Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gagal jantung merupakan salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas. Akhir-akhir ini insiden gagal jantung mengalami peningkatan.
Kajian epidemiologi menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang
mendahului dan menyertai gagal jantung. Kondisi tersebut dinamakan faktor
resiko. Faktor resiko yang ada dapat dimodifikasi artinya dapat dikontrol
dengan mengubah gaya hidup atau kebiasaan pribadi dan faktor resiko yang
non modifiable yang merupakan konsekuensi genetik yang tak dapat
dikontrol, contohnya ras, dan jenis kelamin. Gagal jantung adalah keadaan
patofisiologi dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi
kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari
definisi ini adalah pertama definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan
metabolik tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan.
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler masih
menduduki peringkat yang tinggi, menurut data world healt organitation
(WHO) dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika menderita
congestif heart failure (CHF). Gagal jantung kongestif (Congestif Heart
Failure) adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh
tubuh. Risiko CHF akan meningkat pada orang lanjut usia (lansia) karena
penurunan fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat menjadi kronik
apabila disertai dengan penyakit-penyakit lain, seperti: hipertensi, penyakit
katub jantung, dan sebagainya.

1
1.2 SKENARIO
OHJANTUNGKU

Seorang laki-laki berusia 62 tahun datang ke IGD dengan keluhan


sesak, pasien mengaku keluhan diderita sejak 2 tahun yang lalu, keluhan
sesak pada awalnya terasa bila pasien malakukan aktivitas yang berat, dan
berkurang saat istirahat. Namun sejak 1 minggu yang lalu keluhan semakin
memberat dan menetap. Pasien juga mengeluhkan cepat lelah dan bengkak
pada kedua tungkainya, terkadang pandangan dirasakan kabur. Pasien
seorang perokok aktif, menderita hipertensi sejak 20 tahun, riwayat minum
obat hipertensi tidak rutin, dan tidak menderita kencing manis.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 190/110 mmHg,
Nadi 102 kali/menit, RR: 30 kali/menit, Suhu: 36,8oC dan pada pemeriksaan
jantung didapatkan iktus kordis bergeser ke lateral bawah ICS 6-7 lateral kiri
dan kuat angkat. SpO2 92%. Dari hasil pemeriksaan EKG tidak didapatkan
LVH, dan dari pemeriksaan radiologi didapatkan CTR 55% serta didapatkan
corakan bronkovaskuler bat wings.
Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada pasien ini?

2
1.3 TERMINOLOGI
1.3.1 Hipertensi
1.3.2 EKG
1.3.3 LVH
1.3.4 CTR
1.3.5 Bat Wings

1.4 RUMUSAN MASALAH


1.4.1 Jelaskan Anatomi dan Fisiologi Jantung!
1.4.2 Bagaimana Interpretasi Kasus skenario?
a. Bagaimana mekanisme terjadinya sesak dan bengkak pada kedua
tungkai serta hubungannya dengan kelainan pada pasien di
skenario?
b. Mengapa pasien terkadang merasa pandangannya kabur?
c. Apa hubungan riwayat merokok dan riwayat hipertensi dengan
keluhan pada pasien di skenario?
1.4.3 Bagaimana Interpertasi Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan EKG
pasien diskenario ?
1.4.4 Jelaskan diagnosis banding pada skenario!
1.4.5 Jelaskan diagnosis kerja pada skenario!

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TERMINOLOGI
2.1.1 Hipertensi adalah sebagai suatu kondisi dimana tekanan darah sistolik
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, pada
pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan
pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.
2.1.2 EKG (Elektrokardiogram) adalah Rekaman potensial listrik yang
timbu; sebagai akibat aktivitas jantung.
2.1.3 LVH (Left Ventrikel Hypertropy) adalah Penebalan atau penambahan
massa otot atau miokardium dari ventrikel kiri sebuah jantung
2.1.4 CTR (Cardio Thoracic Ratio) adalah Suatu cara pengukuran besarnya
jantung dengan mengukur perbandingan antara ukuran jantung dengan
lebarnya rongga dada pada foto thorax proyeksi PA
2.1.5 Bat Wings adalah Gambaran sayap kelelawar atau kupu-kupu

2.2 PEMBAHASAN
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung
Anatomi
A. Ruang-ruang jantung :
Terdiri dari rongga utama dan aurikula di luar, bagian dalamnya
membentuk suatu rigi atau krista terminalis. Bagian utama atrium
yang trletak posterior terhadap rigi terdapat dinding halus yang secara
embriologis berasal dari sinus venosus. Bagian atriium yang terletak
di depan rigi mengalami trabekulasi akibat berkas serabut otot yang
berjalan dari krista terminalis.
1. Atrium dextra
Merupakan ruangan jantung yang menerima darah kotor dari vena
cava inferior dan vena cava superior. Vena cava superior
mengirim pasokan darah terdeoksigenisasi dari bagian tubuh atas,
sedangkan vena cava inferior dari bagian tubuh bawah.

4
2. Atrium sinistra
Terdiri dari rongga utama dan aurikula, terletak di belakang
atrium kanan membentuk sebagian besar basis, di belakang
atrium sinistra terdapat sinus obliqque perikardium serosum dan
perikardium fibrosum. Bagian dalam atrium sinistra halus dan
bagian aurikula mempunyai rigi otot seperti aurikula dextra.
3. Ventrikel dextra
Berhubungan dengan atrium kanan melalui osteom artiventrikuler
dextrum dan dengan traktus pumonalis memalui osteom
pulmonalis. Dinding ventrikel kanan jauh lebih tebal dari atrium
kanan.
4. Ventrikel sinistra
Ventrikel kiri berhubungan dengan atrium sinistra melalui osteom
atriventrikuler sinistra dan dengan aorta melalui osteom aorta.
Dinding ventrikel sinistra 3 kali lebih tebal dari ventrikel kanan.
Keempat katup jantung berfungsi untuk mempertahankan
aliran darah searah melalui bilik-bilik jantung. Ada dua jenis
katup: katup atrioventrikularis (AV), yang memisahkan atrium
dengan ventrikel dan katup semilunaris, yang memisahkan arteria
pulmonalis dan aorta dari ventrikel yang bersangkutan. Katup-
katup inimembuka dan menutup secara pasif menanggapi
perubahantekanan dan volume dalam bilik dan pembuluh darah
jantung.
Daun-daun katup atriventrikularis halus tetapi tahan lama.
Katup trikuspidalis yang terletak antara atriumdan ventrikel kanan
mempunyai tiga buah daun katup.katup mitralis yang
memisahkan atrium dan ventrikel kiri merupakan katup
bikuspidalis dengan dua buah daun katup.
Kedua katup semilunaris sama bentuknya. Katup initerdiri
dari tiga daun katup simetris menyerupai corong yang tertambat
kuat pada anulus fibrosus. Katup aorta terletak antara ventrikel

5
kiri dan aorta, sedangkan katup pulmonalis terletak antara
ventrikel kanan dan arteriapulmonalis.
B. Jantung terdiri dari 3 lapisan, yaitu :
1. Perikardium
Lapisan yang merupakan kantong pembungkus jantung, terletak
di dalam media stinum minus, terletak di belakang korpus sterni
dan rawan iga II-VI. Perikardium dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Perikardium fibrosum (viseral)
Bagian kantong yang membatasi pergerakan jantung terikat
di bawah sentrum tendinium diafragma, bersatu dengan
pembuluh darah besar, melekat pada sternum melalui
ligamentum sternoperikardial.
b. Perikardium serosum (perietal)
Dibagi menjadi 2 bagian, yaitu perikardium perietalis yang
membatasi perikardium fibrosum, sering disebut epikardium,
dan perikardium viseral (kapitas perikardialis) yang
mengandung sedikit cairan yang berfungsi melumas untuk
mempermudah pergerakan jantung. Di antara dua lapisan
jantung ini terdapat lendir sebagai pelicin untuk menjaga agar
pergeseran antara perikardium tersebut tidak menimbulkan
gangguan terhadap jantung. Pada permukaan posterior
jantung terdapat perikardium serosum sekitar vena-vena besar
membentuk sinus obligus dan sinus transversus.

2. Myokardium
Lapisan otot jantung yang menerima darah dari arteri koronaria.
Arteri koronaria kiri bercabang menjadi arteri descenden arterior
dan arteri sirkumpleks. Arteri koronaria kanan memberikan
darah untuk sinoatrial node, ventrikel kanan, permukaan
diafragma ventrikel kanan. Vena koronaria mengembalikan
darah ke sinus kemudian bersirkulasi langsung ke dalam paru.

6
Susunan mikardium:
a. Susunan otot atrium
Sangat tipis dan kurang teratur, serabut-serabutnya disusun
dalam dua lapisan. Lapisan luar mencakup kedua
atria.serabut luar ini paling nyata di bagian depan atria.
Beberapa serabut masuk ke dalam septum atrioventrikular.
Lapisan dalam terdiri dari serabut-serabut berbentuk
lingkaran.

b. Susunan otot ventrikuler


Membentuk bilik jantung dimulai dari cincin
atrioventrikular sampai ke apex jantung.

c. Susunan otot atrioventrikular


Merupakan dinding pemisah antara serambi dan bilik
(atrium dan ventrikel).

3. Endokardium (permukaan dalam jantung)


Dinding dalam atrium diliputi oleh membran yang mengilap,
terdiri dari jaringan endotel atau selaput lendir endokardium,
kecuali aurikula dan bagian depan sinus vena kava. Di sini
terdapat bundelan otot paralel berjalan ke depan krista. Ke arah
aurikula dari ujung bawah krista terminalis terdapat sebuah
lipatan endokardium yang menonjol dikenal sebagai valvula
vena cava inferior, berjalan di depan muara vena inferior
menuju ke tepi disebut fossa ovalis. Antara atrium kanan dan
ventrikel kanan terdapat hubungan melalui orivisium artikular.
Fisiologi Jantung

Setiap denyut jantung mempunyai dua fase (tahap), systole ketika


jantung memompa atau berkontraksi dan diastole ketika bilik-bilik jantung
diisi dengan darah pada saat otot jantung berelaksasi.

7
Adapun proses sirkulasi darah pada jantung yaitu:

1. Darah memasuki atrium kanan dari tubuh melalui vena cava superior
dan vena cava inferior yang banyak mengandung CO2.
2. Atrium kanan berkontraksi sehingga darah masuk ke dalam ventrikel
kanan melalui katup trikuspid.
3. Denyut jantung systolic mengirim darah melalui klep pulmonary,
yang memisahkan ventrikel kanan dan arteri pulmonary, ke paru-paru.
4. Didalam paru, oksigen diantar ke sel-sel darah merah dan karbon
dioksida, produk limbah dari metabolisme, dikeluarkan.
5. Darah yang mengandung oksigen kembali ke atrium kiri.
6. Atrium kiri berelaksasi sehingga darah mengalir melalui klep mitral
ke dalam ventrikel kiri.
7. Denyut jantung sistolik menyebabkan ventrikel kiri jantung
berkontraksi dan mengirim darah melalui klep aorta yang memisahkan
ventrikel kiri dan aorta.
8. Darah keluar melalui aorta ke seluruh tubuh mengantar oksigen ke
jaringan-jaringan tubuh.

Gambar 1 Gambaran skematik aliran darah sistem cardiovasculer

8
2.2.2 Interpretasi kasus pasien skenario
a. Mekanisme terjadinya sesak dan bengkak pada kedua tungkai
serta hubungannya dengan kelainan pada pasien di skenario
Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel, keadaan
ini menyebabkan meningkatnya tekanan pada vena pulmonalis
sehingga menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal
jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik, sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan
edema perifer, hepatomegali dan distensi vena jugularis.

b. Mengapa pasien terkadang merasa pandangannya kabur


Pandangan kabur pada skenario bisa disebabkan oleh
peningkatan tekanan darah yang dalam jangka waktu lama akan
menyebabkan kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi,
dengan arteri yang besarnya tudak teratur, eksudat pada retina, edema
dan perdarahan retina sehingga terjadinya gangguan nutrisi atau
vaskularisasi maupun oksidasi, pemberian oksigen dari darah yang
kurang mencukupi untuk kebutuhan jaringan mata, yang akan
menyebabkan terjadinya pandangan seperti terasa kabur.

c. Hubungan riwayat merokok dan riwayat hipertensi dengan


keluhan pada pasien di skenario
Seseorang dengan riwayat hipertensi akan terjadi peningkatan
tekanan pada darah sistemik sehingga akan menaikkan resistensi
terhadap pemompaan di ventrikel kiri ke aorta, yang dimana nanti
akan menyebabkan beban kerja jantung akan bertambah. Karena
beban kerja jantung bertambah akan menyebabkan ventrikel kiri untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi. Akan tetapi, lama-kelamaan terjadi
dilatasi atau payah jantung atau gagal jantung. Terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen pada miokard akibat hipertrofi ventrikel dan

9
peningkatan beban kerja jantung, serta diperparah oleh aterosklerosis
koroner yang menyebabkan infark miokard. Gagal jantung
menurunkan curah jantung (suplai darah menurun) sehingga terjadi
hipoksia di jaringan. Sebagai mekanisme kompensasinya, denyut
jantung dipercepat. Akan tetapi, terjadi elevasi ventrikel kiri dan
tekanan atrium yang menuju ke peningkatan tekanan kapiler pulmonal
yang menyebabkan edema paru. Edema paru dapat berimbas pada
terjadinya dispnea.

2.2.3 Interpretasi Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan EKG pasien di


scenario
a. Pemeriksaan fisik
1. Tekanan darah : 190/110 mmHg (hipertensi derajat 3 dimana
sistol >180 dan diastole >100)
2. Nadi:102 kali/menit (Takikardi diamana normal nya 60-100
kali/menit)
3. Pernapasan:30 kali/menit (Diaspneu dimana normal 16-20
kali/menit)
4. Suhu :36,5C (Suhu normal)
5. Sp02 92%:Normal
6. LVH:tidak di dapatkan pada pemeriksaan EKG
7. CTR 55%:(kardiomegali dimana normal dari CTR <50%)
8. Corakan bronkovaskuler bat wings: menunujakan adanya
pelebaran pembuluh darah pada daerah bagian thoraks

10
b. Pemeriksaan EKG

1. Irama: sinus
2. Frekuensi jantung: 300 =150x/menit (Takikardi)
2
3. Gelombang P : positif di lead AVF, V2 sampai V6 morfologi
normal selalu di ikuti kompleks QRS
4. Axis kompleks QRS : irregular
5. Morfologi kompleks QRS : sempit dan durasinya tidak lebih dari
3 kotak kecil atau kurang dari 0,12 detik (takikardi)
6. Segmen ST: ST elevasi lead II,III.

2.2.4 Diagnosis Banding


a. Gagal jantung Kongestif
Definisi
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrien.

Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa


kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau

11
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang
sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.

Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1. Kelainan otot jantung


Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung.
Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot
mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan
penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara
langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas
menurun
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung

12
yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung.
Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah
yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan
jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium,
perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak
afterload.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia diperlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan
suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik
dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.

Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya
melibatkan satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik
akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memompa
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai
dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang
nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi
jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal
adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari
jantung atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan
beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk
meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan
pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini
juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang
akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system

13
saraf adrenergik.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk
memompa (pump function) dengan kontraktilias otot jantung
(myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan beban
berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa
terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak
tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang
ringan. Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di
dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin
vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi
untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan
kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume
darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme
kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk
sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan
peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung
melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi,
peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi
jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi
gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel
menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan
retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung
yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace).
Jika persediaan energi terbatas (misal pada penyakit koroner)
selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu
kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel.
Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi
sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter.

14
Disamping itu keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu
etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang
akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan
irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung. Beberapa data
menyebutkan bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik
menunjukan peningkatan presentase kematian jantung mendadak,
karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel
menurun.WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa
terjadi akibat penurunan fungsi mekanis jantung, seperti
penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli
sistemik (emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah
disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi
gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan
curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep
curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR X
SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume
sekuncup.
Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf
simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume
sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan
masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung,
volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih
dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap
kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu:
1. Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah
yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang

15
ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2. Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi
yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium.
3. Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di
hasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
di timbulkan oleh tekanan arteriole.

Klasifikasi
Beberapa klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Klasifikasi tersebut antara
lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark
Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu
klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.

1. Klasifikasi fungsional NYHA ( New York Heart Assoaciation )


Klasifikasi fungsional gagal jantung berdasakan kelugah sesak
nafas menurut New York Heart Association dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart
Association
Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik.
Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi, atau sesak
Kelas II Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas

Kelas III Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan


saat istirahat tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, paplpitasi atau sesak.

16
Kelas IV Tidak terdapat batasan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktivitas

2. Klasifikasi ACC / AHA ( American College of Cardiology /


American College Heart Association )
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung menurut American College of
Cardiology / American College Heart Association
Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal
jantung. Tidak terdapat gangguan fungsional jantung, tidak
terdapat tanda atau gejala

Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang


berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak
terdapat tanda atau gejala

Stadium C Gagal jantung yang symtomatis berhubungan dengan


penyakit struktural jantung yang mendasari

Stadium D Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung


yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah
mendapat terapi medis maksimal

Manifestasi Klinis
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :
1. Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal
nocturnal dyspnea.
2. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi,
mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer.
3. Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala,

17
mimpi buruk sampai delirium.
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan
gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru,
peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai Secara lebih rinci
dapat dilihat di Tabel 6.

Tabel 3. Gambaran klinis Gagal Jantung Kanan dan Gagal


Jantung Kiri

Gambaran klinis gagal jantung Gambaran klinis gagal jantung


kiri kanan

Gejala : Gejala :

1. Penurunan kapasitas aktivitas 1. Pembengkakan pergelangan kaki


2. Dipsnu (PND) 2. Dipsnu (bukan PND)
3. Letargi atau kelelahan 3. Nyeri dada
4. Penurunan nafsu makan dan berat
4. Penurunan aktivitas
badan Tanda :
Tanda :
1. Denyut nadi meningkat
1. Kulit lembab 2. Peningkatan JVP
2. TD meningkat, rendah atau
3. Edema
normal 4. Hepatomegali dan asites
3. Denyut nadi (takikardi/aritmia) 5. Gerakan bergelombang parasternal
4. Pergeseran apeks 6. S3 atau S4 RV
5. Efusi pleura 7. Efusi pleura

Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis


gagal jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal
jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria
minor. Adapun kriterianya adalah sebagai berikut:

18
1. Kriteria mayor terdiri dari:
a) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
b) Peningkatan vena jugularis
c) Ronchi basah tidak nyaring
d) Kardiomegali
e) Edema paru akut
f) Irama derap S3
g) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O
2. Kriteria minor terdiri dari:
a) Edema pergelangan kaki
b) Batuk malam hari
c) Dyspnea
d) Hepatomegali
e) Efusi pleura
f) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum
g) Takikardi (>100 x/ menit)

Diagnosis ditegakkan jika terdapat dari dua kriteria mayor atau


satu kriteria mayor dan dua kriteria minor harus ada di saat
bersamaan.

b. Krisis Hipertensi
Definisi
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang
neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat.
Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan
sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan
komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan
membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang
mengancam jiwa.

19
Etiologi dan patofisiologi
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular,
berupa disfungsi endotel, remodeling , dan arterial striffness. Namun
faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih
belum dipa-hami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan
darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan
jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat
kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi
autoregulasi.
Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh
terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan
perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai
tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik
akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah
otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari
aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan
terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
pingsan dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan
usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke
kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi
pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).

20
Gambar 2. kurva autoregulasi pada tekanan darah
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada
penderita hipertensi dengan yang nor-motensi. Didapatkan penderita
hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara grup
normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi
terkontrol cenderung meng-geser autoregulasi ke arah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi
maupun hipertensi, diperkirakan bahwa batas terendah dari
autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh
karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada
penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung
kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi
ensefalo-pati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk
pasien dengan infark serebri akut atau-pun perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus
dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.

21
Klasifikasi
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi
peningkatan darah akut. Definisi yang paing sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik >
120 mmHg secara mendadak di-sertai kerusakan organ target.
Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi
intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi
namun tanpa disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini
tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi krisis antara
lain:
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang
efektif ( triple drug) pada penderita dan kepatu-han pasien.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan
kelain-an funduskopi. Bila tidak diobati da-pat berlanjut ke fase
maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi de-ngan tekanan darah diastolik >
120-130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema,
peninggian te-kanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari
vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak
mendapatkan pengobatan. Hi -pertensi maligna biasanya pada
pen-derita dengan riwayat hipertensi e-sensial ataupun sekunder

22
dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan
darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan
sakit kepala yang hebat, penurunan kesa-daran dan keadaan ini
dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan
kerusakan organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis
berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis
dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala,
penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa
hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati
didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati
dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun
papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi
kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut
miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien
yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa
saja terjadi.

Gambar 3. Papiledema.

23
Kriteria Krisis Hipertensi

Gambar 4. Hipertensi Emergensi (Darurat)

Gambar 5. Hipertensi Urgensi (Mendesak)

2.2.5 Diagnosis Kerja


Diagnosis kerja pada pasien di skenario adalah gagal jantung kongestif
a. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk


mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12
lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide,
angiografi dan tes fungsi paru.

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya


pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%),
gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada
tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg

24
dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis
Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25
mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang
menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak
gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih
banyak terkena adalah bagian kanan.

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran


abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung,
meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus.
Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,
abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch
block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada
keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal
jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil
kemungkinannya.

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang


sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat
menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi
jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah :
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang
berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri
(infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia).
Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik,
fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta
mengetahui risiko emboli.

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan


anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui
adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang

25
berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga
dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk
mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya
stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin
setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan
diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria.

Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa


suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia
timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal,
penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada
gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil
lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.

Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi


dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.

Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal


jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi
yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik,
sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan
sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.

b. Terapi
1. Terapi pertama. Yang dapat dilakukan adalah mengoreksi atau
stabilisasi berbagai keabnormalan yang terjadi yang dapat
menginduksi munculnya CHF, misalkan iskemia dapat dikontrol

26
dengan terapi medis atau pembedahan, hipertensi harus selalu
terkontrol, dan kelainan pada katup jantung dapat ditangani
dengan perbaikan pada katup tersebut.
2. Terapi non farmakologis. Dapat dilakukan dengan restriksi
garam, penurunan berat badan, diet rendah garam dan rendah
kolesterol, tidak merokok, olahraga.
3. Terapi farmakologis
a) Diuretics
b) Vasodilator Drugs
Nitrate (isosorbide)
Hydralazine (terutama apabila ditambah dengan regimen
digoxin dan terapi diuretic)
Ace inhibitors (captopril, enalapril) : obat ini bekerja
dengan menghambat conversi angiotensin 1 menjadi
angiotensin 2 melalui angiotensinconverting enzyme
(ACE).
ACE2 reseptor blocker (losartan) : obat ini mengeblok
reseptor A2, menyebabkan vasodilatasi dan menghambat
proliferasi dari sel otot. Obat ini biasanya digunakan pada
pasien yang intolerance terhadap ACE inhibitor, akibat
efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu batuk.
c) Inotropic Drugs Digitalis glycosides (digoxin)
d) Beta blockers Obat ini memiliki fungsi untuk memperbaiki
fungsi ventrikel kiri, gejala, dan functional class, serta
memperpanjang survival dari pasien CHF.beta blocker juga
memiliki peranan dalam memodifikasi cytokine (interleukin-
10, tumor necrosis alpha (TNF-alpha) dan soluble TNF
reseptor (sTNF-R-1 dan R2) pada pasien dengan
kardiomiopati.
Indikasi pemakaian beta blocker:

27
1) Pasien yang tergolong dalam klas II dan III , klasifikasi
NYHA.
2) Hindari terapi ini pada pasien dengan NYHA klas I atau
IV.
3) Sebelum menambahkan beta blocker, pastikan bahwa
pasien stabil dan dalam terapi standard gagal jantung.
4) Mulai pemakaian terapi betablocker dengan memakai
dosis rendah (carvedilol 3.125 mg PO bid; metoprolol
CR/XL, 12.5 mg PO qd; bisoprolol, 1.25 mg PO qd) e.
tingkatkan dosis dengan interval waktu 2 sampai 3
minggu (carvedilol, 25-50 mg PO bid; metoprolol
CR/XL, 200 mg PO qd; bisoprolol, 10 mg PO qd)

Kontraindikasi pemakaian beta blocker terapi pada CHF:

Peningkatan berat badan


Peningkatan dosis diuretic
Kebutuhan untuk diuretik intravena ataupun obat
inotropik
Didapatkan keadaan yang kian memburuk dari CHF
Bronchial asma atau emphysema
Bradycardi
Hipotensi
Blok jantung derajat pertama dan ketiga
e) Aldosterone antagonis contoh spironolactone sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien dengan gagal jantung berat dan
tidak ada kecurigaan adanya renal insufficiency atau
hiperkalemia.
f) Antiarrhythmic Therapy
g) Anticoagulant Therapy (untuk mengurangi resiko terjadinya
emboli pada pasien dengan atrial fibrilasi, tapi tidak

28
diindikasikan pada pasien yang aktif dan tidak punya riwayat
emboli).

4. Terapi Infasif
a) Coronary Reperfusion, terutama pada akut gagal jantung
berulang dihubungkan dengan edema pulmonary.
b) Valvular Heart Disease.
c) Reduction ventriculoplasty meliputi eksisi pada bagian dari
otot ventrikel kiri yang diskinetik. Hal ini biasanya dilakukan
pada gagal jantung klas akhir.
d) Transmyocardial laser revascularization
e) Prosedur operasi perbaikan fungsi jantung
1) intra-aortic balloon pump
2) permanent implantable balloon pump
3) total artificial heart
f) Transplantasi Jantung (terapi paling efektif pada keadaan
gagal jantung berat).

29
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi berdasarkan kasus pada skenario dapat disimpulkan bahwa pasien
di skenario mengalami penyakit Gagal Jantung Kongestif disertai Krisis
Hipertensi. Seperti yang diketahui bahwa gagal jantung kongestif adalah
kondisi dimana jantung tidak lagi mampu memompakan darah ke jaringan
untuk memenuhi metabolisme tubuh walaupun darah balik masih normal.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab terbanyak dapat
disebabkan oleh penyakit arteri koroner, hipertensi, penyakit jantung katup
dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Untuk penanganannya dapat
dilakukan beberapa terapi yakni terapi pertama, terapi non farmakologis,
terapi farmakologis dan terapi infasif.
.

30
Daftar Pustaka

Devicasarea, Asnelia. 2014. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi: FKUI.


Vol.27, No.03:9-17.
Guyton and Hall. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran-edisi 11. Jakarta : EGC
hlm : 107
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007.
Diagnosis dan Tatalaksana Praktis Gagal Jantung Akut.
National Clinical Guideline Centre. 2010. Chronic Heart Failure: National
Clinical Guideline for Diagnosis and Management in Primary and
Secondary Care: Partial Update. National Clinical Guideline Centre: 34
47.
Price, A. Sylvia, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2014. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Interna
Publishing/FKUI.

31

Anda mungkin juga menyukai