PENDAHULUAN
1
dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita
diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetik 50 %. Kemungkinan terjadi neuropati
diabetik pada kedua jenis kelamin sama.
Manifestasi bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya
dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis
saraf yang terkena lesi.
Risiko yang dihadapi pasien diabetes melitus dengan polineuropati diabetes antara lain
ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh dan amputasi jari/kaki.
Berdasarkan penjelasan mengenai neuropati diabetik terkhususnya polineuropati sebagai
bentuk komplikasi kronis diabetes melitus yang paling sering terjadi. Maka saya tertarik untuk
mengambil polineuropati diabetes sebagai referat saya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Polineuropati diabetes adalah suatu kondisi yang mempengaruhi berberapa saraf perifer
yang disebabkan oleh degenerasi saraf perifer akibat langsung dari peningkatan kadar glukosa
darah pada pasien diabetes melitus. Istilah deskriptif yang menunjukan adanya gangguan, baik
klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer
yang lain. Distribusi polineuropati umumnya bilateral simetris dan perkembangannya lambat.
Polineuropati atau peripheral neuropati diidentifikasikan pada daerah distal dan dimulai dari
kaki kemudian meningkat ke atas. Polineuropati diabetika adalah sekumpulan gejala yang
disebabkan oleh degenerasi saraf perifer atau otonom sebagai akibat penyakit diabetes melitus
2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi menunjukan prevalensi dari peripheral neuropati berkisar antara 5%
sampai 100%. Prevalensi neuropati diabetik (ND) dalam berbagai literatur sangat bervariasi.
Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20 % pasien saat ditegakan Diabetes
Melitus telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati diabetik ini akan meningkat sejalan
dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita
diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetik 50 %. Kemungkinan terjadi neuropati
diabetik pada kedua jenis kelamin sama.
Neuropati ditemukan pada hampir 30 % penderita diabetes melitus, angka kejadian
neuropati diabetik yang disertai dengan nyeri ditemukan pada 16 % sampai dengan 26 %
penderita neuropati diabetik. Lama menderita diduga sangat berkaitan dengan perkembangan
dan progresivitas neuropati diabetik dan hal ini berpengaruh terhadap timbulnya nyeri
neuropati pada penderita diabetes mellitus.
Diabetes Mellitus (DM) terjadi pada sekitar 20 % populasi > 65 tahun. Penyebab
Neuropati terbanyak. Prevalensi neuropati pada pasien DM sekitar 66%. Sekitar 8% sudah
menderita neuropati pada saat didiagnosa DM, 50% setelah 25 tahun didiagnosa DM, 45%
pada pasien NIDDM, 54% pada pasien IDDM.
3
2.3 Faktor Risiko
Hiperglikemia merupakan faktor risiko pada pasien DM Tipe 1 dan DM Tipe 2.
Hubungan lain yang juga berperan adalah usia, lama mengalami diabetes, kualitas kontrol
metabolik, berat badan, konsumsi rokok, kadar HDL dan temuan penyakit kardiovaskular.
2.4 Etiologi
2.5 Patofisiologi
Saraf perifer (saraf spinalis dan kranialis) untuk memelihara otot, kulit, dan pembuluh
darah terdiri dari sejumlah saraf campuran yaitu saraf motorik, sensorik, dan vegetatif. Faktor-
faktor yang menyebabkan perkembangan neuropati diabetes belum sepenuhnya dipahami, dan
beberapa hipotesis telah dilakukan. Yang umum diterima bahwa polineuropati terjadi melalui
proses multifaktor. Perkembangan gejala tergantung pada banyak faktor, seperti hiperglikemik
total dan faktor risiko lainnya seperti peningkatan kadar lipid, tekanan darah, merokok, tinggi
badan meningkat, dan paparan tinggi terhadap agen neurotoksik lainnya seperti etanol. Faktor
genetik juga bisa berperan. Mekanisme biokimia penting dalam mengembangkan bentuk
simetris yang lebih umum dari polineuropati diabetes mungkin mencakup jalur poliol, produk
akhir glikasi maju, dan stres oksidatif.
Neuropati diabetik tidak terjadi oleh karena faktor tunggal, melainkan karena interaksi
beberapa faktor, seperti faktor metabolik, vaskular dan mekanik. Faktor kausatif utama adalah
gangguan metabolik jaringan saraf.
4
1) Faktor metabolik
Proses kejadian neuropati berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat
terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, pembentukan radikal bebas dan aktivasi
Protein Kinase C (PKC), sintesis advance glycosilation end products (AGEs). Aktivasi
berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun bersama rendahnya mioninositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa kejadian neuropati diabetik sangat berhubungan dengan
lama dan beratnya diabetes melitus.
5
secara langsung menimbulkan stress osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan
menstimulasi protein kinase c (PKC).
b. Aktivasi PKC
Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar na
intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke
dalam saraf sehingga terjadi gangguan tranduksi sinyal saraf. Reaksi jalur poliol ini
juga menyebabkan turunnya persediaan nadph saraf yang merupakan kofaktor penting
dalam metabolisme oksidatif. Karena nadph merupakan kofaktor penting untuk
gluthation dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi
kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi nitric oxide
(NO).
c. Sintesis advance glycosilation end products (AGEs).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia berkepanjangan
akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end products (AGEs). Ages ini
sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan
terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang
berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama
rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik. Kerusakan aksonal
metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan kendali glikemik yang optimal.
Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka
kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.
2) Kelainan vaskular
Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular.
Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive
oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan
menetralisir NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme
kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membran basalis; trombosit pada
arteriol intraneural; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas
eritrosit; berkurangnnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis
aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian
neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor
risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan
hipertensi.
6
3) Mekanisme Imun
Suatu penelitian menunjuikan bahwa 22% dari 120 penyandang dm tipe 1 memiliki
complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25% pasien dm tipe 2 memperlihatkan
hasil yang positif. Hal ini menunjukan bahwa antibody tersebut berperan pada patogenesis
neuropati diabetik. Bukti lain yang menyokong peran antibodi dalam mekanisme patogenik
adalah antineural antibodies pada serum sebagian penyandang diabetes melitus.
Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan
sensorik yang bias dideteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu adanya
penumpukan antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis
memperlihatkan kemungkinan peran proses imun.
4) Peran nerve growth factor (NGF).
NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada
penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat
neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen substance p dan calcitonin-gen-regulated
peptide (CGRP). Peptide ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi, mobilitas intestinal dan
nosiseptif, yang semuanya mengalami gangguan pada neuropati diabetik.
7
2.6 Klasifikasi
Sensory Motor Neuropathy Autonomic Neuropathy
Distal Symmetric Polyneuropathy Hypoglycemic unawareness
Focal Neuropathy Abnormal pupillary function
Diabetik mononeuropathy (cranial, Cardiovascular autonomic
truncal, peripheral nerves) neuropathy
Mononeuropathy multiplex Vasomotor neuropathy
Diabetik amyotrophy (weakness, Sudomotor neuropathy (sweat
excruciating pain of thigh, hip, and glands)
buttocks muscles)
8
Gejala motorik
Masalah motorik meliputi kelemahan bagian kaki bawah, proksimal, atau lebih fokal.
Pada ekstremitas atas, gejala motorik mungkin termasuk gangguan koordinasi yang halus pada
tangan dan kesulitan dalam melakukan kegiatan seperti membuka stoples atau memutar kunci.
Kaki kebas dan jari-jari kaki scuffing atau sering tersandung merupakan gejala awal kelemahan
kaki. Gejala kelemahan ekstremitas proksimal meliputi kesulitan naik turun tangga, sulit
bangun dari posisi duduk atau terlentang dan kesulitan mengangkat lengan di atas bahu.
Pada neuropati diabetik yang paling umum yaitu dengan gejala sensorimotor simetris,
kelemahan kecil jari kaki dan jari kaki dapat terlihat; Kelemahan yang sampai parah jarang
terjadi dan harus segera diinvestigasi penyebab lain, seperti poliradikuloneuropati pereda
inflamasi kronis (CIDP), atau vaskulitis. Kelemahan yang lebih parah dapat diamati pada
sindrom neuropati diabetes asimetris. Neuropati motorik dapat terjadi bersamaan dengan
neuropati sensorik (sensorimotor neuropathy).
Gejala otonom
Neuropati otonom mungkin melibatkan sistem kardiovaskular, gastrointestinal, dan
genitourinari dan kelenjar keringat. Pasien dengan neuropati otonom generalisata dapat terjadi
ataksia, ketidakstabilan gaya berjalan, atau dapat sinkop. Selain itu, neuropati otonom memiliki
gejala lebih lanjut yang berhubungan dengan anatomis dari kerusakan saraf seperti pada
gastrointestinal, kardiovaskular, kandung kemih, atau sudomotor.
Neuropati otonom gastrointestinal dapat menyebabkan gejala berikut :
1. Disfagia
2. Sakit perut
3. Mual / muntah
4. Malabsorpsi
5. Inkontinensia tinja
6. Diare
7. Sembelit
Neuropati otonom kardiovaskular dapat menghasilkan gejala berikut :
1. Persisten sinus takikardia
2. Hipotensi ortostatik
3. Aritmia sinus
4. Berkurangnya variabilitas jantung dalam menanggapi pernapasan dalam
5. Sinkop pada perubahan posisi dari telentang ke posisi berdiri
9
Neuropati kandung kemih (yang harus dibedakan dari kelainan prostat atau tulang belakang)
dapat menghasilkan gejala berikut:
1. Aliran urin yang buruk
2. Merasa tidak lampias
3. Tegang untuk mengeluarkan urin
Sudomotor neuropati dapat menghasilkan gejala berikut:
1. Intoleransi panas
2. Berkeringat berat pada kepala, leher dan ekstremitas
Melitus.
Gambar 2-1 Perbedaan manifestasi klinis dari neuropati diabetes (Modified from Pickup J, Williams G [eds]. Textbook of
5
Diabetes, Vol 1. Oxford, UK, Blackwell Scientific, 1997.)
Polineuropati sensorik-motorik simetris, bentuk ini paling sering dijumpai, keluhan dapat
dimulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Polineuropati biasanya memiliki
karakteristik :
10
Gambar 2-2 Perbedaan manifestasi klinis neuropati serat besar dan kecil fibroneuropathy. ADL, activities of daily living;
QOL, quality of life. (Adapted from Vinik AI, Mehrabyan A. Diabetic neuropathies. Med Clin North Am 2004;88:947-999.) 5
2) Parestesia selalu terjadi pada jari kaki atau telapak kaki, terutama pada malam hari. Ada
6) Saat kondisi berkembang, terjadi paresis extensor jari kaki pada dorsum kaki.
PEMERIKSAAN FISIK
Pasien dengan gejala neuropati distal, motorik, atau fokal (misalnya, entrapment or
noncompressive) harus mencakup penilaian untuk neuropati perifer dan otonom. Pengujian
untuk neuropati perifer dimulai dengan penilaian sentuhan ringan dan sensasi pinprick. Tanda
klinis pertama yang biasanya terdapat pada sensorimotor simetris pada polineuropati adalah
penurunan atau hilangnya sensasi getaran dan pinprick di atas jari kaki. Seiring perkembangan
11
penyakit, tingkat sensasi yang menurun dapat bergerak ke atas ke kaki dan kemudian dari
tangan ke lengan, pola yang sering disebut sebagai "glove dan stoking " dalam kehilangan
sensoris. Pasien yang sangat parah mungkin kehilangan sensasi dalam distribusi di daerah dada.
Rasa getaran di kaki diuji dengan garpu tala 128-Hz yang ditempatkan di jempol kaki.
Uji sensasi pelindung dengan 5,07 Semmes-Weinstein monofilamen, secara singkat
menerapkan ujung tegak lurus terhadap permukaan plantar kaki, dengan menggunakan
kekuatan yang cukup (10 g) untuk menahan monofilamen. Ketidakmampuan untuk melihat
garpu tala atau monofilamen mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi (yaitu 60% dalam 3
tahun ke depan) mengembangkan tukak kaki. Tes ke 2 harus dilakukan setidaknya setiap tahun.
Uji refleks tendon dalam. Dengan neuropati, biasanya hipoaktif atau tidak ada. Lakukan
pengujian kekuatan dan periksa untuk atrofi otot ekstremitas ekstrem distal, karena kelemahan
otot kaki kecil dapat terjadi. Periksa pedal dorsal dan pulsa tibialis posterior.
Periksa kulit yang kering, tinea pedis, retak, onychomycoses, eritema akut dan nyeri
tekan, dan fluktuasi di bawah kapalan. Lakukan pengujian Tinel. Parestesia atau nyeri
menunjukkan cedera saraf median. Lakukan tes saraf kranial. Minta pasien berjalan di atas
tumit dan kaki; Tes tumit kaki tidak hanya kekuatan distal-ekstremitas bawah tapi juga
keseimbangan.
Uji neuropati otonom
Pengujian neuropati otonom dilakukan secara obyektif di laboratorium otonom khusus,
mengevaluasi fungsi kardiovaskular, adrenergik, dan sudomotor. Namun, klinisi pertama-tama
dapat melakukan pemeriksaan di samping tempat tidur untuk menilai apakah lebih lanjut,
diperlukan pengujian yang lebih khusus.
Pengukuran tekanan darah dan detak jantung dengan pasien telentang dan tegak
dibandingkan. Pengukuran tekanan darah pada pasien dengan neuropati otonom dapat
menunjukkan hipotensi ortostatik dengan takikardia kompensasi tambahan. Pengujian untuk
hipotensi ortostatik sangat penting pada pasien dengan diabetes mellitus yang sudah
berlangsung lama.
12
Rasio sinus aritmia (SA) diukur dengan pernapasan pasien 6 kali per menit sedangkan
detak jantung dipantau dengan strip EKG kontinu. R-R interval terpanjang selama kadaluarsa
dan interval R-R terpendek selama inspirasi diukur, dan rata-rata 6 napas diambil. Rasio SA
adalah ekspirasi R-R / R-R. Rasio normal adalah 1: 2.
2.8 Diagnosis
dalam konsensus diabetes melitus tipe 2 Tahun 2011 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria..
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Sedangkan untuk
Secara ringkas kriteria diagnosis diabetes melitus untuk dewasa tidak hamil berdasarkan
Perkeni Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 2-1 seperti yang tertera di bawah ini. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus seperti di bawah ini :
1) Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.
2) Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
13
Tabel 2-1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa diartikan
pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/l). TTGO yang dilakukan
3. dengan standar who, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ada 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan
14
pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
Keterangan gambar :
GDP = glukosa darah puasa
GDS = glukosa darah sewaktu
GDPT = glukosa darah puasa terganggu
TGT = toleransi glukosa terganggu
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau dm, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
1) TGT : diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
14
2) GDPT : diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2
polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan yang paling sering terjadi, ditandai dengan
berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) berlangsung
Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada
ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya dengan jawaban tidak ada
keluhan neuropati saja tidak cukup mengeluarkan kemungkinan adanya neuropati. Pada
evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap : 1). Refleks motorik, 2). Fungsi serabut
saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa
tekan (estesiometer dengan filament mono semmes-weinstein); 3). Fungsi serabut saraf kecil
dengan sensasi suhu; 4). Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf
Bentuk lain yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom (parasimpatis dan
simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (dan). Uji komponen parasimpatis dan dilakukan
dengan 1). Tes respons denyut jantung terhadap maneuver vasalva; 2). Variasi denyut jantung
selama napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis dan
dilakukan dengan 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); respons
15
2.9 Terapi
Strategi pengelolaan pasien diabetes melitus dengan keluhan neuropati diabetes dibagi
ke dalam 3 bagian. Strategi pengelolaan pertama adalah diagnosis nd sedini mungkin, strategi
kedua yaitu dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya, dan strategi yang
ketiga yaitu pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati diabetik. Selain itu pengendalian
neuropati diabetik perlu melibatkan banyak seperti perawatan umum, pengendalian glukosa
1) Perawatan umum/kaki
Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah trauma
Pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala merupakan langkah pertama
yang harus dilakukan, pengendalian faktor metabolik lain perlu dilakukan seperti
hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan.
neuropati.
3) Terapi medikamentosa
Untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik diabetes melitus termasuk
neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses
dan fruktosa.
b. Penghambat ACE
16
d. Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hidroksil,
Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk memahami
mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi reseptor n-methyl-d-
aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran post spinatik spinal cord dan pengeluaran
substance p dari serabut saraf besar a yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri.
Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri menjalar, dll.
Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat member terapi yang lebih
rasional, meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pada dasarnya bersifat simtomatis.
nerve stimulation.
17
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal yang mampu mengatasi nyeri neuropati
diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat anti-
depresan atau anti-konvulsan tergantung ada tidaknya efek samping. Dosis obat dapat
ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadang-kadang
kombinasi anti-depresan dan anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan regimen ini belum
atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap tidak atau
2.9 Komplikasi
Kehilangan sensasi menyebabkan cedera pada sendi, desktruksi sendi permanen (Charcot
joint), ulser pada kaki dan amputasi. Dapat menyebabkan ketidakmampuan, isolasi sosial dan
pada neuropati perifer adalah neuropati alkoholik, diabetic amyotrophy, porphyria, defisiensi
2.11 Edukasi
Edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri. Diperlukan penjelasan
tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki,
pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya neurpati diabetik pada
2.12 Prognosis
Tipe diabetes melitus yang diderita akan mempengaruhi diagnosis neuropati diabetik.
Pada NIDDM (non-insulin dependent diabetes melitus atau DM Tipe 2) memiliki prognosis
18
yang lebih baik daripada tipe IDDM (insulin dependent diabetes melitus atau DM Tipe 1).
Lama dan beratnya diabetes melitus serta lama dan beratnya keluhan neuropati yang dialami,
dan apakah sudah mengenai saraf otonom, semuanya akan menentukan prognosis neuropati
diabetik.
19
BAB III
KESIMPULAN
Polineuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronik dari Diabetes
Melitus. Dari 4 faktor (metabolik, vaskular, imun dan NGF) yang berperan pada mekanisme
patogenik adalah hiperglikemia sebagai komponen faktor metabolik yang merupakan dasar
Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan polineuropati diabetik pada pasien
glukosa darah. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan
dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri
20
DAFTAR PUSTAKA
2. Kapita Selekta Kedokteran. Diabetes Mellitus. Fakultas Kedokteran UI. Edisi Ketiga
3. Spallone V, Greco C. Painful and painless diabetic neuropathy: one disease or two?.
2006.h.172-4, 230-3.
5. http://emedicine.medscape.com/article/1170337-clinical#b3. Polineuropati
21