Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Neuropati merupakan suatu penyakit saraf yang sering ditemukan di klinik, ditandai
dengan gejala karakteristik berupa hilangnya serat saraf perifer secara progresif. Jenis
neuropati cukup bervariasi sesuai dengan penyebab, gejala klinik, dan derajat perkembangan
penyakitnya. Neuropati mulai dari yang akut hingga reversibel sampai dengan bentuk kronis
dan ireversibel.
Polineuropati merupakan bagian dari tripati yaitu bentuk komplikasi yang paling
sering ditemukan pada penderita diabetes melitus yang terdiri atas neuropati, retinopati dan
nefropati. Angka kejadian neuropati diabetik umumnya meningkat dengan bertambahnya umur
dan lamanya durasi diabetes mellitus.
Polineuropati diabetes adalah kelompok gangguan heterogen yang menunjukan
abonrmalitas, merupakan komplikasi jangka panjang dan sangat signifikan menghasilkan
morbiditas dan mortalitas.
Diabetes sendiri merupakan penyakit kronis yang diderita seumur hidup sehingga
progresifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat dapat menimbulkan komplikasi.
Diabetes Mellitus (DM) biasanya berjalan lambat dengan gejala-gejala yang ringan sampai
berat, bahkan dapat menyebabkan kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.
Umumnya neuropati diabetik terjadi setelah adanya intoleransi glukosa yang cukup lama
sehingga hiperglikemia persisten dianggap sebagai faktor primer. Walaupun demikian, faktor
metabolik ini bukanlah satu-satunya faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
neuropati diabetik. Beberapa teori lain yang diterima ialah teori vaskular, autoimun dan nerve
growth factor.
Ada beberapa manifestasi klinik neuropati termasuk diantaranya mononeuropati ataupun
polineuropati. Pada pasien diabetes melitus lebih banyak ditemukan polineuropati sensoris
distalis, disertai dengan gangguan serat saraf motorik dan otonom. Polineuropati merupakan
jenis neuropati yang menyebabkan kelainan fungsional simetris akibat kelainan-kelainan difus
yang mempengaruhi seluruh susunan saraf perifer.
Studi epidemiologi menunjukan prevalensi dari peripheral neuropati berkisar antara 5%
sampai 100%. Prevalensi neuropati diabetik (ND) dalam berbagai literatur sangat bervariasi.
Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20 % pasien saat ditegakan Diabetes
Melitus telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati diabetik ini akan meningkat sejalan

1
dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita
diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetik 50 %. Kemungkinan terjadi neuropati
diabetik pada kedua jenis kelamin sama.
Manifestasi bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya
dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis
saraf yang terkena lesi.
Risiko yang dihadapi pasien diabetes melitus dengan polineuropati diabetes antara lain
ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh dan amputasi jari/kaki.
Berdasarkan penjelasan mengenai neuropati diabetik terkhususnya polineuropati sebagai
bentuk komplikasi kronis diabetes melitus yang paling sering terjadi. Maka saya tertarik untuk
mengambil polineuropati diabetes sebagai referat saya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Polineuropati diabetes adalah suatu kondisi yang mempengaruhi berberapa saraf perifer
yang disebabkan oleh degenerasi saraf perifer akibat langsung dari peningkatan kadar glukosa
darah pada pasien diabetes melitus. Istilah deskriptif yang menunjukan adanya gangguan, baik
klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer
yang lain. Distribusi polineuropati umumnya bilateral simetris dan perkembangannya lambat.
Polineuropati atau peripheral neuropati diidentifikasikan pada daerah distal dan dimulai dari
kaki kemudian meningkat ke atas. Polineuropati diabetika adalah sekumpulan gejala yang
disebabkan oleh degenerasi saraf perifer atau otonom sebagai akibat penyakit diabetes melitus

2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi menunjukan prevalensi dari peripheral neuropati berkisar antara 5%
sampai 100%. Prevalensi neuropati diabetik (ND) dalam berbagai literatur sangat bervariasi.
Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20 % pasien saat ditegakan Diabetes
Melitus telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati diabetik ini akan meningkat sejalan
dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita
diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetik 50 %. Kemungkinan terjadi neuropati
diabetik pada kedua jenis kelamin sama.
Neuropati ditemukan pada hampir 30 % penderita diabetes melitus, angka kejadian
neuropati diabetik yang disertai dengan nyeri ditemukan pada 16 % sampai dengan 26 %
penderita neuropati diabetik. Lama menderita diduga sangat berkaitan dengan perkembangan
dan progresivitas neuropati diabetik dan hal ini berpengaruh terhadap timbulnya nyeri
neuropati pada penderita diabetes mellitus.
Diabetes Mellitus (DM) terjadi pada sekitar 20 % populasi > 65 tahun. Penyebab
Neuropati terbanyak. Prevalensi neuropati pada pasien DM sekitar 66%. Sekitar 8% sudah
menderita neuropati pada saat didiagnosa DM, 50% setelah 25 tahun didiagnosa DM, 45%
pada pasien NIDDM, 54% pada pasien IDDM.

3
2.3 Faktor Risiko
Hiperglikemia merupakan faktor risiko pada pasien DM Tipe 1 dan DM Tipe 2.
Hubungan lain yang juga berperan adalah usia, lama mengalami diabetes, kualitas kontrol
metabolik, berat badan, konsumsi rokok, kadar HDL dan temuan penyakit kardiovaskular.

2.4 Etiologi

2.5 Patofisiologi
Saraf perifer (saraf spinalis dan kranialis) untuk memelihara otot, kulit, dan pembuluh
darah terdiri dari sejumlah saraf campuran yaitu saraf motorik, sensorik, dan vegetatif. Faktor-
faktor yang menyebabkan perkembangan neuropati diabetes belum sepenuhnya dipahami, dan
beberapa hipotesis telah dilakukan. Yang umum diterima bahwa polineuropati terjadi melalui
proses multifaktor. Perkembangan gejala tergantung pada banyak faktor, seperti hiperglikemik
total dan faktor risiko lainnya seperti peningkatan kadar lipid, tekanan darah, merokok, tinggi
badan meningkat, dan paparan tinggi terhadap agen neurotoksik lainnya seperti etanol. Faktor
genetik juga bisa berperan. Mekanisme biokimia penting dalam mengembangkan bentuk
simetris yang lebih umum dari polineuropati diabetes mungkin mencakup jalur poliol, produk
akhir glikasi maju, dan stres oksidatif.
Neuropati diabetik tidak terjadi oleh karena faktor tunggal, melainkan karena interaksi
beberapa faktor, seperti faktor metabolik, vaskular dan mekanik. Faktor kausatif utama adalah
gangguan metabolik jaringan saraf.

4
1) Faktor metabolik
Proses kejadian neuropati berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat
terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, pembentukan radikal bebas dan aktivasi
Protein Kinase C (PKC), sintesis advance glycosilation end products (AGEs). Aktivasi
berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun bersama rendahnya mioninositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa kejadian neuropati diabetik sangat berhubungan dengan
lama dan beratnya diabetes melitus.

a. Peningkatan aktivitas jalur poliol


Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang
berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol
meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim adose-reduktase, yang mengubah glukosa
menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi
fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui
mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat akumulasi
sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga
mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol mengakibatkan terhambatnya
mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol

5
secara langsung menimbulkan stress osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan
menstimulasi protein kinase c (PKC).
b. Aktivasi PKC
Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar na
intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke
dalam saraf sehingga terjadi gangguan tranduksi sinyal saraf. Reaksi jalur poliol ini
juga menyebabkan turunnya persediaan nadph saraf yang merupakan kofaktor penting
dalam metabolisme oksidatif. Karena nadph merupakan kofaktor penting untuk
gluthation dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi
kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi nitric oxide
(NO).
c. Sintesis advance glycosilation end products (AGEs).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia berkepanjangan
akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end products (AGEs). Ages ini
sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan
terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang
berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama
rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik. Kerusakan aksonal
metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan kendali glikemik yang optimal.
Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka
kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.

2) Kelainan vaskular
Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular.
Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive
oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan
menetralisir NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme
kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membran basalis; trombosit pada
arteriol intraneural; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas
eritrosit; berkurangnnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis
aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian
neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor
risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan
hipertensi.

6
3) Mekanisme Imun
Suatu penelitian menunjuikan bahwa 22% dari 120 penyandang dm tipe 1 memiliki
complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25% pasien dm tipe 2 memperlihatkan
hasil yang positif. Hal ini menunjukan bahwa antibody tersebut berperan pada patogenesis
neuropati diabetik. Bukti lain yang menyokong peran antibodi dalam mekanisme patogenik
adalah antineural antibodies pada serum sebagian penyandang diabetes melitus.
Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan
sensorik yang bias dideteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu adanya
penumpukan antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis
memperlihatkan kemungkinan peran proses imun.
4) Peran nerve growth factor (NGF).
NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada
penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat
neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen substance p dan calcitonin-gen-regulated
peptide (CGRP). Peptide ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, mobilitas intestinal dan
nosiseptif, yang semuanya mengalami gangguan pada neuropati diabetik.

7
2.6 Klasifikasi
Sensory Motor Neuropathy Autonomic Neuropathy
Distal Symmetric Polyneuropathy Hypoglycemic unawareness
Focal Neuropathy Abnormal pupillary function
Diabetik mononeuropathy (cranial, Cardiovascular autonomic
truncal, peripheral nerves) neuropathy
Mononeuropathy multiplex Vasomotor neuropathy
Diabetik amyotrophy (weakness, Sudomotor neuropathy (sweat
excruciating pain of thigh, hip, and glands)
buttocks muscles)

Gastrointestinal Autonomic Neuropathy Genitourinary Autonomic Neuropathy


Gastric atony Bladder dysfunction
Diabetik diarrhea or constipation Sexual dysfunction
Fecal incontinence

2.7 Manifestasi Klinis


Terlihat pada 20% pasien diabetes melitus, tetapi dengan pemeriksaan elektrofisiologi
pada diabetes melitus asimptomatik tampak bahwa penderita sudah mengalami neuropati
subklinik. Pada kasus yang jarang, neuropati mungkin merupakan tanda awal suatu diabetes
melitus.
Pada diabetes mellitus tipe 1, biasanya polineuropati menjadi bergejala setelah bertahun-
tahun memiliki hiperglikemia kronis. Sebaliknya, pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dapat
hadir hanya beberapa tahun setelah diketahui menderita diabetes dan terkadang, pasien ini
sudah memiliki neuropati pada saat didiagnosis.
Karena neuropati diabetik dapat bermanifestasi sebagai beragam gejala sensorik,
motorik, dan otonom, serangkaian gejala terstruktur dapat digunakan untuk membantu
menyaring semua pasien diabetes untuk kemungkinan neuropati.
Gejala sensorik
Neuropati sensorik biasanya berbahaya saat onset dan distribusi menunjukan stocking
and gloves di ekstremitas bawah. Gejala sensorik mungkin negatif atau positif, menyebar atau
fokal. Gejala sensorik negatif meliputi perasaan mati rasa atau mati, yang mungkin
digambarkan oleh pasien seperti memakai sarung tangan atau kaus kaki. Hilangnya
keseimbangan, terutama dengan mata terpejam, dan luka yang tidak menyakitkan akibat
kehilangan sensasi yang biasa terjadi. Gejala positif dapat digambarkan sebagai rasa sakit yang
terbakar, menusuk, kesemutan, perasaan seperti kejutan listrik, sakit, sesak, atau hipersensitif
terhadap sentuhan.

8
Gejala motorik
Masalah motorik meliputi kelemahan bagian kaki bawah, proksimal, atau lebih fokal.
Pada ekstremitas atas, gejala motorik mungkin termasuk gangguan koordinasi yang halus pada
tangan dan kesulitan dalam melakukan kegiatan seperti membuka stoples atau memutar kunci.
Kaki kebas dan jari-jari kaki scuffing atau sering tersandung merupakan gejala awal kelemahan
kaki. Gejala kelemahan ekstremitas proksimal meliputi kesulitan naik turun tangga, sulit
bangun dari posisi duduk atau terlentang dan kesulitan mengangkat lengan di atas bahu.
Pada neuropati diabetik yang paling umum yaitu dengan gejala sensorimotor simetris,
kelemahan kecil jari kaki dan jari kaki dapat terlihat; Kelemahan yang sampai parah jarang
terjadi dan harus segera diinvestigasi penyebab lain, seperti poliradikuloneuropati pereda
inflamasi kronis (CIDP), atau vaskulitis. Kelemahan yang lebih parah dapat diamati pada
sindrom neuropati diabetes asimetris. Neuropati motorik dapat terjadi bersamaan dengan
neuropati sensorik (sensorimotor neuropathy).
Gejala otonom
Neuropati otonom mungkin melibatkan sistem kardiovaskular, gastrointestinal, dan
genitourinari dan kelenjar keringat. Pasien dengan neuropati otonom generalisata dapat terjadi
ataksia, ketidakstabilan gaya berjalan, atau dapat sinkop. Selain itu, neuropati otonom memiliki
gejala lebih lanjut yang berhubungan dengan anatomis dari kerusakan saraf seperti pada
gastrointestinal, kardiovaskular, kandung kemih, atau sudomotor.
Neuropati otonom gastrointestinal dapat menyebabkan gejala berikut :
1. Disfagia
2. Sakit perut
3. Mual / muntah
4. Malabsorpsi
5. Inkontinensia tinja
6. Diare
7. Sembelit
Neuropati otonom kardiovaskular dapat menghasilkan gejala berikut :
1. Persisten sinus takikardia
2. Hipotensi ortostatik
3. Aritmia sinus
4. Berkurangnya variabilitas jantung dalam menanggapi pernapasan dalam
5. Sinkop pada perubahan posisi dari telentang ke posisi berdiri

9
Neuropati kandung kemih (yang harus dibedakan dari kelainan prostat atau tulang belakang)
dapat menghasilkan gejala berikut:
1. Aliran urin yang buruk
2. Merasa tidak lampias
3. Tegang untuk mengeluarkan urin
Sudomotor neuropati dapat menghasilkan gejala berikut:
1. Intoleransi panas
2. Berkeringat berat pada kepala, leher dan ekstremitas
Melitus.

Gambar 2-1 Perbedaan manifestasi klinis dari neuropati diabetes (Modified from Pickup J, Williams G [eds]. Textbook of
5
Diabetes, Vol 1. Oxford, UK, Blackwell Scientific, 1997.)

Polineuropati sensorik-motorik simetris, bentuk ini paling sering dijumpai, keluhan dapat

dimulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Polineuropati biasanya memiliki

karakteristik :

10
Gambar 2-2 Perbedaan manifestasi klinis neuropati serat besar dan kecil fibroneuropathy. ADL, activities of daily living;
QOL, quality of life. (Adapted from Vinik AI, Mehrabyan A. Diabetic neuropathies. Med Clin North Am 2004;88:947-999.) 5

1) Tanda pertama muncul pada tungkai bawah.

2) Parestesia selalu terjadi pada jari kaki atau telapak kaki, terutama pada malam hari. Ada

rasa tebal atau kesemutan, terutama pada tungkai bawah

3) Sensasi sarung pada kaki seperti kaos kaki

4) Kehilangan refleks Achilles

5) Penyusutan atau kehilangan perasaan getar, dimulai dari distal.

6) Saat kondisi berkembang, terjadi paresis extensor jari kaki pada dorsum kaki.

7) Makin lama, paresis sepanjang extensor jari dan kaki.

8) Kedua kaki terkulai.

9) Sensasi seperti terbakar.

10) Gangguan sensoris dan kelemahan menyebar ke tungkai atas.

PEMERIKSAAN FISIK
Pasien dengan gejala neuropati distal, motorik, atau fokal (misalnya, entrapment or
noncompressive) harus mencakup penilaian untuk neuropati perifer dan otonom. Pengujian
untuk neuropati perifer dimulai dengan penilaian sentuhan ringan dan sensasi pinprick. Tanda
klinis pertama yang biasanya terdapat pada sensorimotor simetris pada polineuropati adalah
penurunan atau hilangnya sensasi getaran dan pinprick di atas jari kaki. Seiring perkembangan

11
penyakit, tingkat sensasi yang menurun dapat bergerak ke atas ke kaki dan kemudian dari
tangan ke lengan, pola yang sering disebut sebagai "glove dan stoking " dalam kehilangan
sensoris. Pasien yang sangat parah mungkin kehilangan sensasi dalam distribusi di daerah dada.
Rasa getaran di kaki diuji dengan garpu tala 128-Hz yang ditempatkan di jempol kaki.
Uji sensasi pelindung dengan 5,07 Semmes-Weinstein monofilamen, secara singkat
menerapkan ujung tegak lurus terhadap permukaan plantar kaki, dengan menggunakan
kekuatan yang cukup (10 g) untuk menahan monofilamen. Ketidakmampuan untuk melihat
garpu tala atau monofilamen mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi (yaitu 60% dalam 3
tahun ke depan) mengembangkan tukak kaki. Tes ke 2 harus dilakukan setidaknya setiap tahun.
Uji refleks tendon dalam. Dengan neuropati, biasanya hipoaktif atau tidak ada. Lakukan
pengujian kekuatan dan periksa untuk atrofi otot ekstremitas ekstrem distal, karena kelemahan
otot kaki kecil dapat terjadi. Periksa pedal dorsal dan pulsa tibialis posterior.
Periksa kulit yang kering, tinea pedis, retak, onychomycoses, eritema akut dan nyeri
tekan, dan fluktuasi di bawah kapalan. Lakukan pengujian Tinel. Parestesia atau nyeri
menunjukkan cedera saraf median. Lakukan tes saraf kranial. Minta pasien berjalan di atas
tumit dan kaki; Tes tumit kaki tidak hanya kekuatan distal-ekstremitas bawah tapi juga
keseimbangan.
Uji neuropati otonom
Pengujian neuropati otonom dilakukan secara obyektif di laboratorium otonom khusus,
mengevaluasi fungsi kardiovaskular, adrenergik, dan sudomotor. Namun, klinisi pertama-tama
dapat melakukan pemeriksaan di samping tempat tidur untuk menilai apakah lebih lanjut,
diperlukan pengujian yang lebih khusus.
Pengukuran tekanan darah dan detak jantung dengan pasien telentang dan tegak
dibandingkan. Pengukuran tekanan darah pada pasien dengan neuropati otonom dapat
menunjukkan hipotensi ortostatik dengan takikardia kompensasi tambahan. Pengujian untuk
hipotensi ortostatik sangat penting pada pasien dengan diabetes mellitus yang sudah
berlangsung lama.

12
Rasio sinus aritmia (SA) diukur dengan pernapasan pasien 6 kali per menit sedangkan
detak jantung dipantau dengan strip EKG kontinu. R-R interval terpanjang selama kadaluarsa
dan interval R-R terpendek selama inspirasi diukur, dan rata-rata 6 napas diambil. Rasio SA
adalah ekspirasi R-R / R-R. Rasio normal adalah 1: 2.

2.8 Diagnosis

Diagnosis Diabetes Melitus

Langkah-langkah diagnosis dm dan gangguan toleransi glukosa berdasarkan perkeni

dalam konsensus diabetes melitus tipe 2 Tahun 2011 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar

glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria..

Untuk penentuan diagnosis, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Sedangkan untuk

tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan

glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Secara ringkas kriteria diagnosis diabetes melitus untuk dewasa tidak hamil berdasarkan

Perkeni Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 2-1 seperti yang tertera di bawah ini. Berbagai

keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu

dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus seperti di bawah ini :

1) Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.

2) Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

13
Tabel 2-1. Kriteria Diagnosis DM

No. Kriteria diagnosis diabetes melitus

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa diartikan
pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/l). TTGO yang dilakukan
3. dengan standar who, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ada 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan
14
pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

Keterangan gambar :
GDP = glukosa darah puasa
GDS = glukosa darah sewaktu
GDPT = glukosa darah puasa terganggu
TGT = toleransi glukosa terganggu

Gambar 2-1. Langkah-Langkah Diagnostik DM

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau dm, bergantung pada

hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1) TGT : diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa

plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl (7,8-11,0 mmol/l).

14
2) GDPT : diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa

didapatkan antara 100 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2

jam < 140 mg/dl.

Diagnosis Polineuropati Diabetes

Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical sensorymotor

polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan yang paling sering terjadi, ditandai dengan

berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) berlangsung

pada bagian distal yang berkembang ke arah proksimal.

Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada

ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak ada

keluhan neuropati saja tidak cukup mengeluarkan kemungkinan adanya neuropati. Pada

evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap : 1). Refleks motorik, 2). Fungsi serabut

saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa

tekan (estesiometer dengan filament mono semmes-weinstein); 3). Fungsi serabut saraf kecil

dengan sensasi suhu; 4). Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf

dapat dikerjakan elektromiografi.

Bentuk lain yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom (parasimpatis dan

simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (dan). Uji komponen parasimpatis dan dilakukan

dengan 1). Tes respons denyut jantung terhadap maneuver vasalva; 2). Variasi denyut jantung

selama napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis dan

dilakukan dengan 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); respons

tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).

15
2.9 Terapi

Strategi pengelolaan pasien diabetes melitus dengan keluhan neuropati diabetes dibagi

ke dalam 3 bagian. Strategi pengelolaan pertama adalah diagnosis nd sedini mungkin, strategi

kedua yaitu dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya, dan strategi yang

ketiga yaitu pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati diabetik. Selain itu pengendalian

neuropati diabetik perlu melibatkan banyak seperti perawatan umum, pengendalian glukosa

darah dan parameter metabolik lain.

1) Perawatan umum/kaki

Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma

berulang pada neuropati kompresi.

2) Pengendalian glukosa darah

Pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala merupakan langkah pertama

yang harus dilakukan, pengendalian faktor metabolik lain perlu dilakukan seperti

hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan.

Pengendalian glukosa darah mampu mengurangi komplikasi kronik diabetes termasuk

neuropati.

3) Terapi medikamentosa

Untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik diabetes melitus termasuk

neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses

timbulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu :

a. Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol

dan fruktosa.

b. Penghambat ACE

c. Neurotropin : nerve growth factor, brain-derived neurotrophic factor.

16
d. Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hidroksil,

superoksida, dan peroksil serta membentuk kembali glutation.

e. Penghambat protein kinase c

f. Gangliodes, merupakan komponen utama membrane sel.

g. Gamma linoleic acid (GLA) suatu prekusor membrane fosfolipid.

h. Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs.

i. Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik maupun non

neurologik akibat penyakit autoimun.

4) Pedoman pengelolaan dengan nyeri

Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk memahami

mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi reseptor n-methyl-d-

aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran post spinatik spinal cord dan pengeluaran

substance p dari serabut saraf besar a yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri.

Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri menjalar, dll.

Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat member terapi yang lebih

rasional, meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pada dasarnya bersifat simtomatis.

Pengelolaan dengan nyeri yang dianjurkan ialah :

a. NSAID (ibuprofen 600 mg 4 x/hari, sulindac 200 mg 2 x/hari).

b. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin 100 ng/hari,

nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/hari).

c. Antikonvulsan (gabapentin 900 mg 3 x/hari, karbamazepin 200 mg 4 x/hari).

d. Antiaritmia (mexilletin 150-450 mg/hari)

e. Topical : capsaicin 0,075 % 4x/hari, fluphenazine 1 mg 3x/hari, transcutaneous electrical

nerve stimulation.

17
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal yang mampu mengatasi nyeri neuropati

diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat anti-

depresan atau anti-konvulsan tergantung ada tidaknya efek samping. Dosis obat dapat

ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadang-kadang

kombinasi anti-depresan dan anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan regimen ini belum

atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap tidak atau

kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat dilakukan.

2.9 Komplikasi

Kehilangan sensasi menyebabkan cedera pada sendi, desktruksi sendi permanen (Charcot

joint), ulser pada kaki dan amputasi. Dapat menyebabkan ketidakmampuan, isolasi sosial dan

kehilangan kemandirian terutama pada pasien usia tua.

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk neuropati perifer motorik adalah Guillain-Barr syndrome,

Charcot-Marie-Tooth syndrome, porphyria, lead poisoning dan diphtheria. Sedangkan nyeri

pada neuropati perifer adalah neuropati alkoholik, diabetic amyotrophy, porphyria, defisiensi

vitamin B1 atau vitamin B12 dan carcinoma.

2.11 Edukasi

Edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri. Diperlukan penjelasan

tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki,

pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya neurpati diabetik pada

pasien diabetes melitus.

2.12 Prognosis

Tipe diabetes melitus yang diderita akan mempengaruhi diagnosis neuropati diabetik.
Pada NIDDM (non-insulin dependent diabetes melitus atau DM Tipe 2) memiliki prognosis

18
yang lebih baik daripada tipe IDDM (insulin dependent diabetes melitus atau DM Tipe 1).
Lama dan beratnya diabetes melitus serta lama dan beratnya keluhan neuropati yang dialami,
dan apakah sudah mengenai saraf otonom, semuanya akan menentukan prognosis neuropati
diabetik.

19
BAB III

KESIMPULAN

Polineuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronik dari Diabetes

Melitus. Dari 4 faktor (metabolik, vaskular, imun dan NGF) yang berperan pada mekanisme

patogenik adalah hiperglikemia sebagai komponen faktor metabolik yang merupakan dasar

utama patogenesis ND.

Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan polineuropati diabetik pada pasien

diabetes melitus perlu diperhatikan, berdasarkan diagnosis diikuti dengan pengendalian

glukosa darah. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan

dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri

tersebut. Pendekatan non-farmakologis termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat

perbaikan total sulit untuk dicapai.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

2. Kapita Selekta Kedokteran. Diabetes Mellitus. Fakultas Kedokteran UI. Edisi Ketiga
3. Spallone V, Greco C. Painful and painless diabetic neuropathy: one disease or two?.

Curr Diab Rep 2013; 13: 533-49.

4. Gunawan SG, Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI;

2006.h.172-4, 230-3.

5. http://emedicine.medscape.com/article/1170337-clinical#b3. Polineuropati

diabetikum. 2017. Akses tanggal 22-September-2017.

6. Baehr M, Frotscher M. Duus : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition.


New York : Thieme. 2014 .p.324-394.

21

Anda mungkin juga menyukai

  • PPT-BPH Revisi 2
    PPT-BPH Revisi 2
    Dokumen25 halaman
    PPT-BPH Revisi 2
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Anak
    BAB 1 Anak
    Dokumen26 halaman
    BAB 1 Anak
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Biografi Ibnu Sina
    Biografi Ibnu Sina
    Dokumen2 halaman
    Biografi Ibnu Sina
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Analisa Gas Darah
    Analisa Gas Darah
    Dokumen20 halaman
    Analisa Gas Darah
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Anemia Aplastik
    Anemia Aplastik
    Dokumen17 halaman
    Anemia Aplastik
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • STOELTING
    STOELTING
    Dokumen46 halaman
    STOELTING
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Penelitian Puskesmas BAB 1, 2 Dan 3
    Penelitian Puskesmas BAB 1, 2 Dan 3
    Dokumen37 halaman
    Penelitian Puskesmas BAB 1, 2 Dan 3
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Cover Kelompok 1 Martina Berto
    Cover Kelompok 1 Martina Berto
    Dokumen1 halaman
    Cover Kelompok 1 Martina Berto
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Pembekalan Kesehatan Reproduksi
    Pembekalan Kesehatan Reproduksi
    Dokumen49 halaman
    Pembekalan Kesehatan Reproduksi
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Termajahan Jurnal
    Termajahan Jurnal
    Dokumen5 halaman
    Termajahan Jurnal
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen3 halaman
    Bab Iv
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Kejadian Myalgia Pada Lansia Pasien Rawat Jalan
    Kejadian Myalgia Pada Lansia Pasien Rawat Jalan
    Dokumen5 halaman
    Kejadian Myalgia Pada Lansia Pasien Rawat Jalan
    nugraheni putri
    Belum ada peringkat
  • Dapur
    Dapur
    Dokumen2 halaman
    Dapur
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Referat Dr. Tri
    Referat Dr. Tri
    Dokumen39 halaman
    Referat Dr. Tri
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Case Repor1
    Case Repor1
    Dokumen1 halaman
    Case Repor1
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Isi Referat
    Isi Referat
    Dokumen57 halaman
    Isi Referat
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen61 halaman
    Referat
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • REFERAT Kata Peng
    REFERAT Kata Peng
    Dokumen3 halaman
    REFERAT Kata Peng
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • REFERAT1
    REFERAT1
    Dokumen5 halaman
    REFERAT1
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Isi Referat
    Isi Referat
    Dokumen21 halaman
    Isi Referat
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Isi Case
    Isi Case
    Dokumen44 halaman
    Isi Case
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Isi Case
    Isi Case
    Dokumen7 halaman
    Isi Case
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • 2 JURNAL BABE 2 Lembar Pengesahan
    2 JURNAL BABE 2 Lembar Pengesahan
    Dokumen3 halaman
    2 JURNAL BABE 2 Lembar Pengesahan
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Isi Jurnal
    Isi Jurnal
    Dokumen17 halaman
    Isi Jurnal
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat
  • Isi Jurnal
    Isi Jurnal
    Dokumen17 halaman
    Isi Jurnal
    Halima Tusadia
    Belum ada peringkat