Fraktur Basis Kranii
Fraktur Basis Kranii
Disusun Oleh:
Muhammad Reza Wardana
NIM 1510029019
Pembimbing:
dr. Arie Ibrahim, Sp.BS
1
Pendahuluan
6,7
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii . Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital7. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
2
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii
media dan fossa cranii posterior8.
3
yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os
sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan
a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os
temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal8. Fissura orbitalis
superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis
dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n.
abducens6,7. Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan
ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani
dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera.
Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi
(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars
perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral
sinus cavernosus robek7.
Fossa cranii posterior menampung otak bagian belakang, yaitu
cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi
superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam
pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars
basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os
temporal8. Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui
oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis
assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis7. Pada fraktur fossa cranii
posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot postvertebralis.
Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu
posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat
robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis
n.IX, X dan XI dapat cedera 6,7.
4
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini. 4
5
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul
energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada
pada ligamentum Alar.Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
Fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil.Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur
tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi
sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur
tidak stabil.4
Manifestasi Klinis
6
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan
nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan
fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole
(curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius.
Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan
nervus cranial IX, X, XI, dan XII4,1.
Pemeriksaan Penunjang
Studi Imaging
o Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada
kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam
menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila
tersedianya CT scan.4
o CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam
diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm,
dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan
Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital,
biasanya 3-dimensi tidak diperlukan. 4
o MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai
tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan
vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan
menggunakan CT scan4.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya
kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik
dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan
gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut halo
atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa
kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin4.
7
Tatalaksana
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan
struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat
dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu,
Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus
menerus tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan
fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa
antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri4 .
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural
pada neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan
fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari
fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang
lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan
antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus
ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif
dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.5
Tatalaksana Umum
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:
Penatalaksanaan :4
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena
efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg
8
adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit.Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar
35%.Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir
neuromuscular.Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin
sering diberikan untuk membatasi nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan
mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah
peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada
endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat
memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar
6-9 % untuk a harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
6. mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma ,
menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural ,
adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila
terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid
pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline
membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter
hemodinamik . 8. posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.
8. Merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:
9
GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam
penurunan skor GCS terutama respon motoric
tanda-tanda neurologis fokal progresif
kejang tanpa pemulihan penuh
cedera penetrasi
kebocoran cairan serebrospinal
B. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi
komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan
pneumocephalus dengan fistula.3,6
10
dan steroid.Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-
rachnoid secara berkelanjutan.Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah
infeksi.Pendekatan pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara
bedah sinus endoskopi.Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan
kraniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah
temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital
posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran.Keuntungan teknik
ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila
dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien
yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian
teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti
edema, hematoma dan perdarahan.Disamping itu dapat terjadi anosmia yang
permanen.Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa
Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior
dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan
pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal
sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan
teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang
rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%.Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang
abnormal.Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi.Fraktura tulang petrosa
diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya
terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura
adalah campuran.Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan
pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar.Pasien dengan
fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
11
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori.Paresis fasial tampil hingga
pada 50 persen pasien.Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering
dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf
fasial.Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam
seminggu.Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen,
dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak
berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab
paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S.
Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya
angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah
digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena
pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas
dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi
vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat
tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun
meropenem.
Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui
menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui
cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang
meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang
terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari : operasi untuk membedakan
udara intracranial. Serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelegburg positif.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Legros B, Fournier P, Chiaroni P, Ritz O, Fusciardi J. Basal fracture of the skull
and lower (IX, X, XI, XII) cranial nerves palsy: four case reports including two
fractures of the occipital condyle--a literature review. J Trauma. Feb
2000;48(2):342-8.
2. Listiono L D. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi III; Cedera Kepala Bab 6.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
3. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture. Biomechanical of
basilar skull fracture. On ATSB Research and analysis report road safety
research grant report 2007-03. Australia 2007
4. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull
fracture. On emedicine health 2009. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/248108- clinicalmanifestations last
update 10 mei 2011
5. Villalobos T, Arango C, Kubilis P, and Rathore M. Antibiotic Prophylaxis After
Basilar Skull Fractures: A Meta-Analysis; a review article On
cid.oxfordjournals.org. 1998
6. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
7. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto
H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.740-59 8.
8. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC;2003.
13