masih
banyak siswa yang kurang aktif dan pada pertemuan kedua banyak siswa yang cukup aktif
dan tidak ada siswa yang kurang aktif, sedangkan pada pertemuan ketiga banyak siswa yang
aktif. Hal ini berarti bahwa proses pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia
Flash dapat meningkatkan aktivitas siswa pada setiap pertemuan.

d. Respon Siswa
Cara mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran Matematika menggunakan
Macromedia Flash, di lima belas menit terakhir pada pertemuan ke tiga pembelajaran
matematika menggunakan Macromedia Flash tanggal 11 April 2013 siswa diminta untuk
mengisi angket respon yang terdiri dari 12 item. Angket yang diberikan kepada siswa diolah
dengan skala Liekert, kemudian diambil persentasenya. Hasil ringkasan respon siswa
terhadap pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia Flash dapat dilihat pada tabel
5 berikut.
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Data Respon Siswa
terhadap Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Macromedia Flash
Jumlah
Pernyataan %
Skor
Saya mudah menggunakan program ini dan dapat langsung
1. 109 80,15
saya gunakan.
Dalam menggunakan program ini, saya masih membutuhkan
2. 126 92,65
penjelasan guru.
3. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam program ini dapat
127 93,38
membantu saya dalam memahami materi yang disajikan.
4. Program ini terdapat simulasi yang dapat membantu saya
110 80,88
untuk lebih memahami konsep yang diberikan.
5. Simulasi pendukung yang muncul dari program ini,
115 84,56
memperjelas pemahaman terhadap konsep matematika
6. Menurut saya, program ini didesain interaktif yaitu bebas
111 81,62
menggunakan program ini sesuai keinginan saya.
Dengan adanya gambar, saya dapat mengingat informasi yang
7. 124 91,18
dipelajari.
Animasi (gambar gerak) dan simulasi membantu saya dalam
8. 119 87,50
melihat proses kejadian yang jarang yang saya jumpai.
9. Saya merasa senang ketika menggunakan program ini. 119 87,50
Apabila program ini digunakan untuk materi pokok yang lain,
10. 117 86,03
saya berminat untuk menggunakannya.
11. Saya tidak bosan, ketika sedang menggunakan program ini. 113 83,09
12. Bagi saya, program ini merupakan hal yang baru dalam
121 88,97
pembelajaran matematika.
Rata-rata 86,46
79

Dari data tersebut diketahui bahwa secara umum bahwa siswa masih membutuhkan
penjelasan guru dalam menggunakan Macromedia Flash, siswa merasa senang dan tidak
bosan dalam mengikuti pembelajaran Matematika dengan menggunakan Macromedia Flash.
Macromedia Flash memperjelas pemahaman konsep Matematika dan membantu siswa
mengingat materi yang dipelajari, dan siswa berminat untuk mengikuti pembelajaran
Matematika dengan menggunakan Macromedia Flash pada materi pokok lain.
Asnawi (20 Februari 2013) mengemukakan bahwa respon siswa dikatakan baik atau
sangat baik, jika 80% atau lebih siswa merespon dalam kategori senang untuk setiap aspek
yang direspon. Dari data dapat terlihat bahwa lebih dari 80% siswa merespon dalam kategori
senang untuk setiap aspek yang direspon, dengan rata-rata persentase semua respon adalah
86,46%, sehingga dapat disimpulkan bahwa Macromedia Flash memberikan respon yang
baik terhadap minat siswa dalam pembelajaran Matematika.

2. Pembahasan
Penelitian yang dilakukan di MAN 1 Lubuklinggau ini termasuk penelitian eksperimen
dengan tujuan untuk mengetahui Apakah Macromedia Flash efektif digunakan dalam
pembelajaran matematika? Sebelum adanya pembelajaran Matematika dengan menggunakan
Macromedia Flash peneliti bersama pengamat lain, dan salah satu staf laboratorium
komputer (yang juga mengajar TIK di MAN 1 Lubuklinggau) memeriksa komputer yang ada,
dan ternyata komputer yang ada pada sekolah tidak mencukupi, jumlah komputer kurang dari
jumlah siswa yang ada, ada beberapa komputer yang tidak cocok dengan program tersebut,
dan ada beberapa komputer yang tidak dapat digunakan (rusak), sehingga peneliti
menetapkan akan membagi komputer yang ada dengan banyaknya siswa, dan memberitahu
kepada siswa agar siswa yang memiliki laptop untuk membawa laptopnya saat pembelajaran
Matematika, hal ini juga disetujui oleh pihak sekolah.
Pada pertemuan pertama, peneliti mengajak siswa ke laboratorium komputer dan
menempatkan siswa pada komputer yang ada. Pada pertemuan ini peneliti sedikit mengalami
kesulitan dan hambatan-hambatan, dikarenakan adanya perubahan cara mengajar guru
dirasakan siswa sebagai hal yang baru dan memerlukan penyesuaian terhadap pembelajaran
matematika yang akan dilakukan. Masih banyak siswa yang kurang aktif hal ini disebabkan
karena siswa belum benar-benar memahami materi dan proses pembelajaran matematika
menggunakan Macromedia Flash.
Pada pertemuan kedua pembelajaran matematika menggunakan Macromedia Flash
dilaksanakan di kelas, karena laboratorium komputernya sedang digunakan oleh guru lain.
80

Pada pertemuan ini guru memberikan penjelasan dengan menggunakan in focus di depan
kelas, hambatan yang terjadi perlahan-lahan dapat berkurang karena siswa mulai terbiasa
dengan pembelajaran ini. Hal ini terlihat dari semua siswa cukup aktif dalam mengikuti
proses pembelajaran Matematika dengan menggunakan Macromedia Flash. Pada pertemuan
ketiga pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia Flash dilaksanakan di
laboratorium komputer, aktivitas pembelajaran ini terus mengalami peningkatan. Hal ini
terlihat dari semua siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran.
Dari hasil post-test terlihat nilai terendah yang tidak mencapai nilai KKM yaitu 51, siswa
tersebut pada proses pembelajaran nilai keaktifannya hanya berkisar pada indikator kurang
aktif menjadi cukup aktif, pada proses pembelajaran siswa tersebut tidak mengikuti secara
aktif pembelajaran menggunakan Macromedia Flash. Sedangkan pada nilai tertinggi hasil
post-test yaitu 98, siswa tersebut pada proses pembelajaran nilai keaktifannya yang
sebelumnya berkisar pada indikator kurang aktif menjadi cukup aktif di pertemuan kedua dan
sangat aktif di pertemuan ketiga. Pada proses pembelajaran siswa tersebut mengalami
peningkatan di setiap pertemuan. Begitu pula dari beberapa siswa yang kurang aktif
kemudian meningkat menjadi aktif, dan hasil belajarnya sangat baik dan mencapai nilai
KKM. Dengan demikian, dapat disimpulkan keaktifan siswa dalam pembelajaran sangat
berpengaruh pada hasil belajar siswa tersebut.
Kemudian, berdasarkan hasil perhitungan uji-t data tes akhir diperoleh thitung = 3,22,
sedangkan nilai ttabel pada taraf kepercayaan = 0,05 dan dk = 34 1 = 33 diperoleh ttabel =
1,70. Ternyata thitung > ttabel, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat
diterima kebenarannya. Hal ini berarti hasil belajar siswa kelas XI IPS MAN 1 Lubuklinggau
tahun pelajaran 2012/2013 setelah mengikuti pembelajaran Matematika menggunakan
Macromedia Flash secara signifikan tuntas. Keberhasilan pembelajaran tersebut, sesuai
dengan pernyataan Zaini, dkk. (dalam Arifin dan Setyawan, 2011:2) mengemukakan bahwa
pembelajaran aktif merupakan pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar
secara aktif, artinya mereka yang mendominasi aktivitas belajar. Dengan belajar aktif ini,
peserta didik diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental,
tetapi juga fisik. Dengan cara ini, biasanya peserta didik akan merasakan suasana yang
menyenangkan sehingga hasil belajar dapat maksimal.
Pada 15 menit akhir dari pertemuan ketiga tersebut, siswa diberi angket respon yang
terdiri dari 12 item pengamatan. Dari data angket tersebut diketahui bahwa siswa masih
membutuhkan penjelasan guru dalam menggunakan Macromedia Flash, siswa merasa senang
dan tidak bosan dalam mengikuti pembelajaran Matematika dengan menggunakan
81

Macromedia Flash. Macromedia Flash memperjelas pemahaman konsep Matematika dan


membantu siswa mengingat materi yang dipelajari, dan siswa berminat untuk mengikuti
pembelajaran Matematika menggunakan Macromedia Flash pada materi pokok lain. Lebih
dari 80% siswa merespon dalam kategori senang untuk setiap aspek yang direspon, dengan
rata-rata persentase semua respon adalah 86,46%, sehingga dapat dikatakan bahwa
Macromedia Flash memberikan respon yang baik terhadap minat siswa dalam pembelajaran
Matematika.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Emut (25 Januari 2013) yang mengemukakan bahwa
media pembelajaran yang berbasis komputer dengan menggunakan Macromedia Flash
memiliki keunggulan, yaitu: (a) siswa lebih paham terhadap materi yang dipelajari karena
setiap materi disajikan simulasinya; (b) siswa lebih semangat dalam belajar karena
penyajian materi dilengkapi dengan gambar; dan (c) siswa dapat berinteraksi dengan media
karena bersifat interaktif.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan Macromedia Flash efektif
untuk digunakan dalam pembelajaran Matematika, walaupun masih terdapat kekurangan pada
pertemuan awal karena adanya perubahan cara mengajar guru dirasakan siswa sebagai hal
yang baru dan memerlukan penyesuaian terhadap pembelajaran matematika yang akan
dilakukan. Kemudian, masih banyak siswa yang kurang aktif hal ini disebabkan karena siswa
belum benar-benar memahami materi dan proses pembelajaran matematika menggunakan
Macromedia Flash.

E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
Matematika siswa kelas XI IPS 3 Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2012/2013 setelah
mengikuti pembelajaran Matematika dengan menggunakan Macromedia Flash secara
signifikan efektif dan tuntas dengan rata-rata nilai tes akhir sebesar 80,98 dengan persentase
jumlah siswa yang tuntas sebesar 79,41 %. Berdasarkan hasil pengamatan juga, menunjukkan
bahwa aktivitas siswa semakin meningkat pada setiap pertemuan. Sedangkan respon siswa
sangat antusias mengikuti pembelajaran matematika menggunakan Macromedia Flash
dengan rata-rata respon sebesar 86,46 %, maka dapat dikatakan bahwa program Macromedia
Flash dapat dijadikan alternatif sebagai media pembelajaran yang menyenangkan, sehingga
dapat membantu siswa untuk lebih memahami konsep dari materi yang ada karena didukung
oleh gambar dan simulasi yang ada dalam program. Dengan demikian, Macromedia Flash
82

dapat membangkitkan minat siswa dalam belajar sehingga hasil belajar matematika siswa
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin dan Setyawan. 2012. Pengembangan Pembelajaran Aktif dengan ICT. Yogyakarta:
Skripta Media Creative.

Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.

Daryanto. 2011. Media Pembelajaran. Bandung: PT Sarana Tutorial Nurani Sejahtera.

Djamarah, S. B. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Faiq, M. 2013. Lembar Observasi Aktivitas Siswa. [online] http://


penelitiantindakankelas.blogspot.com/2013/02/lembar-observasi-aktivitas-
siswa.html. [20 Februari 2013].

Kusrianto, A. 2006. Panduan Lengkap Memakai Macromedia Flash Professional 8. Jakarta:


PT Elek Media Komputindo

Mukhtar dan Iskandar. 2010. Desain Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Jakarta: Gaung Persada (GP) Press Jakarta.

Nursyamsi. 2012. Definisi Media Pembelajaran. [online] http://neozonk.word


press.com/2012/09/19/definisi-media-pembelajaran/. [16 Desember 2012]

Putra, E. 2013. Pengertian Respon. [online] http://Kerjakandanpemahaman.Blog spot


.com/2012/01/pengertian-respon.html?m=1. [20 Februari 2013].

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sutrisno, S. 2013. Respon Siswa. [online] http://pratamasandra.wordpress.com/2011/05


/11/pengertian-respons. [20 februari 2013].

Wahyono, T. 2006. Animasi dengan Macromedia Flash 8. Jakarta: PT Elek Media


Komputindo.
Wikispaces. 2013. Minat dan Aktivitas Belajar. [online] http://idb4.wikispaces. com/file
/view/jj4006.2.pdf. [25 Januari 2013].
83

Bahasa Baku dan Sikap terhadap Bahasa Baku


(Tinjauan Teoritis dan Deskriptif terhadap Problematika Pembakuan
Bahasa Indonesia)
Oleh Tri Astuti1
(astutitri7@gmail.com)

ABSTRAK
Bahasa merupakan sarana komunikasi paling vital di masyarakat. Oleh sebab itu, standardisasi atau
pembakuan bahasa dalam suatu masyarakat menduduki peran yang penting, terlebih untuk masyarakat
heterogen seperti Indonesia, yang konsekuensinya memunculkan berbagai bahasa dan ragam bahasa.
Untuk memudahkan komunikasi dalam masyarakat, perlu dipilih satu variasi atau ragam bahasa yang
dapat dijadikan sebagai acuan atau standar pemakaian di masyarakat. Bahasa yang standar atau baku
ini akan menduduki posisi yang lebih tinggi dalam skala tata nilai masyarakat pemakai bahasa. Bahasa
standar atau baku memiliki ciri kemantapan dinamis, cendikia, dan keseragaman kaidah. Persoalan
yang terjadi dalam usaha pembakuan/standardisasi bahasa Indonesia, tak terlepas dari pengaruh sikap
dan tanggapan para pemakai bahasa Indonesia itu sendiri. Sikap tuna harga diri, yaitu sikap yang
kurang bangga dan sinis dalam menggunakan dan memakai bahasa Indonesia. Mereka lebih bangga
menggunakan bahasa asing dibanding bahasa sendiri dan memandang sinis terhadap usaha-usaha
dalam pengembangan bahasa Indonesia. Selain itu, adanya tanggapan yang beranggapan bahwa
masalah kebahasaan Indonesia adalah masalah yang sepele, tidak perlu pembahasan lebih mendalam
dalam pemakaiannya karena mereka berargumen dalam penggunaan bahasa yang penting tahu
maksudnya. Hal ini melahirkan kebiasaan di kalangan masyarakat kita bahwa belajar bahasa
Indonesia cukup secara alamiah saja. Artinya, mereka belajar dari apa yang nyatanya digunakan tanpa
memikirkan apa bentuk bahasa tersebut secara kaidah yang benar, sehingga dalam pemakaian mereka
menekankan pada selera bahasa daripada penalaran bahasa.

Kata kunci: Sikap, Bahasa Baku, dan Pembakuan Bahasa.

A. Pendahuluan
Bahasa mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Bahasa bukan saja merupakan alat komunikasi, tetapi lebih dari itu, bahasa dapat merupakan
alat politis untuk mempersatukan bangsa. Tidak sedikit negara yang mengalami gejolak
politik hanya karena perbedaan bahasa atau karena tiadanya bahasa sebagai alat pemersatu.
Indonesia, pernah mengalami gejolak politik bahkan pernah mengalami sebagai bangsa
terjajah yang cukup lama karena salah satu penyebabnya adalah perbedaan bahasa. Sekalipun
pada akhirnya, permasalahan ini dapat diselesaikan, tanpa ada ketegangan politik dan
bentrokan politik antarwilayah dengan dipilihnya bahasa Melayu (yang dalam perkembangan
selanjutnya menjadi bahasa Indonesia). Hal ini dikarenakan adanya kesadaran secara
sosiolinguistik oleh para pemakai bahasa bahwa bahasa Melayu mempunyai peranan yang
lebih memungkinkan untuk dijadikan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di
Indonesia.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen. Keheterogenan itu
menyangkut bidang sosial, politik, budaya, suku bangsa, agama, dan juga bahasa. Dalam

1
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Lubuklinggau
84

bidang bahasa, sebagai konsekuensinya muncullah berbagai ragam dan variasi bahasa. Untuk
memudahkan komunikasi dalam masyarakat dan mempersatukan masyarakat yang heterogen
(atau diglosia) tersebut, perlu dipilih satu variasi atau ragam bahasa sebagai acuan dan tolok
ukur dalam pemakaian. Maka pada tanggal 28 Oktober 1928 diikrarkannya Sumpah Pemuda
yang salah satu isinya berbunyi Menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia,
ini memperkuat kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Sejak itulah bahasa
Indonesia menjadi bahasa acuan dan standar untuk komunikasi antarwilayah yang berbeda,
baik suku, bangsa, budaya, maupun bahasa.
Selain sebagai alat pemersatu, bahasa juga merupakan sarana penyerap dan pengembang
ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa yang sudah mengalami kemajuan dan masuk dalam
kategori bangsa maju, pada umumnya mempunyai struktur bahasa yang modern dan mantap.
Ini menjadi suatu dasar pemikiran bahwa bahasa merupakan salah satu faktor pendukung
kemajuan suatu bangsa karena bahasa akan menjadi sarana untuk dapat mengantarkan bangsa
dalam membuka wawasannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang.
Dewasa ini telah digalakkan usaha pengembangan bahasa Indonesia ke arah pemodernan
bahasa karena bahasa Indonesia harus dapat dijadikan sebagai bahasa keilmuan. Usaha
tersebut ditandai dengan dibentuknya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dengan
diterbitkannya buku Kamus Besar bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Sekalipun dua buku tersebut belum membahas tuntas aspek kebahasaan yang
diharapkan, namun dengan terbitnya dua buku tersebut mengisyaratkan bahwa untuk
kemantapan kedudukan bahasa Indonesia perlu dilakukan pembakuan bahasa, baik dalam
bidang ejaan maupun tata bahasanya.
Kita sadari bahwa pembakuan bahasa bukan hanya menyangkut norma bahasa yang
dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa yang dipakai di sekolah atau dunia pendidikan
atau kalangan terpelajar, namun juga norma berdasarkan adat pemakaian (usege) yang belum
dikodifikasi secara resmi, yang umumnya dipakai oleh kalangan media masa atau masyarakat
umumnya. Dua norma ini saling bertumpang tindih, di samping berbagi inti bersama, ada
norma yang berlaku di sekolah, tetapi tidak diikuti oleh media massa dan masyarakat atau
sebaliknya.
Berbicara norma berdasarkan adat pemakaian (usege) atau prilaku kebahasaan dalam
masyarakat ini akan berkaitan dengan sikap mentalitas para pemakai dan pengguna bahasa.
Sikap tuna harga diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, dan latah dalam perilaku
berbahasa merupakan penghambat dalam proses pembakuan dan pemodern bahasa Indonesia
(Chaer, 2002:17). Hal ini didasarkan pada tanggapan yang beranggapan bahwa masalah
85

kebahasaan Indonesia adalah masalah yang sepele, tidak perlu pembahasan lebih mendalam
dalam pemakaiannya karena mereka berargumen dalam penggunaan bahasa yang penting
tahu maksudnya. Belajar bahasa Indonesia cukup secara alamiah saja. Artinya, mereka
belajar dari apa yang nyatanya digunakan tanpa memikirkan apa bentuk bahasa tersebut
secara kaidah yang benar, sehingga dalam pemakaian mereka menekankan pada selera
bahasa daripada penalaran bahasa.

B. Pembahasan
1. Konsep dan Pentingnya Pembakuan Bahasa
Bahasa merupakan sarana komunikasi paling vital di masyarakat. Oleh sebab itu,
standardisasi atau pembakuan bahasa dalam suatu masyarakat menduduki peran yang
penting, terlebih untuk masyarakat heterogen seperti Indonesia, yang konsekuensinya
memunculkan berbagai bahasa dan ragam bahasa. Untuk memudahkan komunikasi dalam
masyarakat yang diglosia, perlu dipilih satu variasi atau ragam bahasa yang dapat dijadikan
sebagai acuan atau standar pemakaian di masyarakat. Bahasa yang standar atau baku ini akan
menduduki posisi yang lebih tinggi dalam skala tata nilai masyarakat pemakai bahasa.
Pembakuan atau istilah lainnya, standardisasi menurut Alisyahbana (1985:24) adalah
penetapan norma- norma. Lebih lanjut beliau juga mengatakan bahwa standardisasi bukan
hanya soal bahasa, tetapi segala kelakuan kebudayaan manusia yang hidup bermasyarakat.
Dalam suatu masyarakat, akan timbul komunikasi dan saling mengerti apabila kelakuan suatu
masyarakat itu berstandar, artinya mempunyai aturan-aturan dan makna-makna tertentu, yang
diketahui oleh anggota-anggota masyarakat tersebut, sehingga anggota yang seorang bukan
saja bisa mengerti namun juga bisa mereaksi.
Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2010:14), juga dituliskan secara
tentatif ada dua norma yang saling tumpang tidih yang perlu diperhatikan dalam pembakuan
bahasa. Norma pertama berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa yang
diajarkan di sekolah dan yang lain norma yang didasarkan pada adat pemakaian (usage) yang
belum dikodifikasi secara resmi, yang biasanya dipakai oleh madia massa dan masyarakat.
Kedua norma ini saling bertumpang tindih karena di samping berbagi inti bersama, ada
norma yang berlaku di sekolah, tetapi tidak berlaku di media massa atau masyarakat. Konsep
pembakuan bahasa bertujuan menyeimbangkan kedua norma ini sehingga melahirkan aturan
kebahasaan yang standar agar terwujud fungsi bahasa baku sebagai kerangka acuan.
Pembakuan bahasa dapat dilakukan terhadap ejaan, lafal, perbendaharaan kata, istilah
dan tata bahasa. Penetapan pembakuan ini tidak bisa dilakukan begitu saja, sekalipun proses
86

penetapan bisa dilakukan secara spontan dan juga terencana. Namun, untuk berkembang
menuju bahasa yang modern perlu dilakukan pengembangan dan perluasan, sampai akhirnya
mencapai persyaratan bahasa baku yang memiliki kemantapan dinamis, cendikia, dan
keseragaman kaidah.

2. Ciri dan Fungsi Bahasa Baku


Sebagaimana diungkap di atas, ciri bahasa yang baku atau standar adalah memiliki sifat
kemantapan dinamis, cendikia, dan keseragaman kaidah. Maksud dari memiliki sifat
kemantapan dinamis adalah bahwa bahasa itu memiliki kaidah atau aturan yang tetap, tidak
dapat berubah setiap saat. Namun di sisi lain, kemantapan itu memiliki sifat yang tidak kaku,
tetapi cukup luwes untuk memungkinkan menerima perubahan yang bersistem. Misalnya, di
bidang peristilahan muncul istilah pelanggan orang yang berlangganan dan langganan
orang yang tetap menjual barang kepada orang lain; hal menerima terbitan atau jasa atas
pesanan yang teratur.
Ciri kedua adalah kecendekiaan, maksudnya dapat mengungkapkan penalaran atau
pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Ciri kedua ini sangat penting dalam
pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa
asing. Oleh sebab itu, untuk mencapai ciri kedua ini, bahasa Indonesia banyak menyerap
unsur serapan dari bahasa asing. Namun, bukan berarti ciri kedua ini sebagai upaya
pembaratan bahasa.
Ciri yang terakhir yaitu bahasa baku adalah keseragaman kaidah. Baku atau standar
berpraanggapan adanya keseragaman. Oleh sebab itu, proses pembakuan sampai taraf tertentu
berarti proses penyeragaman kaidah. Namun, bukan bermakna penyamaan ragam bahasa atau
penyeragaman variasi bahasa.
Pembakuan bahasa atau bahasa baku/standar akan menghasilkan suatu pembelajaran
bahasa pada masyarakat yang memungkinkan memudahkan dalam proses pembedaan antara
bahasa yang benar dan bahasa yang tidak benar, bahasa orang yang berpendidikan dan yang
tidak berpendidikan. Bahasa yang benar merupakan ciri ragam bahasa orang yang
berpendidikan. Sejarah umum perkembangan bahasa telah menunjukkan bahwa ragam bahasa
baku memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam baku dipakai oleh kalangan
kaum berpendidikan, yang kemudian menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan
kemasyarakatan yang terpenting.
87

Di Indonesia yang memiliki masyarakat yang heterogen, pembakuan bahasa memiliki


kedudukan yang sangat penting, selain sebagai gengsi dan wibawa suatu bangsa, juga sebagai
alat untuk memudahkan dalam komunikasi antarmasyarakat. Dalam buku Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia (2010:14-16), pembakuan bahasa atau penentuan bahasa baku bahasa
Indonesia mendukung empat fungsi, yaitu: (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi
kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan. Tiga
fungsi pertama di antaranya hanya bersifat sebagai pelambang atau simbolik, sedangkan satu
yang terakhir bersifat objektif.
Sebagai fungsi pemersatu, sebagaimana bunyi unsur ketiga dari Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928, yang merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa
persatuan bangsa Indonesia. Sejak itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya
sebagai bahasa baku yang berfungsi sebagai bahasa nasional. Pengangkatan status ini ternyata
bukan hanya isapan jempol, bahasa Indonesia sebagai bahasa baku dapat memperhubungkan
semua penutur berbagai dialek bahasa yang ada di Indonesia. Artinya, bahasa baku dapat
mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses
identifikasi penutur atau perorangan dengan seluruh masyarakat, sehingga melahirkan fungsi
kedua bahasa baku, yaitu pemberi kekhasan.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku dapat membedakan bahasa itu
dari bahasa yang lain. Bahasa baku dapat memperkuat perasaan kepribadian nasional
masyarakat bahasa yang bersangkutan. Selanjutnya, kepemilikan bahasa baku dapat
membawa serta wibawa atau prestise masyarakat penggunanya.
Fungsi pembawa wibawa ini bersangkutan dengan usaha mencapai kesederajatan
dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku itu sendiri. Bahasa
Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa resmi dengan
disyahkan dalam Undang-undang Dasar 1945. Bahasa Indonesia terus mengalami
perkembangan yang sangat pesat sehingga mengantarkan bahasa Indonesia sebagai lambang
jati diri bangsa. Selain itu, bahasa Indonesia berkembang menjadi alat pemersatu berbagai
suku bangsa yang berbeda latar belakang sosial, budaya, agama, dan bahasa daerahnya.
Fungsi terakhir, yang bersifat objektif bahwa bahasa baku berfungsi sebagai kerangka
acuan. Dengan adanya norma dan kaidah yang dikodifikasi secara jelas, akan dapat menjadi
tolok ukur bagi benar atau tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan sehingga
penyimpangan dari norma dan kaidah dapat dinilai.
88

3. Proses Pembakuan Bahasa


Moelyono (1985) mengungkapkan bahwa untuk memodernkan bangsa dan masyarakat,
pemodernan bahasa merupakan suatu hal yang sangat penting. Upaya pemodernan bahasa
Indonesia telah ditandai dengan terbentuknya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
dan diterbitkannya buku Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku bahasa
Indonesia. Sekalipun dua buku tersebut belum membahas tuntas aspek kebahasaan yang
diharapkan, namun dengan terbitnya dua buku tersebut mengisyaratkan bahwa untuk
kemantapan kedudukan bahasa Indonesia perlu dilakukan pembakuan bahasa, baik dalam
bidang ejaan maupun tata bahasanya. Pembakuan ini dimaksudkan sebagai prasyarat untuk
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan.
Dewasa ini, kemajuan bahasa Indonesia sebenarnya cukup menggembirakan dan banyak
memberi harapan. Kata-kata baru mulai bermunculan dan menjadi berterima di masyarakat.
Semua kata-kata baru tersebut dikembangkan oleh Pusat Pembinaan Bahasa, ahli bahasa,
dan masyarakat pemakai bahasa yang mempunyai kesadaran bahasa atas dasar perekayasaan
bahasa.
Perekayasaan bahasa merupakan proses penalaran yang digunakan dalam
pengembangan istilah dan kosa kata. Perekayasaan tersebut, didasarkan pada memanfaatkan
sarana morfologi bahasa Indonesia. Usaha perekayasaan bahasa di bidang keilmuan menurut
Moelyono (1985) harus tetap dijabarkan dari strukturnya. Ketaatan akan menjadikan
pemakaian yang seragam dalam hal sarana tata bahasa sehingga penafsiran akan seragam
pula.
Pembakuan atau penstandaran bahasa dapat diselenggarakan oleh badan pemerintah yang
resmi atau organisasi swasta. Di Amerika, misalnya, para penerbit mengeluarkan pedoman
gaya tulis-menulis yang kemudian dianggap baku sebagai pedoman dan petunjuk dalam
penulisan yang akan diterbitkan. Di Indonesia, ditunjuk badan pemerintah yang ditugasi
menangani pembakuan bahasa, yaitu Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

4. Problematika Pembakuan Bahasa Indonesia


Bahasa menunjukkan bangsa semboyan ini sebenarnya bukan sekedar ungkapan klise
belaka, tetapi mempunyai makna filosofi yang sangat dalam. Sikap masyarakat terhadap
bahasa, dapat dijadikan indikator mengenai sikap masyarakat dalam hidup bernegara.
Sebagaimana konsep hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa merupakan
penentu terhadap corak kebudayaan, sehingga bahasa mempengaruhi atau menententukan
cara dan pola berpikir masyarakatnya.
89

Bila bahasa mempengaruhi kebudayaan dan pola berpikir masyarakat, maka ciri-ciri
bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya masyarakat penuturnya. Berkaitan dengan ini,
secara gurauan ada cerita selorohan yang mengatakan karena dalam bahasa-bahasa barat
(Inggris, Belanda, dan sebagainya) mengenal sistem kala (tense) dalam aturan
kebahasaannya, maka orang barat sangat memperhatikan waktu. Mereka beraktivitas selalu
menurut jadwal waktu. Pada musim panas, misalnya, pada pukul 21.00 matahari masih terang
benderang, tetapi anak-anak mereka sudah disuruhnya tidur karena hari sudah dianggap larut
malam. Sementara pukul 01.00, meskipun masih malam, ketika mereka saling bertemu,
mereka akan saling menyapa selamat pagi. Sementara dalam bahasa Indonesia yang tidak
mengenal sistem kala (tense), mengakibatkan kebiasaan masyarakatnya yang sangat tidak
memperhatikan waktu, acara yang sudah ditentukan waktunya bisa mundur satu atau dua jam
atau bahkan lebih, sehingga dikenal istilah adanya jam karet dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Inggris, yang kita kenal mempunyai aturan ejaan dan struktur bahasa yang benar-
benar baku, sehingga mencapai status sebagai bahasa keilmuan, hal ini berpengaruh pada
mentalitas sikap pemakaian bahasanya. Kesalahan dalam penggunaan bahasa, baik tata
bahasa maupun ejaannya merupakan suatu kesalahan yang dianggap tercela dan
memalukan, apalagi bila digunakan di kalangan akademik. Di Amerika Serikat, sudah
menjadi kebiasaan umum dalam penilaian pekerjaan tulis pelajar dan mahasiswa, salah eja
akan mengurangi skor pekerjaan tulis mereka. Bagaimana di Indonesia?
Kesadaran akan adanya pedoman yang baku dalam bahasa seperti ini mencerminkan
bahwa masyarakat mempunyai mentalitas untuk mengikuti apa yang menjadi ketentuan atau
kesepakatan bersama. Memang, dalam setiap ketentuan yang baku atau standar selalu ada
penyimpangan. Akan tetapi, penyimpangan tentu saja diharapkan sangat minimal. Bila
penyimpangan lebih banyak dari ketentuan yang baku, berarti ketentuan yang baku tersebut
praktis tidak ada manfaatnya sama sekali atau belum dapat dikatakan baku.
Secara tentatif dapat dikemukakan pendapat bahwa dalam proses pembakuan bahasa ada
dua perangkat norma bahasa yang perlu diperhatikan. Yang pertama, berupa norma bahasa
yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa yang dipergunakan di sekolah atau kalangan
dunia pendidikan yang diajarkan pada siswa. Yang kedua norma berdasarkan adat pemakaian
(usege) yang belum dikodifikasi secara resmi, secara umum dipakai di kalangan media massa
dan sastrawan. Kedua norma ini di samping saling berbagi inti bersama, namun ada norma
yang berlaku di sekolah, tetapi tidak diikuti oleh media massa atau sebaliknya sehingga dua
norma ini dalam pemakaiannya bisa saling tumpang tindih.
90

Seandainya ada keinginan dan keyakinan bahwa bahasa Indonesia harus ditingkatkan dan
dimodernkan agar memiliki kemantapan setingkat dengan bahasa yang sudah modern dan
maju, maka siapakah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini? Merujuk pada konsep
pembakuan bahasa di atas, maka jawabannya tentu saja, tidak hanya pada Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. Semua yang terlibat dalam penggunaan bahasa mempunyai
kewajiban untuk itu. Perguruan tinggi (khususnya dosen dan mahasiswa) merupakan agent of
development and agent of changes yang sangat strategis.
Keefektifan usaha tersebut, tentunya juga akan dipengaruhi oleh sikap dan tanggapan
para pemakai bahasa Indonesia. Komunikasi ilmiah dalam bahasa Indonesia belum
sepenuhnya mencapai titik kesepakatan yang tinggi dalam hal kesamaan pemahaman
terhadap kaidah yang berlaku. Beberapa kenyataan dan faktor yang mempengaruhi
pembakuan bahasa Indonesia menuju bahasa yang modern dan maju diungkapkan oleh
Suwardjono (2004) dengan indikator para kalangan akademisi adalah sebagai berikut:
Pertama, para akademisi belajar bahasa Indonesia secara alamiah. Artinya orang belajar
dari apa yang nyatanya digunakan tanpa memikirkan apa bentuk bahasa tersebut secara
kaidah yang benar. Para akademisi kadangkala lebih menekankan pada selera bahasa
daripada penalaran bahasa. Akibatnya, masalah kebahasaan Indonesia dianggap hal yang
sepele dan dalam menanggapi masalah bahasa lebih banyak berargumen yang penting tahu
maksudnya. Sikap mentalitas menerabas yang menurut Chaer (2002:17) tercermin dalam
prilaku berupa adanya keinginan berbahasa Indonesia dengan baik tanpa melalui proses
belajar. Sementara sebagian masyarakat kita, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua bukan
bahasa pertama (bahasa ibu). Untuk menguasai bahasa ibu saja kita harus belajar dari
lingkungan kita, apalagi untuk menguasai bahasa kedua.
Kedua, bahasa Indonesia harus bersaing dengan bahasa asing (Inggris, dalam hal ini).
Kenyataan ini tidak saja terjadi pada tingkat penggunaan bahasa sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat, tetapi juga pada kalangan akademis. Sikap tuna harga diri, tercermin dalam
prilaku berbahasa yang lebih menghargai bahasa asing dan menomorduakan bahasa sendiri.
Mereka lebih nyaman menggunakan bahasa asing dalam komunikasi ilmiah tanpa ada upaya
sedikitpun untuk memikirkan pengembangan bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, belum merupakan kebanggaan atau gengsi bagi penuturnya.
Sebagai contoh, demi pelayanan yang baik pada orang asing dan gengsi yang tinggi, keset-
keset di muka pintu kantor pemerintah dan sekolah-sekolah bertuliskan WELCOME bukan
Selamat Datang. Di atas pintu-pintu bertuliskan EXIT dan IN bukan Keluar dan
91

Masuk, dan pintu-pintu kaca yang daunnya dapat dibuka dua arah bertuliskan PUSH dan
PULL bukan Tarik dan Dorong.
Ketiga, dalam dunia pendidikan (khususnya perguruan tinggi) sebagian buku referensi
atau buku ajar yang memadai dan lengkap biasanya berbahasa asing (Inggris). Sementara itu,
kemampuan berbahasa asing pelajar dan mahasiswa kita belum memadai. Kenyataan tersebut
berimplikasi pada suatu keputusan strategic implicit sekolah mewajibkan setiap pelajar untuk
fasih berbahasa Inggris, sehingga dalam kurikulum bahasa Inggris mempunyai kedudukan
yang istimewa dibanding bahasa Indonesia. Bahkan ada sekolah yang mengharuskan
komunikasi siswanya sehari-hari dengan bahasa Inggris.
Keempat, kalangan akademis sering telah merasa mampu berbahasa Indonesia, sehingga
mereka merasa tidak perlu belajar bahasa Indonesia dan membuka kamus bahasa Indonesia.
Aneh memang, orang sering merasa lebih asing mendengar bahasa sendiri daripada
mendengar bahasa asing. Bila mereka menjumpai kata asing (Inggris) yang belum pernah
dijumpainya, mereka penuh motivasi berusaha mengetahui artinya dengan membuka kamus
tanpa terlintas dipikirannya bahwa kata itu aneh. Akan tetapi, bila mereka mendengar kata
bahasa Indonesia, justru sebaliknya dan tidak mau tahu apalagi membuka kamus. Sikap ini
menunjukkan bahwa seseorang sudah merasa cukup dan puas dengan bahasa alamiahnya.
Selain itu, dapat juga sikap semacam ini timbul karena mentalitas rendah diri atu inferior
bangsa kita.
Kelima, adanya sikap sinis terhadap usaha-usaha pengembangan bahasa. Lebih dari itu,
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar belum merupakan suatu kebanggaan
atau gengsi bagi penuturnya. Sikap tidak mau bertanggung jawab tercermin dalam prilaku
berbahasa para tokoh kita yang tidak mau memperhatiakan penalaran bahasa yang benar.
Kita lihat saja bagaimana berbahasanya para anggota dewan kita pada saat berdebat dan
diskusi yang ditayangkan media elektronik? Bukankah mereka seharusnya merupakan contoh
figur-figur dalam pengembangan bahasa Indonesia baku? Bahkan dalam kenyataannya,
suatu struktur bahasa yang baik dan benar sering menjadi olok-olok sehingga dalam suatu
artikel sebuah majalah terkenal seorang penulis menganjurkan untuk mengganti Pusat
Pembinaan Bahasa dengan Pusat Pembinasaan Bahasa.

C. Kesimpulan
Bahasa mempunyai dampak yang luas dalam penyebaran maupun pemahaman ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bahasa Indonesia jika dilihat dari struktur dan morfologi bahasa
yang tersedia, sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi
92

bahasa yang maju dan modern sebagai bahasa keilmuan. Sikap negatif, seperti sikap
meremehkan mutu, mentalitas menerabas, tuna harga diri, dan sikap tidak mau bertanggung
jawab, juga apreori terhadap pengembangan bahasa merupakan salah satu faktor yang
menghambat pengembangan bahasa itu sendiri. Selain itu, ada pandangan yang beranggapan
bahwa masalah bahasa Indonesia adalah masalah yang sepele, tidak perlu pembahasan lebih
mendalam dalam pemakaiannya karena mereka berargumen dalam penggunaan bahasa yang
penting tahu maksudnya. Belajar bahasa Indonesia cukup secara alamiah saja. Artinya,
mereka belajar dari apa yang nyatanya digunakan tanpa memikirkan apa bentuk bahasa
tersebut secara kaidah yang benar, sehingga dalam pemakaian mereka menekankan pada
selera bahasa daripada penalaran bahasa.
Perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan ilmu sehingga perguruan tinggi tidak
dapat melepaskan diri dari fungsinya sebagai pengembang bahasa Indonesia. Perguruan
tinggi tidak harus tunduk pada apa yang nyata dipraktikkan, tetapi harus dapat mempengaruhi
selera penggunaan bahasa yang ada dalam masyarakat, sehingga proses pembakuan bahasa
Indonesia benar-benar dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2002. Pembakuan Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdikbud. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.

M. Moelyono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.

Nababan, P.W.J. 1986, Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Suwardjono.2004. Aspek Kebahasaan Indonesia dalam Karya Tulis Akademi/Ilmiah/


Kesarjanaan. www.suwardjono.com.
93

Desain Eksperimental dalam Penelitian Pendidikan

Oleh M. Syahrun Effendi 1


(e-mail: em.syahrun@yahoo.com)

ABSTRAK

Penelitian eksperimen adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan pengaruh suatu perlakuan
atau treatment sebagai variabel bebas terhadap hasil perlakuan sebagai variabel terikat. Oleh karena
itu, subjek (kelompok yang dikenai dan atau yang tidak dikenai eksperimen) harus dibuat homogen,
sehingga dapat dipastikan apapun yang terjadi setelah subjek atau kelompok yang diberi perlakuan
eksperiman adalah diakibatkan oleh perlakuan eksperimen yang diberikan. Penelitian eksperimen
memiliki tiga ciri pokok, yaitu: (1) adanya pengendalian, (2) adanya manipulasi, dan (3) adanya
pengamatan. Untuk mewujudkan subjek atau kelompok dalam eksperimen agar homogen, ada
beberapa metode pengendalian (control) yang dapat digunakan, yakni dengan cara: (1) penempatan
secara acak, (2) pemadanan teracak, (3) pemilihan yang homogeny, (4) analisis kovariansi, dan
(5) penggunaan subjek sebagai pengendalian mereka sendiri. Namun, kenyataannya untuk
mewujudkan kelompok atau subjek yang benar-benar homogen itu tidak mudah, bahkan kadang kala
sulit dicapai. Oleh karena itu, dalam penelitian bidang pendidikan, desain eksperimental dapat
dibedakan menjadi: (1) Pre Experimental Design atau desain eksperimen yang belum baik sering
disebut dengan istilah quasi experimental (eksperimen pura-pura); dan (2) True Experimental Design
atau eksperimen yang dianggap sudah baik. Pre Experimental Design meliputi desain; one shot case
study, pre test and post test, dan desain static group comparison. Sedangkan True Experimental
Design meliputi: control group pre testpost test, random terhadap subjek, matched group design
(pasangan terhadap subjek), random pre testpost test desain, bentuk tiga kelompok eksperimen dan
kontrol, bentuk empat kelompok dengan tiga kelompok kontrol, dan desain waktu. Pemilihan atau
penentuan suatu jenis desain yang akan digunakan, didasarkan terhadap pertimbangan beberapa
faktor, yaitu: tujuan eksperimen, jenis (tipe) variabel yang akan dimanipulasi, dan faktor atau kondisi-
kondisi yang membatasi pembahasan suatu eksperimen.

Kata kunci : Desain Eksperimen, Penelitian Pendidikan.

A. Pendahuluan
Penelitian eksperimen merupakan jenis penelitian yang bertujuan membuktikan pengaruh
suatu perlakuan (treatment) terhadap akibat dari perlakuan tersebut. Faisal (1982)
menjelaskan bahwa penelitian eksperimen merupakan suatu metode yang sistematis dan logis
untuk menjawab pertanyaan, jika sesuatu dilakukan pada kondisi-kondisi yang dikontrol
dengan teliti, maka apa yang akan terjadi? Dalam hubungan ini, peneliti memanipulasi suatu
stimulus, perlakuan (treatment) atau kondisi-kondisi eksperimental. Kemudian,
mengobservasi pengaruh atau perubahan yang diakibatkan oleh manipulasi secara sengaja
dan sistematis. Untuk mendapatkan pengaruh yang benar-benar bersih dari faktor-faktor yang
dimanipulasi, maka peneliti perlu melakukan kontrol yang cermat terhadap kemungkinan
masuknya pengaruh faktor lain.
Selanjutnya, Arikunto (2006) menjelaskan bahwa dengan cara eksperimen, peneliti
sengaja membangkitkan timbulnya suatu kejadian atau keadaan, kemudian diteliti bagaimana
akibatnya, dengan kata lain penelitian eksperiman merupakan suatu cara untuk mencari
94

hubungan sebab-akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sedang ditimbulkan oleh
peneliti dengan mengurangi/menyisihkan (mengeliminasi) faktor-faktor yang mengganggu.
Penelitian eksperimen selalu dilaksanakan dengan maksud untuk mengetahui akibat dari
suatu perlakuan. Dengan cara eksperimen, penelitian dilaksanakan dengan cara sengaja
menimbulkan kejadian (eksperimen).
Furchan (1982) juga menjelaskan bahwa penelitian eksperimen merupakan kegiatan
yang direncanakan dan dilaksanakan oleh peneliti untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada
hubungannya dengan hipotesis. Peneliti dengan sengaja dan secara sistematis memasukkan
perubahan-perubahan ke dalam gejala-gejala alamiah dan kemudian mengamati akibat dari
perubahan-perubahan tersebut. Hipotesis yang dirumuskan menyatakan harapan tentang hasil
yang merupakan akibat dari perubahan yang dimasukkan. Dalam melaksanakan eksperimen,
peneliti memberi perhatian besar kepada pengubahan (manipulasi) dan pengendalian
(control) variabel serta kepada pengamatan dan pengukuran hasil eksperimen. Melalui
metode penelitian seperti ini peneliti dapat memperoleh bukti-bukti yang paling menyakinkan
tentang pengaruh suatu variabel terhadap variabel yang lain. Dalam memahami desain
penelitian eksperimen khususnya dalam penelitian pendidikan, akan dijelaskan dalam
pembahasan berikut.

B. Pembahasan
1. Ciri Penelitian Eksperimen
Dalam penelitian eksperimen, peneliti memberi perhatian khusus pada pengubahan
(manipulasi) dan pengendalian (control) variabel serta kepada pengamatan dan pengukuran
hasil eksperimen. Dengan metode penelitian seperti ini, peneliti akan memperoleh bukti-bukti
yang paling meyakinkan tentang pengaruh satu variabel terhadap variabel lain. Sehubungan
dengan pelaksanaan penelitian ini, Ary, dkk. (1978) menetapkan bahwa dalam penelitian
eksperimen ada tiga unsur penting sebagai ciri pokok pelaksanaan eksperimen, yaitu:
(1) adanya pengendalian, (2) adanya manipulasi, dan (3) adanya pengamatan.
a. Pengendalian
Berhubungan dengan pengendalian variabel, menurut Ary, dkk. (1978) ada dua asumsi
yang mendasarinya, yakni: (1) hukum variabel tunggal atau law of the single variable dan
(2) hukum satu-satunya variabel yang signifikan atau the law of the only significant variable.
Pada asumsi yang pertama, apabila dua situasi sama dalam segala hal, kecuali faktor yang
ditambahkan ke atau ditiadakan dari salah satu situasi tersebut, maka setiap perbedaan yang
muncul di antara kedua situasi tersebut dapat dikaitkan dengan faktor yang ditambahkan
95

tersebut. Sedangkan pada asumsi kedua, apabila ada dua situasi tidak sama, tetapi dapat
ditunjukkan bahwa tidak ada satu variabel pun yang signifikan dalam menimbulkan gejala
yang sedang diselidiki, atau jika variabel yang signifikan itu dibuat sama, maka setiap
perbedaan yang terjadi di antara kedua situasi itu sesudah dimasukkannya variabel baru ke
dalam salah satu di antaranya, maka dianggap sebagai sebab dari variabel baru itu.
Pengendalian dalam penelitian eksperimen bertujuan untuk mengatur situasi sehingga
pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain dapat diselidiki. Faisal (1982) menjelaskan
bahwa kondisi yang mendasari hukum variabel tunggal akan lebih memungkinkan dipenuhi
dalam bidang ilmu-ilmu eksakta daripada di bidang pendidikan karena penelitian di bidang
pendidikan berhubungan dengan manusia yang tentunya terdapat banyak variabel. Jika
peneliti berusaha mengurangi atau memperkecil masalah sampai pada mengkhususkan satu
variabel saja, maka bukan hanya tidak realistis, bahkan mungkin saja tidak dapat
dilaksanakan.
Pengendalian yang demikian, tidak mutlak dilaksanakan dan tidak penting karena banyak
aspek yang menyebabkan perbedaan situasi, tidak ada hubungannya dengan tujuan penelitian
sehingga dapat diabaikan. Dalam masalah ini, Ary, dkk. (1978) menyarankan bahwa kita
cukup menerapkan hukum satu-satunya variabel yang signifikan saja. Sebagai contoh, dalam
suatu penelitian tentang pengaruh perbedaan dua metode mengajar berhitung. Kita tentu saja
menginginkan ada dua kelompok anak yang identik dalam segala hal kecuali (variabel) cara
mereka diajar berhitung karena mendapatkan dua kelompok yang benar-benar identik itu
tidak mungkin. Maka, peneliti berusaha mendapatkan dua kelompok relatif yang sama dalam
variabel-variabel yang ada hubungannya dengan hasil belajar berhitung, seperti kemampuan
membaca, motivasi, kecerdasan, dan sebagainya. Variabel-variabel lain yang sangat tidak
mungkin ada hubungannya berhitung, seperti kemampuan atlet, tinggi badan, warna rambut,
dapat diabaikan. Oleh karena itulah, dalam penelitian eksperimen di bidang pendidikan,
diperlukan prosedur-prosedur yang memungkinkan kita membandingkan kelompok
berdasarkan variabel-variabel yang signifikan.
Pengendalian (kontrol) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan cara-cara
yang digunakan peneliti untuk menghilangkan pengaruh yang berbeda dalam semua variabel
yang ada hubungannya dengan tujuan penelitian (penyelidikan). Pengendalian harus
dilaksanakan peneliti pada waktu beberapa kelompok dibuat sebanding pada variabel-
variabel luar yang ada hubungannya dengan variabel terikat. Jika suatu variabel diketahui
tidak ada hubungannya dengan variabel terikat, maka variabel itu tidak akan dapat
mempengaruhi variabel terikat sehingga peneliti pun tidak perlu mengendalikannya.
96

Sebagai contoh, peneliti akan menguji hipotesis yang menyatakan bahwa anak yang
diajar dengan metode induktif (pada kelompok A) akan menunjukkan nilai yang lebih tinggi
dalam memahami konsep-konsep ilmiah, jika dibandingkan dengan anak yang diajar dengan
metode deduktif (pada kelompok B). Dengan kata lain, dalam hal ini peneliti akan
menyelidiki hubungan antara metode mengajar (sebagai variabel bebas) dan penguasaan
(pemahaman) konsep-konsep ilmiah (sebagai variabel terikat). Agar dapat ditarik kesimpulan
tentang hubungan variabel bebas dan variabel terikat, maka peneliti harus mengendalikan
pengaruh setiap variabel luar yang tidak ada hubungannya dengan tujuan penelitian, tetapi
dapat mempengaruhi variabel terikat. Dalam contoh ini, kecerdasan merupakan faktor yang
tentu saja mempengaruhi penguasaan konsep-konsep ilmiah. Oleh karena itu, kecerdasan
dianggap sebagai variabel luar dan harus dikendalikan. Kalau variabel kecerdasan ini tidak
dikendalikan, maka anak-anak yang ada dalam kelompok A yang memiliki tingkat
kecerdasan yang lebih tinggi daripada anak-anak yang berada dalam kelompok B, akan
memiliki hasil belajar yang lebih baik, tetapi hasil belajar itu tidak dapat dikatakan secara
tepat sebagai pengaruh metode pengajaran saja, karena dalam hal kecerdasan ini
mempengaruhi juga. Dengan demikian, kecerdasa telah mengacau hubungan antara variabel-
variabel yang sedang diteliti. Istilah mengacau ini tertuju pada bercampurnya variabel yang
ada hubungannya dengan masalah penelitian pada variabel bebas sedemikian rupa sehingga
pengaruh variabel-variabel tersebut tidak dapat dipisahkan. Peneliti pun tidak dapat dengan
tegas menentukan apakah hubungan yang terjadi antara: (1) variabel bebas dan variabel
terikat; (2) variabel luar dan variabel terikat, ataukah gabungan keduanya (1 dan 2).
Kekacauan yang demikian, dapat dihilangkan dengan jalan mengendalikan pengaruh
variabel-variabel luar yang relevan. Jika diketahui variabel itu tidak berpengaruh, misalnya
antara ukuran sepatu dan kemampuan memahami konsep ilmiah, maka peneliti tidak perlu
mengendalikan variabel ukuran sepatu.
Untuk mengatasi bercampurnya pengaruh variabel yang tidak ada hubungannya dengan
masalah penelitian ini, maka usaha pertama bagi peneliti adalah mengendalikan perbedaan-
perbedaan yang relevan dan sudah ada sebelumnya di antara subjek-subjek yang digunakan
dalam eksperimen. Dengan cara pengendalian itulah, peneliti akan merasa yakin bahwa setiap
perbedaan yang terjadi setelah eksperimen dapat dikaitkan dengan kegiatan atau kondisi
eksperimen, bukan dengan perbedaan-perbedaan subjek yang sudah ada sebelumnya.
Untuk meningkatkan kesamaan antara kelompok-kelompok yang akan dikenai berbagai
situasi eksperimen, Ary, dkk. (1978) menetapkan lima prosedur pengendalian perbedaan
subjek atau kelompok eksperimen, yaitu: (1) penempatan secara acak; (2) pemadanan
97

teracak; (3) pemilihan yang homogen; (4) analisis kovariansi; dan (5) penggunaan subjek
sebagai pengendali mereka sendiri.
1)Penempatan Secara Acak
Penempatan secara acak adalah penempatan subjek ke dalam kelompok sedemikian rupa
sehingga setiap kali penempatan, setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama
untuk ditetapkan di kelompok mana pun. Istilah pengacakan (randomization) sering
digunakan sebagai sinonim bagi penempatan secara acak ini.
Dalam menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok eksperimen, peneliti
memerlukan suatu sistem yang bebas dari penilaian pribadi maupun ciri khas subjek itu
sendiri. Misalnya, anak-anak yang telah diketahui mempunyai skor tinggi tidak boleh
semuanya ditempatkan di kelompok A, sedangkan anak-anak yang mempunyai skor rendah
di kelompok B.
Untuk mendapatkan kelompok-kelompok yang teracak (randomized group) ini dapat
dilakukan dengan cara, peneliti memberi nomor kepada semua subjek yang ada, kemudian
dari tabel bilangan acak, peneliti menarik angka-angka yang diperlukan bagi kelompok
eksperimen dan kelompok pengendali (control group) atau dengan cara melempar mata uang
logam. Misalnya, dapat ditetapkan yang mana dari kedua kelompok tersebut yang akan
dijadikan kelompok eksperimen atau kelompok coba dan yang akan dijadikan kelompok
pengendali.
Faisal (1982) mengaskan, setelah subjek ditempatkan ke dalam kelompok secara acak,
maka kelompok-kelompok tersebut dapat dianggap secara statistik sepadan (statistically
equivalent). Secara statistik sepadan tidak berarti kelompok tersebut benar-benar sepadan,
melainkan berarti bahwa setiap perbedaan yang ada di antara kelopok-kelompok tersebut
terjadi secara kebetulan belaka, bukan disebabkan oleh bias peneliti, pilihan subjek, atau
faktor-faktor lainnya. Seorang subjek yang mempunyai kecerdasan tinggi mempunyai
peluang yang sama untuk masuk ke dalam kelompok coba (experimental group) maupun ke
dalam kelompok pengendali. Demikian pula seorang subjek yang mempunyai kecerdasan
rendah. Secara keseluruhan pengaruh faktor kecerdasan terhadap variabel terikat akan
cenderung berimbang atau teracak ke luar, demikian pula perbedaan-perbedaan subjek yang
lainnya. Dalam hal pandangan politik, temperamen, motivasi, dan ciri-ciri khas lainnya akan
cenderung tersebar secara merata di antara kelompok coba dan kelompok pengendali. Jika
penempatan secara acak telah dilakukan, maka setiap perbedaan yang terjadi di antara
kelompok sebelum diberikannya perlakuan adalah faktor kebetulan belaka.
98

2) Pemadanan Teracak
Pemadanan merupakan metode untuk mengendalikan sebagian perbedaan antarsubjek.
Dalam kegiatan pemadanan teracak yang pertama dilakukan adalah menentukan variabel-
variabel apa saja yang akan digunakan untuk dipadankan. Variabel seperti IQ, usia, mental,
status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, skor membaca, dan skor pre-test dapat dijadikan
patokan pemadanan subjek. Dalam hal ini variabel yang dipadankan harus ada hubungannya
dengan variabel terikat, karena kalau tidak, maka pemadanan tersebut tidak ada gunanya.
Idealnya, jika memadankan subjek berdasarkan lebih dua variabel, ternyata tidak ditemui
pada subjek-subjek yang benar-benar sepadan pada variabel-variabel tersebut, maka subjek
yang demikian tidak dapat digunakan.
Untuk mendapatkan kelompok yang sepadan, dapat dilakukan dengan prosedur berikut:
a) metode yang biasa dipakai adalah prosedur pribadi ke pribadi. Dalam prosedur ini peneliti
berusaha mencari dua subjek yang skornya berada dalam batas yang telah ditentukan,
misalnya, jika variabel yang dibuat sepadan itu adalah IQ, maka peneliti mencari dua orang
subjek yang satu sama lain berada dalam jarak 5 poin pada skala IQ. Kemudian, secara acak
salah satu subjek dimasukkan ke dalam kelompok coba, sedangkan yang lain dimasukkan ke
kelompok pengendali. Untuk memadankan subjek berdasarkan variabel IQ saja tidak akan
terlalu sulit. Namun, kalau jenis kelamin dan kelas sosial juga merupakan variabel yang
relevan, maka untuk mendapatkan pasangan-pasangan yang sepadan dalam ketiga variabel itu
akan menjadi agak sulit, dan subjek-subjek yang padanannya tidak dapat ditemukan itu tidak
ada gunanya bagi peneliti; b) prosedur pemadanan lain yang kadang-kadang digunakan
adalah pemadanan kelompok, bukan individu, berdasarkan variabel yang relevan. Metode ini
sering digunakan di sekolah-sekolah yang harus menggunakan kelompok-kelompok yang
telah terbentuk sebelumnya. Dalam hal ini, peneliti berusaha menunjukkan bahwa kedua
kelompok itu tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dalam hal mean dan simpangan
bakunya. Misalnya, peneliti bisa menganalisis skor tes kecerdasan, skor membaca, atau skor
pre-test kedua kelompok tersebut tidak berbeda secara signifikan. Kemudian, peneliti
menentukan secara acak kelompok yang akan dijadikan kelompok coba atau kelompok
pengendali. Namun, perlu ditegaskan, pemadanan secara berkelompok memiliki tingkat
ketelitian yang lebih rendah daripada pemadanan secara individual; c) metode ketiga
dalam pemadanan subjek ini dilakukan dengan cara menempatkan semua subjek berdasarkan
urutan skor mereka dalam variabel yang disepadankan. Kemudian, dua subjek yang pertama
dipilih dari daftar urutan, dengan tanpa memperhatikan perbedaan skor mereka yang
sebenarnya, untuk dijadikan pasangan pertama. Salah satu dari pasangan ini kemudian secara
99

acak dimasukkan ke dalam kelompok coba, sedangkan yang lain ke kelompok pengendali.
Selanjutnya, dua subjek lagi dipilih dari daftar itu dan secara acak satu dimasukkan ke dalam
kelompok coba dan lainnya dimasukkan ke dalam kelompok pengendali, proses seperti ini
dilakukan sampai semua subjek masuk ke dalam kedua kelompok itu. Prosedur pemadanan
ini lebih muda dilakukan, namun lebih tidak teliti dibandingkan dengan metode pemadanan
pribadi dengan pribadi.
3) Pemadanan yang Homogen
Selain metode yang telah dijelaskan, metode lain yang dapat dipakai untuk membuat
kelompok-kelompok menjadi sepadan pada variabel luar adalah pemilihan sampel yang
sejauh mungkin homogen pada variabel tersebut. Jika peneliti menduga bahwa usia
merupakan variabel yang dapat mempengaruhi variabel terikat, maka hanya anak-anak dari
usia tertentu saja yang akan dipilih. Dengan hanya memilih anak-anak yang berusia enam
tahun, misalnya peneliti akan dapat mengendalikan pengaruh usia sebagai variabel bebas dari
luar. Demikian pula, jika kecerdasan mungkin menjadi variabel yang mempengaruhi variabel
terikat penelitian, maka subjek akan dipilih dari anak-anak yang berada dalam rentangan IQ
terbatas, misalnya antara 100 110. Dengan prosedur ini maka pengaruh IQ telah dapat
dikendalikan. Kemudian, dari populasi homogen yang diperoleh tersebut, peneliti secara acak
memasukkan individu-individu ke dalam kelompok coba dan kelompok pengendali, sehingga
kelompok-kelompok itu sebading dalam IQ. Memulai penelitian dengan kelompok-kelompok
yang sudah homogen dalam hal variabel yang relevan akan menghilangkan kesukaran dalam
memadankan subjek pada variabel tersebut.
Pemilihan yang homogen merupakan cara yang efektif untuk mengendalikan variabel
luar. Namun, cara ini mempunyai kelemahan, yakni mengurangi luasnya jangkauan
generalisasi hasil penelitian tersebut kepada situasi yang lain. Jika seorang peneliti
menyelidiki keefektifan suatu metode pengajaran dengan menggunakan sampel yang
homogen, misalnya terhadap anak-anak yang mempunyai IQ rata-rata, maka hasil peneltian
itu tidak dapat digeneralisasikan kepada anak-anak yang mempunyai rentangan IQ yang
berbeda. Keefektifan metode terhadap anak yang mempunyai kecerdasan rendah atau yang
mempunyai kecerdasan sangat tinggi tidak akan dapat diketahui dan eksperimen tersebut
harus diulangi dengan subjek dari tingkat IQ yang berlainan.
4) Analisis Kovariansi
Analisis kovariansi (analisys of covariance) terutama berguna bagi penelitian pendidikan
yang dilaksanakan di dalam sekolah. Dalam hal ini, peneliti harus menggunakan kelompok-
kelompok kelas secara utuh. Misalnya, peneliti ingin mengetahui keefektifan metode
100

mengajar membaca yang baru terhadap hasil belajar membaca di kelas dua. Subjek tidak
dapat dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok secara acak karena kedua kelompok kelas
dua itu sebelumnya sudah ada. Kecerdasan dan kemampuan membaca sebelumnya adalah
dua variabel luar yang harus dikendalikan dalam eksperimen ini. Hal ini dikarenakan kedua
kelas tersebut bukan sampel acak, maka peneliti tidak dapat membuat asumsi bahwa
kecerdasan atau kemampuan membaca subjek tersebar secara acak di dalam kedua kelompok
tersebut. Dalam hal ini, analisis kovariansi memungkinkan peneliti melakukan pengendalian
sebagian terhadap variabel-variabel luar ini.
Analisis kovariansi merupakan bentuk pengendalian dengan metode statistik. Analisis
kovariansi adalah suatu metode untuk menganalisis variabel terikat di antara kelompok-
kelompok eksperimen, sesudah memperhitungkan setiap perbedaan ukuran pre-test atau
ukuran variabel terikat yang relevan lainnya yang telah ada sebelumnya di antara kelompok-
kelompok tersebut.
Dalam lingkup pembahasan ini, kiranya terlalu jauh kalau disajikan elaborasi
pembahasan analisis kovariansi sebagai prosedur pengendalian subjek. Namun, ada banyak
buku statistika yang dapat dicermati lebih lanjut untuk memahami masalah ini.
5) Penggunaan Subjek sebagai Pengendalian Mereka Sendiri
Selain prosedur pengendalian yang telah dikemukakan, prosedur pengendalian lain
dengan menempatkan subjek ke semua kondisi eksperimental dan kemudian mengukur
subjek tersebut. Mula-mula dalam satu kondisi perlakuan eksperimen, lalu ke dalam kondisi
perlakuan eksperimen yang lain. Misalnya, subjek yang sama mungkin diminta untuk
mempelajari dua daftar suku kata yang tidak ada artinya, daftar yang satu mempunyai nilai
asosiasi tinggi sedangkan daftar lainnya nilai asosiasinya rendah. Perbedaan waktu setiap
subjek dalam mempelajari kedua daftar tersebut dicatat dan kemudian perbedaan waktu
belajar rata-rata bagi semua subjek diuji signifikansinya.
Jika dapat dilakukan, prosedur pengendalian ini adalah prosedur yang efesien, tetapi
dalam beberapa keadaan. Prosedur ini tidak dapat digunakan, dalam beberapa tipe
penyelidikan, pemberian suatu perlakuan (kondisi) eksperimen kepada subjek akan membuat
subjek tersebut tidak dapat diberi lagi kondisi eksperimen yang lain. Pengaruh kelelahan atau
gangguan mungkin akan mengakibatkan hasil belajar yang rendah dalam pembelajaran yang
kedua. Dalam hal ini, akan terjadi efek kekacauan dan kita tidak dapat menarik kesimpulan
yang dapat dipercaya. Suatu prosedur yang lebih efesien akan memerlukan pembagian subjek
itu secara acak menjadi dua kelompok, kemudian salah satu kelompok diberi perlakuan
101

(pembelajaran) tertentu, sedangkan kelompok yang lain diberi perlakuan yang lain atau
sebaliknya.
Selain pengendalian terhadap perbedaan antara subjek, seperti prosedur-prosedur yang
telah dikemukakan, peneliti penting juga mengendalikan variabel-variabel situasional.
Variabel situasional ini akan sangat berpengaruh terhadap variabel terikat yang sedang
diamati. Oleh karena itu, jika variabel situasional tidak dikendalikan, maka peneliti tidak
dapat memastikan apakah variabel bebas ataukah perbedaan insidental situasional yang
terdapat dalam kelompok-kelompok itu yang menyebabkan perbedaan variabel terikat.
Menurut Furchan (1982), untuk mengendalikan variabel situasional dapat dilakukan
dengan metode-metode berikut ini: (1) menjaga agar keadaan variabel tersebut tetap seperti
semula. Maksudnya semua subjek di berbagai kelompok itu harus diberi perlakuan yang
persis sama, kecuali pemberian variabel bebas, misalnya dalam suatu eksperimen membaca,
peneliti perlu mengendalikan besarnya jumlah kelompok, karena hal itu sebagai faktor yang
dapat mempengaruhi hasil belajar membaca. Peneliti harus berusaha agar kelompok
eksperimen dan kelompok pengendali mempunyai jumlah subjek yang sama. Variabel guru
juga harus dikendalikan karena efesiensi dan semangat guru merupakan faktor yang mungkin
dapat mempengaruhi hasil dari setiap eksperimen. Oleh karena itu, jika dua metode mengajar
yang akan diperbandingkan itu hendaknya menggunakan guru yang sama atau dalam suatu
eksperimen, para asisten harus mengikuti prosedur yang sama, menggunakan instruksi, alat,
dan tes yang sama serta berusaha mengambil sikap yang sama terhadap semua kelompok;
(2) mengacak variabel, maksudnya jika kondisi-kondisi untuk menjaga keadaan variabel tetap
seperti semula tidak dapat dipertahankan, maka peneliti harus berusaha mengacak atau
menyeimbangkan variabel situasional tertentu. Dari contoh di atas, jika peneliti tidak dapat
memperoleh guru yang sama untuk kedua perlakuan itu, maka peneliti dapat membagi kedua
kelompok tersebut menjadi masing-masing dua kelompok yang lebih kecil, kemudian secara
acak memberikan separuh dari kelompok eksperimen dan separuh dari kelompok pengendali
itu kepada setiap guru. Hal yang sama dapat dilakukan terhadap kondisi eksperimental yang
lain, misalnya alat-alat. Dengan demikian, variabel situasional itu menjadi teracak
(randomized); (3) memanipulasi variabel tersebut secara sistematis dan terpisah dari variabel
bebas yang utama. Dalam beberapa eksperimen kependidikan, peneliti dapat juga
mengendalikan variabel situasional dari luar dengan jalan memanipulasinya secara sistematis,
dalam masalah ini, urutan kondisi eksperimen dan kondisi pengendalian perlu digunakan
untuk mengendalikan efek progresif, misalnya efek praktik dan kelelahan. Untuk
mengendalinya dilakukan dengan mengendalikan urutan pemberian kondisi eksperimental
102

melalui penyeimbangan, artinya separuh dari subjek tersebut mungkin memperoleh urutan
perlakuan AB, sedangkan separuh yang lainnya memperoleh urutan BA. Dalam hal ini,
variabel luar secara sistematis dimanipulasi. Prosedur ini tidak saja mengendalikan pengaruh
urutan yang mengacaukan hasil penelitian, melainkan juga dapat membuktikan suatu
perkiraan tentang besarnya pengaruh urutan tersebut dengan cara mengetahui nilai rata-rata
perlakuan A dan B yang diperoleh dalam kedua urutan tersebut, apakah ada perbedaan atau
tidak.
b. Manipulasi
Selain pengendalian, ciri pokok berikutnya dalam penelitian eksperimen adalah
manipulasi. Manipulasi merupakan suatu wujud perlakuan (tindakan) yang dilakukan oleh
peneliti yang akan diketahui pengaruhnya terhadap variabel terikat. Ary, dkk. (1978)
menjelaskan bahwa manipulasi suatu variabel menunjuk pada tindakan yang sengaja
dilakukan oleh peneliti. Dalam penelitian pendidikan atau ilmu perilaku lainnya,
pemanipulasian mempunyai bentuk khas, yakni peneliti memberikan seperangkat kondisi
yang bermacam-macam, yang telah ditentukan sebelumnya kepada subjek. Seperangkat
kondisi yang bermacam-macam inilah disebut dengan variabel bebas, variabel eksperimen,
atau variabel perlakuan. Variabel perlakuan ini yang merupakan bagian dari penelitian
eksperimen yang paling penting dan akan diamati, bagaimana pengaruh dan atau hasilnya.
c. Pengamatan
Ciri pokok penelitian eksperimen yang terakhir adalah adanya pengamatan. Pengamatan
sebagai wujud observasi terhadap hasil variabel perlakuan (variabel eksperimen). Observasi
dilakukan untuk mengetahui pengaruh atau akibat dari suatu perlakuan eksperimen. Hasil
pengamatan atau observasi ini sedapat mungkin bersifat kuantitas sebagai variabel terikatnya,
misalnya hasil belajar yang berwujud skor atau nilai yang dicapai dalam pembelajaran
dengan menggunakan metode tertentu (sebagai variabel perlakuan dalam eksperimen).
Selain untuk mengetahui akibat pengaruh dari variabel perlakuan dalam eksperimen,
peneliti harus mengamati secara cermat dan memastikan bahwa tidak ada faktor-faktor lain
yang mempengaruhi variabel terikat sebagai hasil perlakuan dalam eksperimen selain akibat
dari perlakuan (tindakan) dalam pelaksanaan eksperimen.

2. Desain Eksperimental dalam Penelitian Pendidikan


Desain eksperimen merupakan gambaran prosedur yang harus dilaksanakan peneliti
untuk menguji hipotesis penelitiannya sehingga dapat mencapai kesimpulan-kesimpulan yang
valid mengenai akibat dari suatu perlakuan eksperimen (variabel bebas) terhadap suatu
103

variabel terikat. Faisal (1982) menjelaskan rancangan (desain) berhubungan dengan


masalah-masalah praktis seperti: Bagaimanakah teknik penyaringan sampel baik untuk
kelompok eksperimen maupun untuk kelompok control?, Bagaimana caranya variabel-
variabel dimanipulasi?, Bagaimanakah caranya variabel-variabel imbuhan dikontrol,
Bagaimanakah observasi-observasinya dilakukan?, dan Bagaimanakah teknik analisis
statistik yang digunakan untuk menginterpretasikan hubungan variabel-variabelnya?.
Ada banyak jenis desain eksperimental dalam metodologi penelitian, khususnya dalam
penelitian pendidikan. Ary, dkk. (1978), Jhon W. Best (dalam Faisal, 1982), dan Suryabrata
(1991) membedakan desain eksperimental menjadi, Pre Eksperimental, True Eksperimental
(eksperimen yang sejati), dan Quasi eksperimental (eksperimen semu).
Dalam pembahasan ini, pembedaan jenis desain eksperimental ini mengacu kepada
pendapat Arikunto (2006) yang mengutip pendapat Cambell dan stanley dengan membedakan
jenis desain eksperimental ini berdasarkan baik buruknya eksperimen atau sempurna tidaknya
eksperimen. Secara garis besar desain eksperimental itu dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pre
experimental design atau desain eksperimen yang belum baik, dan (2) true experimental
design atau eksperimen yang dianggap sudah baik.
a. Pre Experimental Design
Desain ini sering dinyatakan sebagai desain yang belum baik atau desain eksperimen
yang tidak sebenarnya. Oleh karena itu, desain ini sering juga disebut istilah quasi
experiment atau eksperimen pura-pura. Dalam pelaksanaannya, eksperimen jenis ini belum
memenuhi persyaratan seperti cara eksperimen yang dapat dikatakan ilmiah dengan
mengikuti peraturan-peraturan tertentu yang telah ditetapkan. Menurut Cambell dan Stanley
(dalam Arikunto, 2006) ada tiga jenis desain eksperimen yang dimasukkan ke dalam katagori
pre experimental design, yakni (1) one shot case study, (2) pre test and post test, dan
(3) static group comparison.
1) One Shot Case Study
Desain ini digambarkan dengan pola: X O
X adalah sebagai lambang treatment atau perlakuan, sedangkan O sebagai lambang hasil
observasi (post test) sesudah treatment. Dengan desain ini, peneliti mengadakan treatment
satu kali yang diperkirakan telah memiliki pengaruh, kemudian diadakan post test.
Berdasarkan hasil post test ditentukanlah kesimpulan dengan dua cara, yaitu: a). melihat rata-
rata hasil dan membandingkan dengan standar yang diinginkan dan b) membandingkan rata-
rata tes sebelum treatment dengan rumus:
104

X1 X2
t=
SX 1 SX 2

Keterangan:
t : harga t
X1 : rata-rata kelompok sebelum perlakuan
X2 : rata-rata kelompok sesudah perlakuan
SX 1 : standar deviasi sebelum perlakuan
SX 2 : standar deviasi sesudah perlakuan

2) Pre-test and Post-test Group


Desain ini digambarkan dengan pola: O1 X O2
Dengan desain ini, peneliti melakukan observasi sebanyak 2 kali, observasi yang pertama
dilakukan sebelum eksperimen (O1) yang disebut dengan pre-test, kemudian melaksanakan
treatment atau perlakuan ( X ), selanjutnya mengadakan observasi kedua setelah treatment
atau O2 yang disebut post-test. Hasil observasi dibandingkan dengan cara mencari perbedaan
antara O1 dan O2 atau O2 - O1 . Perbedaan antara hasil observasi itu dianggap sebagai
akibat dari perlakukan dalam eksperimen atau treatment yang dilakukan.
Rumus yang digunakan untuk menghitung efektivitas treatment sebagai berikut:
Md
t=
X 2 d
N(N 1)
Keterangan:
Md : mean dari deviasi (d) antara post-test dan pre-test
Xd : perbedaan deviasi dengan mean deviasi
N : banyaknya subjek
df : atau db adalah N - 1
3) Static Group Comparision
X O1
Desain ini digambarkan dengan pola: ----------
O2

Dalam desain ini sudah ada kelompok lain yang diobservasi sebagai standar eksternal.
Dengan desain ini, peneliti mengadakan treartment (perlakuan) X, terhadap satu kelompok
(kelas) selanjutnya mengadakan observasi O1. Hasil O1 dibandingkan dengan O2 sebagai
hasil observasi terhadap kelompok lain yang digunakan sebagai standar eksternal.
105

b. True Experimental Design


Desain eksperimen True Experimental Design, dianggap jenis-jenis eksperimen yang
sudah baik (eksperimen yang sesungguhnya) karena sudah memenuhi persyaratan
eksperimen, yakni adanya kelompok lain yang tidak dikenai eksperimen, tetapi ikut mendapat
pengamatan. Dengan adanya kelompok lain sebagai pembanding (kelompok kontrol), maka
akibat perlakuan (treatment) terhadap kelompok eksperimen dapat diketahui secara pasti. Hal
ini dikarenakan adanya kelompok lain yang tidak mendapat perlakuan eksperimen, tetapi ikut
diamati (diobservasi).
Jenis-jenis eksperimen yang termasuk kategori True Experimental Design Menurut
Cambell dan Stanley (dalam Arikunto, 2006) seperti berikut ini.
1) Control Group Pre Test Post Test
Desain ini digambarkan dengan pola: E O1 X O2

K O3 X O4

Desain ini menggunakan dua kelompok, yakni E sebagai kelompok eksperimen dan K
sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok ini diobservasi dengan melihat perbedaan
pencapaian antara kelompok eksperimen (O2 O1) dengan pencapaian kelompok kontrol
(O4 O3).

2) Random terhadap Subjek


Desain ini digambarkan dengan pola: E X O1
R
K O2

Dengan desain ini, subjek kelompok eksperimen (E) yang diberi perlakuan X, maupun
subjek kelompok kontrol atau pembanding (K) ditentukan secara random. Desain ini, banyak
yang menggunakannya karena lebih praktis dalam penerapannya.

3) Pasangan terhadap Subjek (Matched Group Design)


Desain ini digambarkan dengan pola: E X O1
MR
K O2

E
106

Desain ini dipandang lebih baik dibandingkan dengan desain sebelumnya, karena dalam
desain ini sudah diadakan pasangan (matched) terhadap subjek kelompok eksperimen atau
pun kelompok kontrol. Namun, karena sulitnya mengadakan pasangan, maka desain ini
sering tidak gunakan.

4) Random Pre-Test Post-Test Desain


Desain ini digambarkan dengan pola: E O1 X O2
R
O3 O4
K

Dengan desain ini, subjek dipilih secara acak atau random (R), masing-masing kelompok
diobsevasi dua kali, yakni dengan cara pre-test dan post- test. Kemudian, hasilnya
dibandingkan.

5) Random terhadap Subjek dengan Pre-Test Kelompok Kontrol,


Post-Test Kelompok Eksperimen
X O2
R
Desain ini digambarkan dengan pola:
O1

Dalam desain ini, kelompok dalam eksperimen dipilih secara random (R). Pretes (O1)
dilaksanakan terhadap kelompok kontrol, sedangkan postes (O2) dilaksanakan pada
kelompok eksperimen setelah perlakuan X.

6) Bentuk Tiga Kelompok Eksperimen dan Kontrol


Desain ini digambarkan dengan pola:

O1 X O2 (Eksperimental)

R O3 O4 (Kontrol 1)

X O5 (Kontrol 2)

Dengan desain ini, peneliti dapat mengetahui efektivitas X dan pengaruh O1. Kelompok
kontrol 1 mengetes efektivitas X, sedangkan kelompok kontrol 2 mengecek pengaruh O1.
Perlakuan eksperimen (X) hanya dilaksanakan terhadap kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol 2.
107

7) Bentuk Empat Kelompok dengan Tiga Kelompok Kontrol

Desain ini digambarkan dengan pola:

O1 X O2 (Ekperimental)

O3 O4 (Kontrol 1)

X O5 (Kontrol 2)
O6
(Kontrol 3)

Desain ini mengggunakan tiga kelompok kontrol sebagai penyempurnaan terhadap


desain sebelumnya. Perlakuan eksperimen (X) dilaksanakan pada kelompok ekperimen dan
kelompok kontrol 2

8) Desain Waktu O1 X O2
Desain ini digambarkan dengan pola: O3 O4

X O5
O6

Pola desain ini sama dengan desain sebelumnya, hanya dalam pelaksanaannya perbedaan
terletak pada waktu pemberian post-tes terhadap kelompok kontrol 2 dan kelompok kontrol
3. Tujuannya untuk mengetahui jangka waktu antara pre-test dan post-tes.
Sehubungan dengan penggunaan desain eksperimental ini, Faisal (1982) menegaskan
bahwa pemilihan suatu jenis desain yang akan digunakan, didasarkan pada beberapa faktor,
yaitu: tujuan eksperimen, tipe atau jenis variabel yang hendak dimanipulasikan, serta faktor
atau kondisi-kondisi yang membatasi penanganan atau pembahasan suatu eksperimen.

C. Kesimpulan
Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang bertujuan mendeskripsikan pengaruh
suatu perlakuan atau treatment sebagai variabel bebas terhadap hasil perlakuan sebagai
variabel terikat. Oleh karena itu, subjek (kelompok yang dikenai dan atau yang tidak dikenai
eksperimen) harus dibuat homogen sehingga peneliti dapat memastikan apa pun yang terjadi
setelah subjek atau kelompok yang diberi perlakuan eksperiman sebagai akibat dari perlakuan
eksperimen yang dilaksanakan. Ciri pokok penelitian eksperimen adalah: (1) adanya
pengendalian, (2) adanya manipulasi, dan (3) adanya pengamatan.
108

Pengendalian (kontrol) adalah upaya peneliti untuk mewujudkan subjek atau kelompok-
kelompok dalam eksperimen agar homogen. Ada beberapa metode pengendalian yang dapat
dilaksanakan peneliti untuk mewujudkan agar kelompok menjadi homogen, yakni dengan
cara: (1) penempatan secara acak; (2) pemadanan teracak; (3) pemilihan yang homogen;
(4) analisis kovariansi; dan (5) penggunaan subjek sebagai pengendalian mereka sensidiri.
Namun, kenyataannya untuk mewujudkan kelompok atau subjek yang benar-benar homogen
itu tidak mudah, bahkan kadang kala sulit dicapai. Oleh karena itu, dalam penelitian bidang
pendidikan, desain eksperimental dapat dibedakan menjadi: (1) Pre Experimental Design
atau desain eksperimen yang belum baik dan sering disebut dengan istilah quasi experimental
(eksperimen pura-pura); dan (2) True Experimental Design atau eksperimen yang dianggap
sudah baik. Pre Experimental Design meliputi desain; one shot case study, pre test and post
test group, dan desain static group comparison. Sedangkan True Experimental Design
meliputi desain: control group pre testpost test, random terhadap subjek, matched group
design (pasangan terhadap subjek), random pre testpost test desain, random terhadap
subjek dengan pre-test kelompok kontrol post-test kelompok eksperimen, bentuk tiga
kelompok eksperimen dan kontrol, bentuk empat kelompok dengan tiga kelompok kontrol,
dan desain waktu.
Penetapan atau pemilihan suatu jenis desain yang akan dilaksanakan dalam penelitian
eksperimen, didasarkan pada pertimbangan terhadap beberapa faktor, yakni: tujuan
eksperimen, jenis (tipe) variabel yang akan dimanipulasi, serta faktor atau kondisi-kondisi
yang membatasi pembahasan suatu eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Ary, Donal, Lucy Cheser Jacobs, dan Asghar Razavieh. 1978. Introduction to Research In
Education. New York: Oxford University Press.

Faisal, Sanapiah. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Furchan, Arief. 1982. Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.

Suryabrata, Sumadi. 1991. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.


109

Membangun Karakter melalui Trilogi dan Tripusat Pendidikan


0leh Nurhayati1
(Email: cancer.mam@gmail.com)

ABSTRAK

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, karakter memiliki arti, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Membangun karakter merupakan suatu proses
yang kompleks melibatrkan berbagai pihak, khususnya keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai
pendukung pendidikan yang disebut sebagai tripusat pendidikan dan guru memiliki idealisme menjadi
seorang pendidik. Guru dituntut untuk kembali seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara dengan
trilogi pendidikannya, yakni seorang yang ing ngarso sung tulado, ing madyo mangun karso dan tut
wuri handayani. Fungsi dan peranan trilogi dan tripusat pendidikan merupakan faktor penting dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya serta
menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu. Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang
memberikan kontribusi pendidikan, maka diperlukan keserasian kontribusi dan kerja sama yang erat
dan harmonis antar tripusat pendidikan tersebut.

Kata kunci: Karakter, Trilogi, Tri Pusat Pendidikan.

A. Pendahuluan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 , menguraikan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Sedangkan pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan amanat undang-undang tersebut, dalam acara peringatan Hari
Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei 2010 Kementrian Pendidikan Nasional menetapkan tema
Pendidikan Karakter untuk Keberadaban Bangsa. Namun, Apakah setelah 3 tahun sejak
dicanangkan tentang pendidikan karakter, keberadaban bangsa sudah terwujud? Tentunya
masih menjadi tanda tanya besar karena hampir setiap hari kita menyaksikan berita di TV,
melalui internet dan media koran tentang kekerasan dan pelecehan seksual terjadi di
lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah bahkan di lingkungan keluarga dan peristiwa
tawuran pun tidak hanya terjadi antar pelajar juga terjadi antarwarga, bahkan antar

1
Dosen Program Studi Pendidikan Fisika STKIP PGRI Lubuklinggau
110

mahasiswa sebagai calon-calon pemikir dan pemimpin bangsa. Berbagai strategi


dilaksanakan untuk membentuk karakter anak bangsa melalui pendekatan agama dan
pendidikan. Salah satu upaya pemerintah melaksanakan pendidikan karakter dalam
pendidikan formal adalah dengan mewajibkan guru menyertakan nilai-nilai karakter dalam
proses pembelajaran baik di kelas maupun di lingkungan sekolah.
Esensi pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya yaitu manusia yang baik dan
berkarakter. Pendidikan terwujud melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran terjadi
tidak hanya sekedar pada tahap transfer pengetahuan (knowledge), melainkan juga pada tahap
transfer keterampilan (skill) hingga pada tahap transfer nilai-nila (value) yaitu nilai-nilai
kehidupan dan nilai-nilai spiritual keagamaan. Tahap inilah yang pada akhirnya mengarah
kepada pembentukan karakter (character). Proses pembelajaran yang bermuatan pendidikan
karakter dapat dimplimentasikan melalui lingkungan pendidikan yang baik dan melaksanakan
ajaran pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu Trilogi Pendidikan
dengan semboyan ing ngarso sung tulada, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani
(Depdiknas, 2005:118).
Perkembangan peserta didik selalu akan menerima pengaruh dari 3 lingkungan
pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang disebut tripusat pendidikan.
Peningkatan kontribusi setiap pusat pendidikan terhadap perkembangan peserta didik tercapai
apabila ada keserasian kontribusi dan kerja sama yang erat dan harmonis antar tripusat
pendidikan tersebut. Dengan demikian, untuk mewujudkan amanat yang tertulis dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dibutuhkan komitmen pendidik dalam
mengimplimentasikan trilogi pendidikan dan komitmen kontribusi antartripusat pendidikan.
Dalam artikel ini, penulis merumusan masalah Bagaimana membangun karakter melalui
trilogi dan tripusat pendidikan ? Dengan tujuan memberikan penjelasan mengenai cara
membangun karakter peserta didik melalui trilogi dan tripusat pendidikan sehingga
bermanfaat sebagai salah satu alternatif bagi tenaga pengajar dalam meimplementasikan
kegiatan pembelajaran berbasis karakter.

B. Pembahasan
1. Karakter
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, karakter memiliki arti, sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sedangkan kata karakter
berasal dari bahasa Yunanikarasso yang berarti to mark, yaitu menandai atau mengukir,
yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
111

tingkah laku. Oleh sebab itu, seseorang yang berprilaku tidak jujur, kejam atau rakus
dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur dan
suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.
Pandani (2013) menguraikan nilai tentang karakter meliputi: religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab. Butir-butir nilai karakter dikelompokkan menjadi 4 nilai utama,
yaitu: (1) nilai-nilai prilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa,
(2) diri sendiri, (3) sesama manusia, dan (4) lingkungan serta kebangsaan.
Nilai-nilai utama yang dimaksud adalah: (1) nilai karakter dalam hubungan dengan
Tuhan yaitu religius, pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu
berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran keagamaan. (2) Nilai karakter dalam
hubungannya dengan diri sendiri (personal), yaitu jujur, bertanggung jawab, bergaya hidup
sehat, disiplin, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha, berpikir logis, kritis, dan inovatif,
mandiri, ingin tahu, dan cinta ilmu. (3) Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama,
yaitu sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan sosial,
menghargai karya dan prestasi orang lain, santun, dan demokratis. (4) Nilai karakter dalam
hubungannya dengan lingkungan, yaitu peduli sosial dan lingkungan, nilai kebangsaan,
nasionalis, dan menghargai keberagaman. Semua nilai karakter ini ditanamkan ke peserta
didik melalui pendidikan, baik pendidik formal, informal, maupun non formal.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai karakter kepada peserta didik
yang meliputi komponen: pengetahuan, kesadaran pada peserta didik yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter, semua komponen pendidikan harus dilibatkan,
termasuk isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilain, pelaksanaan aktivitas
pembelajaran, dan etos kerja pendidik dan tenaga kependidikan. Dengan demikian,
pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan pendidikan, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Pendidik membantu membentuk watak peserta didik,
melalui keteladanan bagaimana perilaku pendidik, cara pendidik berbicara, bagaimana
pendidik bertoleransi dan berbangsa. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai usaha
secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membentuk pembentukan
karakter secara optimal. Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar
tujuan pendidikan dapat tercapai di antaranya metode keteladanan, pembiasaan, metode
penghargaan (reward), dan hukuman (punishment).
112

Nilai karakter berkaitan dengan moral seseorang, menurut Lickona dalam Manaf (2013)
menjelaskan bahwa karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral
(moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat
diuraikan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan
untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.
Menurut Kohlberg dalam Sunarto (2006:172) menjelaskan ada 3 tahapan perkembangan
moral, yaitu: (1) prakonvensional, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman,
(2) konvensional, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik, (3) pasca konvensional,
merupakan orientasi perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial, ada norma etik
disamping norma pribadi dan subjektif. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa peserta
didik setelah melalui 3 tahapan perkembangan, akan mampu menginternalisasikan penilaian-
penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Selanjutnya, penginternalisasian
nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.

2. Trilogi dan Tripusat Pendidikan


a. Trilogi Pendidikan
Arti dari semboyan trilogi pendidikan adalah tut wuri handayani, artinya dari belakang
guru harus biasa memberikan dorongan dan arahan; ing madyo mangun karsa, artinya di
tengah atau di antara siswa guru harus menciptakan prakarsa dan ide; dan ing ngarso sung
tulado, artinya di depan seorang pendidik harus memberikan teladan atau contoh tindakan
yang baik.
Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama mengajar hanya sekedar
melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum, sehingga tidak memiliki
idealisme menjadi seorang pendidik. Guru dituntut untuk kembali seperti yang diajarkan Ki
Hajar Dewantara, yakni seorang yang ing ngarso sung tulado, ing madyo mangun karso dan
tut wuri handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Aktualisme
ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter bangsa, sudah
sewajarnya harus segera diterapkan. Apabila hal tersebut diterapkan di dunia pendidikan
Indonesia akan bebas dari predikat negara yang terkorup, birokrasi terburuk, tindakan
kekerasan, dan pelecehan seksual yang kesemuanya itu disebabkan lemahnya sistem
pendidikan yang berkarakter budaya Indonesia. Perlu langkah bersama untuk
mewujudkannya, sehingga Indonesia berubah menjadi bangsa yang berkarakter mulia.
Tiga semboyan ini tak terpisahkan, tut wuri handayani pada hakikatnya bertolak dari
wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman,
113

tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan mandiri
dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain pendidik setiap saat siap memberikan uluran tangan
apabila diperlukan oleh anak. Ing ngarso sung tulodo, di depan memberikan contoh maupun
pertimbangan yang dibutuhkan anak. Ing madyo mangun karso, di tengah membangkitkan
kehendak diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil
keputusan atau tindakan sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat motivasi. Ketiga
semboyan tersebut sebagai satu kesatuan menjadi asas penting dalam pendidikan di
Indonesia.

b. Tripusat Pendidikan
1. Keluarga
Seiap anak sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari 3 lingkungan
pendidikan yang utama yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga pengaruh tersebut
disebut tripusat pendidikan. Fungsi dan peranan keluarga dalam pencapaian tujuan
pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya. Pendidikan dalam keluarga memberikan
kayakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta
pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Depdiknas (2005:5), menjelaskan bahwa suasana
keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan individual
maupun pendidikan sosial. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang sempurna untuk
melangsungkan pendidikan ke arah pembentukan pribadi yang utuh, baik massa kanak-kanak
maupun remaja. Peran orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, pengajar dan pemberi
contoh.
Lingkungan keluarga merupakan pusat pendidikan yang penting dan menentukan, karena
tugas pendidikan adalah mencari cara membantu orang tua dalam keluarga agar dapat
mendidik anak-anaknya dengan optimal. Keluarga membina dan mengembangkan perasaan
sosial anak seperti hidup sehat, menghargai kebenaran, tenggang rasa, menolong orang lain,
dan hidup damai. Lingkungan keluarga selain sebagai tempat dasar penanaman dasar
pendidikan watak/karakter pribadi, juga sebagai pendidikan sosial.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai
aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara
kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di dalam
keluarga, berlaku norma-norma kehidupan keluarga, maka pada dasarnya keluarga
114

merekayasa perilaku kehidupan budaya anak. Hal ini dijelaskan dalam Depdiknas (2005:131)
bahwa proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak
ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan diri
terhadap lingkungan yang labih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.
2. Sekolah
Di antara tiga pusat pendidikan, sekolah merupakan sarana yang secara sengaja
dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Semakin maju suatu masyarakat semakin penting
peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses
pembangunan masyarakat. Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam
mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur, serta memungkinkan para warganya
mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasmaniah, maupun rohaniah berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Tirtarahardja (2005:174) mengemukakan alternatif yang mungkin dilakukan sesuai
dengan situasi dan kondisi sekolah, antara lain: (1) pengajaran yang mendidik, yaitu
pengajaran yang secara serentak memberi peluang pencapaian tujuan pembelajaran bidang
studi dan tujuan umum pendidikan lainnya, (2) peningkatan dan pemantapan pelaksanaan
program bimbingan dan penyuluhan di sekolah, agar program edukatif ini tidak sekedar
suplemen, tetapi menjadi komplemen yang setara dengan program pengajaran serta program-
program lainnya di sekolah, (3) pengembangan perpustakaan sekolah menjadi suatu pusat
sumber belajar, yang mengelola bukan hanya bahan pustaka, tetapi juga sebagai sumber
belajar lainnya, baik sumber belajar yang dirancang maupun yang dimanfaatkan,
(4) peningkatan dan pemantapan program pengelolaan sekolah, khususnya yang terkait
dengan peserta didik, pengelola sekolah sebagai pusat pendidikan, dan kebudayaan.
Dalam melaksanakan kebijakan nasional, salah satu alternatif yang dapat dilakukan
sekolah adalah secara bertahap mengembangkan sekolah menjadi suatu tempat pusat latihan
(training center) manusia Indonesia di masa depan. Dengan kata lain, sekolah sebagai pusat
pendidikan yaitu sekolah yang mencerminkan masyarakat yang maju karena pemanfaatan
secara optimal IPTEK, tetapi tetap berpijak pada ciri keindonesiaan. Dengan demikian,
pendidikan di sekolah seharusnya secara seimbang dan serasi mengimplementasikan aspek
pembudayaan, penguasaan pengetahuan, dan pemilikan keterampilan peserta didik.
3. Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan kedua yang dikenal anak-anak, dalam menjalankan
funsi pendidikan masyarakat banyak mendirikan paguyuban-paguyuban atau kursus-kursus
115

yang secara disengaja disediakan untuk anak. Kaitan antara masyarakat dan pendidikan,
Tirtarahardja (2005:178-179) memberikan tinjauan dari tiga segi, yaitu: (1) masyarakat
sebagai penyelenggara pendidikan, baik yang dilembagakan ( jalur sekolah dan jalur luar
sekolah) maupun yang tidak dilembagakan. (2) Lembaga kemasyarakatan atau kelompok
sosial di masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung ikut mempunyai peran dan fungsi
edukatif. (3) Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang
maupun yang dimanfaatkan. Manusia dalam bekerja dan hidup sehari-hari akan selalu
berupaya memperoleh manfaat dari pengalaman hidupnya, untuk meningkatkan kualitas
dirinya.
Fungsi masyarakat sebagai pusat pendidikan sangat bergantung pada perkembangan dari
masyarakat itu beserta sumber-sumber belajar yang tersedia di masyarakat. Salah faktor
dalam lingkungan masyarakat yang makin penting peranannya adalah media massa. Pada
umumnya media massa mempunyai 3 fungsi yaitu irformasi, edukasi, dan rekreasi. Media
massa dapat pula mempengaruhi perilaku manusia. Peranan media massa semakin
menentukan di masa depan, karena kemajuan teknologi komunikasi, media massa dapat
diterima langsung ke rumah, seperti radio,TV, dan internet.

3. Hubungan Tripusat Pendidikan terhadap Perkembangan Peserta Didik


Perkembangan peserta didik, seperti pertumbuhan dan perkembangan anak, dipengaruhi
oleh berbagai faktor, yaitu hereditas, lingkungan, proses perkembangan, dan anugerah.
Peranan tripusat pendidikan terhadap perkembangan peserta didik adalah membantu
mewujudkan jati diri yang mantap, penguasaan pengetahuan, dan kemahiran keterampilan.
Proses utama kegiatan pendidikan yang berlangsung dalam tripusat adalah
membimbing, mengajar, dan melatih. Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang memberikan
kontribusi yang besar dalam ketiga kegiatan pendidikan. Depdiknas (2005:183) menjelaskan
bahwa kontribusi setia pusat pendidikan adalah: (1) pembimbing dalam upaya pemantapan
pribadi yang berbudaya, (2) pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan, dan
(3) pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan.
Selain itu, peningkatan kontribusi setiap pendidikan terhadap perkembangan peserta
didik, juga diperlukan keserasian kontribusi dan kerja sama yang erat dan harmonis
antartripusat pendidikan tersebut. Tidak semua peserta didik mencapai tingkat perkembangan
moral yang diharapkan, maka perlu adanya pembinaan dengan cara menciptakan komunikasi
dan menciptakan iklim lingkungan yang serasi dengan banyak bersifat mengajak,
116

mengundang, atau memberi kesempatan pada lingkungan masyarakat dengan larangan-


larangan dan peraturan-peraturan yang serba membatasi.

C. Kesimpulan
Membangun karakter merupakan suatu proses yang kompleks melibatkan berbagai
pihak, khususnya keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai pendukung pendidikan yang
disebut sebagai tripusat pendidikan dan guru memiliki idealisme menjadi seorang pendidik.
Guru dituntut untuk kembali seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara dengan trilogi
pendidikannya, yakni seorang yang ing ngarso sung tulado, ing madyo mangun karso dan
tut wuri handayani.
Fungsi dan peranan trilogi dan tripusat pendidikan merupakan faktor penting dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya serta
menyiapkan sumber daya manusia yang berkarakter dan bermutu. Setiap pusat pendidikan
dapat berpeluang memberikan kontribusi pendidikan, maka diperlukan keserasian kontribusi
dan kerja sama yang erat dan harmonis antar tripusat pendidikan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Jakarta.

Depdiknas. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Gunawan, Adi. 2003. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Surabaya: PT Kartika.

Manaf. 2013. Pengertian Pendidikan Karakter Menurut Ahli.


Mursalinabdulmanaf.blogspot.com/2013/03/pengertian-pendidikan-karakter-
menurut.html. Diakses 2 Mei 2013.

Pandani. 2013. Pengertian Karakter. Pustakapandani.web.id/2013/03.html. Diakses 2 Mei


2013.

Sunarto. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Suroso. 2012. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara.


www.psb.psma.org/Forum-mata-pelajaran/kewarganegaraan/5469-pendidikan-karakter-
menurut-ki-hajar-dewantara. Diakses 2 Mei 2013.

Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Reneka Cipta.


117

Perkembangan Budaya pada Masyarakat Adat di Kota Lubuklinggau dan


Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan

Oleh Suwandi1

ABSTRAK

Dalam pembahasan ini akan dijelaskan mengenai perkembangan budaya pada masyarakat di Kota
Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Perkembangan budaya tersebut
ditunjukkan dari surat wasiat yang terdapat pada benda pusaka berupa: Kujur Semambu, Keris
Penjege Dosun, Pedang Pucuk Rumbai, dan Tongkat Pangeran Kota Donok suku Bermani Rejang
yang ditemukan di Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan serta sebagian
kecil dari Bengkulu. Secara umum adat istiadat yang ditemukan dari keterangan hasil identifikasi dari
beberapa benda pusaka tersebut berupa adat istiadat tentang kriteria seorang pemimpin yang bijaksana
dan adil.

Kata kunci: Perkembangan Budaya, Masyarakat Adat.

A. Pendahuluan
UU Nomor 22 Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah memberi kerangka dasar politik
dengan sistem demokrasi dan sentralisasi, yakni Pemerintah Pusat lebih banyak memberi
kekuasaan kepada Pemerintah Daerah. Hal ini juga dirasakan oleh individu atau masyarakat
yang telah memperoleh kesempatan untuk menghidupkan kembali budaya masyarakat adat.
Khusus masalah budaya dan adat istiadat mulai dirasakan perlunya membentuk dan
membangun suatu institusi baik pemerintah maupun non pemerintah. Institusi yang dimaksud
diperlukan sebagai wadah penggerak dalam upaya menghidupkan dan melestarikan nilai-nilai
budaya leluhur yang selama ini hampir terabaikan.
Nilai-nilai budaya tersebut telah diwariskan oleh para leluhur kepada generasi
penerusnya, merupakan Jati Diri yang seharusnya dapat ditunjukkan sebagai kebanggaan
bagi setiap komunitas masyarakat daerah dan komunitas masyaralat wilayah hukum adat,
terutama bagi masyarakat yang telah memilikinya sejak zaman leluhur mereka. Hal ini
berjalan secara terus-menerus berlangsung hingga sekarang, meskipun belakangan ini hampir
telupakan oleh pengaruh pertumbuhan budaya globalisasi.
Sekarang menjadi tugas kita memberi motivasi masyarakat adat yang satu dengan
lainnya, dalam suatu daerah tertentu dengan daerah lainnya, terutama budaya yang memiliki
unsur-unsur positif, dipandang dapat mengangkat citra masyarakat, baik dalam ruang lingkup
masyarakat hukum adat, maupun masyarakat lainnya, dalam rangka menumbuhkan
kemampuan demokrasi lokal. Kemampuan yang cerdas dimanfaatkan untuk memberikan
kesempatan luas yang telah diberikan legalitasnya melaui undang-undang. Kesempatan luas

1
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Lubuklinggau
118

untuk memunculkan gagasan-gagasan yang bersumber dari inspirasi yang tumbuh dari
temuan-temuan ketika melakukan penggalian budaya dan adat istiadat pada masa lalu pernah
berlaku dan berkembang di tengah masyarakat pendahulu kita.
Pertumbuhan dan perkembangan budaya dalam bentuk adat istiadat tersebut dapat dilihat
dari gejala-gejala sosial hasil tindakan masyarakat masa lampau, dan boleh jadi kita dapat
menemukan tindakan atau prilaku berlanjut yang masih tampak dalam kehidupan masyarakat
sekarang. Tindakan atau prilaku berlanjut, ternyata belakangan ini mulai dirasakan perlu
menjadi bagian data penting penelitian dalam usaha menemukan Jati Diri masing-masing
daerah. Jadi wajarlah, jika dalam kalangan masyarakat intelektual sering diperdebatkan
tentang mengapa bisa terjadi timbulnya gagasan-gagasan untuk menghidupkan kembali
masyarakat adat, karena dapat dijadikan indikator signifikan guna memperkuat kembali
kapasitas lokal sebagai alternatif atas kegagalan sistem sentralisasi masa lalu.
Jika kita melihat masa sentralisasi, konsentrasi kekuasaan di pemerintah pusat, telah
dirasakan berdampak pada marginalisasi (mengenyampingkan) daerah dalam proses
pembangunan. Telah terbukti dari pengalaman panjang di era Orde Baru yang dapat dijadikan
pelajaran penting sepanjang sejarah politik di Indonesia. Namun, tidak banyak orang yang
mengetahui bahwa masyarakat hukum adat dan kehidupan demokrasi berbagai komunitas di
dalam organisasi masyarakat adat di Sumatera Selatan, termasuk di wilayah daerah
Kabupaten Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau pada masa lampau ditemukan suatu
kebiasaan yang telah menjadi taradat dan bernilai moral tinggi. Selain masih relevan, tidak
saja dalam kehidupan masyarakat lingkungan kecil, juga sangat baik bagi masyarakat yang
lebih luas, dan boleh jadi penting bagi masyarakat bangsa manapun di dunia. Khususnya
bangsa Indonesia, jika dikaitkan dengan cita-cita reformasi, bahkan sampai saat inipun
masih sangat relevan.
Beberapa contoh yang akan dikemukakan dalam makalah ini dipandang signifikan
dengan maksud untuk menggambarkan bagaimana masyarakat hukum adat dan kehidupan
demokrasi lokal dapat diberdayakan untuk mencapai tujuan mewujudkan munculnya suatu
lembaga pemberdayaan umat menuju Musi Rawas Darussalam dan Kota Lubuklinggau yang
Madani. Dalam makalah ini akan membahas suatu kebiasaan yang menjadi teradat, bahkan
juga mencakup gambaran sistem kekuasaan dan sistem demokrasi masyarakat.
119

B. Pembahasan
1. Sumber Tertulis Naskah Kuno
Pada tahun 1992, telah diterjemahkan sebuah naskah menggunakan tulisan atau Akasara
Rencong (Huruf Ulu). Tulisan itu terdapat pada Gagang Tombak Pusaka. Orang Musi
Rawas, orang Lembak, menyebutnya benda itu Kujur Semambu . Kujur atau tombak ini
fungsi utamanya adalah sebagai Lambang Kepemimpinan, dan sekarang dapat disamakan
dengan Tongkat Komando. Artinya, apabila seorang berpangkat Jenderal diangkat dalam
jabatan Panglima, maka ketika dilantik, sebagai tanda atau simbol jabatan kepadanya
diserahkan Tongkat Komando itu di dalam suatu upacara resmi. Demikian juga diberlakukan
ketika terjadi pergantian pejabat, maka Tongkat Komando diserahterimakan dari pejabat yang
lama kepada pejabat yang baru.
Demikian halnya Kujur Semambu, benda yang sekarang hanya sebagai benda pusaka ini,
pada masanya dahulu, fungsi utamanya adalah sebagai Simbol Penobatan atau
Pengangkatan Kepala Suku, Kepala Marga atau Kepala Adat. Demikian juga ada beberapa
benda-benda lain yang dipakai sebagai Simbol Pengangkatan Pemimpin rakyat dalam
suku-suku atau marga-marga di Kabupaten Musi Rawas khususnya, dan Sumatera selatan
umumnya pada massa lalu, seperti: Sebilah Pedang Pusaka, Keris Penjege Dosun, dan
lain-lain. Benda-benda seperti ini umumnya hampir dikenal di semua desa di wilayah
Sumatera Selatan.
Khususnya di desa Muara Nilau wilayah Ulu Lakitan, di sini ditemukan Sebilah Pedang
Pusaka yang disebut Pedang Pucuk Rumbai, warisan dari Moneng Imam. Sebuah keris
yang diidentifikasi sebagai Keris Banaspati peninggalan Sultan Satar. Sekarang benda ini
disimpan oleh Kuncen Situs Lubuk Tua Kecamatan Muara Kelingi bernama Rivai. Satu lagi
benda pusaka juga mempunyai fungsi yang sama, yaitu Tongkat Pangeran Kota Donok
suku Bermani Rejang. Benda ini tidak luput dari garapan peneliti karena wilayah Rejang pada
masa Pemerintahan Belanda tahun 1886 sampai 1901 masuk ke dalam wilayah Keresidenan
Palembang. Sesudah itu, dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Keresidenan Bengkulu.
Untuk lebih memahami tentang apa isi yang terkandung dalam naskah kuno yang ditulis
pada benda-benda pusaka itu. Baiklah kita bahas keistimewaan kandungan atau pesan nenek
moyang kita di dalam Kujur Semambu. Kebanyakan tongkat, keris, dan pedang pusaka
yang mempunyai inskripsi (tulisan), isinya berupa jampi-jampi atau rajah (mantra) yang
dipercaya memberi daya magis atau jiwa supra natural. Ada banyak orang yang yakin bahwa
benda itu dapat memberi pengaruh kebaikan bagi orang yang memilikinya, baik sekedar
menyimpan, maupun memakainya dalam berbagai aktivitas kehidupan. Pengaruh yang
120

ditimbulkannya, seperti: menimbulkan rasa berani, percaya diri, gagah perkasa, kebal, dan
sebagainya. Tongkat Pangeran Kota Donok (Bermani Rejang) berisi Mantra Pembungkam,
sehingga lawan-lawan Pangeran Kota Donok tidak bisa berkutik ketika berhadapan dengan
beliau, baik debat adu pendapat, maupun ketika beliau memaksakan kehendaknya untuk
diberlakukan.
Kujur Semambu, ternyata bukan berupa mantra, ia memberikan nuansa lain yang
mengarah kepada kebaikan bagi generasi penerusnya. Tulisan pada gagang kujur iitu yang
terbuat dari bahan Rotan berukuran diameter sebesar genggaman, mengandung makna pesan,
perintah, adat atau hukum yang harus dijalankan oleh seseorang bila ingin menjadi pemimpin
yang salalu dihormati, disegani, dan diturut perintahnya. Tulisan asli berupa huruf Rencong,
transliterasi dan terjemahannya sebagai berikut:

Ba ba pang gang gang ya la ca yu gang


Oleh orang tua jauh sebelumnya diharuskan menjadi teradat

Bang pang Bang pang


Para pemimpin siapa saja orangnya

Bang pang ba pa pang lang ha


Selalu menasehati siapa saja berjiwa besar

La lung ba pung pang ha


Meskipun telah mencapai derajat tinggi orang berilmu

Pang ha ya lung lung yu ndung hung


Orang berilmu akan selalu dihormati di mana saja

Hang gang gang lang


Tidak akan terlantar pergi ke mana saja
121

Sung a ka ndah na hang ha


Akan tetapi, haruslah Dianya dapat merasakan

Ang ha wa ang ha ada ha


Perasaan orang lain perasaan sebagai korban keganasan

Na mang ha
Demikian yang dirasakan ( diulang kata-kata ini tiga kali)

A ha wa a da wa
Orang yang lemah orang rendah ( rakyat jelata)

A ga ba ha ba
Bagaikan memandang pasrah matahari tinggi

A luh na a ga ba
Seperti dalam gelap bagaikan memandang pasrah

Da ang Dang bang


Paling mulia Pemimpin yang baik

Yang a lu a ka luh na
Raja bijaksana meskipuin dalam keadaan sulit

Bing ha ang pang wu


Demi tugas meskipun berat
122

Sa ga ba la na
Tugas seberat apapun itu

Ha ha pa wa
Selalu siap demi menjaga kemuliaan

2. Surat Wasiat pada Benda Pusaka Masyarakat Lubuklinggau dan Musi Rawas
Inti makna surat wasiat yang telah ditulis oleh para pendahulu kita sejak lebih dari 300
tahun yang lalu, adalah orang tua yang berpengalaman, tua-tua adat atau cendekiawan
tergolong orang terhormat di dalam dusun, telah menyampaikan pesan atau wasiat tentang
aturan adat yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh seseorang yang ingin menjadi
pemimpin. Istilah sekarang, identik dengan ilmu manajemen kepemimpinan. Ada sebanyak 6
(enam) ketentuan yang yang merupakan pengertian terkandung dalam pesan dalam naskah
kuno itu dan harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin, yaitu:
1. Siapa saja boleh menjadi pemimpin, namun harus bersedia selalu memangku tugas
sebagai seorang yang mampu menasehati siapa saja dalam berbagai hal, tanpa pilih
kasih yang dilandasi sikap berjiwa besar, artinya siap menghadapi masalah
rakyatnya dan semua bermuara kepada tanggung jawab di tangannya yang harus
dihadapi dengan penuh kearifan dan bijaksana.
2. Sifat ngemong, tanpa pilih kasih, selalu siap menghadapi segala masalah dengan sikap
berjiwa besar itu harus tetap terbina, terbiasa meskipun derajat kepemimpinannya
semakin tinggi atau meningkat.
3. Orang yang menjadi pemimpin itu haruslah memiliki pengetahuan (ilmu). Keharusan
ini diberi penekanan dengan perulangan kata Orang Berilmu sekali lagi Orang
Berilmu. Jadi, berarti tidak ada peluang bagi orang yang Tidak Berilmu untuk
diangkat menjadi pemimpin. Akan tetapi, kesempatan bagi setiap orang dimotivasi
agar berlomba-lomba menuntut ilmu, sebab memiliki ilmu adalah syarat mutlak yang
harus dimiliki oleh setiap orang.
4. Meskipun seorang pemimpin itu telah mencapai derajat tinggi karena didukung oleh
ilmu pengetahuan yang luas dan mengetahui bahwa dirinya selalu dihormati di mana
saja, juga yakin tidak akan terlantar hidupnya pergi ke mana saja. Namun, ia harus
mempunyai hati yang dapat merasakan perasaan orang lain, seperti bagaimana
123

sakitnya, menderitanya, pedih yang dirasakan oleh orang-orang teraniaya atau korban
keganasan penguasa, orang kuat, pemangsa orang yang lemah, dan sebagainya.
5. Lebih jauh dan mendalam seorang pemimpin mengetahui perasaan orang teraniaya,
orang lemah atau rakyat jelata. Ia harus dapat membayangkan bagaimana perasaannya
seandainya dirinya berada di pihak golongan orang yang lemah dan tak berdaya
tersebut. Untuk itu, ia harus mengetahui bahwa bagaimana seseorang melihat
penguasa alim tersebut, ketika membandingkan dirinya yang lemah seakan-akan
sangat rendah, serendah bumi menatap orang yang jauh tinggi, setinggi matahari.
Seolah berada dalam kegelapan mengharap datangnya secercah cahaya dan menunggu
dengan pasrah.
6. Rasa tanggung jawab yang besar harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin yang baik,
yaitu harus tetap bijaksana dan tabah meskipun menemui kesulitan dan tantangan
berat. Ia tetap siap dan setia melaksanakan tugas kepemimpinannya karena ia
menyadari bahwa tugas sebagai pemimpin adalah mulia.

C. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan surat wasiat yang terdapat pada
benda pusaka berupa: Kujur Semambu, Keris Penjege Dosun, Pedang Pucuk Rumbai, dan
Tongkat Pangeran Kota Donok suku Bermani Rejang ditemukan di Kota Lubuklinggau dan
Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan serta sebagian kecil dari Bengkulu. Secara umum
surat wasiat tersebut, memiliki makna sebagai berikut:
1. Sifat kepemimpinan dalam masyarakat hukum adat sesuai dengan yang dikehendaki
oleh masyarakatnya adalah dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan dan
dilaksanakan secara terus-menerus, dalam pengertian luas menjadi adat kebiasaan atau
teradat.
2. Setiap orang dari semua golongan atau stratifikasi masyarakat mempunyai hak untuk
menjadi pemimpin. Tidak berdasarkan asas turun-temurun atau sistem kerajaan.
Dengan kata lain, yang benar adalah menganut sistem demokrasi kerakyatan
berlandaskan keluhuran nurani perikemanusiaan.
3. Tidak ada keistimewaan bagi seseorang yang memegang kekuasaan untuk memperoleh
hak menentukan orang lain menjadi pimpinan, misal karena sedang memegang suatu
jabatan tertentu, berusaha untuk memberi kesempatan kepada seseorang atau beberapa
orang menduduki jabatan tertentu. Hal seperti ini sangat ditentang dalam ketentuan
adat. Hal ini berarti menolak sistem KKN atau sistem kekeluargaan. Bahwa setiap
124

orang yang mempunyai kemampuan, memenuhi persyaratan dalam bidang


kepemimpinan, sesuai konsesensus masyarakatnya berhak mencalonkan diri sebagai
pemimpin.
4. Ada hak mutlak rakyat untuk menilai dan memberi sanksi kepada pemimpin yang
sedang menjalankan roda pemerintahan di dalam wilayah hukum adat masyarakat
tersebut, yakni: (a). Menilai apakah pemimpin mereka itu telah benar-benar memiliki
ilmu pengetahuan yang luas, sehingga mampu menjalankan tugas kepemimpinannya.
(b). Menilai, apakah pemimpin mereka itu memperhatikan dan melaksanakan
kebijakan yang telah menyentuh seluruh stratifikasi masyarakatnya, ataukah hanya
terfokus kepada golongan tertentu saja. (c). Memberi reaksi terhadap hasil atau
realisasi tugas yang dijalankan oleh pemimpin mereka, yaitu: menghormati, mematuhi
serta melindungi pemimpin yang baik, arif, adil, dan bijaksana, tetapi hal sebaliknya
bisa terjadi bilamana pemimpin mereka itu telah melakukan penyimpangan dari
ketentuan yang telah diadatkan atau teradat.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ali , dkk. 1987. Kompilasi Adat-Istiadat Masyarakat Kabupaten Musi Rawas.
Palembang: PT Meru.

Montana, Suwedi. 1993. Hasil Survey Tradisi Islam Klasik di Situs-situs Purbakala dalam
Kabupaten Musi Rawas. Jakarta: Puslit Arkennas.

Saleh, Wantjik. K. 1970. Oendang-Oendang Simboer Tjahaja. Palembang: PT Meru.

Suwandi. 1993. Transliterasi dan Terjemahan Naskah-naskah Kuno Museum


Balaputradewa, Bengkulu, Jambi, dan Perpusnas. Lubuklinggau: Lab. Sejarah
STKIP-PGRI Lubuklinggau.

Suwandi. 1996. Laporan Hasil Survey Investigasi Cagar Budaya dan Benda Purbakala di
Kabupaten Musi Rawas. Lubuklinggau: BAPPEDA Pemkab Mura.
125

FORMAT PENULISAN NASKAH

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun penulisan naskah pada Jurnal
Perspektif Pendidikan STKIP Lubuklinggau:
a. Naskah belum pernah dipublikasikan oleh jurnal lain yang dibuktikan dengan pernyataan
tertulis dari penulis bahwa naskah yang dikirim tidak mengandung plagiat.
b. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris (lebih diutamakan), diketik dengan
spasi 1,5 pada kertas A-4. Naskah terdiri dari 11-15 halaman, termasuk daftar pustaka dan
tabel dengan MS Word fonts 12 (Times New Roman) dan dikirimkan ke Dewan Redaksi
lewat email: jurnalperspektif@ymail.com atau ke laman: www.stkip-pgri-llg.com
c. Naskah berisi: 1) abstrak (75-150 kata) dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
dengan kata-kata kunci dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia (maksimal 3 frase); 2)
pendahuluan (tanpa subbab) yang berisi tentang latar belakang masalah, masalah/tujuan;
3). landasan teori dan kerangka pemikiran teoretis jika diperlukan (antara 2-3 halaman);
4) metode penelitian; 5) hasil penelitian dan pembahasan yang disajikan dalam subbab
hasil penelitian dan subbab pembahasan; 6) kesimpulan; dan 7) daftar pustaka.
d. Kutipan sebaiknya dipadukan dalam teks (kutipan tidak langsung), kecuali jika lebih dari
tiga baris. Kutipan yang dipisah harus diformat dengan left indent: 0,5 dan right Indent:
0,5 dan diketik 1 spasi, tanpa tanda petik.
e. Format naskah hasil penelitian empiris (Empirical Research Article) adalah: a) JUDUL
(maks 20 kata); b) Nama lengkap tanpa gelar dan email, c) abstrak dalam dua bahasa
(Inggris dan Indonesia); d) PENDAHULUAN berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, e) LANDASAN TEORI dan kerangka
pemikiran teoritis jika diperlukan (antara 23 halaman); e) METODE PENELITIAN; f)
HASIL DAN PEMBAHASAN; g) KESIMPULAN; h) DAFTAR PUSTAKA diutamakan
dari jurnal dan kemutakhirannya 10 tahun terakhir. Naskah makalah tinjauan pustaka
terdiri atas: a) JUDUL (maks 20 kata); b) Nama lengkap tanpa gelar dan email; c) abstrak
dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia); d) PENDAHULUAN berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian; d)
PEMBAHASAN; e) KESIMPULAN; dan f) DAFTAR PUSTAKA
f. Nama penulis buku/artikel yang dikutip harus dilengkapi dengan tahun terbit dan
halaman. Misal: Levinson (1987:22); Hymes (1980: 99-102); Chomsky (2009).
g. Daftar Pustaka diketik sesuai urutan abjad dengan hanging indent: 0,5 untuk baris kedua
dan seterusnya serta disusun persis seperti contoh di bawah ini:
126

Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun
penerbitan, (6) titik, (7) judul buku dalam huruf miring, (8) titik, (9) kota penerbitan,
(10) titik dua/kolon, (11) nama penerbit, (12) titik. Contoh:
Rahman, Laika Ayana . 2012. Bahasa Anak Kajian Teoritis. Jakarta: Esis Erlangga.
Febrina, Resa. 2010. Sanggar Sastra Wadah Pembelajaran dan Pengembangan
Sastra. Yogyakarta: Ramadhan Press.
Untuk artikel: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun
penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik
tutup, (11) nama jurnal dalam huruf miring, (12), volume, (13) nomor, dan (14) titik.
Bila artikel diterbitkan di sebuah buku, berilah kata Dalam sebelum nama editor
dari buku tersebut. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalam lema tersendiri.
Contoh:
Noer, Suryo. 2009. Pembaharuan Pendidikan melalui Problem Based Learning.
Konferensi Tahunan Atma Jaya Tingkat Nasional. Vol. 12, No.3.
Sidik, M. 2008. Sanggar Sastra Wadah Pembelajaran dan Pengembangan Sastra.
Dalam Dharma, 2008.
Untuk internet: (1) nama akhir penulis, (2) koma, (3) nama pertama penulis, (4) titik,
(5) tahun pembuatan, (5) titik, (6) judul tulisan dalam huruf miring, (7) titik, (8)
alamat web, (9) tanggal pengambilan beserta waktunya. Contoh:
Surya, Ratna. 2010. Budaya Berbahasa Santun. Http//budayasantun.surya.com.
Diakses 14 Februari 2006, Pukul 09.00 Wib.

Anda mungkin juga menyukai