Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan tentang Gagal Jantung


1. Definisi
Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala klinis yang terjadi akibat

ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebtuhan

jaringan akan oksigen dan nutrisi. (Smeltzer & Bare, 2010).

Gagal jantung adalah kumpulan gejala klinis kronik yang terjadi saat jantung

tidak mampu memompa darah ke dalam sistem sirkulasi sehingga organ tubuh tidak

mendapat cukup oksigen dan nutrisi. (Burrai, Hasan, Fancourt, Luppi, & Somma, 2016).

2. Etiologi
Saat terjadi kondisi gagal jantung, curah jantung tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan tubuh atau dapat memenuhi kebutuhan hanya dengan peningkatan tekanan

pengisian (preload). Mekanisme kompensasi mungkin mampu untuk mempertahankan

curah jantung saat istirahat, namun mungkin tidak mencukupi saat menjalani aktivitas.

Fungsi jantung akhirnya menurun dan gagal jantung menjadi berat (dekompensata). Gagal

jantung disebabkan oleh kondisi yang melemahkan atau merusak miokardium. Gagal

jantung dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari jantung (misalnya penyakit atau

faktor patologis intrinsik atau dari faktor eksternal. (Aaronson & Ward, 2010)
Menurut Loscalzo (2014), ada beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung,

yaitu:
a. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung disebabkan karena

menurunnya kontraktilitas otot jantung.


b. Aterosklerosis koroner
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi otot jantung karena terganggunya

aliran darah ke otot jantung. Dengan adanya disfungsi otot jantung maka akan

mengakibatkan kontraktilitas menurun.


c. Hipertensi sistemik atau pulmonal

Adanya peningkatan tekanan darah menyebabkan meningkatnya beban kerja jantung

yang pada akhirnya menyebabkan hipertrofi otot jantung.

d. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif


Kondisi ini secara langsung akan merusak serabut otot jantung sehingga akan

menurunkan kemampuan kontraktilitas jantung.


e. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi akibat dari adanya penyakit jantung yang secara langsung

mempengaruhi jantung. Beberapa penyakit jantung yang secara langsung dapat

menyebabkan gagal jantung antara lain tamponade, perikarditis dan stenosis katup

atrioventrikuler.
f. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal

jantung. Meningkatnyalau metabolisme, hipoksia dan anemia memerlukan

peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan

anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke otot jantung. (Loscalzo, 2014)

3. Klasifikasi
Klasifikasi fungsional dari gagl jantung dari New York Heart Association

(NYHA) merupakan klasifikasi umum yang digunakan. NYHA mengklasifikasikan

gagal jantung berdasarkan batasan fungsional sebagai berikut:


Tabel 2.1 New York Heart Association Classification of Heart Failure

Kelas Definisi Fungsional

I Tidak ada keluhan pada aktivitas sehari-hari.


Bila melakukan aktivitas berat menimbulkan sesak, Berdebar-

debar, lelah, nyeri dada. Nampak sehat bila istirahat.


II

Aktivitas fisik sangat terbatas, bila melakukan aktivitas ringan

menimbulkan sesak, Berdebar-debar, lelah, nyeri dada. Nampak


III
sehat bila istirahat.
Gejala insufisiensi jantung terlihat saat istirahat dan memberat

ketika melakukan aktivitas ringan.


IV
Sumber: (Gray, D(Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson, 2011)awkins, Morgan, &

Simpson, 2011)

Gagal jantung juga diklasifikasikan berdasarkan sisi jantung yang terkena,

yaitu atas gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan.

a. Gagal jantung kiri, yaitu berbagai kondisi yang mengakibatkan gannguan ventrikel

kiri memompa darah ke aorta.


b. Gagal jantung kanan, yaitu kondisi ketika ventrikel kanan gagal memompa total

volume diastolik ke arteri pulmonal yang menyebabkan kongesti darah di pembuluh

vena sistemik. (Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson, 2011)

Berdasarkan proses terjadi dan perkembangannya, gagal jantung dibedakan atas:

a. Gagal jantung akut (Acute Heart Failure [AHF]) adalah gagal jantung jantung yang

disebabkan oleh kegagaln mempertahankan curah jantung yang terjadi secara

mendadak. Tidak terdapat cukup waktu untuk terjadinya mekanisme kompensasi dan

gambaran klinisnya didominasi oleh edema paru akut.


b. Gagal jantung kronis (Chronic Heart Failure [CHF]) adalah gagal jantung di mana

curah jantung menurun secara bertahap , gejala dan tanda tidak terlalu jelas dan

didominasi oleh gambaran yang menunjukkan mekanisme kompensasi. (Davey, 2008)


4. Manifestasi Klinis
Menurut Ignativicius & Workman (2016), manifestasi klinis gagal jantung dibagi

berdasarkan tipe gagal jantung itu sendiri, yaitu:


a. Left-Sides Heart Failure
Tanda dan gejala gagal jantung kiri antara lain:
1) Penurunan cardiac output: kelelahan, aliguria, angina, konfusi dan gelisah,

takikardi dan palpitasi, nadi perifer lemah, pucat dan akral dingin.
2) Kongesti pulmonal: sesak napas bertambah buruk pada malam hari (paroxysmal

nocturnal dyspnea), krekels, takipnea, othopnea.


b. Right-Sided Heart Failure
Tanda dan gejala pada gagal jantung kanan adalah kongesti sistemik yaitu berupa:

distensi vena jugularis, pembesaran hati dan limpa, anoreksia, edema menetap,

distensi abdomen, asites, edema anasarka.

5. Patofisologi
Sebagian besar kondisi gagal jantung dimulai dari kegagalan ventrikel kiri yang

akhirnya berkembang menjadi kegagalan kedua ventrikel. Hal tersebut terjadi karena

kedua ventrikel ini merupakan dua sistem pompa jantung yang memiliki fungsi yang

berbeda tetapi saling berhubungan. (Ignativicius & Workman, 2016)


Gagal jantung kiri terjadi disebabkan ketidakmampuan ventrikel kiri untuk

memompakan isinya secara adekuat sehingga menyebabkan terjadinya dilatasi,

peningkatan volume akhir diastolik dan peningkatan intraventrikular pada akhir

diastolik. Kondisi ini disebut disfungsi diastolik. Hal tersebut akan berefek pada atrium

kiri di mana terjadi ketidakmampuan atrium untuk mengosongkan isinya ke dalam

ventrikel kiri dan selanjutnya tekanan pada atrium kiri pun akan meningkat. Adanya

peningkatan tekanan pada atrium akan berdampak pada vena pulmonal yang

mengalirkan darah dari paru-paru ke atrium kiri. Jika kondisi ini terus berlanjut maka

akan terjadi kongesti paru. (Hudak, Gallo, & Morton, 2010)


Gagal jantung kanan seringkali mengikuti gagal jantung kiri. Pada gagal jantung

kanan terjadi peningkatan afterload yang berlebihan pada ventrikel kanan disebabkan

karena peningkatan tekanan pulmonal s ebagai akibat dari disfungsi diastolik ventrikel
kiri. Akibatnya, darah tidak lagi dipompa secara efektif kedalam paru-paru sehingga

terjadi bendungan volume darah di atrium kanan, vena, dan sirkulasi perifer yang

kemudian akan menyebabkan kongesti sistemik. (Lilly, 2011)


Jantung yang mengalami kondisi gagal jantung akan melakukan mekanisme

kompensasi untuk mempertahankan cardiac output. Mekanisme kompensasi utama

yang digunakan meliputi:


a. Mekanisme Frank Starling
Konsep curah jantung dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV, di mana curah

jantung (CO: Cardiac Output) ditentukan oleh frekuensi jantung (HR: Heart Rate)

dan volume sekuncup (SV: Stroke Volume). Bila cardiac ouput berkurang, sistem

saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan cardiac

output. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi

jaringan yang memadai maka stroke volume yang harus menyesuaikan diri untuk

mempertahankan cardiac output. (Smeltzer & Bare, 2010)


b. Perubahan neurohormonal
Gray et.al (2011) menuliskan bahwa mekanisme kompensasi melalui perubahan

neurohormonal terjadi dengan sendirinya sebagai respon terhadap penurunan

cardiac output. Tiga dari beberapa meknaisme perubahan neurohormonal yang

terjadi adalah peningkatan adrenergic simpatik, aktivasi sistem renin-angiotensin-

aldosteron (RAA) dan peningkatan hormon antidiuretik (ADH).

c. Hipertrofi ventrikel
Hipertrofi ventrikel terjadi sebagai mekanisme terhadap ventrikel yang berdilatasi

akibat beban volume yang berlangusng lama. Kompensasi ini bertujuan untuk

meningkatkan massa elemen kontraktil dan memperbaiki kontraksi sistolik, namun

di samping itu juga berefek meningkatkan kekakuan dinding ventrikel, menurunkan

pengisian ventrikel serta fungsi diastolik. (Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson,

2011)

(Davey, 2008).
B. Tinjauan tentang Kualitas Hidup
1. Pengertian Kualitas Hidup

Definisi kualitas hidup yang disepakati secara umum adalah merupakan istilah

yang merujuk pada emosional, sosial dan kesejahteraan fisik seseorang serta

kemampuan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari (Furze, Donnison, & Lewin, 2008).

Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu mengenai keberfungsian mereka di

dalam bidang kehidupan (Gimmler & Lenk, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Kaawoan (2012), kualitas hidup didefiniskan sebagai suatu konsep yang disusun

untuk menilai bagaimana pengaruh penyakit terhadap pasien.

Kualitas hidup didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) dalam

Moser dan Riegel (2008) sebagai tahapan yang sempurna meliputi dimensi fisik,

mental dan kesejahteraan sosial, bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan saja.

(Moser & Riegel, 2008)

Model Health-Related Quality of Life (HRQoL) yang telah dikembangkan oleh

Wilson dan Cleary (dikutip dalam Dharma 2011) menjelaskan tentang hubungan

antara konsep-konsep dasar dari kualitas hidup terkait kesehatan. Ada 5 aspek yang

yang berhubungan dan dipengaruhi oleh karakteristik individu dan lingkungannya,

kelima aspek tersebut yaitu aspek biologi/fisiologi, status gejala, status fungsional,

persepsi kesehatan general, dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Berikut penjelasan setiap komponen model HRQoL (Dharma,2011):

a. Faktor biologi / fisiologi


Faktor biologi / fisiologi berkaitan dengan adanya perubahan pada fungsi sel,

organ, jaringan dan sistem organ. Faktor ini dapat dilihat pada pemeriksaan

laboratorium, EKG, dan pemeriksaan fisik secara umum.


b. Status gejala
Kondisi kesehatan seseorang ketika bermasalah maka akan dikeluhkan dalam

bentuk pernyataan subyektif. Pernyataan tersebut adalah gejala, yang terjadi akibat
hubungan atau pengaruh dari faktor biologi/fisologi, selain itu faktor budaya dan

demografi juga mempengaruhi individu berespon terhadap kesehatan.


c. Status Fungsional
Yaitu kemampuan seseorang untuk melakukan tugas sesuai perannya.

Kemampuan seseorang untuk melakukan perannya akan dipengaruhi oleh gejala

penyakit yang timbul. Semakin berat suatu gejala penyakit maka akan semakin

berkurang kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatannya sehari-hari.


d. Persepsi kesehatan general
Persepsi kesehatan general merupakan suatu integrasi dan ekspresi subjektif

individu terhadap faktor gejala yang dialaminya dan status fungsionalnya.

Persepsi kesehatan general dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam

melakukan perannya (status fungsional), karakteristik individu, dan karakteristik

lingkungannnya. Berkurangnya status fungsional menyebabkan persepsi individu

yang negatif terhadap kesehatannya secara umum. Persepsi kesehatan secara

umum merupakan hal yang penting dari perilaku sehat dan hasilnya akan

mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.


e. Kualitas hidup secara keseluruhan
Kualitas hidup merupakan indikator kesejahteraan individu secara subyektif.

Kualitas hidup secara keseluruhan juga terkait dengan bahagia atau puasnya

individu secara umum dengan kehidupannya.


f. Karakteristik individu dan lingkungan.
Karakteristik individu dan lingkungan berpengaruh terhadap semua

komponen dari model HRQoL, tetapi pengaruh paling besar adalah terhadap

persepsi kesehataan general dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Definisi HRQoL menurut Wilson dan Cleary (1995) yaitu Health Related

Quality of Life adalah bagian dari kualitas hidup yang mempresentasikan

perasaan, sikap, atau kemampuan untuk mencapai kepuasan dalam domain

kehidupan sebagai kepentingan personal yang tergangggu akibat proses penyakit

atau penurunn fungsi kesehatan (Dharma, 2011)


2. Konsep kualitas hidup pada gagal jantung
Kualitas hidup pasien gagal jantung dipengaruhi oleh beratnya gejala yang

timbul. Semakin berat suatu gejala maka semakin berkurang kemampuan fungsional

pasien. Oleh karena itu pasien dengan penyakit kronis seperti gagal jantung

mengharapkan terjadi peningkatan harapan dan kualitas hidup sehingga memiliki

kemapuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan fungsi yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari. (Furze, Donnison, & Lewin, 2008)


Health Related Quality of Life (HRQoL) pada pasien dengan gagal jantung

menjadi faktor prediktor untuk menilai hasil akhir dari kualitas hidup pasien akibat

penyakit gagal jantung. Tingkat keparahan gagal jantung dikaitkan dengan rendahnya

kualitas hidup pasien itu sendiri. (Gimmler & Lenk, 2009)

3. Alat ukur kualitas hidup gagal jantung


Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan seseorang dapat menggunakan

kuesioner yang berisi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Kualitas hidup

pasien gagal jantung diukur dengan menggunakan alat ukur spesifik yang disebut

Minnesota Living with Heart Failure Quesionnaire (MLHFQ) yaitu berupa kuesioner

yang berisi pertanyaan-pertanyaan khusus terkait dengan penyakit gagal jantung

(Mesbah, Cole, & Lee, 2002).


Rector, Kubo dan Kohn merupakan orang pertama yang menggunakan

Minnesota Living with Heart Failure Quesionnaire (MLHFQ) untuk mengetahui efek

gagal jantung terhadap kualitas hidup pasien gagal jantung Kuesioner ini juga pernah

digunakan oleh Kaawoan (2012) dalam penelitiannya dengan jumlah pertanyaan

sebanyak 20 dengan penilaian menggunakan skala Likert yaitu 1 = tidak pernah, 2 =

jarang, 3 = sering dan 4 = selalu. Hasil skor penilaian dinyatakan dalam rentang 20-80

yang sudah dilakukan uji validitas dan realibilitas sebelumnya.


C. Tinjauan tentang kesehatan mental (Mental Health)
Status mental memiliki hubungan yang kompleks antara keadaan fisik, psikologis,

dan lingkungan sosialnya (Hindle & Coates, 2011).

1. Definisi Status Mental

Status mental merupakan keadaan emosional atau kognitif yang ditunjukkan

dengan perilaku yang menonjol (Davies & Craig, 2009). Seseorang yang memiliki

kesehatan mental yang normal adalah orang yang sehat hidup produktif, kreatif, dan

memuaskan, mengalami stres internal dan eksternal yang relatif rendah, kognitif,

emosional, fisik, dan perilaku yang stabil, memiliki persepsi yang realistis, mampu

bersosialisasi dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain dan mempertahankan

kapasitas, kemampuan, dan motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik

berupa tuntutan, perubahan, dan tantangan (Fortinash & Worret, 2012).

2. Karakteristik gangguan mental

a. Masalah kesehatan mental ringan

Masalah kesehatan mental ringan memiliki krakteristik yaitu: singkat, klien dapat

mengatasi seiring berjalannya waktu, dapat ditangani dirumah oleh keluarga, tidak

membutuhkan terapi spesialistik, dan pemberian obat tidak dianjurkan untuk masalah

mental yang ringan (Davies & Craig, 2009).

c. Masalah kesehatan mental berat


Masalah kesehatan mental berat memiliki karakteristik yaitu berlangsung lama

hingga seumur hidup, menghindari kontak dengan pelayanan medis, dapat bertambah

parah jika tidak diobati, memerlukan terapi spesialis (Davies & Craig, 2009).

3. Masalah kesehatan mental

Gangguan mental meliputi beberapa penyakit seperti anxietas, depresi, demensia,

delirium, , panik, fobia, membahayakan diri sendiri, perilaku ingin bunuh diri, gangguan

bipolar, gangguan kepribadian, ketergantungan obat dan alkohol, anoreksia nervosa dan

skizofrenia (Davies & Craig, 2009). Namun gangguan kesehatan mental yang sering

terjadi pada pasien gagal jantung yaitu anxietas dan depresi. Sedangkan status kognitif

sering dihubungkan dengan usia. Adapun penjelasan mengenai anxietas, depresi dan status

kognitif yaitu sebagai berikut:

1.Kecemasan

Kecemasan adalah kondisi kejiwaan berupa rasa khawatir, rasa takut mengenai apa

yang akan terjadi baik yang menyangkut permasalahan atau hal-hal yangh aneh, ditandai

dengan penuh tekanan, perasaan tidak tenang dan pemikiran menjadi kacau yang disertai

dengan penyesalan. Kecemasan dapat diakibatkan oleh rasa panik yang berlebih sebingga

tubuh tidak dapat menyesuaikan diri terhadap situasi, dan ketidakmampuan dalam

mangambil tindakan pencegahan yang tepat terhadap bencana yang akan datang (Ramaiah,

2003) kecemasan menurut Stuart & Sundeen,1995 yang di kutip oleh Padila adalah sesuatu

yang tidak jelas dan berhubungan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak berdaya.

Kecemasan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan memberikan peringatan yang

berharga, bahkan kecemasan diperlukan untuk bertahan hidup. Kecemasan merupakan respon

emosional yang muncul akibat adanya bahaya atau ancaman baik yang berasal dari dalam
maupun dari luar. Kecemasan merupakan respon tubuh akibat keadaan yang tidak

menyenangkan yang dialami oleh setiap individu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan (Kaplan & Sadock, 2010; Tarwoto &

Wartonah, 2010) yaitu

a. Usia
Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi lebih sering

menimpa pada usia dewasa, dengan rentang usia 21-45 tahun. Semakin bertambahnya

usia, kemampuan seseorang dalam memformulasikan masalah akan semakin matang.

Seseorang yang berusia lebih tua, relatif lebih tenang dalam menghadapi situasi yang

mengancam.
b. Jenis kelamin

Umumnya laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi yang sama terhadap

gangguan jiwa. Perbedaannya hanya pada jenis gangguannya. Pada laki-laki lebih

sering terjadi kekerasan dan gangguan kepribadian anti sosial, sedangkan perempuan

pada gangguan afektif dan kecemasan.

c. Potensi stressor psikososial

Potensi stressor psikososial merupakan setiap peristiwa atau keadaan yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang tersebut perlu

beradaptasi untuk menanggulangi stressor yang timbul. Jika mekanisme koping

individu maladaptif, maka akan mengakibatkan timbulnya kecemasan, depresi dan

menarik diri.

d. Kematangan (maturitas)

Individu yang matang yaitu individu yang mengalami kematangan kepribadian

sehingga akan lebih sukar mengalami gangguan akibat stress. Keluarga pasien

gangguan jiwa yang memiliki kematangan kepribadian akan lebih sukar untuk
mengalami kecemasan. Hal ini disebabkan karena individu yang matang memiliki

kemampuan adaptasi yang optimal, yang dapat menangkal setiap munculnya stressor

sehingga respon atau perilaku terhadapnya menjadi adaptif. Sebaliknya individu

yang tidak matang akan rentan terhadap stress, karena memiliki ambang stress yang

rendah. Individu ini cenderung irritable dan mudah terpengaruh dengan adanya

stressor. Kematangan kepribadian lebih banyak dipengaruhi faktor internal dan

eksternal, seperti tipe kepribadian, pengalaman hidup dan ketersediaan dukungan

sosial.

e. Tingkat pendidikan
Ketika seseorang memilki tingkat pendidikan rendah, terjadi penurunan kemampuan

kognitif dalam mempersepsikan munculnya stresor. Individu tersebut akan relatif

lebih rentan dalam menerima stres. Pendidikan akan menjadi suatu tolak ukur

kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Stuart

dan Laraia, 2008). Seseorang dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima

informasi, mudah mengerti dan mudah menyelesaikan masalah (Notoatmodjo,

2007). Tingkat pendidikan rendah akan menyebabkan seseorang mudah mengalami

stress, dibanding yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.


f. Keadaan fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik akan lebih mudah mengalami stress.

Menurut Stuart & Laraia (2008), gangguan fisik akan mengancam integritas diri

seseorang. Seseorang individu dengan penyakit kronis ataupun kecacatan akan lebih

rentan untuk terjadi kecemasan karena adanya ancaman terhadap integritas fisik

yang berpengaruh dalam pembentukan kosep diri.


g. Sosial budaya

Sosial budaya merupakan cara hidup di masyarakat yang akan mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam beradaptasi terhadap stres. Individu yang mempunyai

cara hidup yang teratur, falsafah hidup yang jelas pada umumnya lebih mampu
berespon positif terhadap ketersediaan dukungan sosial yang dibutuhkan oleh tiap

individu dalam mengelola beban.

h. Status ekonomi

Status ekonomi berbanding terbalik dengan kemampuan seseorang menerima stres.

Seseorang dengan status ekonomi kuat cenderung lebih berespon positif terhadap

stresor dibanding seseorang dengan status ekonomi lemah.

i. Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan. Seseorang

yang berada dalam lingkungan baru akan menganggap lingkungan tersebut sebagai

ancaman, yang menyebabkan munculnya respon kecemasan sebagai kondisi yang

tidak nyaman.

Menurut Stuart (2016), tingkat kecemasan atau ansietas dapat dibagi atas :

a. Cemas ringan
Cemas ringan terjadi saat ketegangan hidup seseorang. Selama tahap ini

seseorang waspada dan lapang persepsi meningkat. Kemampuan seseorang untuk

melihat, mendengar dan menangkap lebih dari sebelumnya. Jenis kecemasan ringan

dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.


b. Cemas sedang
Seseorang berfokus pada hal yang penting saja. Lapang persepsi menyempit

sehingga kurang melihat, mendengar dan menangkap. Seseorang memblokir area

tertentu tetapi masih mampu mengikuti perintah jika diarahkan untuk melakukannya.
c. Cemas berat
Cemas berat ditandai dengan penurunan yang signifikan di lapang persepsi.

Cenderung memfokuskan pada hal yang detail dan tidak berpikir tentang hal lain.
Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ansietas, dan banyak arahan yang

dibutuhkan untuk fokus pada area lain.


d. Panik
Panik dikaitkan dengan rasa takut dan teror, sebagian orang yang mengalami

kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal bahkan dengan arahan. Gejala panik

adalah peningkatan aktifitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain, persepsi yang menyempit dan kehilangan pemikiran rasional.

Orang panik tidak mampu berkomunikasi atau berfungsi secara efektif.

2. Depresi

Keadaan kejiwaan seseorang yang tertekan dan mengalami penurunan fungsi

kognitif hingga berpotensi menimbulkan kendala disebut depresi (Tamher &

Noorkasiani, 2009). Depresi merupakan kondisi medis yang serius dapat

mempengaruhi pikiran, perasaan dan kemampuan untuk beraktivitas dalam kehidupan

sehari-hari (Patricia & Runcan, 2013). Lansia akan terlihat sedih, cemas, sensitif,

biasa pula lansia dijumpai menangis dan bersifat paranoid. Kondisi depresi dapat pula

menurunkan fungsi kognitif. Berikut ini klasifikasi depresi menurut (Katona, Cooper,

& Robertson, 2012) : (1) Depresi ringan bila terdapat setidaknya dua dari tiga gejala

utama dan dua diantara gejala berikut : penurunan konsentrasi dan perhatian,

penurunan rasa percaya diri dan harga diri, perasaan bersalah dan tidak berharga,

merasa putus asa dengan masa depannya, pikiran untuk melukai diri sendiri,

gangguan tidur, dan peningkatan atau penurunan nafsu makan. (2) Depresi sedang jika

enam gejala depresi sedang, termasuk setidaknya dua dari gejala utama, dimana

keseluruhan gejala ini harus mengakibatkan gangguan tehadap aktivitas sehari-hari

yang cukup bermakna. (3) Depresi berat jika setidaknya ada delapan gejala termasuk

tiga gejala utama. Faktor risiko depresi dalam buku (Tamher & Noorkasiani, 2009)

yang dapat menjadi peyebab terjadinya depresi yaitu : Berduka, kehilangan integritas
diri, sikap pesimistik, penyakit degeneratif kronik dan tidak memiliki dukungan

keluarga/sosial yang adekuat.

Depresi diakibatkan oleh faktor biologi dan psikologis: ada beberapa faktor

biologis yang terjadi dalam tubuh diduga sebagai penyebab depresi. Salah satunya

adalah faktor genetik. Penyebab terjadinya depresi karena adanya kelainan fungsi otak

yang disebabkan oleh ketidakseimbangan zat kimia di otak. Depresi biasanya terjadi

pada lansia bersamaan dengan munculnya penyakit degeneratif lain seperti diabetes,

gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dan lainnya. Penurunan kondisi

tersebut bisa menjadi pencetus terjadinya depresi. Penyebab depresi yang lainnya

adalah penggunaan obat-obat (seperti steroid, kecanduan narkoba, obat terlarang, dan

alkohol (Martono & Pranaka, 2010). Adapun faktor psikologis penyebab depresi

berkaitan dengan seberapa besar keyakinan diri sebagai penentu situasi yang dialami

(sense of control) yang dijelaskan dalam tero Learned Helplessness yang

dikembangkan oleh M.E.D Seligman. (1) Sense of control yang lemah cenderung

merasa tidak mampu menghadapi situasi sehingga memutuskan untuk tidak

melakukan upaya memperbaiki kondisi, berhenti melakukan aktivitas sehari-hari dan

berakhir pada kondisi depresi. (2) sense of control yang berlebihan membuat

seseorang merasa mampu mengendalikan segala sesuatu namun jika tidak berhasil

dapat mengakibatkan depresi (Widyarini, 2009).

3. Status kognitif
Status kognitif meliputi spektrum yang luas yaitu mulai dari fungsi kognitif yang

normal hingga demensia. Demensia adalah gangguan kognitif dalam tingkat

kesadaran yang normal (Davey, 2005). Penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada

demensia cenderung berkembang lambat namun terus berlanjut (progresif) dan

ireversibel. Faktor penyebab demensia yaitu faktor lingkungan, genetik maupun


kimiawi. Demensia merupakan kondisi yang berlangsung lama dan berkelanjutan

(Tamher & Noorkasiani, 2009).

Gejala yang dialami oleh penderita demensia berupa perubahan kepribadian,

perilaku, penurunan intelektual, perubahan suasana hati, dan siklus tidur yang

biasanya terbalik. Klien gangguan memori akan mengalami ansietas dan penderita

demensia murni biasanya tidak mengetahui penyakit yang dideritnya (Davey, 2005).

Klien juga dapat mengalami gangguan memori berupa penurunan short term dapat

disertai penurunan long term maupun tidak (Tamher & Noorkasiani, 2009). Delirium

adalah gangguan neuropsikiatri berlangsung cepat (serangan akut) yang dapat diatasi.

Delirium berupa penurunan fungi kognitif dan gangguan irama sirkardian (Dewanto,

Suwono, Riyanto, & Taruna, 2009). Daya pikir melambat dan mengalami gangguan

memori (penurunan short term). Delirium disebabkan oleh infeksi seperti: infeksi

saluran kemih pnemonia, mapun akibat penggunaan obat yang tidak tepat. Gejala

yang dapat muncul pada penderita delirium antara lain: perubahan kesadaran, kurang

perhatian, perubahan pola tidur, gelisah, konsentrasi, mudah lupa dan bisa hipoaktif

maupun hiperaktif (Tamher & Noorkasiani, 2009).

4. Alat ukur pemeriksaan Status Mental

Anda mungkin juga menyukai