Anda di halaman 1dari 13

FRAKTUR BASIS CRANII

Disusun Oleh:
Muhammad Reza Wardana
NIM 1510029019

Pembimbing:
dr. Arie Ibrahim, Sp.BS

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Laboratorium Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
2017

1
Pendahuluan

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat


benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau
mandibula; atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang tekanan
yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).2
Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan
oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda
paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban
inersia oleh kepala.3
Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai
dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur
basis cranii fossa anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di sekitar
palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat
bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan
diagnosis fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap,
analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan
radiologik.4
Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan
bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera
kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak
menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusisati awal dilakukan
secara menyeluruh.4

Anatomi Basis Cranii

6,7
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii . Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital7. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat

2
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii
media dan fossa cranii posterior8.

Gambar 1. Fossa Cranii

Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di


anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis
spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan
oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina
cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini
cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius7. Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina
cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya
meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis
dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung.
Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan
subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah
satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior7.
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus
os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri

3
yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os
sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan
a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os
temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal8. Fissura orbitalis
superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis
dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n.
abducens6,7. Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan
ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani
dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera.
Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi
(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars
perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral
sinus cavernosus robek7.
Fossa cranii posterior menampung otak bagian belakang, yaitu
cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi
superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam
pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars
basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os
temporal8. Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui
oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis
assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis7. Pada fraktur fossa cranii
posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot postvertebralis.
Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu
posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat
robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis
n.IX, X dan XI dapat cedera 6,7.

Jenis Fraktur Basis Cranii


Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii.
Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan

4
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini. 4

Gambar 2. Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan


bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani.Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir
pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air
cells.Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-
90%).Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang
melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%).
Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan
transversal. Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah
diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan
nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air
cells.Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis4.

5
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul
energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada
pada ligamentum Alar.Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
Fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil.Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur
tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi
sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur
tidak stabil.4

Manifestasi Klinis

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea


dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii
fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon
eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi,
tergantung pada kondisi patologis intrakranial4.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung
lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang
dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa
tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder
dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII. Fraktur tranversal os temporal
melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus,
ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss) 4.
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan
hemiplegia atau guadriplegia.4

6
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan
nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan
fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole
(curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius.
Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan
nervus cranial IX, X, XI, dan XII4,1.

Pemeriksaan Penunjang
Studi Imaging
o Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada
kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam
menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila
tersedianya CT scan.4
o CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam
diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm,
dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan
Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital,
biasanya 3-dimensi tidak diperlukan. 4
o MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai
tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan
vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan
menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya
kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik
dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan
gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut halo
atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa
kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin4.

7
Tatalaksana
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan
struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu,
Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus
menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan
fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa
antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri4 .
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural
pada neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan
fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari
fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang
lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan
antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus
ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif
dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.5

Tatalaksana Umum
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:
Penatalaksanaan :4
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena
efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg

2. Mengontrol tekanan perfusi otak


Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik
dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi secara

8
adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit.Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar
35%.Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular.Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin
sering diberikan untuk membatasi nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan
mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah
peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada
endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat
memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar
6-9 % untuk a harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
6. mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma ,
menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural ,
adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila
terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid
pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline
membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter
hemodinamik . 8. posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.
8. Merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:

9
GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam
penurunan skor GCS terutama respon motoric
tanda-tanda neurologis fokal progresif
kejang tanpa pemulihan penuh
cedera penetrasi
kebocoran cairan serebrospinal

B. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi
komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan
pneumocephalus dengan fistula.3,6

Fistula cairan serebrospinal


Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan
otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya
trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi
konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi.Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas
berat.Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior.CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari
tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus.Kadang-
kadang pada fraktur bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba
Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran
dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus

Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest


dengan posisi kepala lebih tinggi.Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan
melakukan aktivitas berat.Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic

10
dan steroid.Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-
rachnoid secara berkelanjutan.Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah
infeksi.Pendekatan pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara
bedah sinus endoskopi.Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan
kraniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah
temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital
posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran.Keuntungan teknik
ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila
dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien
yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian
teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti
edema, hematoma dan perdarahan.Disamping itu dapat terjadi anosmia yang
permanen.Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa
Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior
dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan
pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal
sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan
teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang
rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%.Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang
abnormal.Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi.Fraktura tulang petrosa
diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya
terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura
adalah campuran.Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan
pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar.Pasien dengan
fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,

11
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori.Paresis fasial tampil hingga
pada 50 persen pasien.Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering
dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf
fasial.Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam
seminggu.Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen,
dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak
berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab
paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S.
Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya
angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah
digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena
pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas
dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi
vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat
tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun
meropenem.
Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui
menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui
cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang
meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang
terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari : operasi untuk membedakan
udara intracranial. Serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelegburg positif.

12
DAFTAR PUSTAKA
1. Legros B, Fournier P, Chiaroni P, Ritz O, Fusciardi J. Basal fracture of the skull
and lower (IX, X, XI, XII) cranial nerves palsy: four case reports including two
fractures of the occipital condyle--a literature review. J Trauma. Feb
2000;48(2):342-8.
2. Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
3. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture. Biomechanical of
basilar skull fracture. On ATSB Research and analysis report road safety
research grant report 2007-03. Australia 2007
4. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull
fracture. On emedicine health 2009. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/248108- clinicalmanifestations last
update 10 mei 2011
5. Villalobos T, Arango C, Kubilis P, and Rathore M. Antibiotic Prophylaxis After
Basilar Skull Fractures: A Meta-Analysis; a review article On
cid.oxfordjournals.org. 1998
6. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
7. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto
H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.740-59 8.
8. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC;2003.

13

Anda mungkin juga menyukai